Anda di halaman 1dari 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/295909245

TATALAKSANA PNEUMONIA BAKTERIAL PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS

Article · March 2013

CITATIONS READS
0 3,069

2 authors, including:

Alfian Nur Rosyid


Airlangga University
11 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Airlangga University Hospital Book View project

tuberculosis research View project

All content following this page was uploaded by Alfian Nur Rosyid on 26 February 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

TATALAKSANA PNEUMONIA BAKTERIAL


PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS

Alfian Nur Rosyid


Moch. Thaha

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI


FK UNAIR – RSUD DR.SOETOMO SURABAYA
2013
2

TATALAKSANA PNEUMONIA BAKTERIAL PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS


Alfian NR
Moch. Thaha
PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronis (PGK) terjadi karena kerusakan nefron ginjal sehingga terjadi
penurunan fungsi ginjal yang menetap dan kronis progresif (NKF-K/DOQI, 2012). Sistem imun
alami maupun adaptif turun sebanding dengan penurunan Laju Filtrasi Glomerulur (LFG)
(Viasus, 2011). Komplikasi kardiovaskular dan infeksi seperti pneumonia sering terjadi dan
berkontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas (James, 2009).
Infeksi saluran napas akut merupakan masalah utama di bidang kesehatan. Laporan
WHO tahun 1999 menyebutkan penyebab kematian tertinggi dunia akibat infeksi termasuk
pneumonia dan influenza (Soedarsono, 2010). Pneumonia merupakan komplikasi serius pada
penderita PGK dengan morbiditas (79%) dan mortalitas (33%) yang lebih tinggi dibanding
orang normal. Penderita PGK cenderung mengalami pneumonia yang berat. Semakin rendah
LFG maka morbiditas dan mortalitasnya semakin tinggi. Bukan hanya pneumonia komunitas
yang mengancam penderita PGK namun juga pneumonia nosokomial (James, 2009; Viasus,
2011).
Tatalaksana pneumonia bakterial pada penderita PGK lebih sulit dibandingkan penderita
dengan fungsi ginjal normal. Penegakan diagnosis, tingkat severitas, pemberian obat, prognosis,
morbiditas dan mortalitas pneumonia pada penderita PGK berbeda dengan orang normal.
Tatalaksana kausatif infeksi pneumonia bakterial adalah dengan pemberian antibiotika.
(Niederman, 2008; Mandell, 2010). Pemilihan antibiotika menjadi perhatian penting pada
pneumonia yang disertai gangguan ginjal terkait dosis obat, toksisitas, kesembuhan, dan
resistensi. Pemilihan antibiotika yang bijak diperlukan guna mengatasi pneumonia agar tidak
memberat disamping pencegahan perburukan fungsi ginjal karena efek antibiotika yang
nefrotoksik. Penyesuaian dosis harus dilakukan pada ganguan ginjal sesuai klirens kreatinin
atau LFG dengan cara mengurangi dosis dan atau memperpanjang interval pemberian obat
(Matzke, 2011).
Sulitnya diagnosis dan tatalaksana pneumonia pada penderita PGK yang tidak optimal
membuat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Makalah ini akan membahas mengenai
tatalaksana pneumonia pada penderita PGK.

Tinjauan Kepustakaan Departemen - SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair – RSUD dr.Soetomo
Surabaya, 6 Maret 2013
3

PENYAKIT GINJAL KRONIS (PGK)


Penyakit ginjal kronis merupakan sindroma klinis terjadi karena penurunan fungsi ginjal
yang menetap dan berjalan kronis progresif akibat kerusakan nefron ginjal yang akhirnya
menjadi gagal ginjal terminal (GGT). Menurut NKF-K/DOQI, penyakit ginjal kronis diartikan
sebagai kerusakan ginjal berupa kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa
penurunan LFG selama ≥ 3 bulan atau penurunan LFG < 60 ml/menit/1,73 m2 selama ≥ 3
bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (NKF-K/DOQI, 2012).
Penentuan stadium PGK didasarkan pada LFG dengan menggunakan rumus Cockroft-
Goult atau MDRD (Modification of Diet in Renal Disease) (Moorthy, 2009). Standar baku emas
pengukuran LFG dengan klirens kreatinin dari inulin (Matzke, 2011).
Tabel 7 Rumus Cockroft-Gault dan Formula MDRD (Moorthy, 2009, Katiyakara, 2012)

