Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan
rasio. Itulah yang berkembang menjadi ijtihad; upaya ilmiah menggali dan
menemukan hukum bagi hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat
(manshus) dalam syariah (al-kitab wa sunnah). Dengan demikian, sumber hukum
Islam terdiri atas: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan akal. Selain dari sumber hukum
primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber sekunder (al-mashadir al-
tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat sahabat Nabi
(qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al'urf), Istihsan, Istishlah dan Istishhab.
Seiring perkembangan masa, semakin banyak problem yang kita dapatkan
dalam proses interaksi manusia. Kita ketahui bahwa al- qur’an dan hadist
merupakan sumber hukum yang masih universal penjelasannya. Sehingga
dibutuhkan ijtihad para mujtahid. Tidak bisa dipungkiri bahwa amalan para
mujtahid masih sangat diperlukan dalam menginstinbathkan hukum syara. Sebab
ada hal-hal tertentu dalam hukum syara` yang memang masih butuh penjelasan
lebih lanjut. Biasanya yang menjadi objek dari qiyas ini adalah hal-hal yang
berhubungan dengan cabang bukan pokok dari suatu perkara hukum syara`.
Biasanya untuk hal yang pokok telah dicantumkan hukumnya dalam al-
quran maupun al-hadits. Qiyas menjadi sangat penting mengingat makin banyak
permasalahan baru dalam dunia islam yang berkaitan dengan syara` seiring dengan
perkembangan zaman. Oleh karena itu, pada pembahasan makalah kami ini akan
memaparkan sedikit tentang qiyas.

1
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada makalah ini
sebagai berikut:
1. Apa saja yang dimaksud Qiyas?
2. Bagaimana kehujjahan qiyas?
3. Apa saja unsur dan rukun qiyas?
4. Bagaimana cara untuk mengetahui Illat?
5. Bagaimana Illat hukum dan hikmah hukum?

C.Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan dari makalah
ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari qiyas.
2. Untuk mengetahui kuhujjahan qiyas.
3. Untuk mengetahui unsur dan rukun qiyas.
4. Untuk mengetahui cara untuk mengetahui Illat.
5. Untuk mengetahui Illat hukum dan hikmah hukum.

D.Manfaat Penulisan
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat yang
berarti. Manfaat-manfaat yang dimaksud adalah:
1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian pengertian qiyas.
2. Mahasiswa dapat mengetahui kehujjahan qiyas.
3. Mahasiswa dapat mengetahui unsur dan rukun qiyas.
4. Mahasiswa dapat mengetahui cara untuk mengetahui Illat.
5. Mahasiswa dapat mengetahui Illat hukum dan hikmah hukum.

2
BAB II
PEMBAHASAN

PENGERTIAN QIYAS, KEHUJJAHAN QIYAS, UNSUR DAN


RUKUN QIYAS, CARA UNTUK MENGETAHUI ILLAT, ILLAT HUKUM
DAN HIKMAH HUKUM

A. Defenisi Qiyas

Qiyas secara bahasa adalah


‫تقدير الشئ بأخر ليعلم المساوات بينهما‬
Menurut bahasa, qiyas berarti mengukur, atau menyamakan sesuatu dengan
yang lain. Para ahli Ushul Fiqih merumuskan qiyas dengan : “manyamakan atau
mengukur sesuatu kejadian yang tidak ada nash Al-Qur’an dan Hadist) tentang
hukumnya dengan kejadian yang disebutkan dalam nash karena ada kesamaan
antara dua kejadian itu didalam illat hokum tersebut.” Dari rumusan diatas dapat
dijelaskan beberapa hal :
Kejadian (‫ (واقعة‬adalah peristiwa, perbuatan, tindakan yng tidak ada
hukumnya atau belum jelas hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupu As-Sunnah.
Dalam ilmu Ushul Fiqih hal ini disebut “far’un” (‫)فرع‬.
Suatu peristiwa dapat disebut far’un apabila : adanya kemudian, tidak ada
kesamaan illat dengan peristiwa yang akan disamainya. Kejadian yang telah ada
ketentuan hukumnya baik didalam A-Qur’an maupun As-Sunnah disebut ashal
(‫ )اصل‬atau disebut disebut juga “maqiis ‘alaih” (‫ )مقس عليه‬yaitu sesuatu yang akan
diqiyaskan kepadanya, atau “masyabbah bih” (‫ )مشبه به‬yaitu yang akan
diserupakan dengannya.

Qiyas secara istilah adalah


‫رد الفرع الى االصل بعلة تجمعها فى الحكم‬
Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya
dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum.
Karena dengan qiyas ini berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan
hukum kepada sumbernya al-quran dan hadits. Sebab dalam hukum Islam kadang
tersurat jelas dalam al-quran dan hadits, tapi kadang juga bersifat implicit-
analogik (tersirat) yang terkandung dalam nash. Beliau Imam Syafi’i mengatakan
“Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib

3
melaksanakannya”. Namun jika tidak ada ketentuan hukum yang pasti, maka
haruslah dicari dengan cara ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiyas.
Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan sesuatu yang
serupa karena prinsip persamaan‘illat akan melahirkan hukum yang sama. Asas
qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan
sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan tersebut menemukan titik persamaan
maka konsekuensi hukumnya harus sama pula dengan hukum yang ditetapkan.
A1-Qur’an menjelaskan perbedaan hukum karena tidak adanya persamaan sifat
dan perbuatan yaitu firman Allah :
‫افلم يسيروا فى االرض فينظروا ليف كان عاقبة الذين من قبلهم‬
‫دمر هللا عليهم وللكافرين امثالهم‬
Artinya : Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi
ini sehingga mereka dapat melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum
mereka. Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir
akan menerima akibat-akibat seperti itu.

Yang kedua adalah analogi beda sifat, beda hukum.


‫ام حسب الذين احترجوا السيأت ان تجعلهم كا الذين أمنوا وعملوا الصالحات‬
‫ الجاثية( سواء محياهم ومماتهم سأ ما يحكمون‬: 21)
Artinya : Apakah orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa
kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal sholeh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka?
Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.

Dan Firman Allah yang berbunyi.


‫ام نجعل الذين امنوا وعملوا الصالحات كا المفسدين فى االرض ام نجعل المتقين‬
‫ الصاد( كا الفجار‬: 28)
Artinya : Patutkah kami menganggap orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal sho!eh samadengan orang-orang yang berbuat kerusakan di
muka bumi? Patutkah kami menganggap orang-orang yang bertaqwa sama
dengan orang-orang yang berbuat maksiat?

Berikut pengertian Qiyas menurut para ahli:


1. Al-Ghazali dalam al-Mustahfa "Menanggungkan sesuatu yang diketahui
kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau
meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal sama antara keduanya,
dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.

4
2. Qadhi Abu Bakar“Menanggung sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang
diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum
dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya”.
3. Ibnu Subki“Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang
sudah diketahui kesamaannya dalam ‘‘illat hukumnya menurut pihak yang
menghubungkannya (mujtahid).”
4. Abu Zahrah “Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang
hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya
berserikat dalam ‘‘illat hukum’.”
5. Ibnu Qudamah “Menanggungkan (menghubungkan) furu’ kepada ashal
dalam hukum karena ada hal yang sama (yang menyatukan) antara keduanya.”
6. Ibnu al-Hummam“Samanya suatu wadah (tempat berlakunya hukum)
dengan yang lain dalam ‘illat’ hukumnya. Bagiannya ada artian syar’i yang tidak
dapat dipahami dari segi kebiasaan.”
7. Abu Hasan al-Bashri“Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada
“furu’” karena keduanya sama dengan ‘‘illat hukum menurut para mujtahid”.
8. Al-Human“Qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus
lainnya karena kesamaan ‘‘illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui
pemahaman bahasa secara murni.”

B. Kehujjahan Qiyas
Tidak diragukan lagi bahwa aliran jumhur adalah aliran yang tepat dan
paling kuat karena argumentasinya berdasarkan atas prinsip berpikir logis
disamping tetap berpegang pada Al-Aqur’an dan petunjuk Rasulullah. Dalil Al-
qur’annya adalah sebagai berikut:
‫ياايها الذين امنوا اطيعوا هللا واطيعوا الرسول واول االمر منكم فإن تنازعتم فى‬
‫سيء فردواه الى هللا والرسول ان كنتم تؤمنون باهلل واليوم االخر‬.
(‫ النساء‬: 59)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan Rasul-Nya
dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan rasul (sunnah) jika
kamu benar-bear beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Ayat tersebut menjadi dasar hukum qiyas. Karena didalamnya terdapat
ungkapan “kembali kepada Allah dan Rasulnya” tidak lain dan tidak bukan adalah
perintah supaya menyelidiki tanda-tanda bahwa apa sesungguhnya yang
dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dilakukan dengan jalan mencari illat
hukum yang dinamakan qiyas.
Kemudian dalil Al-qur’annya sebagai berikut:
‫قصصهم عبرة‬ ‫ يوسف( لقد كان فى‬: 111)

5
Sesungguhnya dalam kisah mereka terdapat pelajaran....
Di dalam lafadz ‘itibar di atas ditafsirkan dengan makna Al-
itt’azh (mengambil pelajaran). Hal itu tidak lain adalah penetapan terhadap firman
Allah dan ciptaan-Nya yaitu bahwa sesuatu yang berlaku bagi contoh, maka ia
berlaku pula pada yang menjadi contohnya.
Analoginya adalah seperti ini: Apabila seorang pegawai dijatuhi hukuman
karena menerima suap, lalu sang kepala berkata kepada teman-teman sekantor
“Sesungguhnya ini adalah suatu pelajaran bagi kamu, maka ambilah sebagai
pelajaran”. Maka dapat dipahami dari kata-kata Sang Kepala tersebut kamu akan
sepertinya, jika kamu melakukan hal yang sama, kamu akan dihukum sebagaimana
hukuman yang menimpanya, dan juga sebuah hadist Rasulullah SAW:
‫ قال له ليف تقضى اذا عرض له‬.‫م لما اراد ان يبعثه الى اليمن‬.‫ان رسول هللا ص‬
‫م‬.‫ اقضى بكتاب هللا فإن لم أجد فبسنة رسول هللا ص‬: ‫ قال‬,‫على صدره قضاء‬
‫م‬.‫ الحمد هلل الذى وفق رسول هللا لما يرضى رسول هللا ص‬: ‫قال‬
Artinya : “Bahwasannya Rasulullah Saw, ketika hendak mengutus Muadz
menuju negeri Yaman, berkata kepadanya : Bagaimanakah kau memberi putusan?
Muadz menjawab : “Saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah. Jika saya
tidak menemukannya, saya memutuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah Saw,
kemudian jika saya tidak menemukannya, maka saya akan berijtihad dan saya tidak
akan sembrono. Lantas Rasulullah Saw menepuk-nepuk dadanya dan berkata :
“Segala puji adalah bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan
Rasulullah kepada apa yang diridhoi oleh Rasulullah Saw”.
Dari hadist di atas Rasulullah Saw mengakui Muadz untuk berijtihad, bila
dia tidak menemukan nash yang dia gunakan untuk memberi putusan baik Al-
Qur’an ataupun As-Sunnah. Sedang ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan
untuk sampai kepada hukum. Dan Ijtihad juga meliputi qiyas.
Dengan adanya dalil kehujjahan qiyas diatas, dapat kita simpulkan
bahwasannya pada saat sekarangpun qiyas masih terjadi.
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan qiyas. Ada lima pendapat
mengenai hal ini.
1. Jumhur ulama memandang bahwa qiyas hujjah dan wajib mengamalkannya
berdasarkan syar’i.
2. Pendapat Qaffal dan Abu Husein al-Bashri bahwa akal
dan naql menunjukkan kehujjahan qiyas.
3. Pendapat al-Qasyani, Nahrawani memandang, bahwa qiyas wajib
diamalkan dalam dua hal:
Illah ashl ditetapkan oleh nash dengan jelas atau dengan jalan ima’ )‫(اإليماء‬
Hukum far’u lebih utama dari hukum ashl. Seperti keharaman memukul
orang tua dikiaskan pada keharaman berkata “ah”.

6
4. Mazhab Zhahiri mengingkari kehujjahan qiyas berdasarkan syariat, meski
secara akal bisa.
5. Mazhab Syiah dan Nizham dari mu’tazilah memandang bahwa
kehujjahan qiyasmustahil secara akal.
Secara garis besar, lima pendapat ini dapat dikelompokkan dalam dua
pendapat, yaitu antara menerima kehujjahan qiyas dan kelompok yang menolaknya.
Berikut dalil-dalil masing-masing.

1. Dalil mazhab kehujjahan qiyas

a. Alquran:
Surat an-Nisa ayat 58. Ayat ini menjelaskan, bila terjadi sengketa maka
kembalikan kepada Allah dan RasulNya yaitu alquran dan sunnah. Dan Qiyas,
befungsi menggali hukum yang menjadi perselisihan yang tidak ada nashnya dari
alquran dan sunnah untuk dikiaskan kepada hukum yang diperselisihkan yang
ada nashnya, karena keduanya memiliki illat yang sama yaitu adanya hukum yang
diperselisihkan.
Surat Ali Imran ayat 59. Allah menyamakan penciptaan Nabi Isa dan Adam tanpa
seorang bapak, keterkaitan sama-sama tidak punya bapak
merupakan illahpenyamaan kedua Nabi tersebut.

b. Sunnah:
Rasulullah mengutus Muaz dan Abu musa ke Yaman sebagai qadhi. Rasulullah
bertanya pada mereka. “
‫بما تقضيان؟ فقاال إذا لم نجد الحكم فى السنة نقيس األمر‬
" ‫ أصبتما‬: ‫ فقال عليه الصالة والسالم‬.‫باألمر فما كان أقرب إلى الحق عملنا به‬
Hadits ini sangat jelas bahwa Rasulullah saw membenarkan qiyas[8]
c. Ijma’:
Para sahabat ada mengeluarkan pendapat dengan cara qiyas seperti Abu Bakr
dan Umar. Pendapat mereka tidak ada yang mengingkari. Maka ini dipandang
sebagaiijma’.

d. Aqliy:
Akal tidak bisa menolak suatu perkara yang serupa dan sama dalam
hukum.Pengingkaran terhadap qiyas merupakan pengingkaran terhadap fitrah akal.

