Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gullain Barre Sindrome adalah gangguan yang jarang mengenai tubuh, dimana sistem
kekebalan tubuh menyerang bagian saraf. Penyakit ini biasanya terjadi satu atau dua minggu
setelah infeksi virus ringan seperti sakit tenggorokan, bronkitis, atau flu, atau setelah
vaksinasi atau prosedur bedah. Tercatat kejadian ini hanya mempengaruhi 1 atau 2 orang per
100.000.
Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, namun umumnya dicetuskan oleh
infeksi saluran pernafasan atau pencernaan. Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini,
namun paling sering terjadi pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat,
sindroma Guillain-Barre menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan
perawatan segera.
Insidensi syndrome Guillain-Barre bervariasi antara 0,6 sampai 1,9 kasus per100.000
orang pertahun. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun.
Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan
dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras
didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia
dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran
epidemiologi belum banyak. Penelitian menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia
adalah dekade I samapai dekade III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-
laki dan wanita hampir sama.
Guillain-Barre Sindrome (GBS) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering
dijumpai pada usia dewasa muda. GBS ini seringkali mencemaskan penderita dan
keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat
menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.
Beberapa varian dari Guillan-Barre Sindrome dapat diklasifikasikan, yaitu Acute
inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP), Subacute inflammatory
demyelinating polyradiculoneuropathy, Acute motor axonal neuropathy (AMAN), Acute
motor sensory axonal neuropathy (AMSAN), Fisher’s syndrome, Acute pandysautonomia.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim dan merupakan penyakit
autoimun yang menyebabkan demielinisasi pada akar saraf tepi. Sampai saat ini penyebab
pasti penyakit ini masih dalam perdebatan. Mikroorganisme penyebab belum pernah
ditemukan pada penderita penyakit ini dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan
tanda-tanda radang. Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, infeksi bakteri,
gangguan endokrin, tindakan operasi, anestesi dan sebagainya. Namun teori yang dianut
sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik.
Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa
kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi
saraf perifer. Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik dapat memperbaiki
prognosisnya.
Berangkat dari penjelasan menarik di atas penulis bermaksud membahas lebih lanjut
penyakit GBS (Gullain Bare Syndrome) dalam makalah ini untuk menemukan asuhan
keperawatan yang tepat dilakukan oleh perawat di arena kerja, dengan mengangkat judul
“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gullain Bare Syndrome”.

B. Rumusan Masalah
Apa konsep teori dan konsep asuhan keperawatan pada pasien Gullain Bare Syndrome ?

C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui konsep teori dan konsep asuhan keperawatan pada pasien Gullain Bare
Syndrome.

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Masyarakat Umum
Masyarakat dapat menambah pengetahuan tentang penyakit Gullain Bare Syndrome,
yang pada kejadian tertentu dapat pula menyebabkan kematian.

2. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa khususnya terangkul dalam dunia keperawatan dapat menggunakan
asuhan keperawatan yang tepat pada pasien GBS dengan landasan teori yang memadai.
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP TEORI
1. Definisi
Guillain Barre Syndrome ialah sindrom yang mempunyai banyak sinonim antara lain
polyneuritis akut pasca infeksi, polyneuritis akut toksik polyneuritis febril, poliradikulopati,
dan acute ascending paralysis yang sering ditemukan pada bagian penyakit saraf yang
dicirikan dengan kelumpuhan otot ekstremitas yang akutt dan progresif, dan biasanya muncul
sesudah infeksi. (Harsono, 1996).
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah terjadinya suatu masalah pada system saraf
yang menyebabkan kelemahan otot, kehilangan reflex, dan kebas pada lengan, tungkai,
wajah, dan bagian tubuh lain. Kasus ini terjadi secara akut dan berhubungan dengan proses
autoimun. (http://xa.yimg.com /Guillaine+Barre+Sindrome.pdf)
Guillain-Barre Syndrome adalah penyakit autoimun yang menimbulkan peradangan
dan kerusakan myelin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk
selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer. Kerusakan saraf ini dianggap
sebagai hasil dari reaksi kekebalan yang abnormal terhadap mielin sistem saraf perifer.
Kelemahan dan mati rasa di kaki biasanya merupakan gejala pertama. Sensasi ini dapat
dengan cepat menyebar, akhirnya melumpuhkan seluruh tubuh.
(http://fk.uwks.ac.id/archieve/jurnal//SINDROGUILLAINBARRE.pdf)
Jadi, GBS merupakan proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang
jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri.

