Anda di halaman 1dari 33

BAB II

PENYAJIAN KASUS

I. ANAMNESIS
Identitas
Nama : By. AI
Jenis Kelamin : Laki – laki
Tanggal lahir/Umur : 20-10-2010 (6 bulan)
Alamat : Melawi, Nanga Pinoh
Agama : Islam
Suku : Melayu
Nomor RM : 619184
Tanggal Masuk RS : 20 April 2011

Anamnesis dilakukan pada tanggal 21 April 2011 pukul 13.30 WIB. Anamnesis
dilakukan dengan aloanamnesis kepada ibu pasien

Keluhan Utama
Perut membuncit dan badan kuning.

Riwayat Penyakit Sekarang


OS (orang sakit) lahir dengan putih mata berwarna kuning, tubuh tidak
tampak kuning. Pada saat usia 1 bulan seluruh tubuh menjadi kuning. Kuning
bertambah, dan tidak ada masa bebas kuning. Saat usia 5 bulan perutnya mulai
tampak membesar, semakin lama perut semakin membesar dan keras saat
dipegang.
BAB berwarna dempul sejak lahir hingga sekarang dengan konsistensi tinja
seperti pasta. BAK berwarna kuning gelap seperti teh. Muntah disangkal. Kejang
disangkal. Demam hilang timbul sejak OS berusia 4 bulan. Satu bulan terakhir OS
rewel sepanjang hari. Nafsu makan OS baik.

2
Riwayat Pengobatan
OS pernah dibawa berobat di salah satu puskesmas di Nanga Pinoh saat
berusia 1 bulan dan dianjurkan terapi dengan cara dijemur sinar matahari pagi,
namun tidak ada perubahan. OS kemudian dirujuk ke Rumah Sakit di Sintang,
dikatakan OS menderita penyakit hati. Akhirnya orangtua membawa OS ke
Rumah Sakit Umum Dr. Soedarso.

Riwayat Kehamilan Ibu


Ibu OS menderita demam pada usia kehamilan 4 minggu dan minum obat
antimalaria. Konsumsi alkohol saat kehamilan disangkal. Selama hamil ibu OS
melakukan pemeriksaan kehamilan ke bidan sebanyak 3 kali.

Riwayat Persalinan Ibu


OS lahir pada usia kehamilan ± 32 minggu, lahir spontan ditolong oleh
dukun beranak. APGAR score tidak diketahui. BB dan PB lahir tidak diketahui.
OS anak ke-3 dari 3 bersaudara. Ibu berusia 40 tahun saat melahirkan OS.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama. Tidak ada saudara
kandung yang menderita sakit kuning pada masa bayi.

Riwayat Imunisasi
OS blm pernah diimunisasi

Riwayat Sosial Ekonomi


Pengobatan menggunakan Jamkesmas.

3
II. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 21 April 2011 pukul 14.15 WIB
Keadaan umum : tampak sakit sedang, rewel.
Kesadaran : kompos mentis
Tanda vital
- Nadi : 120 x/menit, isi cukup dengan irama teratur
- Napas : 60 x/menit, teratur
- Suhu : 37°C (aksila)
Antropometri
Berat Badan : 6,8 kg
Panjang Badan : 62 cm
Perbandingan BB/PB pada table Z-score terletak pada 1 SD (gizi baik)
Perbandingan BB/U pada table Z-score terletak pada >-2SD (gizi baik)

Status Generalis
Kulit : ikterik (+)
Kepala : bentuk tidak ada kelainan, UUB datar, lingkar kepala 38cm
Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (+/+)
Telinga : sekret (-)
Hidung : sekret(-), pernapasan cuping hidung (-), deviasi septum (-)
Mulut : bibir sianosis (-)
Leher : pembesaran limfonodi (-)
Thoraks : gerak simetris pada keadaan statis dan dinamis, retraksi (-)
Paru : perkusi sonor, suara dasar vesikular, suara napas
tambahan(-)
Jantung : bunyi jantung I/II normal, murmur (-), gallop (-)
Ekstremitas : edema tibial dan pedis (+/+) , sianosis (-), jari tabuh (-),
capillary refill < 2 detik, akral hangat.
Genitalia eksterna : skrotum dan penis lengkap, ukuran testis kanan=kiri,
hiperemis (-)
Anus : ruam perianal (+)

4
Status Lokalis
Abdomen
- Inspeksi : tampak lebih tinggi dari dinding dada, venektasi (+), pusar
tampak sangat menonjol.
- Palpasi : teraba tegang (distensi), hepar teraba 4 cm di bawah arcus
costae, lien sulit teraba. Lingkar perut 54,5cm.
- Perkusi : shifting dullness (+)
- Auskultasi : BU (+) normal

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium (hasil pemeriksaan tanggal 20 - 4 - 2011)
Leukosit : 23.000/µL (4.000-12.000/µL)
Lym : 12.300/µL (1.000-5.000/µL)
Mid : 2.100/µL (100-1.000/µL)
Gra : 8.500/µL (2.000-8.000/µL)
Lym : 53,7% (25-50%)
Mid : 9,1% (2-10%)
Gra : 37,2% (50-80%)
RBC : 3,87 M/µL (4 - 6,20 M/µL)
Hb : 9,7 g/dL (11-17 g/dL)
Ht : 30,6 % (35-55%)
Trombosit : 280.000/µL (150.000-400.000/µL)

Laboratorium (hasil pemeriksaan tanggal 21- 4 - 2011)


Bilirubin total : 13,73 mg/dl (sd 1,1)
Bulirubin direct : 12,81 mg/dl (sd 0,3)
SGOT/AST : 362 U/I (Lk sd 38; Pr sd 32)
SGPT/ALT : 123 U/I (Lk sd 41; Pr sd 31)
Alkali fosfatase :742 U/I (Lk 40-129; Pr 35-104)
Albumin : 2,39 g/dl (3,4 – 4,8 g/dl)

