Anda di halaman 1dari 2

Di Penghujung Gang Argabel

Di gang yang tak begitu semarak, di gang penuh coretan abstrak. Di gang itu cintanya tergeletak. Tak
bisa mengelak, pasrah terinjak kenangan yang congkak.

Di penghujung harapan semu.


Ia menunggu kepastian yang dulu.
Dahulu dia mengingatkan kalau cinta itu bukan suatu hal yang dirasa tetapi apa yang diterima.

Wanita itu, wanita bermata bulat kecoklat-coklatan, wanita berkulit terang. Wanita berparas
berseri-seri dan rambut hitam mengkilat dipangkas sebahu.

“Ah, ingatan itu menyeretku lagi”

Sudah lama ia mengenalnya, sudah lama pula ia…


Ia menahan ucapan, tak pantas! Sepagi ini menggali kenangan yang terkubur di dalam liang harapan.
Namun, kenangan itu bak mayat hidup keluar dari dalam kubur memaksa untuk mengingat janji yang
sudah melebur.

Ia menerawang jauh, sesekali menyeruput teh hangat di dalam cangkir, ia pikir cinta tak mungkin
berakhir. tapi takdir punya rencana lain, cinta yang menyingkir, kan ada pula cinta yang hadir.

Asap putih masih mengepul di atas cankir. Hawa panas ibarat rindu yang tak pernah tuntas.
Ia rindu dengan wanita yang memiliki bola mata coklat bulat sempurna. Yah, elin. Namanya yang
sering ia panggil kala dulu. Ketika cinta masih bersahabat dengan mereka.

“Andai saja cinta dan rindu tidak disepakatkan oleh tangan pertemuan, mungkin aku gak ingin
bertemu dengannya lagi” di bangku kayu itu ia mulai berimajinasi. Sembari menunggu ponsel
berdering.
Pikiranya berkelana jauh mengulang semua rasa sakit yang tak terbayang di dalam cerita.

Ia mengangkat dagu mentap ke atas langit, Awan putih berlarian tersapu angin dari barat. Digantikan
awan hitam gelap pekat mengerubung jadi satu menutupi semburat cahaya mentari. Suara guntur
terdengar dari arah ke jauhan.
Kilat menyambuk awan putih menjadi potongan-potongan kecil yang kekeh tak ingin pergi.

Tak selang beberapa lama, gerimis tiris mulai turun. Membasahi perkarangan rumah yang tak begitu
mewah. angin menampar dedaunan hingga mendesis lirih.

“Walaupun hujan turun. Tetap saja rindu ini tetap kering dan tandus” gumamnya seraya ia beringsut
dari tempat duduknya. Ia berdiri tepat di depan teras rumah, tangan kirinya mengenadah merasakan
rinai hujan yang jatuh. Hujan dan cinta mungkin saudara kembar keduanya bisa membuat kesejukan.

“Kriiing” ponsel yang ia taruh di saku clana jeans melenguh. Bergegaslah ia mengangkatnya.
“Aku di beranda stasiun, tolong jemput aku”
“Ya!”
Sesimpel itu ia berbicara, tetapi mempunyai makna panjang yang tak mungkin sanggup ia ukur seorang
diri. Ia melangkah diawali kaki kiri kemudian disusul dengan kaki kanan. Ia menyusuri gang yang tak
begitu besar, tubuhnya meliak-meliuk menghindari orang-orang yang berlarian. Memang tak begitu
jauh Jarak stasiun dari rumahnya. Cuma memakan waktu lima belas menit.

Hujan semakin deras ia menghalau hujan dengan payung rindu yang kasat mata. Ia terus menyusuri
gang yang penuh coretan abstrak. Bahwasanya gang yang ia lalu ada trobosan langsung menuju
stasiun.

Ia memincingkan tatapannya memandang lurus. Dari arah kejauhan ia melihat ada yang berlalu-lalang
menerobos hujan, ada pun yang meneduh dengan wajah jenuh. ditingkahi hujan yang semakin gaduh.
Di depan gang matanya membola, mencari elin, kedua tangan mendekap tubuhnya yang menggigil.
Dingin. Ia memperhatikan satu persatu wajah-wajah jenuh itu.

“Hey aku di sini”

Suara terikakan nyaring meling tidak asing di telinganya, suara yang sering ia dengar, Suara
pengobral seribu janji, Asal suara terdengar di pojok loket karcis. Seketika Ia memalingkan
padangannya kearah elin berdiri menyilangkan tangannya mendekap tas berwarna hitam pekat.

Elin melekukkan bibir terlumur gincu merah puyas. Di dirinya semua masih sama tak ada yang
berubah, ia membalas senyuman elin. melepar senyum sumringah, rindu yang sedari mengembang kini
telah pecah.

“Gak ada yang berubah ya, dari kamu?!” elin membuka percakapan lebih dulu.
“Iya, semuanya masih sama. gak ada yang berbeda termasuk cinta.”
“Apa cinta?!”
“Iya, aku tau kamu gak mungkin menarik cinta, cinta yang bersanding di hatiku”
Elin diam membisu seribu bahasa, menahan ucapan yang mewakili curahan hatinya.

“Kenapa diam?! Ayuk kita pulang, kita lanjutkan obrolan di rumah”

Elin mengangguk isarat tubuh mengiyakan ajakannya. Mereka berjalan beriringan, hati kecilnya masih
menyimpan sesuatu yang ingin elin ledakan.

Hujan deras telah pergi, gerimis tiris serupa salju jatuh perlahan kedahan pohon yang tertanam di
samping gang. Mereka berjalan sejajar ketika satu langkah lagi memasuki gang namun.

“Tunggu!” elin menarik pergelangan pria yang kuyup itu.


Mereka berhadapan sekarang tepat di samping gang di bawah pepohonan rindang.

Seketika Airmata elin berkaca-kaca, ia berupaya membendung airmata yang ingin meleleh di pipi.
Tanpa aba-aba Elin memeluk dengan tangan yang lemah, Tangisan elin pecah di dalam pelukan. Hati
kecil elin terisis mengingat janji yang belum elin gubris.

“Aku mengingkari janji, aku minta maaf” air mata elin membasahi kemeja corak bergaris-garis.
“Cinta itu suci, aku gak ingin mengotori cinta dengan dendam, aku memaafkanmu”
Mendengar ucapan itu Elin melepaskan dekapan, melepas pelukan. Elin mengusap air mata yang
meleleh di pipinya.

“Kamu sanggup menjemput cinta yang kuberikan, tapi?!”


Elin menahan ucapannya bibir yang di poles gincu mengigil. Air mata kembali melelah entah sudah
berapa banyak air mata yang tumpah di tanah.

“Tapi apa?! Katakan elin, aku siap menerima takdir yang tuhan berikan”

Elin menarik nafas dalam-dalam. Sesak dan menghembuskannya ke udara.


“Aku pernah bilang, kalau cinta itu bukan suatu hal yang dirasa tetapi apa yang sudah diterima ”
“Aku pergi”

Mereka pergi meninggalkan cinta yang tergeletak di depan gang. Mereka tak sanggup mengelak
tergilas kenangan yang congkak.

Anda mungkin juga menyukai