2. Anatomi Fisiologi
a. Organisasi Struktural Sistem Saraf
1. Sistem saraf pusat (SSP). Terdiri dari otak dan medulla spinalis yang dilindungi
tulang kranium dan kanal vertebral.
2. Sistem saraf perifer meliputi seluruh jaringan saraf lain dalam tubuh. Sistem ini
terdiri dari saraf cranial dan saraf spinal yang menghubungkan otak dan medulla
spinalis dengan reseptor dan efektor. Secara fungsional sistem saraf perifer terbagi
menjadi sistem aferen dan sistem eferen.
3. Saraf aferen (sensorik) mentransmisi informasi dari reseptor sensorik ke SSP
4. Saraf eferen (motorik) mentransmisi informasi dari SSP ke otot dan kelenjar. Sistem
eferen dari sistem saraf perifer memiliki dua sub divisi :
a. Divisi somatic (volunter) berkaitan dengan perubahan lingkungan eksternal dan
pembentukan respons motorik volunter pada otot rangka.
b. Divisi otonom (involunter) mengendalikan seluruh respon involunter pada otot
polos, otot jantung dan kelenjar dengan cara mentransmisi impuls saraf melalui dua
jalur
5. Saraf simpatis berasal dari area toraks dan lumbal pada medulla spinalis
6. Saraf parasimpatis berasal dari area otak dan sacral pada medulla spinalis..

b. Sel-Sel Pada Sistem Saraf


Neuron adalah unit fungsional sistem saraf yang terdiri dari badan sel dan perpanjangan
sitoplasma.
1) Badan sel atau perikarion, suatu neuron mengendalikan metabolisme
keseluruhan neuron. Bagian ini tersusun dari komponen berikut :
2) Neurofibril yaitu neurofilamen dan neurotubulus yang dapat dilihat melalui
mikroskop cahaya jika diberi pewarnaan dengan perak.
3) Dendrit adalah perpanjangan sitoplasma yang biasanya berganda dan pendek
serta berfungsi untuk menghantar impuls ke sel tubuh.
4) Akson adalah suatu prosesus tunggal, yang lebih tipis dan lebih panjang dari
dendrite. Bagian ini menghantar impuls menjauhi badan sel ke neuron lain, ke
sel lain (sel otot atau kelenjar) atau ke badan sel neuron yang menjadi asal
akson.
5) Sel Schwann
b. Sel ini mirip lembaran yang tumbuh disekitar sebagian akson(serat) untuk membentuk
selubung myelin.
1) Selubung myelin
Selubung myelin juga disebut neurilema atau selubung Schwann. Selubung
myelin merupakan sruktur berbentuk spiral berisi myelin berlemak yang
membantu mempercepat perjalanan dan mencegah impuls pudar atau
bocor. Selubung myelin sebagai isolator listrik, mencegah arus pendek antara
akson, dan mempasilitasi konduksi. Nodus ranvier adalah satu-satunya titik
dimana akson tidak tertutup myelin dan ion-ion dapat berpindah diantaranya
dan cairan ekstraseluler. Depolarisasi membrane aksonal pada nodus ranvier
memperkuat potensial aksi yang dihantarkan sepanjang akson dan ini adalah
dasar konduksi saltatori (meloncat).
Klasifikasi Neuron
Fungsi.
Neuron diklasifikasi secara fungsional berdasarkan arah transmisi impulsnya.
1. Neuron sensorik (aferen) menghantarkan impuls listrik dari reseptor pada kulit, organ
indera atau suatu organ internal ke SSP.
2. Neuron motorik menyampaikan impuls dari SSP ke efektor.
3. Interneuron (neuron yang berhubungan) ditemukan seluruhnya dalam SSP. Neuron ini
menghubungkan neuron sensorik dan motorik atau menyampaikan informasi ke
interneuron lain.
Struktur.
Neuron diklasifikasi secara structural berdasarkan jumlah prosesusnya.
1. Neuron unipolar memiliki satu akson dan dua denderit atau lebih. Sebagian besar
neuron motorik, yang ditemukan dalam otak dan medulla spinalis, masuk dalam
golongan ini.
2. Neuron bipolar memiliki satu akson dan satu dendrite. Neuron ini ditemukan pada
organ indera, seperti amta, telinga dan hidung.
3. Neuron unipolar kelihatannya memiliki sebuah prosesus tunggal, tetapi neuron ini
sebenarnya bipolar.

3. Etiologi
Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi akhir-akhir ini
terungkap ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang ialah suatu
kelainan immunobiologik, baik secaraprimary immune response maupun immune mediated
process. Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi atau kejadian akut.
Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada
yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. Pada sebagian
besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus,
coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV. Selain
virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti
Campylobacter Jejuni pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella,
Legionella dan , Mycobacterium Tuberculosa. Vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan
hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan sarcoidosis ;
kehamilan terutama pada trimester ketiga ; pembedahan dan anestesi epidural. Infeksi virus
ini biasanya terjadi 2 – 4 minggu sebelum timbul GBS .

4. Patofisiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya myelin,
material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi. Demyelinisasi
menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama
sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa
saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy (AIDP).
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang
sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun
menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit
autoimun.
Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain memasuki
sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel
limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi
autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi , yang pertama
adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh
mengenalinya sebagai benda asing.
Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan kemampuan
sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian
menyebabkan destruksi myelin, bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada
axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin disebabkan oleh
karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan myelin. Hal ini menyebabkan
terjadinya respon imun terhadap myelin yang di invasi oleh antigen tersebut.
Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan
signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari
otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh Umumnya
sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS,
sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer,
atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini
tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan
bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah
sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme
tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk
menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan
memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan
destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi
sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal
sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin
bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik
kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke
otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya,
yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan
diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin
banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya
antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang
bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel
leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret
kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak
penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada
waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan
serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik,
sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu;
sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot,
kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk
berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali
normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis,
merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal.
Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari
otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf
perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara
pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif,
ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila
selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang
melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun
kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung
myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis.
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder;
hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal
saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan
paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering
setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson
membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita
diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer
dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga
ikut terlibat.

5. Manifestasi Klinis
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
a. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
1) Terjadinya kelemahan yang progresif
Guillain - Barré Syndrome bisa menjadi gangguan yang menghancurkan
karena onset mendadak dan tak terduga . Selain itu, pemulihan belum tentu cepat.
Seperti disebutkan di atas , pasien biasanya mencapai titik terbesar kelemahan atau
kelumpuhan hari atau minggu setelah gejala pertama terjadi . Gejala kemudian stabil
pada tingkat ini untuk jangka waktu hari, minggu , atau kadang-kadang , bulan .
Periode pemulihan mungkin sesedikit beberapa minggu atau selama beberapa tahun .
Sekitar 30 persen dari mereka dengan Guillain- Barré masih memiliki kelemahan
sisa setelah 3 tahun . Sekitar 3 persen mungkin menderita kambuh kelemahan otot
dan sensasi kesemutan bertahun-tahun setelah serangan awal.
2) Hiporefleksi
1. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB
Ciri-ciri klinis:
a) Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4
minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan
90% dalam 4 minggu.
b) Relatif simetris
c) Gejala gangguan sensibilitas ringan
d) Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain
dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang <
5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain Pemulihan:
dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai beberapa
bulan.
e) Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dangejala
vasomotor.
f) Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
2. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
a) Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP
serial
b) Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
c) Varian:
d) Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejal
e) Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
3. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
a) Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan
hantar kurang 60% dari normal

6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Spinal tap (tusuk lumbalis)/(lumbar puncture)
Prosedur ini melibatkan menarik sejumlah kecil cairan dari kanal tulang belakang di
daerah (lumbar. Cairan cerebrospinal kemudian diuji untuk jenis tertentu perubahan yang
biasanya terjadi pada orang yang memiliki sindrom Guillain-Barre. Yang paling khas adalah
adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa
disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama
jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan
lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi
sangat tinggi. Jika memiliki GBS, tes ini dapatmenunjukkan peningkatan jumlah protein
dalam cairan tulang belakangtanpa tanda infeksi lain.
b. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf,
antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan
prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal
saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah
terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.
EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi
aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo
CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada
pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10%
penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan
yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
c. Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke
bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada
fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat
meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.
Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur
jaringan.Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya
hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu
sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
d. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang T akan
mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun
tidak sering.
e. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).
f. Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat
limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi
sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan
degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat,
mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila
terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang
(limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa,
jantung, dan organ lainnya.

