Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Bronkiolitis


Bronkiolitis adalah suatu proses keradangan atau inflamasi pada saluran napas yang
berukuran kecil (bronkiolus) yang ditandai dengan respiratory distress dan overdistensi
pada paru. Bronkiolitis juga merupakan penyakit saluran pernapasan pada anak di
bawah umur 2 tahun dimana ditemukan wheezing, retraksi dinding dada dan takipneu.

2.2 Epidemiologi Bronkiolitis


Angka insiden tertinggi adalah pada anak usia di bawah 2 tahun terutama pada usia 2
sampai dengan 6 bulan. Kurang lebih 60 % mengenai laki-laki (laki-laki : perempuan =
1,5 : 1). Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan angka insiden
berdasarkan jenis kelamin. Kejadian bronkiolitis ini meningkat terutama pada musim
dingin atau hujan. Merupakan penyebab perawatan terbanyak diantara penyakit saluran
napas lainnya pada anak.
Bronkiolitis banyak ditemukan pada anak yang sedikit atau tidak mendapat ASI,
tinggal di daerah pemukiman yang padat, pada anak yang lahir prematur, berat badan
lahir rendah, dan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Kurang lebih 25 % anak di
bawah umur 1 tahun dan 13 % anak usia 1 sampai 2 tahun menderita bronkiolitis dan
80 % diantaranya menjalani rawat inap. Angka kematian akibat bronkiolitis adalah
sebesar 1-2 %.

2.3 Etiologi Bronkiolitis


Adapun penyebab dari bronkiolitis adalah sebagai berikut:
1. Infeksi
 Virus: Respiratory Syncytial Virus (RSV) kurang lebih 60-90%,
adenovirus, influenza, parainfluenza virus tipe 1 sampai 3, rhinovirus,
herpes virus, enterovirus.

3
 Bakteri: Mycoplasma pneumonia, H. Influenza, Pneumokokus,
Stafilokokus, dan Streptokokus.
2. Proses Alergi
Bronkiolitis timbul oleh karena reaksi alergi atau defisiensi imunologis, seperti
yang ditemukan oleh:
a. Chanock (1957): pada anak dengan Ig A yang kurang akan
menyebabkan dia mudah terkena infeksi RSV sehingga akan terbentuk
antibodi. Kemudian akan timbul reaksi antigen-antibodi. Ini merupakan
rekasi alergi tipe 3.
b. Gardner (1973): apabila ada infeksi oleh virus (virus sebagai antigen)
akan membentuk reaksi antigen-antibodi, dimana antibodi tersebut
didapatkan dari ibunya. Merupakan reaksi alergi tipe 1.
c. Ross: pada anak dengan sistem imun yang belum sempurna dan
kurangnya imunoglobulin dari ibu maka akan mempermudah timbulnya
infeksi.
d. William dan Phelan: adanya faktor predisposisi terjadinya bronkiolitis
ditambah dengan adanya infeksi RSV maka anak tersebut akan
menderita bronkiolitis.

2.4 Patologi Bronkiolitis


Kelainan patologi pada infeksi yang ringan adalah nekrosis dari epitel dan destruksi
silia dari sel epitel, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit, sel plasma dan
makrofag pada daerah peribronkial. Daerah submukosa menjadi edema tetapi tidak ada
destruksi dari jaringan kolagen maupun elastis. Ditemukan pula kumpulan debris
seluler, fibrin dan mukus plug dalam bronkiolus.
Pada infeksi yang berat juga dapat ditemukan deskuamasi atau nekrosi epitel
sehingga akan banyak ditemukan debris seluler. Sekresi mukus biasanya meningkat.
Nekrosis epitel bersilia akan menyebabkan mekanisme pertahanan akan menurun
sehingga mudah terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Akibat infeksi sekunder ini akan
dapat terjadi nekrosis epitel submukosa dan otot polos.

4
Proses pemulihan dimulai dengan regenerasi dari epitel bronkiolus setelah 3
sampai dengan 5 hari. Tetapi silia belum muncul dalam beberapa waktu, diperkirakan
baru muncul setelah 15 hari. Mukus plug akan dibersihkan oleh makrofag.