5
Laboratorium (hasil pemeriksaan tanggal 23- 4 - 2011)
Leukosit : 24.000/µL (4.000-12.000/µL)
Hb : 8,6 g/dL (11-17 g/dL)
Ht : 29,1 % (35-55%)
Trombosit : 238.000/µL (150.000-400.000/µL)
Ureum : 16mg/dl (10-50mg/dl)
Kreatinin : 0,8 mg/dl (0,6-1,1 mg/dl)

USG (hasil pemeriksaan tanggal 26 - 4 – 2011)

6
Interpretasi hasil USG :
1. Liver normal tak tampak kelainan
2. Bile duct tidak jelas
3. Gall Bladder (GB) kecil tak tampak batu
4. Terdapat cairan bebas intraabdomen, relatif tidak banyak
Kesimpulan hasil USG: ascites ec tidak jelas

7
Kesimpulan kasus: kolestasis jaundice at causa suspek atresia bilier disertai tanda
liver failure.

IV. RESUME
OS dibawa ke RS dengan keluhan perut membuncit dan badan kuning.
Badan semakin kuning dan perut makin lama makin membesar. Tinja berwarna
dempul dan BAK berwarna kuning gelap. Saat hamil 4 minggu ibu OS pernah
mengkonsumsi obat antimalaria. Tidak terdapat riwayat keluarga menderita
sakit kuning.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kulit dan sklera ikterik, perut tampak
membuncit dengan asites. Terdapat venektasi pembuluh darah di dinding
abdomen dan pusar tampak menonjol.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan kadar Hb,
peningkatan jumlah leukosit dan peningkatan nilai dari tes fungsi hati (bilirubin
total, bilirubin direct, SGOT, SGPT, dan Alkali fosfatase) dan penurunan
jumlah albumin.

V. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : Cholestatic Jaundice et causa suspek atresia bilier
Hernia umbilikalis
Diagnosis banding : Cholestatic Jaundice ec Hepatitis neonatal

VI. TATALAKSANA
- IVFD D5 1/2 NS 12 tpm
- Asam Ursodeoksikolat 2 x 50 mg P.O
- San-B-plex 1 x 0,3ml
- Neo K 2 mg IM diberikan tiap 3 hari
- Ganti susu dengan bentuk hidrolisat (asam lemak rantai sedang)
- Konsul bedah anak

8
Usulan Pemeriksaan Lanjutan :
- Kolesterol total, HDL, LDL
- USG setelah minum
- Feces 3 porsi
- Biopsi hati

VII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanactionam : dubia ad malam

CATATAN KEMAJUAN
Sabtu, 23/4/11
S : rewel, BAB (+) warna dempul
O : nadi 80x/mnt, napas 73x/mnt, suhu 36,5°C. Ikterik (+)
A : kolestasis jaundice
P :
- IVFD D5 ½ NS 12 tpm
- Asam Ursodeoksikolat 2 x 50 mg PO
- San-B-plex 1 x 0,3ml PO
- Neo K 2 mg IM
Selasa, 26/4/11
S : BAB (+) warna dempul
O : nadi 100x/mnt, napas 65x/mnt, suhu 36,5°C. Ikterik (+)
A : kolestasis jaundice
P :
- IVFD D5 ½ NS 12 tpm
- Asam Ursodeoksikolat 2 x 50 mg PO
- San-B-plex 1 x 0,3ml
- Neo K 2 mg IM

9
Rabu, 27/4/11
Hasil USG (+)

Kamis, 28/4/11
Albumin 2,3 gr/dl  infus albumin 35cc

Rabu, 29/04/11
S : tidur nyenyak
O : nadi 130x/mnt, napas 53x/mnt, suhu 37°C. Lingkar perut 51cm.
Ikterik (+).
A : kolestasis jaundice et causa suspek atresia bilier
P :
- IVFD D5 ½ NS 12 tpm
- Asam Ursodeoksikolat 2 x 50 mg PO
- San-B-plex 1 x 0,3ml
- Neo K 2 mg IM
Albumin : 3,11 g/dl
Dilakukan pungsi asites  keluar cairan ± 200 cc sesaat setelah prosedur
Rencana biopsi hati  konsul dokter spesialis patologi anatomi

Sabtu, 2/5/11 Lingkar perut 49,5 cm. Lepaskan drain.

Rabu, 4/5/11 OS pulang, tidak bersedia dirujuk ke Jakarta

10
Foto OS
Hernia umbilikalis

OS sering tampak rewel

Hernia umbilikalis

11
Venektasi Sklera ikterik

Edema tibial dan pedis (post infus albumin)

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Metabolisme Bilirubin


Bilirubin adalah pigmen kristal berbentuk jingga ikterus yang merupakan
bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-
reduksi. Bilirubin berasal dari katabolisme protein heme,dimana 75% berasal dari
penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari penghancuran eritrosit yang imatur
dan protein heme lainnya seperti mioglobin, sitokrom, katalase dan peroksidase.
Metabolisme bilirubin meliputi pembentukan bilirubin, transportasi bilirubin,
asupan bilirubin, konjugasi bilirubin, dan ekskresi bilirubin.2
Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme
dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar terdapat
dalam sel hati, dan organ lain. Biliverdin yang larut dalam air kemudian akan
direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat
lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut.
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bilirubin yang
terikat dengan albumin serum ini tidak larut dalam air dan kemudian akan
ditransportasikan ke sel hepar. Bilirubin yang terikat pada albumin bersifat
nontoksik. 2
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma
hepatosit, albumin akan terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin,
ditransfer melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin (protein Y),
mungkin juga dengan protein ikatan sitotoksik lainnya. Berkurangnya kapasitas
pengambilan hepatik bilirubin yang tak terkonjugasi akan berpengaruh terhadap
pembentukan ikterus fisiologis. 2
Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi
yang larut dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine

13
diphosphate glucoronosyl transferase (UDPG-T). Bilirubin ini kemudian
diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin
yang tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi
berikutnya.2
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam
kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui
feces. Setelah berada dalam usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung
dapat diresorbsi, kecuali dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi
oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali
bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonjugasi disebut
sirkulasi enterohepatik.2

Gambar 2.1 Metabolisme bilirubin pada neonatus

14
Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis atau patologis atau
kombinasi keduanya. Risiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang
mendapat ASI, bayi kurang bulan, dan bayi yang mendekati cukup bulan.
Neonatal hiperbilirubinemia terjadi karena peningkatan produksi atau penurunan
clearance bilirubin dan lebih sering terjadi pada bayi imatur. 1
Hiperbilirubinemia yang signifikan dalam 36 jam pertama biasanya
disebabkan karena peningkatan produksi bilirubin (terutama karena hemolisis),
karena pada periode ini hepatic clearance jarang memproduksi bilirubin lebih
dari 10 mg/dL. Peningkatan penghancuran hemoglobin 1% akan meningkatkan
kadar bilirubin 4 kali lipat. 1
Pada hiperbilirubinemia fisiologis bayi baru lahir, terjadi peningkatan
bilirubin tidak terkonjugasi >2 mg/dl pada minggu pertama kehidupan. Kadar
bilirubin tidak terkonjugasi itu biasanya meningkat menjadi 6 sampai 8 mg/dl
pada umur 3 hari dan akan mengalami penurunan. Pada bayi kurang bulan, kadar
bilirubin tidak terkonjugasi akan meningkat menjadi 10 sampai 12 mg/dl pada
umur 5 hari. 1
Dikatakan hiperbilirubinemia patologis apabila terjadi dalam 24 jam setelah
bayi lahir, peningkatan kadar bilirubin serum >0,5 mg/dl setiap jam, ikterus
bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau 14 hari pada bayi kurang
bulan, dan adanya penyakit lain yang mendasari (muntah, letargi,penurunan berat
badan yang berlebihan, apnu, asupan kurang). 1

2.2 Kolestasis Neonatal


2.2.1 Pendahuluan
Salah satu fungsi utama dari hati adalah memproduksi dan mensekresi
empedu. Kolestasis terjadi bila terjadi hambatan aliran empedu dan bahan-bahan
yang harus diekskresi hati. Tiga penyebab utama kolestasis adalah sindroma
hepatitis neonatal, obstruksi mekanik dan sindroma paucity saluran empedu
intrahepatal. Diagnosis dini kolestasis sangat penting karena terapi dan prognosa
dari masing-masing penyebab sangat berbeda. Pada atresia bilier, bila

15
pembedahan dilakukan pada usia lebih dari 8 minggu mempunyai prognosa
buruk. Salah satu tujuan diagnostik yang paling penting pada kasus kolestasis
adalah menetapkan apakah gangguan aliran empedu intrahepatik atau
ekstrahepatik. 2

2.2.2 Definisi
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam
jumlah normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari
hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum. Dari segi
klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu
seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh.
Secara patologi-anatomi kolestasis adalah terdapatnya timbunan trombus empedu
pada sel hati dan sistem bilier. 2

2.2.3 Epidemiologi
Kolestasis pada bayi terjadi pada sekitar 1:25.000 kelahiran hidup. Insiden
hepatitis neonatal 1:5.000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10.000-1:13.000,
defisiensi α-1 antitripsin 1:20.000. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan
anak laki-laki adalah 2:1, sedang pada hepatitis neonatal, rasionya terbalik. Di
Kings College Hospital England antara tahun 1970-1990, atresia bilier 377
(34,7%), hepatitis neonatal 331 (30,5%), α-1 antitripsin defisiensi 189 (17,4%),
hepatitis lain 94 (8,7%), sindroma Alagille 61 (5,6%), kista duktus koledokus 34
(3,1%).2

2.2.4 Klasifikasi
Secara garis besar kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi2:
a. Kolestasis ekstrahepatik, obstruksi mekanis saluran empedu
ekstrahepatik
Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat.
Merupakan kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan
kerusakan dan akhirnya pembuntuan saluran empedu ekstrahepatik,

16
diikuti kerusakan saluran empedu intrahepatik. Penyebab utama
yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis, infeksi virus
terutama CMV dan Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik,
iskemia dan kelainan genetik. Biasanya penderita terkesan sehat
saat lahir dengan berat badan lahir, aktifitas dan minum normal.
Ikterus baru terlihat setelah berumur lebih dari 1 minggu. 10-20%
penderita disertai kelainan kongenital yang lain seperti asplenia,
malrotasi dan gangguan kardiovaskuler. Deteksi dini dari
kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi
pembedahan hepatik-portoenterostomi (Kasai) akan menurun
apabila dilakukan setelah umur 2 bulan. Pada pemeriksaan
ultrasound terlihat kandung empedu kecil dan atretik disebabkan
adanya proses obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran saluran
empedu intrahepatik. Gambaran ini tidak spesifik, kandung empedu
yang normal mungkin dijumpai pada penderita obstruksi saluran
empedu ekstrahepatal sehingga tidak menyingkirkan kemungkinan
adanya atresi bilier. Gambaran histopatologis ditemukan adanya
portal tract yang edematus dengan proliferasi saluran empedu,
kerusakan saluran dan adanya trombus empedu didalam duktuli.
Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif dilakukan dengan
visualisasi langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier
sebelum dilakukan operasi Kasai.
b. Kolestasis intrahepatik
1) Saluran empedu
Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: (a) Paucity saluran empedu,
dan (b) Disgenesis saluran empedu. Oleh karena secara embriologis
saluran empedu intrahepatik (hepatoblas) berbeda asalnya dari
saluran empedu ekstrahepatik (foregut) maka kelainan saluran
empedu dapat mengenai hanya saluran intrahepatik atau hanya
saluran ekstrahepatik saja. Beberapa kelainan intrahepatik seperti
ekstasia bilier dan hepatik fibrosis kongenital, tidak mengenai