Rumus Cockroft-Gault Formula MDRD


Klirens Kreatinine = LFG = 1. Standar LFG = 186 x( SK)–1,154 x (usia) –0,203
x 0,742 (pada wanita)
(140-usia) x BB dalam kg x (85% wanita)
x 1,212 (jika kulit hitam)
(72x SK) x 1,227 (jika Cina)
2. LFG Jepang = 0,813x 141 x min (SK/κ, 1)α x max (SK/ κ,
1)-1,209 x 0,993 usia x 1,018 (jika wanita)
3. LFG Thailand = 375,5 x ( SK)0,848 x (usia) –0,364
x 0,712 (pada wanita)
Disebutkan bahwa formula MDRD lebih bermanfaat dibandingkan dengan Rumus
Cockroft-Gault dalam menentukan adjustment dose (penyesuaian dosis obat) pada penderita
yang relatif memiliki fungsi ginjal yang stabil. Namun formula MDRD belum divalidasi untuk
semua dosis antibiotika. Klinisi lebih memilih Rumus Cockroft-Gault karena lebih mudah
dipakai sehingga lebih sering digunakan dalam penyesuaian dosis antibiotika. Serum kreatinin
sendiri tidak bisa dipakai untuk menilai klirens kreatinin karena serum kreatinin merupakan
fungsi LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) dan massa otot. Pada penderita lanjut usia serum
kreatininnya dapat normal meskipun telah terjadi gangguan ginjal (Gilbert, 2011).
Tabel 8 Stadium PGK berdasarkan LFG (Moorthy, 2009)
Stadium Deskripsi LFG (mL/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal / meningkat ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 60 – 89
3 Penurunan LFG sedang 30 – 59
4 Penurunan LFG berat 15 – 29
5 Penyakit ginjal terminal <15 (atau dialysis)
4

PNEUMONIA DAN PENYAKIT GINJAL KRONIS


Penderita PGK memiliki imunitas yang rendah sehingga cenderung lebih mudah
mengalami infeksi seperti pneumonia, ISK dan sepsis. Pneumonia merupakan infeksi akut serta
komplikasi yang serius. Pneumonia bakterial merupakan jenis pneumonia yang lebih sering
dialami penderita PGK (Naqvi, 2006). Sekitar 79% penderita PGK terinfeksi pneumonia perlu
rawat inap dengan mortalitas sebesar 33% (Viasus, 2011). Morbiditas dan mortalitas pneumonia
pada PGK lebih banyak dialami penderita dengan LFG rendah. Hal ini menunjukkan derajat
PGK yang semakin berat merupakan faktor morbiditas dan mortalitas pneumonia. (James,
2009).
Faktor mortalitas pneumonia pada PGK berupa lanjut usia dan komplikasi jantung.
Faktor lanjut usia dan komorbid memegang peranan penting mortalitas PGK terkait pneumonia.
Faktor komorbid pneumonia pada penderita PGK diantaranya gangguan jantung dan diabetes
melitus (Viasus, 2011). Disamping akibat kardiovaskular, infeksi seperti pneumonia juga
merupakan penyebab kematian yang meningkat pada PGK (James, 2009)
Penegakan diagnosis dan severitas pneumonia pada penderita PGK sulit bila memakai
patokan suhu dan peningkatan lekosit, karena adanya penurunan respon imun sehingga kurang
sensitif. Penderita PGK mengalami penurunan albumin dan sistem imun baik alami maupun
adaptif yang sebanding dengan penurunan LFG. Adanya lekositosis menunjukkan respon imun
yang masih berfungsi, sebaliknya lekopenia memiliki outcome yang buruk. Sekitar 90%
penderita pneumonia – PGK memiliki PSI (Pneumonia Severity Index) skor yang tinggi.
Gangguan fungsi ginjal menyebabkan pengurangan ekskresi obat melalui ginjal termasuk
antibiotika (Viasus, 2011)
Penatalaksanaan pneumonia yang tidak tepat akan menyebabkan perburukan kondisi
terkait sepsis dan ARDS. Kondisi sepsis dapat memperburuk fungsi ginjal. Keduanya
meningkatkan angka mortalitas. Pemberian antibiotik yang adekuat merupakan faktor yang
penting, namun harus diperhatikan bahwa perlunya pemilihan antibiotika yang bijak dengan
memperhatikan efektifitas obat tanpa mengurangi resiko perburukan fungsi ginjal. (Viasus,
2011)

PNEUMONIA BAKTERIAL
a. Definisi
Pneumonia didefinisikan sebagai keradangan parenkim paru yang disebabkan infeksi.
Pneumonia bakterial disebabkan kuman gram positif atau negatif selain Mycobacterium
5