2.5 Patofisiologi Bronkiolitis


Invasi virus pada epitel bronkiolus akan menyebabkan respon inflamasi berupa
nekrosis epitel, oklusi bronkial dan penumpukan limfosit peribronkial. Bronkiolus
menjadi edema dan mengalami obstruksi oleh mukus dan selular debris sehingga dapat
menyebabkan kolaps saluran napas bagian distal baik parsial maupun total. Pada
keaadaan ini juga dapat terjadi hiperreaktivitas dari saluran napas. Produksi mukus,
edema saluran napas dan hiperreaktivitas saluran napas dapat menyebabkan
peningkatan resistensi aliran udara.
Berdasarkan Hukum Poiseuille yang menyatakan bahwa resistensi aliran udara
saluran napas berbanding terbalik dengan radius saluran napas pangkat 4 maka adanya
sedikit saja penyempitan lumen saluran napas akan memberikan efek yang cukup besar
pada aliran udara. Selain itu pada anak-anak didapatkan lebih sedikit bronkilolus
terminalis yang berfungsi sebagai sirkuit paralel untuk menurunkan resisitensi saluran
napas.
Peningkatan resistensi aliran udara menyebabkan hipoventilasi dari alveoli dan
penurunan rasio ventilasi-perfusi. Hipoksemia merupakan akibat ketidakserasian antara
ventilasi dan perfusi (V/Q mismatch). Resistensi aliran udara pada saluran napas kecil
meningkat baik pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Tetapi karena radius saluran
napas mengecil selama fase ekspirasi maka terdapat mekanisme klep (ball-valve effect).
Pada mekanisme ini maka udara akan terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada.
Akibat overinflasi maka dapat menyebabkan penurunan daya pengembangan paru dan
peningkatan dead space fisiologis.
Akibat obstruksi saluran napas mengakibatkan tekanan intratorakal menurun
sehingga darah yang ke jantung dan kapiler paru meningkat mengakibatkan terjadinya
ekstravasasi cairan. Hal ini menyebabkan akumulasi cairan di sekitar alveoli dan
saluran napas kecil sehingga dapat menyebabkan edema paru. Edema paru juga dapat
menyebabkan daya pengembangan paru juga berkurang. Akumulasi cairan pada saluran

5
napas kecil juga dapat merangsang reseptor ”J” sehingga mengakibatkan
bronkokonstriksi. Apabila obstruksinya total maka dapat terjadi atelektasis sehingga
menggangu pertukaran udara di paru. Sebagai kompensasinya adalah peningkatan
frekuensi napas.
Total kerja pernapasan telah diteliti dan didapatkan peningkatan sampai 6 kali
anak normal pada penderita bronkiolitis sehingga anak akan capai dan dapat
menyebabkan kegagalan pernapasan.

Bronkiolitis

Produksi mukus Edema Hiperreaktivitas

Peningkatan resistensi aliran udara

V/Q mismatch Hiperinflasi

Penurunan Pa O2 Peningkatan dead space Penurunan daya


Pengembangan paru

Peningkatan frekuensi napas


Peningkatn kerja pernapasan

Kegagalan pernapasan

6
2.6 Manifestasi klinis
Bronkiolitis awalnya ditandai dengan infeksi saluran napas atas dengan gejala pilek
dengan sekret encer, bersin, demam subfebril dan nafsu makan menurun. Hal ini
berlangsung beberapa hari. Kemudian bila sampai di bronkus maka manifestasi
klinisnya ringan oleh karena infeksi pada bronkus minimal. Gejala ini berlangsung
dalam 1 sampai 2 hari.
Setelah RSV sampai di bronkioli maka dapat menyebabkan bronkiolitis dengan
gejala yang ditimbulkan akibat obstruksi yang makin meningkat dalam 2 sampai 3 hari.
Batuk bersifat iritatif, repetitif dan paroksismal. Anak akan menjadi iritabel, sulit tidur
dan sulit makan dan minum. Suhu tubuh dapat kembali normal. Dapat ditemukan nafas
cuping hidung, dispneu dan takikardia. Usaha nafas meningkat (air hunger) dan dapat
terjadi sianosis. Penggunaan otot bantu pernapasan bertambah dan dapat terlihat adanya
retraksi. Pada auskultasi dapat ditemukan ronki basah halus difus pada akhir inspirasi
dan awal ekspirasi. Terdengar suara napas wheezing dan ekspirasi yang memanjang.
Gejala biasanya berlangsung 3 sampai 7 hari dengan adanya perbaikan dalam 3 sampai
4 hari pertama. Secara keseluruhan akan kembali normal dalam 1 sampai 2 minggu.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis umumnya dalam batas normal.
2. Pemeriksaan radiologis
Gambaran radiologis didapatkan hiperinflasi paru, sela iga melebar, penekanan
diafragma dan sudut costoprenikus menyempit. Diameter AP meningkat pada
foto lateral. Kadang-kadang terdapat bercak-bercak perpadatan akibat
atelektasis sekunder akibat obstruksi atau inflamasi bronkus, infiltrasi alveoli
dan gambaran garis-garis linear karena bronkioli yang menebal bersama-sama
yang seringkali tampak sebagai daerah konsolidasi.

2.8 Diagnosis Bronkiolitis


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Umumnya tidak sulit untuk mendiagnosa bronkiolitis oleh karena sifatnya

7
khas yaitu terjadi pada anak kurang dari 2 tahun, didahului oleh gejala infeksi saluran
napas bagian atas kemudian disusul oleh napas cepat dengan mengi dan dapat
ditemukan retraksi dinding dada, dan ditemukan hiperinflasi dengan ronki basah halus
dan difus. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak banyak membantu. Sedangkan
pemeriksaan terhadap RSV itu sendiri sulit dan lama.

