Anda di halaman 1dari 10

Gejala, Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Pada Neonatal Kolestasis

A. PENDAHULUAN
Kolestasis adalah berkurangnya atau terhentinya aliran empedu dari duktus biliaris
menuju ke usus oleh berbagai sebab seperti adanya batu yang menyumbat. Secara fisiologis,
empedu akan mengalami metabolisme dimulai dari hemolisis atau pemecahan hemoglobin
menjadi heme dan globin. Kemudian heme akan diubah menjadi biliverdin kemudian menjadi
bilirubin indirek. Bilirubin indirek ini akan terikat dengan albumin kemudian diangkut ke
hati. Bilirubin indirek yang telah terikat albumin akan diambil ligandin masuk ke dalam hati.
Di dalam hati bilirubin indirek akan dikonjugasi oleh enzim glukoronil transferase menjadi
bilirubin direk (empedu). Empedu akan masuk ke usus kemudian di dalam usus diubah oleh
bakteri menjadi sterkobilin dan dikeluarkan sebagai feses. Sebagian dari empedu (bilirubin
direk) akan diuraikan oleh enzim β-glukuronidase menjadi bilirubin indirek. Bilirubin indirek
ini akan diserap kembali ke darah kemudian terjadi lagi siklus metabolisme empedu dan
seterusnya.6

B. PENYEBAB
Gangguan aliran empedu bisa terjadi di sepanjang jalur antara sel-sel hati dan usus dua
belas jari (duodenum, bagian paling atas dari usus halus). Meskipun empedu tidak mengalir
tetapi hati terus mengeluarkan bilirubin yang akan masuk ke dalam aliran darah. Bilirubin
kemudian di endapkan di kulit dan dibuang ke air kemih dan menyebabkan jaundice (sakit
kuning).
Untuk tujuan diagnosis dan pengobatan, penyebab kolestasis dibagi menjadi 2 kelompok:
1. Berasal dari hati
a) Hepatitis
b) Penyakit hati alkoholik
c) Sirosis bilier primer
d) Akibat obat-obatan
e) Akibat perubahan hormon selama kehamilan (kolestasis pada kehamilan)
2. Berasal dari luar hati
a. Batu di saluran empedu
b. Penyempitan saluran empedu
1
c. Kanker saluran empedu
d. Kanker pankreas
e. Peradangan pankreas.2

C. MANIFESTASI KLINIS
Tanpa memandang etiologinya, gejala dan tanda klinis utama kolestasis neonatal adalah
ikterus, tinja akolik dan urin yang berwarna gelap, namun tidak ada satupun gejala atau tanda
klinis yang patognomonik untuk atresia bilier. Keadaan umum bayi biasanya baik. Ikterus
bisa terlihat sejak lahir atau tampak jelas pada minggu ke 3 s/d 5. Kolestasis ekstrahepatik
hampir selalu menyebabkan tinja yang akolik. Berkurangnya empedu dalam usus juga
menyebabkan berkurangnya penyerapan kalsium dan vitamin D akan menyebabkan
pengeroposan tulang, yang menyebabkan rasa nyeri di tulang dan patah tulang. Juga terjadi
gangguan penyerapan dari bahanbahan yang diperlukan untuk pembekuan darah. Terdapatnya
empedu dalam sirkulasi darah bisa menyebabkan gatal-gatal (disertai penggarukan dan
kerusakan kulit). Jaundice yang menetap lama sebagai akibat dari kolestasis, menyebabkan
kulit berwarna gelap dan di dalam kulit terdapat endapan kuning karena lemak. Gejala
lainnya tergantung dari penyebab kolestasis, bisa berupa nyeri perut, hilangnya nafsu makan,
muntah atau demam.2

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin
untuk membedakannya dari hiper-bilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan
pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin
direct < 4mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT
> 10 kali dengan peningkatan gamma- GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu
kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5 kali dengan peningkatan
gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik. Menurut Fitzgerald,
kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier.
b. Pemeriksaan Khusus

2
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang cukup
sensitif, tetapi penulis lain mengatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari
pemeriksaan visualisasi tinja.
2. Pencitraan
a. Pemeriksaan ultrasonografi
b. Sintigrafi hati
c. Pemeriksaan kolangiografi
3. Biopsi Hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan. Di
tangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai 95%
sehingga dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan la-paratomi eksplorasi,
dan bahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca
operasi Kasai ditentukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila
diameter duktus 100- 200 u atau 150-400 u maka aliran empedu dapat terjadi.2

E. DIAGNOSA BANDING
Diagnosis banding kolestasis pada bayi adalah :
1. Ekstrahepatik
a. Atresia bilier
b. Hipoplasia bilier, strnosis duktus bilier
c. Perforasi spontan duktus bilier
d. Massa (neoplasma, batu)
e. Inspissated bile syndrome
2. Kelainan Intrahepatik
a. Idiopatik
1) Hepatitis neonatal idiopatik
2) Kolestasis intrahepatik persisten, antara lain :
A. Displasia arteriohepatik (sindrom Alagille)
B. Sindrom Zellweger (sindrom serebrohepatorenal)
C. Intrahepatic bile duct paucity
b. Genetik atau komosomal : Trisomi E, Sindrom Down, Sindrom Donahue obstruksi
intestinal, Sindrom polisplenia, Lupus neonatal.
3. Breast Milk Jaundice

3
Disebabkan karena adanya peningkatan persisten dari fraksi bilirubin indirek.3
Konsentrasi maksimal dapat mencapai 10-30 mg/dL pada minggu ke-2 sampai 3 namun
biasanya tidak melebihi 20 mg/dL dengan kebanyakan kasus berkisar 10-15 mg/dL, di
mana ikterus kebanyakan akan menghilang pada bulan ke-3. 3,4 Namun pada bayi yang
tetap ikterus sampai melewati usia 2-3 minggu, bilirubin direk harus diukur guna
mengeliminasi penyakit hepatobilier. Gejalanya dapat memperberat ikterus neonatorum
fisiologis. Kecuali ikterusnya, pemeriksaan fisik biasanya normal. Urine tidak mewarnai
popok dan tinja berwarna kuning keemasan.3 Bila pemberian ASI dilanjutkan, bilirubin
akan menurun bertahap namun dapat tetap muncul sampai 3-10 minggu pada level yang
lebih rendah. Jika pemberian ASI dihentikan, bilirubin serum dapat menurun drastis
hingga mencapai kadar normal dalam beberapa hari.4 Dengan pemberian ASI kembali,
kadar bilirubin jarang kembali ke kadarnya yang tinggi. 3,4 Etiologi dari ikterus ini
kemungkinan karena adanya β-glukuronidase dan asam lemak bebas pada ASI sehingga
menyebabkan peningkatan absorbsi dari bilirubin indirek dan meningkatnya sirkulasi
enterohepatik sehingga melebihi kapasitas konjugasi di hepar. 3,4 Untuk mengkonfirmasi
adanya breast milk jaundice, coba hentikan pemberian ASI selama 48 jam dan level
bilirubin seharusnya turun dengan cepat.5

Bayi yang meminum ASI memiliki kadar bilirubin indirek serum yang lebih tinggi dari
pada bayi yang minum susu formula. Hiperbilirubinemia terjadi mungkin karena
kurangnya asupan ASI disertai dehidrasi dan atau berkurangnya asupan kalori serta
meningkatnya sirkulasi enterohepatik. Keadaan ini juga memberi kontribusi pada ikterus
yang terjadi pada minggu pertama kehidupan yang disebut sebagai breast-feeding
jaundice.4 Hal ini juga dapat terjadi akibat pemberian ASI bersamaan dengan air gula
yang menyebabkan kurangnya asupan kalori densitas tinggi dari ASI.4

F. PENATALAKSANAAN
1. Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk :
a. Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu
(asam litokolat), dengan memberikan ½ Fenobarbital 5 mg/kg/BB/hari dibagi 2
dosis per oral. Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase (untuk
mengubah bilirubin indirect menjadi bilirubin direct); enzim sitokrom P-450
(untuk oksigenisasi toksin), enzim Kolestiramin 1 gr/kg/BB/hari dibagi 6 dosis
atau sesuai jadwal pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik
asam empedu sekunder.
b. Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan ½ asam unsodeoksikolat, 3 ½
10 mg/kg/BB/hari dibagi 3 dosis per oral. Asam unsedeoksikolat mempunyai daya
ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.
2. Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin, yaitu :
a. Pemberian makanan yang mengandung medium chain tri-glycerides (MCT) untuk
mengatasi malabsorpi lemak.
4
b. Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak.
3. Terapi bedah
Bila semua pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis atresia bilier
hasilnya meragukan, maka Fitzgerald menganjurkan laparatomi eksplorasi pada
keadaan sebagai berikut : Bila feses tetap akolik dengan bilirubin direct > 4 mg/dl
atau terus meningkat, meskipun telah diberikan fenobarbital atau telah dilakukan uji
prednison selama 5 hari.1

G. PROGNOSIS
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran
histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya sendiri.
Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 71-86%,
sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya
34-43,6%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup 3 tahun
hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak termuda yang mengalami
operasi Kasai berusia 76 jam. Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi
adalah usia saat dilakukan operasi > 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik
had, tidak adanya duktus bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi
portal.1

H. PENGKAJIAN
1. Anamnesis
Umumnya ditanyakan bagaimana warna urin. Warna urin pada peningkatan bilirubin
direct dalam darah yang kita kenal sebagai kolestasis umumnya kuning tua atau
sedikit lebih tua dari biasanya. Pada bayi mungkin saja tidak ditemukan warna
kuning tua karena volume urin bayi umumnya cukup besar sehingga mungkin ada
efek dilusi bilirubin dalam urin. Selain itu ditanyakan warna feces. Pada kolestasis
dapat dijumpai warna feces yang pucat seperti dempul, dapat terus menerus atau
berfluktuasi.
2. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis perlu di fokuskan pada penampilan umum pasien, berat badan,
panjang badan dan lingkar kepala. Pasien dengan kelainan metabolik atau neonatal
hepatitis umumnya terlihat kecil sedangkan atresia bilier umumnya besar seperti anak

5
normal. Hal yang terakhir ini sering kali mengecoh klinisi untuk cenderung
mengatakan kuning pada bayi tersebut hanya memerlukan penyinaran pagi hari saja.
Ukuran kepala yang kecil mengarahkan kemungkinan terjadi infeksi kongenital.
Mata perlu diperiksa apakah selain ikterik terlihat katarak yang mengarah ke
galaktesemia. Pemeriksaan jantung kadang-kadang menyertai kelainan kolestasis
tertentu. Hati perlu diperiksa ukurannya yang dapat membesar tetapi dapat pula
masih normal, kadang ditemukan splenomegali.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menghemat dana, pada awalnya cukup dimintakan pemeriksaan bilirubin
direct darah saja, kecuali terdapat kecurigaan kuat bahwa kasus tersebut adalah kasus
kolestasis. Bila ditemukan bahwa bilirubin direct meningkat > 1,5 mg/dl dan
komponen bilirubin direct tersebut merupakan > 15% dari bilirubin total yang
meningkat maka dapat kita katakan pasien tersebut dengan kolestasis. Bayi dengan
peningkatan bilirubin direct sangat mungkin menderita kelainan hepatobilier dan
memerlukan pemeriksaan selanjutnya. Bila dari hasil pemeriksaan darah terbukti
kolestasis maka diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mencari penyebab
kolestasis tersebut. Pemeriksaan tersebut antara lain : pemeriksaan darah ALT
(SGPT), AST (SGOT), gamma glutamyl transpeptidase (GGT), albumin, globulin,
kolesterol total, trigliserida, glukosa, ureum, kreatinin, waktu protombin/INR. Bila
mungkin pemeriksaan hornomal seperti FT4, TSH dapat pula diperiksakan.
Pemeriksaan urin rutin perlu dilakukan. Pemeriksaan USG 2 fase dan mungkin biopsi
hati perlu dilakukan. Kecepatan penanganan kolestasis terutama pada atresia bilier
sangat menentukan prognosis bayi karena operasi Kasai dapat dilakukan sebelum
ditemukan sirosis hepatitis idealnya sebelum usia 8 minggu.
1. Berasal dari hati : Hepatitis, Penyakit hati alkoholik, Sirosis bilier primer, obat
obatan, perubahan hormon selama kehamilan (kolestasis pada kehamilan).
2. Berasal dari luar hati : Batu di saluran empedu, Penyempitan saluran empedu,
Kanker saluran empedu, Kanker pankreas, Peradangan pankreas.1

I. DIAGNOSA
1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan hiper bilirubin dan ruam popok.
a. Tujuan
Keutuhan klit bayi dapat dipertahankan.

6
b. Kriteria hasil
1) Kulit utuh, tidak ada ikterik
2) Tidak ada warna kemerahan di daerah perianal dan lipatan paha (perubahan
warna)
3) Kulit tidak kering dan lembut.
c. Rencana tindakan
1) Observasi tanda-tanda ikterus/jaundice selengkap-lengkapnya dengan
menggunakan sinar matahari bila memungkinkan.
2) Observasi sklera, warna kulit, dengan menekan kulit pada bagian yang keras,
misal wajah, dada, lengan atas dan kaki.
3) Gunakan sabun lembut untuk membersihkan kulit.
4) Atur frekuensi fototerapi
5) Bersihkan dan ganti popok setiap BAK dan BAB.
d. Rasional
1) Jaudance merupakan tanda-tanda hiper bilirubinemia, karena lampu buatan
akan mengaburkan pengkajian.
2) Ikterik pertama kali terlihat pada sklera yang menguning, dengan menekan
akan muncul warna kuning setelah tekanan dilepaskan.
3) Menjaga kelembaban dan kebersihan kulit bayi
4) Memudahkan perawat untuk mengatur pengawasan penyinaran, seringnya
BAB merupakan faktor penyebab kerusakan kulit.
2. Resiko terjadinya kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan IWL
dan efek fototerapi.
a. Tujuan
Resiko kekurangan volume cairan tidak terjadi.
b. Kriteria hasil
1) Kulit tidak kering
2) Suhu tubuh 36,5°C-37°C
3) Bayi tidak sering menangis karena haus.

c. Rencana tindakan
1) Observasi suhu aksila tiap 4 jam.
2) Timbang BB bayi setiap hari tanpa pakaian

7
3) Ukur intake dan output cairan tiap 4 jam
4) Berikan ASI/PASI 3-4 jam diselingi pemberian air minum tambahan
5) Observasi tanda-tanda dehidrasi
d. Rasional
1) Pengawasan sering membantu dalam menunjukan apakah ada tidak
peningkatan suhu tubuh.
2) BB adalah salah satu indikator untuk mengetahui perkembangan dan
pertumbuhan bayi.
3) Mengetahui pengeluaran dan pemasukan cairan tubuh bayi.
4) Hidrasi yang adekuat mempermudah pengeluaran/eliminasi dan ekreso
bilirubin dan mengganti cairan yang hilang.
5) Deteksi dini yang membantu untuk mengetahui dengan cepat adanya tanda-
tanda dehidrasi.
3. Resiko terhadap kematian berhubungan dengan kadar bilirubin darah yang bersifat
toksik.
a. Tujuan
Resiko cidera tidak terjadi.
b. Kriteria hasil
1) Kulit bayi tidak ikterik.
2) Bilirubin dalam batas normal.
c. Rencana tindakan
1) Perhatikan dan dokumentasikan warna kulit, sklera dan warna tubuh secara
progresif terhadap ikterik.
2) Pantau tanda-tanda vital tiap 1-2 jam.
3) Ubah posisi yang sering tiap 1 jam.
4) Pertahankan terapi cairan parenteral.
5) Pantau kenaikan bilirubin darah.
d. Rasional
1) Memantau perkembangan dan kenaikan bilirubin bayi.
2) Mengikuti keadaan umum bayi.
3) Cara/langkah agar seluruh bagian tubuh bayi terkena fototerapi secara merata.
4) Mengganti cairan yang hilang waktu fototerapi.
5) Mengevaluasi jumlah bilirubin yang bersifat toksik dalam darah.

8
4. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan keluarga tentang proses penyakit.
a. Tujuan
Keluarga mengerti dan paham tentang penyakit.
b. Kriteria hasil
1) Keluarga tampak tenang
2) Adanya pemahaman tentang penyakit oleh keluarga
c. Rencana tindakan
1) Jelaskan pada keluarga tentang penyakit dan pengobatan.
2) Diskusikan tentang perawatan lanjutan medik secara periodik.
3) Tekankan pentingnya perawatan diri dan keluarga serta tentang kebersihan
lingkungan.
d. Rasional
1) Menurunkan kecemasan keluarga
2) Dapat menurunkan kecemasan keluarga
3) Memonitor perjalanan penyakit
4) Mencegah pertumbuhan dan penularan virus dan bakteri maupun parasit yang
menyebabkan infeksi.1

DAFTAR PUSTAKA
1. Doenges, Marilyn E. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC; 1999
2. Arif Mansjoer,Kuspuji Triyanti,Rakhmi Syafitri,Wahyu Ika Wardhani,Wiwik
Setiowulan. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Jakarta: EGC; 2014

9
3. Hay WW, Levin MJ. Sondheimer JM, Deterding RR, editor. Current diagnosis and
treatment pediatrics. 18th ed. United States:Mc Graw-Hill Lange; 2007
4. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton, editor. Nelson textbook of pediatrics.18th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2008
5. Liles EA, Wardrop RM. McGraw-Hill specialty board review internal
medicine/pediatrics:case-based review.International ed. Singapore: McGraw-Hill;
2009
6. Marek H. Flesh and Bones of Metabolism. Edinburgh: Elsevier; 2007

10

Anda mungkin juga menyukai