tuberculosis (Soedarsono, 2010). Pada makalah ini, kami membatasi mengenai pneumonia
bakterial saja.
b. Pembagian
Pneumonia bakterial dikelompokkan berdasar klinis dan epidemiologis, dibagi menjadi
pneumonia komunitas (CAP, Community-acquired pneumonia), pneumonia nosokomial
(HAP, Hospital-acquired pneumonia; VAP, Ventilator-associated pneumonia; HCAP,
Health care associated pneumonia), dan pneumonia aspirasi. (Soedarsono, 2010).
Pneumonia komunitas (CAP) adalah pneumonia yang didapat dari masyarakat. Sedangkan
HAP termasuk pneumonia nosokomial yang terjadi pada waktu penderita dirawat di rumah
sakit, infeksinya tidak timbul atau tidak sedang dalam masa inkubasi saat masuk rumah
sakit, biasanya terjadi setelah 72 jam pertama masuk rumah sakit. Yang termasuk subgroup
dari pneumonia nosokomial adalah VAP yang merupakan penyulit pemasangan ventilator
(Soedarsono, 2010). Yang dimaksud HCAP adalah pneumonia yang diderita setelah pulang
dari rumah sakit atau terdapat kontak dengan petugas kesehatan, setelah hemodialisis,
setelah rawat inap (Viasus, 2011).
Penderita PGK memiliki resiko terinfeksi pneumonia baik pneumonia komunitas maupun
nosokomial saat penderita rawat inap maupun setelah hemodialisis (James, 2009).
c. Etiologi
Pneumonia komunitas sering disebabkan oleh kuman gram positif, sedangkan kuman gram
negatif sering pada pneumonia nosokomial dan kuman anaerob sering pada pneumonia
aspirasi (Soedarsono, 2010). S.pneumonia sebagai penyebab tersering pada CAP semua
tingkat severitas. Sedangkan Mycoplasma pneumonia, H.influenza dan Clamydophila
pneumonia berhubungan dengan CAP sedang. Staphylococcus aureus, Legionella, dan gram
negatif terkait dengan CAP berat (File, 2009). S. pneumonia menjadi penyebab tersering
pada penderita PGK (James, 2009; Viasus, 2011).
Tabel 1. Kuman penyebab pneumonia bakterial (Mandell, 2010; Torres, 2010)
Pneumonia Kuman
CAP Ringan (rawat jalan) Sedang (rawat inap) Berat (rawat ICU)
Streptococcus pneumoniae Streptococcus pneumoniae Streptococcus pneumonia
Mycoplasma pneumoniae Mycoplasma pneumoniae Enterik gram-negatif
Chlamydophila pneumoniae Chlamydophila pneumoniae Staphylococcus aureus
Haemophilus influenzae Haemophilus influenzae Legionella spp.
Enterik gram-negatif Mycoplasma pneumoniae
Aspirasi (anaerob) Pseudomonas aeruginosa
Legionella spp.
HAP Early onset (<5 hari) Late onset (>5 hari)
S. pneumonia MRSA (S. aureus methicillin–resisten)
H. influenza Enterik gram-negatif
Anaerob P. aeruginosa
6

Acinetobacter baumanii
S. maltophilia
VAP S.pneumonia MSSA (Metisilin sensitive Staph.aureus)
H.influenza Enterik gram negatif
HCAP S. aureus (methicillin-sensitif atau methicillin-resisten)
P. aeruginosa
Keterangan: Peta kuman diatas bisa berbeda dengan peta kuman di RSUD Dr.Soetomo
d. Diagnosis Pneumonia
Diagnosis pneumonia didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan foto
rontgen dada. Diagnosis pasti ditegakkan bila didapati infiltrat baru atau progresif ditambah
2 atau lebih gejala berupa batuk bertambah berat, dahak berubah purulen, suhu ≥ 37,50C,
tanda konsolidasi paru, ronki, lekositosis (≥10.000) / lekopeni (<4000). Untuk menentukan
kuman penyebabnya perlu dilakukan hapusan dan kultur dahak (Soedarsono, 2010).
Pada penderita PGK, sistem imun yang turun memberikan respon yang berbeda terhadap
infeksi termasuk pneumonia. Penderita PGK yang menderita pneumonia kadang sulit untuk
batuk dan mengeluarkan dahak, suhu dan lekosit kadang dalam batas normal. Hal ini yang
sering menimbulkan keraguan dalam mendiagnosis pneumonia (Viasus, 2011).
e. Kriteria Perawatan
Penderita pneumonia dikelompokkan menjadi rawat jalan, rawat inap, rawat intensif (ICU).
Sistem skoring untuk menentukan severitas/derajat keparahan diantaranya dengan CURB-65
(Confusion, Uremia (BUN>7), Respiratory rate >30, Blood pressure <90, dan usia >65
tahun), CRB-65 (sama dengan CURB namun tanpa kriteria Uremia), PSI (Pneumonia
Severity Index) score dan PORT (Pneumonia Patient Outcome Research Team) score. Yang
paling mudah adalah dengan CURB-65 (Mandell, 2010; Soedarsono, 2010). Semakin tinggi
skor CURB-65 maka semakin tinggi pula tingkat mortalitasnya (grup 1=1,5%, grup 2=9,2%,
grup 3=22%) (File, 2009).
Penderita PGK cenderung memiliki skor CURB-65 yang lebih tinggi. Kesadaran penderita
dapat turun terkait Encephalopati uremic, Ureum darah jelas meningkat, frekuensi
pernapasan akan meningkat pada asidosis metabolic. Hal ini tumpang tindih dengan kondisi
PGK, sehingga keadaan tersebut bisa disebabkan bukan karena pneumonia yang berat.
Tekanan darah turun terkait sepsis pada pneumonia. Usia lebih tua diatas 65 tahun
memperburuk severitas pneumonia. (Viasus, 2011).
f. Terapi Pneumonia Bakterial
Pengobatan kausatif pneumonia bakterial dengan antibiotika. Pemilihan antibiotika
layaknya berdasar pada data mikroorganisme dan hasil uji sensitivitas, namun antibiotika
diberikan secara empiris karena pneumonia yang berat dapat mengancam nyawa, kuman
7