2.9 Diagnosa Banding Bronkiolitis


1. Asma bronkiale
Sulit dibedakan dengan bronkiolitis terutama bila terjadi pada usia dibawah 2
tahun. Umumnya asma terjadi pada usia 9 bulan sampai 12 bulan, terbanyak
pada usia lebih dari 2 tahun. Pada penderita asma ditemukan riwayat atopi
dalam keluarga dan serangn biasanya berulang atau episodik. Seringkali tidak
didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas. Ekspirasi memanjang dengan
ronki yang lebih terbatas. Pemeriksaan lab dapat ditemukan eosinofilia dan
biasanya berespon terhadap pemberian bronkodilator.
2. Bronkopneumonia
Pneumonia jarang terjadi pada usia kurang dari 2 tahun, bila penyebabnya
adalah bakteri maka suhu tubuh akan meningkat (febris) dan terdapat
leukositosis. Mengi jarang ditemukan. Pada perkusi dapat ditemukan suara
redup oleh karena konsolidasi. Pada pemeriksaan radiologis ditemukan
konsolidasi atau infiltrat lebih jelas.
3. Bronkitis akut
Gejala obstruksi dan gangguan pertukaran gas tidak begitu nyata atau ringan.
Pada auskultasi ditemukan ronki basah kasar. Bronkitis dapat berkembang
menjadi bronkiolitis.
4. Aspirasi benda asing
Terjadinya mengi biasanya setelah batuk atau tersedak oleh sesuatu. Tidak ada
tanda-tanda infeksi saluran napas bagian atas. Pada auskultasi ditemukan
wheezing yang sifatnya terlokalisir. Didiagnosa dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, bronkoskopi dan juga pemeriksaan radiologis.

8
5. Gagal jantung
Diketahui dengan anamnesis dari perjalanan klinisnya. Biasanya terdapat
gangguan pertumbuhan, kardiomegali pada pemeriksaan radiologis, murmur,
hepatomegali dan kelainan pada EKG.

2.10 Penatalaksanaan
1. Oksigen
Oksigen diberikan dengan konsentrasi 40 %, tujuannya adalah untuk
menanggulangi dispneu, mencegah sianosis dan mengurangi kegelisahan.
Saturasi oksigen dipertahankan pada batas 95 % sampai dengan 98 %.
2. Posisi
Pasien sebaiknya dibaringkan pada posisi setengah duduk atau pada sudut 30o.
3. Terapi cairan
Diberikan terapi cairan pada pasien dengan nafsu makan dan minum yang
berkurang dan pada pasien yang kondisinya lemah.
4. Bronkodilator
Penggunaan bronkodilator ß2-agonis pada bronkiolitis masih kontroversial.
Menurut penelitian Klassen dkk menggunakan rancangan double-blind dan
mendapatkan hasil bahwa penggunaan salbutamol pada pasien bronkiolitis
dapat memperbaiki keadaan klinis pasien.
5. Adrenalin rasemik
Berdasarkan penelitian Kristjansson dkk mendapatkan bahwa penggunaan
adrenalin rasemik dapat memperbaiki oksigenasi dan mengurangi gejal klinis
pada anak dengan umur di bawah 18 bulan.
6. Ribavirin
Penggunaan ribavirin masih kontroversial. Ribavirin ini merupakan analog
nukleosida, mempunyai efek penghambatan terhadap sintesis protein pada
virus.
7. Kortikosteroid
Injeksi deksametasone bersamaan dengan inhalasi salbutamol dapat
memperbaiki keadaan klinis tetapi penggunaannya masih kontroversial.

9
8. Antibiotika
Diberikan antibiotika spektrum luas. Penggunaan antibiotika agak kurang
rasional, tetapi karena sulitnya diagnosis untuk mengidentifikasi virus penyebab
dan ketidakpastian tentang penyebabnya maka antibiotika dapat diberikan.

2.11 Prognosis
Prognosis pasien dengan bronkiolitis biasanya baik. Kematian terjadi kurang dari 1 %
dari seluruh penderita. Kematian biasanya oleh karena apneu yang berkepanjangan,
dehidrasi berat atau bila ada kelainan seperti penyakit jantung bawaan dan
imunodefisiensi.

2.12 Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan mengurangi kontak
dengan anak yang sakit. Pasien yang menjalani rawat inap seharusnya ditempatkan di
di ruang isolasi untuk mencegah penyebaran infeksi nosokomial.
The American Academy of Pediatrics merekomendasikan penggunaan RSV
imunoglobulin sebagai profilaksis pada anak dengan risiko terkena infeksi RSV
termasuk diantaranya adalah bayi prematur, anak dengan displasia bronkopulmonar dan
pada anak yang mengalami immunocompromised. Penggunaan RSV-IGIV 750
mg/kgBB/bulan terutama pada bulan Oktober sampai April dapat menurangi insiden
rawat inap 41-63 %.
Palivizumab, antibodi monoklonal manusia terhadap RSV, masih dipelajari
sebagai profilaksis terhadap infeksi RSV. Dari hasil penelitian didapatkan penurunan
angka insiden MRS 10,6 % pada kelompok yang mendapat plasebo dan 4,8 % pada
kelompok yang mendapat palivizumab (menurun 55 % dari seluruh pasien yang
menjalani rawat inap oleh karena infeksi RSV).

10
11

Anda mungkin juga menyukai