PENDAHULUAN
1
bervariasi maka pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-
masing individu.
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari SLE
2. Untuk mengetahui etiologi dari SLE
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari SLE
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari SLE
5. Untuk mengetahui komplikasi dari SLE
6. Untuk mengetahui evaluasi diagnostik dari SLE
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dan keperawatan dari SLE
8. Untuk mengetahui WOC dari SLE
2
1.4 MANFAAT
Dengan makalah ini diharapkan mahasiswa mampu memahami asuhan
keperawatan pada pasien dengan Lupus Eritomatosus Sistemik (LES) serta mampu
mengimplementasikan dalam proses keperawatan.
3
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN
2.1 INSIDEN
SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika-Amerika,
Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika,pravelensi SLE sekitar kira-kira 1 kasus per
2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels,2006). Prevalensi
penderita SLE Cina adalah 1 : 1000 (Isenberg dan Horsfall,1998). Meskipun bangsa
Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit
ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di
Inggris,SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi,sedangkan di Swedia
39 kaus per 100.000 populasi. Di New Zaeland,prevalensi penyakit ini pada Polynesian
sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada
orang kulit putih (Bartels,2006). Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat
belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu
1.500.000 orang ( Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey,data morbiditas
penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan
prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoarthritis, rheumatoid
arthritis, danlow back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan
Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia.
2.2 PENGERTIAN
SLE (Sistemics Lupus Erythematosus) atau LES (Lupus Eritematosus Sistemik)
adalah penyakit radang atau imflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena
adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003).
Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit autoimun artinya
tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, yang akhirnya merusak organ
tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit dan
4
organ lain. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang
masuk ke dalam tubuh.
Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan
organ tubuh yang sehat dengan kata lain, sistem imun yang terbentuk berlebihan.
Kelainan ini dikenal dengan autoimunitas. Pada satu kasus penyakit ini bisa membuat
kulit seperti ruam merah yang rasanya terbakar (lupus DLE). Pada kasus lain ketika
sistem imun yang berlebihan itu menyerang persendian dapat menyebabkan kelumpuhan
(lupus SLE).
SLE (Sistemics Lupus Erythematosus) adalah penyakit radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan
atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoimun
dalam tubuh.
2.3 ETIOLOGI
1. Faktor Genetik
Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit
SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative)
yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%)
lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama
HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal
reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen
yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003).
2. Faktor Lingkungan
Pada Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang
mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan
sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit.
5
SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan
protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh
membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing
tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang
mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T
dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus
dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme
menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit
nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).
2.4 PATOFISIOLOGI
Penyakit Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) tampaknya terjadi akibat
terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibody yang
berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor
genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat
tertentu seperti hidralazin (apresoline), prokainamid (pronestyl), isoniazid, klorpromazin
dan beberapa preparat anti konvulsan. Disamping makanan seperti kecambah alfalfa turut
terlibaat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibody diperkirakan terjadi akibat fungsi
sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang
antibody tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali.
6
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada
penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnya yang tidak diketahui)
menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya
penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari
penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan
masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ,
tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
1) Sistem Muskuloskeletal
a. Artralgia.
b. Artritis (Sinovitis).
c. Pembengkakan sendi.
d. Nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak.
e. Rasa kaku pada pagi hari.
2) Sistem Integument (Kulit)
a. Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi.
b. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3) Sistem Kardiak
a. Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4) Sistem pernafasan
a. Pleuritis atau efusi pleura.
5) Sistem vaskuler
a. Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler.
b. Eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6) Sistem perkemihan
a. Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7) Sistem saraf
7
a. Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh
bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
2.6 KOMPLIKASI
a. Gagal Ginjal
b. Kerusakan Jaringan Otak
c. Infeksi Sekunder
8
tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya
inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
b) Tes Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah
sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup
sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita
SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan
penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan
penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak
lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien
belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes
laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes
serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE.
ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-
SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Ruam kulit atau lesi yang khas.
b. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
c. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan
pleura atau jantung.
9
d. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5
mg/hari atau +++.
e. Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
f. Biopsi ginjal.
g. Pemeriksaan saraf.
10
2.9 WOC (WAY OF CAUTION)
Genetik, kuman/virus, sinar ultraviolest, obat-obatan tertentu
Penyakit lupus
Ketidakefektifan
Kerusakan Intoleransi
Pola Nafas
Integritas Aktivitas
Kulit
11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
12
7. Sistem Vascular
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous
dan purpura diujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria
9. Sistem Saraf
Sering terjadi depresi dan sikosis, juga serangan kejang-kejang, korea, ataupun
manifestasi sistem saraf pusat lainnya.
3.3 INTERVENSI
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fotosensitif, ruam kulit dan
alopesia.