patogen yang didapati dari hasil kultur belum tentu sebagai penyebab pneumonia dan
kultur/sensitivitas obat memerlukan waktu. Pengobatan penderita pneumonia perlu
memperhatikan klinis serta adanya faktor modifikasi. Bila klinis baik maka tidak perlu
rawat inap. Sedangkan faktor modifikasi adalah keadaan yang dapat meningkatkan risiko
terinfeksi oleh mikroorganisme patogen tertentu / spesifik (Soedarsono, 2010).
Tabel 2 Faktor Modifikasi Pneumonia (Soedarsono, 2010).
Pneumokokus resisten penisilin Enterik gram negative Pseudomonas aeruginosa
– Usia >65 tahun – Penghuni rumah jompo – Bronkiektasis
– Minum  laktam 3 bln terakhir – Penyakit dasar jantung paru – Minum steroid > 10mg / hari
– Pecandu alkohol – Riwayat minum antibiotika – Minum antibiotika broad
– Penyakit gangguan kekebalan – Kelainan penyakit yang multipel spectrum >7 hari (1 bln terakhir)
– Penyakit penyerta multipel – Gizi kurang
Penderita PGK memiliki resiko terinfeksi ketiga kuman diatas terkait imunitas, penyakit
yang multipel serta riwayat penggunaan antibiotika. (Viasus, 2011)
g. Pemilihan Antibiotika pada Pneumonia Bakterial
Antibiotika sebaiknya segera diberikan, disebutkan kurang dari 8 jam. Terdapat berbagai
panduan tentang pemilihan Antibiotika pada pneumonia bakterial, diantaranya panduan dari
PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia), IDSA (Infectious Diseases Society of
America), Canada, ATS (American Thoracic Society) (Soedarsono, 2010). Lama pemberian
antibiotika minimal 5 hari dan harus bebas deman selama 48-72 jam dan tidak didapati
gejala klinis terkait Pneumonia (Mandell, 2010).
Tabel 3 Panduan pemilihan antibiotika CAP menurut ATS (Mandell, 2010).
Skor CURB-65 = 0-1 (grup 1) Skor CURB-65 = 2 (grup 2) Skor CURB-65 = 3,4,5 (grup 3)
Rawat Jalan Rawat Inap ICU
Risk factor resisten S.pneumonia(-) - FQ respirasi / - -laktam + FQ respirasi /
- Makrolid / - -laktam Makrolid
- Doxycyclin ditambah Pseudomonas (+)
Makrolid / Doxycyclin -laktam antipseudomonas
Risk factor resisten S.pneumonia(+) ditambah
(Komorbid jantung, paru, hati, ginjal, Ciprofloxacin / Levofloxacin
DM, alkohol, kanker, imunosupresi) atau
- Fluoroquinolone respirasi / Aminoglikosida+ Fluoroquinolon
- -laktam + Makrolid / Doxycyclin antipneumokokus
MRSA (+):
ditambah vancomycin / linezolid
Makrolid: Azitromicin, -laktam : Cefotaxime, -laktam : Cefotaxime,
Klaritromicin, Eritromicin Ceftriaxone, Ampicillin Ceftriaxone, Ampicillin-
Fluoroquinolone respirasi : Fluoroquinolone respirasi Sulbactam
Moxifloxacin, Gemifloxacin, diberikan bila alergi penisilin -laktam antipseudomonas :
Levofloxacin Piperacillin-Tazobactam,
-laktam : high-dose Amoxicillin, Cefepime, Imipenem,
Amoxicillin-Clavulanate, Meropenem
Ceftriaxone, Cefpodoxime,
Cefuroxime
Keterangan: FQ: Fluoroquinolon
8

Tabel 4 Panduan pemilihan antibiotika CAP menurut PDPI (Soedarsono, 2010).