7
2. Dalil yang menafikah kehujjahan qiyas
a. Alquran:
“‫” وال تقف ما ليس لك به علم‬. Dalam qiyas, hukum far’u belum diketahui status
hukumnya, dan qiyas adalah zhanniy, mengikuti qiyas berarti mengikuti sesuatu
yang tidak diketahui.
" ‫” يأيها اللذين أمنوا ال تقدموا بين يدي هللا ورسوله‬. Ayat ini melarang beramal
dengan selain Alquran dan sunnah. Menggunakan qiyas berarti mendahului
Alquran dan sunnah.
b. Sunnah:
Sabda Rasulullah ‫" تعمل هذه األمة برهة بالكتاب وبرهة بالسنة وبرهة بالقياس فإذا فعلوا‬
"‫ ذالك فقد ضلوا‬Beramal dengan qiyas akan berakibat kepada kesesatan.
c. Ijma’
Sebagian sahabat mencela penggunakan qiyas. Dan tidak ada pengingkaran hal
tersebut. Maka ini menjadi sebuah ijma’.
d. Aqliy:
Menggunakan qiyas akan menyebabkan perselisihan dan pertikaian. Dan ini
dilarang oleh Allah, " ‫" وال تنازعوا‬
Mengenai dalil-dalil diatas terjadi perdebatan hangat dan panjang. Masing-
masing pihak membantah dan menjawab balik kritikan yang ada.
Diantara ulama yang cukup keras menolak hujjah adalah Ibn Hazm. Dalam
bukunya ia menjelaskan argumentasi penolakannya terhadap qiyas.
“nahnu insya Allah nanqudu kulla ma ihtajjuu bihi, wa nahtajju lahum bikulli
ma yumkinu an ya'taridhuu bihi wa nubayyinu bi haulillah ta'ala wa quwwatihi
butlana ta’aluqihim bikulli ma ta’allaquu bihi fi zalik tsumma nabtadiu bi
‘aunillah azza wajalla bi irad al barahin al wadhihah ad-dharuriyah’ ala ibtal al
qiyas.

Dilihat dari argumentasi yang disampaikan Ibn Hazm terhadap qiyas, ada dua
hal yang menjadi basis penolakannya:
a. Bahwa Allah telah menurutkan syariat-syariat-Nya dengan sempurna. Dia
telah menentukan hukum-hukum-Nya. Apa yang tidak disebutkan berarti mubah
dan halal. Memakai qiyas berarti membuat hukum-hukum baru yang bertentangan
dengan syariat.
b. Penolakannya Ibn Hazm terhadap qiyas bukan karena kesimpulan hukum
tersebut, melainkan cara memperoleh hukum itu yang tidak tepat. Misalnya, firman
Allah, ‫" أن تأكلوا من بيوتكم أو بيوت ءابائكم‬
Ayat di sini tidak menyebutkan kebolehan makan di rumah anak, lalu
dikiaskanlah kepada kebolehan makan dirumah bapak. Metode ini tidak tepat.

8
Bolehnya makan di rumah anak bukan karena penerapan qiyas, tapi karena
adanya nash yang membolehkan hal tersebut yaitu, hadits nabi saw,
“ ‫ان أطيب ماأكل أحدكم من كسبه وان ولد أحدكم من كسبه‬

C. Unsur dan Rukun Qiyas


1. Ashl (pokok)
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat
menqiyaskan. Ini bedasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl
menurut hukum teolog adalah suatu nash syara’ yang menunjukkan ketentuan
hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut
juga maqish alaih (yang dijadikan tempat menqiyaskan), mahmul ‘alaih (tempat
membandingkan), atau masyabbah bin (tempat menyerupakan).
Menurut sebagian besar ulama fiqih, sumber hukum yang dipergunakan sebagai
dasar qiyas harus berupa nash, baik nash Al-Qur’an atau hadis atau ijma’. Jadi tidak
boleh mengqiyaskan sesuatu dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.
Pembatasan sumber hukum tersebut berdasarkan:
a. Bahwa nash hukum merupakan sumber dan dasar dari segala hukum. Sedang
sumber hukum lain apapun bentuknya bergantung pada nash tersebut. Dengan
demikian nash hukum itu harus dijadikan sebagai dasar bagi bangunan qiyas.
b. Nash hukum dengan berbagai bentuk dan kemungkinan kandungannya
mengandung isyarat adanya ‘‘illat. Dengan menggunakan pemahaman isyarat kita
dapat menemukan ‘‘illat.
c. Sesungguhnya qiyas sendiri berpegang dengan Al-Quran dan hadis.
Sebagian besar ulama menetapkan bolehnya mengqiyaskan sesuatu berdasarkan
hukum yang ditetapkan dengan ijma’, sebab sandaran ijma’ adalah nash, meskipun
tidak selalu tegas menunjukkan hukum.

2. Al-Hukm
Al-Hukm adalah hukum ketetapan nash, baik AL-Qur’an maupun hadis,
atau ketetapan ijma’ (bagi orang yang menganggapnya sebagai sumber hukum asal)
yang hendak ditransfer pada kasus-kasus hukum baru karena adanya unsur
persamaan.
Penetapan hukum asal pada kasus hukum baru karena adanya unsur
persamaan antara keduanya, harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:
a. Harus berupa hukum syara’ yang amaliah. Qiyas hukum tidak akan terjadi
kecuali pada hukum-hukum yang bersifat amaliah, karena itulah yang menjadi
sasaran atau obyek fiqih Islam, karena kerangka luas.

