IPM disusun dengan menggunakan tiga dimensi yaitu dimensi kesehatan yang
diukur dengan indikator umur harapan hidup, dimensi pengetahuan atau
pendidikan yang diukur dengan harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah,
serta dimensi hidup layak yang didekati dengan pengeluaran perkapita yang
disesuaikan.
Dengan melihat umur harapan hidup tahun 2017, diperkirakan bayi yang lahir
pada tahun 2017 memiliki harapan untuk dapat hidup hingga 71,06 tahun atau
lebih lama 0,16 tahun jika dibandingkan dengan harapan hidup bayi yang lahir
pada tahun sebelumnya.
Demikian pula dengan harapan lama sekolah, anak-anak yang pada tahun 2017
berusia 7 tahun memiliki harapan dapat menikmati pendidikan selama 12,85 tahun
(Diploma I), dan penduduk usia 25 tahun ke atas secara rata-rata telah menempuh
pendidikan selama 8-10 tahun.
Hal lain yang dapat disimpulkan dari komponen lPM adalah tingkat pemenuhan
kebutuhan hidup. Pada tahun 2017, masyarakat Indonesia memenuhi kebutuhan
hidup dengan rata-rata pengeluaran perkapita sebesar Rp10,66 juta pertahun,
meningkat Rp244 ribu dibandingkan tahun sebelumnya.
"Dalam hal ini, peningkatan pengeluaran dapat dipandang sebagai indikasi adanya
peningkatan pendapatan masyarakat. Selama tujuh tahun terakhir, pengeluaran
perkapita masyarakat Indonesia meningkat sebesar 1,76 persen pertahun,"
pungkasnya.
KEKAYAAN EMPAT MILIARDER INDONESIA SETARA KEKAYAAN
100 JUTA ORANG TERMISKIN
"Kami harap laporan ini dapat mendukung pesan betapa penting dan mendesaknya
penurunan ketimpangan," ujar juru bicara Oxfam Indonesia, Dini Widiastuti
dikutip dari Antara, Kamis 23 Februari 2017.
Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development (lNFlD)
menerbitkan laporan tentang ketimpangan di Indonesia dengan judul "Menuju
Indonesia yang Lebih Setara" sebagai upaya memberikan kontribusi pemikiran
terhadap penurunan ketimpangan di Indonesia.
Dalam laporan itu disebutkan juga bahwa orang terkaya di Indonesia dalam waktu
satu hari dapat meraup bunga dari kekayaannya lebih dari seribu kali lipat jumlah
pengeluaran rakyat Indonesia termiskin untuk kebutuhan dasar mereka selama
setahun penuh.
"Jumlah uang yang diperoleh setiap tahun dari kekayaannya cukup untuk
menghapus kemiskinan ekstrem di Indonesia," tulis laporan tersebut.
Dalam laporan ini terdapat rekomendasi-rekomendasi bagi pihak pemerintah dan
swasta untuk memastikan bahwa komitmen dan upaya baik pemerintah sejauh ini
untuk menurunkan ketimpangan dapat efektif dan memastikan tidak ada
kelompok yang tertinggal.
Namun, kesenjangan antara kaum sangat kaya dan penduduk lainnya di lndonesia
tumbuh lebih cepat dibanding di negara-negara lain di Asia Tenggara.
By Marketeers Editor
Posted on March 14, 2016
Tujuh puluh tahun merdeka, Indonesia telah mencetak sebanyak 48.500 orang
dengan kekayaan di atas US$ 1 juta. Begitulah hasil Wealth Report 2016 yang
dilansir oleh Knight Frank.
Padahal, pada satu dekade sebelumnya atau tahun 2005, kalangan dengan aset
sekitar Rp 13 miliar itu tercatat hanya 10.800 orang. Artinya, jumlah jutawan
negeri ini melesat hingga 400% selama sepuluh tahun terakhir.
Jumlah jutawan dollar itu terbagi atas empat kategori. Pertama, mereka yang
beraset di atas US$ 1 juta (Rp 100 miliar). Jumlah orang berduit ini adalah paling
banyak, atau mencapai 26.600 orang.
Kedua adalah multijutawan atau kalangan beraset di atas US$ 10 juta, jumlahnya
sebanyak 2.530 orang. Jumlah ini meningkat lima kali lipat dari satu dekade lalu
yang sejumlah 560 orang.
Dari angka itu, laporan Knight Frank menyebut, multijutawan yang menetap
permanen di Jakarta mencapai 1.380 orang atau 0,014% dari total penduduk
Jakarta yang sebanyak 9.607.787 (Badan Pusat Statistik 2010).
Nah, Ketiga yaitu kalangan ultra-high net worth individuals (UHNWI) atau orang
dengan aset US$ 30 juta, jumlahnya juga melejit dari 244 orang pada tahun 2005,
menjadi 1.096 orang.
Keempat, kalangan centa millionaires atau miliarder dengan kekayaan lebih dari
US$ 100 juta, dan triliuner atau aset lebih US$ 1.000 juta.
Saat ini, jumlah miliarder di Indonesia sebanyak 143 orang dan triliuner 16 orang.
Bandingkan dengan catatan satu dasawarsa lalu, masing-masing hanya berjumlah
32 dan 4 orang.
Knight Frank menghitung aset jutawan dolar itu berdasarkan aset tak bergerak,
seperti properti yang meliputi vila, hotel, pergudangan, dan kondotel. Begitu juga
dengan aset bergeraknya seperti saham. Aset yang dihitung itu tidak termasuk
rumah pribadi yang didiami.
World Bank pada tahun 2015 lalu menyebut bahwa rasio gini di Indonesia berada
di level 0,42%. Rasio gini menggunakan skala antara 0-1, di mana 0 menunjukkan
tidak adanya kesenjangan sosial di masyarakat dan angka 1 menunjukkan tingkat
kesenjangan sosial mencapai titik maksimal.
Hal ini mencerminkan bahwa di saat Produk Domestik Bruto meningkat, tak
membuat ketimpangan antara kaya dan miskin semakin menipis. Ini menjadi
tantangan serius Indonesia sebagai negara berkembang.
KERUSUHAN TARAKAN DISULUT KESENJANGAN SOSIAL
Oleh : Tempo.co
Senin, 27 September 2010 19:43 WIB
"Di Pemerintahan Tarakan tidak ada warga pribumi yang menduduki jabatan
tinggi, semua pendatang,” paparnya saat dihubungi Tempo, Senin (27/9).
Karenanya, Sofyan mengaku tidak kaget terjadi peristiwa kerusuhan etnis di
Tarakan sehingga menyebabkan satu tewas dan satu terluka parah. “Pasti suatu
saat akan terjadi peristiwa ini,” paparnya.
Kondisi Kota Tarakan hingga pukul 20.00 WITA Senin (27/9) masih mencekam.
Ini buntut kerusuhan antaretnis yang terjadi di kawasan Juata Kerikil pada pagi
dini hari tadi.
Kerusuhan antaretnis disebabkan adanya peristiwa pemalakan antara warga
salah satu etnis terhadap etnis lainnya. Pemalakan ini berakhir dengan adanya
pengeroyokan warga sehingga menyebabkan satu orang bernama Abdullah
meninggal dan seorang lagi terluka parah.
Mereka ayah dan anak. Ayahnya meninggal sedangkan anaknya harus dirawat di
rumah sakit,” paparnya.
Akibat peristiwa ini, kata Sofyan, ratusan warga membakar empat rumah di
kawasan Juata Kerikil. Mereka juga mencari orang-orang yang mengeroyok dua
rekannya.
Sumber: google.com
Semakin lama, banyak orang yang semakin kaya, namun yang menengah ke
bawah, semakin banyak yang jatuh miskin. Daya beli seseorang juga makin lama
makin turun. Menurut saya, hal ini terjadi dikarenakan dari tingkat pendapatan
seseorang yang sangat berbeda, antara A dengan B, yang satu tinggi sekali, yang
satu rendah sekali. Sehingga, hal tersebut jelas menyebabkan kesenjangan
ekonomi dan sosial.
Banyak sekali warga menengah ke bawah yang makan saja masih susah sekali,
masih mengandalkan subsidi dari pemerintah, dan tindakan penghematan lainnya.
Sedangkan warga menengah sampai menengah ke atas, selalu menghamburkan
uang, untuk hal-hal yang bersifat tersier dan tidak penting. Selain itu, menurut
saya, hal ini dikarenakan perbedaan kesempatan antara orang miskin dan orang
kaya. Perbedaan kesempatan, maksudnya, misalnya si kaya ini punya modal
besar, sehingga mereka bisa "memutar" uang untuk berlangsungnya bisnis yang
mereka bangun, dengan modal besar, hasil yang diuntungkan juga besar.
Akan tetapi, untuk kalangan menengah ke bawah, mereka hanya bisa berjualan
seadanya atau mereka yang tidak memiliki kemampuan wirausaha, mereka hanya
bisa menjadi pekerja saja, dengan gaji yang pas-pasan, hanya itulah yang mereka
andalkan. Lalu, menurut saya, hal ini disebabkan karena masyarakat menengah ke
bawah banyak yang "gaptek" akan ekonomi digital. Mereka tidak sanggup
mengikuti perkembangan ekonomi digital.