Rawat Jalan Faktor Modifikasi (-) Faktor Modifikasi (+)
 -laktam atau  -laktam + anti -laktamase atau
 -laktam + anti -laktamase  Fluoroquinolone respirasi
Rawat Inap Faktor Modifikasi (-) Faktor Modifikasi (+)
 -laktam + anti -laktamase iv atau  Cefalosporin generasi 2,3 iv atau
 Cefalosporin generasi 2,3 iv atau  Fluoroquinolone respirasi iv
 Fluoroquinolone respirasi iv
ICU Risiko infeksi Pseudomonas (-) Risiko infeksi Pseudomonas (+)
 Cefalosporin generasi 3 non-  Cefalosporin anti-pseudomonas iv atau
pseudomonas iv + Makrolide /  Karbapenem iv + Fluoroquinolone anti-
Fluoroquinolone respirasi iv pseudomonas iv /Aminoglikosida iv
Tabel 5 Panduan pemilihan antibiotika HAP atau VAP tanpa risiko faktor patogen MDR
(Multi-drug resistant), onset dini dan semua derajat penyakit (Soedarsono, 2010).
Patogen yang potensial Antibiotika empiris
 Streptococcus pneumonia  -laktam + anti -laktamase (Amoksisilin-Klavulanat)
 Haemophilus influenza atau
 MSSA (Methicilline sensitive  Cefalosporin gen 3 non pseudomonas (Ceftriaxon, Cefotaksim)
Staphylococcus aureus) atau
 Enterik batang negative  FQ respirasi (Levofloxacin, Moxifloxacin, Gatifloxacin)
(E.coli, K.pneumonia, Proteus,
Enterobacter, Serratia marcercens)
Keterangan : Peta kuman diatas dapat berbeda dengan peta kuman di RSUD Dr.Soetomo
Tabel 6 Panduan pemilihan antibiotika HAP atau VAP semua derajat penyakit dengan onset
lanjut atau ada faktor risiko patogen MDR (Soedarsono, 2010).
Patogen yang potensial Antibiotika empiris
 Pseudomonas aeruginosa  Cefalosporin anti pseudomonas (Cefepim, Ceftazidime, Cefpiron)
 Klebsiela pneumonia (ESBL) atau
 Acinetobacter sp.  Karbapenem antipseudomonas (Meropenem, Imipenem)
 MRSA (Methicilline resistant atau
Staphylococcus aureus)  -laktam + anti -laktamase (Piperacilin-Tazobactam)
ditambah
FQ antipseudomonas (Ciprofloxacin, Levofloxacin) atau
Aminoglikosida (Amikacin, Gentamicin, Tobramicin)
ditambah
Linesolid / Vancomicin / Teikoplatin
Keterangan : Peta kuman diatas dapat berbeda dengan peta kuman di RSUD Dr.Soetomo

Pemilihan antibiotika empiris menggunakan strategi de-eskalasi, yaitu bentuk optimalisasi


pengobatan pneumonia berat diawali dengan dosis awal tinggi spektrum luas lalu diganti
dengan spektrum terbatas sesuai hasil kultur dan uji sensitivitas yang didapat. Panduan diatas
merupakan pemilihan antibiotika secara empiris berdasar data kuman dan uji sensitivitas
(Soedarsono, 2010).
Pemilihan antibiotika menjadi perhatian penting pada pneumonia dengan gangguan ginjal
terkait dosis obat, toksisitas, kesembuhan, dan resistensi. Kesalahan pemilihan antibiotika
menyebabkan tingkat kesembuhan yang berkurang bahkan meningkatkan mortalitas. Kesalahan
9

pemilihan dosis dapat memberikan efek samping bahkan dapat memperburuk kondisi ginjal
penderita PGK (Gilbert, 2011). Panduan pemilihan antibiotika pada penderita PGK yaitu
memilih antibiotika yang dieliminasi oleh hati, menghindari golongan tetrasiklin atau dengan
monitor, obat dilakukan penyesuaian baik dosis maupun interval (Patel, 2010).

ANTIBIOTIKA PNEUMONIA BAKTERIAL PADA PGK


Pemilihan antibiotika untuk pneumonia bakterial pada PGK perlu mendapat perhatian
khusus. Hal ini karena pada PGK terjadi gangguan eliminasi obat melalui ginjal serta proses
farmakokinetik deposisi obat (absorbsi, distribusi, klirens). Dosis obat yang klirensnya terkait
dengan ginjal memerlukan penyesuaian dosis obat sesuai dengan klirens kreatinin atau LFG
(Glomerular Filtration Rate). Metode yang direkomendasikan untuk penyesuaian dosis ini ada
tiga yaitu pengurangan dosis, pemanjangan interval pemberian atau gabungan keduanya
(Matzke, 2011).
Lebih dari setengah efek samping terjadi karena penyesuaian dosis yang tidak tepat.
Kesalahan dalam penyesuaian dosis obat pada penderita gangguan ginjal dapat menyebabkan
efek samping, toksisitas, outcome yang buruk, biaya perngobatan bertambah, dan lama rawat
inap. Penyesuaian dosis akan mengoptimalkan efek terapi pada penderita gangguan ginjal
(Fahimi, 2012).
Pemberian antibiotika bisa dalam dosis inisial / loading dose maupun dosis
pemeliharaan / rumatan / maintenance. Dosis inisial diberikan berdasarkan volume cairan
ekstrasel bukan berdasarkan penurunan fungsi ginjal. Loading dose diperlukan untuk
mendapatkan level terapetik obat dalam plasma secara cepat. Pada dosis rumatan, perlu
dilakukan modifikasi dosis pada penderita gangguan ginjal (Gilbert, 2011).
Antibiotika yang ekskresinya dan klirensnya melalui ginjal perlu dilakukan penyesuaian
dosis pada penderita PGK. Identifikasi penyesuaian dosis optimal penderita PGK perlu
dilakukan secara seksama karena terkait dengan efikasi antibiotika, toksisitas dan potensi
resistensi antibiotika. Beberapa hal yang perlu diketahui terkait penyesuaian dosis optimal
diantaranya farmakokinetik antibiotika pada gangguan ginjal, farmakodinamik terkait efek
antimikroba, hubungan pemberian antibiotika terhadap toksisitas dan resistensi antibiotika.
Penyesuaian dosis didasarkan pada fungsi ginjal dinilai dari LFG, rumus Cockroft-Gault lebih
sering dipakai untuk menghitung LFG (Patel, 2010).
10

