Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

PEMBAHASAN

A. Evaluasi Kurikulum
Pemahaman mengenai pengertian evaluasi kurikulum dapat berbeda-beda sesuai
dengan pengertian kurikulum yang bervariasi menurut para pakar kurikulum. Oleh karena itu
penulis mencoba menjabarkan definisi dari evaluasi dan definisi dari kurikulum secara per kata
sehingga lebih mudah untuk memahami evaluasi kurikulum.
Pengertian evaluasi menurut joint committee, 1981 ialah penelitian yang sistematik
atau yang teratur tentang manfaat atau guna beberapa obyek. Purwanto dan Atwi Suparman,
1999 mendefinisikan evaluasi adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan
data yang valid dan reliabel untuk membuat keputusan tentang suatu program. Rutman and
Mowbray 1983 mendefinisikan evaluasi adalah penggunaan metode ilmiah untuk menilai
implementasi dan outcomes suatu program yang berguna untuk proses membuat keputusan.
Chelimsky 1989 mendefinisikan evaluasi adalah suatu metode penelitian yang sistematis untuk
menilai rancangan, implementasi dan efektifitas suatu program.
Dari definisi evaluasi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi adalah penerapan
prosedur ilmiah yang sistematis untuk menilai rancangan, implementasi dan efektifitas suatu
program. Sedangkan pengertian kurikulum adalah sebagai berikut:
a) Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Pasal 1 Butir 19 UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional);
b) Menurut Grayson (1978), kurikulum adalah suatu perencanaan untuk mendapatkan
keluaran (out-comes) yang diharapkan darisuatu pembelajaran. Perencanaan tersebut
disusun secara terstruktur untuk suatu bidang studi, sehingga memberikan pedoman
dan instruksi untuk mengembangkan strategi pembelajaran (Materi di dalam kurikulum
harus diorganisasikan dengan baik agar sasaran (goals) dan tujuan (objectives)
pendidikan yang telah ditetapkan dapat tercapai;
c) Sedangkan menurut Harsono (2005), kurikulum merupakan gagasan pendidikan yang
diekpresikan dalam praktik. Dalam bahasa latin, kurikulum berarti track atau jalur
pacu.
Saat ini definisi kurikulum semakin berkembang, sehingga yang dimaksud kurikulum
tidak hanya gagasan pendidikan tetapi juga termasuk seluruh program pembelajaran yang
terencana dari suatu institusi pendidikan.
Dari pengertian evaluasi dan kurikulum di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pengertian evaluasi kurikulum adalah penelitian yang sistematik tentang manfaat, kesesuaian
efektifitas dan efisiensi dari kurikulum yang diterapkan. Atau evaluasi kurikulum adalah
proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliable untuk
membuat keputusan tentang kurikulum yang sedang berjalan atau telah dijalankan. Evaluasi
kurikulum ini dapat mencakup keseluruhan kurikulum atau masing-masing komponen
kurikulum seperti tujuan, isi, atau metode pembelajaran yang ada dalam kurikulum tersebut.
Secara sederhana evaluasi kurikulum dapat disamakan dengan penelitian karena evaluasi
kurikulum menggunakan penelitian yang sistematik, menerapkan prosedur ilmiah dan metode
penelitian. Perbedaan antara evaluasi dan penelitian terletak pada tujuannya. Evaluasi
bertujuan untuk menggumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk bahan penentuan
keputusan mengenai kurikulum apakah akan direvisi atau diganti. Sedangkan penelitian
memiliki tujuan yang lebih luas dari evaluasi yaitu menggumpulkan, menganalisis dan
menyajikan data untuk menguji teori atau membuat teori baru.
Evaluasi kurikulum merupakan salah satu komponen kurikulum yang perlu dikuasai
oleh guru sebagai pelaksana kurikulum. Bagian-bagian berikut dari modul ini akan
difokuskan pada uraian tentang evaluasi dalam fase pengembangan kurikulum -- tujuannya,
berbagai konsep/model evaluasi yang pernah dikembangkan, tinjauan masing-masing
konsep/model, dan akhirnya model evaluasi yang disarankan. Sebagai seorang guru Anda
tentunya harus memahami betul mengapa suatu kurikulum harus dievaluasi dan apa yang
menjadi tujuan dari evaluasi kurikulum
B. Tujuan Evaluasi Kurikulum
Diadakannya evaluasi di dalam proses pengembangan kurikulum dimaksudkan untuk
keperluan :
1. Perbaikan Program
Dalam konteks tujuan ini, peranan evaluasi lebih bersifat konstruktif, karena informasi
hasil evaluasi dijadikan input bagi perbaikan yang diperlukan di dalam program kurikulum
yang sedang dikembangkan. Disini evaluasi lebih merupakan kebutuhan yang datang dari
dalam sistem itu sendiri karena evaluasi itu dipandang sebagai faktor yang memungkinkan
dicapainya hasil pengembangan yang optimal dari sistem yang bersangkutan.

