Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Disusun oleh:
Tiara Naviera Putri Sivila
030.14.193

Pembimbing:
dr. Mukti Fahimi, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PERIODE 1 OKTOBER 2018 – 8 DESEMBER 2018
RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DOKTER MINTOHARDJO
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus yang berjudul:


CHRONIC KIDNEY DISEASE

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo
Periode 1 Oktober 2018 – 8 Desember 2018

Yang disusun oleh:


Tiara Naviera Putri Sivila
030.14.193

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Mukti Fahimi, Sp.PD selaku dokter
pembimbing Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Angkatan Laut Dokter
Mintohardjo

Jakarta, Oktober 2018

dr. Mukti Fahimi, Sp.PD

2
BAB I

PENDAHULUAN
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif,
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Penyakit ginjal kronik (Chronic
Kidney Disease) terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan
lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup. Kerusakan pada kedua
ginjal bersifat ireversibel. Dikatakan penyakit ginjal kronik apabila kerusakan
ginjal terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional,
dengan atau tanpa penurunan laju fultrasi glomerulus, dengan manifestasi:
kelainan patologis, terdapat tanda kelainan ginjal misalnya pada saat pencitraan
(imaging) atau laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2. 1
Penyakit ginjal kronik disebabkan oleh berbagai penyakit. Penyebab CKD
antara lain penyakit infeksi, penyakit peradangan, penyakit vaskular hipertensif,
gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan hederiter, penyakit metabolik,
nefropati toksik, nefropati obstruktif.2
Saat ini jumlah CKD sudah bertambah banyak dari tahun ke tahun.
Menurut (WHO, 2002) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih
telah menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini
menunjukkan bahwa penyakit ini menduduki peringkat ke-12 tertinggi angka
kematian. Jumlah kejadian CKD didunia tahun 2009 menurut USRDS terutama di
Amerika rata-rata prevalensinya 10-13% atau sekitar 25 juta orang yang terkena
PGK. Sedangkan di Indonesia tahun 2009 prevalensinya 12,5% atau 18 juta orang
dewasa yang terkena PGK.2,3
Di masa depan penderita Penyakit Ginjal Kronik digambarkan akan
meningkat jumlah penderitanya. Hal ini disebabkan prediksi akan terjadi suatu
peningkatan luar biasa dari diabetes mellitus dan hipertensi di dunia ini karena
meningkatnya kemakmuran akan disertai dengan bertambahnya umur manusia,
obesitas dan penyakit degeneratif.
Penyakit ginjal kronis dapat menyebabkan timbulnya berbagai manifestasi
yang komplek, diantaranya, penumpukan cairan, edema paru, edema perifer,
kelebihan toksik uremik bertanggung jawab terhadap perikarditis dan iritasi,
sepanjang saluran gastrointestinal dari mulut sampai anus. gangguan

3
keseimbangan biokimia (hiperkalemia, hiponatremi, asidosis metabolik),
gangguan keseimbangan kalsium dan fosfat lama kelamaan mengakibatkan
demineralisasi tulang neuropati perifer, pruritus, pernafasan dangkal, anoreksia,
mual dan muntah, kelemahan dan keletihan. Berbagai macam manifestasi lain bisa
muncul akibat penyakit ginjal kronis ini. Atas dasar inilah penulis tertarik untuk
lebih mengetahui gambaran penyakit ginjal kronis dengan secara langsung
mendapati manifestasi yang muncul pada real patient yang sedang menderita
penyakit tersebut.3

4
BAB II
LAPORAN KASUS
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DOKTER MINTOHARDJO
STATUS PASIEN KASUS
Nama : Tiara Naviera P. Sivila Pembimbing : dr. Mukti Fahimi, Sp.PD
NIM : 030.14.193 Tanda tangan:

I. IDENTITAS
PASIEN
Nama : Ny.LS
Umur : 66 tahun
No. RM : 176125
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 6 Juni 1952
Alamat : Jl. Prambanan II. Kel. Benda, Kec. Pamulang
Tangerang Selatan
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Suku : Jawa
Tanggal masuk RS : 2 Oktober 2018, Jam 11.00

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien.
Hari, tanggal dan waktu : Rabu, 3 Oktober 2018, 09.00
Tempat : Bangsal P. Tarempa, RSAL dr. Mintohardjo

A. Keluhan utama:
Badan terasa lemas sejak 1 hari yang lalu.

B. Keluhan tambahan:
Mual dan nyeri pinggang

5
C. Riwayat penyakit sekarang:
Ny. LS datang ke RS AL Dokter Mintohardjo dengan badan terasa
mudah lemas ± 2 tahun sebelum masuk rumah sakit, lemas dirasakan diseluruh
badan, sehingga untuk aktivitas pasien memerlukan bantuan anggota keluarga
yang lain, meskipun anggota gerak masih dapat digerakkan. Pasien juga
mengeluh pusing, pusing dirasakan ngeliyeng, pasien juga merasakan mual
tetapi tidak muntah, sesak nafas, nyeri perut bagian ulu hati yang menjalar ke
pinggang bagian belakang, buang air kecil dan buang air besar seperi biasa,
nafsu makan berkurang, tidak ada penurunan berat badan, kedua tangan dan kaki
tidak kesemutan. Batuk pilek tidak dirasakan, penglihatan kabur tidak dirasakan.
± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh badan terasa
lemas. Lemas diseluruh badan, terus menerus sepanjang hari. Berkurang saat
istirahat dan bertambah jika aktifitas yang agak berat. Lemas dirasa memberat
setelah pasien melakukan cuci darah rutin di bagian hemodialisa RSAL dr.
Mintohardjo 2 jam sebelum pasien dirawat. BAB air besar berwarna kecoklatan,
tidak ada darah tidak ada lendir, konsistensi padat. Keluhan lain seperti pusing,
mual, perut sebah, nyeri juga dirasakan pasien, tidak sesak nafas. Pasien tidak
muntah maupun demam.
Saat masuk rumah sakit, badan terasa semakin lemas, pusing, mual tetapi
tidak muntah. Buang air besar warna coklat tetapi tidak setiap hari. Pasien tidak
mengeluhkan nyeri perut, demam maupun nafsu makan yang turun. Pasien
mengeluh kadang tangan terasa gatal. Buang air kecil biasa, tidak sesak nafas.
Penglihatan kabur dirasakan pasien.
Selama ini pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi. Pasien rutin
untuk memeriksakan kesehatannya ke dokter dan mengkonsumsi obat
antihipertensi. Berdasarkan hasil anamnesis pasien mengaku tekanan darah
tertinggi selama ini adalah 210/110 mmHg. Sejak 10 tahun belakangan pasien
rutin melakukan kontrol mengenai tekanan darah tingginya, hingga tahun 2016
pasien dikatakan terdapat gangguan pada ginjalnya yang mengharuskan pasien
melakukan cuci darah rutin setiap selasa dan jumat.
Pasien mengaku tidak ada keluhan berupa kaki bengkak, nyeri dada,
kesemutan dan rasa baal pada kulit, gangguan berkemih. Pasien juga mengaku
tidak pernah terkena struk. Tidak ada riwayat cedera kepala, tidak ada demam.

6
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Ada riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu yang terkontrol

E. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Ayah dan ibu pasien memiliki riwayat hipertensi

F. Riwayat Pekerjaan
Ibu Rumah Tangga

G. Status Sosial Ekonomi


Kebutuhan sehari- hari pasien dicukupi oleh anak dan menantu. Pasien masih
sering mengikuti beberapa kegiatan di masyarakat namun tidak begitu aktif lagi
seperti yang dulu.
H. Status Kebiasaan
Pasien jarang berolahraga, tidak merokok ataupun mengkonsusmsi alkohol.
Pasien juga sering mengkonsumsi makanan tumis- tumisan, asin, berpenyedap
dan bersantan.

I. Riwayat pengobatan:
Pasien sudah beberapa kali mengalami gejala seperti ini dan pasien sudah
mengkonsusmi obat penurun tekanan darah tinggi seperi irbesartan secara rutin.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Rabu, pukul 09.00 WIB di RSAL dr,.
Mintohardjo
1. Keadaan umum :
Kesadaran : Composmentis
Kesan sakit : tampak sakit sedang
Kesan Gizi : Kesan gizi cukup

2. Tanda vital :
a. Tekanan darah : 140/ 90 mmHg
b. Nadi : 94 x/menit, regular, equal kanan-kiri

7
c. Pernapasan : 21 x/menit
d. Suhu : 36,9 ºC
e. SpO2 : 97 %

3. Status generalis :
 Kepala : Normosefali
 Rambut : Rambut putih, lurus, tipis, distribusi merata dan
tidak mudah dicabut
 Wajah : Wajah simetris, tidak ada kelainan dismorfik
 Mata :
Visus : tidak dilakukan
Sklera ikterik : tidak ada
Konjungtiva anemis : tidak ada
Pupil : bulat, isokor
 Telinga :
Bentuk : normotia Sekret/serumen : tidak ada
Nyeri tekan tragus : tidak ada Membran timpani : Normal
Nyeri tarik aurikula : tidak ada Refleks cahaya : Normal
Liang telinga : lapang Tuli : tidak ada

 Hidung :
Bentuk : simetris Mukosa hiperemis : tidak ada
Deviasi septum : tidak ada Hipertrofi konka : tidak ada
Pernapasan cuping : tidak ada Sekret : ada

 Bibir :
Tidak ada kelainan bentuk, mukosa berwarna merah muda, tidak kering, tidak
pucat, tidak sianosis.

 Mulut :
Oral higiene baik, mukosa pipi berwarna merah muda, arcus palatum simetris
dengan mukosa palatum berwarna merah muda

8
 Lidah :
Normoglosia, mukosa berwarna merah muda, tidak tampak hiperemis, tidak
tampak atrofi papil, lidah tidak tampak kotor

 Tenggorokan:
Uvula terletak di tengah, ukuran tonsil T2-T1, tidak tampak hiperemis,kripta
tidak melebar, tidak tampak detritus, dinding posterior faring tidak hiperemis

 Leher:
Tidak ada kelainan bentuk, tidak teraba pembesaran tiroid, tidak teraba
pembesaran kelenjar getah bening

 Thorax :
Paru-paru :
 Inspeksi: bentuk thorax simetris pada saat statis dan dinamis, pergerakan
saat bernapas simetris, tidak terdapat retraksi subcostal dan pengguanan
otot bantu pernapasan.
 Palpasi: pergerakan napas simetris kanan dan kiri
 Perkusi: sonor
 Auskultasi: suara napas vesikuler (SNV) kanan dan kiri, regular, tidak
terdapat rhonki , tidak ada wheezing
Jantung :
 Inspeksi: tidak tampak iktus kordis
 Palpasi: iktus kordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
simetris, tidak tampak gerakan peristaltic
 Perkusi: redup
 Auskultasi: Bunyi jantung I-II regular, tidak ada gallop, tidak ada murmur.
 Abdomen
 Inspeksi: simetris, membuncit, smiling umbilicus (-)
 Auskultasi: bising usus 3 kali/menit
 Perkusi: timpani pada 4 kuadran abdomen
 Palpasi: supel, turgor kulit kembali cepat, tidak ada nyeri tekan, tidak ada
nyeri lepas, hepar dan lien tidak teraba membesar

9
 Kelenjar getah bening
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Superior servikal : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraklavikula : tidak teraba membesar
Aksila : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar

 Ekstremitas:
 Inspeksi : pada keempat ekstremitas simetris kanan dan kiri pada, tidak
ada deformitas, tidak anemis, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak ada
efloresensi bermakna.
 Palpasi : pada keempat ekstremitas akral hangat, turgor kulit baik, tidak
ada atrofi otot, tonus otot baik, tidak ada edema, capillary refill time
(CRT)<2 detik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG:


Pemeriksaan laboratorium: (2 Oktober 2018, pukul 06.52 WIB)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hematologi
Darah Rutin
Leukosit 9.900 /ul 5000-10.000
Eritrosit 2.68 Juta/ul 4.2-5.4
Hemoglobin 8.1 g/dl 12-14
Hematokrit 25 % 37-42
Trombosit 276.000 Ribu/ul 150000-450000

Fungsi Ginjal
Ureum 189 mg/dL 17 – 43
Kreatinin 3.3 mg/dL 0.6 – 1.1

10
V. DIAGNOSIS KERJA
- Chronic Kidney Disease stage V
- Anemia e.c chronic disease

VI. PEMERIKSAAN ANJURAN


- Pemeriksaan darah lengkap
- Pemeriksaan glukosa darah
- Pemeriksaan elektrolit

VII. PENATALAKSANAAN
1. Medika mentosa
 Amlodipin 1 x 5 mg
 As. folat 3 x 1 tab
 Bicnat 3 x 1 tab
 CaCo3 3 x 1 tab
 Omeprazole 1 x 20 mg
 Cetirizine 2 x 1 tab (bila gatal)

VIII. PROGNOSIS
- Ad vitam : dubia ad malam
- Ad functionam : dubia ad bonam
- Ad sanationam : dubia ad malam

11
BAB III
ANALISIS KASUS

Chronic kidney diseases adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih
dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/ menit/1,73m².1
Pada kasus ini pasien didiagnosa Chronic Kidney Disease Stage V sejak 2016
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pasien juga memiliki riwayat hipertensi sejak 10 tahun. Keadaan tersebut
merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit ginjal kronik pada pasien.
Penelitian mencatat bahwa 35% hingga 65% dari penderita hipertensi esensial
berkembang menjadi proteinuria, dengan satu pertiganya berkembang menjadi
insufisiensi ginjal dan 6 hingga 10% meninggal akibat uremia.4
Sistem klasifikasi CKD yang sering dipakai diperkenalkan oleh NKF-
K/QODI berdasarkan tingkat GFR, bersama berbagai parameter klinis,
laboratorium dan pencitraan. Tujuan adanya system klasifikasi adalah untuk
pencegahan, identifikasi awal gangguan ginjal, dan penatalaksanaan yang dapat
mengubah perjalanan penyakit sehingga terhindar dari end stage renal disease
(ESDR). Namun demikian system klasifikasi ini hanya dapat diterapkan pada
pasien dengan usia 2 tahun keatas, karena adanya proses pematangan fungsi ginjal
pada anak dengan usia di bawah 2 tahun.

KLASIFIKASI STADIUM CKD


Klasifikasi menurut NICE 2008
1. Memeriksa adanya proteinuria saat menentukan stadium dari GGK
2. Proteinuria
a. Urin ACR (albumin clearance ratio) 30 mg/mmol atau lebih
b. Urin PCR 50 mg/mmol atau lebih
3. Stadium 3 dari GGK harus dibagi menjadi 2 subkategori:
a. LFG 45-59 ml/min/1,73 m2 (stadium 3 A)
b. LFG 30-44 ml/min/1,73 m2 (stadium 3 B)
4. Penanganan pada GGK tidak boleh dipengaruhi usia

12
STADIUM GFR (ml/mnt/1,73 m2) DESKRIPSI
1 ≥90 Kerusakan ginjal dengan
GFR normal/meningkat
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan
penuruna GFR ringan
3a 30-44 Kerusakan ginjal dengan
3b 45-59 penurunan GFR sedang
4 15-29 Kerusakan ginjal dengan
penurunan GFR berat
5 <15 Gagal ginjal

LFG dihitung berdasarkan rumus Kockkroft-Gault:


(140−𝑢𝑚𝑢𝑟)𝑥 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛
LFG ml/min/1,73 m2: 𝑚𝑔
72 𝑥 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 ( )
𝑑𝑙

(Ket: wanita x 0,742)


(140−𝑢𝑚𝑢𝑟)𝑥 𝐵𝐵
Creatinine Clearance Test (ml/mnt) = 𝑚𝑔
72 𝑥 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 ( )
𝑑𝐿

(Ket: wanita x 0,85)


Pada pasien didapatkan hasil Laju Filtrasi Glomerulus sebesar 14.9
mL/min/1.73m3. Hal ini menandakan keadaan gangguan ginjal kronik pasien
berada pada stage 5 dimana LFG <15.

Kriteria Penyakit ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologi


Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non Penyakit glomerular (autoimun, infeksi sistemik, obat)
diabetes Penyakit vascular (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointersisial (pielonefritis kronik, batuk,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (Ginjal Polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik
transplantasi Keracunan obat (sikloporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

13
ETIOLOGI
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%).

a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian tertentu penyakit ginjal
di mana mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan
glomerular yang dapat mengakibatkan kerusakan pada membran basal,
mesangium, atau endotelium kapiler. Hippocrates awalnya menggambarkan
manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga oliguria atau anuria. Dengan
berkembangnya mikroskop, Langhans kemudian mampu menggambarkan
perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli
berfokus pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut didefinisikan
sebagai serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, dan
silinder sel darah merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan hipertensi,
edema, dan fungsi ginjal terganggu.5
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal
dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal
terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus
sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis.5
Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10%
terjadi pada pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut
yaitu dapat terjadi hematurim oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi
hari, hipertensi, sesak napas, dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul
ginjal.5

14
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya.5
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit
ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam
keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara
perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat
badan yang menurun.2,5
Terjadinya diabetes ditandai dengan gangguan metabolisme dan
hemodinamik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan
tekanan darah sistemik, dan mengubah pengaturan tekanan intracapillary. Di
ginjal, perubahan ini mungkin menyebabkan munculnya protein dalam urin.
Kehadiran protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal diabetes, tetapi
dapat menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada
akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat antara
proteinuria dan komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa
peningkatan ekskresi protein urin mencerminkan gangguan vaskular umum yang
mempengaruhi banyak organ, termasuk mata, jantung, dan sistem saraf .5,6

c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi.
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.5,6

Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya hidup, serta terapi
obat berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII:5,6

Klasifikasi Sistolik Diastolik Modifikasi Terapi


(mmHg) (mmHg) Gaya Hidup
Normal < 120 Dan < 80 edukasi tidak perlu obat

15
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89 Ya antihipertensi
Stage 1 HT 140 – 159 Atau 90 – 99 Ya Thiazid tipe diuretik
Dapat juga ACEI,
ARB, BB, CCB, atau
kombinasi
Stage 2 HT > 160 Atau > 100 Ya Kombinasi 2 jenis
obat (biasanya thiazid
tipe diuretik dan
ACEI atau ARB atau
BB atau CCB)

Target tekanan darah pada terapi pasien dengan CKD atau diabetes adalah
<130/80 mmHg.

d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang
paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian
besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal
lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.2
Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit ginjal.
Sebaliknya, CKD merupakan penyebab tersering terjadinya hipertensi
sekunder. Berdasarkan anamnesis yang dilakukan kepada pasien,
kemungkinan penyebab atau etiologi yang terjadi pada pasien sehingga
pasien jatuh dalam keadaan Chronic Kidney Disease atau gagal ginjal kronik
adalah riwayat hipertensi pasien yang telah diderita sejak 10 tahun yang
lalu. Keadaan tersebut merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit
ginjal kronik pada pasien

16
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia
sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan
kelainan kardiovaskular.1,2,7
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal
kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut
berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal
perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat
terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.1
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau
hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum /
serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin
serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan sebagainya.1,7
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping
penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang
dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-
hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah
yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut
berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.1,8

b. Kelainan saluran cerna


Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah
masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora
usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau
rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini
akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.2

17
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam
kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost.1,3

e. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat
seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering
dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai
pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar
kepribadiannya (personalitas).

f. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

18
Pasien mengeluhkan beberapa keluhan yang dapat mengarah ke
gambaran klinis dari gagal ginjal kronik. Pasien mengeluhkan kadang
merasa mual dan muntah yang menandakan adanya kelainan pada saluran
cerna. Pasien juga mengeluhkan adanya penglihatan kabur yang
menandakan pasien telah memiliki kelainan pada mata akibat gagal ginjal
kronik. Selain itu, keluhan seperti tangan gatal juga dikeluhkan oleh pasien,
hal ini terjadi karena kondisi kulit yang dominan kering akibat adanya urea
frost. Sedangkan berdasakan pemeriksaan laboratorium darah, didapatkan
Hb yang cukup rendah yaitu 8,1 g/dL yang mendandakan adanya gangguan
hemopoesis pada pasien ini akibat penyakit kronik yang dialami, yaitu gagal
ginjal..
Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi
besi, kehilangan darah, masa hidup eritrosit yang memendek akibat terjadi
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik,
proses inflamasi akut maupun kronik

PENATALAKSANAAN
Farmakoterapi menurut NICE guidelines 2008:
A. Kontrol tekanan darah
- Pada orang dengan GGK, harus mengontrol tekanan sistolik <140
mmHg (dengan kisaran target 120-139 mmHg) dan tekanan diastolic
<90 mmHg.
- Pada orang dengan GGK dan diabetes dan juga orang dengan ACR 70
mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalent dengan PCR 100 mg/mmol
atau lebih, atau proteinuria 1 g/24 jam atau lebih), diharuskan untuk
menjaga tekanan sistolik <130 mmHg (dengan kisaran target 120-129
mmHg) dan tekanan diastolic <80 mmHg
B. Pemilihan agen antihipertensi
First line: ACE inhibitor/ARB
ACE inhibitor / ARB diberikan pada:
- Pada GGK dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol (pria)
atau lebih dari 3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya hipertensi atau
stadium GGK. Note: Perbedaan kedua batas ACR berbeda diberikan
disini untuk memulai pengobatan ACE Inhibitor pada orang CKD dan

19
proteinuria. Potensi manfaat ACE Inhibitor dalam konteks ini sangat
meninkat jika seseorang juga memiliki diabetes dan hipertensi dan
dalam keadaan ini, sebuah batas yang lebih rendah diterapkan.
- GGK pada non diabetic dengan hipertensi dan ACR 30 mg/mmol atau
lebih (kira-kira ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih,
proteinuria 0,5 gr/24 jam atau lebih)
- GGK pada non diabetic dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira
ekuivalen dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, proteinuria 1 gr/24
jam atau lebih), tanpa adanya hipertensi atau penyakit kardiovaskular
- GGK pada non diabetic dengan hipertensi dan ACR <30 mg/mmol
(kira-kira ekuivalent dengan PCR <50 mg/mmol), atau proteinuria
<0,5 gram/24 jam.
- Saat menggunakan ACE Inhibitor / ARBs, upayakan agar mencapai
dosis terapi maksimal yang masih dapat ditoleransi sebelum
menambahkan terapi second line (spironolakton).
- Hal-hal yang perlu diingat saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs
 Orang dengan GGK, harus mengetahui konsentrasi serum
potassium dan perkiraan LFG sebelun memulai terapi ACE
Inhibitor/ARBs. Pemeriksaa ini diulang antara 1 sampai 2
minggu setelah penggunaan obat, dan setelah peningkatan
dosis.
 Terapi ACE Inhibitor/ARBs tidak boleh dimulai apabila
konsentrasi serum potassium secara signifikan ≥5,0 mmol/L.
 Keadaan hyperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut,
karena menurut hasil penelitian tersebut dapat mencetuskan
hyperkalemia
 Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE Inhibitor/ARBs
yang dapat juga mencetuskan hyperkalemia, bukan
kontraindikasi penggunaan terapi tersebut, tapi harus menjaga
konsentrasi serum potassium
 Stop terapi tesebut, bila konsentrasi serum potassium
meningkat >6,0 mmol/L atau lebih dan obat lain yang diketahui
dapat meningkatkan hyperkalemia sudah tidak digunakan.

20
 Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan bila batas LFG saat
sebelum terapi kurang dari 25% atau kreatinin plasma
meningkat dari batas awal kurang dari 30%
 Apabil perubahan LFG 25% atau lebih atau perubahan
kreatinin plasma 30% atau lebih:
o Investigasi adanya deplesi volume ataupun penggunaan
NSAIDs.
Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop terapi atau dosis harus diturunkan
dan alternative antihipertensi lain bisa digunakan.
C. Pemilihan statin dan antiplatelet
- Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit
kardiovaskuler. Pada orang dengan GGK, penggunaannya pun tidak
berbeda
- Penggunaan statin pada orang dengan GGK merupakan pencegahan
sekunder dari penyakit kardiovaskular, terlepas dari batas nilai
lipidnya.
Penggunaan antiplatelet pada orang dengan GGK merupakan
pencegahan sekunder dari penyakit kardiovaskular. GGK bukan
merupakan kontraindikasi dari penggunaan aspirin dosis rendah, tetapi
dokter harus memperhatikan adanya kemungkinan perdarahan minor pada
orang dengan GGK yang diberikan antiplatelet multiple.
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.8

a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah
gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk
faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut
dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,

21
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan
kreatinin > 10 mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat.
Semenjak terdiagnosa dengan gagal ginjal pasien mendapatkan
terapi medikamentosa hingga pasien memasuki kondisi stage V pasien rutin
melakukan hemodiálisis setiap hari selasa dan jumat. Selain itu
penatalaksanaan penyebab pada ginjal pun perlu dilakukan seperti
pemakaian obat antihipertensi, di samping bermanfaat untuk memperkecil
resiko kardiovaskuler, juga sangat penting untuk memperlambat
perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa obat antihipertensi
terutama ACE inhibitor (Angiotensin Converting Enzyme inhibitor),
seperti Captopril, melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat
proses perburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi melalui mekanisme
kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Saat ini pasien telah
menggunakan obat antihipertensi sejak 10 tahun yang lalu.
Pada kasus ini pasien pemberian bicnat diberikan untuk
mengatasi dan mencegah terjadinya asidosis metabolic atau hyperkalemia.
Bicnat merupakan salah satu antasida dimana merupakan basa lemah yang
bereaksi dengan asam lambung untuk membentuk air dan garam, dengan
demikian menghilangkan keasaman lambung. Obat ini juga memiliki efek
lain seperti pengurangan kolonisasi H. pylori dan merangsang sintesis
prostaglandin. Zat-zat antasida sangat bervariasi dalam komposisi kimia,
kemampuan menetralkan asam, kandungan natrium, rasa dan harganya.
Kemampuan menetralkan asam suatu antasida tergantung pada kapasitas
untuk menetralkan HCl lambung dan apakah lambung dalam keadaan
penuh atau kosong (makanan memperlambat pengosongan lambung,
memungkinkan antasida bekerja untuk waktu yang lebih lama).
Salah satu komplikasi dari penyakit ginjal kronik yang paling sering
adalah osteodistrofi renal. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan
dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol.
Penatalaksanaan hiperfosfatemia meli-puti pembatasan asupan fosfat, pemberian
pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna, serta

22
dialisis. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien dengan
penyakit ginjal kronik secara umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein dan
rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk
hewan seperti susu dan telur. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pada
pasien diberikan CaCO3 yang merupakan pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang
banyak dipakai adalah garam kalsium, aluminium hidroksida, dan garam
magnesium.

23
BAB IV
RESUME
Ny. LS datang ke RS AL Dokter Mintohardjo dengan keluhan badan
terasa lemas sejsk ± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Lemas dirasa
memberat setelah pasien melakukan cuci darah rutin di bagian hemodialisa
RSAL dr. Mintohardjo 2 jam sebelum pasien dirawat. Selain itu pasien
mengeluhkan pusing, mual tetapi tidak muntah. Pasien mengeluh kadang tangan
terasa gatal. BAB dan BAK dalam batas normal. Penglihatan kabur dirasakan
pasien. Pasien mengaku tidak ada keluhan berupa sesak, kaki bengkak, nyeri
dada. Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi sejak 10 tahun yang lalu
terkontrol dengan minum obat. Riwayat penyakit gula, jantung, dan struk
disangkal oleh pasien.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital, tekanan darah
140/90 mmHg, nadi 94x/menit, pernapasan 17x/menit, suhu 36,9C dengan
saturasi 97%. Pada pemeriksaan laboratorium darah pada tanggal 2 Oktober 2018
didapatkan Hemoglobin 8,1 g/dL, ureum 189 mg/dL, dan kreatinin 3.3 mg/dL.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
yang dilakukan kepada pasien, maka diagnosis yang dapat ditegakkan adalah
Chronic Kidney Disease stage V dengan anemia e.c chronic disease.
Sehingga penatalaksanaan pada pasien adalah dengan menjalani pola
hidup sehat, melakukan penurunan berat badan, mengurangi asupan garam, dan
melakukan olahraga rutin. Serta mengkonsumsi obat-obatan seperti; Amlodipin 1
x 5 mg, As. folat 3 x 1 tab, Bicnat 3 x 1 tab, CaCo3 3 x 1 tab, Omeprazole 1 x 20
mg, Cetirizine 2 x 1 tab (bila gatal) juga terapi tambahan yaitu hemodialisis rutin
minimal 2x/minggu (selasa dan jumat).

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing;
2009:1035-37
2. Richard JJ, Mark SS, Srinivas T, Ejaz A, Mu W, Ronca C. Essential
hypertension, progressive renal disease, and uric acid: a pathogenetic link.
American Society of Nephrology. 2005; 16(7):1909-19.
3. Jamenson LJ, Loscalzo J. Nefrologi dan Gangguan Asam-Basa. Jakarta:
EGC, 2013:122-23
4. Tanto C, Hustrini NM. Kapita Selekta Kedokteran: Penyakit Ginjal
Kronis. Ed IV Jilid II. 2014:644-7
5. Editorial. Gagal Ginjal Kronik. Diunduh dari: http://emedicine.
medscape.com/article/238798-overview, [Cited: 5 Oktober 2018]
6. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney
Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Diunduh dari:
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm [Cited:
5 Oktober 2018]
7. Williams S, Malatesta K, Norris K. Vitamin d and chronic kidney disease.
Ethnicity & Diseas. 2009: 19(4 Suppl 5):S9.
8. Richard JJ, Mark SS, Srinivas T, Ejaz A, Mu W, Ronca C. Essential
hypertension, progressive renal disease, and uric acid: a pathogenetic link.
American Society of Nephrology. 2005; 16(7):1909-19.
9. Murphree DD, Thelen SM. Chronic Kidney Disease in Primary Care.
JABM. 2010;23(4);542-550
10. Fadhilah AZ. Chronic Kidney Disease stage V. J Agromed Unila.
2014:1(2);109-113
11. Steigerwalt S. Management of hypertension in diabetic patients with
chronic kidney disease. Diabetes Spectrum. 2008; 21:1

25

Anda mungkin juga menyukai