Oleh :
VEGY GUSTIANRA
NIM. 15043108
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kehadrian ALLAH SWT yang telah memberikan
anugerah-Nya Sehingga penulis dapat menyelesaikan critical review ini, dan menulis
critical review ini dengan sebaiknya
Critical review ini dibuat atas jurnal yang diberikan dosen mata kuliah seminar
akuntansi sektor publik dengan topic “Anteseden Dan Konsekuen Penggunaan Sistem
Pengukuran Kinerja Di Pemerintah Daerah” untuk memenuhi tugas mata kuliah
tersebut.
Dalam menulis critical review ini penulis berusaha semaksimal mukngkin demi
sempurnanya makalah, namun penulis menyadari bahwa critical review ini jauh dari
kata sempurna. Untuk itu penulis sangat mengapresiasi jika ada kritik dan saran untuk
penulis.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih, semoga critical review ini bermamfaat
bagi pihak-pihak yang berkepentingan
Penulis
Identifikasi Jurnal
Adapun jurnal yang penulis indentifikasi sebagai berikut :
Judul : Anteseden Dan Konsekuen Penggunaan Sistem Pengukuran Kinerja Di
Pemerintah Daerah
Penulis : Ridho Bayu Murti dan Mahmudi
Institusi : Universitas Islam Indonesia
Tahun terbit :-
RINGKASAN JURNAL
I. PENDAHULUAN
Instansi pemerintah cenderung menilai keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan
hanya berdasarkan pada kemampuan instansi dalam menyerap/merealisasikan anggarannya
atau hanya menekankan pada aspek masukan (input) dan kurang menekankan pada aspek
keluaran (output) dan hasil (outcome) dari program dan kegiatan (Mahmudi 2015; Supartini
2012). Instansi pemerintah juga cenderung lebih mementingkan pelaporan keuangan
dibandingkan dengan pelaporan kinerja, walaupun kedua sistem pelaporan ini sama
pentingnya. Kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terlihat lebih bersemangat untuk
memperoleh opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas laporan keuangan tetapi kurang greget
dalam mengejar predikat kinerja terbaik dalam laporan pelaksanaan program. Hal ini
menunjukkan bahwa sistem pengukuran kinerja dan pelaporan kinerja instansi pemerintah saat
ini tidak berjalan dengan optimal.
Data tersebut menunjukkan bahwa kinerja pemerintah daerah masih belum optimal.
Beberapa faktor penyebab atas kegagalan pelaksanaan akuntabilitas kinerja dalam
pemerintahan Indonesia antara lain karena heterogenitas lembaga pemerintah (Akbar et. al.
2012), pelaporan yang bias (Solikin 2005), dan kecenderungan pemerintah daerah untuk
melaporkan program yang sukses saja dan tidak melaporkan program gagal (Nurkhamid 2008).
Akbar, et. al (2012) menyatakan bahwa pengukuran kinerja pemerintah di Indonesia masih
sebatas digunakan untuk memenuhi persyaratan pengukuran daripada membuat organisasi
menjadi lebih efektif dan efisien sebagai akibat tekanan dari kewajiban melaksanakan peraturan
dari pemerintah pusat.
Dalam laporan United States General Accounting Office (GAO 1997), disebutkan
bahwa ada beberapa faktor yang berpotensi menghambat pelaksanaan sistem pengukuran
kinerja, yaitu adanya overlapping tujuan sehingga membuat lebih sulit untuk mengidentifikasi
tujuan organisasi yang strategis dan akurat (Swindell dan Kelly 2002; Sihaloho dan Halim,
2005) dan adanya evaluasi kebijakan/program/kegiatan yang bersifat subjektif, serta kurangnya
penghargaan terhadap kinerja. Selain itu, faktor yang tidak menguntungkan seperti kurangnya
dukungan kelompok eksternal terhadap pelaksanaan informasi kinerja (Sihaloho dan Halim
2005), sedangkan informasi kinerja tersebut diperlukan agar lembaga memanfaatkan untuk
perencanaan strategis dan perencanaan kinerja, evaluasi dan pengawasan serta alokasi anggaran
(Speklé dan Verbeeten 2009).
Budaya organisasi merupakan suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan,
diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi
belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang timbul akibat adaptasi eksternal
dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik (Julnes dan Holzer 2001). Budaya
organisasi merupakan hasil dari kognitif kolektif yang membentuk pola pikir organisasi dan
keyakinan bersama yang direfleksikan dalam bentuk tradisi dan kebiasaan ataupun
dimanifestasikan dalam bentuk wujud nyata berupa simbol-simbol, bangunan, serta produk
(Mintzberg et al. 1998). Pettigrew (1985) menyatakan bahwa budaya organisasi dapat
diibaratkan sebagai jaringan sosial dalam organisasi yang mengikat struktur organisasi dengan
proses organisasi. Budaya organisasi merupakan kekuatan hidup suatu organisasi sebagaimana
jiwa dalam raga seseorang.
Sementara itu, Kreitner dan Kinicki (2001) menyatakan bahwa budaya organisasi
merupakan nilai dan kepercayaan bersama yang menjadi ciri identitas organisasi, yang terdiri
dari sekumpulan sikap, pengalaman, kepercayaan, dan nilai dalam suatu organisasi. Budaya
organisasi berguna untuk memberikan identitas bagi anggota organisasi, menumbuhkan
komitmen kolektif, meningkatkan stabilitas sistem sosial, dan membentuk perilaku dengan
membantu anggota merasakan kondisi di lingkungan sekitarnya.
Terkait dengan pengukuran kinerja, Julnes dan Holzer (2001) telah membuktikan
bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap implementasi sistem pengukuran kinerja.
Adanya budaya berprestasi mendorong organisasi sektor publik untuk menggunakan sistem
pengukuran kinerja yang andal (Mahmudi 2015) Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis
pertama penelitian dinyatakan sebagai berikut:
H1: budaya organisasi berpengaruh positif terhadap penggunaan sistem pengukuran
kinerja
Pengadopsian sistem pengukuran kinerja bisa dipengaruhi oleh adanya tekanan eksternal.
Teori institusional menyatakan bahwa organisasi mencari legitimasi dengan cara memenuhi
tekanan isomorfisme dalam lingkungan organisasinya (Ashworth et al. 2009). Tekanan
isomorfisme terkait dengan adanya tekanan untuk mengikuti tuntutan yang berasal dari dengan
lingkungan di sekitar organisasi.
Isomorfisme koersif (coercive isomorphism) merupakan hasil dari tekanan formal dan
informal yang diberikan pada organisasi oleh organisasi lain yang dalam hal ini organisasi
tergantung dengan ekspektasi budaya masyarakat di mana organisasi menjalankan fungsinya
(DiMaggio dan Powell 1983). DiMaggio dan Powell (1983) juga menyatakan bahwa
isomorfisme koersif berasal dari pengaruh politik dan kebutuhan untuk legitimasi.
Kekuatan koersif adalah tekanan eksternal yang diberikan oleh pemerintah, peraturan,
atau lembaga lain untuk mengadopsi struktur atau sistem (Ashworth et al. 2009). Adanya
peraturan ditujukan untuk mengatur praktik yang ada agar menjadi lebih baik. Di sisi lain,
kekuatan koersif dari suatu peraturan dapat menyebabkan adanya kecenderungan organisasi
untuk memperoleh atau memperbaiki legitimasi (legitimate coercion), sehingga hanya
menekankan aspekaspek positif agar organisasi terlihat baik oleh pihak-pihak di luar
organisasi. Perubahan organisasi yang didasari kekuatan koersif akan menyebabkan organisasi
lebih mempertimbangkan pengaruh politik dari pada teknis (Ashworth et al. 2009). Perubahan
organisasi yang lebih dipengaruhi politik akan mengakibatkan praktikpraktik yang terjadi
dalam organisasi, khususnya terkait penerapan pengukuran kinerja akan hanya bersifat
formalitas yang ditujukan untuk memperoleh legitimasi.
Hasil penelitian Wijaya dan Akbar (2013) membuktikan tekanan eskternal berpengaruh
positif terhadap penggunaan sistem pengukuran kinerja. Berdasarkan uraian di atas maka
hipotesis kedua penelitian ini dinyatakan sebagai berikut:
Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan komitmen sebagai suatu keadaan dimana seorang
individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan
keanggotaan organisasinya. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan bahwa komitmen
manajemen mengandung unsur loyalitas terhadap organisasi dan keterlibatan dalam kinerja
untuk mencapai tujuan organisasi
Organisasi dengan komitmen manajemen yang kuat dari pimpinan maka akan lebih mudah
untuk mencapai hasil yang diinginkan untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik, dibanding
dengan organisasi yang tidak memiliki komitmen manajemen. Dengan demikian keberadaan
komitmen manajemen yang kuat sangat dibutuhkan organisasi agar dapat meningkatkan
akuntabilitas kinerja serta penggunaan yang lebih baik atas informasi kinerja yang dihasilkan.
Sistem pengukuran kinerja merupakan alat untuk menginformasikan kinerja sektor sektor
publik kepada pemangku kepentingan. Sistem pengukuran kinerja juga berperan penting untuk
membentuk landasan bagi terwujudnya akuntabilitas internal dan eksternal (Cavalluzzo dan
Ittner 2004).
Nurkhamid (2008) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan
penggunaan informasi kinerja adalah informasi kinerja yang dihasilkan dari implementasi
sistem pengukuran kinerja telah digunakan untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja suatu
organisasi. Hal ini menunjukkan pengaruh secara tidak langsung antara pengembangan sistem
pengukuran terhadap penggunaan informasi kinerja melalui akuntabilitas kinerja.
Variabel penelitian ini terdiri atas: (1) variabel independen yaitu budaya organisasi, tekanan
eksternal, komitmen pimpinan; (2) variabel intervening yaitu penggunaan sistem pengukuran
kinerja; dan (3) variabel dependen yaitu akuntabilitas publik.
Budaya Organisasi
Budaya organisasi menunjukkan sikap (attitude) pimpinan beserta stafnya terhadap perubahan
(inovasi) dan kebijakan organisasi dalam menanggapi inovasi sebagai suatu kegiatan yang
berisiko (risk taking). Variabel ini diukur berdasarkan jawaban responden yang
mengungkapkan sikap pimpinan dan stafnya terhadap inovasi dan perubahan organisasi secara
umum dan khususnya terhadap pengukuran kinerja. Pengukuran variabel ini menggunakan
instrumen kuesioner, dengan model skala Likert lima point yang diadopsi dari penelitian
Nurkhamid (2008). Dalam penelitian ini cronbach alpha instrumen ini sebesar 0,84.
Tekanan Eksternal
Tekanan eksternal adalah tekanan yang berasal dari luar organisasi yaitu seperti peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah atau tekanan dari kelompok masyarakat tertentu. Pengukuran
variabel ini menggunakan instrumen kuesioner, dengan model skala Likert lima poin dengan 7
item pertanyaan yang diadopsi dari penelitian Ridha (2012). Dalam penelitian ini cronbach
alpha instrumen ini sebesar 0,80.
Komitmen Pimpinan
Akuntabilitas Kinerja
Variabel ini mengungkapkan tingkat akuntabilitas kinerja yang dirasakan oleh para manajer
suatu organisasi. Pengukuran variabel ini menggunakan instrumen kuesioner, dengan model
skala Likert empat poin yang diadopsi dari penelitian Nurkhamid (2008). Dalam penelitian ini
cronbach alpha instrumen ini sebesar 0,796.
Y1 = β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + e
Y2 = β1Y1 + e
B. Hasil temuan
Data penelitian diperoleh dengan menyebarkan kuesioner terhadap PNS yang bekerja pada
pemerintah daerah di wilayah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kuesioner awal yang
didistribusikan sebanyak 100, sedangkan kuesioner yang tidak kembali sebanyak 5 sehingga
terdapat 95 kuesioner yang bisa dianalisis. Dengan demikian tingkat respon penelitian ini dapat
dikategorikan tinggi yaitu sebesar 95%. Semua kuesioner yang kembali dinyatakan lengkap
sehingga dapat digunakan untuk analisis data.
Statistik Deskriptif
Responden penelitian ini terdiri atas 95 dengan komposisi laki-laki sebanyak 69 (73%) dan
perempuan 26 (23%). Sebagian besar responden berusia antara 31-40 tahun (51%) dan 92%
berpendidikan S1. Sementara itu dilihat dari masa kerjanya, mayoritas responden memiliki
masa kerja lebih dari 10 tahun.
Analisis Regresi
Analisis regresi terdiri atas dua model. Analisis regresi model pertama digunakan untuk
mengetahui besarnya pengaruh variabel independen yaitu budaya organisasi, tekanan
eksternal, dan komitmen pimpinan terhadap variabel dependen yaitu penggunaan sistem
pengukuran kinerja. Sementara itu, analisis regresi model kedua digunakan untuk menguji
pengaruh variabel penggunaan sistem pengukuran kinerja terhadap akuntabilitas publik.
Sebelum dilakukan analisis regresi terlebih dahulu telah dilakukan uji asumsi klasik. Hasil uji
asumsi klasik untuk model penelitian ini telah terpenuhi semua. Hasil analisis regresi
ditunjukkan dalam tabel berikut ini:
Adjusted R2 0,787
Penggunaan Sistem
Pengukuran Kinerja (Y1) 0,892 (9,794)***
Konstanta 0,382
(1,159)
F 95,929***
R2 0,508
Adjusted R2 0,502
*** sig. < 1%; ** sig. < 5%; * sig. < 10%
1. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa budaya organisasi berpengaruh positif
signifikan terhadap penggunaan sistem pengukuran kinerja (β = 0,241; p < 0,000). Hal
itu menunjukkan bahwa semakin baik budaya organisasi maka akan meningkatkan
penggunaan sistem pengukuran kinerja.
Schein (1992) dalam Julnes dan Holzer (2001) juga menyatakan bahwa budaya
organisasi merupakan suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan
atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi
belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang timbul akibat adaptasi
eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu
diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami,
memikirkan, dan merasakan berbagai masalah tersebut. Hasil penelitian ini mendukung
penelitian Julnes dan Holzer (2001) yang telah membuktikan bahwa budaya organisasi
berpengaruh terhadap implementasi sistem pengukuran kinerja.
Hasil penelitian ini dapat dijelaskan melalui teori institusional dengan pendekatan teori
isomorfisme. Isomorfisme koersif selalu terkait dengan segala hal yang terhubung
dengan lingkungan di sekitar organisasi. Isomorfisme koersif (coercive isomorphism)
merupakan hasil dari tekanan formal dan informal yang diberikan pada organisasi oleh
organisasi lain dimana organisasi tergantung dengan harapan budaya masyarakat di
mana organisasi menjalankan fungsinya (DiMaggio dan Powell, 1983). DiMaggio dan
Powell (1983) juga menyatakan bahwa isomorfisme koersif berasal dari pengaruh
politik dan kebutuhan untuk legitimasi.
II. PENUTUP
1. Simpulan
Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa kuat dan lemahnya penggunaan
sistem pengukuran kinerja dipengaruhi oleh budaya organisasi, tekanan eksternal, dan
komitmen pimpinan. Variabel-variabel tersebut terbukti berpengaruh positif signifikan
terhadap penggunaan sistem pengukuran kinerja. Dalam penelitian ini juga ditemukan
bukti bahwa penggunaan sistem pengukuran kinerja berpengaruh positif signifikan
terhadap akuntabilitas. Dengan demikian penggunaan sistem pengukuran kinerja akan
meningkatkan akuntabilitas.
2. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan terkait jumlah responden yang terbatas hanya pada
PNS pemerintah daerah di wilayah DIY. Data yang dikumpulkan dan dianalisis
menggunakan kuesioner yang diisi berdasarkan persepsi responden, sehingga
memungkinkan terjadi bias. Oleh karena itu, hasil penelitian ini perlu dicermati secara
hati-hati.
3. Saran
Penelitian selanjutnya disarankan untuk memasukkan variabel independen lain yang
belum diuji dalam penelitian ini seperti peran regulasi pemerintah, dukungan teknologi
informasi, dan dukungan keuangan pemerintah daerah.
PEMBAHASAN
Critical review
1. Bagian pendahuluan
Penulis telah menjelaskan secara umum dan khusus. Secara umum, penelitian ini
bertujuan untuk menginvestigasi variabel anteseden yang mempengaruhi penggunaan
sistem pengukuran kinerja pemerintah daerah dan konsekuensi dari penggunaan sistem
pengukuran kinerja. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan menguji pengaruh budaya
organisasi, tekanan eksternal, dan komitmen pimpinan terhadap penggunaan sistem
pengukuran kinerja di pemerintah daerah. Selanjutnya penelitian ini menguji pengaruh
penggunaan sistem pengukuran kinerja terhadap akuntabilitas publik pemerintah
daerah. Penulis juga memaparkan urgensi dari penelitian yakni Terlihat bahwa
pemerintah daerah “kurang greget” dalam mengejar predikat kinerja terbaik, sehingga
sistem pengukuran kinerja dan pelaporan kinerja instansi pemerintah saat ini tidak
berjalan dengan optimal. Dibuktikan dengan adanya data Evaluasi Kinerja
Pemerintahan Daerah (EKPPD) pada tahun 2014, hanya terdapat satu provinsi yang
mendapat status kinerja sangat tinggi dari total 33 provinsi (3%). Originalitas dari
penelitian tidak dijelaskan penulis sehingga tidak menggambarkan perbedaan
penelitian ini dengan terdahulu. Masalah yang ingin dijawab dalam penelitian adalah
apakah penggunaan sistem pengukuran kinerja dipengaruhi secara signifikan oleh
budaya organisasi, tekanan eksternal, dan komitmen pimpinan serta apakah
penggunaan sistem pengukuran kinerja berpengaruh signifikan terhadap akuntabilitas
publik pemerintah daerah.
2. Bagian pembahasan
3. Bagian penutup
Dibagian ini, penulis menjelaskan simpulan dari penelitian dan keterbatasan yang
terdapat dalam penelitian. Sehingga untuk riset selanjutnya dapat meningkatkan
penelitian yang lebih baik. Serta penulis juga menambahkan variabel-variabel lain
untuk pengembangan riset selanjutnya.
Kelebihan :
Kritikan :
1. Tidak terlihat gap riset dari penelitian ini dengan penelitian terdahulu terkait perbedaan
pendekatan yang digunakan.
2. Jumlah responden dalam penelitian terbatas karena hanya responden yang berada
diwilayah DIY
3. Analisis data terbatas pada persepsi responden sehingga memungkinkan hasil yang
bias.