2. Pertanggungjawaban kepada berbagai pihak


Selama dan terutama pada akhir fase pengembangan kurikulum, perlu adanya semacam
pertanggungjawaban dari pihak pengembang kurikulum kepada berbagai pihak yang
berkepentingan. Pihak-pihak yang dimaksud mencakup baik pihak yang mensponsori
kegiatan pengembangan kurikulum tersebut maupun pihak yang akan menjadi konsumen
dari kurikulum yang telah dikembangkan. Dengan kata lain, pihak-pihak tersebut
mencakup pemerintah, masyarakat, orang tua, petugas-petugas pendidikan, dan pihak-
pihak lainnya yang ikut mensponsori kegiatan pengembangan kurikulum yang
bersangkutan. Bagi pihak pengembang kurikulum, tujuan yang kedua ini tidak dipandang
sebagai suatu kebutuhan dari dalam melainkan lebih merupakan suatu ‘keharusan’ dari
luar. Sekalipun demikian hal ini tidak bisa kita hindari karena persoalan ini mencakup
pertanggungjawaban sosial, ekonomi dan moral, yang sudah merupakan suatu konsekuensi
logis dalam kegiatan pembaharuan pendidikan. Dalam mempertanggung jawabkan hasil
yang telah dicapainya, pihak pengembang kurikulum perlu mengemukakan kekuatan dan
kelemahan dari kurikulum yang sedang dikembangkan serta usaha lebih lanjut yang
diperlukan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan, jika ada, yang masih terdapat. Untuk
menghasilkan informasi mengenai kekuatan dan kelemahan tersebut di atas itulah
diperlukan kegiatan evaluasi.
3. Penentuan tindak lanjut hasil pengembangan
Tindak lanjut hasil pengembangan kurikulum dapat berbentuk jawaban atas dua
kemungkinan pertanyaan : Pertama, apakah kurikulum baru tersebut akan atau tidak akan
disebar luaskan ke dalam sistem yang ada ? Kedua, dalam kondisi yang bagaimana dan
dengan cara yang bagaimana pula kurikulum baru tersebut akan disebar luaskan ke dalam
sistem yang ada ? Ditinjau dari proses pengembangan kurikulum yang sudah berjalan,
pertanyaan pertama dipandang tidak tepat untuk diajukan pada akhir fase pengembangan.
Pertanyaan tersebut hanya mempunyai dua kemungkinan jawaban – ya atau tidak. Secara
teoritis dapat saja terjadi bahwa jawaban yang diberikan itu adalah tidak. Bila hal ini
terjadi, kita akan dihadapkan pada situasi yang tidak menguntungkan – biaya, tenaga dan
waktu yang telah dikerahkan selama ini ternyata terbuang dengan percuma; peserta didik
yang telah menggunakan kurikulum baru tersebut selama fase pengembangan telah
terlanjur dirugikan; sekolah-sekolah dimana proses pengembangan itu berlangsung harus
kembali menyesuaikan diri lagi kepada cara lama; dan lambat laun akan timbul sikap
skeptis di kalangan orang tua dan masyarakat terhadap pembaharuan pendidikan dalam
bentuk apapun. Pertanyaan kedua dipandang lebih tepat untuk diajukan pada akhir fase
pengembangan kurikulum. Pertanyaan tersebut mengimplikasikan sekurang- kurangnya
tiga anak pertanyaan – aspek-aspek mana dari kurikulum tersebut yang masih perlu
diperbaiki ataupun disesuaikan, strategi penyebaran yang bagaimana yang sebaiknya
ditempuh, dan persyaratan-persyaratan apa yang perlu dipersiapkan terlebih dahulu di
dalam sistem yang ada. Pertanyaan-pertanyaan ini dirasakan lebih bersifat konstruktif dan
lebih dapat diterima ditinjau dari segi sosial, ekonomi, moral maupun teknis. Untuk
menghasilkan informasi yang diperlukan dalam menjawab pertanyaan yang kedua itulah
diperlukan kegiatan evaluasi.

C. Kriteria Evaluasi Kurikulum


Kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan adalah ukuran yang akan digunakan dalam
menilai suatu kurikulum. Kriteria penilaina harus relevan dengan kriteria keberhasilannya,
sedangkan kriteria harus dilihat dalam hubungannya dengan sasaran program. Kriteria evalusi
menurut Morrison harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Relevan dengankerangka rujukan dan tujuan evaluasi program kurikulum
2. Ditetapkan pada data deskrivtif yang relevan dan menyangkut program/kurikulum
Beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa evaluasi lebih bersifat
komfrehensif yang didalamnya meliputi pengukuran. Disamping itu, evaluasi pada hakekatnya
merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Keputusan evaluasi
(value judgment) tidak hanya didasarkan kepada hasil pengukuran (quantitatif description),
dapat pula didasarkan kepada hasil pengukuran (measurement) maupun bukan pengukuran
(non-measurement) pada akhirnya menghasilkan keputusan nilai tentang suatu
program/kurikulum yang dievaluasi.

