Anda di halaman 1dari 3

MEMBACA ALMAGHFURLAH KH AZIZ MASYHURI DENANYAR DARI MAKASSAR

Saya mengenal pertama kali Abah KH. Aziz Masyhuri dari jauh, dari Makassar, lewat
buku, jurnal dan koran NU waktu masih nyantri di tahun 1980-an. Ketiganya
mencerminkan karakter intelektual seorang kiai mumpuni dalam kajian-kajian fiqih
kontemporer dalam lingkungan NU. Di toko buku saya menemukan buku beliau tentang
hasil-hasil bahtsul masail fiqhiyah Muktamar NU . Saya juga rutin membaca jurnal
Pesantren terbitan P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat)
Jakarta yang berisi tulisan dan wawancara beliau tentang masalah fiqih dan
aktualisasinya bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Di koran Warta NU -- waktu itu
kiai saya dan beberapa guru berlangganan koran bulanan terbitan LTN-PBNU itu –
nama almaghfurlah kerap saya jumpai dalam sejumlah kegiatan ke-NU-an.

Setelah merantau ke Jakarta untuk studi, saya berkesempatan bertemu pertama kali
dengan almaghfurlah pas Munas RMI di Pesantren Ash-Shiddiqiyah,Jakarta, tahun 1992.
Waktu itu saya mendampingi kiai saya, KH. Harisah AS, pendiri Pessantren Annahdlah
Makassar, mengikuti Munas RMI yang saat itu berstatus sebagai banom. Dalam satu
forum komisi yang dipimpin almaghfurlah sendiri, saya ikut terlibat dalam
perbincangan tentang tradisi dan masa depan keilmuan pesantren. Ide-ide yang saya
lontarkan di forum tampak diapresiasi oleh beliau. Sejak itu dalam setiap kesempatan
Munas atau Muktamar NU saya selalu bertemu dengan almaghfurlah yang memang
dikenal akrab dengan anak-anak muda.

Ya, sosok Kiai Aziz Masyhuri adalah kiai yang akrab dengan anak muda. Lebih dari itu, ia
juga dekat dengan pemikiran anak-anak muda. Mungkin itu bagian dari integrasi kiai
kelahiran Tuban ini dengan keluarga Denanyar di Jombang, setelah menikah dengan
salah seorang cucu KH. Bisri Syansuri, satu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama. Dalam
keluarga itu ada juga “darah segar” Denanyar, yang aktif dalam gerakan revitalisasi
pemikiran kaum santri dan pesantren: Abdurrahman Wahid (Gus Dur), putri Nyai Hj.
Solichah binti Kiai Bisri Syansuri. Sejak muda Kiai Aziz dan Gus Dur sudah lama
membangun keakraban pemikiran dalam berbagai hal, terutama dalam soal ke-NU-an.
Itu lebih intens lagi ketika Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum PBNU usai Muktamar
Situbondo tahun 1984. Saat itu Gus Dur dikenal punya agenda gerakan kultural
“kembali ke Khittah 1926”, dimana NU tampil sebagai kekuatan moral-religius di
panggung politik nasional, bukan sebagai partai.

Gus Dur butuh sosok mutafaqqih seperti Kiai Aziz Masyhuri untuk mengisi pemaknaan
gerakan kultural itu. Kekayaan khazanah pemikiran keagamaan NU harus digali kembali
untuk hidup dan aktual kembali dalam konteks nasional ke-Indonesia-an. Masa itu
bangsa kita menuntut NU hadir berperan dalam kapasitasnya sebagai gerakan ulama
untuk “ishlahil ummah”, untuk memperbaiki umat dan bangsa. Ada banyak kiai yang
tampil untuk tujuan itu. Rais Am PBNU, almaghfurlah KH Achmad Shiddiq, misalnya,
gencar menggalakkan kampanye NU sebagai salah satu pilar bangsa yang memberi
kontribusi positif bagi tegaknya ideologi negara, Pancasila, dari rongrongan kelompok
apa yang disebut beliau dalam satu wawancaranya di Jurnal Prisma tahun 1983 “kaum
Khawarij modern” yang ingin mengganti ideologi negara tersebut dengan ideologi
Islam. almaghfurlah Kiai Sahal Mahfudh , waktu itu Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah,
giat menggalakkan forum-forum bahtsul masail diniyah di lingkungan pengurus NU.
Bukan hanya membahas masalah-masalah ubudiyah saja, tapi juga masalah-masalah
sosial-kemasyarakatan dan moral politik. Ini dimaksudkan agar para kiai bukan hanya
mengerti persoalan-persoalan sosial-politik-kemasyarakatan dari sudut pandang fiqih
keagamaan, tapi juga mendekatkan mereka dengan posisi NU sebagai kekuatan
strategis bangsa ini dalam pembangunan dan kontrol terhadap kekuasaan. Muhammad
AS. Hikam waktu pulang dari Amerika di awal 1990-an langsung menyebut peran
strategis NU itu sebagai “civil society” (masyarakat sipil).