9
b. Harus berupa hukum yang rasional (ma’qulul ma’na). Hukum rasional ialah
suatu hukum yang apat ditangkap sebab dan alasan penetapannya, atau setidak-
tidaknya mengandung isyarat akan sebab-sebab itu.
Sebaliknya hukum yang tidak rasional, tidak mampu ditangkap sebab-sebabnya
oleh akal, seperti hukum tayamum dan jumlah rakaat sholat. Oleh sebab itu, di sini
tidak berlaku hukum qiyas.

3. Far’u
Far’u Adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash
atau ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnya. Al-far’u ialah kasus yang
hendak diketahui hukumnya melalui qiyas terhadap hukum asalnya. Al-far’u atau
kasus baru itu harus memenuhi dua persyaratan:
a. Kasus itu belum terdapat nash hukumnya dalam Al-Quran dan Hadis. Sebab,
qiyas tidak berlaku pada hukum-hukum yang sudah jelas nashnya. Prinsip qiyas
ialah mempertemukan kasus hukm baru yang belum ada nashnya. Oleh sebab itu
tidaklah logis menetapkan hukum Qiyas terhadap kasus hukum yang sudah ada
nashnya.
b. ‘‘illat hukum itu harus benar-benar terwujud dalam kasus baru, sama jelasnya
dengan ‘‘illathukum asal. Apabila ‘‘illat dilarangnya meminum minuman khamer
itu ‘memabukkan’ maka setiap minuman atau makanan yang memabukkan sama
hukumnya dengan khomer, yaitu haram. Sebaliknya apabila makanan atau
minuman itu tidak memabukkan, misalnya sekedar membuat orang pusing, baik
karena faktor orang yang meminum atau faktor makanan atau minuman yang
bersifat sementara selama tidak memabukkan, maka makanan atau minuman
tersebut tidak haram, seperti khomer. Alasannya : tidak adanya kesamaan ‘illat.
Makanan dan minuman jenis ini memanglah tidak memabukkan, berbeda dengan
khomer yang mempunyai sifat yang memabukkan.

4. ‘Illat
‘Illat adalah pokok yang menjadi landasan qiyas. Imam Fahrul Islam al-
Bazdawi telah menegaskan bahwa ‘‘illat merupakan rukun qiyas dan landasan dari
bangunan qiyas. Sebagian ulama mendefinisikan ‘illat sebagai suatu sifat lahir yang
menetapkan dan sesuai dengan hukum.
Orang yang mengakui adanya ‘illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas.
Kami berpendapat, dalam memandang ‘illat, para ulama terbagi menjadi tiga
golongan:
a. Golongan yang pertama (mazhab Hanafiah dan Jumhur) berpendapat bahwa
nash-nash hukum pasti memiliki ‘illat. Selanjutnya mereka
mengatakan: ”sesungguhnya sumber hukum asal adalah ‘illat hukum itu sendiri,
hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.

10
b. Golongan kedu beranggapan sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak
ber’illat, kecuali ada dalil yang menentukan adanya ‘illat.
c. Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang
menganggap tidak adanya ‘illat hukum.

Lima syarat yang mensyahkan ‘illat manjadi dasar qiyas ialah sebagai berikut:
a. ‘illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak, sehingga ia menjadi sesuatu
yang menentukan.
b. ‘illat harus kuat, tidak terpengaruh oleh perubahan individu, situasi maupun
keadaan lingkungan, dengan satu pengertian yang dapat mengakomodasi seluruh
perubahan yang terjadi secara definitif.
c. Harus ada kolerasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan sifat yang
menjadi ‘illat.
d. Sifat-sifat yang menjadi ‘illat yang kemudian melahirkan qiyas harus
berjangkauan luas (muta’addy), tidak terbatas hanya pada satu hukum tertentu.
e. Syarat yang terakhir bahwa sifat yang menjadi ‘illat itu tidak dinyatakan batal
oleh suatu dalil.

D. Cara Untuk Mengetahui Illat

1. berdasarkan dengan nash sharih (nash yang tegas) Illat yang ditunjukan oleh
nash adakalanya jelas (sharih), dan adakalanya dengan isyarat. Illat yang
ditunjukan oleh nash itu sendiri dengan memperhatikan kata-kata, seperti
2. Dengan Ijma. Apabila Ijma itu qath’i dan datangnya kepada kita juga qath’i, dan
adanya illat itu dalam cabang juga demikian serta tidak ada dalil yang
menentangnya, maka hukumnya qath’i.
3. Dengan istinbath/ penelitian dengan cara ini dapat ditempuh melalui beberapa
bentuk:
a. Al-Munasabah. Yaitu mencari persesuaian antara suatu sifat dengan
perintah atau larangan yang membawa kemanfaatan atau menolak kemadharatan
bagi manusia.
b. Al-Sabru wa al-Taqsim. Yaitu dengan cara meneliti dan
mencari illat, melalui menghitung-hitung dan memisah-misahkan sifat pada
pokok, diambil illat hukumnya dan dipisahkan yang bukan illat hukumnya.
Untuk ini tentu diperlukan pemahaman yang mendalam.
c. Takhrijul Manath (menggali sifat yang menjadi sandaran hukum).
Yaitu usaha menemukan sifat yang pantas menjadi ‘illat hukum. atau mencari dan
mengeluarkan illat sampai diketahui, apabila illatnya tidak diketahui baik dengan
nash maupun dengan Ijma. Hal ini dilakukan apabila nash hukum tidak menjelaskan
‘illat baik secara ungkapan langsung, isyarat atau tanda dan tidak ada kesepakatan