Tujuan : masalah kerusakan integritas kulit teratasi
Kriteria hasil :
Menunjukan tingkah laku untuk mencegah kerusakan kulit /meningkatkan
kesembuhan
Menunjukan kemajuan pada luka / penyembuhan lesi.
Intervensi Rasional
Mandiri
13
1) Kaji kulit setiap hari, catat warna, 1) Untuk merencanakan intervensi yang
turgor, sirkulasi, dan sensasi, tepat
gambarkan lesi dan amati perubahan
2) Pertahankan higine kulit, misalnya : 2) Mempertahankan kebersihan karena
membasuh kemudian mengeringkannya kulit yang kering dapat menjadi barier
dengan hati hati dan melakukan masase infeksi. Pembasuhan kulit kering sebgai
dengan lotion atau krim ganti menggaruk menurunkan resiko
trauma dermal. Masase meningkatkan
sirkulasi kulit dan meningkatkan
kenyamanan.
3) Pertahankan seprai bersih, kering dan 3) Friksi kulit disebabkan oleh kain yang
tidak berkerut. berkerut dan basah yang menyebabkan
iritasi dan potensial terhadap infeksi
4) Secara teratur ubah posisi, ganti seprai 4) Meningkatkan aliran darah kejaringan
sesuai kebutuhan dan meningkatkanproses kesembuhan
5) Tutupi luka tekan yang terbuka dengan 5) Dapat mengurangi kontaminasi bakteri,
pembalut yang steril meningkatkan proses penyembuhan.
Kolaborasi
1) Kolaborasi dalam pemberian obat-obat 1) Digunakan pada perawatan lesi kulit.
topikal atau sistemik sesuai indikasi
14
Melaporkan penurunan gejala-gejala intoleran aktivitas.
Intervensi Rasional
Mandiri
1) Kaji respon pasien terhadap aktivitas 1) untuk mengetahui adanya ADL
2) Kaji pasien untuk aktivitas dan prioritas 2) untuk mengembangkan rutinitas kegiatan
sehari-hari secara sempurna
3) Ajarkan teknik penyimpanan energi 3) untuk menyelesaikan sesuatu sebanyak
seperti duduk di saat mencuci piring , mungkin dengan meminimalkan pengeluaran
mendapat bantuan dari orang lain energi
4) Libatkan keluarga dalam rencana 4) untuk meningkatkan dukungan kepada
keperawatan pasien dan keluarga mengerti tentang
penyakit dan komplikasi.
5) Ajarkan teknik medikasi dan yoga 5) untuk mengurangi stres
6) Anjurkan pasien untuk istirahat teratur 6) untuk sementara mengembalikan efek dari
dan sesuai dengan yang dibutuhkan keletihan.
15
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru akibat
adanya penumpukan cairan dalam rongga pleura
Tujuan : pasien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal
Kriteria hasil : Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal,
bunyi nafas terdengar jelas
Intervensi Rasional
Mandiri
1) Kaji kedalaman pernafasan 1) mengetahui sejauh mana perubahan kondisi
pasien
2) Berikan posisi semi fowler 2) memaksimalkan ekspansi paru
3) Ajarkan teknik relaksasi 3) untuk memperbaiki pola nafas
Kolaborasi
1) Kolaborasi dengan tim medis untuk 1) pemberian oksigen dapat menurunkan
memberikan O2 beban pernafasan dan mencegah terjadinya
sianosis akibat hipoksia
3.4 IMPLEMENTASI
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah di susun pada tahap perencanaan. Ukuran intervensi keperawatan yang diberikan
kepada klien terkait dengan dukungan, pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi,
pendidikan untuk klien-keluarga, atau tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang
muncul dikemudian hari.
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana
tindakan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri, yaitu aktivitas perawat
yang didasarkan pada kemampuan sendiri dan buakn merupakan petunjuk atau perintah
dari petugas kesehatan. Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil
keputusan bersama seperti dokter dan petugas kesehatan lain.
16
3.5 EVALUASI
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Dari penjelasan dalam makalah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa SLE
(Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan interaksi
kompleks antar faktor genetik, dan faktor lingkungan, yang semuanya dianggap ikut memainkan
peran untuk menimbulkan aktivitasi hebat sel B, sehingga menghasilkan pembuatan berbagai
autoantibody polispesifik.
Selain itu, pada banyak penderita SLE gambaran klinisnya membingungkan. Tampaknya
semacam penyakit dengan demam yang tidak jelas asalnya, temuan urine yang abnormal atau
penyakit sendi yang menyamar sebagai arthritis rematoid atau demam rheumatic.
4.2 SARAN
Sebaiknya apabila ada salah satu anggota keluarga atau saudara kita terkena penyakit
SLE dan sedang menjalani pengobatan, lebih baik jangan dihentikan. Karena, apabila dihentikan
maka penyakit akan muncul kembali dan kumat lagi. Apabila didiagnosis lebih awal dan
pengenalan terhadap bentuk penyakit ini ketika masih ringan.
17
18