7. Penatalaksanaan
Guillain Barre Syndrome dapat dikatakan tidak ada drug of choice. Yang diperlukan
adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat perjalanan
klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernapasan. Apa bila terjadi keadaan
demikian, maka penderita segera di rawat di ruang intensif
a. Pengobatan imunosupresan:
1) Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari
tiap 15 hari sampai sembuh.
2) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
a) 6 merkaptopurin (6-MP)
b) Azathioprine
c) cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah,
mual dan sakit kepala.
b. Plasmaferesis
untuk beberapa penderita dapat memberi manfaat yang besar,terutama untuk kasus
yang akut. Di negara-negera barat, plasmaferesis mulai sering dilakukan namun demikian
belum diperoleh kesimpulan yang pasti. Dengan cara ini plasma sejumlah 200-250ml/kgbb
dalam 4-6x pemberian selang waktu sehari diganti dengan cairan yang berisi kombinasi
garam dan 5% albumin. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan
factor autoantibodi yang beredar.
c. Perawatan umum dan fisioterapi
Perawatan yang baik sangat penting dan terutama di tujukan pada perawatan sulit,
kandung kemih. Saluran pencernaan, mulut,faring dan trakea.infeksi paru dan saluaran
kencing harus segera di obati.
Respirasi di awasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas dan gas darah yang
menunjukan permulaan kegagalan pernapasan. Setiap ada tanda kegagalan pernapasan maka
penderita harus segera di bantu dengan pernapasan buatan. Jika pernapasan buatan di
perlukan untuk waktu yang lama maka trakeotomi harus di kerjakan fisioterapi dada secara
teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki lumpuh
mencegah deep voin trombosis spientmungkin di perlukan untuk mempertahankan posisi
anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi di cegah dengan gerakan pasif. Segera
setelah penyembuhan mulai fase rekonfaselen maka fisioterapi aktif di mulai untuk melati
dan meningkatkan kekuatan otot.
d. Roboransia saraf
dapat diberikan terutama secara parenteral. apabila terjadi kesulitan menguyah atau
menelan,sebagai akibat kelumpuhan otot-otot wajah dan menelanmaka perlu dipasang pipa
hidung-lambung (nasogastric tube) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan cairan.
e. Manfaat kortikosteroid
untuk sindrom guillain-barre masih kontroversial.namun demikian,apabila keadaan
menjadi gawat akibat terjadinya paralisis otot-otot pernafasan maka kortikosteroid dosis
tinggi dapat diberikan. Pemberian kortikosteroid ini harus diiringi dengan kewaspadaan
terhadap efek samping yang mungkin terjadi.

8. Komplikasi
Komplikasi GBS yang paling berat adalah kematian, akibat kelemahan atau paralisis pada
otot-otot pernafasan. Tiga puluh persen% penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan
untuk bertahan hidup, sementara 5% penderita akan meninggal, meskipun dirawat di ruang
perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita gejala
sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal.
Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan
permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat. Dengan penatalaksanaan respirasi yang
lebih modern, komplikasi yang lebih sering terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis jangka
panjang, antara lain sebagai berikut:
a. Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
b. Aspirasi
c. Paralisis otot persisten
d. Hipo ataupun hipertensi
e. Tromboemboli, pneumonia, ulkus
f. Aritmia jantung
g. Retensi urin
h. Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
i. Nefropati, pada penderita anak
j. Ileus
BAB III
KONSEP ASKUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Identitas
b. Pola-pola pengkajian
1) Pola Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan
a) Keadaan sebelum sakit
Tanyakan mengenai vaksinasi yang di dapatkan pasien, lingkungan, kebiasaan
merokok, pernah melakukan check up klinis sebelumnya, dan upaya yang dilakukan
mempertahankann hygiene.
b) Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan utama: Kelemahan otot, nyeri, kesulitan bernapas, serta kelumpuhan otot.
c) Riwayat Penyakit Yang pernah dialami
Tanyakan pada pasien apakah sering mengalami flu atau penyakit lain berhubung
dengan saluran napas, cerna, atau penyakit lain seperti HIV, hepatitis dll.
d) Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan apakah ada keluarga pasien mengidap penyakit serupa.
2) Pola Nutrisi dan Metabolik
Gejala : Kesulitan dalam menguyah dan menelan.
Tanda : Gangguan pada reflex menelan.
3) Pola Eliminasi
Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : Kelemahan pada otot-otot abdomen, hilangnya sensasi anal (anus) atau
berkemih dan reflex sfingter.
4) Pola Aktivitas dan Latihan
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya dimulai dari
ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat ke arah atas.
Kesulitan dalam bernapas, napas pendek menyebabkan sulit beraktivitas. Perubahan
tekanan darah (hipertensi/hipotensi) menganggu latihan.
Tanda : Kelemahan otot, paralisis flaksid (simetris), cara berjalan tidak mantap.
Pernapasan perut, menggunakan otot bantu napas, tampak sianosis/pucat.
Takikardi/bradikardi, distrimia.
5) Pola Persepsi Kognitif
Gejala : Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya
terus naik, perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu,
dan perubahan dalam ketajaman penglihatan.
Tanda : Hilangnya/menurunnya reflex tendon dalam, hilangnya tonus otot, adanya
masalah dengan keseimbangan. Lalu, adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi
ptosis kelopak mata. Kehilangan kemampuan untuk berbicara.
6) Pola Peran dan Hubungan Dengan Sesama
Tanda : Kehilangan kemampuan untuk berbicara dan berkomunikasi.
7) Pola Mekanisme Koping dan Toleransi terhadap Stress
Gejala : Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi.
Tanda : Tampak takut dan bingung.

2. Diagnosa
a. Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
b. Perubahan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf autonomic
c. Gangguan persepsi sensori penglihatan b.d paralisis okuler
d. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
e. Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensorik
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d paralisis orofaringeal.
g. Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter
h. Hambatan interaksi social b.d paralisis otot wajah
i. Ansietas b.d kurang pajanan informasi mengenai penyakit.

3. Intervensi
a. Dx1 : Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
Noc : Pola napas efektif
Nic :
1) Pantau frekuensi, kedalaman, dan kesimetrisan pernapasan Perhatikan gerakan dada,
penggunaan otot-otot bantu, serta retraksi otot.
2) Catat peningkatan kerja napas dan obervasi warna kulit dan membrane mukosa.
3) Pantau poa pernapasan bradipnea, apnea.
4) Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan pasien pada posisi bersandar.
5) Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode distress pernapasan.
6) Berikan terapi suplemetasi oksigen (sesuai indikasi).
7) Berikan obat/bantu tindakan pembersihan pernapasan melalui perksusi dada, drainase
postural, vibrasi.

b. Dx. 2 : Ketidakefektifan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf autonom.


Noc : Perfusi jaringan efektif
Nic :
1) Ukur tekanan darah. Observasi adanya hipotensi postural. Berikan latihan ketika
sedang melakukan perubahan posisi pasien.
2) Pantau frekuensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya distrimia.
3) Pantau suhu tubuh. Berikan suhu lingkungan yang nyaman.
4) Tinggikan sedikit kaki tempat tidur. Berikan latihan pasif pada lutut/kaki.
5) Kolaborasi dengan pemberian cairan IV sesuai indikasi.
6) Pemberian heparin sesuai indikasi.
7) Pantau pemeriksaan laboratorium seperti Hb.

c. Dx 3 : Ganguan persepsi sensori penglihatan b.d paralisis okuler


Noc : Mempertahankan fungsi sensori penglihatan
Nic :
1) Kaji lingkungan terhadap kemungkinan bahaya terhadap keamanan
2) Pantau dan dokumentasikan perubahan status neurologis pasien
3) Pantau tingkat kesadaran pasien
4) Tingkatkan penglihatan pasien yang masih tersisa, jika diperlukan jangan
memindahkan barang-barang di dlam kamar pasien tanpa menberitakn pasien
5) Ajarkan pasien untuk secara visual memantau posisi bangian tubuh, jika tedapat
kerusakan propriosepsi

d. Dx. 4 : Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular


Noc : Peningkatan keoptimalan mobilitas
Nic :
1) Kaji kekuatan motorik/kemampuan fungsional dengan menggunakan skala 0-5.
Lakukan pengkajian secara teratur sesuai kebutuhan secara individual.
2) Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal, trochanter roll, papan kaki.
3) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif/pasif untuk mempertahankan
atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot
4) Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada
toleransi secara individual.
5) Konfirmasikan dengan rujuk ke bagian terapi fisik.

e. Dx 5 : Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensorik


Noc : Nyeri teratasi
Nic :
1) Evaluasi derajat nyeri/rasa tidak nyaman dengan menggunakan skala 0-10.
2) Observasi adanya tanda-tanda nonverbal dari nyeri tersebut.
3) Berikan masase atau sentuhan sesuai toleransi pasien secara individual.
4) Ajarkan tehnik relaksasi, atau distraksi.
5) Beri obat analgetik sesuai kebutuhan.