D. Konsep Penting dalam Evaluasi Kurikulum


Konsep-konsep penting dalam evaluasi:
1. Proses
Evaluasi adalah suatu proses bukan suatu hasil / produk. Hasil yang diperoleh dari kegiatan
evaluasi adalah nilai dan arti evaluan; sedangkan kegiatan untuk sampai kepada pemberian
nilai dan arti itu yang dinamakan evaluasi
2. Pemberian nilai
Dilakukan apabila seorang evaluator memberikan pertimbangannya mengenai evaluan
tanpa menghubungkannya dengan sesuatu yang bersifat dari luar (internal pada diri
evaluan)
3. Pemberian arti
Berhubungan dengan posisi & peranan evaluan tersebut dalam suatu konteks tertentu.
Dapat saja terjadi kurikulum yang memiliki nilai yang indah dan baik tetapi tidak memiliki
arti yang penting setelah dilaksanakan di sekolah.

E. Pentingnya Evaluasi Kurikulum


Penulis setuju dengan pentingnya dilakukan evaluasi kurikulum. Evaluasi kurikulum
dapat menyajikan informasi mengenai kesesuaian, efektifitas dan efisiensi kurikulum tersebut
terhadap tujuan yang ingin dicapai dan penggunaan sumber daya, yang mana informasi ini
sangat berguna sebagai bahan pembuat keputusan apakah kurikulum tersebut masih dijalankan
tetapi perlu revisi atau kurikulum tersebut harus diganti dengan kurikulum yang baru. Evaluasi
kurikulum juga penting dilakukan dalam rangkapenyesuaian dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar yang berubah. Evaluasi kurikulum
dapat menyajikan bahan informasi mengenai area –area kelemahan kurikulum sehingga dari
hasil evaluasi dapat dilakukan proses perbaikan menuju yang lebih baik. Evaluasi ini dikenal
dengan evaluasi formatif. Evaluasi ini biasanya dilakukan waktu proses berjalan. Evaluasi
kurikulum juga dapat menilai kebaikan kurikulum apakah kurikulum tersebut masih tetap
dilaksanakan atau tidak, yang dikenal evaluasi sumatif.

