Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Terapi inhalasi adalah cara pemberian obat dalam bentuk partikel aerosol
melalui saluran nafas, baik saluran nafas atas dan bawah. Saluran nafas atas
dimulai dari rongga hidung dengan sinus disekitarnya, laring, faring, dan
proksimal trakea, sedangkan saluran nafas bawah dimulai dari bronkus,
bronkioli sampai ke alveoli. Target sasaran ini termasuk mukosa dan ujung
reseptor neuron di dalamnya (Pradjnaparamita, 2008).

Terapi inhalasi memegang peranan penting dalam pengobatan penyakit


respiratorius yang akut dan kronik. Terapi inhalasi dapat menghantarkan obat ke
paru-paru untuk segera bekerja. Penumpukan mukus di dalam saluran napas,
peradangan dan pengecilan saluran napas dapat dikurangi secara cepat
(Djojodibroto, 2009).

Obat yang diberikan dengan cara inhalasi ini mengalami absorpsi secara
cepat karena permukaan absorpsinya luas, terhindar dari eliminasi lintas pertama
di hati, dan pada penyakit paru-paru misalnya asma bronkial, obat dapat
diberikan langsung pada bronkus. Keputusan untuk menggunakan terapi inhalasi
mungkin didasarkan pada gejala, temuan fisik, dan hasil dari tes fungsi paru-
paru (Supriyatno, 2010).

Jumlah obat yang perlu diberikan pada terapi inhalasi lebih sedikit
dibanding cara pemberian lainnya. Namun cara pemberian ini diperlukan alat
dan metoda khusus yang agak sulit dikerjakan, sukar mengatur dosis, dan sering
mengiritasi epitel paru. (Pradjnaparamita, 2008).

Keuntungan terapi inhalasi adalah obat langsung menuju sasaran,


awitannya cepat, diperlukan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek
yang sama, dan harga untuk setiap dosis lebih murah, efek samping obat
minimal karena konsentrasi obat didalam darah rendah (Laube, 2014).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Saluran Nafas


Fungsi pernafasan yang utama adalah untuk mengambil oksigen (O2) dari
atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan untuk mentranspor karbon dioksida (CO2)
yang dihasilkan sel-sel tubuh kembali ke atmosfer. Oleh karena itu, baik
anatomi maupun fisiologi paru disesuaikan dengan fungsi ini. Secara anatomi,
fungsi pernafasan ini dimulai dari hidung sampai ke parenkim paru (Kowalak
et al, 2017).

Secara fungsional saluran pernafasan dibagi atas bagian yang berfungsi


sebagai konduksi (penghantar gas) dan bagian bawah yang berfungsi sebagai
respirasi (pertukaran gas). Pada bagian konduksi, udara seakan-akan bolak-
balik diantara atmosfir jalan nafas. Oleh karena itu, bagian ini seakan-akan
tidak berfungsi, dan disebut dengan “dead space”. Akan tetapi, fungsi
tambahan dari konduksi, seperti proteksi dan pengaturan kelembaban udara,
justru dilaksanakan pada bagian ini. Adapun yang termasuk dalam konduksi
ialah rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea, sinus bronkus dan
bronkiolus nonrespiratorius (Rab, Tabrani, 2013).

Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difusi) yang sering
disebut dengan unit paru (lung unit), yang terdiri dari bronkiolus respiratorius,
duktus alveolaris, atrium dan sokus alveolaris. Bila ditinjau dari traktus
respiratorius, maka yang berfungsi sebagai konduksi adalah trakea, bronkus
utama, bronkus lobaris, bronkus segmental, bronkus subsegmental, bronkus
terminalis, bronkiolus, dan bronkiolus nonrespiratorius. Organ yang bertindak
sebagai respirasi adalah bronkiolus respiratorius, bronkiolus terminalis, duktus
alveolaris, sakus alveolaris dan alveoli(Rab, Tabrani, 2013).

Percabangan trakea sampai kepada sakus alveolaris dapat diklasifikasikan


sebagai berikut : bronkus utama sebagai percabangan utama, bronkus lobaris
sebagai percabangan kedua, bronkus segmental sebagai percabangan ketiga,
bronkus subsegmental sebagai percabangan keempat, hingga sampai bagian
yang keenam belas sebagai bagian yang berperan sebagai konduksi, sedangkan
bagian percabangan yang ketujuh belas sampai ke sembilan belas yang
merupakan percabangan bronkiolus respiratorius dan percabangan yang kedua
puluh sampai kedua puluh dua yang merupakan percabangan duktus alveolaris
dan sakus alveolaris adalah percabangan terakhir yang seluruhnya merupakan
bagian respirasi (Rab, Tabrani, 2013).

Saluran pernafasan bagian bawah


Percabangan bronkus

2.2 Definisi Terapi Inhalasi


Terapi inhalasi merupakan terapi pemberian obat dengan tujuan untuk
mengontrol atau terapi kondisi akut pada penderita penyakit paru obstruksi
dengan pemberian obat-obatan secara inhalasi (Supriyatno dan Nataprawira,
2002).

2.3 Prinsip Terapi inhalasi


Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang ideal untuk penyakit saluran
napas adalah obat dapat sampai pada organ target dengan menghasilkan
partikel aerosol berukuran optimal agar terdeposisi di paru, onset kerjanya
cepat, dosis obat kecil, efek samping minimal karena konsentrasi obat di
dalam darah sedikit atau rendah, mudah digunakan, serta efek terapeutik
tercapai yang ditandai dengan tampaknya perbaikan klinis. Meskipun saluran
napas mempunyai beberapa mekanisme antara lain refleks batuk, bersin serta
klirens mukosilier yang akan melindungi terhadap masuk dan mengendapnya
partikel obat sehingga akan mengeliminasi obat inhalasi. Namun dengan
memperhatikan metode untuk menghasilkan aerosol serta cara
penyampaian/delivery obat yang akan mempengaruhi ukuran partikel yang
dihasilkan dan jumlah obat yang mencapai berbagai tempat di saluran napas
maka diharapkan obat terdeposisi secara efektif (Supriyatno dan Nataprawira,
2002).
Ukuran partikel akan mempengaruhi sampai sejauh mana partikel
menembus saluran napas. Partikel berukuran > 15 mm tersaring oleh filtrasi
rambut hidung sedangkan > 10 mm akan mengendap di hidung dan
nasofaring. Partikel yang besar ini terutama mengendap karena benturan
inersial bila terdapat aliran udara yang cepat disertai perubahan arah atau arus
turbulen. Partikel berukuran 0,5 – 5 mm akan mengendap secara sedimentasi
karena gaya gravitasi sedangkan partikel berukuran < 0,1 mm akan
mengendap karena gerak Brown. Dengan demikian untuk mendapatkan
manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan secara inhalasi harus dapat
mencapai tempat kerjanya di dalam saluran pernapasan. Bentuk aerosol yang
digunakan yaitu suspensi partikel di dalam gas, dan partikel dalam aerosol
yang mempunyai ukuran berkisar 2-10 Ïm7 atau 1-7 Ïm.9 Penelitian lainnya
mendapatkan bahwa partikel berukuran 1-8 Ïm mengalami benturan dan
pengendapan di saluran nafas besar, kecil, dan alveoli (Supriyatno dan
Nataprawira, 2002).

2.4 Jenis Terapi Inhalasi


Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah
dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya
sedikit yang tertinggal di saluran napas atas serta dapat digunakan oleh anak,
orang cacat, atau orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat
sepenuhnya tercapai dan masing-masing jenis alat terapi inhalasi mempunyai
beberapa keuntungan dan kerugian. Hingga saat ini dikenal 3 sistem inhalasi
yang digunakan dalam klinik sehari-hari yaitu: Metered Dose Inhaler (MDI),
Metered Dose Inhaler (MDI) dengan Spacer, dan Dry Powder Inhaler (DPI)
(Supriyatno dan Nataprawira, 2002).
Berikut adalah jenis terapi inhalasi dan penjelasannya (Buddiga, 2015):
A Dry Powder Inhaler
Pada awalnya di tahun 1957 jenis inhaler ini digunakan untuk
delivery serbuk antibiotik. Selanjutnya banyak penelitian uji klinis yang
menunjukkan bahwa DPI bisa digunakan untuk pengobatan asma anak.
Dalam perkembangannya pada tahun 1970 dibuat inhaler yang hanya
memuat serbuk kering dosis tunggal seperti misalnya spinhaler dan
rotahaler, dan akhir tahun 1980 diperkenalkan inhaler yang memuat
multiple dosis yaitu yang dikenal dengan diskhaler (8 dosis) dan
turbuhaler. Beberapa tahun terakhir ini diperkenalkan diskus (di Inggris
dikenal dengan accuhaler) yang memuat 60 dosis dan dapat dipergunakan
untuk 1 bulan terapi. Inhaler jenis ini tidak mengandung propelan
sehingga mempunyai kelebihan dari MDI. Penggunaan obat serbuk kering
pada DPI memerlukan inspirasi yang cukup kuat. Pada anak yang kecil hal
ini sulit dilakukan mengingat inspirasi kuat belum dapat dilakukan,
sehingga deposisi obat pada saluran pernafasan berkurang. Pada anak yang
lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang
memerlukan koordinasi dibandingkan dengan MDI. Dengan cara ini
deposisi obat di dalam paru lebih tinggi dan lebih konstan dibandingkan
MDI sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun. Cara DPI
ini tidak memerlukan spacer sebagai alat bantu sehingga mudah dibawa
dan dimasukkan ke dalam saku. Hal ini yang juga memudahkan pasien dan
lebih praktis. Beberapa jenis inhaler bubuk kering yang umumnya
digunakan di Indonesia yaitu diskus, turbuhaler, dan handihaler.

Tingkat resistensi terhadap aliran inspirasi yang diperlukan


untuk aerosol pada obat bervariasi dengan masing-masing dari beberapa
versi DPI. Sebagai contoh, Diskus adalah perangkat resistansi rendah dan
dengan demikian cocok untuk pengobatan anak-anak dan mereka dengan
penurunan fungsi paru-paru (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik [FEV1]
<30% diprediksi, sedangkan Turbuhaler adalah perangkat dengan
resistensi tinggi yang membutuhkan laju aliran inspirasi yang lebih tinggi
untuk memberi aerosol pada dosis obat yang setara. Untuk perbandingan
jumlah pengiriman obat DPI, dapat dilihat padaa tabel dibawah ini:

Tabel Jenis Obat DPI


DPI Amount of Drug Delivered

Budesonide (Pulmicort Flexhaler) 90 or 180 mcg (delivers 80 or


160 mcg/inhalation)

Budesonide (Pulmicort Turbuhaler) -

Budesonide/Formoterol Delivers 80 or 160 mcg/4.5 mcg


HFA (Symbicort) per actuation

Fluticasone propionate (Flovent Diskus) 50 mcg/inhalation

Fluticasone propionate/salmeterol xinafoate 100, 250, or 500 mcg/50 mcg


(Advair Diskus) per blister

Formoterol fumarate (Foradil Aerolizer) 12 mcg/capsule

Mometasone furoate (Asmanex Twisthaler) 110 or 220 mcg (delivers 100 or


200 mcg/inhalation)

Salmeterol xinafoate (Serevent Diskus) 50 mcg/blister

Tiotropium bromide (Spiriva HandiHaler) 18 mcg/capsule

Gambar Alat Dry Powder Inhaler


Jenis Dry Powder Inhaler (DPI) Dan Cara Penggunaannya:
Diskus (Accuhaler)
1 Lepaskan tutup pelindung diskhaler,
2 pegang kedua sudut tajam,
3 tarik sampai tombol terlihat
4 tekan kedua tombol dan keluarkan talam bersamaan rodanya
5 letakkan diskhaler pada roda, angka 2 dan 3 letakkan di depan
bagianmouth piece
6 masukan talam kembali, letakan mendatar dan tarik penutup
sampai tegak lurus dan tutup kembali
7 keluarkan napas, masukan diskhaler dan rapatkan bibir, jangan
menutupi lubang udara, bernapas melalui mulut sepat dan dalam,
kemudian tahan napas, lalu keluarkan napas perlahan-lahan.
8 putar diskhaler dosis berikut dengan menarik talam keluar dan
masukan kembali.

Gambar Cara Penggunaan Diskus (Accuhaler)

Turbuhaler
1) Putar dan lepas penutup turbohaler
2) pegang turbohaler dengan tangan kiri dan menghadap atas lalu
dengan tangan kanan putar pegangan (grip) ke arah kanan
sejauh mungkin kemudian putar kembali keposisi semula
sampai terdengar suara klik
3) hembuskan napas maksimal di luar turbohaler
4) letakkan mouth piecedi antara gigi, rapatkan kedua bibir
sehingga tidak ada kebocoran di sekitar mouth piece kemudian
tarik napas dengan tenang sekuat dan sedalam mungkin
5) sebelum menghembuskan napas, keluarkan turbohaler dari
mulut. Jika yang diberikan lebih dari satu dosis ulangi tahapan
2 – 5 (tanda panah) dengan selang waktu 1 – 2 menit – pasang
kembali tutupnya.

Gambar Cara Penggunaan Turbuhaler


Rotahaler
1) Pegang bagian mulut rotahaler secara vertikal, tangan lain
memutar badan rotahaler sampai terbuka
2) masukan rotacaps dengan sekali menekan secara tepat ke dalam
lubang empat persegi sehingga puncak rotacaps berada pada
permukaan lubang
3) pegang permukaan rotahaler secara horizontal dengan titik
putih di atas dan putar badan rotahaler berlawanan arah sampai
maksimal untuk membuka rotacaps
4) keluarkan napas semaksimal mungkin di luar rotahaler,
masukan rotahaler dan rapatkan bibir dengan kepala agak
ditinggikan dengan kepala agak ditengadahkan ke belakang
5) hiruplah dengan kuat dan dalam, kemudian tahan napas selama
mungkin.
6) Lalu keluarkan rotahaler dari mulut, sambil keluarkan napas
secara perlahan-lahan.
Gambar Cara Penggunaan Rotahaler

Setelah Penggunaan Inhaler


Basuh dan kumur dengan menggunakan air. Ini untuk
mengurangi/menghilangkan obat yang tertinggal di dalam rongga mulut
dan tenggorokan, juga untuk mencegah timbulnya penyakit di mulut akibat
efek obat (terutama kortikosteroid) (Rasmin, 2001).

Cara Mencuci Inhaler


Kegagalan mencuci inhaler dengan cara yang benar akan
menimbulkan sumbatan dan pada akhirnya dapat mengurangi jumlah/dosis
obat. Cuci bekas serbuk yang tertinggal di corong inhaler. Keluarkan
bekas obat dan basuh inhaler dengan air hangat dengan sedikit sabun.
Keringkan dan masukan kembali ke dalam tempatnya (Rasmin, 2001).

Cara Untuk Mengetahui Inhaler Sudah Kosong


Setiap inhaler telah dilabelkan dengan jumlah dos yang ada.
Contoh di bawah akan menerangkan bagaimana untuk menentukan
kandungan obat di dalam inhaler. Jika botol obat mengandungi 200
hisapan dan kita harus mengambil 8 hisapan sehari, maka obat habis dalam
25 hari. Jika kita mula menggunakan inhaler pada tanggal 1 Mei, maka
gantikan inhaler tersebut dengan yang baru pada/atau sebelum tanggal 25
Mei. Tulis tanggal mula menggunakan inhaler pada botol obat untuk
menghindari kesalahan (Rasmin, 2001).
Kandungan inhaler juga boleh diperkirakan dengan cara
memasukkan botol obat ke dalam air. Kedudukan botol obat di dalam air
menggambarkan kandungan obat dalam inhaler.

B. Metered Dose Inhaler (MDI)


Metered dose inhaler (MDI) atau inhaler dosis terukur merupakan
cara inhalasi yang memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis
obat mencapai saluran pernafasan. Pada inhaler ini bahan aktif obat
disuspensikan dalam kurang lebih 10 ml cairan pendorong (propelan) dan
yang biasa digunakan adalah kloroflurokarbon (chlorofluorocarbon =
CFC) pada tekanan tinggi. Akhir-akhir ini mulai dikembangkan
penggunaan bahan non-CFC yaitu hidrofluroalkana (HFA) yang tidak
merusak lapisan ozon. Propelan mempunyai tekanan uap tinggi sehingga
di dalam tabung (kanister) tetap berbentuk cairan. Bila kanister ditekan,
aerosol disemprotkan keluar dengan kecepatan tinggi yaitu 30 m/detik
dalam bentuk droplet dengan dosis tertentu melalui aktuator (lubang).
Pada ujung aktuator ukuran partikel berkisar 35 Ïm, pada jarak 10 cm dari
kanister besarnya menjadi 14 Ïm, dan setelah propelan mengalami
evaporasi seluruhnya ukuran partikel menjadi 2,8-4,3 Ïm. Dengan teknik
inhalasi yang benar maka 80% aerosol akan mengendap di mulut dan
orofarings karena kecepatan yang tinggi dan ukurannya besar, 10% tetap
berada dalam aktuator, dan hanya sekitar 10% aerosol yang disemprotkan
akan sampai ke dalam paru-paru.

Pada cara inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan


kanister dengan inspirasi napas. Untuk mendapatkan hasil optimal maka
pemakaian inhaler ini hendaklah dikerjakan sebagai berikut:

- terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu


tutup kanister dibuka
- inhaler dipegang tegak kemudian pasien melakukan ekspirasi
maksimal secara perlahan
- mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan
dilakukan inspirasi perlahan sampai maksimal
- pada pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat keluar
- pasien menahan nafas 10 detik atau dengan menghitung 10
hitungan pada inspirasi maksimal
- setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama diulang kembali
- setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek
samping.

Gambar Cara penggunaan MDI


Langkah-langkah di atas harus dilaksanakan sebelum pasien
menggunakan obat asma jenis MDI. Langkah di atas sering tidak
diikuti sehingga pengobatan asma kurang efektif dan timbul efek
samping yang tidak diinginkan. Beberapa ahli mengidentifikasi
beberapa kesalahan yang sering dijumpai antara lain kurangnya
koordinasi pada saat menekan kanister dan saat menghisap, terlalu
cepat inspirasi, tidak berhenti sesaat setelah inspirasi, tidak mengocok
kanister sebelum digunakan, dan terbalik pemakaiannya.
Kesalahankesalahan di atas umumnya dilakukan oleh anak yang lebih
muda, manula, wanita, dan penderita dengan sosial ekonomi dan
pendidikan yang rendah.
Jenis Obat MDI
Tabel Obat Terapi Inhalasi
MDI Dosis obat
per aktuasi
Albuterol sulfate (Ventolin, Proventil, Ventolin 90 mcg
HFA, Proventil HFA, ProAir HFA)
Beclomethasone dipropionate (QVAR) 40 or 80 mcg
Ciclesonide (Alvesco) 80 or 160 mcg
Cromolyn sodium (Intal) 800 mcg
Flunisolide (AeroBid, AeroBid-M +) 250 mcg
Flunisolide hemihydrate (Aerospan HFA) 80 mcg (78 mcg delivered)
Fluticasone propionate (Flovent HFA) 44, 110, or 220 mcg
Fluticasone propionate/salmeterol xinafoate 45, 115, or 230 mcg/21
(Advair HFA) mcg
Ipratropium bromide (Atrovent HFA) 17 mcg
Ipratropium bromide/albuterol sulfate 18 mcg /90 mcg
(Combivent)
Levalbuterol tartrate (Xopenex HFA) 45 mcg
Pirbuterol acetate (Maxair Autohaler) 200 mcg
Mometasone/formoterol (Dulera) 100 or 200 mcg/5 mcg
Triamcinolone acetonide (Azmacort) 75 mcg

Gambar Alat Terapi MDI

Gambar Jenis MDI


a. MDI Dengan Spacer
Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara
aktuator dengan mulut sehingga kecepatan aerosol pada saat
dihisap menjadi berkurang dan akan dihasilkan partikel berukuran
kecil yang berpenetrasi ke saluran pernafasan perifer. Hal ini
merupakan kelebihan dari penggunaan spacer karena mengurangi
pengendapan di orofaring. Spacer ini berupa tabung (dapat
bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10- 20 cm, atau bentuk
lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Untuk bayi
dianjurkan menggunakan spacer volume kecil (babyhaler) agar
aerosol yang dihasilkan lebih mampat sehingga lebih banyak obat
akan terinhalasi pada setiap inspirasi. Beberapa alat dilengkapi
dengan katup satu arah yang akan terbuka saat inhalasi dan akan
menutup pada saat ekshalasi misalnya Nebuhaler (Astra),
Volumatic (A&H). Pengendapan di orofaring akan berkurang yaitu
sekitar 5% dosis yang diberikan bila digunakan spacer dengan
katup satu arah. Pada spacer tanpa katup satu arah, pengendapan di
orofaring sekitar 8-60% dosis. Dengan penggunaan spacer, deposit
pada paru akan meningkat menjadi 20% dibandingkan tanpa
spacer.
Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan pada anak
karena pada anak koordinasinya belum baik. Dengan bantuan
spacer, koordinasi pada saat menekan kanister dengan saat
penghisapan dapat dikurangi atau bahkan tidak memerlukan
koordinasi. Apabila spacer ini tidak tersedia maka sebagai
penggantinya bisa digunakan spacer sederhana yang murah dan
mudah dibuat yaitu dari plastic coffee cup yang dilubangi dasarnya
untuk tempat aerosol. Cara ini sudah terbukti bermanfaat hanya
untuk bronkodilator dan belum dibuktikan berguna untuk natrium
kromoglikat dan steroid.
Gambar MDI Spacer
b. Easyhaler
Easyhaler adalah inhaler serbuk multidosis yang merupakan
alternatif dari MDI. Komponennya terdiri dari plastik dan cincin
stainless steel dan mengandung serbuk untuk sekurang-kurangnya
200 dosis. Masing-masing dosis obat dihitung secara akurat dengan
cara menekan puncak alat (overcap) yang akan memutari silinder
(metering cylindric) pada bagian bawah alat tersebut. Cekungan
dosis berisi sejumlah obat berhubungan langsung dengan mouth
piece. Saluran udara ke arah mouthpiece berbentuk corong dengan
tujuan untuk mengoptimalkan deposisi obat di saluran napas.
Terdapat takaran dosis yang berguna untuk memberi informasi
kepada pasien mengenai sisa dosis obat. Pelindung penutup
berguna untuk mencegah kelembaban. Partikel obat yang halus
aktif tersebut dicampur dengan sejumlah kecil laktosa yang
berperan sebagai pembawa. Pada easyhaler ukuran partikel laktosa
cukup besar untuk deposit di saluran napas bawah sehingga
diharapkan akan jatuh di orofaring. Keadaan ini mempunyai
keuntungan untuk memberitahukan pada penderita bahwa obatnya
benar terhisap dengan rasa manis di mulut.

3. Nebulizer
Alat nebulizer dapat mengubah obat berbentuk larutan menjadi
aerosol secara terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang
dipadatkan atau gelombang ultrasonik. Aerosol merupakan suspensi
berbentuk padat atau cair dalam bentuk gas dengan tujuan untuk
menghantarkan obat ke target organ dengan efek samping minimal dan
dengan keamanan dan efektifitas yang tinggi. Partikel aerosol yang
dihasilkan nebulizer berukuran antara 2-5 μ, sehingga dapat langsung
dihirup penderita dengan menggunakan mouthpiece atau masker. Berbeda
dengan alat MDI (Metered Dose Inhaler) dan DPI (Dry Powder Inhaler)
dimana alat dan obat merupakan satu kesatuan.

Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebuliser adalah tidak


atau sedikit memerlukan koordinasi pasien, hanya memerlukan pernafasan
tidal, beberapa jenis obat dapat dicampur (misalnya salbutamol dan
natrium kromoglikat). Kekurangannya adalah karena alat cukup besar,
memerlukan sumber tenaga listrik dan relatif mahal.

Gambar Alat Nebulizer


Ada dua jenis nebulizer yang umumnya sering digunakan:
 Ultrasonic Nebuliser
Alat ini menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi
tinggi dari piezo-electric crystal yang berada dekat larutan dan
cairan memecah menjadi aerosol. Keuntungan jenis nebuliser ini
adalah tidak menimbulkan suara bising dan terus menerus dapat
mengubah larutan menjadi aerosol sedangkan kekurangannya alat
ini mahal dan memerlukan biaya perawatan lebih besar.

Gambar Alat Ultrasonic Nebuliser


 Jet Nebuliser
Alat ini paling banyak digunakan banyak negara karena
relatif lebih murah daripada ultrasonic nebuliser. Dengan gas jet
berkecepatan tinggi yang berasal dari udara yang dipadatkan dalam
silinder ditiupkan melalui lubang kecil dan akan dihasilkan tekanan
negatif yang selanjutnya akan memecah larutan menjadi bentuk
aerosol. Aerosol yang terbentuk dihisap pasien melalui mouth
piece atau sungkup. Dengan mengisi suatu tempat pada nebuliser
sebanyak 4 ml maka dihasilkan partikel aerosol berukuran < 5 Ïm,
sebanyak 60-80% larutan nebulisasi akan terpakai dan lama
nebulisasi dapat dibatasi. Dengan cara yang optimal maka hanya
12% larutan akan terdeposit di paru-paru. Bronkodilator yang
diberikan dengan nebuliser memberikan efek bronkodilatasi yang
bermakna tanpa menimbulkan efek samping.
Gambar Alat Jet Nebuliser

Alat terapi inhalasi nebulizer harus terus dijaga kebersihannya


untuk menghindari pertumbuhan mikroba dan kemungkinan adanya
infeksi. Sebaiknya alat nebulizer dicuci setiap setiap selesai digunakan
atau sedikitnya sekali sehari. Instruksi dari pabrik pembuatnya harus
diikuti secara benar untuk menghindari kerusakan plastik pembungkusnya
(Ikawati, 2007).
Berikut cara penggunaan nebulizer yaitu:
- Selalu cuci tangan sebelum menyiapkan obat untuk penggunaan
nebulizer
- Membuka tutup tabung obat nebulizer, mengukur dosis obat
dengan benar
- Memasukkan obat ke dalam tabung nebulizer
- Menghubungkan selang dari masker uap atau mouthpiece pada
kompresor nebulizer
- Mengenakan masker uap atau mouthpiece ke mulut, dikatupkan
bibir hingga rapat
- Menekan tombol on
- Benapaslah dengan perlahan ketika menghirup uap yang keluar dan
uap dihirup sampai obat habis
- Menekan tombol off
Nebulizer terdiri dari beberapa bagian yang terpisah yang terdiri dari
generator aerosol, alat bantu inhalasi (masker, mouthpiece) dan obatnya
sendiri. Masker dan mouthpiece pada nebulizer memiliki beberapa ukuran
yang dapat disesuaikan untuk penggunaanya pada anak-anak atau orang
dewasa, sehingga diharapkan jika menggunakan masker atau mouthpiece
dengan ukuran yang tepat, larutan obat yang melalui nebulizer berubah
menjadi gas aerosol tersebut dapat dihirup/dihisap dengan baik dan
keberhasilan terapi yang didapatkan juga dirasakan optimal.
Nebulizer lebih disukai untuk beberapa alasan, antara lain:
- Anak-anak, orang lanjut usia, dan pasien yang lemah mungkin
kesulitan menggunakan MDI dan DPI secara benar.
- Beberapa pasien membutuhkan dosis yang lebih tinggi daripada
yang dapat dihantarkan oleh MDI dan DPI, misalnya pada pasien
asma kronik, serangan akut PPOK dan sistik fibrosis.
- Untuk pengobatan sendiri di rumah, dimana pasien membutuhkan
dosis yang lebih besar daripada yang dapat diberikan menggunakan
MDI.
- Serangan pada asma akut

2.5 Kelebihan Dan Kekurang Terapi Inhalasi


Cara penggunaan alat terapi inhalasi yang tepat tergantung pada tipe alat
terapi yang digunakan oleh pasien, pasien harus memahami tahap-tahap yang
tepat dalam menggunakan alat terapi inhalasi yang mereka gunakan. Berbagai
jenis alat terapi inhalasi yang umumnya digunakan seperti inhaler MDI
(Metered Dose Inhaler), MDI (Metered Dose Inhaler) dengan spacer, DPI
(Dry Powder Inhaler), nebulizer jet maupun nebulizer ultrasonik memiliki
kelebihan dan kekurangan pada masing-masing alat terapi tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut:

Alat Kelebihan Kekurangan


MDI  kecil, mudah dibawa  manuver sulit
 lebih murah  deposisi orofaringeal besar
 tidak perlu penyiapan obat  tidak semua obat ada dalam
 resiko kontaminasi minimal bentuk ini
 sulit untuk dosis tinggi
MDI+spacer  koordinasi minimal  kurang praktis
 deposisi orofaringeal minimal  lebih mahal daripada MDI
DPI  koordinasi sedikit  perlu arus inspirasi kuat
 tidak ada pelepasan freon (>30L/menit)
 aktivasi dengan upaya napas  resiko deposisi orofaringeal
 tidak perlu penyiapan  tidak semua obat ada dalam
 resiko kontaminasi minimal bentuk ini
 sulit untuk dosis tinggi
Nebulizer  koordinasi minimal  Mahal
jet  dosis tinggi dapat diberikan  kemungkinan kontaminasi alat
Ultrasonik  tidak ada pelepasan freon  resiko, gangguan listrik dan
mekanik
 tidak semua obat bisa
dinebulisasi
 perlu kompresor, tidak praktis
dibawa
 perlu menyiapkan cairan obat
 perlu waktu lebih lama

2.6 Kortikosteroid Inhalasi


Kortikosteroid terdapat dalam beberapa bentuk sediaan antara lain oral,
parenteral, dan inhalasi. Ditemukannya kortikosteroid yang larut lemak (lipid-
soluble) seperti beclomethasone, budesonide, flunisolide, fluticasone, and
triamcinolone, memungkinkan untuk mengantarkan kortikosteroid ini ke
saluran pernafasan dengan absorbsi sistemik yang minim. Pemberian
kortikosteroid secara inhalasi memiliki keuntungan yaitu diberikan dalam
dosis kecil secara langsung ke saluran pernafasan (efek lokal), sehingga tidak
menimbulkan efek samping sistemik yang serius. Biasanya, jika penggunaan
secara inhalasi tidak mencukupi barulah kortikosteroid diberikan secara oral,
atau diberikan bersama dengan obat lain (kombinasi, misalnya dengan
bronkodilator). Kortikosteroid inhalasi tidak dapat menyembuhkan asma. Pada
kebanyakan pasien, asma akan kembali kambuh beberapa minggu setelah
berhenti menggunakan kortikosteroid inhalasi, walaupun pasien telah
menggunakan kortikosteroid inhalasi dengan dosis tinggi selama 2 tahun atau
lebih. Kortikosteroid inhalasi tunggal juga tidak efektif untuk pertolongan
pertama pada serangan akut yang parah.
Contoh kortikosteroid inhalasi yang tersedia di Indonesia antara lain:
a. Fluticasone Flixotide (flutikason propionate50 μg , 125 μg /dosis) Inhalasi
aerosol Dewasa dan anak > 16 tahun: 100-250 μg, 2 kali sehariAnak 4-16
tahun; 50-100 μg, 2 kali sehari
b. Beclomethasone dipropionate Becloment (beclomethasone dipropionate
200μg/ dosis) Inhalasi aerosol Inhalasi aerosol: 200μg , 2 kali seharianak:
50-100 μg 2 kali sehari.
c. Budesonide Pulmicort (budesonide 100 μg, 200 μg, 400 μg / dosis)
Inhalasi aerosolSerbuk inhalasi Inhalasi aerosol: 200 μg, 2 kali
sehariSerbuk inhalasi: 200-1600 μg / hari dalam dosis terbagianak: 200-
800 μg/ hari dalam dosis terbagi.
d. Dosis untuk masing-masing individu pasien dapat berbeda, sehingga harus
dikonsultasikan lebih lanjut dengan dokter, dan jangan menghentikan
penggunaan kortikosteroid secara langsung, harus secara bertahap dengan
pengurangan dosis.
Berikut adalah contoh dari penggunaan terapi inhalasi :
1. Contoh obat Nebulizer (Ventolin) dan dosis :

Ventolin Nebules, Dosis anak dan dewasa


2.7 Keberhasilan Terapi Inhalasi
Aerosol adalah gas yang dihasil kan melalui proses dispersi (pemecahan)
atau suspensi partiel padat maupun cair. Keberhasilan pengobatan aerosol ini
tergantung pada beberapa faktor, yaitu (Rab, 1996):
1. Ukuran partikel.
Partikel dengan ukuran 8 – 15 mikron dapat sampai ke bronkus dan
bronkiolus, sedangkan partikel dengan ukuran 2 mikron dapat sampai le
alveolus. Akan tetapi partikel dengan ukuran 40 mikron hanya dapat
sampai di bronkus utama. Partikel yang banyak digunakan pada terapi
aerosol adalah partikel yang berukuran antara 8 – 15 mikron.
2. Gravitasi (gaya berat).
Semakin besar suatu partikel, maka akan semakin cepat pula partikel
tersebut menempel pada saluran pernapasan. Akan tetapi keadaan ini juga
tergantung pada viskositas dari bahan pelarut yang dipakai.
3. Inersia
Inersia menyebabkan partikel didepositkan. Molekul air mempunyai massa
yang lebih besar daripada molekul gas di dalam saluran pernapasan.
Partikel yang ada di bronkus lebih mudah bertabrakan daripada parti.kel
yang ada di saluran pernapasan yang besar. Semakin kecil diameter
saluran pernapasan, maka akan semakin besar pula pengaruh dari inersia
gas.
4. Aktivitas kinetic
Keadaan ini dialami oleh partikel yang lebih kecil dari 0,5 mikron.
Semakin besar energi kinetik yang digunakan, maka akan semakin besar
kemungkinan terjadinya tabrakan di antara aerosol dan akan semakin
mudah terjadinya kolisi dan selain itu juga akan semakin mudah partikel
tersebut bergabung.
5. Sifat-sifat alamiah dari partikel.
Sifat-sifat alamiah dari partikel ditentukan oleh tonik (osmotik). Larutan
yang hipotonik akan mudah kehilangan air akibat dari penguapan. Aerosol
elektrik yang dihasilkan oleh ultrasonik nebulizer bermuatan lebih besar
daripada mekanikal nebulizer. Pada temperatur yang panas molekul-
molekul akan mempunyai ukuran yang lebih besar dan akan mudah jatuh.
6. Sifat-sifat dari pernapasan.
Pada prinsifnya jumlah dari aerosol yang berubah menjadi cairan
ditentukan pula oleh volume tidal, frekuensi pernapasan, kecepatan aliran
inspirasi, dan apakah bernapas melalui mulut atau hidung, dan juga
memeriksa faal pernapasan pada umumnya.

Sedangkan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi delivery


aerosol pada anak antara lain (Dolovich, 2001):

1. Perubahan anatomi
Bagaimana efek perubahan anatomi pada awaltahun kehidupan tidak jelas.
Saluran pernapasan anak relatif lebih kecil dibandingkan dewasa sehingga
aliran udara inspirasi lebih rendah yang menyebabkan deposit obat
terutama pada saluran pernapasan sentral.
2. Kompetensi
Kompetensi atau kemampuan anak merupakan faktor sangat penting
dalam delivery obat. Anak kecil tidak mempunyai kompetensi untuk
melakukan manuver inhalasi yang kompleks. Alat/ jenis inhalasi yang
tersedia dan dipasarkan saat ini dibuat untuk orang yang bisa melakukan
inhalasi melalui mulut waktu melakukan manuver inhalasi yang kompleks,
misalnya pressured metered dosed inhalers (pMDIs). Anak sekolah sudah
dapat melakukan usaha inspirasi maksimal yang diperlukan untuk
menggunakan alat inhalasi jenis dry powder inhaler (DPI) dan hanya
sedikit yang bisa menggunakan pMDI
3. Pola pernapasan bayi
Pola pernapasan bayi dan anak akan mempengaruhi seberapa banyak
aerosol yang diinhalasi ke dalam paru-paru. Pernapasan pada bayi dan
anak menunjukkan volume pernapasan tidal yang kecil sehingga
mengurangi delivery obat, pola pernapasan bervariasi luas dengan aliran
udara inspirasi (inspiratory flow rates=IFR) bervariasi antara 0 sampai 40
L/menit. Aliran udara yang cepat akan menyebabkan deposit pada saluran
napas yang lebih proksimal.
4. Anak yang menangis mempunyai IFR tinggi dan terjadi pernapasan mulut
sehingga seharusnya akan meningkatkan delivery obat ke paru-paru.
Namun, kenyataannya jumlah obat yang diinhalasi ke paruparu berkurang
karena kurang baiknya masker muka menempel dan pada waktu menangis
pernapasan pendek dan cepat.

2.8 Indikasi Dan Kontraindikasi Terapi Inhalasi


Indikasi:
Ketika obat dapat dirubah menjadi bentuk aerosol
Kontraindikasi:
- Sensitivitas atau cardiotoxicity untuk propelan adalah kontraindikasi
untuk penggunaan MDI
- DPI tidak diindikasikan pada pasien yang tidak dapat menghasilkan
laju aliran inspirasi yang adekuat
- Tidak ada kontraindikasi untuk penggunaan spacer dan nebulizers

2.9 Efek Samping Dan Komplikasi Terapi Inhalasi


Jika aerosol diberikan dalam jumlah besar, maka dapat menyebabkan
penyempitan pada saluran pernapasan (bronkospasme). Disamping itu bahaya
iritasi dan infeksi pada jalan napas, terutama infeksi nosokomial juga dapat
terjadi (rab, 1996).
BAB III
PENUTUP

Terapi inhalasi adalah pemberian obat ke dalam saluran napas dengan


cara inhalasi.Terapi inhalasi merupakan satu teknik pengobatan penting dalam
proses pengobatan penyakit respiratori (saluran pernafasan) akut dan kronik.

Terapi inhalasi dapat menghantarkan obat langsung ke paru-paru untuk


segera bekerja. Dengan demikian, efek samping dapat dikurangi dan jumlah
obat yang perlu diberikan adalah lebih sedikit dibanding cara pemberian
lainnya. Sayangnya pada cara pemberian ini diperlukan alat dan metoda
khusus yang agak sulit dikerjakan, sukar mengatur dosis, dan sering obatnya
mengiritasi epitel paru.

Karena terapi inhalasi obat dapat langsung pada sasaran dan


absorpsinya terjadi secara cepat dibanding cara sistemik, maka penggunaan
terapi inhalasi sangat bermanfaat pada keadaan serangan yang membutuhkan
pengobatan segera dan untuk menghindari efek samping sistemik yang
ditimbulkannya. Seperti untuk mengatasi bronkospasme, meng-encerkan
sputum, menurunkan hipereaktiviti bronkus, serta mengatasi infeksi.

Pemberian per inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke


dalam saluran napas melalui hirupan. Pada asma, penggunaan obat secara
inhalasi dapat mengurangi efek samping yang sering terjadi pada pemberian
parenteral atau per oral, karena dosis yang sangat kecil dibandingkan jenis
lainnya.Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan
per inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas.
Obat yang digunakan biasanya dalam bentuk aerosol, yaitu suspensi partikel
dalam gas.

Penggunaannya terbatas hanya untuk obat-obat yang berbentuk gas


atau cairan yang mudah menguap dan obat lain yang berbentuk aerosol.
Kontra indikasi mutlak pada terapi inhalasi tidak ada. Kontra indikasi relatif
pada pasien dengan alergi terhadap bahan atau obat yang digunakan
DAFTAR PUSTAKA

Bia FJ, Brady JP, Brady LW, et al. Kamus Kedokteran Dorlan. Alih Bahasa:
Harjono RM, Hartono A, Japaries W, et al. Harjono RM, Oswari J,
Ronardy DH, et al, Ed. EGC. Jakarta. 1994; 1910.

Buddiga , Praveen. (2015). Use of Metered Dose Inhalers, Spacers, and


Nebulizers. https://emedicine.medscape.com. Diakses pada tanggal 5
November 2018.

Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology).


Alih Bahasa: Andrianto P. Oswari J, Ed. EGC. Jakarta. 1995; 609-21.

Ibrahim, Mariam et al. (2015). Inhalation drug delivery devices: technology


update. Journal of NCBI. Vol. 8: 131–139. https://www.ncbi.nlm.nih.
Diakses Pada Tanggal 6 November 2018.

Kowalak, Dkk. (2017). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC

Rab T. Ilmu Penyakit Paru. Qlintang S, Ed. Hipokrates. Jakarta. 2013; 674-81.

Rab T. Prinsip Gawat Paru. Hipokrates. Jakarta. 2013; 1-19.

Rasmin M, Rogayah R, Wihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah, Elsina S.


Prosedur Tindakan Bidang Paru dan Pernapasan–Diagnostik dan Terapi.
Bagian Pulmonologi FKUI. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001; 59-64.

Setiawati A, Zunilda SB, Suyatna FD. Pengantar Farmakologi. Dalam:


Ganiswara SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi, Ed.
Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta.
1995; 6.

Anda mungkin juga menyukai