f. Dx 6 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d paralisis


orofaringeal.
Noc : Keseimbangan pemenuhan nutrisi
Nic :
1) Kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, pada keadaan yang teratur.
2) Catat masukan kalori setiap hari.
3) Catat makanan yang disukaii oleh pasien termasuk pilihan diet yang dikehendaki.
4) Izinkan untuk makan sesuai waktu yang diinginkan yang menyenangkan bagi pasien
5) Beri diet tinggi kalori.
6) Pasang/pertahankan selang NGT.

g. Dx 7 : Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter


Noc : Konstipasi tidak ada.
Nic :
1) Auskultasi bising usus, catat adaya perubahan bising usus.
2) Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 2000 ml/hari (jika pasien dapat
menelan).
3) Berikan privasi dan posisi fowler dengan jadwal waktu secara teratur.
4) Beri obat pelembek feses.
5) Tingkatkan diet makanan yang berserat.
h. Dx 8 : hambatan interaksi social b.d paralisis otot wajah
Noc : menunjukkan keterampilan interaksi social
Nic :
1) Kaji pola dasar interaksi antara pasien dengan orang lain
2) Bantu pasien meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan keterbatasan dalam
berkomuniikasi dengan orang lain
3) Minta dan harapkan kominikasi verbal
4) Gunakan teknik bermain peran untuk meningkatkan keterampilan dan teknik
berkomunikasi.

i. Dx 9 : Ansietas b.d kurang pajanan informasi mengenai penyakit


Noc : Ansietas berkurang
Nic :
1) Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.
2) Sediakan informasi factual menyangkut diagnosis, perawatan dan prognosis.
3) Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan kemampuan yang
menetap, kehilangan fungsi.
4) Sediakan penguatan yang positif ketika pasien mampu untuk meneruskan aktivitas
sehari-hari dan lainnya meskipun ansietas.

4. Discharge Planning
a. Peningkatan asupan nutrisi yang memadai.
b. Istirahat yang cukup.
c. Penjagaan terhadap hygiene , sanitasi lingkungan.
d. Lakukan check-up ketika timbul gejala yang sama.
e. Teratur konsumsi obat pemulihan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
GBS merupakan proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang
terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Terjadi kelemahan otot,
kehilangan reflex, dan kebas pada lengan, tungkai, wajah, dan bagian tubuh lain. Kasus ini
terjadi secara akut dan berhubungan dengan proses autoimun. Fokus utama asuhan
keperawatan pada penyakit ini adalah mempertahankan pernapasan, mencegah komplikasi,
memberi dukungan emosional, mengedalikan nyeri, dan memberikan iformasi prognosis
penyakit.
B. Saran
Nutrisi, hygiene, dan istirahat yang cukup dapat membantu meningkatkan system imun
dari tubuh penderita yang mengalami masalah pada bagian system imun.
Daftar Pustaka

Wibowo, Samekto & Gofir abdul. 2001. Farmakoterapi Dalam Neurologi. Penerbit
Salemba Medika; Jakarta.
Comer, Sheree. RN. MS. 2005 Critical Care Nursing Care Plans. Delmar Learning
Thomson Asian Edition;
Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologis Klinis. Gadjah Mada University Press; Jakarta
Widagdo, Wahyu S.kp. M.Kep. Sp.Kom, dkk. 2008. Askep Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Persarafan. Penerbit Buku Keperawatan dan Kepribadian; Jakarta.
http://xa.yimg.com/kq/groups/23350775/2046214617/name/Guillaine+Barre+Sindrome.
pdf
http://staff.unila.ac.id/gnugroho/files/2012/11/ANATOMI-FISIOLOGI-SISTEM-
SARAF.pdf
Doenges, Marilynn dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta.
http://fk.uwks.ac.id/archieve/jurnal/Vol%20Edisi%20Khusus%20Desember
%202010/SINDROM%20GUILLAIN%20BARRE.pdf
TUGAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA


GULAIN BARRE SINDROME

OLEH :

I WAYAN MEGAPUTRA
NIM. 16.12
KELAS. III. A

AKADEMI KEPERAWATAN PEMKAB


KONAWE TAHUN
2018/2019

Anda mungkin juga menyukai