Anda di halaman 1dari 8

TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

“Riparian Dan Konsep Riparian”

Disusun oleh:
Erni Kasanah 165040207111024 (Kelas F)
Yudistira Aryandika P 165040207111024 (Kelas F)
Yosy Melinda 165040200111112 (Kelas F)
Krisma Kumala Sari 165040201111007 (Kelas F)
Moh. Nur Qosim 165040201111158 (Kelas F)
Dennis Indrawan 165040207111078 (Kelas F)

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
A. Riparian Dan Konsep Riparian

Riparian berasal dari bahasa Latin riparius. Menurut Kamus Webster, riparian artinya “milik
tepi sungai”. Istilah riparian secara umum menggantikan bahasa Latin tersebut. Riparian biasanya
menggambarkan komunitas biotik yang menghuni tepian sungai, kolam, danau dan lahan basah
lainnya (Naiman et al. 2000 dalam Siahaan 2012). Istilah riparian untuk menekankan pada
perpaduan biotik dari zona transisi akuatik-teresterial yang berasosiasi dengan air mengalir. Pada
dasarnya tetap menyebutkan bahwa riparian adalah ekosistem peralihan antara ekosistem akuatik
dan teresterial. Ekosistem peralihan antara daratan dan perairan ini disebut ekoton.

Peneliti menggunakan beberapa istilah yang merujuk ke riparian yaitu hutan riparian,
riparian rheophyt, koridor sungai, ekosistem riparian, lahan basah riparian, zona riparian (riparian
zone), area riparian, tepian sungai (river-margin), dan riparian buffer. Riparian terletak mulai dari
zona banjir di dekat sungai hingga ke daratan mesik. Daratan mesik adalah tepian sungai yang
lembab akibat kadangkala terkena banjir pada waktu singkat atau saat hujan deras (Langdon et al.
1981 dalam Siahaan, 2012). Secara umum, Mitsch dan Gosselink (1993) dalam Siahaan, (2012)
mendefinisikan ekosistem riparian adalah daratan yang berada di dekat sungai atau badan air
lainnya yang paling tidak secara periodik dipengaruhi oleh banjir. Ekosistem riparian ditemukan
di mana ada sungai yang pada saat tertentu terkena disebabkan banjir yang meluap melampaui
badan/saluran sungai. Riparian dapat berupa lembah aluvial yang besar dengan lebar puluhan
kilometer di daerah basah atau vegetasi tepian sungai dengan lebar sempit di daerah kering.
Karakteristik riparian yaitu air yang melimpah dan kaya akan tanah aluvial (Brinson et al.1981
dalam Siahaan 2012).
Penyangga riparian berfungsi untuk menjaga kelestarian fungsi sungai dengan cara menahan
atau menangkap tanah (lumpur) tererosi serta unsur unsur hara dan bahan kimia termasuk pestisida
yang terbawa, dari lahan dibagian kiri dan kanan sungai agar tidak sampai masuk sungai.
Penyangga riparian juga berfungsi menstabilkan tebing sungai. Pohonan yang ditanam
disepanjang sungai juga lebih mendinginkan air sungai yang menciptakan lingkungan yang baik
bagi pertumbuhan berbagai jenis binatang air (Hidayatullah, 2011).
Konsep restorasi riparian sungai ini dilakukan dengan dengan pendekatan ekologi dan
hidraulik, yang dikenal dengan konsep eko-hidraulik. Konsep eko-hidraulik merupakan konsep
integral dalam pengelolaan sungai yang mempertimbangkan aspek ekologi dan hidrolika secara
sinergis (Maryono 2014). Menurut Noviandi (2016), konsep ini memandang sungai sebagai suatu
kesatuan ekosistem dengan komponen biotik dan abiotik di dalamnya yang saling
terhubung.Penerapan konsep ini dapat dilakukan pada riparian atau sempadan sungai itu sendiri.
Beberapa penerapan konsep eko-hidraulik pada riparian sungai misalnya:
1. Penanaman kembali (revegatation) kawasan riparian sungai
Penanaman pada riparian dilakukan dengan menggunakan tanaman lokal yang sesuai
atau sudah ada sebelumnya pada kawasan riparian. Penggunaan tanaman lokal sangat
diutamakan karena sangat sesuai dengan lingkungan riparian sebagai habitatnya.
Tumbuhan pada riparian dapat memperkuat lereng sehingga bahaya longsor dapat
dikurangi.