11
para ulama tentang ‘illat itu. Sebagai contoh menetapkan pembunuhan yang
diancam dengan hukuman qishash ialah pembunuhan yang dilakukan dengan alat
atau senjata yang biasanya mematikan. Oleh sebab itu, hukumam qishash tetap
diberlakukan pada setiap kasus pembunuhan yang menggunakan senjata, baik
senjata selalu dipakai maupun sudah tidak pernah dipakai.
d. Tanqihu Manath (menyeleksi sifat yang menjadi sandaran hukum)..
Yaitu mengenali sifat-sifat yang terkandung dalam hukum, lalu memilih salah satu
sifat yang paling tepat dan patut dijadikan ‘illat hukum, sementara sifat-sifat yang
kurang korelatif dengan hukum disingkirkan. Dengan demikian mujtahid
menetapkan satu sifat saja sebagai ‘illat hukum, contoh dari kasus seorang sahabat
yang menggauli isterinya pada siang hari Ramadhan yang pernah ditetapkan oleh
Rasulullah.
e. Tahqiqul manath (mengukuhkan sifat yang menjadi sandaran hukum).
Yaitu meneliti apakah sifat yang sudah diketahui unsure-unsurnya itu terdapat dalan
kasus-kasus yang sesuai dan tercakup dalam keumuman pengertiannya . contoh
sifat adil adalah syarat muutlak berhubungan langsung dengan sahnya menjadi
saksi, akan tetapi untuk mengetahui adil atau tidaknya seseorang hanya dapat
diketahui melalui pembuktian dalam ijtihad.

E. Illat Hukum dan Hikmah Hukum


Para ulama ushul, baik klasik maupun kontemporer selalu mengaitkan
persoalan hukum dengan tujuan penetapannya. Ini disebabkan keyakinan kuat umat
Islam bahwa semua ketetapan hukum syara‘ pasti mengandung tujuan mulia.
Mustahil suatu ketetapan hukum yang disyari‘atkan Syari‘ tidak mengandung
tujuan.
Zaki al-Din Sya‘ban menyebutkan bahwa inti dari maqashid al-syari‘ah itu
ialah sesungguhnya Allah Swt tidak mensyari‘atkan hukum-hukum-Nya kecuali
untuk tujuan yang sifatnya menyeluruh dan tujuan tersebut adalah untuk
mewujudkan dan meraih manfaat (maslahat) bagi umat manusia dan sekaligus
menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan dunia dari berbagai
kejahatan dan dosa. Kemaslahatan di sini adalah menyangkut kemaslahatan yang
dihajatkan oleh manusia dalam segala aspek kehidupan mereka.
Untuk memahami maqashid al-syari‘ah dengan menelusuri ayat-ayat al-
Qur`an dan al-Hadist Rasulullah bukanlah pekerjaan yang mudah. Para ulama ushul,
baik pada masa lalu maupun sekarang telah berupaya untuk menyelami maqashid
al-syari‘ah ini lewat ijtihad danistinbath hukum. Hal ini semua tidak lain agar apa
yang menjadi tujuan pensyari‘atan hukum dapat direalisir dalam kehidupan umat.
Dalam prakteknya, ada sebagian ulama ushul yang menjadikan hikmah
sebagai illathukum. Artinya, jika suatu ketentuan hukum tidak dapat dipahami
dengan jelas apa yang melatarbelakangi pensyari‘atannya, maka illat harus dilihat
dari segi tujuan penetapan atau pensyari‘atan hukum itu sendiri, yaitu hikmah dan

12
itulah yang menjadi illat-nya. Hal inilah yang ditegaskan oleh Ibn al-Qayyim,
sebagaimana dikutip oleh M. Hasbi Ashshiddiqy seperti berikut ini:
‫ان الـشـريــعـة مـبنـاهـا وأسـاســهــا عـلى الـحـكـم ومـصالح الـعـبـاد فى الـمـعـاش‬
‫ إن الـلـه كان حـكـيـمـا ال يـفـعـل شيــئا عـبـثـا وال بـغـيـر مـعـنى‬.‫والـمـعـاد‬
‫ومـصلحـة هـي الـمقـصودة مـن الـفـعـ‬
“Sesungguhnya syari‘at pondasi dan dasar pijakannya adalah hikmah dan
kemaslahatan hamba (manusia) dalam kehidupan dunia dan
akherat. Sesungguhnya Allah Swt. adalah Hakim yang bijaksana; Dia tidaklah
berbuat sesuatu tanpa ada tujuan, dan tanpa mengandung makna dan maslahat...”

Pensyari‘atan suatu hukum yang dilatarbelakangi oleh ‘illat itu pasti


mempunyai tujuan, yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam
kenyataannya ada hubungan illatdan maqashid al-syari‘ah yang menjadi tujuan
pensyari‘atan hukum dapat dipahami secara rasional dan ada pula yang tidak dapat
dipahami secara rasional. Karena memang ada persoalan-persoalan tasyrî‘ yang
tidak dapat dijangkau oleh nalar manusia ‘illat dan hikmah yang terkandung di
dalamnya. Jika dihadapkan dengan hal-hal seperti demikian maka ia termasuk
wilayah ta‘abbudi.
Adapun hubungan illat dengan maqashid syari’ah yang dapat dipahami
secara rasional ialah bahwa sesuatu yang menjadi ‘illat akan melahirkan nilai yang
hendak dicapai dari suatu ketetapan hukum di mana antara keduanya (illat dan nilai
yang hendak dicapai) dapat diketahui oleh akal pikiran. Sebagai contohnya adalah
berkenaan dengan larangan berbuat zina. Allah berfirman : ”Dan jangan kamu
dekati (lakukan) zina, karena sesungguhnya zina itu adalah kotor dan seburuk-
buruk jalan.” (QS. Al-Isra:32)
Larangan berbuat zina merupakan ketetapan hukum (haram). Adapun illatnya
adalah karena zina perbuatan kotor, keji dan jalan/cara yang tidak baik (fahisyah
wa sa`a sabila).Maqashid al-syari‘ah-nya adalah menjaga keturunan dan ini
merupakan maslahat dharuriyahyang wajib dipelihara, sebab jika tidak demikian,
tentu Allah tidak melarangnya.
Adapun contoh hubungan illat dengan maqashid al-syari‘ah yang tidak dapat
dipahami oleh akal atau nalar adalah waktu shalat Zhuhur setelah tergelincirnya
matahari.Dalam ayat disebutkan:
)٧٨:‫اقـم الـصــالة لـدلوك الـشــمــس (اإلسراء‬
“Dirikanlah shalat ketika matahari telah tergelincir.” (QS. Al-Isra:78)
Karena tergelincir matahari adalah ‘illat, sedang adanya kewajiban shalat
Zhuhur adalah hukum yang ditetapkan sebagai akibat dari teregelincirnya matahari.
Antara tergelincir matahari dan adanya ketetapan hukum berupa kewajiban shalat
Zhuhur (keduanya lebih merupakan hubungan “sebab-akibat” yang
sesungguhnya ‘illat-nya disebut dengan sebab). Dalam kasus seperti ini
hubungan ‘illat dengan hukum yang ditetapkan tidak dapat dipahami dengan nalar,

13
karena bentuknya hubungan sebab akibat. Dan sudah barang tentu, juga
hubungannya dengan maqashid al-syari‘ah tidak dapat dipahami oleh nalar dan
akal.
Realitas hukum Islam bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan
tuntutan perkembangan waktu dan tempat. Dengan kata lain, perkembangan hukum
Islam, di samping tuntutan masyarakat, juga tidak lepas dari peran illat sebagai
dasar yang melatarbelakangitasyri‘ atau pensyari‘atan hukum.
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, sejak awal hingga sekarang,
terlihat bahwa illat memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan
hukum Islam. Banyak ketentuan Fiqh yang mengalami perubahan dan
perkembangan. Perubahan itu dapat dilihat dari dua segi yaitu:
1. Pemahaman ‘illat hukum itu sendiri yang berubah sesuai dengan
perkembangan pemahaman terhadap dalil nash yang menjadi landasannya.
Perubahan pemahaman tentang‘illat ini karena terjadinya perkembangan dan
munculnya hal-hal baru dalam kehidupan umat Islam. Sebagai contoh untuk ini,
misalnya zakat hasil pertanian yang biasa dipahami sebagai ‘illat-nya adalah
makanan pokok yang disebut dengan al-qut, dapat disimpan lama, dapat ditakar
atau ditimbang. Akan tetapi, sekarang dipopulerkan pendapat baru
bahwa ‘illat tersebut ialah apa yang disebut dengan al-nama` (produktif). Jadi
semua tanaman yang produktif wajib dikenakan zakatnya. Sebelumnya zakat hasil
pertanian itu hanya dikenakan kepada empat jenis hasil pertanian saja yaitu syair,
gandum, anggur dan kurma. Seperti dijelaskan dalam hadits:
“Dan dari Abu Musa al-‘Asy’ari dan Muaz, semoga Allah meridhoi mereka
berdua. Sesungguhnya Nabi Saw. berkata kepada mereka berdua, janganlah kamu
pungut zakat kecuali terhadap empat jenis yaitu: syair, gandum, anggur dan kurma.
(HR. Thabrani dan al-Hakim)”.
Perubahan dan perkembangan pemahaman ‘illat wajib zakat atas hasil
pertanian ini sesungguhnya lebih tepat dan lebih mencakup karena dapat
menjangkau berbagai jenis tanaman yang telah disebutkan oleh nash yang
keberadaannya lebih produktif, memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta dapat
mendatangkan kekayaan.
Dalam hubungan ini, Ibrahim Husen menyebutkan bahwa apa saja yang
tumbuh di muka bumi dan bermanfaat dalam menopang kehidupan manusia, seperti
kelapa, buah pala, merica, lada, cengkeh, kopi, tebu, bunga anggrek, kayu jati dan
lain-lain wajib dikenakan zakat. Bagi Ibrahim Husen, penetapan wajib zakat
terhadap berbagai jenis tumbuhan di atas adalah bertolak dari penetapan zakat atas
empat jenis tumbuhan yang disebutkan dalam hadist di atas, yang ‘illat-nya adalah
karena ia bermanfaat dalam menopang kehidupan. Dan ‘illat ini dapat diterapkan
atas semua jenis tanaman atau tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, setiap tanaman
mengandung manfaat serta dapat menopang kehidupan manusia dapat di-qiyâs-kan
kepada empat jenis tanaman yang hukumnya wajib dikeluarkan zakatnya.
Perubahan dan perkembangan pemahaman ‘illat zakat hasil pertanian
terhadap empat jenis tanaman yang disebutkan dalam hadist di atas -dari al-