F. Masalah dalam Evaluasi Kurikulum


Norman dan Schmidt 2002 mengemukakan ada beberapa kesulitan dalam penerapan
evaluasi kurikulum , yaitu :
 Kesulitan dalam pengukuran
 Kesulitan dalan penerapan randomisasi dan double blind
 Kesulitan dalam menstandarkan intervensi dalam pendidikan.
 Pengaruh intervensi dalam pendidikan mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
sehingga pengaruh intervensi tersebut seakan-akan lemah.
Masalah yang dihadapi dalam melakukan evaluasi kurikulum,yaitu :
1. Dasar teori yang digunakan dalam evaluasi kurikulum lemah. Dasar teori yang
melatarbelakangi kurikulum lemah akan mempengaruhi evaluasi kurikulum tersebut.
Ketidakcukupan teori dalam mendukung penjelasan terhadap hasil intervensisuatu
kurikulum yang dievaluasi akan membuat penelitian (evaluasi kurikulum) tidak baik. Teori
akan membantu memahami kompleksitas lingkungan pendidikan yang akan dievaluasi.
Contohnya Colliver mengkritisi bahwa Problem Based Learning (PBL) tidak cukup hanya
menggunakan teori kontekstual learning untuk menjelaskan efektivitas PBL. Kritisi ini
ditanggapi oleh Albanese dengan mengemukakan teori lain yang mendukung PBL yaitu,
information-processing theory, complex learning, self determination theory. Schdmit
membantah bahwa sebenarnya bukan teorinya yang lemah akan tetapi kesalahan terletak
kepada peneliti tersebut dalam memahami dan menerapkan teori tersebut dalam penelitian.
2. Intervensi pendidikan yang dilakukan tidak memungkinkan dilakukan Blinded. Dalam
penelitian pendidikan khususnya penelitian evaluasi kurikulum, ditemukan kesulitan
dalam menerapkan metode blinded dalam melakukan intervensi pendidikan. Dengan tidak
adanya Blinded maka subjek penelitian mengetahui bahwa mereka mendapat intervensi
atau perlakuan sehingga mereka akan melakukan dengan serius atau sungguh-sungguh. Hal
ini tentu saja dapat mengakibatkan bias dalam penelitian evaluasi kurikulum.
3. Kesulitan dalam melakukan randomisasi. Kesulitan melakukan penelitian evaluasi
kurikulum dengan metode randomisasi dapat disebabkan karena subjek penelitian yang
akan diteliti sedikit atau kemungkinan hanya institusi itu sendiri yang melakukannya.
Apabila intervensi yang digunakan hanya pada institusi tersebut maka timbul pertanyaan,
“apakah mungkin mencari kelompok kontrol dan randomisasi?”.
4. Kesulitan dalam menstandarkan intervensi yang dilakukan/kesulitan dalam
menseragamkan intervensi. Dalam dunia pendidikan sulit sekali untuk menseragamkan
sebuah perlakuan cotohnya penerapan PBL yang mana memiliki berbagai macam pola
penerapan. Norman (2002) mengemukakan tidak ada dosis yang standar atau fixed dalam
intervensi pedidikan. Hal ini berbeda untuk penelitian di biomed seperti pengaruh obat
terhadap suatu penyakit, yang mana dapat ditentukan dosis yang fixed. Berbeda dengan
penelitian evaluasi kurikulum misalnya pengaruh PBL terhadap kemamuan Self Directed
Learning (SDL). Penerapan PBL di berbagai FK dapat bermacam-macam. Kemungkinan
penerapan SDL dalam PBL di FK A 50%, sedangkan di FK B adalah 70% , maka apabila
mereka dijadikan subjek penelitian maka tentu saja pengaruh PBL terhadap SDL akan
berbeda.
5. Masalah Etika penelitian. Masalah etika penelitian merupakan hal yang perlu
dipertimbangkan. Penerapan intervensi dengan metode blinded dalam penelitian
pendidikan sering terhalang dengan isu etika. Secara etika intervensi tersebut harus
dijelaskan kepada subjek penelitian sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Padahal
apabila suatu intervensi diketahui oleh subjek penelitian maka ada kecendrungan subjek
penelitian melakukan dengan sungguh-sungguh sehingga penelitian tidak berjalan secara
alamiah. Pengaruh hasil penelitian terhadap institusi juga perlu dipertimbangkan. Adanya
prediksi nantinya pengaruh hasil penelitian yang akan menentang kebijaksanaan institusi
dapat mengkibatkan kadangkala peneliti menghindari resiko ini dengan cara
menghilangkan salah satu variable dengan harapan hasil penelitian tidak akan menentang
kebijaksanaan.
6. Tidak adanya pure outcome. Outcome yang dihasilkan dari sebuah intervensi pendidikan
seringkali tidak merupakan outcome murni dari intervensi tersebut. Hal ini disebabkan
karena banyaknya faktor penganggu yang mana secara tidak langsung berhubungan dengan
hasil penelitian. Postner dan Rudnitsky, 1994 juga mengemukakan dalam outcom based
evaluation terdapat informasi mengenai main effect dan side effect sehingga kadangkala
peneliti kesulitan membedakan atara main effect dan side effect ini.
7. Kesulitan mencari alat ukur. Evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama
yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak
semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang
telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat
apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan. Alat ukur
yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama
sekali.
8. .Penggunaan Perspektif kurikulum yang berbeda sebagai pembanding.Postner
mengemukakan ada lima perspektif dalam kurikulum yaitu traditional, experiential,
Behavioral, structure of discipline dan constructivist. Masing-masing perspektif ini
memiliki tujuannya masing-masing. Dalam melakukan evaluasi kurikulum kita harus
mengetahui perspektif kurikulum yang akan dievaluasi dan perspektif kurikulum
pembanding. Hal ini sering terlihat dalam evaluasi kurikulum dengan menggunakan
metode comparative outcome based yang bila tidak memperhatikan masalah ini akan
melahirkan bias dalam evaluasi. Kurikulum dengan perspektif tradisional tentu saja
berlainan dengan kurikulum yang memiliki perspektif konstruktivist. Contoh kurikulum
tradisional menekankan pada recall of knowledge sedangkan kurikulum konstruktivist
menekankan pada konsep dasar dan ketrampilan berpikir. Apabila ada penelitian yang
menghasilkan bahwa kurikulum tradisional di pendidikan dokter lebih baik dalam hal
knowledge dibandingkan dengan PBL hal ini tentu saja dapat dimengerti karena
perspektifnya berbeda. Penelitian yang menggunakan metode perbandingan kurikulum
yang perspektifnya berbeda ini seringkali menjadi kritikan oleh para ahli.

G. Beberapa Konsep/Model Evaluasi


Setelah mencermati tentang tentang tujuan evaluasi kurikulum, Anda sebagai
pelaksana kurikulum harus memahami pula tentang konsep/model evaluasi . Coba Anda
cermati masing-masing konsep/model evaluasi tsb. Secara garis besar, berbagai konsep/model
evaluasi yang telah dikembangkan selama ini dapat digolongkan ke dalam empat rumpun
model – measurement, congruence, illumination, dan educational system evaluation
1. Measurement (pengukuran)
Evaluasi pada dasarnya adalah pengukuran perilaku siswa untuk mengungkapkan
perbedaan individual maupun kelompok. Hasil evaluasi digunakan terutama untuk
keperluan seleksi siswa, bimbingan pendidikan dan perbandingan efektifitas antara dua
atau lebih program/metode pendidikan. Obyek evaluasi dititik beratkan pada hasil belajar
terutama dalam aspek kognitif dan khususnya yang dapat diukur dengan alat evaluasi yang
obyektif dan dapat dibakukan. Jenis data yang dikumpulkan dalam evaluasi adalah data
obyektif khususnya skor hasil tes. Dalam kegiatan evaluasi, cenderung ditempuh
pendekatan/cara-cara berikut:
 Menempatkan `kedudukan` setiap siswa dalam kelompoknya melalui
pengembangan norma kelompok dalam evaluasi hasil belajar.
 Membandingkan hasil belajar antara dua atau lebih kelompok yang
menggunakan program/metode pengajaran yang berbeda-beda, melalui analisis
secara kuantitatif.
 Teknik evaluasi yang digunakan terutama tes yang disusun dalam bentuk
obyektif, yang terus dikembangkan untuk menghasilkan alat evaluasi yang
reliabel dan valid.

2. Congruence (penyesuaian)
Evaluasi pada dasarnya merupakan pemeriksaan kesesuaian atau congruenceantara tujuan
pendidikan dan hasil belajar yang dicapai, untuk melihat sejauh mana perubahan hasil
pendidikan telah terjadi. Hasil evaluasi diperlukan dalam rangka penyempurnaan program,
bimbingan pendidikan dan pemberian informasi kepada pihak-pihak di luar pendidikan.
Obyek evaluasi dititik beratkan pada hasil belajar dalam bentuk kognitif, psikomotorik
maupun nilai dan sikap. Jenis data yang dikumpulkan adalah data obyektif khususnya skor
hasil tes.Dalam kegiatan evaluasi, cenderung ditempuh pendekatan/cara-cara berikut:
 Menggunakan prosedur pre-and post-assessment dengan menempuh langkah-
langkah pokok sebagai berikut: penegasan tujuan, pengembangan alat evaluasi,
dan penggunaan hasil evaluasi.
 Analisis hasil evaluasi dilakukan secara bagian demi bagian.
 Teknik evaluasi menackup tes dan teknik-teknik evaluasi lainnya yang cocok
untuk menilai berbagai jenis perilaku yang terkandung dalam tujuan.
 Kurang menyetujui diadakannya evaluasi perbandingan antara dua atau lebih
program.

3. Illumination (penerangan/penyempurnaan)
Evaluasi pada dasarnya merupakan studi mengenai pelaksanaan program, pengaruh
faktor lingkungan, kebaikan-kebaikan dan kelemahan program serta pengaruh program
terhadap perkembangan hasil belajar. Evaluasi lebih didasarkan pada judgment
(pertimbangan) yang hasilnya diperlukan untuk penyempurnaan program. Obyek evaluasi
mencakup latar belakang dan perkembangan program, proses pelaksanaan, hasil belajar
dan kesulitan-kesulitan yang dialami. Jenis data yang dikumpulkan pada umumnya data
subyektif (judgment data) Dalam kegiatan evaluasi, cenderung ditempuh pendekatan/cara-
cara berikut:
 Menggunakan prosedur yang disebut Progressive focussing dengan langkah-
langkah pokok: orientasi, pengamatan yang lebih terarah, analisis sebab-akibat.
 Bersifat kualitatif-terbuka, dan flesksibel-eklektif.
 Teknik evaluasi mencakup observasi, wawancara, angket, analisis dokumen
dan bila perlu mencakup pula tes.

4. Educational System Evaluation


Evaluasi pada dasarnya adalah perbandingan antara performance setiap dimensi program
dan kriteria, yang akan berakhir dengan suatu deskripsi dan judgment. Hasil evaluasi
diperlukan untuk penyempurnaan program dan penyimpulan hasil program secara
keseluruhan. Obyek evaluasi mencakup input (bahan, rencana, peralatan), proses dan hasil
yang dicapai dalam arti yang lebih luas. Jenis data yang dikumpulkan meliputi baik data
obyektif maupun data subyektif (judgment data) Dalam kegiatan evaluasi, cenderung
ditempuh pendekatan/cara-cara berikut:
 Membandingkan performance setiap dimensi program dengan kriteria internal.
 Membandingkan performance program dengan menggunakan kriteria
eksternal yaitu performance program yang lain.
 Teknik evaluasi mencakup tes, observasi, wawancara, angket dan analisis
 dokumen.

H. Tinjauan Masing-Masing Konsep/Model


Setelah Anda mencermati keempat model evaluasi tersebut, Anda tentunya perlu pula
mencermati secara rinci tinjauan dari masing-masing konsep/model tersebut supaya wawasan
anda lebih luas dan dapat memahami secara lebih mendalam makna dari masing-masing
konsep model tersebut. Tinjauan masing-masing konsep/model akan dikaji secara rinci.
1. Measurement
Konsep measurement ini telah memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam hal
penekanannya terhadap pentingnya obyektivitas dalam proses evaluasi. Aspek obyektivitas
yang ditekankan oleh konsep ini perlu dijadikan landasan yang terus menerus di dalam
rangka mengembangkan konsep dan sistem evaluasi kurikulum. samping itu, pendekatan
yang digunakan oleh konsep ini masih sangat besar pengaruhnya dan dirasakan faedahnya
dalam berbagai kegiatan pendidikan, seperti seleksi dan klasifikasi siswa, pemberian nilai
di sekolah, dan kegiatan penelitian pendidikan. Kelemahan dari konsep ini terletak pada
penekanannya yang berlebih-lebihan pada spek pengukuran dalam kegiatan evaluasi
pendidikan. Aspek pengukuran itu sendiri memang diperlukan dalam proses evaluasi, tapi
tidak dimaksudkan untuk menggantikan proses evaluasi itu sendiri : “Measurement is not
evaluation, but it can provide useful data for evaluation.” Dalam evaluasi hasil belajar,
misalnya, kita tidak dapat mengelakkan penggunaan alat pengukuran hasil belajar untuk
menghasilkan data yang diperlukan dalam pemberian judgment selanjutnya mengenai hasil
belajar yang telah dicapai. Sebagai konsekuensi dari penekanan yang berlebih-lebihan pada
aspek pengukuran, evaluasi cenderung dibatasi pada dimensi tertentu dari program
pendidikan yang dapat diukur’, terutama hasil belajar yang bersifat kognitif. Yang menjadi
persoalan disini adalah bahwa hasil belajar yang bersifat kognitif tersebut bukan lah
merupakan satu-satunya indikator bagi keberhasilan suatu kurikulum. Sebagai suatu
wahana untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan, kurikulum diharapkan dapat
mengembangkan berbagai potensi yang ada pada diri siswa, tidak terbatas hanya pada
potensi dibidang kognitif. Disamping itu, peranan evaluasi yang diharapkan akan dapat
memberikan input bagi penyempurnaan program dalam setiap tahap, menjadi kurang dapat
terpenuhi dengan dibatasinya evaluasi pada pengukuran hasil belajar saja, apalagi hanya
ditekankan pada bidang kognitif.

2. Congruence
Konsep ini telah menghubungkan kegiatan evaluasi dengan tujuan untuk mengkaji
efektivitas kurikulum yang sedang dikembangkan. Dengan kata lain, konsep congruenceini
telah memperlihatkan adanya “high degree of integration with the instructional process.”
Dengan mengkaji efektivitas kurikulum dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan, hal ini akan memberikan balikan kepada pengembang kurikulum tentang
tujuan-tujuan mana yang sudah dan yang belum dicapai. Hasil evaluasi yang diperoleh
tidak bersifat relatif karena selalu dihubungkan dengan tujuan yang hendak dicapai sebagai
kriteria perbandingan. Kelemahan dari konsep ini terletak pada ruang lingkup evaluasinya.
Sekalipun tujuan evaluasi diarahkan pada kepentingan penyempurnaan program
kurikulum, tapi konsep ini tidak menjadikan input dan proses pelaksanaan sebagai obyek
langsung evaluasi. Yang dijadikan perhatian oleh konsep ini adalah hubungan antara tujuan
dan hasil belajar. Faktor-faktor penting yang terdapat diantara tujuan dan hasil yang dicapai
kurang mendapat perhatian, padahal yang dimensi akan disempurnakan justru adalah
faktor-faktor tersebut yaitu input dan proses belajar-mengajar, yang keseluruhannya akan
menciptakan suatu tipe pengalaman belajar tertentu. Masih berhubungan dengan persoalan
ruang lingkup evaluasi di atas, pelaksanaan evaluasi dari konsep ini terjadi pada saat
kurikulum sudah selesai dilaksanakan, dengan jalan membandingkan antara hasil pretest
dan posttest. Sebagai akibatnya informasi yang dihasilkan hanya dapat menjawab
pertanyaan tentang tujuan-tujuan mana yang telah dan yang belum dapat dicapai.
Pertanyaan tentang mengapa tujuan-tujuan tertentu belum dapat dicapai, sukar untuk dapat
dijawab melalui informasi perbedaan pretest dan posttest. Dengan kata lain, pendekatan
yang digunakan oleh konsep ini menghasilkan suatu teknik evaluasi yang sifatnya
terminal/postfacto. Pendekatan semacam ini memang membantu pengembang kurikulum
dalam menentukan bagian-bagian mana dari program yang masih lemah, tapi kurang
membantu di dalam mencari jawaban tentang segi-segi apanya yang masih lemah dan
bagaimana kemungkinan mengatasi kelemahan tersebut. Terlepas dari beberapa
kelemahan di atas, konsep ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi
perkembangan konsep evaluasi kurikulum, khususnya dalam usaha :
 menghubungkan hasil belajar dengan tujuan-tujuan pendidikan sebagai kriteria
perbandingan; dan
 memperkenalkan sistem pengolahan hasil evaluasi secara bagian demi bagian,
yang ternyata lebih relevan dengan kebutuhan pengembangan kurikulum.

3. Illumination
Sebagai reaksi terhadap konsep measurement dan congruence yang bersifat ‘terminal’
seperti telah disinggung dalam bagian yang lalu, konsep illumination menekankan
pentingnya dilakukan evaluasi yang berkelanjutan selama proses pelaksanaan kurikulum
sedang berlangsung. Gagasan yang terkandung di dalam konsep ini memang penting dan
menunjang proses penyempurnaan kurikulum, karena pihak pengembang kurikulum akan
memperoleh informasi yang cukup terintegrasi sebagai dasar untuk mengoreksi dan
menyempurnakan kurikulum yang sedang dikembangkan. Di samping itu, jarak antara
pengumpulan data dan laporan hasil evaluasi cukup pendek sehingga informasi yang
dihasilkan dapat digunakan pada waktunya. Kelemahan dari konsep ini terutama terletak
pada teknis pelaksanaannya. Pertama, kegiatan evaluasi tidak didahului oleh adanya
perumusan kriteria yang jelas sebagai dasar bagi pelaksanaan dan penyimpulan hasil
evaluasi. Ini dapat mengakibatkan bahwa sejumlah segi-segi yang penting kurang
mendapat perhatian, karena evaluatorhanyut di dalam mengamati segi-segi tertentu yang
menarik perhatiannya Kedua, obyektivitas dari evaluasi yang dilakukan perlu
dipersoalkan. Persoalan obyektivitas evaluasi inilah yang justru dipandang sebagai salah
satu kelemahan yang penting dari konsep ini. Di samping konsep ini lebih menitik beratkan
penggunaan judgment dalam proses evaluasi, juga terdapat adanya kecenderungan untuk
menggunakan alat evaluasi yang ‘terbuka’ dalam arti kurang spesifik/berstruktur.
Disamping kedua kelemahan di atas, konsep ini juga tidak menekankan pentingnya
evaluasi terhadap bahan-bahan kurikulum selama bahan-bahan tersebut disusun dalam
tahap perencanaan. Dengan kata lain, evaluasi yang diajukan oleh konsep ini lebih
berorientasi pada proses dan hasil yang dicapai oleh kurikulum yang bersangkutan.
4. Educational System Evaluation
Ditinjau dari hakekat dan ruang lingkup evaluasi, konsep ini memperlihatkan banyak segi-
segi yang positif untu kepentingan proses pengembangan kurikulum. Ditekankannya
peranan kriteria (absolut maupun relatif) dalam prosesevaluasi sangat penting artinya
dalam memberikan ciri-ciri khas bagi kegiatan evaluasi. Tanpa kriteria kita tidak akan
dapat menghasilkan suatu informasi yang menunjukkan ada tidaknya kesenjangan
(discrepancy), sedangkan informasi semacam inilah yang diharapkan dari hasil evaluasi.
Sehubungan dengan ruang lingkup evaluasi, konsep ini mengemukakan perlunya evaluasi
itu dilakukan terhadap berbagai dimensi program, tidak hanya hasil yang dicapai, tapi juga
inputdan proses yang dilakukan tahap demi tahap. Ini penting sekali agar peyempurnaan
kurikulum dapat dilakukan pada setiap tahap sehingga kelemahan yang masih terlihat pada
suatu tahap tertentu tidak sampai dibawa ke tahap berikutnya. Suatu bagian dari konsep ini
yang kiranya dapat dipandang sebagai kelemahan adalah mengenai pandangannya tentang
evaluasi untuk menyimpulkan kebaikan program secara menyeluruh. Ada dua persoalan
yang perlu mendapatkan penegasan dari konsep ini, yang pertama menyangkut segi teknis
dan yang kedua menyangkut segi strategis. Persoalan teknis berkenaan dengan prosedur
yang ditempuh dalam membandingkan hasil antara kurikulum yang baru dan kurikulum
yang ada. Pengalaman-pengalaman yang lalu menunjukkan bahwa studi perbandingan
semacam ini pada umumnya berakhir dengan kesimpulan ‘tidak adanya perbedaan yang
berarti’. Persoalan strategis menyangkut persoalan ‘nasib’ dari kurikulum yang baru
tersebut bila hasil perbandingan yang dilakukan menunjukkan ‘perbedaan yang tidak
berarti’. Bila hal itu terjadi, apakah kita akan menarik kembali kurikulum yang baru
tersebut untuk kembali ke kurikulum yang ada ataukah mengembangkan kurikulum baru
yang lain lagi? Bagaimana kah hal ini dapat dipertanggung-jawabkan dari segi biaya yang
telah dikeluarkan maupun dari segi siswa-siswa yang telah menggunakan kurikulum baru
tersebut selama bertahun-tahun? Kedua persoalan di atas itulah yang terdapat dan belum
dibahas secara tuntas di dalam konsep ini. Secara keseluruhan, konsep educational system
evaluation ini relevan dengan peranan evaluasi didalam proses pengembangan kurikulum
dan dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang terkandung di dalam konsep-konsep yang
terdahulu.
I. Perkembangan Kurikulum Di Indonesia

Perubahan Kurikulum dan Tujuannya Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945,
kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952,
1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 hingga 2013. Perubahan tersebut merupakan
konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek
dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana
pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang
terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama,
yaitu Pancasila danUUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan
serta pendekatan dalam merealisasikannya. Perubahan kurikulum tersebut tentu disertai
dengan tujuan pendidikan yang berbeda-beda, karena dalam setiap perubahan tersebut ada
suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai untuk memajukan pendidikan nasional kita. Perubahan
kurikulum di dunia pendidikan Indonesia beserta tujuan yang ingin dicapai dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Kurikulum 1947
Kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum
pendidikan di Indonesia masih dipengaruhisistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang,
sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947
boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana
kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka
pendidikan sebagai development conformism, bertujuan untuk membentukan karakter
manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka
bumi ini.
2. Kurikulum 1952
Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami
penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling
menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus
memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
3. Kurikulum 1964
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem
kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok
pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah
mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan
pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana yang
meliputi pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Hamalik, 2004).
Matapelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmani. Pendidikan dasar lebih
menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
4. Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum1964, yaitu dilakukannya
perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa
pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan
perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan
ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat
jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan
keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan
dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
5. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang
melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management
by objective) yang terkenal saat itu. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam
Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan
pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci
lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran,
kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin
sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
6. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan
proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975
yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati
sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Kurikulum 1984 ini
berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian
pengalaman belajar kepadasiswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus
benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan
bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
7. Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai
dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini
berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem
semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu
tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat
menerima materi pelajaran cukup banyak. Tujuan pengajaran menekankan pada
pemahamankonsep dan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
8. Kurikulum 2004 (KBK)
Kurikukum 2004 ini lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk
melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang
telah ditetapkan. Competency Based Education is education geared toward preparing
indivisuals to perform identified competencies (Scharg dalam Hamalik, 2000: 89). Hal ini
mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu
melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu
dikembangkan suatu kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran.
Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan
muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna,
dan (2) keberagaman yang dapat diman ifestasikan sesuai dengan kebutuhannya (Puskur,
2002a). Tujuan yang ingin dicapai menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik
secara individual maupun klasikal.
9. Kurikulum 2006 (KTSP)
Kurikulum 2006 ini dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan, muncullah KTSP. Tinjauan dari segi isi dan
proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah
banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru
lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan
dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD),
standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD)
setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan
sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi
dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.
Tujuan KTSP ini meliputi tujuan pendidikan nasionalserta kesesuaian dengan kekhasan,
kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum
disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan
dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Tujuan Panduan Penyusunan KTSP ini
untuk menjadi acuan bagi satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB,
SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum
yang akan dilaksanakan pada tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.
10. Kurikulum 2013
Pemerintah melakukan pemetaan kurikulum berbasis kompetensi yang pernah
diujicobakan pada tahun 2004 (curriculum based competency). Kompetensi dijadikan
acuan dan pedoman bagi pelaksanaan pendidikan untuk mengembangkan berbagai ranah
pendidikan; pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam seluruh jenjang dan jalur
pendidikan, khususnya pada jalur pendidikan sekolah. Kurikulum 2013 berbasis
kompetensi memfokuskan pada pemerolehan kompetensi-kompetensi tertentu oleh peserta
didik. Oleh karena itu, kurikulum ini mencakup sejumlah kompetensi dan seperangkat
tujuan pembelajaran yang dinyatakan sedemikian rupa, sehingga pencapaianya dapat
diamati dalam bentuk perilaku atau `keterampilan peserta didik sebagai suatu kriteria
keberhasilan. Kegiatan pembelajaran perlu diarahkan untuk membantu peserta didik
menguasai sekurang-kurangnya tingkkat kompetensi minimal, agar mereka dapat
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Sesuai dengan konsep belajar tuntas dan
pengembangan bakat. Setiap peserta didik harus diberi kesempatan untuk mencapai tujuan
sesuai dengan kemamapuan dan kecepatan belajar masing-masing. Tema utama kurikulum
2013 adalah menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, afektif,
melalui pengamatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. Untuk
mewujudkan hal tersebut, dalam implementasi kurikulum, guru dituntut secara profesional
merancang pembelajaran secara efektif dan bermakna, mengorganisir pembelajaran,
memilih pendekatan pembelajaran yang tepat, menentukan prosedur pembelajaran dan
pembentukan kompetensi secara efektif, serta menetapkan kriteria keberhasilan.

Anda mungkin juga menyukai