2. Pelebaran bantaran banjir (flood plain)


Pelebaran bantaran banjir atau riparian sungai bertujuan untuk menambah ruang retensi
air air ketika debit tinggi. Daerah bantaran banjir (flood plain) yang telah berubah
menjadi lahan pertanian atau dibuat talud, dapat direnaturalisasi dengan membuka
kembali talud (tanggul) yang ada dan menggantinya dengan vegetasi atau tumbuhan
alami riparian.

3. Pembuatan eco-engineering pada tebing sungai


Konsep eco-engineering merupakan konsep yang bertujuan untuk memperkuat tebing
sungai dari ancaman erosi dengan menggunakan material alami. Beberapa alternatif
material yang dapat digunakan seperti batang pohon, ranting, formasi batu kali ataupun
ikatan batang pohon dan ranting yang dikombinasikan dengan batu dan tanah.
Penggunaan material alami akan lebih ramah lingkungan sehingga tidak merusak
ekosistem pada riparian.
4. Inisiasi pembentukan meander sungai
Konsep pembentukan kelokan sungai atau meander ditujukan pada sungai-sungai yang
telah mengalami pelurusan atau normalisasi. Teknik ini dapat dilakukan dengan
penanaman tumbuhan riparian atau peletakan struktur (seperti bronjong) secara
berselang-seling, sehingga aliran air sungai akan mengalir secara berkelok kembali.
Dengan mengembalikan bentuk sungai yang berkelok-kelok, daya retensi terhadap air
akan meningkat sehingga kecepatan air limpasan menuju hilir dapat dikurangi.

5. Pembuatan river side polder


Pembuatan river side polder ini diawali dengan memperlebar bantaran sungai. Polder
atau cekungan yang dapat menampung air dapat dibuat pada bantaran yang telah
diperlebar. Cekungan ini dapat terisi oleh air sehingga arus air dapat ditahan dan tidak
mengalir begitu saja menuju hilir. Selain itu, polder ini juga berfungsi sebagai
penampung air, sehingga pada fluktuasi debit air pada musim kemarau dan musim hujan
tidak terlalu signifikan.
B. Contoh penerapan Strip riparian yang ada di Indonesia

Contoh 1: penerapan berbagai tanaman penyangga di bantaran sungai Jakarta dengan


pengamatan berupa habitat tanaman yang tersedia.
Penelitian yang pernah dilakukan lebih menunjukkan pada pentingnya penggunaan tanaman
penyangga dalam mempertahankan kondisi tanah dan keseimbangan ekosistem yang ada didaerah
tersebut. Pada kasus ini yang diteliti pengaruhnya adalah pada daerah Jakarta, dengan pemetaan
sebagai berikut.

Peranan pada tiap habitat yang telah ditentukan menunjukkan hasil yang berbeda-beda,
dengan kemampuan penyaring/filter yang teraik dilakukan oleh habitat 1 sebagaimana ditunjukkan
dalam gambar.

Dari hasil pencacahan pohon induk, diketahui bahwa jumlah tanaman induk yang terdapat
pada masing-masing habitat berbeda-beda, yaitu:
Habitat-1 tercatat 65 pohon, terdiri dari enam jenis meliputi Gluta renghas (3 individu),
Antidesma bunius (12 individu), Bridelia minutriflora (24 individu), Sandoricum koetjape (6
individu), Syzygium poliantum (13 individu), dan Pterospernun javanicum (7 individu); sedangkan
anakan yang dijumpai tercatat 76 plances meliputi Gluta renghas (7 individu), Antidesma bunius
(11 individu), Bridelia minutriflora (8 individu), Sandoricum koetjape (24 individu), Syzygium
poliantum (18 individu), dan Pterospernun javanicum (8 individu);
Pada Habitat-2 tercatat 28 pohon induk terdiri dari 10 jenis meliputi; Gluta renghas (1
individu), Pithecelobium umbelatum (3 individu), Antidesma bunius (5 individu), Sandoricum
koetjape (1 individu), Syzygium poliantum (3 individu), Mellia acedarata (4 individu),
Pithecelobium umbelatum (2 individu), Bonea macrophylla (1 individu), Trema orientalis (6
individu). dan Pterospernun javanicum (2 individu); sedangkan anakan yang dijumpai tercatat 151
plances, meliputi; Gluta renghas (6 individu), Pithecelobium umbelatum (11 individu), Antidesma
bunius (13 individu), Sandoricum koetjape (21 individu), Syzygium poliantum (27 individu),
Mellia acedarata (19 individu), Pithecelobium umbelatum (17 individu), Bonea macrophylla (5
individu), Trema orientalis (23 individu), dan Pterospernun javanicum (9 individu);
Menurut Grime (1981), dijumpainya pohon induk dan anakan, pada komunitas tumbuhan
merupakan strategi reproduksi bagi tetumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya,
sedangkan Risser (1990) menyatakan bahwa daya pencar (dispersal) pohon induk merupakan
proses regenerasi secara alami (permudaan alam).
Bentang alam vegetasi riparian sebagai koridor dalam lansekap ekologi perkotaan yang
mengakomodasikan keseluruhan daerah riparian dan pertimbangan efek tepi (edge effect),
walaupun peranan fungsi ekosistemnya telah terganggu sebagai akibat okupasi penduduk, masih
mampu memberikan peranan fungsinya atas; (a) Jasa biologis, mampu berperan sebagai penyaring
hara nutrien, sifat fisik-kimia dan tanah, kemampuan dalam strategi regenerasi melalui daya pencar
pohon induk; serta mampu sebagai penyedia dan sumber pakan satwa liar; (b) jasa ekologis,
berperan sebagai filtrer penyaring sifat fisik dan kimia tanah dan air; kemampuan daya pencar;
serta sebagai daya dukung habitat kehidupan satwa liar, dan (c) peran jasa hidrologis sebagai
pengaturan tata air tanah, termasuk evapotranspirasi, infiltrasi dan mengendalikan besaran laju
limpasan air.
Terganggunya peranan fungsi ekosistem bantaran sungai, pada dasarnya merupakan
resultante dari interaksi terdegradasinya dua komponen utama yaitu; habitat, dan potensi
sumberdaya hayati; hingga manfaat fungsi sebagai sistem penyangga kehidupan dan
pengawetannya, menjadi terganggu. Untuk itu upaya konservasi yang harus dilakukan mampu
memaksimalkan manfaat vegetasi riparian atas peranan fungsi jasa Bio-hidro-ekologis melalui
pengaturan tata ruang wilayah, dan mengakomodasikan tiga prinsip yang erat kaitannya dengan;
pelestarian manfaat (sustainability fuction), berkelanjutan ekologi (ecolocal sustainability), dan
berkelanjutan sosial (social sustainability). Terwujudnya kedua pendekatan tersebut, akan mampu
menjamin kelestarian peranan fungsi ekosistem bentang alam bantaran sungai dalam
pembangunan berkelanjutan dalam jangka waktu yang relatif tidak terbatas.

Contoh 2: Contoh Pertanaman Lorong Di Berbagai Daerah


Penelitian-penelitian tentang penanaman tanaman secara lorong (Puslittanak,1991)
menyimpulkan, bahwa sistem budidaya lorong merupakan salah satu cara untuk mempertahankan
produktivitas lahan kering yang miskin hara dan mempunyai KTK yang rendah. Suwardjo et al.
(1987) melaporkan bahwa kandungan bahan organik tanah Podsolik di Jambi, Sumatera meningkat
dari 1,8% menjadi 2,2% setelah 1 tahun ditanami dengan tanaman lorong Flemingia atau yang
sering disebut dengan tanaman pagar. Pada tahun kedua kandungan bahan organik semakin
bertambah dengan nilai 2,8%. Sistem pertanaman lorong juga dapat mempertahankan sifat fisik
tanah dan hasil tanaman pangan dalam jangka panjang. Dari hasil kajiannya pada penerapan
pertanaman lorong (Alley cropping) di beberapa negara yang tergabung dalam ASIALAND
sloping land project yang meliputi Indonesia, Phillipines, Laos dan Vietnam, Irawan (2002)
melaporkan bahwa alley croppingmampu mengurangi kehilangan hara akibat erosi senilai US $
4,1-85,5/ ha/tahun. Flemingia mempunyai kemampuan yang tinggi untuk tumbuh dan bertunas
sehingga menghasilkan hasil pangkasan yang cenderung terus meningkat. Hasil pangkasan ini
merupakan sumber bahan organik yang sangat penting. Dari reklamasi yang dilaksanakan pada
tahun 1970 dan evaluasinya pada tahun 1984 pada tanah berskeletal vulkanik Gunung Merapi di
Kali Gesik, Jawa Tengah.
Sukmana et al.(1985) melaporkan bahwa setelah 14 tahun direklamasi dengan Flemingia
congesta mampu menghasilkan serasah (kering udara) sebanyak 5,6 t/ha. Biomassa ini
memberikan kontribusi terhadap peningkatan bahan organik tanah 2,65% yang sebelum
direklamasi tidak mengandung bahan organik. Dibandingkan dengan vegetasi alami, Flemingia
sangat besar kontribusinya dalam peningkatan bahan organik tanah. Bahan organik ini sangat
penting dalam peningkatan kapasitas tanah menahan air (water holding capacity).

Dari data tersebut, diketahui bahwa berbagai macam tanaman legume dalam system
budidaya tanaman lorong menunjukkan hasil yang berbeda-beda terhadap kondisi tanah dan
ketersediaan air yang ada. Berikut ini merupakan berbagai jenis tanaman yang mampu digunakan
sebagai tanaman lorong/tanaman pagar yang mampu menambahkan unsur hara ke daam tanah,
serta memperbaiki kondisi kesuburan tanah.
Daftar pustaka
Hidayatullah, Y.S. 2011. Laju Aliran Dan Erosi Permukaan Di Lahan Hutan Tanaman Kayu Jati
(Tectona Grandis, L.F) Dengan Berbagai Tindakan Konservasi Tanah Dan Air. Intitut
Pertanian Bogor.
Irawan. 2002. Investment analysis of Alley cropping for sustainable farming of sloping lands. p.
51-62. In Proceedings Management of Sloping Lands for Sustainable Agriculture Final
Report of Asialand Sloping. Land Project, Phase 4.
Maryono A. 2014. Menangani Banjir, Kekeringan, dan Lingkungan. Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Press.
Noviandi, T. U. Z. 2016. Manajemen Lanskap Riparian sebagai Strategi Pengendalian Ruang
Terbuka Biru pada Sungai Ciliwung. Intitut Pertanian Bogor.
Puslittanak. 1991. Laporan Tahunan 1988/1989. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Siahaan, Ratna.2012. Peranan Vegetasi Riparian Dalam Mempertahankan Kualitas Air Sungai
Cisadane. Intitut Pertanian Bogor.
Subagyono, K., T. Vadari, Sukristiyonubowo, R.L. Watung, and F. Agus. 2004. Land Management
for Controlling Soil Erosion at Micro catchment Scale in Indonesia. p. 39-81. In Maglinao,
A.R. and C. Valentin (Eds.) Community-Based Land and Water Management Systems for
Sustainable Upland Development in Asia: MSEC Phase 2. 2003 Annual Report.
International Water management Institute (IWMI). Southeast Asia Regional Office.
Bangkok. Thailand.
Sukmana, S., H. Suwardjo, A. Abdurachman, and J. Dai. 1985. Prospect of Flemingia congesta
Roxb. for reclamation and conservation of volcanic skeletal soils. Pembrit. Penel. Tanah dan
Pupuk 4:50-54
Suwardjo, H., Z. Kadir, dan A. Abdurachman. 1987. Pengaruh cara pemanfaatan sisa tanaman
terhdap kadar bahan organik dan erosi pada tanah Podsolik Merah Kuning di Lampung.
hlm. 409-424 dalam Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah. Cipayung, 21-23
Februari 1984. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai