Anda di halaman 1dari 7

Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA

1. Agent (bibit penyakit)


Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat
berlangsung sampai 14 hari. Secara klinis ISPA ditandai dengan gejala akut akibat infeksi
yang terjadi di setiap bagian saluran pernafasan dengan berlangsung tidak lebih dari 14 hari.
Infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit yang komplek dan heterogen,
yang disebabkan oleh 300 lebih jenis virus, bakteri, serta jamur. Virus penyebab ISPA antara
lain golongan miksovirus yang meliputi virus influensa, virus pra-influensa dan virus
campak.
Pada negara berkembang, penyebab pneumonia pada balita adalah bakteri,
yakni Streptococcus pneumoniae dan haemophylus influenzae (Maryunani, 2010). Menurut
Widoyono (2008) penyakit ISPA dapat juga berasal dari bakteri (Diplococcus pneumoniae,
Pneumococcus, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, dan lain-lain), virus
(influenza, adenovirus, sitomegalovirus), jamur (Aspergillus sp., Candida albicans,
Histoplasma, dan lain-lain).
2. Host (Pejamu/Manusia)
Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang terserang bibit penyakit, terutama faktor yang
ada pada dirinya sendiri seperti :
a. Umur
Terjadinya ISPA terutama pneumonia pada bayi dan pada anak balita dipengaruhi
oleh faktor usia anak. infeksi saluran pernafasan sering mengenai anak usia dibawah 3
tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak
pada usia muda akan lebih sering menderita ISPA daripada usia yang lebih lanjut (Koch
et al, 2003).
b. Jenis Kelamin
Menurut buku pedoman program pemberantasan penyakit ISPA untuk
penanggulangan pneumonia pada balita (1996), anak jenis kelamin laki-laki mempunyai
resiko yang lebih tinggi untuk terkena ISPA dibandingkan dengan anak perempuan
(Depkes RI., 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil
bahwa proporsi kasus ISPA-pneumonia menurut jenis kelamin tidak sama, yaitu laki-laki
59% dan perempuan 41%, terutama pada anak usia muda dan beberapa penlitian lain
yang menunjukkan adanya perbedaan prevalensi penyakit ISPA terhadap jenis kelamin
tertentu.
c. Status Gizi
Keadaan gizi buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk ISPA
menurut Martin yang dikutip oleh Djaja (1999), membuktikan adanya hubungan antara
gizi buruk dengan infeksi paru sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat
pneumonia. Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa malnutrisi
merupakan faktor resiko penting untuk ISPA. Anak yang menderita malnutrisi berat dan
kronis lebih sering terkena ISPA dibandingkan anak dengan berat badan normal.
Anak balita yang mengkonsumsi makanan yang tidak cukup baik dapat
mengakibatkan daya tahan tubuhnya melemah yang akan mudah diserang penyakit
infeksi. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa status
gizi kurang pada anak balita mempunyai resiko untuk terkena ISPA 2,5 kali lebih besar
dibandingkan dengan anak yang bergizi baik.
d. Berat Badan Lahir
Berat badan lahir ditetapkan sebagai suatu berat lahir kurang dari 2500 gram.
Bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) akan meningkatkan resiko kesakitan dan
kematian karena bayi rentan terhadap kondisi-kondisi infeksi saluran pernapasan bagian
bawah. Ibu yang sedang hamil harus mendapatkan asupan makanan yang cukup dengan
gizi seimbang, kekurangan asupan gizi pada saat hamil dapat menyebabkan bayi yang
dilahirkan berat badannya rendah. Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai angka
kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat lebih dari 2500 gram saat lahir selama
tahun pertama kehidupannya. ISPA adalah penyebab terbesar kematian akibat infeksi
pada bayi yang baru lahir dengan berat rendah, bila dibandingkan dengan bayi yang
beratnya diatas 2500 gram (Tuminah, S., 1999).
e. Status ASI dan Makanan Tambahan
ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan pada bayi tanpa tambahan cairan lain
(seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih), dan tanpa makanan tambahan
(seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim). Pemberian ASI secara
eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu sampai 6 bulan. Setelah bayi berumur 6
bulan, bayi mulai diberikan makanan pendamping secara bertahap dan bervariasi, dari
mulai bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat,
makanan lembek, dan akhirnya makanan padat. Menyusukan bayi harus selalu dianjurkan
bila bayi dan ibunya ada dalam keadaan sehat dan tidak terdapat kelainan-kelainan yang
tidak memungkinkan untuk menyusukan, jika memungkinkan ASI diberi sampai 2 tahun
(Roesli, 2001).
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sepuluh tahun terakhir ini menunjukkan
bahwa ASI kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus.
Terutama selama minggu pertama (4 sampai 6 hari) payudara akan menghasilkan
kolostrum, yaitu ASI awal yang mengandung zat kekebalan (imunoglobin, komplemen,
lisozim, laktoferin, dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari
infeksi. Penelitian di beberapa negara sedang berkembang menunjukkan bahwa ASI
melindungi bayi terhadap infeksi saluran pernapasan berat. Angka kematian kasus secara
berarti lebih tinggi pada anak yang telah disapih daripada anak yang masih diberi ASI
(Tuminah, S., 1999).
Menurut Roesli (2001) yang mengutip pendapat Cunningham dan Howwie (1990)
bahwa kematian akibat penyakit saluran pernapasan 2 – 6 kali lebih banyak pada bayi
yang diberi susu formula daripada bayi yang mendapat ASI. Penelitian Gani (2004),
menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA 5,3 kali tidak mendapatkan ASI
eksklusif dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA
f. Status Imunisasi
Imunisasi berarti memberi kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Setiap
anak harus mendapatkan imunisasi dasar terhadap 7 penyakit utama sebelum usia 1 tahun
yaitu imunisasi BCG, DPT, polio, campak dan hepatitis B. (Roesli, 2001). Imunisasi
adalah cara untuk menimbulkan kekebalan terhadap berbagai penyakit. Anak yang belum
pernah diimunisasi campak lebih berisiko terhadap terjadinya kematian karena
pneumonia, terutama pada balita yang sedang menderita pneumonia (Djaja, S., 1999)
Imunisasi yang tidak memadai merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan
insidens ISPA, sehingga faktor anak yang diimunisasi sangat menentukan dalam
tingginya angka insidens ISPA (Depkes RI., 1996).
Menurut The World Health Report 2005, angka kematian balita di Indonesia
sebesar 46 per 1000 kelahiran hidup, penyebab utama kematian pada anak balita adalah
penyakit infeksi saluran napasan akut, diare, penyakit yang ditularkan binatang dan
penyakit-penyakit yang bisa dicegah melalui vaksinasi. Penelitian yang dilakukan Dewi
dkk (1996), diketahui bahwa ketidakpatuhan imunisasi (imunisasi tidak lengkap)
mempengaruhi berkembangnya ISPA pada anak balita
g. Vitamin A
Pemberian Vitamin A pada balita sangat berperan untuk masa pertumbuhannya, daya
tahan tubuh dan kesehatan terutama pada penglihatan, reproduksi, sekresi mucus dan
untuk mempertahankan sel epitel yang mengalami diferensiasi.
3. Lingkungan (Environtement)
Faktor lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam menentukan terjadinya
proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya penyakit.
a. Kelembaban Ruangan
Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004), dengan desain cross
sectionaldidapatkan bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada
balita. Berdasarkan hasil ujiregresi, diperoleh bahwa faktor kelembaban ruangan mempunyai exp
(B) 28,097, yang artinya kelembaban ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi
faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 28 kali.
b. Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18- 300C. Hal ini
berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 180C atau diatas 300C keadaan rumah tersebut tidak
memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko
terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.
c. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga agar aliran
udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh
penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
d. Kepadatan Hunian Rumah
Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004) menemukan proses
kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada anak yang tinggal di rumah yang padat
dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak padat. Berdasarkan hasil penelitian
Chahaya tahun 2004, kepadatan hunian rumah dapat memberikan risiko terjadinya ISPA sebesar
9 kali.
e. Penggunaan Anti Nyamuk
Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat
menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap.
Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru
sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.
f. Bahan Bakar Untuk Memasak
Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat menyebabkan kualitas
udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74% wilayah pedesaan di China tidak memenuhi standar
nasional pada tahun 2002, hal ini menimbulkan terjadinya peningkatan penyakit paru dan
penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 juta kematian.
g. Keberadaan Perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap rokok terdiri
dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain Carbon
Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons(PAHs) dan lain-lain. Berdasarkan hasil
penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara keseluruhan prevalensi perokok pasif pada semua
umur di Indonesia adalah sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk.
h. Status Ekonomi dan Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan bahwa bila rasio pengeluaran
makanan dibagi pengeluaran total perbulan bertambah besar, maka jumlah ibu yang membawa
anaknya berobat ke dukun ketika sakit lebih banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan
bahwa ibu dengan status ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan
kesehatan dibandingkan dengan ibu yang status ekonominya rendah.

