Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Congestive Heart Failure (CHF) adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala),
ditandai oleh sesak nafas dan fatigue (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh
kelainan struktur atau fungsi jantung. 1

Congestive Heart Failure adalah suatu keadaan dimana jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolism tubuh, gagalnya aktivitas jantung
terhadap pemenuhan kebutuhan tubuh, gagalnya aktivitas jantung terhadap pemenuhan
kebutuhan tubuh, fungsi pompa jantung secara keseluruhan tidak berjalan normal. CHF
merupakan kondisi yang sangat berbahaya, meski demikian bukan berarti jantung tidak bisa
sama sekali bekerja, hanya saja jantung tidak berdetak sebagaimana mestinya. 2

Gagal jantung sering disebut juga gagal jantung kongestif (CHF) adalah
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan jaringan terhadap nutrien dan oksigen. Mekanisme yang mendasar tentang gagal
jantung termasuk kerusakan sifat kontraktil dari jantung, yang mengarah pada curah jantung
kurang dari normal. Kondisi umum yang mendasari termasuk aterosklerosis, hipertensi atrial,
dan penyakit inflamasi atau degeneratif otot jantung. Sejumlah faktor sistemik dapat
menunjang perkembangan dan keparahan dari gagal jantung. Peningkatan laju metabolic
(misalnya: demam, koma, tiroktoksikosis), hipoksia dan anemia membutuhkan suatu
peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen. 5

Masalah kesehatan dengan gangguan system kardiovaskuler termasuk didalammya


Congestive heart Failure (CHF) masih menduduki peringkat yang tinggi, menurut data
WHO dilaporkan bahwa sekitar 3000 penduduk Amerika menderita CHF. American Heart
Association (AHA) tahun 2004 melaporkan 5,2 juta penduduk Amerika menderita gagal
jantung, asuransi kesehatan Medicare USA paling banyak mengeluarkan biaya untuk
diagnosis dan pengobatan gagal jantung dan diperkirakan lebih dari 15 juta kasus baru gagal
jantung setiap tahunnya di seluruh dunia. Indonesia menduduki peringkat kedua di Asia
Tenggara dengan jumlah 317,0 ribu jiwa. Berdasarkan seluruh data yang telah dikumpulkan
WHO, pada tahun 2015 diperkirakan kematian akibat penyakit jantung meningkat menjadi 20
juta jiwa. Kemudian akan tetap meningkat sampai tahun 2030, diperkirakan 23,6 juta jiwa
penduduk akan meninggal akibat penyakit jantung. 4

1
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan
penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung. Di Eropa kejadian gagal
jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur
74 tahun. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit gagal jantung.
Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka kematian dalam
5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjut dan 5-10%
dari pasien dengan gejala gagal jantung yang ringan. 4

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Heart Failure (HF) atau gagal jantung (GJ) adalah suatu sindroma klinis kompleks,
yang didasari oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah keseluruhan jaringan
tubuh secara adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung. Pasien
dengan HF harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
 Gejala- gejala (symptoms) dari HF berupa sesak nafas yang spesifik pada saat
istirahat atau saat beraktivitas dan atau rasa lemah, tidak bertenaga.
 Tanda- tanda (signs) dari HF berupa retensi air seperti kongesti paru, edema tangkai
 dan objektif, ditemukannya abnormalitas dari struktur dan fungsional jantung. 8

Gagal jantung adalah sindrom klinis yang terjadi karena abnormalitas struktur dan
atau fungsi jantung yang diturunkan atau didapat sehingga mengganggu kemampuan pompa
jantung. 6

B. EPIDEMIOLOGI

Di Eropa gagal jantung akut berkisar 0,4-2 %, meningkat pada usia lanjut dengan
rata-rata umur 75 tahun. Di Amerika gagal jantung berkisar 5 juta orang dengan 550.000
kasus baru tiap tahun. Di Indonesia data pastinya tidak jelas, tetapi data rumah sakit
menunjukkan adanya kenaikkan. Sekali seseorang mengalami gagal jantung, 50%
diantaranya meninggal dalam 4 tahun, dimana 50% meninggal mendadak. 7

Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit gagal jantung, di RS J
antung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65%
adalah pasien gagal jantung.Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang
pesat, angkakematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien
penyakitgagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang ringan.
4

3
C. ETIOLOGI

Berbagai gangguan penyakit jantung yang mengganggu kemampuan jantung untuk


memompa darah menyebabkan gagal jantung yang biasanya diakibatkan karena kegagalan
otot jantung yang menyebabkan hilangnya fungsi yang penting setelah kerusakan jantung,
keadaan hemodinamis kronis yang menetap yang disebabkan karena tekanan atau volume
overload yang menyebabkan hipertrofi dan dilatasi dari ruang jantung, dan kegagalan jantung
dapat juga terjadi karena beberapa faktor eksternal yang menyebabkan keterbatasan dalam
pengisian ventrikel. 3

D. KLASIFIKASI

Klasifikasi bersadarkan kelainan struktur jantung :


a. Stadium A
Memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung.Tidak terdapat
gangguan struktural atau
fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala
b. Stadium B
Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan perkembangan
gagal jantung, tidak terdapat tanda atau gejala
c. Stadium C
Gagal jantung yang simtomatik berhubungan dengan penyakit struktural jantung yang
mendasari
d. Stadium D
Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat bermakna
saat istrahat walaupun sudah
mendapat terapi medis maksimal (refrakter) 2
Klasifikasi berdasarkan kapasitas fungsional menurut New York Heart Association (NYHA)
diklasifikasikan menjadi:

a) Kelas I
Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari
tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
b) Kelas II
Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istrahat, namun aktifitas
fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas

4
c) Kelas III
Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istrahat, tetapi
aktfitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak
d) Kelas IV
Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat istrahat.
Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas. 2

E. PATOFISIOLOGI

Jantung adalah organ berupa otot, berbentuk kerucut, berongga dan dengan basisnya
di atas dan puncaknya di bawah. Apexnya (puncak) miring ke sebelah bawah kiri. Berat
jantung kira-kira 300 gram. Agar jantung dapat berfungsi sebagai pompa yang efisien, otot-
otot jantung di bagian atas dan bawah akan berkrontraksi secara bergantian. Laju denyut
jantung atau kerja pompa ini dikendalikan secara alami oleh suatu pengatur irama (pace
maker) yang di sebut nodus sinoarterial. Nodus sinoarterial ini terletak di dalam dinding
serambi kanan. Sebuah impuls listrik yang ditransmisikan dari nodus sinoarterial ke kedua
serambi membuat keduanya berkontraksi secara serentak. Arus listrik ini selanjutnya di
teruskan ke dinding-dinding bilik, yang pada gilirannya membuat bilik-bilik berkontraksi
secara serentak. Periode kontraksi ini disebut sistol. Selanjutnya periode ini diikuti dengan
sebuah periode rilaksasi pendek – kira-kira 0.4 detik – yang disebut diastole, sebelum impuls
berikutnya datang.Nodus sinoarterial menghasilkan antara 60-72 impuls seperti ini setiap
menit ketika jantung sedang santai. Produksi impuls-impuls ini juga dikendalikan oleh satu
bagian sistim syaraf yang disebut sistim syaraf otonom, yang bekerja di luar keinginan kita.
Sistim listrik built up inilah yang menghasilkan kontraksikontraksi otot jantung berirama
yang disebut denyut jantung. Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung,
yaitu gangguan mekanik (beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau
bersamaan yaitu beban tekanan, beban volume, tamponade jantung atau kontriksi perikard,
jantung tidak dapat diastole, obstruksi pengisian ventrikel, aneurisme ventrikel, disenergi
ventrikel, restriksi endokardial atau miokardial) dan abnormalitas otot jantung yang terdiri
dari primer (kardiomiopati, miokarditis metabolic (DM, gagal ginjal kronik, anemia) toksin
atau sitostatika) dan sekunder (iskemia, penyakit sistemik, penyakit infiltrative, dan
korpulmonal).Gangguan irama jantung atau konduksi Menurut Soeparman (2000) beban
pengisian (preload) dan beban tekanan (afterload) pada ventrikel yang mengalami dilatasi
atau hipertrofi memungkinkan adanya peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat,

5
sehingga curah jantung meningkat. Pembebanan jantung yang lebih besar meningkatkan
simpatis, sehingga kadar katekolamin dalam darah meningkat dan terjadi takikardi dengan
tujuan meningkatkan curah jantung. Pembebanan jantung yang berlebihan dapat
mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terjadi redistribusi cairan dan elektrolit
(Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokontriksi perifer dengan tujuan untuk
memperbesar aliran balik vena (venousreturn) ke dalam ventrikel sehingga meningkatkan
tekanan akhir diastolic dan menaikkan kembali curah jantung. Dilatasi, hipertrofi, takikardi,
dan redistribusi cairan badan merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
curah jantung dalam memenuhi kebutuhan kompensasi untuk mempertahankan curah jantung
dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi badan. Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi
jantung tersebut di atas sudah dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan
belum juga terpenuhi, maka terjadilah keadaan gagal jantung. 3
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan
pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun dengan akibat
tekanan akhir diastole dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole dalam ventrikel kiri
meningkat. Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel
kiri pada waktu diastolic, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan rata-rata dalam atrium
kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya
darah dari vena-vena pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan
terjadi juga dalam paruparu dengan akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan
tanda-tanda akibat adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi.Keadaan yang terakhir ini
merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk sirkuit paru
(sirkulasi kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah, maka akan meransang
ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan mengalami hipertropi dan dilatasi
sampai batas kemampuannya, dan bila beban tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi
gagal jantung kanan, sehingga pada akhirnya terjadi akhirnya terjadi gagal jantung kiri-
kanan. Gagal jantung kanan dapat pula terjadi karena gangguan atau hambatan pada daya
pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan tanpa didahului oleh gagal
jantung kiri. Dengan menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan,tekanan dan volume akhir
diastole ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban atrium kanan dalam kerjanya
mengisi ventrikel kanan pada waktu diastole, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan
dalam atrium kanan. Tekanan dalam atrium kanan yang meninggi akan menyebabkan
hambatan aliran masuknya darah dalam vena kava superior dan inferior ke dalam jantung
sehingga mengakibatkan kenaikan dan adanya bendungan pada vena-vena sistemik tersebut

6
(bendungan pada vena jugularis dan bendungan hepar) dengan segala akibatnya (tekanan
vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bila keadaan ini terus berlanjut, maka
terjadi bendungan sistemik yang lebih berat dengan akibat timbulnya edema tumit atau
tungkai bawah dan asites . 3

Manifestasi CHF tidak hanya disebabkan karena ketidakmampuan jantung dalam


mensuplai oksigen yang adekuat ke jaringan perifer, tapi juga tergantung pada respon
sistemik dalam mengkompensasi ketidakadekuatan suplai oksigen ke jaringan. Beberapa
faktor yang menentukan cardiac output meliputi heart rate dan stroke volume. Stroke volume
ditentukan oleh preload, kontraktilitas, dan afterload. Variabel-variabel ini penting diketahui
dalam patofisiologis CHF dan potensi terapi. Selain itu interaksi kardiopulmonary penting
juga untuk diketahui dalam peranannya dalam kegagalan jantung.

Preload dapat dilihat dari jumlah volume darah yang harus dipompa oleh jantung,
kontraktilitas merupakan kemampuan memompa jamtung, sedangkan afterload merupakan
kekuatan yang harus dikeluarkan oleh jantung untuk memompa darah. Preload tidak hanya
dipengaruhi oleh volume intravaskuler, tapi juga dipengaruhi oleh keadaan restriksi saat
pengisian ventrikel. Fungsi diastolic ditentukan oleh dua faktor yaitu elastisitas dari ventrikel
kiri, yang mana merupakan fenomena yang pasif, dan relaksasi myocardial yang mana proses
ini merupakan proses yang aktif dan membutuhkan energi. Ketidaknormalan ventrikel kiri
untuk relaksasi atau elastisitasnya baik itu karena structural (contoh: hypertropi ventrikel kiri)
atau perubahan pada fungsional (contoh: iskemia) mempengaruhi juga pengisian ventrikel
(preload). 3

7
Variable kedua dari stroke volume adalah kontraktilitas jantung, Pada jantung normal
fungsi sistolik fraksi ejeksi akan selalu dipertahankan diatas 50-55%. Infark myokard akan
menyebabkan myokard tidak dapat bekerja dengan baik, hal ini dikarenakan jantung tidak
dapat berkontraksi dengan baik.Jaringan yang infark dapat diperbaiki dengan pembedahan
atau dengan terapi obat-obatan.Beberapa hal yang juga mempengaruhi kontraktilitas jantung
adalah agent farmakologik (calcium-channel blocker), hipoksemia, dan asidosis yang
parah.Variabel terakhir dari komponen stroke volume adalah afterload. Afterload biasanya
dilihat dengan pengukuran mean arterial pressure. Afterload dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu tahanan vaskuler, dan tekanan intratorakal. Bersama-sama ketiga komponen ini saling
mempengaruhi dalam patofisiologi CHF. Pada kondisi dimana terjadi penurunan
cardiac output, maka heart rate atau stroke volume harus berubah untuk menjaga
kelangsungan perfusi. Jika stroke volume tidak dapat dirubah, maka heart rate harus
ditingkatkan untuk menjaga cardiac output. 3

Sistem neurohormonal teraktivasi pada disfungsi ventrikel dengan penurunan cardiac


output, terjadi aktivasi baroreseptor pada arkus aorta, sinus karotikus, dan ventrikel kiri.
Baroreseptor ini menstimulasi pusat regulator vasomotor pada medula, yang mana
kemudian mengaktivasi system saraf simpatis, arginin vasopressin, dan rennin-angiotensin
aldosteron system. Aktivasi system saraf simpatis dapat terlihat dari adanya peningkatan
kadar norepinephrin plasma, hasilnya dapat terlihat dari peningkatan heart rate, kontraktilitas
myocardium, vasokonstriksi perifer. Renin angiotensin system teraktivasi pada kegagalan
jantung, melalui mekanisme intrarenal, yang distimulasi oleh perubahan tekanan atau
perubahan pada kadar sodium pada macula densa, yang kemudian menyebabkan terjadinya
retensi sodium dan cairan.

4
F. MANIFESTASI KLINIS

Tipikal Kurang tipikal


Sesak nafas Batuk di malam / dini hari
Ortopneu Mengi
Paroxysmal nocturnal Berat badan bertambah >2kg/minggu
Dyspnoe Berat badan turun (gagal jantung
stadium lanjut)

8
Toleransi aktifitas yang berkurang Perasaan kembung/ begah
Cepat lelah Nafsu makan menurun
Bengkak di pergelangan kaki Perasaan binggung (terutama pasien
lanjut usia)
Spesifik Depresi
Peningkatan JVP Berdebar , pingsan
Reflukshepatojugular Hepatomegali, Asites
Suara jantung S3 (gallop) Takikardia, Nadi irreguler, Nafas
cepat
Apex jantung bergeser ke lantai Edema perifer
Bising jantung Suara pekak dibasal paru pada perkusi

G. DIAGNOSIS
Pendekatan pada pasien dengan kecurigaan kegagalan jantung meliputi riwayat
dan pemeriksaan fisik, foto toraks, dan serangkaian tes yang harus dijalani. Riwayat penyakit
sendiri kurang dapat dipakai dalam menegakkan diagnosa kegagalan jantung, tapi sering kali
dapat memberi petunjuk penyebab dari kegagalan jantung, faktor yang memperberat, dan
keparahan dari penyakit. Gejala gagal jantung dapat dihubungkan dengan penurunan cardiac
output (mudah lelah, dankelemahan) atau retensi cairan (dyspnea, orthopnea, dan ”cardiac
wheezing”). Pada kasus dengan kegagalan pada jantung kanan dapat menyebabkan terjadinya
kongetif hepar. Retensi cairan juga menyebabkan edema perifer dan asites. Kegagalan pada
jantung kiri dapat menyebabkan gejala berupa munculnya dyspnea on effort. Pulmonary
congestion (dengan crackles dan wheezing) dominan muncul terutama pada keadaan akut
maupun subakut . 3
Indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya overload volume adalah
adanya peningkatan pada Jugular Venous Pressure. Pelebaran dari ventrikel dapat dilihat
pada saat palpasi precordial, dan denyutan dari apex yang terletak lateral dari midclavicular
line. Pada pasien dengan dispnea, maka gambaran foto thoraks akan sangat membatu untuk
menetukan perkiraan penyebab dari dispnea tersebut, apakah diakibatkan karena kegagalan
jantung atau karena penyakit pada paru-paru. Gambaran radiografi pada kelainan akibat
kegagalan jantung adalah cardiomegali,cephalization dari pembuluh darah, peningkatan
marker interstitial, dan adanya pleural efusi. Apabila didapatkan beberapa tanda, gejala, dan

9
gambaran radiologi seperti yang disebutkan diatas maka diagnosa untuk CHF dapat
ditegakkan. Pasien dengan riwayat penyakit jantung, diabetes melitus, hipertensi, atau
riwayat penyakit arteri koroner meningkatkan resiko terkena CHF. Untuk penegakan
diagnosa CHF juga dapat menggunakan kriteria Framingham, kriteria Framingham dipakai
untuk diagnosis gagal jantung kongestif. 3

Kriteria major Kriteria minor


Paroksismal nokturnal dispnea Edema ekstremitas
Distensi vena leher Batuk malam hari
Ronki paru Dispneu d’effort
Kardio megali Hepatomegali
Edema paru akut Efusi pleura
Gallop S3 Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Peninggian TVJ Takikardi (>120/menit)
Refluks hepatojugular
Diagnosis gagal jantung ditegakkan jika ada 2 kriteria mayor atau 1 kriteria major dan 2
kriteria minor. 4

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :

Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin
serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan gula darah, profil lipid.5

2.. EKG
Electrocardiography tidak dapat digunakan untuk mengukur anatomi LVH tetapi
hanya merefleksikan perubahan elektrik (atrial dan ventrikular aritmia) sebagai faktor
sekunder dalam mengamati perubahan anatomi. Hasil pemeriksaan ECG tidak spesifik
menunjukkan adanya gagal jantung .
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk
menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH) atau riwayat MI (ada
atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya
disfungsi diastolik pada LV. 2

10
3.. Radiologi
Foto thorax dapat membantu dalam mendiagnosis gagal jantung. Kardiomegali
biasanya ditunjukkan dengan adanya peningkatan cardiothoracic ratio / CTR (lebih besar dari
0,5) pada tampilan postanterior. Pada pemeriksaan ini tidak dapat menentukan gagal jantung
4
pada disfungsi siltolik karena ukuran bias terlihat normal.
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan
bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang- kadang efusi pleura. begitu
pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada
gejala pasien.2

4.. Echocardiografi
Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk semua pasien gagal jantung. Tes ini
membantu menetapkan ukuran ventrikel kiri, massa, dan fungsi. Kelemahan
echocardiography adalah relative mahal, hanya ada di rumah sakit dan tidak tersedia untuk
pemeriksaan skrining yang rutin untuk hipertensi pada praktek umum . 2

H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan secara non
farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun
kronik ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun
penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. 2

a. Penatalaksanaan farmakologi

- Diuretic : direkomendasikan pada pasien gagal jantung dan tanda-tanda klinis/gejala


dari kongesti. Dosis umum diuretik yang digunakan pada gagal jantung

- Angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI) : pengobatan dengan ACEI


meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien, menurunkan angka masuk
rumah sakit untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan.
Pasien yang harus mendapatkan ACEI diantaranya LVEF < 40%, walaupun tidak ada
gejala. Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi katup. Obat yang umum
dipakai diantaranya captopril, enalapril, lisinopril, ramipril, trandolapril.

11
- Angiotensin Receptor Blocker (ARBs) : pengobatan dengan ARB meningkatkan
fungsi ventrikel dan kesehatan pasien. ARBs direkomendasikan sebagai pilihan lain
pada pasien yang tidak toleran terhadap ACEI. Pasien yang harus mendapatkan ARb
diantaranya; LVEF < 40% dan sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan
sampai berat yang tidak toleran terhadap ACEI. Atau pasien dengan gejala menetap
walaupun sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan BB.

- Beta Blockers (BB) : blockade pada reseptor beta meningkatkan fungsi ventrikel dan
kesehatan pasien dan menurunkan angka masuk rumah sakit dan peningkatan angka
keselamatan. Pasien yang mendapatkan BB diantaranya; LVEF < 40%. Gejala ringan
sampai berat NYHA classification, ACEI/ARB sudah mencapai tingkat dosis optimal,
dan pasien harus secara klinis stabil (cth: tidak ada perubahan terbaru dari dosis
diuretik).

- Antagonis Aldosteron : mampu menurunkan angka masuk RS dan meningkatkan


angka keselamatan. Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron yaitu;
LVEF < 35%, gejala menengah sampai berat, dan telah mencapai dosis optimal BB
dan ACEi atau ARB.

- Hidralazine dan Isosorbide dinitrate (HSDN) : pengobatan HSDN dapat


dipertimbangkan untuk menurunkan risiko kematian dan angka masuk RS untuk
perburukan gagal jantung. Pasien yang seharusnya mendapat HSDN adalah pengganti
ACEi/ARB dimana keduanya tidak mendapat toleransi. Sebagai tambahan terhdap
pengobatan dengan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat toleransi
atau gejala menetap walaupun sudah mendapatkan terapi ACEI, ARB, BB dan
antagonis aldosteron.

- Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sistolik
ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama
diuretic, penghambat ACE, penyekat beta.

- Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli


serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk.
Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat
emboli, thrombosis dan transient ischemis attack, thrombus intrakardiak dan
aneurisma ventrikel.

12
- Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritmia
ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia klas I harus dihindarkan kecuali pada
aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat
digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk mencegah kematian
mendadak.

- Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk


mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung. 2

b. Penatalakasanaan Non –farmakologi :

a. Anjuran Umum

- Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan

- Aktivasi social dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa.
Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan.

- Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.

- Vaksinasi terhadap infeksi influenza dan pneumokokus bila mampu.

- Kontrasepsi dengan IUD pada gagal jantung sedang dan berat, penggunaan
hormone dosis rendah masih dapat dianjurkan.

b. Tindakan Umum

- Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g
pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5
liter pada gagal jantung ringan).

- Hentikan rokok

- Hentikan alcohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya.

- Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau
sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut
jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang).

13
- Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut. 2

14
BAB III

KESIMPULAN

Congestive Heart Failure (CHF) adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala),
ditandai oleh sesak nafas dan fatigue (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh
kelainan struktur atau fungsi jantung.

Gejala gagal jantung dapat dihubungkan dengan penurunan cardiac output (mudah lelah,
dankelemahan) atau retensi cairan (dyspnea, orthopnea, dan ”cardiac wheezing”). Pada kasus
dengan kegagalan pada jantung kanan dapat menyebabkan terjadinya kongetif hepar. Retensi
cairan juga menyebabkan edema perifer dan asites. Kegagalan pada jantung kiri dapat
menyebabkan gejala berupa munculnya dyspnea on effort. Pulmonary congestion (dengan
crackles dan wheezing) dominan muncul terutama pada keadaan akut maupun subakut.

Untuk penegakan diagnosa CHF juga dapat menggunakan kriteria Framingham, kriteria
Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Diagnosis gagal jantung
ditegakkan jika ada 2 kriteria mayor atau 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah Pemeriksaan Darah


rutin,Elektrocardiografi, Radiologi , Echocardiografi. Penatalaksanaan penderita dengan
gagal jantung meliputi penalaksanaan secara non farmakologis dan secara
farmakologis.Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan untuk
mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun penatalaksanaan secara individual
tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. Terapi secara farmakologi dapat diberikan
diuretik, Angiotensin Converting enzyme inhibitor (ACE I), Angiotensin Reseptor Blocker
(ARBs), Beta blockers (BB), Antagonis aldosteron, Hidralazine dan isosorbide dinitrate
(HSDN), Dioksin, Antikoagulan dan antiplatelet. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk
pasien yang asimptomatik atau aritmia ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia klas I harus
dihindarkan kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama
amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk mencegah
kematian mendadak. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis
untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.

Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat berkembang, tetapi
prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun bervariasi dari 5% pada
pasien stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala berat dan

15
progresif. Prognosisnya lebih buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi
ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen
maksimal < 10 ml/kg/menit), insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin
plasma yang meningkat. Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak.
Meskipun beberapa kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan
akibat infark miokard akut atau bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya
adalah akibat gagal jantung progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami
gagal jantung stadium lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif
yang sangat cermat.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Tri Yulianti, 2011. Congestive Heart Failure. Diakses dari


http://repository.ump.ac.id/3984/3/Tri%20Yulianti%20BAB%20II.pdf
2. PDSKI. 2009. Pedoman Tata Laksana Penyakit Kardiovaskular di Indonesia.
3. Rachma, Nur, Lailia. 2014. Patomekanisme Penyakit Gagal Jantung Kongestif.
Diakses dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=278421&val=5270&titl
e=PATOMEKANISME%20PENYAKIT%20GAGAL%20JANTUNG%20KONGESTIF

4.Hesunarti, Nani. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Di akses dari


http://www.inaheart.org/upload/file/Pedoman_TataLaksana_Gagal_Jantung_20
15.pdf

5. Prasetya, ahmad, Fajar. 2015. Seorang Perempuan Datang Dengan Sesak Nafas
Hebat 2 Hari SMRS. Di akses dari
https://www.scribd.com/document/290035142/Laporan-Kasus-chf

6. Alwi, Idrus 2015 Penatalksanaan di bidang ilmu penyakit dalam padauan


praktik klinis .Jakarta: interna publishing

7. Setyohadi, Bambang. 2015. EIMED PAPDI Kegawatruratan penyakit dalam.


Jakarta: PDPI

8.panggabean , Marulam .2013. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 2 . Jakarta:
Interna publishing

17

Anda mungkin juga menyukai