Dalam konteks NU pasca Muktamar Situbondo inilah, Kiai Aziz Masyhuri hadir
memberi warna baru bagi peran NU di atas. Yaitu dari sudut pandang keahliannya
sebagai kiai tafaqquh fiddin. Modal itu ditimbanya sejak nyantri di beberapa
pesantren di Tuban dan di Jombang. Beliau bercita-cita mengikuti kiprah Kiai Bisri
Syansuri, ulama fiqih kesohor di kalangan NU. “Dalam setiap kesempatan acara
bahsul masail NU,” kata beliau kepada saya dalam satu percakapan pada 27
Desember 2013, “Mbah Wahab [KH. A. Wahab Chasbullah] selalu menggunakan
argumen manthiq dan ushul fiqih dalam membahas masalah-masalah kontemporer.
Sementara Mbah Bisri lebih banyak menggunakan dalil-dalil atau argumen kitab-
kitab fiqih”.

Ya, beliau tidak banyak menguasai ilmu manthiq (logika) atau ilmu ushul fiqih –
meski kedua disiplin ini menjadi bacaannya selama nyantri di beberapa pondok.
Namun Kiai Aziz sangat mumpuni dan telaten dalam kajian dan argumen kitab-
kitab fiqih. Telaah dan bacaan beliau atas kitab-kitab rujukan ulama NU itu sangat
luas, pun mendalam. Berbagai masalah apapun selalu beliau jawab dengan qawl-
qawl (pendapat atau pandangan) ulama dari berbagai ktab fiqih. Dalam berbagai
forum bahsul masail NU dari tingkat cabang, wilayah hingga nasional, beliau selalu
tampil ke depan. Termasuk ketika Gus Dur dan Kiai Sahal Mahfudh lewat P3M
menggelar perhelatan halaqoh keagamaan di beberapa pesantren sejak
pertengahan akhir 1980-an hingga 1990-an. Halaqoh itu menyangkut isu-isu aktual
mulai dari peran pesantren, reaktualisasi pemikiran kitab kuning, hingga
pembahasan masalah-masalah tanah dan demokrasi yang jelas-jelas waktu itu
menyerempet perkara politik kekuasaan Orde Baru.

Meski banyak berkutat pada pendekatan qawl-qawl ulama, jangan dikira Kiai Aziz
Masyhuri mengesampingkan pendekatan manhaji atau metodologi istinbath.
Bersama KH. Makruf Amin, koleganya sejak nyantri di Jombang dan kini Rais Am
PBNU, Kiai Aziz merancang satu rumusan cara bermazhab secara manhaji dalam
kesempatan Munas NU di Lampung tahun 1991. Waktu itu pemikiran yang muncul
adalah bahwa perkembangan zaman banyak melampaui keberadaaan qawl atau
teks kitab. Sehingga banyak persoalan keagaman yang dibahas dalam bahsul masail
mauquf, yakni dipending atau ditunda pemberian status hukumnya. Karena tidak
ditemukan qawl ulama yang mengatakan kasus bersangkutan secara eksplisit
maupun implisit. Oleh karena itu diperlukan terobosan dalam beristinbath, yaitu
mengambil pola manhaji. Yakni mengam

Beda dengan pendekatan

Saya pernah

saya mengenal sosok kiai

Raden Mas M

Anda mungkin juga menyukai