14
qut (makanan pokok) menjadial-nama` (produktif) sebagai dikemukakan oleh
Alyasa Abubakar atau bermanfaat seperti diungkapkan oleh Ibrahim Husin adalah
didorong oleh keinginan untuk menyesuaikan pemahaman ‘illat dengan
perkembangan baru. Sekiranya ‘illat zakat hasil pertanian -bagi empat jenis
tanaman yang disebutkan dalam hadist itu- tetap dipahami seperti semula atau tidak
diubah, maka ia tidak dapat menjangkau berbagai jenis tanaman lainnya, yang
keberadaannya juga tidak kalah pentingnya dalam kaitannya dengan fungsinya
untuk menopang kehidupan.
2. Pemahaman terhadap ‘illat masih tetap seperti sediakala, tetapi maksud
tersebut akan tercapai lebih baik sekiranya pemahaman atas hukum yang
didasarkan padanya diubah. Contoh lainnya, misalnya Umar tidak memberikan
hak muallaf, sebagai salah satu mustahiq zakat, sebagaimana disebutkan dalam
surat al-Taubah ayat 60. Umar beranggapan bahwa sifat muallaf tidak berlaku
sepanjang hidup, seperti halnya kemiskinan. Pemberian zakat kepada muallaf pada
awal Islam adalah karena Islam masih lemah. Di samping itu, golongan muallaf ini
imannya masih lemah dan mereka perlu dibujuk hatinya agar tetap bertahan dengan
keislamannya atau agar mereka menahan diri dari melakukan tindakan kejahatan
terhadap orang-orang Islam. Dengan kata lain ‘illat pemberian zakat kepada
golongan muallaf ialah karena Islam dan iman mereka masih lemah.
Menurut Umar, Rasulullah memberikan bagian zakat
kepada muallaf adalah untuk memperkuat Islam. Ketika keadaan telah berubah
maka memberikan bagian itu tidak valid lagi. Dengan kata lain ketika Islam
telah kuat maka pemberian zakat kepada muallaf itu tidak perlu lagi. Kebijakan
Umar menghentikan pemberian zakat kepada muallaf itu sesungguhnya berkaitan
dengan perubahan pemahaman Umar tentang muallaf itu sendiri. Menurut Umar
bahwa pemberian zakat kepada muallaf itu pada mulanya iman mereka masih
lemah, tetapi sekarang karena kondisi Islam telah kuat, maka pemberian zakat
kepada muallaf tidak dilaksanakan lagi.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendapat yang mengatakan bahwa qiyas tidaklah bersandarkan atas nash
maupun hadist tidaklah benar. Karena sesuatu yang diqiyaskan melihat
kembali pada permasalahan yang diselesaikan melalui nash.
Qiyas sangatlah penting dalam kehidupan sekarang ini, dilihat dari
perkembangan permasalahan ummat yang kian berkembang.

B. Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh
dari sempurna dan tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dan
kesalahan di sana- sini. Karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca
demi kesempurnaan karya-karya selanjutnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al Isnawiy, Nihayah as Suul


Al-Hadiy al-Kirru, Ushul at-Tasyri’
Al-Hafidz, Ahsin W.. Fiqih Kesehatan. Jakarta: Amzah. 2007.
Ashshidieqi, M. Hasbi, Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.1975.
Hakim, Syeh Abdul hamid, Mabadiul Awaliyah.
Himayah, Mahmud Ali. Ibn Hazm. ter. Halid Alkaf. Jakarta: Penerbit Lentera,
2001.
Ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, tth.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang : Dina Setia.
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus. 2007.

17

Anda mungkin juga menyukai