PEMBAHASAN
A. Evaluasi Kurikulum
Pemahaman mengenai pengertian evaluasi kurikulum dapat berbeda-beda sesuai
dengan pengertian kurikulum yang bervariasi menurut para pakar kurikulum. Oleh karena itu
penulis mencoba menjabarkan definisi dari evaluasi dan definisi dari kurikulum secara per kata
sehingga lebih mudah untuk memahami evaluasi kurikulum.
Pengertian evaluasi menurut joint committee, 1981 ialah penelitian yang sistematik
atau yang teratur tentang manfaat atau guna beberapa obyek. Purwanto dan Atwi Suparman,
1999 mendefinisikan evaluasi adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan
data yang valid dan reliabel untuk membuat keputusan tentang suatu program. Rutman and
Mowbray 1983 mendefinisikan evaluasi adalah penggunaan metode ilmiah untuk menilai
implementasi dan outcomes suatu program yang berguna untuk proses membuat keputusan.
Chelimsky 1989 mendefinisikan evaluasi adalah suatu metode penelitian yang sistematis untuk
menilai rancangan, implementasi dan efektifitas suatu program.
Dari definisi evaluasi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi adalah penerapan
prosedur ilmiah yang sistematis untuk menilai rancangan, implementasi dan efektifitas suatu
program. Sedangkan pengertian kurikulum adalah sebagai berikut:
a) Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Pasal 1 Butir 19 UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional);
b) Menurut Grayson (1978), kurikulum adalah suatu perencanaan untuk mendapatkan
keluaran (out-comes) yang diharapkan darisuatu pembelajaran. Perencanaan tersebut
disusun secara terstruktur untuk suatu bidang studi, sehingga memberikan pedoman
dan instruksi untuk mengembangkan strategi pembelajaran (Materi di dalam kurikulum
harus diorganisasikan dengan baik agar sasaran (goals) dan tujuan (objectives)
pendidikan yang telah ditetapkan dapat tercapai;
c) Sedangkan menurut Harsono (2005), kurikulum merupakan gagasan pendidikan yang
diekpresikan dalam praktik. Dalam bahasa latin, kurikulum berarti track atau jalur
pacu.
Saat ini definisi kurikulum semakin berkembang, sehingga yang dimaksud kurikulum
tidak hanya gagasan pendidikan tetapi juga termasuk seluruh program pembelajaran yang
terencana dari suatu institusi pendidikan.
Dari pengertian evaluasi dan kurikulum di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pengertian evaluasi kurikulum adalah penelitian yang sistematik tentang manfaat, kesesuaian
efektifitas dan efisiensi dari kurikulum yang diterapkan. Atau evaluasi kurikulum adalah
proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliable untuk
membuat keputusan tentang kurikulum yang sedang berjalan atau telah dijalankan. Evaluasi
kurikulum ini dapat mencakup keseluruhan kurikulum atau masing-masing komponen
kurikulum seperti tujuan, isi, atau metode pembelajaran yang ada dalam kurikulum tersebut.
Secara sederhana evaluasi kurikulum dapat disamakan dengan penelitian karena evaluasi
kurikulum menggunakan penelitian yang sistematik, menerapkan prosedur ilmiah dan metode
penelitian. Perbedaan antara evaluasi dan penelitian terletak pada tujuannya. Evaluasi
bertujuan untuk menggumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk bahan penentuan
keputusan mengenai kurikulum apakah akan direvisi atau diganti. Sedangkan penelitian
memiliki tujuan yang lebih luas dari evaluasi yaitu menggumpulkan, menganalisis dan
menyajikan data untuk menguji teori atau membuat teori baru.
Evaluasi kurikulum merupakan salah satu komponen kurikulum yang perlu dikuasai
oleh guru sebagai pelaksana kurikulum. Bagian-bagian berikut dari modul ini akan
difokuskan pada uraian tentang evaluasi dalam fase pengembangan kurikulum -- tujuannya,
berbagai konsep/model evaluasi yang pernah dikembangkan, tinjauan masing-masing
konsep/model, dan akhirnya model evaluasi yang disarankan. Sebagai seorang guru Anda
tentunya harus memahami betul mengapa suatu kurikulum harus dievaluasi dan apa yang
menjadi tujuan dari evaluasi kurikulum
B. Tujuan Evaluasi Kurikulum
Diadakannya evaluasi di dalam proses pengembangan kurikulum dimaksudkan untuk
keperluan :
1. Perbaikan Program
Dalam konteks tujuan ini, peranan evaluasi lebih bersifat konstruktif, karena informasi
hasil evaluasi dijadikan input bagi perbaikan yang diperlukan di dalam program kurikulum
yang sedang dikembangkan. Disini evaluasi lebih merupakan kebutuhan yang datang dari
dalam sistem itu sendiri karena evaluasi itu dipandang sebagai faktor yang memungkinkan
dicapainya hasil pengembangan yang optimal dari sistem yang bersangkutan.
2. Congruence (penyesuaian)
Evaluasi pada dasarnya merupakan pemeriksaan kesesuaian atau congruenceantara tujuan
pendidikan dan hasil belajar yang dicapai, untuk melihat sejauh mana perubahan hasil
pendidikan telah terjadi. Hasil evaluasi diperlukan dalam rangka penyempurnaan program,
bimbingan pendidikan dan pemberian informasi kepada pihak-pihak di luar pendidikan.
Obyek evaluasi dititik beratkan pada hasil belajar dalam bentuk kognitif, psikomotorik
maupun nilai dan sikap. Jenis data yang dikumpulkan adalah data obyektif khususnya skor
hasil tes.Dalam kegiatan evaluasi, cenderung ditempuh pendekatan/cara-cara berikut:
Menggunakan prosedur pre-and post-assessment dengan menempuh langkah-
langkah pokok sebagai berikut: penegasan tujuan, pengembangan alat evaluasi,
dan penggunaan hasil evaluasi.
Analisis hasil evaluasi dilakukan secara bagian demi bagian.
Teknik evaluasi menackup tes dan teknik-teknik evaluasi lainnya yang cocok
untuk menilai berbagai jenis perilaku yang terkandung dalam tujuan.
Kurang menyetujui diadakannya evaluasi perbandingan antara dua atau lebih
program.
3. Illumination (penerangan/penyempurnaan)
Evaluasi pada dasarnya merupakan studi mengenai pelaksanaan program, pengaruh
faktor lingkungan, kebaikan-kebaikan dan kelemahan program serta pengaruh program
terhadap perkembangan hasil belajar. Evaluasi lebih didasarkan pada judgment
(pertimbangan) yang hasilnya diperlukan untuk penyempurnaan program. Obyek evaluasi
mencakup latar belakang dan perkembangan program, proses pelaksanaan, hasil belajar
dan kesulitan-kesulitan yang dialami. Jenis data yang dikumpulkan pada umumnya data
subyektif (judgment data) Dalam kegiatan evaluasi, cenderung ditempuh pendekatan/cara-
cara berikut:
Menggunakan prosedur yang disebut Progressive focussing dengan langkah-
langkah pokok: orientasi, pengamatan yang lebih terarah, analisis sebab-akibat.
Bersifat kualitatif-terbuka, dan flesksibel-eklektif.
Teknik evaluasi mencakup observasi, wawancara, angket, analisis dokumen
dan bila perlu mencakup pula tes.
2. Congruence
Konsep ini telah menghubungkan kegiatan evaluasi dengan tujuan untuk mengkaji
efektivitas kurikulum yang sedang dikembangkan. Dengan kata lain, konsep congruenceini
telah memperlihatkan adanya “high degree of integration with the instructional process.”
Dengan mengkaji efektivitas kurikulum dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan, hal ini akan memberikan balikan kepada pengembang kurikulum tentang
tujuan-tujuan mana yang sudah dan yang belum dicapai. Hasil evaluasi yang diperoleh
tidak bersifat relatif karena selalu dihubungkan dengan tujuan yang hendak dicapai sebagai
kriteria perbandingan. Kelemahan dari konsep ini terletak pada ruang lingkup evaluasinya.