Riwayat Alamiah Penyakit ISPA


Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh.
Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada
permukaan saluran pernafasan bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan
suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak
lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Colman, 1992)

Perkembangan secara alamiah suatu penyakit (tanpa intervensi/ campur tangan medis)
sehingga suatu penyakit berlangsung secara natural di bedakan menjadi 3 tahap yaitu :
1. Tahap Prepatiogenesis
Tahap ini telah terjadi interaksi antara penjamu dengan bibit penyakit, tetapi interaksi ini
terjadi di luar tubuh manusia, dalam arti bibit penyakit berada di luar tubuh manusia dan
belum masuk ke dalam tubuh. Pada keadaan ini belum ditemukan adanya tanda-tanda
penyakit dan daya tahan tubuh penjamu masih kuat dan dapat menolak penyakit. Keadaan ini
disebut sehat. Pada periode prepatogenenis ini te4rkjadi dua tahap yaitu:
a. Interaksi antara agen-environment
Sebagai daerah tropis, Indonesia memiliki potensi daerah endemis beberapa penyakit
infeksi yang setiap saat dapat menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. Pengaruh
geografis dapat menyebabkan mudahnya agen berkembang. Perubahan cuaca yang
begitu cepat juga menjadi penyebab penyebaran virus dan bakteri.
b. Interaksi antara host-environment
Pencemaran lingkungan seperti asap karena kebakaran hutan, gas buang sarana
transportasi dan polusi udara dalam rumah dapat menimbulkan penyakit ISPA jika
terhirup oleh host.
2. Tahap Patogenesis
a. Tahap inkubasi
agen penyebab penyakit ISPA telah merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa yang
notabennya merupakan pelindung utama pertahanan system saluran pernafasan kita.
Akibatnya, Tubuhpun menjadi lemah apalagi diperparah dengan keadaan gizi dan daya
tahan yang sebelumnya rendah.
b. Tahap penyakit dini
Tahap ini mulai dengan munculnya Gejala-gejala klinis dapat karena adanya
interaksi.
c. Tahap penyakit lanjut
Merupakan tahap dimana penyakit memerlukan pengobatan yang tepat untuk
menghindari akibat lanjut yang kurang baik.
3. Tahap Post Patogenesis
a. sembuh sempurna (bentuk dan fungsi tubuh penjamu kembali berfungsi seperti
keadaan sebelumnya/bebeas dari penyakit).
b. Sembuh tapi cacat ; penyakit penjamu berakhir/bebas dari penyakit, tapi
kesembuhannya tak sempurna, karena terjadi cacat (fisik, mental maupun sosial) dan
sangat tergantung dari serangan penyakit terhadap organ-organ tubuh penjamu.
c. Karier : pada karier perjalanan penyakit seolah terhenti, karena gejala penyakit tak
tampak lagi, tetapi dalam tubuh penjamu masih terdapat bibit penyakit, yang pada
suatu saat bila daya tahan tubuh penjamu menurun akan dapat kembuh kembali.
Keadaan ini tak hanya membahayakan penjamu sendiri, tapi dapat berbahaya
terhadap orang lain/masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan penyakit
(human reservoir)
d. Kronis ; pada tahap ini perjalanan penyakit tampak terhenti, tapi gejala-gejala
penyakit tidak berubah. Dengan kata lain tidak bertambah berat maupun ringan.
Keadaan ini penjamu masih tetap berada dalam keadaan sakit.
e. Meninggal ; Apabila keadaan penyakit bertambah parah dan tak dapat diobati lagi,
sehingga berhentinya perjalanan penyakit karena penjamu meninggal dunia. Keadaan
ini bukanlah keadaan yang diinginkan.
Hubungan pejamu, bibit penyakit dan lingkungan pada penyakit ISPA (Segitiga
Epidemiologi)

Teori Trias Penyakit menurut Gordon & Le Rich, 1985 bahwa Proses terjadinya
penyakit disebabkan adanya interaksi antara faktor penyebab (agen), faktor manusia
(host) dan faktor lingkungan (environment).
Kondisi sehat adalah kondisi dimana keadaan agen, host dan environment berada
dalam suatu keseimbangan, seperti gambar dibawah ini :

Apabila terjadi ketidakseimbangan oleh salah satu faktor maka akan dapat menyebabkan
terjadinya penyakit ISPA, seperti gambar dibawah ini :

Apabila kondisi lingkungan mendukung pada perkembangan agen penyakit ISPA, misalnya
suhu ruangan yang rendah (udara lembab), kepadatan dalam rumah tinggi, ventilasi rumah
yang kurang dan lain sebagainya, maka perkembangan agen (bakteri dan virus) menjadi
meningkat dan kemampuan daya tahan host (manusia) menjadi rendah. Maka dalam hal ini
host memiliki risiko terserang penyakit ISPA.

DAFTAR PUSTAKA
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/19913/Chapter%20II.pdf;jsessi
onid=6E79714182F6034EAA98739B64AE21B0?sequence=4
https://id.scribd.com/doc/38400447/Epidemiologi-Infeksi-Saluran-Pernafasan-Akut-
Ispa
http://youngqie.blogspot.co.id/2014/12/epidemiologi-ispa.html
http://rochthia.weblog.esaunggul.ac.id/2014/05/10/tugas-online-3-epidemiologi-
penyakit-menular/

Anda mungkin juga menyukai