17
saluran ekstrahepatik. Kelainan yang disebabkan oleh infeksi virus
CMV, sklerosing kolangitis, Caroli’s disease mengenai kedua
bagian saluran intra dan ekstra-hepatik. Karena primer tidak
menyerang sel hati maka secara umum tidak disertai dengan
gangguan fungsi hepatoseluler. Serum transaminase, albumin, faal
koagulasi masih dalam batas normal. Serum alkali fosfatase dan
GGT akan meningkat. Apabila proses berlanjut terus dan mengenai
saluran empedu yang besar dapat timbul ikterus, hepatomegali,
hepatosplenomegali, dan tanda-tanda hipertensi portal. Kelainan
saluran empedu intrahepatik lainnya adalah sklerosing kolangitis
neonatal, sindroma hiper IgM, sindroma imunodefisiensi yang
menyebabkan kerusakan pada saluran empedu.
2) Kelainan hepatosit
Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan
pembentukan dan aliran empedu. Hepatosit neonatus mempunyai
cadangan asam empedu yang sedikit, fungsi transport masih
prematur, dan kemampuan sintesa asam empedu yang rendah
sehingga mudah terjadi kolestasis. Infeksi merupakan penyebab
utama yakni virus, bakteri, dan parasit. Pada sepsis misalnya
kolestasis merupakan akibat dari respon hepatosit terhadap sitokin
yang dihasilkan pada sepsis. Hepatitis neonatal adalah suatu
deskripsi dari variasi yang luas dari neonatal hepatopati, suatu
inflamasi nonspesifik yang disebabkan oleh kelainan genetik,
endokrin, metabolik, dan infeksi intra-uterin. Mempunyai gambaran
histologis yang serupa yaitu adanya pembentukan multinucleated
giant cell dengan gangguan lobuler dan serbukan sel radang, disertai
timbunan trombus empedu pada hepatosit dan kanalikuli. Diagnosa
hepatitis neonatal sebaiknya tidak dipakai sebagai diagnosa akhir,
hanya dipakai apabila penyebab virus, bakteri, parasit, gangguan
metabolik tidak dapat ditemukan. 3

18
2.2.5 Patofisiologi
Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan
merupakan kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu
mengandung asam empedu, kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi,
elektrolit, protein, dan bilirubin terkonjugasi. Kolesterol dan asam empedu
merupakan bagian terbesar dari empedu sedang bilirubin terkonjugasi merupakan
bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari
asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana permukaan basolateralnya
berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apikal (kanalikuler)
berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai
filter dan pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme
dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam
empedu. Salah satu contoh adalah penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin
tidak terkonjugasi (bilirubin indirek). Bilirubin tidak terkonjugasi yang larut
dalam lemak diambil dari darah oleh transporter pada membran basolateral,
dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang mengandung P450 menjadi
bilirubin terkonyugasi yang larut air dan dikeluarkan kedalam empedu oleh
transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab terhadap
aliran bebas asam empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit ke
dalam empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif asam empedu. Pada
keadaan dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonjugasi
juga terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang terjadi
di hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia
menimbulkan gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan
aliran empedu dan hiperbilirubinemi terkonjugasi. 4
Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan
struktural2:
a. Proses transpor hati
Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi
polaritas dari hepatosit sehingga eliminasi bahan seperti bilirubin terkonjugasi,

19
asam empedu, dan lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan
sinusoid terganggu.
b. Transformasi dan konjugasi dari obat dan zat toksik
Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan
menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi
dan konjugasi akan terganggu.
c. Sintesis protein
Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT akan meningkat sedang
produksi serum protein albumin-globulin akan menurun.
d. Metabolisme asam empedu dan kolesterol
Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam
empedu dan kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi
menghambat HMG-CoA reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan
penurunan asam empedu primer sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi
bile acid sehingga aktifitas hidrofopik dan detergenik akan meningkat. Kadar
kolesterol darah tinggi walaupun produksi di hati menurun, karena degradasi dan
eliminasi di usus menurun.
e. Gangguan pada metabolisme logam
Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang
menurun. Bila kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit
oleh Cu karena Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik.
f. Metabolisme cysteinyl leukotrienes
Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif
dimetabolisir dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses
sehingga kadarnya akan meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan
progresifitas kolestasis. Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan
vaksokonstriksi pada ginjal.
g. Mekanisme kerusakan hati sekunder
Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan
kerusakan hati melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini
akan melarutkan kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga

20
intregritas membran akan terganggu. Maka fungsi yang berhubungan dengan
+ + ++
membran seperti Na , K -ATPase, Mg -ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi
transport membran dapat terganggu, sehingga lalu lintas air dan bahan-bahan lain
melalui membran juga terganggu. Sistim transport kalsium dalam hepatosit juga
terganggu. Zat-zat lain yang mungkin berperan dalam kerusakan hati adalah
bilirubin, Cu, dan cysteinyl leukotrien namun peran utama dalam kerusakan hati
pada kolestasis adalah asam empedu.
Pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami fungsi secara
abnormal pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran
empedu sehingga menyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit dan sel
kolangiosit. Selanjutnya akan terjadi sirosis bilier.

2.2.6 Manifestasi Klinis


Tanpa memandang etiologinya, gejala klinis utama pada kolestasis bayi
adalah ikterus, tinja akolik, dan urine yang berwarna gelap. Selanjutnya akan
muncul manifestasis klinis lainnya, sebagai akibat terganggunya aliran empedu
dan bilirubin. Bagan di bawah ini menunjukkan konsekuensi akibat terjadinya
kolestasis. 2

21
Gambar 2.2 Manifestasi klinis kolestasis

2.2.7 Diagnosis
Tujuan utama evaluasi bayi dengan kolestasis adalah membedakan antara
kolestasis intrahepatik dengan ekstrahepatik sendini mungkin. Diagnosis dini
obstruksi bilier ekstrahepatik akan meningkatkan keberhasilan operasi. Kolestasis
intrahepatik seperti sepsis, galaktosemia atau endrokrinopati dapat diatasi dengan
medikamentosa. 4

22
Anamnesis
a. Adanya ikterus pada bayi usia lebih dari 14 hari, tinja akolis yang persisten
harus dicurigai adanya penyakit hati dan saluran bilier.
b. Pada hepatitis neonatal sering terjadi pada anak laki-laki, lahir prematur
atau berat badan lahir rendah. Sedang pada atresia bilier sering terjadi pada
anak perempuan dengan berat badan lahir normal, dan memberi gejala
ikterus dan tinja akolis lebih awal.
c. Sepsis diduga sebagai penyebab kuning pada bayi bila ditemukan ibu yang
demam atau disertai tanda-tanda infeksi.
d. Adanya riwayat keluarga menderita kolestasis, maka kemungkinan besar
merupakan suatu kelainan genetik/metabolik (fibro-kistik atau defisiensi
α1-antitripsin). 2

Pemeriksaan fisik
Pada umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar
bilirubin sekitar 7 mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Warna
kehijauan bila kadar bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi biliverdin.
Jaringan sklera mengandung banyak elastin yang mempunyai afinitas tinggi
terhadap bilirubin, sehingga pemeriksaan sklera lebih sensitif. 2
Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm dibawah
arkus kota pada garis midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi
yang tajam dan permukaan noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis. Hati
yang teraba pada epigastrium mencerminkan sirosis atau lobus Riedel
(pemanjangan lobus kanan yang normal). Nyeri tekan pada palpasi hati
diperkirakan adanya distensi kapsul Glisson karena edema. Bila limpa membesar,
satu dari beberapa penyebab seperti hipertensi portal, penyakit storage, atau
keganasan harus dicurigai. Hepatomegali yang besar tanpa pembesaran organ lain
dengan gangguan fungsi hati yang minimal mungkin suatu fibrosis hepar
kongenital. Perlu diperiksa adanya penyakit ginjal polikistik. Asites menandakan
adanya peningkatan tekanan vena portal dan fungsi hati yang memburuk. Pada

23
neonatus dengan infeksi kongenital, didapatkan bersamaan dengan mikrosefali,
korioretinitis, purpura, berat badan rendah, dan gangguan organ lain. 2
Alagille mengemukakan 4 keadaan klinis yang dapat menjadi patokan untuk
membedakan antara kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik. Dengan kriteria
tersebut kolestasis intrahepatik dapat dibedakan dengan kolestasis ekstrahepatik ±
82% dari 133 penderita. Moyer menambah satu kriteria lagi gambaran
histopatologi hati.4
Tabel 2.1 Kriteria klinis kolestasis ekstrahepatik dan kolestasis
intrahepatik

Sumber : Alagille D, 1992

2.3 Atresia Bilier


2.3.1 Definisi
Atresia bilier merupakan kelainan yang paling sering menyebabkan
kolestasis pada minggu pertama setelah lahir. Kelainan ini ditandai adanya
obstruksi total aliran empedu karena destruksi atau hilangnya sebagian atau
seluruh duktus biliaris ekstrahepatik. Atresia bilier merupakan penyakit yang

24
paling sering menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit hati dan
merupakan indikasi utama transplantasi hati pada anak. 2
Pada umumnya, atresia bilier merupakan suatu proses yang bertahap,
dengan inflamasi progresif dan obliterasi fibrotik saluran bilier ekstrahepatik.
Selama evolusi obstruksi saluran bilier ini, pada biopsi hati akan tampak sel epitel
yang berdegenerasi, inflamasi dan fibrosis pada jaringan periduktular. Saluran
empedu di dalam hati sampai ke porta hepatis biasanya tetap paten selama minggu
pertama kehidupan, tetapi kemudian secara progresif rusak kemungkinan karena
proses yang sama dengan penyebab destruksi saluran bilier ekstrahepatik. 2
2.3.2 Etiologi
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui. Adanya gambaran inflamasi
yang menyebabkan terjadinya proses destruksi saluran bilier ekstrahepatik
menyebabkan para ahli memikirkan etiologinya adalah infeksi. Berbagai virus
dihubungkan dengan atresia bilier diantaranya virus sitomegalo, rubella, rotavirus,
reovirus tipe 3, tetapi sampai saat ini belum satupun dapat dibuktikan sebagai
penyebab atresia bilier. Imaturitas sistem imun dan faktor genetik mungkin
berkontribusi pada patogenesis penyakit ini. Hipotesis lain ialah adanya defek atau
gangguan penyusunan pada perkembangan duktus biliaris pada saat dini yang
mungkin berhubungan dengan kelainan kongenital yang khas untuk atresia bilier
dengan malformasi splenik (BASM).2

2.3.3 Manifestasi Klinis


Gejala klinis dan patologik atresia bilier ekstrahepatik bergantung pada
proses berawalnya penyakit, apakah jenis embrional atau jenis perinatal dan
bergantung pada saat diagnosisnya.4
Jenis embrional atau fetal merupakan sepertiga kasus/penderita. Proses
yang merusak saluran empedu berawal sejak masa intrauteri dan berlangsung
hingga saat bayi lahir. Pada jenis ini tidak ditemukan masa bebas ikterus setelah
periode ikterus neonatorum fisiologik (dua minggu pertama kelahiran). Pada
pembedahan tidak ditemukan sisa saluran empedu di dalam ligamentum

25
hepatoduodenale. Selain itu, dapat ditemukan kelainan bawaan lain seperti
malrotasi usus atau pankreas ektopik. 4
Jenis kedua adalah jenis perinatal yang ditemukan pada dua pertiga
penderita. Ikterus muncul kembali secara progresif setelah ikterus fisiologik
hilang beberapa waktu (3-6 minggu). Pada saat pembedahan dapat ditemukan sisa
saluran empedu di dalam ligamentum hepatoduodenale tanpa adanya malformasi
organ lain yang berdekatan. Jadi, perbedaan patofisiologik utama antara jenis
embrional dengan perinatal ialah saat mulainya kerusakan saluran empedu yang
progresif. 4
Gambaran klinis yang sering dijumpai pada atresia bilier perinatal adalah
biasanya lahir dengan berat normal, bertumbuh dengan baik pada awalnya, dan
bayi tidak tampak sakit kecuali sedikit ikterik. Bila dibandingkan dengan hepatitis
neonatal, bayi dengan atresia bilier tidak terlalu ikterik dan umumnya terlihat
keadaan umumnya baik. Kalau dilihat pada tahap dini, bayi atresia bilier akan
terlihat keadaan umumnya lebih baik dibandingkan sindrom hepatitis neonatal,
dan pertumbuhannya pun tetap baik, dengan berat badan naik sesuai grafik
pertumbuhan. Hal-hal inilah yang menyebabkan dokter yang kurang memahami
atresia bilier dapat terkecoh, tidak menyangka pasien yang sedang dihadapinya
sebagai atresia bilier yang memerlukan penanganan segera. Sebaliknya bayi
dengan sindrom neonatal hepatitis sering ditemukan lebih ikterus, kurang
bertumbuh baik, tampak lebih ‘sakit’ dibandingkan atresia bilier. Tanda yang
penting untuk ditanyakan pada pasien kolestasis adalah warna tinjanya. Bila
ditemukan tinja pucat/dempul terus menerus hal ini akan mengarahkan kita pada
diagnosis atresia bilier. Pasien yang demikian memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk menegakkan atau menyingkirkan atresia bilier. 2
Apabila penyakit berlanjut akan timbul sirosis hati dengan hipertensi
portal yang menyebabkan perdarahan varises esofagus dan kegagalan fungsi hati.
Bayi dapat meninggal karena gagal hati, perdarahan varises, koagulopati atau
infeksi sekunder.2

26
2.3.4 Diagnosis
a. Laboratorium
Pemeriksaan tes fungsi hati dapat menolong tetapi tidak bernilai
diagnostik. Pada bayi dapat ditemukan pemanjangan waktu protrombin, tetapi
umumnya akan kembali normal bila diberi vitamin K pada keadaan dini dan nilai
albumin serum juga akan di atas 3 g/dl yang berarti fungsi sintesis hati masih
baik. Petanda kerusakan hepatoselular berupa peningkatan serum alanin dan
aspartat aminotransferase biasanya hanya ringan sampai sedang. Sedangkan
gamma glutamil transpeptidase (GGT) dan fosfatase alkali akan meningkat secara
progresif yang menunjukkan adanya kerusakan saluran bilier yang berat.
Tingginya GGT ini memiliki nilai untuk membedakan dengan sindrom hepatitis
neonatal, karena GGT yang rendah jarang ditemukan pada atresia bilier.2
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi abdomen merupakan alat diagnostik yang dapat dipakai
untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi saluran bilier ekstrahepatik. Pada saat
puasa kandung empedu bayi normal pada umumnya akan terisi cairan empedu
sehingga akan dengan mudah terlihat dengan USG. Setelah diberi minum,
kandung empedu akan berkontraksi sehingga ukuran kandung empedu akan
mengecil. Pada atresia bilier, saat puasa kandung empedu dapat tidak terlihat yang
membuat kita berfikir ada gangguan patensi duktus hepatikus dan duktus
hepatikus komunis sehingga terjadi gangguan aliran empedu dari hati ke saluran
empedu ekstrahepatik. Pada keadaan kandung empedu tidak terlihat saat puasa,
USG setelah minum tidak diperlukan lagi. Pada keadaan lain, saat puasa kandung
empedu terlihat kecil tetapi setelah minum ukuran kandung empedu tidak
berubah, hal ini mengarah pada kemungkinan adanya gangguan aliran cairan
empedu dari kandung kemih melalui duktus sistikus melewati duktus koledokus
komunis ke duodenum. Kedua gambaran ini mengarahkan kita akan kemungkinan
atresia bilier.2
Kesalahan yang sering ditemukan adalah USG dilakukan tidak dalam
keadaan puasa atau operator USG tidak melaporkan ukuran kandung empedu saat
puasa dan saat sesudah minum sehingga hasil yang didapatkan tidak dapat

27
memberikan informasi tambahan yang diperlukan. Ada tanda karakteristik lain
yang perlu dicari dengan USG yaitu tanda triangular cord. Pada beberapa
penelitian dilaporkan tanda ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
untuk mendiagnosis atresia bilier, tetapi sekali lagi hal ini bergantung pada
operator yang melakukannya.2
c. Biopsi hati
Biopsi hati per kutan merupakan tes diagnostik yang penting untuk
evaluasi bayi dengan kolestasis. Pada umumnya tindakan biopsi pada bayi
merupakan tindakan yang aman dengan menggunakan jarum biopsi Menghini.
Saat ini tersedia jarum biopsi Mengihini sekali pakai dengan harga yang cukup
terjangkau. Berbagai penelitian melaporkan atresia bilier dapat didiagnosis pada
90-95% kasus. Pada biopsi hati dapat ditemukan tanda karakteristik adanya
obstruksi duktus hepatikus komunis antara lain proliferasi duktus biliaris, bile
plug pada duktus biliaris, dan adanya fibrosis portal, pelebaran portal track, dan
edema.3
d. Kolangiografi intraoperatif
Bila hasil gambaran histopatologi hati mengarah pada atresia bilier atau
hasil pemeriksaan belum dapat menyingkirkan atresia bilier, perlu dilakukan
laparotomi eksplorasi. Saat laparotomi, inspeksi langsung keadaan kandung
empedu dan sistem bilier perlu dilakukan. Perlu ditentukan apakah sistem bilier
mengalami obstruksi, bila ada perlu ditentukan tempatnya, dan kemudian perlu
melakukan prosedur untuk mengalirkan empedu dari hati ke duodenum.3
Pada umumnya, pada atresia bilier, kandung empedu terlihat kecil dan
fibrotik diikuti fibrosis difus sistem bilier ekstrahepatik. Untuk menentukan
patensi sistem bilier, perlu dilakukan kolangiografi. Sebuah jarum atau kateter
diinsersikan ke kandung empedu kemudian ditusukkan zat kontras sambil diamati
dengan fluoroskopi untuk menentukan luasnya obstruksi dan variasi anatominya.
Variasi anatomi yang umum dipakai adalah menurut Japanese Society of
Pediatric Surgeons yang membagi keadaan ini menjadi 3 tipe. Tipe 1 atresia
meliputi terutama duktus biliaris komunis. Tipe 2 atresia bilier naik sampai ke
duktus hepatikus komunis, dan tipe 3, atresia bilier mengenai seluruh sistem bilier

28
ekstrahepatik. Bentuk paling banyak ialah tipe 3 (85-90% kasus); rekonstruksi
bedah (portoenterostomi) paling menantang dalam bentuk ini. Pemeriksaan
kolangiografi ini penting untuk memastikan diagnosis atresia bilier.2

2.3.5 Penatalaksanaan
Tata laksana atresia bilier ekstrahepatik adalah pembedahan. Pilihan utama
jenis pembedahan atresia bilier adalah portoenterostomi teknik Kasai dan
transplantasi hati.
a. Bedah Kasai
Bedah dekompresi portoenterostomi ini sebaiknya dilakukan sebelum bayi
berusia dua bulan. Apabila usia bayi lebih dari tiga bulan, tranplantasi hati lebih
baik dari pada operasi dekompresi. Saat ini pembedahan dekompresi menjadi
tindak bedah baku. Langkah pertama bedah portoenterostomi adalah membuka
ligamentum hepatoduodenale untuk mencari sisa saluran empedu ekstrahepatik
yang berupa jaringan fibrotik. Jaringan fibrotik ini diikuti terus sampai ke arah
hilus hati untuk menemukan ujung saluran empedu yang terbuka pada permukaan
hati. Rekontruksi hubungan saluran dalam hati dengan saluran cerna dilakukan
dengan menjahitkan jejunum ke permukaan hilus hati. Portojejunostomi ini dibuat
secara anastomosis Roux-en Y. Apabila atresia hanya terbatas pada duktus
hepatikus komunis sedangkan kandung empedu dan duktus sistikus serta duktus
koledokus paten, cukup kandung empedu saja yang disambung ke permukaan hati
di daerah hilus.2
Pada bayi dengan atresia bilier, saluran empedu yang dapat dikoreksi
langsung harus dilakukan anastomosis mukosa dengan mukosa antara sisa saluran
empedu dan duodenum atau jejunum. 2
b. Tranplantasi hati
Indikasi tranplantasi hati ialah atresia bilier yang disertai gagal hati.
Keberhasilan tranplantasi hati setelah satu tahun berkisar antara 65-80%.

29
c. Terapi suportif
Dukungan nutrisi pada atresia bilier perlu dilakukan pada saat diagnosis,
perlu diperhatikan kebutuhan energi untuk menjamin pertumbuhan dan
suplementasi vitamin-vitamin yang larut dalam lemak.
Kaufman dkk. memberikan review yang baik bagi support nutrisi pada
anak dengan atresia bilier ekstrahepatik. Mereka menyarankan Pregestimil
mengingat kandungannya yang tinggi asam linoleat. Jika penambahan berat badan
tidak adekuat, bubuk glukosa (polycose) atau MCT oil dapat ditambahkan.
Dianjurkan tujuan 3 g protein/kg/hari. Vitamin A, D, dan E dapat dimonitor di
serum, dengan suplementasi jika dibutuhkan. Pemberian vitamin K dapat
dimonitor melalui evaluasi faktor pembekuan terkait. Fe, zink, dan kalsium
sebaiknya diberikan juga. Kebutuhan suplementasi umumnya proporsional dengan
aliran empedu; jadi pasien dengan aliran yang buruk dan penyakit progresif
memiliki kebutuhan lebih tinggi.2

d. Faktor prognostik
- Usia
Indikator prognostik utama bagi sukses atau gagalnya terapi pada atresia
bilier ekstrahepatik ialah usia anak saat operasi. Walaupun beberapa
variasi terjadi pada hasil, tampak kecenderungan kesuksesan yang lebih
tinggi pada usia yang makin dini. Operasi pada usia 60 hari menghasilkan
tingkat kesuksesan lebih dari 75%. Jika operasi terlambat satu bulan,
tingkat keberhasilan diperkirakan 20- 30%. Ada studi serial peningkatan
keberhasilan ketika operasi dilakukan setelah 90 hari tapi sebelum 120
hari. Pasien seringkali tidak teridentifikasi hingga 6 minggu pemeriksaan
postnatal, sehingga penilaian inisial sedini mungkin harus dilakukan.2
- Histologi
Hubungan hasil jangka pendek dan jangka panjang hasil operasi terhadap
histologi bervariasi. Walaupun beberapa studi mengatakan tidak ada
hubungan, terdapat beberapa gambaran histologis porta hepatis dan
jaringan intrahepatik terkait jaundice persisten pada bulan ke-3.

30
Ditemukan tidak ada hubungan antara ukuran di porta tapi menemukan
hubungan dengan derajat fibrosis dan degenerasi duktus bilier intrahepatik.
Pada studi lain, kualitas duktus bilier pada porta dievaluasi. Ditemukan
struktur bilier besar yang tidak memiliki koneksi dengan duktus
intrahepatik; oleh karena itu, identifikasi yang cermat terhadap duktus
sejati terkait dengan aliran empedu postoperatif, walaupun korelasi
statistik antara struktur dan restorasi aliran empedu tidak didapatkan.
Duktus bilier sejati dikaitkan dengan peningkatan aliran empedu, ekskresi
bilirubin, dan penurunan insiden kolangitis.4
- Aliran bilirubin inisial
Aliran bilirubin postoperatif mungkin merefleksikan baik tingkat obstruksi
yang sedang terjadi maupun kapasitas sekresi hepar. Aliran bilirubin
inisial ini maupun tingkat ekskresi asam empedu berhubungan dengan
ketiadaan jaundice 3 bulan setelah operasi. 80% pasien bebas jaundice
memiliki lebih dari 200 ml empedu per hari. Ekskresi asam empedu pada
pasien yang yang belakangan bebas jaundice bervariasi antara 10-30
µmol/ml, tetapi hanya 0,04 sampai 3,2 µmol/ml yang diekskresikan oleh
pasien dengan jaundice persisten.

31
BAB III
PEMBAHASAN

OS dibawa ke RS dengan keluhan perut membuncit dan badan kuning. OS


lahir dengan putih mata berwarna kuning, tubuh tidak tampak kuning. Pada saat
usia 1 bulan seluruh tubuh menjadi kuning. Kuning bertambah, dan tidak ada
masa bebas kuning. Saat usia 5 bulan perutnya mulai tampak membesar, semakin
lama perut semakin membesar dan keras saat dipegang. BAB berwarna dempul
sejak lahir hingga sekarang dengan konsistensi tinja seperti pasta. BAK berwarna
kuning gelap. Saat hamil 4 minggu ibu OS pernah mengkonsumsi obat
antimalaria. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kulit dan sklera ikterik, perut
tampak membuncit dengan asites dan penonjolan pusar. Terdapat venektasi
pembuluh darah di dinding abdomen.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka diagnosis
sementara untuk pasien ini adalah kolestasis jaundice dengan dugaan penyebab
kolestasis ekstrahepatik yaitu atresia bilier, dimana didapatkan tinja akolik sejak
lahir, bayi tampak sehat dan bertumbuh baik pada awalnya. Selain itu mulai
terjadinya ikterik di seluruh tubuh saat OS berumur 1 bulan. Keterangan tersebut
di atas mengarahkan pada atresia bilier. Namun untuk mengetahui secara pasti
apakah karena gangguan di intrahepatik atau ekstrahepatik maka perlu dilakukan
pemeriksaan selanjutnya. Setelah dilakukan pemeriksaan penunjang didapatkan
nilai bilirubin total > 5mg/dl dan bilirubin direk > 20% bilirubin total. Hasil ini
sesuai dengan keadaan kolestasis. Selain itu pemeriksaan fungsi hati yang lain
juga menunjukkan adanya gangguan hati yang mengarahkan kepada liver
failure.
Berdasarkan hasil pemeriksaan USG didapatkan gall bladder kecil dan tak
tampak batu. Gambaran USG untuk atresia bilier belum jelas. Untuk
menegakkan secara pasti diagnosis apakah penyebab kolestasis nya
ekstrahepatik perlu dilakukan biopsi hati.

32
Terapi medis suportif pada pasien yaitu suplementasi vitamin-vitamin larut
lemak, asam ursodeoksikolat untuk melindungi hepar dari zat toksik yaitu
dengan mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang
hepatotoksik. Terapi definitif untuk atresia bilier pada pasien dengan tanda-tanda
kegagalan hati adalah dengan transplantasi hati.

33
BAB IV
KESIMPULAN

Kolestasis neonatal masih merupakan permasalahan di bidang ilmu kesehatan


anak disebabkan spectrum penyebabnya sangat luas dengan gejala klinis serupa.
Kesadaran akan adanya kolestasis pada bayi dengan ikterus pada bayi berumur
lebih dari 14 hari merupakan kunci utama dalam penegakan diagnosis dini yang
berperan penting terhadap tindakan tatalaksana dan pronosa penyakit. Salah satu
tujuan diagnostik adalah membedakan apakah kolestasis disebabkan oleh kelainan
intrahepatik atau ekstrahepatik.

34

Anda mungkin juga menyukai