Sekalipun tujuan evaluasi diarahkan pada kepentingan penyempurnaan program
kurikulum, tapi konsep ini tidak menjadikan input dan proses pelaksanaan sebagai obyek
langsung evaluasi. Yang dijadikan perhatian oleh konsep ini adalah hubungan antara tujuan
dan hasil belajar. Faktor-faktor penting yang terdapat diantara tujuan dan hasil yang dicapai
kurang mendapat perhatian, padahal yang dimensi akan disempurnakan justru adalah
faktor-faktor tersebut yaitu input dan proses belajar-mengajar, yang keseluruhannya akan
menciptakan suatu tipe pengalaman belajar tertentu. Masih berhubungan dengan persoalan
ruang lingkup evaluasi di atas, pelaksanaan evaluasi dari konsep ini terjadi pada saat
kurikulum sudah selesai dilaksanakan, dengan jalan membandingkan antara hasil pretest
dan posttest. Sebagai akibatnya informasi yang dihasilkan hanya dapat menjawab
pertanyaan tentang tujuan-tujuan mana yang telah dan yang belum dapat dicapai.
Pertanyaan tentang mengapa tujuan-tujuan tertentu belum dapat dicapai, sukar untuk dapat
dijawab melalui informasi perbedaan pretest dan posttest. Dengan kata lain, pendekatan
yang digunakan oleh konsep ini menghasilkan suatu teknik evaluasi yang sifatnya
terminal/postfacto. Pendekatan semacam ini memang membantu pengembang kurikulum
dalam menentukan bagian-bagian mana dari program yang masih lemah, tapi kurang
membantu di dalam mencari jawaban tentang segi-segi apanya yang masih lemah dan
bagaimana kemungkinan mengatasi kelemahan tersebut. Terlepas dari beberapa
kelemahan di atas, konsep ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi
perkembangan konsep evaluasi kurikulum, khususnya dalam usaha :
menghubungkan hasil belajar dengan tujuan-tujuan pendidikan sebagai kriteria
perbandingan; dan
memperkenalkan sistem pengolahan hasil evaluasi secara bagian demi bagian,
yang ternyata lebih relevan dengan kebutuhan pengembangan kurikulum.
3. Illumination
Sebagai reaksi terhadap konsep measurement dan congruence yang bersifat ‘terminal’
seperti telah disinggung dalam bagian yang lalu, konsep illumination menekankan
pentingnya dilakukan evaluasi yang berkelanjutan selama proses pelaksanaan kurikulum
sedang berlangsung. Gagasan yang terkandung di dalam konsep ini memang penting dan
menunjang proses penyempurnaan kurikulum, karena pihak pengembang kurikulum akan
memperoleh informasi yang cukup terintegrasi sebagai dasar untuk mengoreksi dan
menyempurnakan kurikulum yang sedang dikembangkan. Di samping itu, jarak antara
pengumpulan data dan laporan hasil evaluasi cukup pendek sehingga informasi yang
dihasilkan dapat digunakan pada waktunya. Kelemahan dari konsep ini terutama terletak
pada teknis pelaksanaannya. Pertama, kegiatan evaluasi tidak didahului oleh adanya
perumusan kriteria yang jelas sebagai dasar bagi pelaksanaan dan penyimpulan hasil
evaluasi. Ini dapat mengakibatkan bahwa sejumlah segi-segi yang penting kurang
mendapat perhatian, karena evaluatorhanyut di dalam mengamati segi-segi tertentu yang
menarik perhatiannya Kedua, obyektivitas dari evaluasi yang dilakukan perlu
dipersoalkan. Persoalan obyektivitas evaluasi inilah yang justru dipandang sebagai salah
satu kelemahan yang penting dari konsep ini. Di samping konsep ini lebih menitik beratkan
penggunaan judgment dalam proses evaluasi, juga terdapat adanya kecenderungan untuk
menggunakan alat evaluasi yang ‘terbuka’ dalam arti kurang spesifik/berstruktur.
Disamping kedua kelemahan di atas, konsep ini juga tidak menekankan pentingnya
evaluasi terhadap bahan-bahan kurikulum selama bahan-bahan tersebut disusun dalam
tahap perencanaan. Dengan kata lain, evaluasi yang diajukan oleh konsep ini lebih
berorientasi pada proses dan hasil yang dicapai oleh kurikulum yang bersangkutan.
4. Educational System Evaluation
Ditinjau dari hakekat dan ruang lingkup evaluasi, konsep ini memperlihatkan banyak segi-
segi yang positif untu kepentingan proses pengembangan kurikulum. Ditekankannya
peranan kriteria (absolut maupun relatif) dalam prosesevaluasi sangat penting artinya
dalam memberikan ciri-ciri khas bagi kegiatan evaluasi. Tanpa kriteria kita tidak akan
dapat menghasilkan suatu informasi yang menunjukkan ada tidaknya kesenjangan
(discrepancy), sedangkan informasi semacam inilah yang diharapkan dari hasil evaluasi.
Sehubungan dengan ruang lingkup evaluasi, konsep ini mengemukakan perlunya evaluasi
itu dilakukan terhadap berbagai dimensi program, tidak hanya hasil yang dicapai, tapi juga
inputdan proses yang dilakukan tahap demi tahap. Ini penting sekali agar peyempurnaan
kurikulum dapat dilakukan pada setiap tahap sehingga kelemahan yang masih terlihat pada
suatu tahap tertentu tidak sampai dibawa ke tahap berikutnya. Suatu bagian dari konsep ini
yang kiranya dapat dipandang sebagai kelemahan adalah mengenai pandangannya tentang
evaluasi untuk menyimpulkan kebaikan program secara menyeluruh. Ada dua persoalan
yang perlu mendapatkan penegasan dari konsep ini, yang pertama menyangkut segi teknis
dan yang kedua menyangkut segi strategis. Persoalan teknis berkenaan dengan prosedur
yang ditempuh dalam membandingkan hasil antara kurikulum yang baru dan kurikulum
yang ada. Pengalaman-pengalaman yang lalu menunjukkan bahwa studi perbandingan
semacam ini pada umumnya berakhir dengan kesimpulan ‘tidak adanya perbedaan yang
berarti’. Persoalan strategis menyangkut persoalan ‘nasib’ dari kurikulum yang baru
tersebut bila hasil perbandingan yang dilakukan menunjukkan ‘perbedaan yang tidak
berarti’. Bila hal itu terjadi, apakah kita akan menarik kembali kurikulum yang baru
tersebut untuk kembali ke kurikulum yang ada ataukah mengembangkan kurikulum baru
yang lain lagi? Bagaimana kah hal ini dapat dipertanggung-jawabkan dari segi biaya yang
telah dikeluarkan maupun dari segi siswa-siswa yang telah menggunakan kurikulum baru
tersebut selama bertahun-tahun? Kedua persoalan di atas itulah yang terdapat dan belum
dibahas secara tuntas di dalam konsep ini. Secara keseluruhan, konsep educational system
evaluation ini relevan dengan peranan evaluasi didalam proses pengembangan kurikulum
dan dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang terkandung di dalam konsep-konsep yang
terdahulu.
I. Perkembangan Kurikulum Di Indonesia
Perubahan Kurikulum dan Tujuannya Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945,
kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952,
1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 hingga 2013. Perubahan tersebut merupakan
konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek
dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana
pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang
terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama,
yaitu Pancasila danUUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan
serta pendekatan dalam merealisasikannya. Perubahan kurikulum tersebut tentu disertai
dengan tujuan pendidikan yang berbeda-beda, karena dalam setiap perubahan tersebut ada
suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai untuk memajukan pendidikan nasional kita. Perubahan
kurikulum di dunia pendidikan Indonesia beserta tujuan yang ingin dicapai dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Kurikulum 1947
Kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum
pendidikan di Indonesia masih dipengaruhisistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang,
sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947
boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana
kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka
pendidikan sebagai development conformism, bertujuan untuk membentukan karakter
manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka
bumi ini.
2. Kurikulum 1952
Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami
penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling
menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus
memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
3. Kurikulum 1964
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem
kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok
pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah
mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan
pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana yang
meliputi pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Hamalik, 2004).
Matapelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmani. Pendidikan dasar lebih
menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
4. Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum1964, yaitu dilakukannya
perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa
pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan
perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan
ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat
jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan
keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan
dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
5. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang
melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management
by objective) yang terkenal saat itu. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam
Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan
pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci
lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran,
kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin
sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
6. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan
proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975
yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati
sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Kurikulum 1984 ini
berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian
pengalaman belajar kepadasiswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus
benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan
bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
7. Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai
dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini
berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem
semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu
tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat
menerima materi pelajaran cukup banyak. Tujuan pengajaran menekankan pada
pemahamankonsep dan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
8. Kurikulum 2004 (KBK)
Kurikukum 2004 ini lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk
melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang
telah ditetapkan. Competency Based Education is education geared toward preparing
indivisuals to perform identified competencies (Scharg dalam Hamalik, 2000: 89). Hal ini
mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu
melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu
dikembangkan suatu kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran.
Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan
muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna,
dan (2) keberagaman yang dapat diman ifestasikan sesuai dengan kebutuhannya (Puskur,
2002a). Tujuan yang ingin dicapai menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik
secara individual maupun klasikal.
9. Kurikulum 2006 (KTSP)
Kurikulum 2006 ini dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan, muncullah KTSP. Tinjauan dari segi isi dan
proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah
banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru
lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan
dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD),
standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD)
setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan
sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi
dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.
Tujuan KTSP ini meliputi tujuan pendidikan nasionalserta kesesuaian dengan kekhasan,
kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum
disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan
dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Tujuan Panduan Penyusunan KTSP ini
untuk menjadi acuan bagi satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB,
SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum
yang akan dilaksanakan pada tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.
10. Kurikulum 2013
Pemerintah melakukan pemetaan kurikulum berbasis kompetensi yang pernah
diujicobakan pada tahun 2004 (curriculum based competency). Kompetensi dijadikan
acuan dan pedoman bagi pelaksanaan pendidikan untuk mengembangkan berbagai ranah
pendidikan; pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam seluruh jenjang dan jalur
pendidikan, khususnya pada jalur pendidikan sekolah. Kurikulum 2013 berbasis
kompetensi memfokuskan pada pemerolehan kompetensi-kompetensi tertentu oleh peserta
didik. Oleh karena itu, kurikulum ini mencakup sejumlah kompetensi dan seperangkat
tujuan pembelajaran yang dinyatakan sedemikian rupa, sehingga pencapaianya dapat
diamati dalam bentuk perilaku atau `keterampilan peserta didik sebagai suatu kriteria
keberhasilan. Kegiatan pembelajaran perlu diarahkan untuk membantu peserta didik
menguasai sekurang-kurangnya tingkkat kompetensi minimal, agar mereka dapat
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Sesuai dengan konsep belajar tuntas dan
pengembangan bakat. Setiap peserta didik harus diberi kesempatan untuk mencapai tujuan
sesuai dengan kemamapuan dan kecepatan belajar masing-masing. Tema utama kurikulum
2013 adalah menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, afektif,
melalui pengamatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. Untuk
mewujudkan hal tersebut, dalam implementasi kurikulum, guru dituntut secara profesional
merancang pembelajaran secara efektif dan bermakna, mengorganisir pembelajaran,
memilih pendekatan pembelajaran yang tepat, menentukan prosedur pembelajaran dan
pembentukan kompetensi secara efektif, serta menetapkan kriteria keberhasilan.