Tabel 9 Penyesuaian dosis antibiotika pneumonia pada gangguan ginjal (Gilbert, 2011)
Golongan Antibiotika Jenis Obat Dosis Normal Metode Penyesuaian dosis (GFR)
Dosis Interval adjust >50 10-50 <10
-laktam Amoxicillin 500mg po q8h I q8h q12h q24h
Ampicillin 1g iv q4h I q6h q8h q12h
500mg po q6h
-laktam dan Anti - Amox-Clavul. 500/125mg po q8h I q12h q24h q24h
laktamase Ampi-Sulbac 1,5g iv q6h I q6h q12h q24h
Fluoroquinolone Levofloxacin 250-750mg q24h I q24h q24-48h q48h
respirasi Moxifloxacin 400mg q24h - 100% 100% 100%
Gatifloxacin 400mg q24h D 100% 50% 50%
Fluoroquinolone anti- Ciprofloxacin 400mg iv q12h I q12h q12h q24h
pseudomonas 500mg po q12h
Cefalosporin generasi Ceftriaxone 1-2g iv q12-24h - 100% 100% 100%
2,3 Cefotaxime 1g iv q6h I q6h q12h q24h
Cefalosporin generasi Ceftriaxone 1-2g iv q12-24h - 100% 100% 100%
3 non-pseudomonas
Cefotaxime 1g iv q6h I q6h q12h q24h
Cefalosporin anti- Ceftazidime 1-2g iv q8h I q12h q24h q48h
pseudomonas
Makrolide Azitromicin 250-500mg po/iv q24h - 100% 100% 100%
Klaritromicin 500mg po q12h D 100% 75% 50%
Eritromicin 250-500mg po q6h - 100% 100% 100%
1g iv
Karbapenem Meropenem 0,5-1g q6h D dan I 500mg 250- 250-
q6h 500mg 500mg
q12h q24h
Imipenem 0,25-1g q6h D 100% 50% 25%
Aminoglikosida Amikacin 5mg/kg q8h D dan I 60-90% 30-70% 20-30%
q12h q12-18h q24-48h
Gentamicin 1-1,7mg/kg q8h D dan I 60-90% 30-70% 20-30%
q8-12h q12h q24-48h
Doxyxycline Doxycycline 100-200mg iv/po q12h - 100% 100% 100%
Keterangan : Metode adjust
D : Dose reduction method (pengurangan dosis)
I: Interval extension method (pemanjangan interval)

PNEUMONIA PADA PGK DENGAN HEMODIALISIS


Probabilitas kumulatif penderita PGK dengan hemodialisis rutin yang masuk rumah
sakit disertai pneumonia sebesar 36% dalam 5 tahun memiliki mortalitas sebesar 28%.
Penderita hemodialisis memiliki risiko infeksi blood stream oleh kuman yang resisten, terkait
juga multidrug resisten HCAP. Kuman penyebab pneumonia pada PGK dengan hemodialisis
regular yaitu S.pneumonia, diikuti oleh Pseudomonas aeruginosa, Klebsiela, dan H.influenza. -
Pemilihan antibiotika pneumonia pada PGK dengan hemodialisis tetap berdasarkan panduan
yang ada dengan penyesuaian dosis. (Viasus, 2011)
Pada penderita end-stage renal disease yang memerlukan hemodialisis terjadi
penurunan fungsi sistem imun alami dan adaptif yang sebanding dengan penurunan LFG.
Terjadi penurunan proliferasi limfosit yang juga terkait penurunan albumin, dan klirens
kreatinin yang meningkatkan mortalitas penderita dengan hemodialisis. Perlunya vaksin
11

polisakarida pneumococcal sebagai faktor protektif pada penderita PGK. Vaksin ini diduga juga
menurunkan risiko infark miokar (Viasus, 2011).
Rawat inap penderita pneumonia PGK dengan hemodialisis regular memberi dampak
prognosis yang buruk. Sehingga pneumonia berkontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas
penderita PGK – hemodialisis. Diperkirakan sepertiga penderita PGK-hemodialisis menderita
pneumonia dalam 5 tahun. Sama halnya dengan penderita PGK yang belum hemodialisis,
morbiditas dan mortalitas terkait usia tua dan komorbid. Sedangkan transplant ginjal
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas pneumonia yang lebih rendah (Slinin, 2006)
Mortalitas infeksi paru pada penderita hemodialisis lebih besar 14-16 kali dibandingkan
populasi umum. Diperkirakan kematian penderita PGK-Hemodialisis 10 kali lipat bila disertai
pneumonia dan 100 kali lipat bila dengan sepsis (Naqvi, 2006).
Pengaruh hemodialisis terhadap terapi penderita bergantung pada beberapa faktor
diantaranya karakteristik obat, resep hemodialisis and kondisi klinis saat hemodialisis. Yang
termasuk faktor terkait obat diantaranya berat dan ukuran molekul, derajat pengikatan protein,
volume distribusi. Rekomendasi penyesuaian dosis pada penderita hemodialisis adalah dengan
memberikan obat setelah hemodialisis untuk meyakinkan level obat yang aktif sampai
pemberian obat selanjutnya, (Matzke, 2011)
Metode yang paling sering dipakai untuk menilai efek hemodialisis adalah dengan
menghitung klirens dialiser (CLD) obat dalam darah. CLD = Qb [(Ab-Vb)/Ab]. Dimana Qb
adalah aliran darah didalam dialiser, Ab adalah konsentrasi obat sebelum masuk dialiser dan Vb
adalah konsentrasi obat setelah keluar dialiser (Matzke, 2011).
Tabel 10. Penyesuaian dosis antibiotika pada PGK dengan hemodialisis (Gilbert, 2011)
Golongan Jenis Obat Dosis Normal Hemodialisis
Antibiotika Dosis Intrv
-laktam Amoxicillin 500mg po q8h 500mg q24h ditambah dosis normal setelah dialisis

Ampicillin 1g iv q4h 500mg po / 1g iv q12h ditambah dosis normal setelah


500mg po q6h dialysis
Anti -laktamase Amox-Clavul 500/125mg po q4- 500/125mg po q24h ditambah dosis normal setelah
6h dialysis
Ampi-Sulbac 1,5g iv q6h 1,5g iv q24h ditambah dosis normal setelah dialisis
Fluoroquinolone Levofloxacin 250-750mg q24h Awal 250mg dilanjutkan 125mg/hari
respirasi Moxifloxacin 400mg q24h Dosis sama dengan dosis normal
Gatifloxacin 400mg q24h 50% dosis normal, diberikan setelah dialisis
Fluoroquinolone Ciprofloxacin 400mg iv q12h iv: 200mg bd
anti-pseudomonas 500mg po q12h po: 250-500mg bd
Cefalosporin Ceftriaxone 1-2g iv q12- Dosis sama dengan dosis normal (maksimal 2g/hari)
generasi 2,3 24h
Cefotaxime 1g iv q6h q24h ditambah dosis normal setelah dialisis
Cefalosporin Ceftriaxone 1-2g iv q12- Dosis sama dengan dosis normal (maksimal 2g/hari)
generasi 3 non- 24h
pseudomonas Cefotaxime 1g iv q6h q24h ditambah dosis normal setelah dialisis
Cefalosporin anti- Ceftazidime 1-2g iv q8h q24h ditambah dosis normal setelah dialisis
pseudomonas
Makrolide Azitromicin 250-500mg po/iv q24h Dosis sama dengan dosis normal
12

Klaritromicin 500mg po q12h Dosis sama dengan dosis normal


Eritromicin 250-500mg po q6h Dosis sama dengan dosis normal
1g iv
Karbapenem Meropenem 0,5-1g q6h 1-2g 3x/minggu setelah dialisis
Imipenem 0,25-1g q6h 250-500mg tiap 12 jam, diberikan setelah dialisis
Aminoglikosida Amikacin 5mg/kg q8h 3mg/kg tiap 48jam
Gentamicin 1-1,7mg/kg q8h 2mg/kg tiap 48jam
Doxyxycline Doxycycline 100-200mg iv/po q12h Dosis sama dengan dosis normal

RINGKASAN
Pneumonia merupakan salah satu infeksi dan komplikasi yang serius dengan morbiditas
dan mortalitas yang tinggi pada penderita PGK. Pneumonia bakterial pada penderita PGK
banyak disebabkan oleh S. pneumonia. Tatalaksana kausatif infeksi pneumonia bakterial adalah
dengan pemberian antibiotika. Antibiotika diberikan secara empiris yang adekuat kemudian
dilakukan de-eksalasi sesuai hasil kultur dan sensitivitas.
Pemilihan antibiotika menjadi perhatian penting pada pneumonia dengan gangguan
ginjal terkait dosis obat, toksisitas, kesembuhan, dan resistensi. Penyesuaian dosis harus
dilakukan pada penyakit ginjal sesuai dengan klirens kreatinin atau LFG. Penghitungan LFG
dapat dilakukan dengan rumus Cockroft-Gault atau formula MDRD. Penyesuaian dosis dapat
dilakukan dengan mengurangi dosis atau memperpanjang interval dosis obat.
Pneumonia pada PGK dapat berupa pneumonia komunitas (CAP) maupun pneumonia
nosokomial (HAP, VAP, HCAP). Pemilihan antibiotika berdasarkan panduan yang ada seperti
ATS dan PDPI. Pemberian antibiotika dapat satu jenis mau kombinasi tergantung severitas
pneumonia. Penyakit Ginjal Kronis merupakan risk factor outcome yang buruk pada penderita
pneumonia. Faktor mortalitas pneumonia - PGK berupa usia tua dan faktor komorbid.
Penyesuaian dosis antibiotika dilakukan untuk mengurangi efek samping, toksisitas,
outcome yang buruk, biaya perngobatan bertambah, lama rawat inap dan mengoptimalkan efek
terapi. Antibiotika Moxifloxacin, Ceftriaxone, Azitromicin dan Doxyciclin tidak perlu
dilakukan penyesuaian dosis. Penyesuaian dosis juga harus dilakukan pada penderita PGK yang
rutin hemodialisis.

DAFTAR PUSTAKA
Fahimi F, Emami S, Farokhi FR, 2012, ‘The rate of antibiotic dosage adjustment in renal
dysfunction’, Iranian Journal of Pharmaceutical Research 11(1): 157-161.
File TM, 2009, ‘The science of selecting antimicrobials for Community-Acquired Pneumonia
(CAP)’, J Manag Care Pharm 15(2):S5-S11
13

Gilbert B, Robbins P, Livornese LL, 2011, ‘Use of Antibacterial Agents in Renal Failure’, Med
Clin N Am 95: 677-702.
James MT, Quan H, Tonelli M, 2009, ‘CKD and risk of hospitalization and death with
Pneumonia’, American Journal of Kidney Diseases, vol 54, no 1 (July): pp 24-32.
Katiyakara C, Yamwong S, Vathesatogkit P, Chittama A, 2012, ‘The Impact of different GFR
estimating equations on the prevalence of CKD and risk groups in a Southeast Asian cohort
using the new KDIGO guidelines’, Nephrology 2012, 13:1.
Mandell LA, Wunderink RG, 2010, Pneumonia, In: HARRISON’S Pulmonary and Critical
Care Medicine. New York, McGrawHill.
Matzke GR, Aronoff GR, Atkinson AJ, Bennett WM, Decker BS, Eckardt KU, 2011, ‘Drug
dosing consideration in patients with acute and chronic kidney disease - a clinical update
from Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO)’, Kidney International 80,
1122–1137.
Moorthy AV, Blichfeldt TC, 2009, Anatomy and Physiology of the Kidney. In: Pathophysiology
af Kidney Disease and Hypertension, Philadelphia, Saunders Elsevier.
Naqvi SB, Collins AJ, 2006, ‘Infectious complication in Chronic Kidney Disease’, Advances in
Chronic Kidney Disease, vol 13, no 3 (July): pp 199-294
Niederman Michael S, 2008, Principles of Antibiotic Use and the Selection of Empiric Therapy
for Pneumonia. In: Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. Edisi 4. New York:
McGraw-Hill.
NKF-K/DOQI, 2012, ‘KDOQI Clinical Practice Guideline for Diabetes and CKD: 2012
Update’, Am J Kidney Dis. 2012; 60(5):850-886
Patel N, Scheetz MH, Drusano GL, Lodise TP, 2010, ‘Determination of antibiotic dosage
adjustments in patients with renal impairment: element for success’, J Antimicrob
Chemother, doi:10.1093/jac/dkq323
Slinin Y, Foley RN and Collins AJ, 2006, Clinical epidemiology of pneumonia in hemodialysis
patients: the USRDS waves 1, 3, and 4 study. Kidney International 70, 1135–1141
Soedarsono, 2010, Pneumonia. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Cetakan III. Surabaya:
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair – RSUD Dr.Soetomo.
Torres A, Menýndez R, Wunderink R, 2010, Pyogenic Bacterial Pneumonia and Lung Abscess.
In: Murray and Nadel's Textbook of Respiratory Medicine, 5th ed. Philadelphia, Elsevier.
Viasus D, Vidal CG, Cruzado JM, Adamuz J, 2011, ‘Epidemiology, clinical features and
outcomes of pneumonia in patients with chronic kidney disease’, Nephrol Dial Transplant
26: 2899-2906.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai