Anda di halaman 1dari 62

KARAKTERISTIK RESPON IMUN UDANG PUTIH

Penaeus vannamei (Boone, 1931) TERHADAP STRESS SALINITAS DAN


KEPADATAN TINGGI DAN KERENTANANNYA TERHADAP INFEKSI
Vibrio harveyi

CHARACTERISTIC OF IMMUNE RESPONSE OF WHITE SHRIMP, Penaeus vannamei


(Boone, 1931), ON SALINITY AND HIGH DENSITY STRESS AND ITS SUSCEPTIBILITY
TO Vibrio harveyi INFECTION

RINGKASAN DISERTASI

ARIFUDDIN
P0100311410

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
KARAKTERISTIK RESPON IMUN UDANG PUTIH
Penaeus vannamei (Boone, 1931) TERHADAP STRESS SALINITAS DAN
KEPADATAN TINGGI DAN KERENTANANNYA TERHADAP INFEKSI
Vibrio harveyi

CHARACTERISTIC OF IMMUNE RESPONSE OF WHITE SHRIMP,


Penaeus vannamei (Boone, 1931), ON SALINITY AND HIGH-DENSITY
STRESS AND ITS SUSCEPTIBILITY TO Vibrio harveyi INFECTION

RINGKASAN DISERTASI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Doktor


Program Studi Ilmu Pertanian

Disusun dan diajukan oleh

ARIFUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
Promotor : Prof. Dr. Ir. Alexander Rantetondok, M.Fish.Sc.

Co-Promotor : Dr. Ir. Dody Dharmawan Trijuno, M.App.Sc.


Dr. Ir. Hilal Anshary, M.Sc

Penguji Internal : Prof. Dr. Ir. H. M. Natsir Nessa, M.S.


Prof. Dr. Ir. Muhammad Yusri Karim, MSi.
Prof. dr. Mochammad Hatta, Ph.D., Sp. MK
Dr. Ir. Edison Saade, M.Sc

Penguji Eksternal : Dr. Ir. Andi Parenrengi, M.Sc


ABSTRAK
ARIFUDDIN. Karakteristik Respon Imun Udang Putih, Penaeus vannamei,(Boone, 1931)
Terhadap Stress Salinitas dan Kepadatan Tinggi dan Keterentanannya Terhadap Infeksi
Vibrio harveyi (dibimbing oleh Alexander Rantetondok, Dody Dharmawan Trijuno, dan Hilal
Anshari)
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola perubahan parameter imun udang
putih P. vannamei: (1) pada salinitas iso-osmotik dan kepadatan tinggi, (2) pada salinitas
yang berubah dan/atau kepadatan tinggi, (3) dan kerentanannya pada salinitas iso-osmotik
dan kepadatan tinggi setelah infeksi V. harveyi, (4) dan kerentanannya terhadap perubahan
salinitas dan/atau kepadatan tinggi setelah infeksi V. harveyi.
Penelitian ini terdiri dari dua seri percobaan pada salinitas iso-osmotik dan dua
seri pada salinitas yang berubah dan kepadatan berbeda. Satu dari masing-masing seri
tersebut ditantang dengan V. harveyi. Kepadatan udang pada seri iso-osmotik terdiri dari
167, 267, 367, 467, dan 567 ekor/m3, sedang pada seri perubahan salinitas terdiri dari
kepadatan 167 dan 567 ekor/m3. Parameter yang dikaji meliputi total hemosit, diferensial
hemosit, aktifitas fagositosis, SOD dan histopatologi hepatopankreas.
Parameter imun pada salinitas iso-osmotik menurun pada jam ke-24 kecuali sel
semigranulosit dan granulosit serta SOD, penurunan total hemosit kepadatan167 hingga
367 ekor/m3 berlanjut hingga jam ke-48, sebaliknya sel semigranulosit dan granulosit
meningkat pada waktu dan pola kepadatan yang sama. Pada seri uji tantang V. harveyi,
persentase sel hialin dan aktifitas fagositosis meningkat dan sel garulosit menurun pada jam
ke-24, tetapi aktifitas fagositosis secara berurutan menurun pada kepadatan 467 dan 567
ekor/m3 pada jam ke-96 dan 48 hingga 144 jam. Respon imun udang kepadatan rendah
dan salinitas menurun, menunjukkan nilai lebih tinggi dan berbeda dengan kepadatan dan
perubahan salinitas lainnya, kecuali sel granulosit lebih tinggi pada tingkat kepadatan tinggi.
Konsentrasi SOD lebih tinggi pada kepadatan 567 ekor/m3 pada salinitas yang sama,
kecuali pada 240 jam setelah perlakuan kepadatan.

Kata kunci: Udang putih, P. vannamei, respon imun, kepadatan, salinitas


ABSTRACT
ARIFUDDIN. Characteristic of Immune Response of White Shrimp, Penaeus vannamei
(Boone, 1931), on Salinity and High Density Stress and Its Susceptibility to Vibrio harveyi
Infection (supervised by Alexander Rantetondok, Dody Dharmawan Trijuno, and Hilal
Ansari)

This research aimed to examine the patterns of changes in immune parameters of


the white shrimp P. vannamei: (1) in the iso-osmotik salinity and high density,
(2) on salinity changes and/or high density, (3) and its resistance on iso-osmotic salinity and
high density after V. harveyi infection (4) and its resistance on changes in salinity and/or
high density after V. harveyi infection.
This research consists of two series of experiments on iso-osmotik salinity and two
series on changing salinity and different density. One of each of these series are challenged
with V. harveyi. The density of prawns on iso-osmotik media consists of 167, 267, 467, 367,
and 567 shrimps/m3, while on a series of changes in salinity is composed of 167 and 567
shrimps/m3. The parameters examined include the total hemocytes, differential hemocytes,
phagocytic activity, SOD and hepatopancreas histopathology.
The shrimps Immune parameters in iso-osmotic salinity decreased at 24 hours except
for semigranulocyte and granulocytes cells and SOD, the total hemocytes of 167 to 367
shrimps/m3 continued to 48 hours, whereas semigranulocyte and granulocyte cells
increased at the same time and density pattern . In the V. harveyi challenged series, the
percentage of hyaline cells and phagocytic activity increased and the granulocytes
decreased at 24 hours, but the phagocytic activity decreased at densities of 467 and 567
shrimps/m3 at 96 and 48 to 144 hours, respectively. The immune response of shrimp at low
densities and decreased salinity showed higher values and differ from other densities and
salinity changes treatment, except granulocyte cells percentages are higher at high density.
The SOD concentration was higher at 567 shrimps/m3 at the same salinity, except at 240
hours after the density treatment.
Keywords: White shrimp, P. vannamei, immune response, density, salinitas
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Udang putih, Penaeus vanamei, merupakan salah satu komiditi budidaya
perikanan utama di dunia, termasuk Indonesia, sebagai komoditas alternatif setelah
terpuruknya produksi udang windu, Penaeus. monodon. Udang ini dianggap memiliki daya
tahan terhadap penyakit dan lingkungan yang lebih baik serta memiliki kemampuan
pertumbuhan yang tinggi dan dapat dipelihara dalam tingkat kepadatan yang tinggi.
Keunggulan tersebut menarik perhatian masyarakat untuk mengembangkan budidaya jenis
udang ini melalui pemeliharaan sistem intensif dengan peningkatan padat penebaran.
Peningkatan kepadatan penebaran merupakan salah satu strategi untuk
mengoptimalkan produktivitas dalam budidaya udang. Pelaku usaha budidaya yang
meningkatkan kepadatan hingga 1000 ekor/m2 pada sistem budidaya supra intensif mampu
memproduksi 15 ton/1000 m2 (Rasa, Listianingsih and Palupi, 2013) dan udang putih yang
dipelihara dengan kepadatan 300 ekor/m3 tetap menunjukkan pertumbuhan yang cepat dan
tingkat kelangsungan hidup yang tinggi (Wasielesky et al., 2006). Hal yang berbeda
dilaporkan bahwa peningkatan kepadatan penebaran tidak meningkatkan secara signifikan
produksi biomassa (Arnold et al. (2006) dan penelitian Krummenauer et al. (2011) dan
Shakir et al. (2014) menunjukkan penurunan berat individu dengan peningkatan kepadatan.
Informasi tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh negatif peningkatan kepadatan
terhadap pertumbuhan individu. Dalam hal ini, alokasi energi yang seyogyanya digunakan
untuk pertumbuhan dialihkan untuk kebutuhan lain untuk mempertahankan keseimbangan
tubuh dan gangguan yang timbul dapat menginduksi terjadinya stres yang pada akhirnya
mempengaruhi kemampuan imun organisme.
Udang yang dipelihara dapat terpapar perubahan iklim yang mempengaruhi kualitas
fisika-kimiawi air. Salinitas merupakan salah satu parameter yang memberi pengaruh
besar terhadap udang penaeid euryhaline dan pada budidaya udang, salinitas media
budidaya dapat serendah 5‰ selama musim hujan dan salinitas setinggi 40‰ selama
musim kemarau (Boyd and Fast, 1982), dan perubahan salinitas air tambak dapat mencapai
1-6‰ perhari (Agustina, 2013). Perubahan salinitas menyebabkan tekanan terhadap
fisiologis dan sistem imun udang sehingga kerentanan terhadap patogen meningkat (Cheng
and Chen, 2000; Moullac and Haffner, 2000; Perazzolo et al., 2002). Menurut (Yu and Song,
2000), budidaya jenis udang putih tetap dibatasi oleh masalah penyakit infeksi, terutama
infeksi virus seperti Taura syndrome virus dan bakteri Vibrio alginolyticus dan Vibrio harveyi
(Liu and Chen, 2004). Vibriosis merupakan penyakit penting budaya udang di Mexico dan
telah menyebabkan kematian massal (Soto Rodriguez et al., 2010) yang menyerang
juvenile mulai ukuran 5 g hingga dewasa (Soto-Rodriguez, Gomez-Gil and Lozano, 2010).
Agen etiologi vibriosis adalah V. harveyi yang menyebabkan penyakit “bright red syndrome”
pada budidaya L. vannamei (Soto-Rodriguez, Gomez-Gil and Lozano, 2010). Kepadatan
sel V. harveyi dapat distimulasi oleh perubahan lingkungan yang mendadak dan kondisi
budidaya seperti suhu, salinitas, konsentrasi nutrien, dan kepadatan hewan sebagai inang.
Sebagai patogen oportunistik, bakteri tersebut dapat menyebabkan mortalitas terhadap
organisme budidaya akibat keadaan yang menyebabkan stres seperti perubahan suhu
(Vaseeharan and Ramasamy, 2003; Lightner and Redman, 1998) dan salinitas (Zhou et al.,
2012). Informasi tersebut menunjukkan bahwa V. harveyi merupakan patogen yang perlu
diwaspadai dalam budidaya udang putih, khususnya pada saat terjadi perubahan
lingkungan, sehingga penelitian tentang kerentanan udang putih terhadap jenis patogen ini
ketika terjadi perubahan lingkungan pola budidaya sangat penting dilakukan.
5

Sehubungan dengan hal tersebut maka telah dilakukan penelitian pengaruh stres
salinitas dan/atau kepadatan terhadap (1) parameter imun dan (2) kerentanan udang putih
terhadap infeksi V. harveyi. Untuk mencapai tujuan tersebut telah dikaji jumlah total hemosit
(total hemocyte count), diferensial hemosit, aktivitas fagositik, dan aktifitas enzim
superoksida dismutase (SOD) serta perubahan histologis morfologi hepatopankreas udang
putih sebagai respon terhadap stress salinitas dan/ atau kepadatan serta infeksi V. harveyi.

B. Perumusan Masalah
Budidaya udang putih P. vannamei saat ini berkembang pesat menggantikan
posisi budidaya udang windu P. monodon yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami
penurunan produksi akibat serangan penyakit. Untuk mengoptimalkan produksi, pelaku
usaha budidaya meningkatkan kepadatan penebaran sesuai teknologi yang diterapkan dari
100-200 ekor/m2 pada budidaya sistem semi-intensif dan 400-550 ekor/m2 pada budidaya
sistem intensif, menjadi 1.000 ekor/m2 pada sistem supra intensif dengan hasil produksi
mencapai 15 ton/1.000 m2 (Rasa, Listianingsih and Palupi, 2013). Hasil yang dicapai
merupakan peluang bisnis yang sangat prospektif, tetapi di sisi lain, perlu disadari bahwa
terdapat potensi dampak yaitu degradasi ekosistem dan penurunan biodiversitas pesisir
akibat buangan limbah yang tidak dikelola ke perairan pesisir. Disamping itu, kajian
sebelumnya mengindikasikan bahwa kepadatan penebaran yang tinggi menyebabkan
pengaruh negatif terhadap pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, dan produksi,
kualitas air yang rendah dan timbulnya wabah patogen. Hasil penelitian Arnold et al. (2006)
Krummenauer et al. (2011), dan Shakir et al. (2014) mengisyaratkan terjadinya penurunan
berat individu dengan peningkatan kepadatan penebaran.
Pertumbuhan yang menurun akibat pengaruh kepadatan penebaran dapat
disebabkan oleh kompetisi dalam mendapatkan makanan dan ruang hidup diantara
individu, meningkatkan variasi pertumbuhan dan menyebabkan pembentukan hirarki
ukuran, atau bahkan hirarki sosial. Interaksi sosial mempengaruhi fungsi fisiologis
subdominan ikan, seperti menurunkaan tingkat metabolis, melemahkan kemampuan imun
dan menghambat tingkat pertumbuhan individu. Kepadatan yang tinggi dan hirarki sosial
menstimulasi neuoendokrin pada aksis sistem saraf pusat dan karenanya meningkatkan
kortisol plasma dan atau hormon hiperglikemia (CHH, crustacean hyperglicemic hormon),
yang merupakan salah satu indikator stres. Peningkatan kortisol plasma menginduksi
berbagai respon fisiologis (Barton and Iwama, 1991), termasuk penurunan respon imun
(Pickering and Pottinger, 1989). Crustacean hyperglycemic hormon (CHH), disintesis dan
dilepaskan dari kompleks kelenjar sinus organ X, terutama terlibat dalam metabolisme
karbohidrat krustase dan mengerahkan aksinya dengan menstimulasi glikogenolisis pada
otot dan kelenjar midgut, dan dengan menghambat glikogen sintase. Ketika terjadi stres,
beban allostatic secara signifikan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan energetic-
metabolic machinery. Stress kepadatan menstimulasi sistem neuroendokrin individu dan
meningkatkan level kortisol dalam cairan coeloem, dan pada gilirannya mempercepat
konsumsi energi, mengubah persediaan energi, dan akhirnya memainkan peranan negatif
terhadap pertumbuhan dan komposisi biokimia individu (Pei et al., 2012). Dengan demikian,
jumlah energi yang signifikan terus menerus digunakan di bawah stres mengarah untuk
menghambat pertumbuhan dan aktivitas yang rendah. Selain itu, beberapa respon dari
6

kekebalan sementara tidak aktif, terutama sintesis immunocytes, oleh karena itu
meningkatkan kerentanan organisme terhadap patogen. .
Udang yang dipelihara umumnya terpapar dengan perubahan iklim akibat perubahan
musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau, yang mempengaruhi kualitas fisika-kimiawi
air. Diantara perubahan karakteristik fisika-kimia air laut, salinitas dan suhu memberi
pengaruh yang paling besar terhadap udang penaeid euryhaline. Perubahan salinitas yang
tiba-tiba selama pemeliharan akibat perubahan harian demikian juga perubahan musiman
salinitas dapat mempengaruhi pengambilan makanan dan pemanfaatan energi yang lebih
tinggi untuk osmoregulasi serta perubahan parameter biokimia dan fisiologis udang dalam
menanggapi stress yang menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan, kelangsungan
hidup, kemampuan kekebalan tubuh dan kinerja metabolik udang serta meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi mikroba.
Perubahan salinitas yang drastis, akibat perubahan harian dan musiman pada musim
hujan atau kemarau, dan tingkat kepadatan penebaran yang tinggi dapat memicu stres
akan membutuhkan energi yang lebih besar untuk mengatasinya yang berimplikasi
terhadap penurunan pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup. Stres yang
berkelanjutan akan memanfaatkan cadangan energi untuk adaptasi dan keseimbangan
sehingga alokasi energi untuk pertumbuhan dan pertahanan tubuh menjadi berkurang yang
pada gilirannya organisme rentan terhadap infeksi patogen.
Dengan demikian fenomena perubahan salinitas dan atau peningkatan kepadatan
penebaran yang tinggi perlu diwaspadai untuk menghindari terjadinya degradasi lingkungan
yang lebih parah dan insiden penyakit yang dapat terjadi secara sporadis akibat
menurunnya kemampuan imun udang. Pengaruh stressor salinitas dan atau tingkat
kepadatan penebaran terhadap respon imun dapat berubah dari waktu ke waktu sehingga
terjadi dinamika respon selama udang terpapar dengan kondisi yang berada di luar kondisi
optimal bagi kehidupannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pola perubahan parameter immun udang putih pada salinitas iso-osmotik
dan kepadatan tinggi?
2. Bagaimana pola perubahan parameter immun udang putih terhadap stres salinitas
dan/atau kepadatan tinggi?
3. Bagaimana pola perubahan parameter imun dan kerentanan udang putih yang
dipelihara pada salinitas iso-osmotik dan kepadatan tinggi setelah infeksi V. harveyi
4. Bagaimana pola perubahan parameter imun dan kerentanan udang putih terhadap
salinitas dan/atau kepadatan tinggi setelah infeksi V. harveyi.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :


1. Mengkaji pola perubahan parameter immun udang putih pada salinitas iso-osmotik
dan kepadatan tinggi.
2. Mengkaji pola perubahan parameter immun udang putih terhadap stres salinitas
dan/atau kepadatan tinggi.
7

3. Mengkaji pola perubahan parameter immun dan kerentanan udang putih pada
salinitas iso-osmotik dan kepadatan tinggi setelah infeksi V. harveyi
4. Mengkaji pola perubahan parameter imun dan kerentanan udang putih terhadap
stress salinitas dan/atau kepadatan tinggi setelah infeksi V. harveyi
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi ilmiah penting tentang
dinamika respon imun udang putih yang terpapar salinitas ekstrim dan atau kepadatan tinggi
serta kerentanan udang putih terhadap infeksi bakteri pada dua kondisi yang berbeda
tersebut. Informasi ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengelolaan budidaya udang
putih, khususnya dalam menetapkan tingkat kepadatan pada dua musim yang berbeda
untuk mengantisipasi perubahan kemampuan imun organisme peliharaan.
G. Kerangka Konsep
Udang putih L. vanamei telah menjadi salah satu komiditi budidaya perikanan utama
di dunia dan dianggap memiliki daya tahan terhadap penyakit dan lingkungan yang lebih
baik dibanding udang windu. Namun demikian, budidaya jenis udang ini tetap dibatasi oleh
masalah penyakit infeksi, terutama infeksi virus seperti Taura Syndrome Virus dan bakteri
Vibrio alginolyticus dan Vibrio harveyi.
Infeksi penyebab penyakit pada udang ditentukan oleh patogenitas dan kepadatan
organisme patogen penyebab penyakit serta kemampuan imun udang yang bergantung
pada kondisi lingkungan dimana organisme tersebut hidup. Perubahan faktor-faktor biotik
dan abiotik dapat menyebabkan stres pada udang selama periode pemeliharaan. Udang
yang dipelihara umumnya terpapar dengan perubahan iklim akibat perubahan musim, yaitu
musim hujan dan musim kemarau, yang mempengaruhi kualitas fisika-kimiawi air.
Diantara perubahan karakteristik fisika-kimia air laut, salinitas dan suhu memberi pengaruh
yang paling besar terhadap udang penaeid euryhaline. Perubahan salinitas dapat terjadi
tiba-tiba selama pemeliharan akibat perubahan harian demikian juga perubahan musiman
salinitas dari salinitas rendah pada musim hujan ke salinitas tinggi selama kemarau dan
sebaliknya. Setidaknya ada tiga masalah yang menyolok dalam kultivasi pada salinitas
yang berubah yaitu pertumbuhan yang rendah, tingkat kelangsungan hidup yang rendah,
dan kerentanan terhadap patogen yang tinggi. Perubahan salinitas dapat mempengaruhi
metabolisme, pengambilan makanan, pemanfaatan energi yang lebih tinggi untuk
osmoregulasi, dan perubahan parameter biokimia dan fisiologis udang dalam menanggapi
stres.
Peningkatan kepadatan penebaran merupakan salah satu strategi untuk
mengoptimalkan produktivitas dalam budidaya udang. Kepadatan penebaran yang tinggi
dapat meningkatkan kompetisi untuk mendapatkan makanan dan ruang hidup diantara
individu, meningkatkan variasi pertumbuhan dan menyebabkan pembentukan hirarki
ukuran, atau bahkan hirarki sosial. Kepadatan yang tinggi atau hirarki sosial dapat
menstimulasi aksis sistem saraf sentral menginduksi sistem neuoendokrin dan karenanya
meningkatkan level hormon hiperglikemia yang menyebabkan peningkatan kadar glukosa
hemolimf. Kepadatan penebaran yang tinggi menyebabkan pertumbuhan, kelangsungan
hidup, produksi yang negatif, kualitas air yang rendah dan munculnya wabah patogen,
mempengaruhi komposisi biokimia, status imun, dan hematologi, menghambat aktivitas
metabolik dan enzim antioksidan dan menyebabkan stres. Stres akan mengganggu
8

kemampuan kekebalan tubuh dan kinerja metabolik udang, dan meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi mikroba.
Perubahan salinitas dan atau peningkatan kepadatan merupakan stressor
lingkungan pada budidaya udang yang mengakibatkan gangguan fisiologis. Sinyal stressor
lingkungan tersebut diterima oleh sistem syaraf pusat yang menginduksi kelenjar antenal
dan kelenjar sinus pada tangkai mata untuk melepaskan hormon. Kelenjar antenal
melepaskan hormon yang bertanggungjawab terhadap pengaturan cairan tubuh dalam
proses osmoregulasi dan kelenjar sinus pada tangkai mata melepaskan hormon crustacean
hyperglicemia (CHH) sebagai respon terhadap tekanan lingkungan.
Respon terhadap fluktuasi lingkungan pada krustase direfleksikan dengan baik
dalam komposisi hemolimf yang merupakan komponen utama yang terlibat dalam
mekanisme pertahanan tubuh krustase. Hemosit, phenoloxidase (PO) , superoxide
dismutase (SOD), respiratory burst, dan peptida anti-viral dan -bakterial memegang
peranan penting dalam respon pertahanan udang terhadap patogen.
Berdasarkan uraian diatas, konsep pendekatan masalah yang digunakan dapat
dilihat pada Gambar 1.

H. Hipotesis
1. Kepadatan tinggi pada salinitas isosmotik menyebabkan penurunan kapasitas imun
udang putih.
2. Stres salinitas dan/atau kepadatan tinggi menyebabkan penurunan kapasitas imun
udang putih.
3. Kepadatan tinggi pada salinitas isosmotik menyebabkan penurunan kapasitas imun
dan meningkatkan kerentanan udang putih terhadap infeksi V. harveyi.
4. Stres salinitas dan/atau kepadatan tinggi menyebabkan penurunan kapasitas imun
dan meningkatkan kerentanan udang putih terhadap infeksi V. harveyi.
.
BAB II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Maret 2016 hingga Februari 2017. Percobaan dan
pengambilan sampel hemolimf udang dilaksanakan di Hatchery Mini Fakultas Ilmu Kelautan
dan Perikanan, preparasi bakteri dan sediaan histologis dilaksanakan di laboratorium
Parasit dan Penyakit Ikan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, pengukuran parameter
Super Oksida Dismutase (SOD) hemolimf udang dilaksanakan di Laboratorium Biologi
Molekuler dan Imunologi Fakultas Kedokteran, pemeriksaan diferensial hemosit, aktifitas
fagositosis dan pengambilan gambar histologis dilaksanakan di laboratorium Reproduksi
Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, dan pemotongan dan pewarnaan
histologis dilaksanakan di Laboratorium Balai Veteriner Maros.
B. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan menggunakan metode eksperimental dengan dua jenis
media percobaan yang berbeda dan masing-masing jenis dilaksanakan dengan dua seri
percobaan. Percobaan pertama dirancang untuk mengkaji dinamika respon imun dan
kerentanan udang putih terhadap infeksi V. harveyi yang dipelihara pada salinitas iso-
Pengambilan makanan
Kompetisi
Pengambilan Oksigen
+ Retensi Energi
Hirarki sosial
Nafsu makan

OrganX/
Densitas Kelenjar Adaptasi Sehat SGR
Sinus

Jaringan
Sistem Saraf
Pusat Dopamin, hepatopangkreas
Homoestatis
Serotonin normal SR
Kompensasi
-
Salinitas
Neuropeptida Respon Immun Udang
Kortisol, + - Total Hemosit
CHH
Stressor Kelenjar
katekolamin
+
- Diferensial hemosit
- Indeks Fagositik
Antenal - Superoksida dismutase
Stress

Insang - +
- Kerentanan
Na+/K+-ATPase Osmoregulasi
Rentan Resisten

Vibrio harveyi
Perubahan morfologi
hepatopangkreas

Sakit/Mati

Karakteristik
respon imun dan
kerentanan tubuh
terhadap patogen

Output dan
Input Proses Outcome

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Konsep Pendekatan Masalah

osmotik (25‰) pada lima tingkat kepadatan (167, 267, 367, 467, 567 ekor/m3) dan 3 (tiga)
kali ulang. Percobaan tahap ini dilaksanakan dengan dua seri percobaan yaitu seri pertama
dilakukan tanpa uji tantang dan seri kedua diuji tantang dengan V. harveyi. Rancangan
percobaan yang digunakan pada tahap pertama ini adalah rancangan acak lengkap dalam
waktu.
Percobaan kedua dirancang untuk mengkaji dinamika respon imun udang putih
pada dua seri perubahan salinitas dan dua tingkatan kepadatan udang (167 ekor/m3 dan
567 ekor/m3) serta 3 (tiga) kali ulangan.. Perubahan salinitas dilakukan dari salinitas iso-
osmotik (25‰) yang diturunkan dari 25‰ hingga 5‰ atau ditingkatkan dari 25‰ hingga
45‰ dengan nilai perubahan 5 ‰ per hari hingga mencapai tingkat salinitas 5‰ dan 45%.
Perubahan salinitas mulai dilakukan setelah 24 jam pemeliharaan pada salinitas 25‰ dan
perlakuan kepadatan. Salinitas air diturunkan dengan cara menambahkan air tawar dan
peningkatan salinitas dengan menambahkan garam. Percobaan kedua ini dilaksanakan
dengan dua seri percobaan yaitu seri pertama tanpa uji tantang dan seri kedua diuji tantang
dengan V. harveyi . Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap kedua ini adalah
rancangan faktorial dalam waktu. Kerangka alur penelitian disajikan pada Gambar 2.
Rancangan percobaan dalam waktu (in time) diterapkan karena dalam
penelitian ini dilakukan pengukuran atau pengamatan berulang terhadap respon imun untuk
melihat perubahan respon selama penelitian berjalan. Dengan demikian pengaruh waktu
dapat dikaji disamping pengaruh perlakuan (Petrie dan Watson, 2002).

C. Bahan dan Alat


Wadah pemeliharaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kontainer
plastik berbentuk persegi panjang dengan ukuran 35 cm x 45 cm x 30 cm. Air media yang
digunakan adalah air laut dengan salinitas awal 34‰ yang diperoleh dari perairan pantai
10

Galesong, Takalar yang ditampung pada bak fiber 3 ton dan disucihamakan dengan
menggunakan klorin 5 ppm serta dinetralisir dengan natrium tiosulfatUdang uji yang
digunakan dalam percobaan ini adalah udang putih, L.vannamei, berukuran 11,49 ± 1.21 g
(9,38 – 13,80 g) diperoleh dari sentra budidaya udang di Mandale Kabupaten Pangkep,
Suawesi Selatan dan diaklimatisasi selam seminggu setelah . Salinitas media
pemeliharaan ditingkatkan tiap hari hingga mencapai salinitas 25‰ (iso-osmotik). Setelah
mencapai salinitas iso-osmotik, aklimatisasi dilanjutkan selama satu minggu. Setelah
penyesuaian salinitas mencapai 25‰. Sebelum digunakan dalam percobaan, sampel
organisme uji diverifikasi secara mikrobiologis untuk memastikan organisme yang
digunakan tidak terinfeksi V. harveyi. Bakteri V. harveyi patogenik dengaan kode isolate
275 diperoleh dari Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP)
Maros. Sebelum digunakan untuk uji in vivo, bakteri tersebut ditingkatkan patogenitasnya
dengan menginokulasikan kembali pada udang hidup yang sehat dan kemudian diisolasi
kembali. Sebelum digunakan untuk uji tantang, biakan bakteri 24 jam dicuci tiga kali
dengan larutan PBS steril. Antikoagulan yang digunakan untuk mencegah pembekuan
hemolimf sampel mengikuti Chen et al. (2012) yaitu campuran antara 30 mM trisodium
citrate, 367 mM sodium chloride, and 10 mM EDTA pada pH 7.55, dan menyesuaikan
osmolalitas menjadi 718 mOsm/kg dengan penambahan 115 mM glucose.

Udang diaklimatisasi selama 1 minggu


Udang Putih Juvenil dari Sentra pada salinitas 25 dalam bak fiber
Pertambakan Rakyat, Mandalle bundar dengan sistem resirkulasi, dan
ditransfer ke bak segi empat volume 30 L

Salinitas 25 (Isosmotik)
Salinitas 25  5 Salinitas 25  45
Kepadatan 167 dan 567 ekor/m3 Kepadatan 167 dan 567 ekor/m3
 3 ulangan  3 ulangan
3
Kepadatan 167, 267, 367, 467, dan 567 ekor/m
 3 ulangan

Salinitas 25  5 Salinitas 25  45

Kepadatan 167, 267, 367, 467, dan 567 ekor/m3 Kepadatan 167 dan 567 ekor/m3 Kepadatan 167 dan 567 ekor/m3
 3 Ulangan Setelah 24 jam perubahan salinitas Setelah 24 jam perubahan salinitas
Setelah 24 jam perlakuan kepadatan ditantang ditantang dengan 107 cfu/ml ditantang dengan 107 cfu/ml
dengan 107 cfu/ml V. harveyi V. harveyi V. harveyi

Rancangan Acak Lengkap


Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial

Sampel Hemolimf
Sampel Hemolimf
0, 72, 240 jam setelah perubahan salinitas
0, 24, 48, 96, dan 144 jam setelah Superoksida Dismutase
Total hemosit, perlakuan kepadatan 0, 24, 240 jam setelah infeksi V. harveyi (SOD)
Diferensial hemosit,
aktifitas fagostik
-24, 0, 24, 48, 96, dan 144 jam 0, 24, 48, 72, 96, 144, 192, 216 dan 240 setelah
setelah n uji tantang perlakuan kepadatan
Total hemosit, Diferensial
-48,-24, 0, 24, 48, 96, 144, 192, 216 dan 240 hemosit, aktifitas fagostik
Sampel Hepatopangkreas setelah infeksi V. harveyi
144 jam setelah perlakuan
kepadatan dan atau salinitas
Histologi Sampel Hepatopangkreas

144 jam setelah uji tantang 240 jam setelah perubahan salinitas dan
perlakuan kepadatan
Histologi

96 dan 240 jam setelah uji tantang

Gambar 2. Kerangka Alur Penelitian

D. Prosedur Penelitiaan

1. Pemeliharaan
Udang uji dipelihara di dalam bak yang berisi air laut steril sebanyak 30 liter. Tiap
bak diisi organisme uji sesuai dengan perlakuan tingkat kepadatan yang diujikan yaitu 5
ekor (≈167 ekor/m3), 8 ekor (≈ 267 ekor/m3), 11 ekor (≈ 367 ekor/m3), 14 ekor (≈ 467
11

ekor/m3), dan 17 ekor (≈ 567 ekor/m3). Untuk menjaga kualitas air, maka setiap hari
dilakukan penyiponan sisa pakan dan pergantian air sebanyak 30% sesuai salinitas
perlakuan. Selama pemeliharaan, udang uji diberi pakan buatan dengan kandungan protein
35% sebanyak 5% dari bobot tubuh perhari dengan frekuensi pemberian pakan dua kali
sehari. Pemberian pakan dilakukan setelah pergantian air pada pagi hari

2. Infeksi Bakteri V. harveyi


Metode infeksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode perendaman
dengan cara merendam udang uji selama 2 jam dalam wadah volume 30 L yang telah
diinokulasikan biakan 24 jam bakteri V. harveyi dengan kepadatan akhir bakteri 107 cfu/ml.
Salinitas media perendaman disesuaikan dengan salinitas media perlakuan pemeliharaan.
Infeksi bakteri dilakukan setelah 24 jam perlakuan kepadatan untuk seri percobaan salinitas
media iso-osmotik (25‰) yang konstan dan 24 jam setelah perubahan pertama salinitas
untuk seri percobaan perubahan salinitas (salinitas 20‰ vs salinitas 30‰). Setelah
perendaman selama 2 jam, udang uji dicelup dalam dua wadah berbeda yang berisi air laut
steril dan kemudian dipindahkan kembali ke wadah pemeliharaan sesuai perlakuan
kepadatan dan salinitasnya.
E. Sampel
Pengumpulan data total hemosit, jenis sel hemosit, dan aktivitas fagositas
dilakukan dengan mengambil hemolimf satu ekor udang uji dari setiap unit percobaan pada
0, 24, 48, 96, dan 144 jam setelah perlakuan kepadatan pada percobaan tanpa uji tantang,
dan pada 0, 24, 48, 96, dan 144 setelah uji tantang pada percobaan dengan uji tantang
pada seri percobaan pemeliharaan pada salinitas 25‰ (iso-osmotik) yang konstan. Pada
seri percobaan perubahan salinitas dan kepadatan berbeda, pengambilan data hemolimf
udang tanpa uji tantang dilakukan sebelum perlakuan kepadatan (0 jam), 24, 48, 72, 96,
120, 144, 168, 192, 216, dan 240 jam setelah perlakuan kepadatan, dan pada percobaan
uji tantang dilakukan sebelum perlakuan salinitas dan kepadatan (-48 jam), 24 jam setelah
aklimasi pada salinitas iso-osmotik dan tingkat kepadatan uji (-24 jam), 24 jam setelah
perubahan salinitas atau sesaat sebelum uji tantang (0 jam), dan dilanjutkan pada 24, 48,
96, 144, 192 dan 240 setelah uji tantang pada seri percobaan uji tantang dengan V. harveyi.
Salinitas air media pemeliharaan pada seri ini diturunkan atau ditingkatkan 5‰ setiap hari
hingga mencapai 5‰ dan 45%. Data superoxide dismutase (SOD) diambil pada 0, 24, dan
240 jam setelah perlakuan salinitas dan kepadatan dan atau uji tantang dengan V. harveyi
pada seri percobaan perubahan salinitas dan kepadatan berbeda. Pengamatan histologi
dilakukan pada 144 jam setelah perlakuan kepadatan dan atau infeksi V. harveyi pada seri
percobaan pemeliharaan pada salinitas iso-osmotik. Pada seri percobaan perubahan
salinitas dan kepadatan berbeda, pengamatan histologi untuk percobaan tanpa uji tantang
dilakukan pada jam ke-240 setelah perubahan salinitas dan pada jam ke-96 dan 240 jam
setelah uji tantang dengan V. harveyi.
F. Teknik Pengumpulan Data
Hemolimf untuk keperluan pengukuran total hemosit, diferensial hemosit dan aktifitas
fagositosis serta diambil sebanyak 0,1 ml dari pangkal kaki renang pertama dengan syringe
tuberculin 1 ml (needle 26G x ½). Syringe yang digunakan untuk pengambilan hemolimf
diisi 0,3 ml antikoagulan yang telah didinginkan pada suhu -4 ⁰C, kecuali untuk pengukuran
SOD menggunakan antikoagulan. . Sebelum pengambilan hemolimf, udang yang dipilih
secara acak dari setiap unit percobaan dipingsankan terlebih dahulu dengan cara dicelup
ke dalam larutan es selama ± 30 detik. Tabung mikro yang telah berisi sampel hemolimf
ditempatkan dalam termos yang berisi pecahan-pecahan es selama pengambilan sampel
12

hingga pelaksanaan pengamatan dan khusus sampel hemolimf untuk pengukuran SOD
disimpan di dalam deep freezer -80 ⁰C hingga pelaksanaan analisis dilaksanakan.
1. Total Hemosit
Satu tetes larutan hemolimf dari tube diteteskan ke haemositometer (Improved
Neubauer type, Merck, Lutterworth) untuk menghitung jumlah hemosit di bawah mikroskop.
Jumlah sel hemosit dihitung per ml di bawah mikroskop cahaya binokuler dengan
pembesaran 400 kali.
2. Diferensial Hemosit
Hemolimf diteteskan pada gelas obyek dan dibuat ulasan, kemudian dikeringkan
di udara dan difiksasi dengan methanol selama 5 menit dan diwarna dengan larutan Giemza
(10%) selama 10 menit. Ulasan hemolimf kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan
pembesaran 100 kali dan diidentifikasi jenis selnya. Hemosit yang dianalisa digolongkan
menurut (van de Braak, 2002). Jumlah hemosit dihitung hingga 100 sel (Martin and Graves,
1985) dan ditentukan persentase tiap jenisnya.

Jumlah tiap jenis sel hemosit


Persentase Jenis Sel hemosit (%) = x 100%
Total hemosit
3. Aktifitas Fagositik
Hemolimf udang dimasukkan sebanyak 0.1 ml ke dalam mikroplate dan dicampur
secara merata dengan 25 μl bakteri Staphylococcus sp. dan diinkubasi selama 20 menit.
Kemudian sebanyak 5 µl diteteskan pada objek glass dan dibuat preparat ulas . Selanjutnya
difiksasi dengan Metanol 100 % selama 5 menit dan diwarnai dengan Giemsa (10%) selama
15 menit. Aktivitas fagositosis diukur berdasarkan persentase sel-sel fagosit yang
menunjukan proses fagositosis (Anderson dan Siwicki, 1993). Indeks fagositik dihitung
dengan rumus:

Jumlah sel fagosit yang melakukan fagositosis


Aktifitas Fagositik (%) = x 100%
Jumlah sel fagosit

4. Superoxida Dismutase (SOD)


Konsentrasi SOD hemolimf diukur berdasarkan kemampuan kompetitif
penghambatan enzim dengan metode Elisa menggunakan kit Fish Superoxide Dismutase
(SOD) dari Cusabio (Nomor katalog: CSB-E15929Fh). Prosedur pengukuran konsentrasi
SOD tersebut mengikuti manual dari Cusabio. Konsentarsi SOD (ng/ml) dihitung
menggunakan kurva standar dengan memplot rata-rata absorbansi setiap standar pada axis
X dan konsentrasi pada axis Y. .Plot dan perhitungan konsentrasi SOD menggunakan
fungsi Trend pada Software Microsoft® Excel® 2016.
5. Pemeriksaan Histologis
Organ hepatopankreas sampel udang uji dipisahkan dan difiksasi dengan
larutan fiksatif Davidson. Setelah 24 jam, sampel tersebut dipindahkan ke dalam larutan
fiksatif alkohol 70%. Selanjutnya dilakukan dehidrasi, clearing infiltrasi, dan blocking
terhadap jaringan sampel yang telah matang dalam larutan fikasatif alkohol 70%. Blok
jaringan selanjutnya diiris dengan ketebalan 5 μm menggunakan mikrotom dan diwarnai
dengan hematoxilin dan eosin (H & E). Pengamatan jaringan histologi menggunakan
mikroskop binokuler merk Nikon SMZ 1270 dengan pembesaran 80x dan dokumentasi
gambar menggunakan kamera Nikon DS Ri2 NIS yang dihubungkan dengan komputer
menggunakan software Elements D 4.40. Perubahan jaringan histologis yang diamati
13

meliputi infiltrasi sel hemosit, pelepasan sel epitel (deskuamasi), nekrosis sel, pelepasan
tubul dari lamina basal, hipertropi sel, erosi microvilli, dan keteraturan bentuk lumen.
Perubahan yang ditemukan diklasifikasi berdasarkan persentase perubahan dari luas
lapang pandang yang diamati sesuai skala yang disarankan Zodrow, Stegeman and
Tanguay (2004), Skor didasarkan pada jumlah luas pandang yang mengalami perubahan
yang diadopsi dari (Boudet et al., 2015) yaitu: (--) = tidak ada histopatologi, (+) =
histopatologi ringan yang menunjukkan < 25% dari luas pandang, (++) = histopatologi
sedang yang menunjukkan 25-75% dari luas pandang, (+++) = histopatologi berat yang
menunjukkan > 75% dari luas pandang.

G. Analisa Data
Untuk mengetahui pengaruh salinitas dan/atau kepadatan udang putih terhadap
dinamika parameter imun, maka data total hemosit, diferensiasi sel hemosit, dan indeks
fagositosis dianalisis dengan analisis variansi pengukuran berulang (repeated measures
analysis of variance) (Petrie and Watson, 2002). Perbedaan antar perlakuan yang
ditemukan dianalisis dengan uji jarak berganda Duncan. Untuk melihat kecenderungan
pengaruh salinitas dan atau kepadatan tinggi terhadap parameter imun udang uji, maka
dilakukan uji kontras polinomial (Petrie and Watson, 2002). Data SOD dan histologi
dianalisis secara deskriptif. Analisis data dilakukan dengan bantuan software Statistica
release 5 (Statsoft, Inc.) dan GraphPad Prism 6.07 (GraphPad Software Inc.). Perbedaan
secara statistik setiap perbandingan dilakukan pada taraf nyata 95 % (P < 0,05).

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Dinamika Parameter Imun Pada Salinitas Iso-osmotik
1. Total Hemosit
Rata-rata total hemosit udang uji sebelum dipelihara pada salinitas 25 ‰ yang
konstan dan tingkat kepadatan berbeda adalah 9,87 x 106 ± 3,90 x 106 sel/ml (4,87 x 106 –
1,67 x 107 sel/ml). Tingkat kepadatan udang yang berbeda memperlihatkan pola reaksi
penurunan total hemosit setelah 24 jam perlakuan (Gambar 3) yang berlanjut hingga jam
ke-48 untuk perlakuan tingkat kepadatan 167, dan 267, 367 ekor/m3. Total hemosit pada
perlakuan kepadatan yang lebih rendah cenderung lebih tinggi dibanding total hemosit
perlakuan kepadatan yang lebih tinggi (total hemosit kepadatan 167 > 267 > 367 > 467>
567 ekor/m3).
Perlakuan kepadatan 167 ekor/m3 yang memberi pengaruh total hemosit tertinggi
tidak berbeda dengan perlakuan 267 ekor/m3. Kedua perlakuan tersebut tidak
menunjukkan perbedaan dengan perlakuan 367 ekor/m3 (P > 0,05) tetapi keduanya
berbeda nyata dengan perlakuan 467 dan 567 ekor/m3 (P<0,05) yang tidak menunjukkan
perbedaan juga dengan perlakuan 367 ekor/m3 (P > 0,05). Penurunan total hemosit udang
yang progresif seiring dengan peningkatan kepadatan mengindikasikan bahwa peningkatan
kepadatan pemeliharaan berpengaruh negatif terhadap total hemosit udang. Lin et al.
(2015) menemukan bahwa udang putih yang ditebar dengan kepadatan tinggi (> 20 ekor/L)
menunjukkan jumlah hialin, jumlah granulosit, jumlah total hemosit, aktifitas phenol oxidase
(PO), respiratory burst (RB), aktifitas superoxide dismutase (SOD), dan aktifitas lizosim
yang lebih rendah menunjang penurunan kemampuan pertahanan udang. Dengan
demikian tingkat kepadatan > 367 ekor/m3 dapat menyebabkan penurunan kapasitas imun
udang putih sehingga meningkatkan kerentanan terhadap serangan patogen.
Total hemosit cenderung menurun pada jam ke-24 dan meningkat kembali mendekati
posisi original pada jam jam ke-96. Penurunan total hemosit pada waktu 24 hingga 48 jam
14

yang signifikan tersebut dapat menyebabkan penurunan kemampuan imun udang sehingga
lebih rentan terhadap serangan patogen. Penurunan jumlah total hemosit disebabkan oleh
kurangnya jumlah sel-sel hemosit yang beredar dalam sirkulasi sehingga jumlah sel
potensial yang berperan mengatasi masuknya patogen atau bahan asing dalam tubuh relatif
rendah. Parameter hematologis seperti jumlah hemosit total dan aktifitas phenoloksidase
(PO) merupakan indikator imunosupresi sensitif yang diakibatkan oleh perubahan
lingkungan (Jussila et al., 1997, Smith and Johnston, 1992, Hauton and Williams, 1995).
Penurunan jumlah hemosit pada krustasea dapat menyebabkan gangguan terhadap
kemampuan imun, menurunkan resistensi terhadap bakteri, dan akhirnya menyebabkan
kematian (Cheng, Wang and Chen, 2005; Xian et al., 2010). Kesuksesan respon
pertahanan bergantung pada kuantitas hemosit dan jenis seluler yang terlibat dalam proses
tersebut (Russo, Brehe and Carton, 2001).

2. Diferensial Hemosit
Sebelum perlakuan pemeliharaan udang dengan kepadatan yang berbeda,
persentase jenis sel granulositnya relatif lebih tinggi (38,25 ± 0,45%) dibandingkan jenis sel
hialin (30,55 ± 2,08%) dan semigranulosit (31,19 ± 2,53%). Nilai persentase jenis sel
bergranula setelah 24 jam hingga 144 jam perlakuan kepadatan tetap menunjukkan nilai
yang lebih tinggi dibanding sel hialin pada semua perlakuan tingkat kepadatan (Gambar 3).
Persentase sel hialin hemosit pada perlakuan kepadatan 167 ekor/m3 yang memiliki
persentase sel hialin tertinggi dan 567 yang memberi nilai terendah menunjukkan
perbedaan dengan semua tingkat kepadatan lainnya (P < 0,05), sedang antar perlakuan
267, 367 dan 467 ekor/m3 tidak menunjukkan perbedaan (P > 0,05). Persentase sel hialin
yang ditemukan lebih rendah pada tingkat kepadatan yang lebih tinggi tersebut
menunjukkan bahwa kepadatan pemeliharaan yang tinggi akan menghambat produksi
hialin.
Persentase sel hialin cenderung menurun pada jam ke 24 dan berbeda dengan yang
cenderung kembali mendekati posis normal pada jam ke-96. Kondisi tersebut dapat
menyebabkan penurunan kapasitas imun udang karena sel hialin merupakan salah satu sel
yang berperan untuk melakukan aktifitas fagositosis dan koagulasi bahan asing. Sel
tersebut merupakan pertahanan seluler pertama yang melakukan perlawanan terhadap
bahan asing yang masuk ke dalam tubuh. Dengan demikian penurunan jumlah sel hialin
yang beredar akan menyebabkan jumlah sel yang akan melakukan aktifitas fagositosis juga
menurun. Rendahnya aktifitas fagositosis mengindikasikan status kesehatan udang juga
rendah sehingga tingkat kerentanannya terhadap infeksi patogen meningkat. Sel hialin
merupakan hemosit muda dan tidak matang (immature) dari sel bergranula besar dan kecil
yang diproduksi pada jaringan hematopoietik (HPT, hematopoietic tissue), dan dapat
dilepaskan ke dalam hemolimf P. monodon ((Van de Braak et al., 2002).
Persentase jenis sel semigranulosit udang uji pada semua perlakuan kepadatan
cenderung tidak mengalami perubahan (Gambar 3) dan tidak ditemukan pengaruh nyata
perlakuan kepadatan, waktu, dan interaksi kepadatan dengan waktu terhadappersentase
jenis sel tersebut (P > 0,05). Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa intervensi
kepadatan terhadap sel semigranulosit pada salinitas iso-osmotik relatif kecil. Perubahan
jenis sel ini yang relatif kecil dan tidak signifikan tersebut menyebabkan determinasi
perubahan akibat gangguan kepadatan sulit dilakukan. Dengan demikian jenis sel ini tidak
dapat dijadikan indikasi perubahan kemampuan imun udang akibat kepadatan karena sulit
dideteksi waktu perubahan persentasenya yang signifikan
15

P e rs e n ta s e je n is s e l h e m o s it (% )
s e l/m l)
P e rs e n ta s e je n is s e l h e m o s it (% )
12 100 100

A k tifita s F a g o s it o s is ( % )
s e l/m l)

12 100 90 90
10
90 80 80
10
6

80 70 70
T o t a l h e m o s it ( x 1 0

8
6
T o ta l h e m o s it ( x 1 0

70 60 60
8
60 6 50 50
6 50 40 40
40 4
30 30
4
30 20
20
2
20
2 10 10
10
0 0 0
0 0
0 4 8 2 6 0 4
0 4 8 2 6 0 4 2 4 7 9 2 4
2 4 7 9 2 4 1 1
1 1
W a k tu (J a m )
W a k tu (J a m )
(A) (B)
P e rs e n ta s e je n is s e l h e m o s it (% )

P e rs e n ta s e je n is s e l h e m o s it (% )
s e l/m l)

s e l/m l)

14 100 100 14 100 100


A k tifita s F a g o s it o s is ( % )

A k t i f i t a s F a g o s it o s i s ( % )
90 90 90 90
12 12
80 80 80 80
6

10 10
T o ta l h e m o s it ( x 1 0

70 70
T o ta l h e m o s it ( x 1 0

70 70
60 60 60 60
8 8
50 50 50 50
6 40 6
40 40 40

4 30 30 4 30 30
20 20 20 20
2 2
10 10 10 10
0 0 0 0 0 0
0 4 8 2 6 0 4
0

4
24

48

72

96
0

2 4 7 9 2 4
12

14

1 1
P e r s e n ta s e je n is s e l h ia lin ( % )

W a k tu (J a m1)5 W a k tu (J a m ) 1 0 0 100
s e l/m l)

A k tifita s F a g o s ito s is (% )

(C) (D)
P e rs e n ta s e je n is s e l h e m o s it (% )

80 80
s e l/m l)

14 100
6
T o ta l h e m o s it ( x 1 0

10 90
12 60 60
80
6

10
T o ta l h e m o s it ( x 1 0

70
60 40 40
8
5 50
6
40
20 20
4 30
20
2 0
0 10 0
0 0 2
4
4
8
7
2
9
6 2
00
4
4
0 4 8 2 6 0 41 1
2 4 7 9 2 4
1 1
W
W aakk
tutu
(J a(J
ma) m)

H ia lin (E) T o ta l H e m o s it
S e m ig r a n u lo s it A k tifita s F a g o s ito s is
G r a n u lo s it

Gambar 3. . Total hemosit, persentetase jenis sel dan aktifitas fagositosis hemosit udang
putih P. vannamei yang dipelihara pada salititas 25‰ yang konstan dan
tingkat kepadatan 167 ekor/m3 (A), 267 ekor/m3 (B), 367 ekor/m3 (C), 467
ekor/m3 (D), dan 567 ekor/m3 (E).
.
16

Persentase sel granulosit setelah 24 jam terpapar kepadatan 167, 267, dan 367
ekor/m3 meningkat dan berlanjut hingga jam ke-48 dan menurun kembali pada jam ke-96
(Gambar 3). Kecenderungan yang sama ditunjukkan pada perlakuan kepadatan 467 dan
567 ekor/m3 memperlihatkan peningkatan persentase sel pada jam ke-24 tetapi menurun
pada jam ke-48 sebelum meningkat kembali pada jam ke-96. Udang uji dengan kepadatan
467 ekor/m3 ditemukan memiliki persentase jenis sel granulosit tertinggi dan tidak berbeda
dengan perlakuan kepadatan 367 dan 567 ekor/m3 (P > 0,05) tetapi ketiganya berbeda
dengan perlakuan kepadatan 167 dan 267 ekor/m3 (P < 0,05). Perubahan jenis sel
granulosit yang cenderung meningkat dengan meningkatnya kepadatan tersebut dan
terbentuknya dua kelompok rata-rata yang berbeda (167 dan 267 ekor/m3 vs. 367,467, dan
567 ekor/m3) mengindikasikan adanya intervensi kepadatan yang mempengaruhi
pembentukan jenis sel granulosit. Persentase sel granulosit tertinggi ditemukan pada 24
jam setelah perlakuan kepadatan tidak menunjukkan perbedaan dengan waktu 48 dan 144
jam (P > 0,05). Dua waktu yang disebutkan pertama menunjukkan perbedaan (P < 0,05)
dengan 96 jam dan baseline. Kedua perlakuan yang disebut terakhir tidak ditemukan
perbedaan (P > 0,05). Peningkatan jenis sel granulosit pada waktu 24 jam yang berbeda Commented [S1]: Persentase jenis sel granulosit cenderung
meningkat dengan meningkatnya kepadatan  kepadatan 167 dan
dengan persentase pada 0 dan 96 jam mengindikasikan bahwa intervensi pengaruh waktu 267 vs 367, 467 dan 567
pemeliharaan pada perubahan jenis sel ini terjadi sejak 24 jam dan kembali mendekati nilai
normalnyal pada jam ke-96. Persentase sel granulosit pada tingkat kepadatan ≤ 267
ekor/m3 relatif lebih rendah dan cenderung kembali ke nilai originalnya. Interaksi kepadatan
dengan waktu yang tidak berbeda dengan baseline setelah terjadi perubahan yang
signifikan merupakan interaksi dimana persentase jenis sel granulosit kembali ke posisi
originalnya atau mampu melalukan recovery. Interaksi yang menunjukkan perbedaan
dengan baseline mengindikasikan perubahan yang menyimpang dari kondisi normal.
Dengan demikian, perlakuan kepadatan 167 ekor/m3 pada waktu 48 jam, yang memberi
pengaruh persentase sel granulosit yang tinggi dan berbeda dengan baseline, dapat
dianggap berada pada kondisi yang kurang menguntungkan, dan sebaliknya pada jam ke-
96 telah terjadi pemulihan kondisi dan dapat dianggap kondisinya lebih baik dan
menguntungkan. Peningkatan jumlah sel granulosit dalam sistem sirkulasi yang lebih tinggi
dari kondisi normalnya dapat menjadi indikasi terjadinya stres yang diakibatkan oleh
gangguan tingkat kepadatan. Dalam kondisi stres, sel-sel granulosit yang berada di dalam
jaringan penghubung akan bermigrasi ke dalam hemolimf menuju tempat yang mengalami
gangguan. Menurut Van de Braak et al.(2002), jaringan penghubung merupakan reservoir
sel granulosit yang dapat dimobilisasi dengan mudah pada saat stres.

3. Aktifitas Fagositosis
Aktifitas fagositik udang uji sebelum perlakuan kepadatan sebesar 83,59 ± 1,19%
(78,10 – 88,00%), mengalami penurunan setelah 24 jam perlakuan kepadatan (Gambar 3).
Penurunan aktifitas fagositosis perlakuan kepadatan 167, 267 dan 367 ekor/m3 tidak
berlanjut hingga jam ke-48 dan cenderung meningkat hingga jam ke-144, kecuali perlakuan
367 ekor/m3 mengalami penurunan hingga jam ke-96 dan kembali meningkat hingga jam
ke-144. Perlakuan kepadatan 467 dan 567 ekor/m3 terus mengalami penurunan aktifitas
fagositosis hingga jam ke-96 dan selanjutnya meningkat hingga jam ke-144.
Perlakuan kepadatan 167, 267, 367 ekor/m3 memberi pengaruh nilai aktifitas
fagositik yang lebih tinggi dan antara ketiganya menunjukkan perbedaan (P < 0,05). Ketiga
tingkat kepadatan tersebut menunjukkan perbedaan juga dengan perlakuan kepadatan 467
dan 567 ekor/m3 yang antara keduanya tidak menunjukkan perbedaan nyata (P > 0,05).
Aktifitas fagositosis terendah pada jam ke-48 tidak menunjukkan perbedaan dengan waktu
24 dan 96 jam (P > 0.05), tetapi berbeda dengan baseline dan waktu 144 jam (P < 0,05).
17

Antara kedua waktu yang disebut terakhir menunjukkan perbedaan (P < 0,05). Aktifitas
fagositosis tertinggi perlakuan kepadatan 167 ekor/m3 yang menunjukkan perbedaan
dengan kepadatan lainnya yang menurun secara progresif sesuai peningkatan kepadatan
mengindikasikan bahwa kemampuan fagositosis sel hemosit pada tingkat kepadatan rendah
lebih baik dibanding tingkat kepadatan tinggi. Penurunan kemampuan fagositosis sel
hemosit dengan meningkatnya kepadatan pemeliharaan tersebut berimplikasi terhadap
penurunan kemampuan imun udang. Aktifitas fagositosis udang uji yang menurun pada
jam ke 24 hingga 96 yang berbeda dengan baseline mengindikasikan bahwa perlakuan
kepadatan memberi pengaruh negatif terhadap aktifitas fagositosis sejak jam ke 24.
Aktifitas fagositosis udang uji pada jam ke-144 dengan nilai yang lebih tinggi dan mendekati
nilai original (nilai aktifitas fagositosis pada jam ke-0) dapat dianggap sebagai waktu dimana
kondisi udang uji kembali ke posisi normal atau pulih. Fakta tersebut menunjukkan bahwa
kemampuan fagositosis udang putih yang terpapar kepadatan tinggi akan mengalami
penurunan dan dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk pulih kembali.
Aktifitas fagositosis udang uji pada baseline dengan nilai aktifitas fagositik tertinggi
menunjukkan perbedaan dengan interaksi kepadatan dengan waktu lainnya (P<0,05),
kecuali dengan interaksi 167_24, 167_96 dan 167_144 tidak menunjukkan perbedaan nyata
(P > 0,05). Tiga interaksi terakhir tersebut tidak menunjukkan perbedaan dengan interaksi
167_48 dan 267_144. Interaksi 567_24 yang menunjukkan aktifitas fagositosis terendah
tidak berbeda dengan interaksi 367_96, 467_24-96 dan 567_48-96 tetapi berbeda nyata
dengan semua interaksi lainnya (P < 0,05). Interaksi 167_24, 96, dan 144 yang tidak
menunjukkan perbedaan dengan baseline mengindikasikan bahwa aktifitas fagositosis
perlakuan kepadatan 167 ekor/m3 pada waktu tersebut tidak mengalami perubahan dari
nilai originalnya. Interaksi perlakuan kepadatan 167_48 walaupun berbeda dengan
baseline tetapi tidak berbeda dengan ketiga interaksi perlakuan kepadatan 167 ekor/m3
dengan waktu yang disebut sebelumnya mengindikasikan bahwa aktifitas fagositosis
perlakuan kepadatan 167 ekor/m3 relatif stabil dengan berjalannya waktu. Aktifitas
fagositosis udang uji pada interaksi kepadatan 267_ 24, 48, 96, dan 144 yang tidak berbeda
dengan interaksi kepadatan 167 ekor/m3 dengan waktu mengindikasikan bahwa aktifitas
fagositosis pada tingkat kepadatan 267 ekor/m3 tidak mengalami perubahan signifikan
dengan berjalannya waktu. Interaksi 567_24 yang memberi pengaruh aktifitas terendah
dan berbeda dengan interaksi perlakuan yang memberi perlakuan aktifitas tertinggi dan
baseline mengindikasikan bahwa perlakuan kepadatan 567 ekor/m3 pada waktu 24 jam
mengalami penurunan aktifitas fagositosis yang signifikan. Indikasi yang sama ditunjukkan
pada interaksi 367_ 96, 467_ 24 dan 48, dan 567 _48 dan 96 yang tidak menunjukkan
perbedaan dengan interaksi 567_24. Perlakuan kepadatan 367 ekor/m3 mengalami
penurunan aktifitas yang signifikan pada jam ke-96 dan recovery pada jam ke 144,
perlakuan kepadatan 467 ekor/m3 mengalami penurunan aktifitas pada jam ke-24 dan
recovery pada jam ke-96, dan perlakuan kepadatan 567 ekor/m3 mengalami recovery pada
jam ke-144 yang sebelumnya menurun signifikan pada jam ke-24. Kondisi tersebut
mengindikasikan juga bahwa waktu yang dibutuhkan udang uji untuk melakukan recovery
aktifitas fagositosis semakin meningkat dengan meningkatnya kepadatan pemeliharaan.
Perubahan total hemosit dan aktifitas fagositosis udang putih yang dipelihara
pada salinitas 25‰ yang konstan dan kepadatan berbeda cenderung memperlihatkan pola
yang sama dengan perubahan jenis sel hialin hingga jam ke-96, kecuali pada perlakuan
kepadatan 567 ekor/m3 (Gambar 3). Pola yang berbeda cenderung ditunjukkan oleh
perubahan jenis sel granulosit, khususnya pada 24 hingga 96 jam. Setelah jam ke-96, pola
perubahan persentase granulosit cenderung sama dengan perubahan total hemosit yang
relatif konstan, kecuali pada perlakuan kepadatan 567 ekor/m3. Aktifitas fagositosis setelah
18

96 jam cenderung meningkat walaupun total hemosit dan persentase jenis sel hialin
cenderung menurun, khususnya pada perlakuan kepadatan 467 dan 567 ekor/m3.
Perubahan aktifitas fagositosis yang cenderung memiliki pola yang sama dengan total
hemosit dan persentase sel hialin mengindikasikan bahwa aktifitas fagositosis bergantung
pada jumlah sel hemosit dan sel hialin. Pola perubahan sel hialin yang cenderung sama
dengan pola perubahan total hemosit mengindikasikan bahwa jumlah sel hemosit
bergantung pada sel hialin yang beredar dalam hemolimf. Persentase jenis granulosit yang
cenderung berbeda dengan aktifitas fagositosis mengindikasikan bahwa aktifitas fagositosis
tidak bergantung pada jumlah sel granulosit yang beredar dalam hemolimf dan sel
granulosit berperan pada mekanisme imun yang lain. Fagositosis merupakan mekanisme
pertahanan selular yang paling umum (Rodrıguez, Rodríguez and Le Moullac, 2000) yang
dapat menghilangkan partikel asing dalam hemocoel pada organisme krustasea (Soderhall
and Cerenius, 1992). Aktifitas fagositosis dapat berubah akibat adanya rangsangan atau
gangguan yang memicu sel-sel fagosit untuk melakukan aktifitas. Perubahan lingkungan
dapat memberi tekanan terhadap respon imun krustasea yang dapat mengganggu aktifitas
fagositosis. Kepadatan yang tinggi menyebabkan peningkatan kortisol plasma (Barton,
Schreck and Barton, 1987) dan atau hormon hiperglikemia (CHH, crustacean hyperglicemic
hormon) ,yang merupakan salah satu indikator stres. Peningkatan kortisol plasma
menginduksi berbagai respon fisiologis (Barton and Iwama, 1991), termasuk penurunan
respon imun (Pickering and Pottinger, 1989). Ketika terjadi stres, beban allostatic secara
signifikan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan energetic-metabolic machinery.
Dalam hal ini, selama terjadi stres maka energi yang dibutuhkan semakin meningkat karena
sejumlah energi yang signifikan terus menerus digunakan untuk mengatasi gangguan stres
tersebut sehingga menyebabkan pertumbuhan dan aktivitas yang rendah. Selain itu,
beberapa respon dari kekebalan sementara tidak aktif, terutama sintesis immunocytes, oleh
karena itu meningkatkan kerentanan organisme terhadap patogen.
Sesaaat sebelum perlakuan kepadatan, respon imun udang putih pada salinitas
iso-osmotik dicirikan oleh THC, persentase sel hialin, dan aktifitas fagositik yang tinggi
(Gambar 4). Setelah 24 jam perlakuan kepadatan dicirikan oleh persentase sel
semigranulosit dan granulosit yang tinggi, kecuali jam ke-96 pada tingkat kepadfatan 267
ekor/m3 hanya dicirikan oleh persentase sel semigranulosit yang tinggi. Distribusi
parameter imun tersebut menunjukkan bahwa setelah intervensi pengaruh kepadatan maka
sel bergranula akan meningkat. Peningkatan yang terjadi dapat disebabkan oleh stres
akibat tekanan kepadatan yang menginduksi pelepasan sel granulosit dari jaringa
penghubung yang merupakan reservoir sel-sel bergranula.

B. Dinamika Parameter Imun Udang Putih Pada Salinitas Berbeda

1. Total Hemosit
Total hemosit udang uji dengan kepadatan 167 ekor/m3 cenderung lebih tinggi dan
meningkat dibanding pada perlakuan kepadatan 567 ekor/m3 yang cenderung menurun
walaupun salinitas sudah konstan, baik pada percobaan penurunan salinitas (salinitas
rendah) maupun pada peningkatan salinitas (salinitas tinggi) (Gambar 5). Perlakuan
kepadatan 167 ekor/m3 pada seri percobaan penurunan salinitas menunjukkan nilai lebih
tinggi dan berbeda nyata (P<0,05) dengan kepadatan 567 ekor/m3 pada seri percobaan
penurunan salinitas dan kepadatan 167 dan 567 ekor/m3 pada seri percobaan peningkatan
salinitas. Ketiga perlakuan yang disebutkan terakhir tidak ditemukan perbedaan diantaranya
Commented [S2]: Kepadatan 167 pada seri percobaan
(P > 0,05). Fakta tersebut menunjukkan bahwa produksi hemosit pada tingkat kepadatan menurun merupakan perlakuan terbaik
19

rendah dan salinitas rendah lebih baik dibanding pada tingkat kepadatan tinggi, dan
tingkat kepadatan rendah pada salinitas tinggi. Pengaruh

Gambar 4. Parameter penciri respon imun udang putih P. vannamei yang dipelihara pada
salinitas pada salititas 25‰ yang konstan dan tingkat kepadatan berbeda. Huruf
pertama melambangkan parameter imun dan angka yang mengikutinya melambangkan tingkat
kepadatan, angka yang dicetak tebal menunjukkan waktu setelah perl;akuan kepadatan (THC
= total hemosit, H = hialin, SG = semigranulosit, G = granulosit, AP = Aktifitas fagostik

interaksi perlakuan kepadatan dengan salinitas menunjukkan bahwa total hemosit interaksi
167_5‰ (216 ) pada seri percobaan penurunan salinitas yang memberi pengaruh nilai
tertinggi berbeda dengan semua interaksi pada waktu yang sama. Hal yang sama
ditunjukkan pada interaksi 167_5‰(144,168, 192, dan 240) berbeda dengan interaksi
lainnya pada waktu yang sama. Pengaruh interaksi antar seri perubahan salinitas pada
waktu yang sama tidak menunjukkan perbedaan dari waktu 24 jam hingga 120 jam (
salinitas 25‰ hingga 5‰ vs 25‰ hingga 45‰), termasuk interaksi pada waktu 24 jam
yangtidak berbeda pengaruhnya terhadap total hemosit sesaat sebelum perlakuan
kepadatan. Interaksi 167_5‰ (168-240) menunjukkan perbedaan dengan semua interaksi
167_45‰ (P< 0,05), kecuali interaksi 167_5‰(192) yang tidak berbeda dengan
167_25‰(24). Kondisi yang berbeda ditunjukkan pada interaksi kepadatan 567 dengan
kedua seri perubahan salinitas yang memberi pengaruh yang sama (P > 0,05), kecuali
interaksi 567_25%(24) dengan 567_40‰(96) dan 567_45‰(240) yang menunjukkan
perbedaan (P < 0,05). Interaksi kepadatan 167 ekor/m3 dengan berbagai tingkatan salinitas
dan waktu pemaparan yang diujikan pada seri percobaan penurunan salinitas yang
cenderung tidak menunjukkan perbedaan mengindikasikan bahwa produksi hemosit udang
putih pada kepadatan pemeliharaan yang rendah pada salinitas pemeliharaan yang
semakin menurun relatif lebih stabil dibanding tingkat kepadatan yang lebih tinggi dan
salinitas yang meningkat. Hal yang berbeda ditunjukkan pada interaksi tingkatan kepadatan
yang tinggi dengan berbagai tingkatan salinitas yang cenderung memperlihatkan total
20

hemosit lebih rendah mengindikasikan bahwa pada tingkatan kepadatan tersebut, baik pada
media yang salinitasnya menurun maupun pada media yang salinitasnya meningkat, terjadi
penghambatan produksi hemosit. Temuan ini menunjukkan bahwa efek kombinasi

S a lin ita s (‰ ) S a lin ita s (‰ )


P e rs e n ta s e je n is s e l h e m o s it (% )

P e rs e n ta s e je n is s e l h e m o s it (% )
25 25 20 15 10 5 5 5 5 5 5 25 25 20 15 10 5 5 5 5 5 5
s e l/m l)

14 100
s e l/m l)

14 100 12 12 100 100

A k tifita s F a g o s it o s is ( % )
K o n s e n tr a s i S O D ( n g /m l)

A k tifita s F a g o s it o s is ( % )

K o n s e n tr a s i S O D ( n g /m l)

90 90 90 90
12 12
80 80 80 80
10 10
6

10
T o ta l h e m o s it ( x 1 0

10 70 70 70
T o ta l h e m o s it ( x 1 0

70
60 60 60 60
8 8 8 8
50 50 50 50
6 6 40
40 40 40
6 6
4 30 30 30 30
4
20 20 20 20
2 2 4 4
10 10 10 10
2 2
0 0 0 0 0 0 0 0
0 4 8 2 6 0 4 8 2 6 0 0 4 8 2 6 0 4 8 2 6 0
2 4 7 9 2 4 6 9 1 4 2 4 7 9 2 4 6 9 1 4
1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 2 2
W a k tu (J a m ) W ak tu (Ja m )

(A) (B)
P e r s e n t a s e s e l je n is h e m o s it ( % )

S a lin1ita
5 s (‰ ) S a lin ita s (‰ )
s e l/m l)

100
P e rs e n ta s e je n is s e l h e m o s it (% )

P e rs e n ta s e s e l je n is h e m o s it (% )

25 25 30 35 40 45 45 45 45 45 45 25 25 30 35 40 45 45 45 45 45 45
s e l/m l)

s e l/m l)

14 14 100 100 14 14 100 100


K o n s e n t r a s i S O D ( n g /m l)

K o n s e n t r a s i S O D ( n g /m l)
A k t i f i t a s F a g o s it o s i s ( % )

A k t i f i t a s F a g o s it o s i s ( % )

90 90 80 90 90
12 12 12 12
6

80 80 80 80
T o t a l h e m o s it ( x 1 0

10
6

10 10 10 10 70 70
T o ta l h e m o s it ( x 1 0

70 70
T o t a l h e m o s it ( x 1 0

60
60 60 60 60
8 8 8 8
50 50 50 50
6 6 6 6 40 40
40 40 40
5 30 30
4 4 30 30 4 4
20 20 20 20
2 2 20
2 2 10 10
10 10
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0
0

0
24

48

72

96
0

0 4 8 2 6 0 4 8 2 6 0
12

14

16

19

21

24

2 4 7 9 2 4 6 9 1 4
1 1 1 1 2 2
0

0
4

6
0

W a k tu (J a m )
2

4
2

W a k tu (J a m )
1

W a k tu (J a m )
(C) (D)
H ia lin T o ta l H e m o s it
S e m ig ra n u lo s it A k tifita s F a g o s ito s is
G ra n u lo s it SOD

Gambar 5. Total hemosit, persentase jenis sel dan aktifitas fagositosis hemosit udang putih
P. vannamei yang dipelihara pada salinitas yang menurun dari 25‰ ke 5‰ atau
meningkat dari 25% ke 45‰ dan tingkat kepadatan berbeda. A dan B, kepadatan
167 dan 567 ekor/m3 pada seri penurunan salinitas, C dan D, kepadatan 167 dan 567 ekor/m3
pada seri peningkatan salinitas.

kepadatan tinggi dengan perubahan salinitas sangat besar terhadap jumlah hemosit yang
beredar dalam hemolimf. Penurunan total hemosit pada kondisi tersebut dapat menurunkan
kemampuan imun dan menyebabkan penurunan status kesehatan udang. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa penurunan total hemosit akan mereduksi tingkat level imun
organisme perairan. Total hemosit memegang peranan penting dalam pengaturan fungsi
fisiologis yang meliputi koagulasi hemolimf, fagositosis, enkapsulasi dan pengurungan
21

organisme penyerang (Gopalakrishnan et al., 2011). Total hemosit akan merefleksikan


status kesehatan inang (Gopalakrishnan et al., 2011). Perbedaan jumlah hemosit dapat
disebabkan oleh aktifitas pertahanan yang berbeda meliputi migrasi hemosit ke daerah
injeksi dan lisis hemosit (Omori, Martin and Hose, 1989). Kehilangan hemosit tersebut dari
hemolimf mungkin merupakan akibat dari degranulasi, lisis, dan pembentukan gumpalan
atau nodul (Smith and Söderhäll, 1983). Penurunan jumlah hemosit dapat merupakan
konsekuensi lisis, diapedesis, rekruitmen yang berkurang atau perpindahan sel dari sirkulasi
ke jaringan (Pipe and Coles, 1995). Penurunan jumlah hemosit yang beredar dapat
merupakan konsekuensi dari imobilisasi hemosit pada insang yang mendapat gangguan
tekanan salinitas, sebagaimana ditemukan oleh Victor, Narayanan and JonesNelson (1990)
pada udang yang terpapar merkuri. Peningkatan salinitas tidak hanya menyebabkan
penyebaran hemosit lebih lambat (suatu indikasi waktu respon hemosit), tetapi juga
mereduksi tingkat daya penggerak hemosit terhadap antigen (Fisher and Newell, 1986).
Dengan demikian, gangguan salinitas dapat mempengaruhi pergerakan hemosit serta
pengikatan partikel asing. Pergerakan hemosit merupakan aspek penting dalam imunitas
invertebrata, seperti diperlukan untuk endositosis, penyembuhan luka, peradangan, dan
enkapsulasi (Fisher and Tarnplin, 1988). Pan, Hu and Zheng (2011) menjelaskan bahwa
penurunan jumlah hemosit dapat disebabkan oleh kematian sel dan degranulasi sel. Total
hemosit yang kembali ke nilai normal (tidak berbeda dengan total hemosit sebelum
perlakuan kepadatan) disebabkan oleh produksi hemosit baru dari hematopoietik atau
induksi proliferasi hemosit yang masih beredar dalam hemolimf (Sequeira, Tavares and
Arala-Chaves, 1996).
2. Diferensial Hemosit

Persentase jenis sel granulosit udang uji setelah dipelihara 24 jam pada kepadatan
567 ekor/m3 mengalami peningkatan yang cenderung lebih tinggi dibanding kepadatan 167
ekor/m3 (Gambar 5). Perlakuan kepadatan 167 ekor/m3 pada seri percobaan penurunan
salinitas menunjukkan nilai persentase sel hialin tertinggi dan tidak berbeda (P > 0,05)
dengan kepadatan 167 dan 567 ekor/m3 pada seri percobaan peningkatan salinitas, tetapi
ketiganya berbeda (P < 0,05) dengan kepadatan 567 ekor/m3 pada seri percobaan
penurunan salinitas. Data tersebut mengindikasikan bahwa produksi hialin relatif lebih
tinggi pada tingkat kepadatan rendah pada dua kondisi yang berbeda dan tingkat kepadatan
tinggi pada salinitas yang meningkat. Tidak ada perbedaan (P > 0,05) pengaruh interaksi
antar kepadatan pada dua seri perubahan salinitas ditemukan pada jam ke-24, 96, 144,
168, dan 216. Pada jam ke-72, persentase sel hialin pada tingkat kepadatan yang sama
dan salinitas yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan tetapi persentase sel hialin
tertinggi pada interaksi 167_15‰(72) berbeda dengan interaksi 567_35‰(72) yang
berbeda dengan baseline. Kondisi yang berbeda ditemukan setelah pemaparan kepadatan
120 jam, pada tingkat kepadatan yang sama dan perubahan salinitas yang berbeda
ditemukan perbedaan pada interaksi 567_45%(120) dengan interaksi 567_5‰(120) yang
berbeda dengan baseline dan memberi persentase sel hialin terendah. Pada jam ke-48 dan
120, persentase sel hialin tingkat kepadatan 567 ekor/m3 lebih tinggi pada salinitas tinggi
dan berbeda (P < 0,05) dengan tingkat kepadatan yang sama pada salinitas rendah yang
berbeda (P < 0,05) dengan baseline, sedang pada tingkat kepadatan 167 ekor/m3 tidak ada
perbedaan (P > 0,05) pada salinitas yang berbeda tetapi interaksi 167_20%(48) dan
167_5%(120) berbeda (P < 0,05) dengan baseline. Kondisi yang berbeda pada pada jam
ke-192 dan 240, persentase sel hialin antar tingkat kepadatan 567 ekor/m 3 dan antar
kepadatan 167 ekor/m3 tidak menunjukkan perbedaan pada dua seri perubahan salinitas,
22

tetapi ada perbedaan pada tingkat kepadatan yang berbeda. Pada waktu tersebut
persentase sel hialin interaksi 167_5‰(192) lebih tinggi dan berbeda dengan interaksi
567_45‰(192) dan persentase sel hialin interaksi 567_5‰(240) yang lebih tinggi berbeda
dengan interaksi 167_45‰(240). Perbedaan persentase sel hialin pada berbagai waktu
tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh kombinasi kepadatan dan salinitas pada tingkat
kepadatan rendah relatif sama pada dua seri perubahan salinitas . Pengaruh yang rendah
tersebut mengindikasikan gangguan tingkat kepadatan rendah terhadap produksi sel hialin
relatif lebih rendah dibanding tingkat kepadatan tinggi. Penurunan persentase sel hialin
lebih cepat ditemukan pada salinitas menurun yaitu jam ke 48 (salinitas10‰) dan pada jam
ke-120‰ (salinitas 45‰) dan 72 (salinitas 35‰) masing-masing untuk kepadatan 167 dan
567 ekor/m3 pada salinitas yang semakin meningkat. Penurunan persentase sel hialin yang
lebih cepat pada salinitas menurun kemungkinan disebabkan oleh diferensiasi sel hialin
menjadi semigranulosit atau granulosit berlangsung relatif normal atau lebih cepat
dibanding pada salinitas yang meningkat Proses produksi yang normal pada salinitas
menurun tersebut kemungkinan akibat gangguan tekanan salinitas yang menginduksi stres
relatif lebih rendah.
Tidak ada perbedaan (P > 0,05) pengaruh interaksi antar kepadatan pada dua seri
perubahan salinitas ditemukan pada jam ke-24, 72, 96, 120, 144, 168, dan 216. Pada jam
ke-48, persentase sel semigranulosit pada tingkat kepadatan yang sama dan salinitas yang
berbeda tidak menunjukkan perbedaan tetapi persentase sel semigranulosit terendah pada
interaksi 567_20‰(48) yang berbeda dengan baseline menunjukkan perbedaan juga
dengan interaksi 167_20‰(48) yang tidak berbeda dengan baseline. Hal yang sama
ditemukan pada jam ke 192 dan 240, tidak ada perbedaan persentase sel semigranulosit
antar tingkat kepadatan yang sama dan salinitas berbeda tetapi ada perbedaan antar tingkat
kepadatan yang berbeda. Interaksi 567_45‰(192) yang tidak berbeda dengan baseline
menunjukkan perbedaan dengan interaksi 167_5‰(192) yang memberi pengaruh
persentase sel semigranulosit lebih tinggi, sebaliknya interaksi 167_5‰(240) yang tidak
berbeda dengan baseline dan memberi pengaruh persentase sel semigranulosit lebih
rendah berbeda dengan interaksi 567_45‰(240) yang memberi pengaruh persentase sel
semigranulosit tertinggi. Perubahan persentase sel semigranulosit yang cenderung tidak
berbeda antar kepadatan yang sama pada salinitas berbeda mengindikasikan bahwa
perubahan salinitas dari salinitas iso-osmotik relatif kecil pengaruhnya terhadap jumlah sel
semigranulosit yang beredar di dalam hemolimf. Interaksi 567_45‰ (240) yang memberi
pengaruh nilai persentase sel semigranulosit tertinggi berbeda nyata dengan semua
interaksi lainnya (P < 0,05), kecuali dengan interaksi 567_5‰ (240) dan 167_45‰ (240) (P
> 0,05). Fakta tersebut mengindikasikan peningkatan sel semigranulosit yang signifikan
terjadi pada interaksi kepadatan tinggi dengan salinitas tinggi dan rendah, dan interaksi
kepadatan tinggi dengan salinitas rendah setelah terpapar kepadatan 240 jam. Persentase
sel semigranulosit baseline yang tidak berbeda dengan semua interaksi kepadatan dan
salinitas kecuali dengan interaksi yang memberi pengaruh tertinggi dan terendah terhadap
persentase sel semigranulosit mengindikasikan persentase jenis sel semigranulosit relatif
stabil selama proses perubahan salinitas.
Semigranulosit mampu melakukan enkapsulasi, fagositosis, respon sitotoksik (Saha,
2011), berperan dalam pembekuan hemolimf pada P. cygnus (Jussila et al., 2001), dan
melepaskan sistem aktivasi proPO (Soderhall and Cerenius, 1998), yang meliputi protein
adhesif dan opsonic terhadap sel, peroxinectin (Johansson and Soderhall, 1988, Johansson
et al., 1995), dan peroxinectin dapat menstimulasi fagositosis yang dilakukan oleh sel hialin
(Thornqvist, Johansson and Soderhall, 1994). Kenyataan ilmiah tersebut mengindikasikan
bahwa peningkatan jumlah sel semigranulosit yang menyebabkan terjadinya peningkatan
23

kapasitas imun dan sebaliknya penurunan persentase jenis sel tersebut berimplikasi
terhadap penurunan kemampuan imun. Perubahan jumlah jenis sel semigranulosit dapat
merupakan diferensiasi sel hialin menjadi semigranulosit yang menyebabkan peningkatan
persentase jenis sel tersebut dan diferensiasi jenis sel semigranulosit menjadi granulosit
yang menyebabkan penurunan jenis sel tersebut. Diferensiasi jenis sel dalam hemolimf
yang beredar sebagaimana dikemukakan oleh Braak et al. (2002) bahwa sel hialin sebagai
sel muda dan belum matang dari sel semigranulosit dan granulosit, dan sel hialin
merupakan sel prekursor dari sel semigranulosit (Zhang, Shao and Ho Kang, 2006).
Hematopoiesis merupakan proses yang dengan proses tersebut hemosit matang dan
masuk ke dalam sirkulasi yang secara konstan mengganti hemosit yang mati atau hemosit
yang mengalami kerusakan secara metabolis (Jiravanichpaisal, Lee and Söderhäll, 2006).
Proses tersebut dapat diganggu oleh pengaruh berbagai faktor lingkungan (Johansson et
al., 2000, Jiravanichpaisal, Lee and Söderhäll, 2006, Barreda and Belosevic, 2001,
(Medvinsky and Dzierzak, 1999).
Persentase sel granulosit baseline yang tidak menunjukkan perbedaan nilai dengan
semua interaksi kepadatan dengan salinitas lainnya, kecuali dengan interaksi 567_20‰
(48) yang memberi pengaruh persentase jenis sel granulosit tertinggi dan interaksi
567_10‰(96), 5‰ (120, 192, dan 216), 35‰(72), dan 40‰ (96) mengindikasikan bahwa
interaksi perlakuan kepadatan tinggi dengan salinitas memberi pengaruh yang signifikan
terhadap jumlah sel granulosit udang putih yang beredar dalam hemolimf. Persentase sel
granulosit udang yang dipelihara pada tingkat kepadatan tinggi dan salinitas menurun
cenderung lebih cepat mengalami peningkatan yang signifikan dibanding pada salinitas
yang semakin meningkat (48 jam vs 72 jam). Peningkatan persentase sel granulosit
tersebut dapat disebabkan oleh pelepasan dan diferensiasi sel hialin dan semigranulosit
dalam hemolimf serta pelepasan sel-sel granulosit dari jaringan tubuh ke dalam hemolimf
yang bermigrasi ke jaringan yang mengalami gangguan akibat tekanan atau stress yang
dipicu oleh kepadatan dan/atau salinitas media pemeliharaan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sel granulosit merupakan sel matang dari sel semigranulosit. Dalam
hal ini, sel semigranulosit merupakan prekursor sel-sel granulosit. Menurut Soderhall and
Cerenius (1992), hemosit dari sebagian besar krustase tidak membelah dan, oleh karena
itu, diyakini bahwa sel-sel yang tua harus secara kontinyu diganti oleh sel-sel yang dilepas
ke dalam hemolimf. Ketiga tipe sel hemosit menunjukkan tahap perkembangan dari
diferensiasi satu cell line, granulosit merupakan tahap yang terakhir (Jussila et al., 1997).
Van de Braak et al. (2002) mengemukakan bahwa sel-sel hialin merupakan sel-sel muda
dan tidak matang dari sel semi granulosit dan granulosit dan merupakan cell line yang
dilepas dari HPT (hepatopoietik), dan sel hialin hanya merupakan sel prekursor dari sel
semigranulosit (Zhang, Shao and Ho Kang, 2006). Sel granular tersebut, dari cell line
granular besar, matang dan terakumulasi dalam jaringan penghubung dan dengan mudah
dilepaskan ke dalam hemolimf (Van de Braak et al., 2002). dihasilkan sebagai tahap akhir
dalam turunan pematangan hemosit. Cochennec-Laureau et al.(2003) mengemukakan
bahwa hialosit dianggap jenis sel darah yang belum matang.

3. Aktifitas Fagositosis

Aktifitas fagositosis udang uji pada salinitas 25‰ setelah 24 jam terpapar
kepadatan yang berbeda pada seri percobaan pemeliharaan pada salinitas yang berubah
cenderung mengalami penurunan (Gambar 5). Perlakuan kepadatan 167 ekor/m3
cenderung mengalami penurunan aktifitas fagositosis yang relatif lebih rendah dibanding
perlakuan kepadatan 567 ekor/m3 Perlakuan kepadatan 167 ekor/m3 pada seri percobaan
24

penurunan salinitas yang menunjukkan aktifitas fagositosis tertinggi berbeda nyata (P


<0,05) dengan semua perlakuan tingkat kepadatan lainnya pada seri percobaan penurunan
dan peningkatan salinitas. Perbedaan nyata tersebut terjadi juga antar perlakuan lainnya
yang nilai aktifitas fagositosisnya lebih rendah yang mana perlakuan kepadatan 567 ekor/m3
pada seri percobaan peningkatan salinitas memberi pengaruh aktifitas fagositosis yang
paling rendah. Aktifitas fagositosis pada seri penurunan salinitas menunjukkan nilai yang Commented [S3]: Aktifitas fagositosis kepadatan yang lebih
rendah cenderung lebih tinggi dan berbeda dengan kepadatan yang
lebih tinggi dan berbeda nyata dengan aktifitas fagositosis pada seri percobaan peningkatan tinggi; dan aktifitas fagositosis seri percobaan penuruann salinitas
salinitas pada tingkat kepadatan yang sama. Perbedaan tersebut mengindikasikan bahwa cenderung lebih tinggi dan berbeda dengan peningkatan salinitas.
tingkat kepadatan pada berbagai tingkatan salinitas sangat besar pengaruhnya terhadap
aktifitas fagositosis udang putih. Kenyataan tersebut menggambarkan bahwa organisme
yang dipelihara pada tingkat kepadatan yang rendah memiliki kemampuan imun yang lebih
tinggi dibanding organisme yang dipelihara pada tingkat kepadatan tinggi. Nilai aktifitas
fagositosis yang lebih tinggi pada seri percobaan penurunan salinitas pada tingkat
kepadatan yang sama pada seri peningkatan salinitas mengindikasikan pengaruh negatif
tingkat kepadatan lebih nyata pada salinitas yang semakin meningkat.
Setelah terpapar 24 jam kepadatan berbeda, aktifitas fagositosis interaksi
167_25‰(24) menunjukkan nilai lebih tinggi dan berbeda dengan 567_25‰(24), dan kedua
interaksi tersebut yang aktifitas fagositosisnya lebih rendah berbeda (P < 0,05) dengan
baseline. Interaksi perlakuan kepadatan 167_20‰ (48) yang memberi pengaruh aktifitas
fagositosis tertinggi tidak menunjukkan perbedaan (p > 0,05) dengan interaksi perlakuan
167_30‰ (48 jam) dan 167_15‰(72), tetapi berbeda dengan baseline dan interaksi lainnya.
Pada jam ke 24 hingga 96, interaksi kepadatan 167 ekor/m3 dengan kedua seri perubahan
salinitas tidak menunjukkan perbedaan (P > 0,05). Hal yang sama ditunjukkan interaksi
kepadatan 567 ekor/m3 dengan kedua seri perubahan salinitas pada jam ke-24 dan 48 yang
tidak menunjukkan perbedaan, tetapi pada jam ke-72 dan 96 ditemukan perbedaan antara
interaksi tingkat kepadatan pada seri penurunan salinitas yang memberi pengaruh lebih
tinggi dibanding pada seri peneningkatan salinitas Aktifitas fagositosis yang menurun
setelah 24 jam terpapar kepadatan dengan nilai aktifitas lebih rendah pada kepadatan 567
ekor/m3 dan berbeda dengan baseline mengindikasikan bahwa tekanan kepadatan
berpengaruh negatif terhadap aktifitas fagositosis. Penurunan kemapuan fagositosis
tersebut diakibatkan oleh gangguan tekanan kepadatan terhadap sel-sel fagositik untuk
melaksanakan fungsinya. Aktifitas fagositosis yang tertinggi pada interaksi kepadatan 167
ekor/m3 dengan penurunan salinitas dan peningkatan salinitas pada jam ke 48 (salinitas 20
vs 30‰) yang tidak berbeda dengan baseline mengindikasikan bahwa udang yang
dipelihara pada tingkat kepadatan rendah dalam media yang salinitasnya tidak jauh dari
salinitas iso-osmotik mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan salinitas dan
memulihkan kembali kemampuan fagositosisnya. Kemampuan fagositosis udang yang
dipelihara dalam media yang mengalami perubahan salinitas pada tingkat kepadatan
rendah nampaknya relatif kecil perubahannya dibanding interaksi lainnya, khususnya pada
seri penurunan salinitas, yang dibuktikan oleh aktifitas fagositosis interaksi tersebut pada
jam ke-48 hingga 120 tidak berbeda dengan baseline dengan sedikit perbedaan pada seri
peningkatan salinitas yang menunjukkan perbedaan dengan baseline pada jam ke-72 dan
120. Aktifitas fagositosis terendah yang ditemukan pada interaksi 567_45‰(192-240) yang
tidak berbeda dengan interaksi 567_35‰(72) tetapi berbeda dengan interaksi kepadatan
pada waktu yang sama dan seri perubahan salinitas berbeda mengindikasikan bahwa
tekanan kepadatan tinggi dan salinitas tinggi yang jauh dari salinitas iso-osmotik lebih kuat
dibanding pada salinitas yang rendah di bawah salinitas iso-osmotik.
25

4. Super Oksida Dismutase


Konsentrasi super oksida dismutase (SOD) hemolimf udang putih yang
dipelihara pada salinitas yang berubah dan kepadatan berbeda menunjukkan
kecenderungan peningkatan, baik pada seri percobaan peningkatan salinitas maupun pada
seri penurunan salinitas (Gambar 5). Setelah 72 jam terpapar perlakuan kepadatan dan
salinitas (salinitas 20‰ dan 30‰), udang putih yang dipelihara pada salinitas menurun
menunjukkan nilai dan peningkatan konsentrasi SOD yang lebih besar dibanding pada seri
peningkatan salinitas, baik pada tingkat kepadatan yang sama maupun pada tingkat
kepadatan yang berbeda (Tabel 1). Pola perubahan persentase peningkatan konsentrasi
SOD pada jam ke-240 berbeda dengan yang ditemukan pada waktu pemaparan 72 jam.
Pada salinitas yang sama ditemukan perubahan konsentrasi SOD tingkat kepadatan 167
ekor/m3 relatif lebih tinggi dan pada salinitas yang berbeda ditemukan perubahan
konsentrasi SOD tingkat kepadatan 167 ekor/m3 seri percobaan penurunan salinitas yang
lebih tinggi dibanding seri peningkatan salinitas, sebaliknya perubahan konsentrasi SOD
tingkat kepadatan 567 ekor/m3 pada seri peningkatan salinitas relatif rendah.
Peningkatan konsentrasi SOD hemolimf udang putih yang dipelihara pada
kepadatan dan salinitas yang berbeda dengan berjalannya waktu (Gambar 5)
mengindikasikan intervensi kepadatan dan salinitas mengakibatkan peningkatan aktifitas
enzim antioksidan SOD. Perubahan konsentrasi SOD hemolimf udang pada tingkat
kepadatan 567 ekor/m3 seri penurunan yang lebih tinggi setelah pemaparan 72 jam
(salinitas 20‰) disebabkan oleh gangguan fisiologis akibat tekanan salinitas dan kepadatan
yang dapat mengakibatkan terjadinya stress oksidatif akibat radikal bebas oksidan yang
berlebihan dari spesies oksigen reaktif (Reactive Oxygen Species, ROS). Perubahan SOD
yang relatif lebih kecil pada tingkat kepadatan 567 ekor/m3 seri peningkatan salinitas tetapi
nilai konsentrasi SOD tetap lebih besar setelah pemaparan 72 jam (Tabel 1), dapat
disebabkan oleh tekanan tingkat kepadatan dan salinitas lebih besar sehingga dapat
mengganggu produksi enzim SOD sehingga kemungkinan produksi radikal bebas yang
tinggi tidak dapat diimbangi oleh pelepasan SOD. Dalam hal ini, tingkat kepadatan yang
lebih rendah dianggap memperoleh tekanan yang dapat menginduksi stres lebih rendah
sehingga udang dalam kondisi tersebut masih mampu menjalankan aktifitas fisiologisnya
dengan baik, termasuk menanggapi peningkatan radikal bebas. Setelah terpapar 240 jam,
perubahan dan nilai konsentrasi SOD yang lebih tinggi pada tingkat 167 ekor/m3 seri
penurunan salinitas disebabkan oleh tekanan kepadatan dan salinitas yang semakin
meningkat sehingga udang yang dipelihara pada tingkat kepadatan tinggi dengan salinitas
yang sama mengalami gangguan fisiologis yang lebih berat yang dapat berimplikasi
terhadap produksi enzim SOD yang berperan untuk mengatasi radikal bebas yamg
terbentuk akibat stres.
. Perubahan salinitas menyebabkan berbagai respon fisiologis terhadap organisme
perairan, seperti peningkatan hormon plasma yang berhubungan dengan stres, stimulasi
energi metabolisme, dan gangguan keseimbangan elektrolit. Stres yang disebabkan oleh
perubahan salinitas menyebabkan peningkatan pembentukan ROS, yang mengakibatkan
kerusakan oksidatif (Liu, Tseng and Cheng, 2007). Aktifitas SOD yang lebih tinggi
mengindikasikan lebih banyak radikal yang perlu dibersihkan (Ross et al., 2001, Giulio et
al., 1989, Chien, Pan and Hunter, 2003). SOD merupakan anti oksidan sebagai biomarker
stres (Bianchini and Monserrat, 2007, Reid and MacFarlane, 2003) dapat membersihkan
radikal bebas dan dengan demikian dapat mencegah kerusakan seluler oksidatif sehingga
SOD dianggap sebagai pertahanan pertama melawan ROS (Fang et al., 2010).
Peningkatan SOD dapat mencegah peningkatan produksi superoksida tetapi kelebihan
produksi H2O2 dapat menyebabkan toksik sendiri terhadap sel sehingga dibutuhkan
26

peningkatan aktifitas katalase/peroxidase untuk mengontrolnya (Cheng, Hsu and Chen,


2007).

Tabel 1. Perubahan konsentrasi (%) superoksida dismutase (SOD) hemolimf udang putih
P. vannamei yang dipelihara pada salinitas yang menurun dari 25‰ ke 5‰ atau
meningkat dari 25% ke 45‰ dan tingkat kepadatan yang berbeda

Konsentrasi SOD (ng/ml)


Waktu Setelah
Salinitas
Pemaparan Penurunan Salinitas Peningkatan Salinitas
(‰)
(jam) 167 ekor/m3 567 ekor/m3 167 ekor/m3 567 ekor/m3

0 25 - - - -

72 20 vs 30 38.90 43.11 28.84 28.41

240 5 vs 45 61.03 42.43 52.39 51.06

Kumulatif 99.93 85.53 81.22 79.48

Parameter imun udang putih yang dipelihara pada salinitas yang berubah dan
kepadatan berbeda menunjukkan perubahan aktifitas fagositosis yang cenderung berbeda
dengan pola perubahan total hemosit. Pola perubahan tersebut cenderung sama juga
dengan perubahan hialin dan/atau semigranulosit., khususnya pada perlakuan kepadatan
167 ekor/m3, baik pada seri percobaan penurunan salinitas maupun pada seri percobaan
peningkatan salinitas. Pola perubahan aktifitas fagositosis yang berbeda dengan pola
perubahan total hemosit tetapi cenderung sama dengan perubahan presentase jenis sel
hialin atau semigranulosit mengindikasikan bahwa aktifitas fagositosis tidak bergantung
pada jumlah sel hemosit yang beredar tetapi bergantung pada jenis sel yang beredar. Fakta
tersebut mendukung hasil penelitian sebelumnya bahwa jenis sel hialin dan semigranulosit
berperan dalam fagositosis partikel asing (Wang and Chen, 2005, Liu, Tseng and Cheng,
2007, Hose, Martin and Gerard, 1990). Pola perubahan aktifitas fagositosis yang cenderung
menurun dengan berjalannya waktu dan penurunan atau peningkatan salinitas yang
polanya berbeda dengan perubahan aktifitas SOD yang semakin meningkat
mengindikasikan bahwa semakin lama dan semakin jauh tingkat salinitas dari salinitas iso-
osmotik semakin banyak radikal bebas yang terbentuk yang harus dikonversi atau
dibersihkan oleh SOD. Peningkatan jumlah radikal bebas yang tidak sejalan dengan
perubahan aktifitas fagositosis yang merupakan salah satu sumber radikal bebas
mengindikasikan bahwa radikal bebas yang terbentuk disebabkan oleh stres akibat tekanan
salinitas dan kepadatan tinggi.
Udang yang dipelihara pada salinitas yang menurun menunjukkan parameter imun
penciri pada salinitas 25‰(0 dan 24 jam) dan 15‰ (72 jam) adalah THC, hialin, dan aktifitas
fagositosis yang tinggi pada kedua tingkat kepadatan, kecuali tingkat kepadatan 167
ekor/m3 tidak dicirikan oleh THC yang tinggi (Gambar 6). Setelah 48, 96, dan 120 jam
perubahan salinitas, secara berurutan pada salinitas 20‰, 10‰, dan 5‰, persentase sel
granulosit merupakan penciri utama respon imun pada kedua tingkat kepadatan. Setelah
salinitas konstan pada salinitas 5‰ (jam ke 144-240), THC dan persentase sel
semigranulosit merupakan penciri respon imun pada kedua tingkat kepadatan, kecuali
tingkat kepadatan 567 ekor/m3 tidak dicirikan oleh THC yang tinggi.
27

A
B
Gambar 6. Parameter penciri respon imun udang putih P. vannamei yang dipelihara pada
salinitas pada salititas yang menurun 25‰ ke 5 ‰ (A) dan salinitas
meningkat (B) dan tingkat kepadatan berbeda. Huruf pertama pada kombinasi huruf
dengan angka melambangkan parameter imun dan angka yang mengikutinya melambangkan
tingkat kepadatan dan kelompok angka pertama pada kombinasi angkadengan angka
melambangkan salinitas dan angka yang mengikutinya melambangkan waktu setelah
perubahan salinitas, (THC = total hemosit, H = hialin, SG = semigranulosit, G = granulosit,
AP = Aktifitas fagostik

Pada salinitas yang semakin meningkat, penciri utama respon imun udang pada
salinitas 25‰ hingga 40‰ (0 hingga 96 jam setelah perubahan salinitas) adalah THC, hialin,
dan aktifitas fagositosis yang tinggi pada kedua tingkat kepadatan, kecuali pada kepadatan
567 ekor/m3 tidak dicirikan oleh persentase sel hialin yang tinggi tetapi dicirikan oleh
persentase sel granulosit yang tinggi (Gambar 6). Setelah salinitas konstan pada salinitas
45‰ (120 hingga 240 jam), respon imun dicirikan oleh persentase sel semigranulosit yang
tinggi paad kedua tingkat kepadatan, kecuali kepadatan 167 ekor/m3 pada jam ke-120
dicirikan oleh persentase sel granulosit yang tinggi dan kepadatan 567 ekor/m 3 dicirikan
oleh persentase sel hialin yang tinggi. Penciri respon imun pada kedua seri perubahan
salinitas tersebut menunjukkan bahwa parameter imun pada kondisi yang stabil adalah
THC, hialin, dan aktifitas fagositosis yang tinggi, sedang dalam kondisi yang kurang stabil
diindikasikan oleh sel semigranulosit yang tinggi, dan dalam kondisi yang tidak stabil atau
stres diindikasikan oleh persentase sel granulosit yang tinggi. Dengan demikian THC,
hialin, dan aktifitas fagositas yang secara bersamaan menunjukkan nilai tinggi
mengindikasikan kapasitas imun yang tinggi.

C. Dinamika Parameter Imun Udang Putih Pada Salinitas Iso-osmotik Setelah


Infeksi V. harveyi
1. Total hemosit
Total hemosit udang putih yang dipelihara pada salinitas 25‰ menunjukkan
penurunan setelah 24 jam terpapar kepadatan dengan tingkat penurunan yang tertinggi
ditemukan pada perlakuan 567 ekor/m3 yang secara berurutan diikuti oleh kepadatan 467,
367, 267 dan 167 ekor/m3 (Gambar 7). Interaksi perlakuan tingkat kepadatan 567 ekor/m3
28

dengan waktu jam ke-96 (567_96) setelah uji tantang yang memiliki total hemosit tertinggi
tidak menunjukkan perbedaan dengan interaksi perlakuan lainnya (P > 0,05) kecuali dengan
interaksi 267_ 24 dan 48 jam, 367_ 24 dan 48 jam, 467_24 dan 144 jam setelah infeksi V.
harveyi , dan interaksi 567_24 dan 144 menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05). Kesemua
interaksi yang disebutkan terakhir tidak menunjukkan perbedaan dengan nilai total hemosit
baseline kecuali interaksi perlakuan kepadatan 467 dan 567 ekor/m3 dengan waktu 24 jam
setelah infeksi yang menunjukkan nilai total hemosit terendah. Total hemosit udang pada
interaksi antar perlakuan kepadatan 167, 267, dan 367 ekor/m3 dengan berbagai waktu
masa infeksi yang tidak menunjukkan perbedaan dengan baseline mengindikasikan bahwa
total hemosit pada kondisi tersebut cenderung stabil. Interaksi perlakuan kepadatan 467
dan 567 ekor/m3 dengan waktu 24 jam setelah infeksi yang memberi total hemosit terendah
dan berbeda dengan baseline mengindikasikan bahwa total hemosit udang putih pada
tingkat kepadatan tersebut menurun signifikan pada jam ke-24 setelah infeksi dan kembali
ke kondisi originalnya pada jam ke-48. Penurunan total hemosit tersebut mengindikasikan
bahwa udang putih yang dipelihara pada tingkat kepadatan tinggi dalam media iso-osmotik
mengalami penurunan kapasitas imun setelah 24 jam terinfeksi V. harveyi. Penurunan total
hemosit pada jam ke-24 setelah infeksi akibat aktifitas fagositosis sel hialin yang
menyebabkan terjadinya lisis sel. Peningkatan jumlah sel setelah 48 jam infeksi dapat
disebabkan oleh pelepasan produksi sel hialin dari jaringan hematopoietik untuk mengganti
sel-sel yang hilang dalam peredaran atau pelepasan sel-sel bergranula dari jaringan
penghubung. Peningkatan dan penurunan jumlah sel darah merupakan respon umum
terhadap keberadaan stressor lingkungan (Perez and Fontanetti, 2011). Menurut Pipe and
Coles (1995), peningkatan jumlah total hemosit yang beredar, setelah pemaparan
kontaminan, dapat merupakan hasil proliferasi sel, atau pergerakan sel dari jaringan ke
dalam sirkulasi. Penurunan jumlah hemosit dapat merupakan konsekuensi lisis, diapedesis,
rekruitmen yang berkurang atau pergerakan sel dari sirkulasi ke dalam jaringan. Dengan
demikian, jumlah hemosit di dalam sistem sirkulasi diatur oleh hematopoiesis dalam
jaringan hematopoietik atau penyimpanan pada tempat lainnya (Jiravanichpaisal, Lee and
Soderhall, 2006). Defisiensi hemosit, yang diinduksi selama infeksi invertebrata (Persson,
Cerenius and Soderhall, 1987), merupakan ancaman serius bagi kesehatan hewan.
Pemulihan cepat hemosit sangat penting untuk menghancurkan mikroorganisme
penyerang, dan oleh karena itu, proses hematopoietik sangat penting bagi hewan untuk
melawan infeksi (Söderhäll et al., 2003).

2. Diferensial Hemosit
Udang putih yang dipelihara pada salinitas 25‰ yang konstan dan kepadatan
berbeda pada perlakuan kepadatan 167 dan 267 ekor/m3 memperlihatkan persentase sel
hialin yang cenderung lebih tinggi dibanding pada tingkat kepadatan 367, 467 dan 567
ekor/m3, baik sebelum maupun sesudah infeksi V. harveyi (Gambar 6). Perlakuan
kepadatan 167 ekor/m3 yang memiliki persentase sel hialin tertinggi berbeda nyata dengan
semua perlakuan lainnya (P.< 0,05), kecuali dengan perlakuan kepadatan 267 ekor/m3
yang tidak menunjukkan perbedaan (P > 0,05). Perlakuan terakhir tersebut tidak
menunjukkan perbedaan dengan perlakuan 367, 467, dan 567 ekor/m3 (P > 0,05) yang
ketiganya juga tidak berbeda nyata. Perbedaan tersebut mengindikasikan produksi hialin
udang putih pada salinitas iso-osmotik yang terinfeksi V. harveyi relatif lebih tinggi pada
tingkat kepadatan rendah dibanding pada tingkat kepadatan yang tinggi. Fakta tersebut
mengisyaratkan bahwa infeksi bakteri V. harveyi pada tingkat kepadatan rendah tidak
menyebabkan gangguan yang dapat menghambat produksi dan rekruitmen sel hialin dalam
sistem sirkulasi hemolimf. Dalam hal ini, sel-sel yang terlibat dalam aktifitas fagositiks yang
29

W a k tu s e te la h in fe k s i (ja m )
P e rs e n ta s e je n is s e l h e m o s it (% )
W a k tu s e t e la h in f e k s i (ja m )

P e rs e n ta s e je n is s e l h e m o s it (% )
-2 4 0 24 48 72 96 120 144
s e l/m l)

14 100 100 -2 4 0 24 48 72 96 120 144

s e l/m l)
14 100 100

A k t i f i t a s F a g o s it o s i s ( % )

A k ti fi ta s F a g o s it o s i s ( % )
13 90 90 13 90 90
12 80 80 12
80 80
6

11
6
T o ta l h e m o s it ( x 1 0

11 70 70
T o ta l h e m o s i t ( x 1 0
70 70
10
10 60 60
9 60 60
9 50 50
8 50 50
8 40 40 7 40 40
30 30 6
7 30 30
20 20 5
6 20 20
4
4 10 10 10 10
2
0 0 0 0 0 0
0 4 8 2 6 0 4 8
2 4 7 9 2 4 6 0 4 8 2 6 0 4 8
1 1 1 2 4 7 9 2 4 6
1 1 1
W a k tu P e m e lih a r a a n (J a m ) W a k tu P e m e lih a r a a n (J a m )

(A) (B)
A)
W a k t u s e t e la h in f e k s i ( j a m ) W a k tu s e t e la h in f e k s i (ja m )

P e r s e n t a s e je n is s e l h e m o s it ( % )
P e r s e n t a s e je n is s e l h e m o s it ( % )

-2 4 0 24 48 72 96 120 144 -2 4 0 24 48 72 96 120 144


s e l/m l)
s e l/m l)

14 100 100 14 100 100

A k tifita s F a g o s it o s is ( % )
A k tifita s F a g o s it o s is ( % )

13 13 90 90
90 90
12 12
80 80 80 80
11
6

11
6

70
T o ta l h e m o s it ( x 1 0

70
T o ta l h e m o s it ( x 1 0

70 70 10
10
60 60 9 60 60
9
8 50 50 8 50 50
7 40 40 7 40 40
6 S a lin it a s (‰6 )
30 30 30 30
5 5
20 20 20 20
4 4
2
2 5 2 5 3 0 3 5 1 04 0 4 51 0 45 452 45 45 45 45 45 10 10
P e r s e n ta s e je n is s e l h e m o s it ( % )

0 100 0 0 0 20 0 100 0
T o ta l h e m o s it ( x 1 0 s e l/m l)

0 4 8 2 6 0 4 8 0 4 8 2 6 0 4 8
2 4 7 9 2 4 6 2 4 7 9 2 4 6
A k tifita s fa g o s ito s is (% )

1 1 1 1 1 1
W a k tu P e m e li h a r a a n (J a m ) W a k tu P e m e lih a r a a n (J a m )
80 80
15
(C)
60
(D) 60
A) A) 10
W a k tu s e t e la h in f e k s i (ja m )
P e r s e n t a s e je n is s e l h e m o s it ( % )

40 -2 4 0 24 48 72 96 120 144 40
s e l/m l)

14 100 100
A k tifita s F a g o s it o s is ( % )

13
6

90 90
12
80
5
80
20 11 20
6
T o ta l h e m o s it ( x 1 0

70 70
10
9 60 60
0 8 50 50 0 0
7 40 40
0 24 6 48 72 9 6 1 2 0 1 4 4 1 6 8 1 9 2 2 1 63 0 2 4 0 2 6340 2 8 8
5
20 20
4
2 W a k t u p e m e li h a r a a n ( j a m
10 ) 10
0 0 0
0

8
4

6
0

6
2

48 24 0 24 48 72 96 20 44 68 92 6 0
1

- - W a k tu P e m e lih a r a a n (J a m ) 1 1 1 1 21 24
W a k tu s e t e la h in fe k s i (j a m )
(E)
H ialin A) T o ta l H e m o s it
S e m ig ra n u lo s it A k tif ita s F a g o s ito s is
G r a n u lo s it

Gambar 7. Total hemosit, persentase jenis sel dan aktifitas fagositosis hemosit udang
putih P. vannamei setelah infeksi V. harveyi yang dipelihara pada salinitas
25‰ yang konstan dan tingkat kepadatan 167 ekor/m3 (A), 267 ekor/m3 (B),
367 ekor/m3(C), 467 ekor/m3 (D), dan 567 ekor/m3 (E).
kemungkinan hilang akibat proses tersebut dapat segera digantikan oleh sel-sel yang
diproduksi di dalam hematopoietik. Persentase sel hialin udang uji pada jam ke-96 setelah
30

infeksi V. harveyi yang menunjukkan nilai tertinggi tidak berbeda dengan baseline, sesaat
sebelum infeksi, dan 24 jam setelah infeksi V. harveyi (P>0,05). Persentase sel hialin
terendah yang ditemukan pada waktu jam ke-144 menunjukkan perbedaan dengan
persentase hialin pada semua waktu lainnya, kecuali dengan persentase hialin pada waktu
jam ke-48. Perbedaan persentase sel hialin antar waktu tersebut mengindikasikan bahwa
udang putih yang dipelihara pada salinitas iso-osmotik setelah terinfeksi V. harveyi
mengalami penurunan signifikan pada jam ke 48 dan kembali ke kondisi normalnya pada
jam 96. Temuan tersebut mengindikasikan juga bahwa persentase sel hialin mengalami
penurunan kembali pada jam ke-144 setelah kembali ke nilai normalnya. Penurunan
persentase jenis sel ini pada jam ke 48 setelah infeksi diduga akibat keterlibatan sel tersebut
dalam proses fagositosis bakteri yang menyebabkan lisis dan degranulasi sel, sedangkan
penurunan persentase jenis sel ini pada jam ke-144 kemungkinan disebabkan oleh
diferensiasi sel ini menjadi semigranulosit atau granulosit. Sel hialin merupakan sel muda
dan belum matang dari sel semigranulosit dan granulosit pada P. monodon (Van de Braak
et al., 2002), sementara Zhang, Shao and Ho Kang (2006) menemukan bahwa pada sel
hialin hanya sebagai sel prekursor dari semigranulosit F.chinensis. Peningkatan sel hialin
pada jam ke-96 setelah infeksi diakibatkan oleh terjadinya produksi sel hialin di dalam
jaringan hematopoietik dan dilepaskan ke peredaran hemolimf sehingga rekruitmen sel
meningkat dalam hemolimf. Pada krustasea, hemosit tidak mengalami pembelahan sel di
dalam sistem sirkulasi, dengan demikian hemosit perlu diproduksi secara kontinyu dan
proporsional sepanjang hidup hewan (Lin and Soderhall, 2011).
Persentase jenis sel semigranulosit tertinggi ditemukan pada jam ke-24 setelah
infeksi tidak menunjukkan perbedaan nyata (P > 0,05) dengan nilai persentase pada jam
ke-48 dan 96 yang antara keduanya tidak menunjukkan perbedaan juga. Nilai persentase
sel semigranulosit pada jam ke 48 ditemukan tidak berbeda dengan nilai pada waktu jam
ke-144, sesaat sebelum infeksi, dan sesaat sebelum perlakuan kepadatan (baseline). Tidak
ada perbedaan nilai persentase sel semigranulosit antar waktu yang disebut terakhir (P >
0,05) yang mana baseline menunjukkan nilai terendah. Perbedaan persentase sel
semigranulosit tersebut mengindikasikan bahwa perubahan persentase sel semigarunulosit
terjadi pada jam ke-24 dan kembali ke nilai originalnya pada jam ke-48. Peningkatan sel
semigranulosit pada jam ke-24 setelah infeksi mungkin sebagai akibat mobilisasi jenis sel
ini dari jaringan penghubung ke sistem sirkulasi untuk mengantisipasi adanya serangan
bakteri yang beredar di dalam hemolimf. Sebagaimana diketahui bahwa sel semigranulosit
bersama-sama sel hialin berperan untuk melakukan aktifitas fagositosis disamping
fungsinya untuk pengenalan awal dan koagulasi patogen dan enkapsulasi patogen (Lin and
Soderhall, 2011).
Perlakuan kepadatan 467 ekor/m3 yang memiliki persentase sel granulosit tertinggi
tidak menunjukkan perbedaan dengan perlakuan kepadatan 267, 367 dan 567 ekor/m3 (P >
0.05). Perlakuan kepadatan 167 ekor/m3 yang memberi pengaruh persentase jenis sel
granulosit terendah menunjukkan perbedaan dengan semua perlakuan kepadatan lainnya
(P < 0,05), kecuali dengan perlakuan kepadatan 267 ekor/m3. Perbedaan persentase sel
granulosit antar tingkat kepadatan tersebut mengindikasikan bahwa jumlah sel granulosit
yang beredar dalam hemosit udang putih yang terinfeksi V. harveyi lebih tinggi pada tingkat
kepadatan pemeliharaan yang tinggi. Jumlah sel granulosit yang secara nyata lebih rendah
mengindikasikan bahwa pada tingkat kepadatan tersebut sel hialin mampu mengatasi
infeksi bakteri melalui proses fagositosis. Kemampuan sel hialin mengendalikan lebih awal
infeksi bakteri tersebut mampu mencegah terjadinya stres yang dapat menginduksi
pelepasan sel-sel bergranula ke sistem sirkulasi dari jaringan penghubung. Persentase
31

jenis sel granulosit pada waktu 144 jam setelah infeksi V. harveyi merupakan nilai
persentase tertinggi dan menunjukkan perbedaan nyata dengan semua nilai pada waktu
lainnya (P < 0,05), sedang nilai persentase yang terendah pada baseline tidak menunjukkan
perbedaan dengan nilai persentase pada waktu 24 dan 96 jam setelah infeksi (P > 0,05)
tetapi berbeda dengan semua nilai persentase pada waktu lainnya (P < 0,05). Perbedaan
persentase sel granulosit antar waktu infeksi tersebut mengindikasikan persentase sel
granulosit udang putih yang terinfeksi V. harveyi meningkat signifikan pada jam ke-48 dan
kembali ke nilai normalnya pada jam ke-96, tetapi meningkat kembali pada jam ke-144.
Peningkatan persentase sel granulosit yang signifikan pada jam ke-48 dapat disebabkan
oleh infeksi bakteri tidak mampu diatasi oleh sel hialin melalui proses fagositosis sehingga
menginduksi terjadinya stres dan pada akhirnya merangsang pelepasan sel granulosit dari
jaringan penghubung dan bermigrasi ke peredaran hemolimf. Hal yang sama terjadi pada
jam ke-144, bakteri yang tidak dapat di atasi dalam proses fagositosis akan berkembang
sehingga dengan berjalannya akan semakin meningkat gangguan yang menginduksi
pelepasan sel-sel granulosit dari jaringan penghubung ke dalam sistem peredaran. Infeksi
bakteri dapat menyebabkan peningkatan radikal bebas sebagai hasil proses fagositosis
yang merangsang pelepasan enzim dari sel-sel granulosit untuk membersihkan radikal
bebas tersebut. Dengan demikian infeksi bakteri dapat menginduksi pelepasan sel-sel
granulosit ke sistem peredaran hemolimf.

3. Aktifitas Fagositosis
Setelah 24 jam terinfeksi V. harveyi, aktifitas fagositosis relatif meningkat dengan nilai
peningkatan relatif lebih besar ditemukan pada perlakuan kepadatan 367, 467, dan 567
ekor/m3 dibanding peningkatan pada perlakuan kepadatan 167 dan 267 ekor/m3 (Gambar
6). Kepadatan 167 ekor/m3 yang memiliki aktifitas fagositosis tertinggi berbeda nyata
dengan semua perlakuan kepadatan lainnya yang mana antar perlakuan juga menunjukkan
perbedaan nyata (P < 0,05), kecuali perlakuan kepadatan 467 dan 567 ekor/m3 dengan
aktifitas fagositosis terendah yang tidak menunjukkan perbedaan (P > 0,05).
Kecenderungan penurunan aktifitas fagositosis tersebut mengindikasikan bahwa semakin
meningkat kepadatan pemeliharaan maka gangguan terhadap aktifitas fagositosis setelah
infeksi V. harveyi semakin meningkat. Aktifitas fagositosis baseline tidak menunjukkan
perbedaan dengan interaksi perlakuan 167_24-96 tetapi berbeda dengan semua interaksi
kepadatan dan waktu lainnya (P < 0,05) yang memberi pengaruh aktifitas fagositosis lebih
rendah. Interaksi 567_144 yang memiliki aktifitas fagositosis terendah menunjukkan Commented [S4]: Kapasitas imun 167 hingga jam ke 144 masih
tinggi, 267: hingga jam 144, 367 hingga 96, 467 dan 567 hingga 24
perbedaan dengan semua interaksi kepadatan dan waktu lainnya (P < 0,05), kecuali jam
dengan interaksi 367_144, interaksi 467_96-144, dan interaksi 567_48-96. Perbedaan
antara interaksi tersebut mengindikasikan bahwa aktifitas fagositosis udang putih yang
dipelihara dengan tingkat kepadatan 167 ekor/m3 pada salinitas iso-osmotiknya relatif stabil
hingga jam ke-96 setelah infeksi. Aktifitas fagositosis yang relatif stabil juga ditunjukkan
oleh interaksi kepadatan 267 dan 367 ekor/m3 dengan waktu infeksi 24, 48, dan 96 jam
yang diindikasikan oleh aktifitas fagositosis kedua tingkatan kepadatan tersebut pada jam
ke-24, 48, dan 96 setelah infeksi yang tidak menunjukkan perbedaan dengan nilai aktifitas
fagositosis interaksi kepadatan 167 ekor/m3 dengan waktu yang sama. Kenyataan tersebut
menunjukkan bahwa infeksi bakteri pada tingkatan kepadatan rendah tidak menyebabkan
gangguan yang dapat menghambat sel-sel fagositik yang terlibat dalam aktifitas fagositosis.
Interaksi perlakuan kepadatan 467 dan 567 ekor/m3 dengan berbagai tingkatan waktu yang
menunjukkan aktifitas fagositosis yang lebih rendah dan berbeda dengan baseline
mengindikasikan bahwa tingkatan kepadatan tinggi dan infeksi V. harveyi berpengaruh
negatif terhadap aktifitas fagositosis setelah infeksi. Interaksi 467_96 dan 567_48 yang
32

berbeda dengan interaksi kepadatan dengan waktu lainnya yang memberi nilai aktifitas
lebih tinggi mengindikasikan bahwa aktifitas kedua tingkat kepadatan tersebut menurun
signifikan pada jam ke 96 dan 48 setelah infeksi secara berurut untuk kepadatan 467 dan
567 ekor/m3. Rendahnya aktifitas fagositosis pada interaksi tersebut disebabkan oleh
tekanan kepadatan dan infeksi bakteri yang menginduksi terjadinya stres sehingga
mengganggu aktifitas sel-sel fagositik hemosit. Hemosit pada kondisi stres kehilangan
kemampuan untuk melekat pada substrat dan berinteraksi dengan partikel asing (Matozzo
et al., 2001). Kapasitas sel untuk mengikat dan menelan partikel asing bergantung pada
kemampuan bergerak sel. Pergerakan aktif terhadap partikel asing, dan perpanjangan
pseudopodia untuk menelannya, merupakan bagian dari proses tersebut (Beckmann,
Morse and Moore, 1992).
Perubahan total hemosit dan persentase jenis sel hialin yang dipelihara pada
salinitas 25 ‰ yang konstan dan tingkatan kepadatan berbeda cenderung memiliki pola
yang sama setelah infeksi V. harveyi, kecuali pada perlakuan 467 dan 567 ekor/m3 yang
menunjukkan peningkatan total hemosit yang tinggi pada jam ke 120 jam yang tidak diikuti
oleh peningkatan aktifitas fagositosis (Gambar 6). Pola perubahan total hemosit tersebut
relatif sama juga dengan pola perubahan aktifitas fagositosis. Pola yang berbeda
cenderung diperlihatkan oleh persentase jenis sel granulosit yang mana peningkatan total
hemosit dan aktifitas fagositosis cenderung tidak diikuti oleh peningkatan persentase jenis
sel granulosit. Perubahan aktifitas fagositosis yang sejalan dengan perubahan total hemosit
dan sel hialin setelah infeksi, khususnya tingkat kepadatan 167 ekor/m3 hingga 367 ekor/m3
mengindikasikan bahwa udang putih yang dipelihara pada salinitas iso-osmotik tidak
mengalami gangguan yang dapat menghambat peran setiap sel hemosit. Peningkatan total
hemosit tingkat kepadatan 467 dan 567 ekor/m3 yang tidak diikuti oleh peningkatan sel hialin
dan aktifitas fagositosis mengindikasikan bahwa peningkatan tersebut disebabkan oleh
pelepasan sel-sel bergranula dari jaringan penghubung ke dalam sistem sirkulasi akibat
stres yang disebabkan oleh tekanan kepadatan. Mobilisasi sel-sel bergranula tersebut ke
dalam sirkulasi sebagai respon infeksi bakteri yang tidak sepenuhnya dapat diatasi oleh sel
hialin melalui proses fagositosis.
Respon imun sebelum perlakuan kepadatan dan 96 jam setelah infeksi V. harveyi
dicirikan oleh THC, persentase sel hialin, dan aktifitas fagositosis pada semua tingkat
kepadatan serta persentase sel semigranulosit pada kepadatan 167 ekor/m3 yang tidak
dicirikan oleh persentase sel hialin (Gambar 8). Setelah 24 dan 48 jam infeksi V. harveyi,
persentase sel semigranulosit merupakan penciri utama kecuali tingkat kepadatan 167
ekor/m3 yang tidak dicirikan oleh semigranulosit yang tinggi tetapi dicirikan oleh persentase
sel hialin yang tinggi. Sesaat sebelum infeksi dan 144 jam setelah infeksi, penciri utama
respon imun adalah persentase sel respon granulosi. Informasi tersebut mengindikasikan
bahwa respon imun meningkat kembali pada jam ke-96 setelah infeksi yang seblumnya
menurun pada jam ke-24 dan 48. Peningkatan respon imun pada waktu tersebut dapat
disebabkan oleh proses rekruitmen jenis hialin berjalan dengan baik sehingga sel-sel
fagositik meningkat dalam sistem peredaran hemolimf.

D. Dinamika Parameter Imun Udang Putih Pada Salinitas


Berbeda Setelah Infeksi V. harveyi
1. Total hemosit
Total hemosit udang putih yang dipelihara pada salinitas yang berubah dan
kepadatan berbeda yang diinfeksi V. harveyi menunjukkan kecenderungan penurunan
setelah 24 jam infeksi V. harveyi, baik pada salinitas 15‰ pada seri penurunan salinitas
maupun pada salinitas 35‰ seri percobaan peningkatan salinitas, kecuali perlakuan
33

kepadatan 167 ekor/m3 pada seri percobaan penurunan salinitas (Gambar 9). Tingkat
kepadatan 567 ekor/m3 pada seri percobaan peningkatan salinitas menunjukkan total
hemosit yang tertinggi dan berbeda nyata (P < 0,05) dengan perlakuan tingkat kepadatan
167 dan 567 ekor/m3 pada seri percobaan penurunan salinitas dan perlakuan tingkat
kepadatan 167 ekor/m3 pada seri percobaan peningkatan salinitas yang ketiganya tidak
menunjukkan perbedaan (P > 0,05). Perbedaan antar kepadatan tersebut Commented [S5]: Ada kecenderungan peningkatan kepadatan
salinitas tinggi menyebabkan peningkatan total hemosit 
gangguan fisiologis pada salinitas ti8nggi relatif lebih tinggi
dibanding pada salinitas rendah

Gambar 8. Parameter penciri respon imun udang putih P. vannamei setelah infeksi V.
harveyi yang dipelihara pada salinitas pada salititas 25‰ yang konstan dan
tingkat kepadatan berbeda. Huruf pertama melambangkan parameter imun dan
angka yang mengikutinya melambangkan tingkat kepadatan, angka yang dicetak tebal
menunjukkan waktu setelah perl;akuan kepadatan (THC = total hemosit, H = hialin, SG =
semigranulosit, G = granulosit, AP = Aktifitas fagostik

Mengindikasikan bahwa tingkat kepadatan yang tinggi dan media pemeliharaan yang
semakin meningkat akan merangsang peningkatan total hemosit udang. Total hemosit
34

S a lin ita s (‰ ) S a lin it a s ( ‰ )

P e r s e n t a s e je n is s e l h e m o s it ( % )
25 25 20 15 10 5 5 5 5 5 5 5 5 P e rs e n ta s e je n is s e l h e m o s it (% ) 25 25 20 15 10 5 5 5 5 5 5 5 5
14
s e l/m l)

16 16 100 100 14 100 100

K o n s e n tr a s i S O D ( n g /m l)

T o ta l h e m o s it ( x 1 0

A k t if it a s f a g o s it o s is (% )
K o n s e n t r a s i S O D ( n g /m l)

A k t if it a s f a g o s it o s is ( % )
90 90 90 90
14 14 12 12
80 S a8 0lin it a s (‰ ) 80 80
12 12 10 10
6

70 70
T o ta l h e m o s it ( x 1 0

70 70
10 10 8 60 60
60 60 8
8 8
2 5 2 5 3 0 35 50 4 0 540 5 4 5 4 5 4 5 4 5 4 5 4 5 4 5 50 50
6 6
P e r s e n ta s e je n is s e l h e m o s it ( % )

40 40
6 6 100 40 40 20 100 30
4 30

T o t a l h e m o s it ( x 1 0

6
30 30 4

s e l/m l)
4 4 20 20

A k t if ita s f a g o s it o s is (% )
20 20 2 2
2 2 10 10
10 10
0 0 80 0 0
0 0 80 0 0

0 4 8 2 6 0 4 8 2 6 0 4 8
0
2
4
4
8
7
2
9
6
1
2
0
1
14 51 6 8 1 9 2 2 1 6 2 4 0 2 6 4 2 8 8
4
2 4 7 9 2 4 6 9 1 4 6 8
1 1 1 1 2 2 2 2 W a k t u p e m e lih a r a a n (ja m )
W a k tu p e m e lih a r a a n (ja m )
60 8 4 0 4 8 2 6 0 4 8 6 06
2 0
8 4 0 4 8 2 6 0 4 8 2 6 0 -4 -2 2 4 7 9 2 4 6 9 1 4
-4 -2 2 4 7 9 2 4 6 9 1 4 1 1 1 1 2 2
1 1 1 1 2 2
W a k tu s e te la h in fe k s i (ja m )
W a k tu s e t e la h in f e k s i (ja m ) 10
(A)
40 (B) 40
S a lin it a s ( ‰ ) S a lin it a s ( ‰ ) 6
P e rs e n ta s e je n is s e l h e m o s it (% )
P e rs e n ta s e je n is s e l h e m o s it (% )

P e r s e n t a s e je n is s e l h e m o s it ( % )
s e l/m l)
25 25 30 35 40 45 45 45 45 45 45 45 45 25 25 30 35 40 45 45 45 45 45 45 45 45
20 20
T o ta l h e m2o s it ( x 1 0 s e l/m l)

16 16 100 100 20 20 100 100


K o n s e n tr a s i S O D ( n g /m l)

K o n s e n tr6a8s i S O D ( n g /m l)
A k t if it a s f a g o s it o s is (% )

A k t if it a s f a g o s it o s is (% )
14 14 90 90 18 18 90
80 80 16 16 80 80
12 12
6

70 70 14 14 70
10 10 0 60 60 12 12 0 0 60 60
8 8 50 50 10 10 50
0
24
48
72
96

0
4

2
16

0
4
8

6 6 40 40 8 8 40 40
12
14

19

24
26
28
1

30 30 6 6 30
4 4
20 20 4 4 20 20
2 2 W1 a0 k tu p1e0 m e lih a r a2a n (ja 2m ) 10
0 0 0 0 0 0 0 0
0 4 8 2 6 0 4 8 2 6 0 4 8 0 4 8 2 6 0 4 8 2 6 0 4 8
2 4 7 9 2 4 6 9 1 4 6 8 2 4 7 9 2 4 6 9 1 4 6 8
1 1 1 1 2 2 2 2 1 1 1 1 2 2 2 2
W a k t u p e m e lih a r a a n (ja m ) W a k t u p e m e lih a r a a n (ja m )
0
8
4

24
48
72
96

0
4
8
2
6
0
-4
-2

12
14
16
19
21
24
0
4
8
2
6
0
8
4

4
8
2
6
0

8 4 0 4 8 2 6 0 4 8 2 6 0
2
4
6
9
1
4
-4
-2

2
4
7
9

-4 -2 2 4 7 9 2 4 6 9 1 4
1
1
1
1
2
2

1 1 1 1 2 2
W a k tu s e t e la h in f e k s i (ja m ) W a k tu s e t e la h in fe k s i (j a m ) W a k tu s e t e la h in f e k s i (ja m )

(C) (D)
H ia lin T o ta l H e m o s it
S e m ig ra n u lo s it A k tifita s F a g o s ito s is
G ra n u lo s it SO D

Gambar 9. Total hemosit, persentase jenis sel dan aktifitas fagositosis hemosit udang putih
P. vannamei setelah infeksi V. harveyi yang dipelihara pada salinitas yang
menurun dari 25‰ ke 5‰ atau meningkat dari 25% ke 45‰ dan tingkat
kepadatan berbeda. A dan B kepadatan 167 ekor/m3 dan 567 ekor/m3 pada seri percobaan
penurunan salinitas, C dan D kepadatan 167 ekor/m3 dan 567 ekor/m3 pada seri percobaan
peningkatan salinitas.

yang lebih tinggi pada kepadatan tinggi dan media pemeliharaan bersalinitas tinggi tersebut
disebabkan oleh stres akibat tekanan kepadatan dan salinitas tinggi yang menginduksi
pelepasan sel-sel granulosit dari jaringan ke dalam hemolimf. Setelah infeksi 24 jam, total
hemosit interaksi 167_15‰(24) menunjukkan nilai total hemosit lebih tinggi yang tidak
berbeda (P > 0,05) dengan baseline dan tidak berbeda juga dengan interaksi 167_35‰(24)
dan 567_35‰(24) tetapi berbeda (P < 0,05) dengan interaksi 567_15‰(24). Interaksi
kepadatan dan salinitas pada jam ke-48 dan 144 tidak ditemukan perbedaan diantaranya
dan nilai total hemositnya tidak berbeda dengan baseline. Interaksi 567_45‰(96)
menunjukkan nilai total hemosit yang tertinggi dan berbeda dengan baseline dan interaksi
167_45‰(96), 167_5‰(96), dan 567_5‰(96). Perbedaan tersebut mengindikasikan
bahwa interaksi kepadatan tinggi dengan salinitas tinggi memberi pengaruh yang lebih
besar terhadap peningkatan total hemosit udang pada jam ke-96. Pada jam ke 192 dan
240, interaksi 567_45‰, 167_45‰, 567_5‰ tidak berbeda (P > 0,05) dengan baseline
tetapi berbeda (P < 0,05) dengan interaksi 167_5‰ yang nilai total hemositnya lebih rendah.
Interaksi perlakuan 567_45‰ (96) yang memberi pengaruh total hemosit tertinggi dan
interaksi 167_5‰(192 dan 240) dan 567_15‰(24) yang memberi pengaruh total hemosit
35

terendah berbeda dengan baseline, sedang interaksi lainnya tidak menunjukkan perbedaan
dengan baseline. Perbedaan tersebut mengindikasikan bahwa perubahan total hemosit
udang yang signifikan lebih cepat terjadi pada tingkat kepadatan tinggi. Perubahan tersebut
berupa peningkatan pada salinitas 45‰(96 jam) dan penurunan pada salinitas 15‰(24).
Peningkatan pada salinitas tinggi tersebut dapat merupakan pelepasan sel-sel bergranula
ke dalam sistem sirkulasi hemolimf yang diinduksi oleh stres akibat tekanan kepadatan,
salinitas dan infeksi bakteri. Total hemosit yang menurun pada tingkat kepadatan rendah
merupakan implikasi fagositosis yang menyebabkan degranulasi dan lisis sel sehingga sel
yang beredar dalam hemolimf dapat berkurang.
Total hemosit udang yang lebih tinggi seyogyanya menunjukkan kapasitas imun
relatif lebih tinggi dan sebaliknya penurunan total hemosit berimplikasi terhadap penurunan
kemampuan imun udang karena hemosit udang memegang peranan sentral dalam sistem
pertahanan tubuh (Johansson et al., 2000). Hemosit diyakini menjadi tempat utama respon
imun dimana beberapa reaksi imun terjadi (Bachère, 2003). Reaksi tersebut meliputi
fagositosis, nodulasi, enkapsulasi, sintesis dan pelepasan peptida antimicrobial dan
beberapa protein imun (Johansson et al., 2000, Pongsomboon et al., 2008). Total hemosit
yang tinggi setelah infeksi dan berbeda dengan kondisi sesaat sebelum perlakuan
kepadatan dan salinitas tidak serta merta dapat dianggap sebagai peningkatan kapasitas
imun, tetapi harus mempertimbangkan parameter lainnya terutama aktifitas fagositosis dan
histopatologi hepatopankreas. Peningkatan total hemosit dan total hemosit yang tinggi
tersebut dapat merupakan hasil induksi stress yang menyebabkan pelepasan sel-sel
hemosit dari jaringan tubuh dan bermigrasi ke dalam saluran peredaran hemolimf. van De
Braak (2002) mengemukakan bahwa, setidaknya pada P. monodon, prekursor sel hemosit
bergranular besar dan kecil diproduksi pada jaringan hematopoietik (hematopoietic tissue,
HPT) sebagai sel H (hialin) dan sel tersebut dilepaskan ke dalam hemolimf. Sel-sel
semigranular (SG) dari minimal jalur sel granular besar (G) bermigrasi dan matang di dalam
jaringan penghubung (connective tissue). Jaringan penghubung tersebut menjadi
penampungan sel-sel granular yang dapat dengan mudah dimobilisasi pada saat stres.
Peningkatan total sel hemosit yang beredar berhubungan dengan mobilisasi sel hemosit
dari jaringan ke dalam sirkulasi dan penurunan hemosit merupakan hasil mobilisasi sel yang
beredar dalam sirkulasi ke tempat infeksi (Oubella et al., 1994, 1996, Omori, Martin and
Hose, 1989). Dengan demikian, dalam kondisi stres, sel-sel yang berkontribusi dalam
peningkatan jumlah sel hemosit merupakan sel-sel bergranula yang bermigrasi dari jaringan
ke dalam sistem peredaran hemolimf. Dalam hal ini, sel yang berkontribusi dalam
peningkatan jumlah sel tersebut bukan merupakan produksi sel-sel prekursor yang
diproduksi dalam HPT dan berdiferensiasi dalam hemolimf. Penurunan jumlah hemosit
merupakan pengaruh mekanisme sistem imun udang seperti infiltrasi hemosit ke jaringan
yang terinfeksi atau kematian hemosit yang disebabkan oleh apoptosis (Costa et al., 2009),
degranulasi, lisis dan pembentukan gumpalan sel atau nodulasi (Smith and Söderhäll,
1983), migrasi sel hemosit dari sirkulasi ke dalam jaringan, proliferasi hemosit yang
menurun, peningkatan lisis seluler pada kondisi stres (Pipe and Coles, 1995).

2. Diferensial Hemosit

Persentase jenis sel hialin udang putih setelah diinfeksi V. harveyi yang dipelihara
pada salinitas yang berubah dan tingkat kepadatan yang berbeda cenderung mengalami
peningkatan setelah terpapar bakteri selama 24 jam, kecuali perlakuan kepadatan 167
ekor/m3 pada seri percobaan peningkatan salinitas (35‰) mengalami penurunan sebesar
11.46%. Peningkatan persentase jenis sel hialin perlakuan 167 ekor/m3 pada seri
36

percobaan penurunan salinitas berlanjut hingga jam 144 setelah infeksi V. harveyi (salinitas
5‰), sedang perlakuan kepadatan 167 ekor/m3 pada seri percobaan peningkatan salinitas
cenderung meningkat hingga jam ke-48 yang selanjutnya menurun hingga jam ke-240
setelah infeksi V. harveyi (Gambar 9). Persentase jenis sel semigranulosit udang putih
setelah terinfeksi V. harveyi yang dipelihara pada salinitas yang berubah dan kepadatan
berbeda menunjukkan bahwa perlakuan udang uji dengan kepadatan 167 ekor/m3 pada seri
percobaan penurunan salinitas yang memiliki persentase jenis sel semigranulosit tertinggi
berbeda nyata dengan perlakuan 567 ekor/m3 pada seri percobaan penurunan salinitas dan
perlakuan kepadatan 167 dan 567 ekor/m3 pada seri percobaan peningkatan salinitas (P <
0,05) yang ketiganya tidak menunjukkan perbedaan (P > 0,05). Persentase sel
semigranulosit interaksi kepadatan 167 dan 567 ekor/m3 dengan berbagai tingkatan
salinitas tidak berbeda dengan baseline. Tidak ada perbedaan (P > 0,05) yang ditemukan
antar interaksi pada waktu yang sama, kecuali pada interaksi 167_10‰(48) dan
567_10‰(48) yang memberi pengaruh persentase sel semigranulosit tertinggi
menunjukkan perbedaan (P < 0,05) dengan interaksi 167_40‰(48) dan 567_40‰(48).
Persentase sel semigranulosit tertinggi pada tingkat kepadatan 167 ekor/m3 pada seri
penurunan salinitas dan berbeda dengan pengaruh tingkat kepadatan lainnya
mengindikasikan bahwa produksi dan jumlah sel semigranulosit yang beredar dalam
hemolimf udang putih lebih tinggi pada tingkat kepadatan rendah yang dipelihara pada
salinitas yang semakin menurun. Perbedaan Interaksi kepadatan 167 dan 567 ekor/m3
dengan salinitas 10‰ (48 jam) yang memberi pengaruh persentase sel semigranulosit
tertinggi dan berbeda dengan interaksi kepadatan 167 dan 567 ekor/m3 dengan salinitas
40‰ (48 jam) mengindikasikan bahwa produksi sel semigranulosit setelah terinfeksi bakteri
selama 48 jam lebih tinggi pada interaksi kedua tingkat kepadatan dengan salinitas di bawah
salinitas iso-osmotik. Persentase sel semigranulosit pada semua interaksi kepadatan
dengan salinitas yang tidak menunjukkan perbedaan dengan baseline mengindikasikan
bahwa jumlah sel yang beredar dalam hemolimf udang putih tidak mengalami perubahan
yang signifikan akibat pengaruh interaksi kepadatan dengan salinitas. Perubahan sel
semigranulosit yang relatif kecil tersebut dapat disebabkan oleh diferensiasi sel hialin yang
segera terjadi setelah jenis sel ini berdiferensiasi menjadi sel granulosit.
Persentase jenis sel granulosit yang dipelihara pada salinitas berubah dan tingkat
kepadatan yang berbeda setelah infeksi V. harveyi menunjukkan bahwa interaksi perlakuan
kepadatan dengan berbagai tingkatan salinitas tidak menunjukkan perbedaan dengan
baseline, kecuali interaksi 167_35‰(24) dan 567_10‰(48) yang memberi pengaruh nilai
lebih besar dan berbeda (P < 0,05) dengan baseline. Kedua interaksi yang disebutkan
pertama tidak menunjukkan perbedaan (P > 0,05). Tidak ada perbedaan (P > 0,05) yang
ditemukan antar interaksi kepadatan dengan salinitas pada kedua seri kepadatan dan
perubahan salinitas pada waktu yang sama, tetapi terdapat perbedaan (P < 0,05) antar
interaksi kepadatan dan salinitas pada waktu yang berbeda. Interaksi 167_35‰(24) dan
interaksi 567_10‰(48) berbeda dengan interaksi 167_5‰ (144, 192, 240) dan 567dan
5‰(96) yang tidak berbeda dengan baseline. Kedua interaksi tersebut berbeda juga
dengan interaksi 167_45‰(144, 192, 240) dan 567_30‰(24), 45‰(96, 240) yang tidak
berbeda dengan baseline. Interaksi kepadatan 567_10‰ (48) dan 167_35‰(24) yang
memberi pengaruh persentase sel granulosit tertinggi dan berbeda dengan baseline
mengindikasikan bahwa persentase sel granulosit meningkat signifikan dan lebih cepat
pada interaksi kepadatan rendah dengan salinitas tinggi dibanding interaksi kepadatan
tinggi dengan salinitas rendah pada tingkat kepadatan yang berbeda. Kecenderungan
tersebut menunjukkan tekanan salinitas tinggi relatif lebih besar dibanding tekanan salinitas
rendah sehingga perubahan komposisi jenis sel lebih cepat terjadi pada interaksi tersebut.
37

Peningkatan granulosit yang signifikan disebabkan oleh stres yang diinduksi oleh tekanan
kombinasi kepadatan dan salinitas sehingga sel-sel granulosit dilepaskan dari jaringan ke
dalam sistem sirkulasi hemolimf. Persentase sel granulosit yang tidak berbeda antar
interaksi pada waktu yang sama mengindikasikan bahwa pengaruh kepadatan dan salinitas
pada kedua perubahan salinitas relatif sama.

3. Aktifitas Fagositosis
. Udang putih yang dipelihara pada salinitas yang berubah dan kepadatan berbeda
setelah 24 jam terinfeksi V. harveyi (salinitas 15‰ atau 35‰) memperlihatkan penurunan
aktifitas fagositosis pada perlakuan kepadatan 167 ekor/m3 dan peningkatan aktifitas
fagositosis pada kepadatan 567 ekor/m3 (Gambar 9). Perubahan aktifitas fagositosis
perlakuan kepadatan 167 dan 567 ekor/m3 pada seri percobaan peningkatan salinitas
dan perlakuan kepadatan 567 ekor/m3 pada seri percobaan penurunan salinitas cenderung
sama berupa penurunan aktifitas fagositosis setelah waktu 48 jam setelah infeksi V. harveyi
(salinitas 10 atau 40‰), sedangkan perlakuan kepadatan 167 ekor/m3 pada seri percobaan
penurunan salinitas memperlihatkan peningkatan aktifitas. Perlakuan tingkat kepadatan
167 ekor/m3 pada seri percobaan penurunan salinitas yang memperlihatkan aktifitas
fagositosis tertinggi berbeda dengan perlakuan kepadatan 567 ekor/m3 pada seri percobaan
penurunan salinitas dan kepadatan 167 ekor/m3 dan 567 ekor/m3 pada seri peningkatan
salinitas (P < 0,05). Perlakuan tingkat kepadatan dan salinitas yang disebutkan terakhir dan
memberi pengaruh aktifitas fagositosis terendah menunjukkan perbedaan dengan semua
perlakuan kepadatan dan salinitas lainnya (P< 0,05). Dua perlakuan yang disebutkan
sebelumnya yaitu perlakuan kepadatan 567 ekor/m3 pada seri percobaan penurunan
salinitas dan perlakuan kepadatan 167 ekor/m3 pada seri percobaan peningkatan salinitas
tidak menunjukkan perbedaan (P > 0,05). Perbedaan yang ditunjukkan antar tingkat
kepadatan pada kedua seri perubahan salinitas tersebut mengindikasikan bahwa udang
putih yang dipelihara pada tingkat kepadatan rendah dan salinitas menurun memiliki
kemampuan fagositosis yang lebih tinggi. Udang yang dipelihara dengan tingkat kepadatan
567 ekor/m3 pada salinitas yang semakin meningkat yang memberi pengaruh terendah
mengindikasikan bahwa udang yang dipelihara pada tingkat kepadatan tinggi dalam media
yang salinitasnya meningkat mengalami gangguan yang lebih besar sehingga aktifitas
fagositosisnya terhambat. Aktifitas fagositosis udang yang dipelihara dengan kepadatan
567 ekor/m3 dalam media yang salinitasnya menurun dan kepadatan 167 ekor/m3 dalam
media yang salinitasnya meningkat yang tidak menunjukkan perbedaan mengindikasikan
gangguan tingkat kepadatan terhadap aktifitas fagositosis pada kepadatan tinggi pada seri
penurunan salinitas dan kepadatan rendah pada seri peningkatan salinitas media
pemeliharaan relatif sama. Aktifitas fagositosis pada interaksi perlakuan kepadatan 167
ekor/m3 dan 567 ekor/m3 dengan berbagai tingkatan salinitas pada seri percobaan
penurunan salinitas setelah infeksi V. harveyi cenderung lebih tinggi dan berbeda nyata
dengan interaksi kepadatan yang sama pada seri percobaan peningkatan salinitas (P <
0,05). Interaksi kepadatan dengan salinitas pada jam 48, 144, 192, dan 240 jam setelah
infeksi menunjukkan bahwa interaksi tingkat kepadatan 567 ekor/m3 dengan salinitas pada
seri penurunan salinitas tidak berbeda (P > 0,05) dengan interaksi kepadatan 167 ekor/m3
dengan salinitas pada seri peningkatan salinitas. Interaksi kepadatan 167 ekor/m3 dengan
salinitas pada waktu infeksi 48 dan 144 jam pada seri penurunan salinitas yang memberi
pengaruh fagositosis lebih tinggi dan berbeda nyata dengan interaksi kepadatan dengan
salinitas pada waktu infeksi yang sama pada seri peningkatan salinitas mengindikasikan
bahwa intervensi tekanan salinitas tinggi pada tingkat kepadatan rendah terhadap aktifitas
fagositosis relatif lebih besar dibanding salinitas rendah. Indikasi yang sama ditunjukkan
38

pada interaksi kepadatan 567 ekor/m3 dengan salinitas, intervensi tekanan salinitas lebih
besar terhadap aktifitas fagositosis udang dalam media bersalinitas tinggi yang
diindikasikan oleh aktifitas fagositosis udang pada salinitas 10‰ (48 jam) dan 5‰ (144 dan
240 jam infeksi) relatif lebih tinggi dibanding nilai aktifitas fagositosis interaksi kepadatan
dengan salinitas tinggi pada waktu infeksi yang sama. Aktifitas fagositosis yang lebih
rendah pada kepadatan tinggi dan peningkatan salinitas tersebut disebabkan oleh tekanan
kepadatan dan salinitas menginduksi terjadinya stres yang pada akhirnya mempengaruhi
aktifitas fagositosis. Malham et al. (2003) menemukan bahwa selama aplikasi stessor pada
moluska Haliotis tuberculate, parameter imun seperti jumlah hemosit yang beredar, aktifitas
migrasi, kapasitas fagositosis dan respon letupan respirasi menurun secara signifikan.
Penurunan aktifitas fagositosis hemosit akibat gangguan stres dapat disebabkan oleh
penurunan kemampuan sel untuk merubah morfologisnya dan untuk membentuk podosome
dan pseudopodia yang dibutuhkan untuk berpindah dan menelan bahan asing (Ballarin,
Pampanin and Marin, 2003).

4. Super Oksida Dismutase

Setelah terinfeksi V. harveyi selama 24 jam (salinitas 20‰ Vs 30‰) dan 240 jam
(salinitas 5‰ vs 45‰), konsentrasi SOD hemolimf udang putih cenderung meningkat dan
relatif lebih tinggi pada seri percobaan penurunan salinitas (20‰ dan 5‰) dibanding pada
seri peningkatan salinitas (30‰ vs 45‰) (Gambar 9). Peningkatan konsentrasi SOD relatif
lebih tinggi pada seri percobaan penurunan salinitas dibanding seri percobaan peningkatan
salinitas setelah 24 jam infeksi dan sebaliknya lebih rendah pada waktu infeksi 240 jam,
baik pada tingkat kepadatan yang sama maupun kepadatan yang berbeda (Tabel 2).
Perubahan konsentrasi SOD hemolimf udang setelah 24 jam terinfeksi V. harveyi pada seri
penurunan salinitas relatif lebih tinggi pada tingkat kepadatan 567 ekor/m3, sebaliknya
perubahan persentase SOD lebih tinggi ditemukan pada tingkat kepada 167 ekor/m3 pada
seri peningkatan salinitas. Kondisi yang berbeda setelah infeksi 240 jam, persentase
perubahan konsentrasi SOD pada seri penurunan salinitas ditemukan lebih tinggi pada
tingkat kepadatan 167 ekor/m3 dan sebaliknya pada seri peningkatan salinitas perubahan
lebih tinggi ditemukan pada tingkat kepadatan 567 ekor/m3.
Peningkatan konsentrasi SOD hemolimf udang putih yang dipelihara pada
kepadatan dan salinitas yang berbeda dengan berjalannya waktu setelah uji tantang V.
harveyi (Gambar 9), mengindikasikan intervensi kepadatan dan salinitas serta infeksi V.
harveyi mengakibatkan peningkatan aktifitas enzim antioksidan SOD. Peningkatan
konsentrasi SOD hemolimf tersebut pada seri percobaan tanpa uji tantang disebabkan oleh
gangguan fisiologis akibat tekanan salinitas dan kepadatan yang dapat mengakibatkan
terjadinya stress oksidatif akibat radikel bebas oksidan yang berlebihan dari spesies oksigen
reaktif (Reactive Oxygen Species, ROS). Perubahan salinitas menyebabkan berbagai
respon fisiologis terhadap organisme perairan, seperti peningkatan hormon plasma yang
berhubungan dengan stres, stimulasi energi metabolisme, dan gangguan keseimbangan
elektrolit. Stres yang disebabkan oleh perubahan salinitas menyebabkan peningkatan
pembentukan ROS, yang mengakibatkan kerusakan oksidatif (Liu, Tseng and Cheng,
2007). Aktifitas SOD yang lebih tinggi mengindikasikan lebih banyak radikal bebas yang
perlu dibersihkan (Ross et al., 2001, Giulio et al., 1989,
Tabel 2. Perubahan konsentrasi (%) superoksida dismutase (SOD) hemolimf udang putih
P. vannamei setelah infeksi V. harveyi yang dipelihara pada salinitas yang
39

menurun dari 25‰ ke 5‰ atau meningkat dari 25% ke 45‰ dan tingkat
kepadatan yang berbeda

Konsentrasi SOD (ng/ml)


Waktu Setelah
Salinitas
infeksi V. Penurunan Salinitas Peningkatan Salinitas
(‰)
harveyi (jam) 167 ekor/m3 567 ekor/m3 167 ekor/m3 567 ekor/m3

0 25 - - - -

24 20 vs 30 45.87 47.48 29.71 20.89

240 5 vs 45 42.95 38.12 43.31 56.05

Kumulatif 88.81 85.60 73.02 76.94

Konsentrasi SOD hemolimf udang putih pada jam ke 72 dan 240 setelah infeksi
pada salinitas 20‰ dan 5‰ yang nilai dan persentase peningkatannya relatif lebih tinggi
dibanding pada salinitas 30‰ dan 45‰ (Tabel 2) mengindikasikan bahwa udang putih yang
dipelihara pada salinitas yang menurun memiliki kemampuan untuk memproduksi enzim
antioksidan SOD relatif lebih tinggi dibanding udang putih yang dipelihara pada salinitas
yang meningkat. Konsentrasi SOD yang relatif lebih tinggi tersebut merupakan antisipasi
mengatasi produksi radikal bebas yang berlebihan akibat stress. Pada awal organisme
mengalami stres, SOD harus mampu merespon dengan cepat produksi anion superoksida
yang mengikutinya (Chien, Pan and Hunter, 2003). SOD mengeliminasi radikal superoksida
dengan mengkonversinya menjadi oksigen dan H2O2. Dismutasi superoksida oleh SOD
menghasilkan H2O2 yang kurang reaktif. Dengan demikian, enzim yang lain (katalase dan
glutathione peroksidase bekerjasama untuk mengeliminasi hidrogen peroksida yang
dihasilkan oleh SOD dan sumber potensial lainnya (Pamplona and Costantini, 2011).
Peningkatan konsentrasi SOD pada seri percobaan uji tantang V. harveyi
disebabkan oleh peningkatan radikal bebas yang merupakan hasil aktifitas fagositosis
hemosit. Stimulasi hemosit selama fagositosis tidak hanya melepaskan enzim lysosome
tetapi juga radikal superoxide yang dikatalis oleh NADPH oxidase yang berhubungan
dengan membran sitoplasma. Fagositosis berhubungan dengan produksi spesies oksigen
reaktif (Reactive Oxygen Species, ROS), seperti anion superoksida, hidrogen peroksioda,
oksigen tunggal dan radikal hidroksil, yang bersifat mikrobisidal (Bachere et al., 1995,
Munoz et al., 2000). Proses tersebut dimulai ketika terjadi stimulasi yang menyebabkan
peningkatan konsumsi oksigen dan NADPH oksidase yang terikat pada membran
mengkatalisa terjadinya reduksi menyebabkan peningkatan anion superoksida. (Warner,
1994). Radikal superoksida dimetabolisasi menjadi hidrogen peroksida (H2O2) oleh
superoksida dismutase (SOD), dan peroksida yang dihasilkan tersebut selanjutnya
dikonversi menjadi hipoklorit (OCl-) oleh myeloperoksidase (MPO). Hidrogen peroksidase,
radikal superoksida dan asam hipoklorous memperlihatkan aktifitas antimikrobial dan
secara luas disebut spesies atau intermediate oksigen reaktif (reactive oxygen spesies atau
intermediate, ROS atau ROI) (Li, Yeh and Chen, 2010).
Udang putih yang dipelihara pada salinitas berubah dan tingkat kepadatan berbeda
menunjukkan pola perubahan aktifitas fagositosis yang cenderung berbeda dengan pola
perubahan total hemosit setelah 24-48 jam infeksi V. harveyi, kecuali tingkat kepadatan 167
ekor/m3 pada percobaan penurunan salinitas yang cenderung memiliki pola yang sama
hingga 240 jam setelah infeksi (Gambar 9). Pola perubahan aktifitas fagositik pada tingkat
40

kepadatan 167 ekor/m3 pada percobaan penurunan salinitas menunjukkan kecenderungan


yang sama dengan perubahan persentase sel hialin. Tingkat kepadatan 167 ekor/m3 pada
percobaan peningkatan salinitas dan kepadatan 567 ekor/m 3 pada dua seri perubahan
salinitas menunjukkan pola perubahan aktifitas fagositosis sama dengan pola perubahan
persentase sel semigranulosit. Pola perubahan yang sama antara aktifitas fagositosis,
total hemosit dan persentase sel hialin udang putih yang dipelihara dengan tingkat
kepadatan 167 ekor/m3 pada media pemeliharaan yang salinitasnya semakin menurun
(Gambar 9) mengindikasikan bahwa organisme berada dalam kondisi fisiologis yang baik.
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa tekanan lingkungan dan kepadatan tidak
mempengaruhi produksi dan peran sel-sel hemosit sehingga infeksi bakteri dalam sistem
sirkulasi dapat diatasi oleh sel-sel fagositik yang beredar. Perlakuan kepadatan 167
ekor/m3 pada percobaan peningkatan salinitas dan kepadatan 567 ekor/m3 pada dua seri
percobaan perubahan salinitas yang memperlihatkan pola perubahan aktifitas fagositosis
yang sama dengan pola perubahan persentase sel semigranulosit tetapi berbeda dengan
pola perubahan total hemosit mengindikasikan adanya hambatan produksi sel hialin di
dalam hematopoietik sehingga peran utama sel-sel hialin melakukan aktifitas fagositosis
kemungkinan digantikan oleh sel-sel semigranulosit yang dilepaskan dari jaringan dan
bermigrasi ke dalam sistem sirkulasi.
Pola perubahan aktifitas fagositosis yang cenderung menurun dengan berjalannya
waktu dan peningkatan salinitas yang polanya berbeda dengan perubahan aktifitas SOD
yang semakin meningkat mengindikasikan bahwa semakin lama dan semakin jauh tingkat
salinitas dari salinitas iso-osmotik semakin banyak radikal bebas yang terbentuk yang harus
dikonversi atau dibersihkan oleh SOD. Peningkatan jumlah radikal bebas yang tidak sejalan
dengan perubahan aktifitas fagositosis yang tidak sejalan dengan perubahan aktifitas
fagositosis yang merupakan salah satu sumber radikal bebas mengindikasikan bahwa
radikal bebas yang terbentuk diinduksi dari proses fagositosis dan stres akibat tekanan
salinitas dan kepadatan tinggi. Aktifitas fagositosis yang cenderung meningkat dengan
bertambahnya waktu infeksi dan penurunan salinitas yang polanya cenderung sama
dengan perubahan SOD mengindikasikan bahwa radikal bebas yang terbentuk lebih besar
dari proses fagositosis.
Sesaat sebelum perlakuan kepadatan, 96 dan 144 jam setelah infeksi V. harveyi
pada salinitas 5‰, penciri utama respon imun ditunjukkan oleh THC pada kedua tingkat
kepadatan, hialin pada tingkat kepadatan 167 ekor/m3 dan persentase sel semigranulosit
dan aktifitas fagositosis pada tingkat kepadatan 567 ekor/m3 (Gambar 10). Pada salinitas
15‰ (24 jam setelah infeksi), persentase sel hialin pada kepadatan 567 ekor/m3 dan
persentase sel granulosit pada tingkat kepadatan 167 ekor/m3 merupakan penciri utama
respon imun. Penciri utama pada salinitas 10‰(48 jam) dan 5‰(192 dan 240 jam)
ditunjukkan oleh sel semigranulosit dan aktifitas fagositosis pada tingkat kepadatan 167
ekor/m3 dan persentase sel granulosit padatingkat kepadatan 567 ekor/m3. Data tersebut
yang menunjukkan THC, sel hialin, dan aktifitas fagositosis yang tinggi pada jam ke 96-144
mengindikasikan bahwa pada kondisi tersebut respon imun meningkat setelah menurun
pada 24 jam setelah infeksi.
Udang yang dipelihara pada salinitas yang meningkat sesaat sebelum perlakuan
kepadatan, 24-48 dan 144 jam setelah infeksi V. harveyi, respon imun dicirikan oleh THC,
persentase sel hialin, semigranulosit, dan aktifitas fagositosis yang tinggi pada kedua tingkat
kepadatan, kecuali pada tingkat kepadatan 167 ekor/m3 yang tidak dicirikan oleh aktifitas
fagositosis yang tinggi (Gambar 10). Total hemosit dan persentase sel granulosit yang
tinggi merupakan penciri respon imun pada salinitas 45‰ (96 dan 192 jam) pada tingkat
kepadatan 567 ekor/m3, dan persentase sel granulosit dan aktifitas fagositosis yang tinggi
41

pada salinitas 45‰(240 jam) pada tingkat kepadatan 167 ekor/m3. Informasi tersebut
menunjukkan bahwa salinitas yang semakin meningkat cenderung menyebabkan
peningkatan sel granulosit yang berkontribusi terhadap peningkatan total hemosit tetapi
tidak menyebabkan peningkatan aktifitas fagositosis. Fakta tersebut mengindikasikan
bahwa peningkatan sel granulosit tidak dapat menginduksi kemampuan fagositosis yang
berimplikasi terhadap penurunan kemampuan imun.

A B

Gambar 10. Parameter penciri respon imun udang putih P. vannamei setelah infeksi
V. harveyi yang dipelihara pada salinitas yang menurun 25‰ ke 5 ‰ (A) dan
salinitas meningkat dari 25‰ ke 45‰ dan tingkat kepadatan berbeda. Huruf
pertama pada kombinasi huruf dengan angka melambangkan parameter imun dan angka
yang mengikutinya melambangkan tingkat kepadatan dan kelompok angka pertama pada
kombinasi angkadengan angka melambangkan salinitas dan angka yang mengikutinya
melambangkan waktu setelah perubahan salinitas, (THC = total hemosit, H = hialin, SG
= semigranulosit, G = granulosit, AP = Aktifitas fagostik

E. Histopatologi Hepatopankreas
Hepatopankreas merupakan kelenjar pencernaan pada krustasea, dan terlibat
dalam pencernaan, absorpsi nutrien, penyimpanan, demikian juga sintesis dan sekresi
enzimn pencernaan (Franceschini-vicentini, Ribeiro and Moraes-valenti, 2009, Li, Chen,
Zeng, Yu, Xiong, Xuefen, et al., 2008). Hepatopankreas terutama disusun oleh tubul dan
jenis sel epitel yang berbeda (sel E, sel R, sel F, dan sel B) yang melapisi tubul tersebut
(Kumar et al., 2010). Tubul Hepatopankreas dikelilingi oleh lamina basal dan terdiri dari
lumen yang berbentuk bintang dan empat jenis sel: sel sekretori atau sel B dengan vakuola
yang besar dan inti pada perifer vakuola; sel absorpsi atau sel R dengan sejumlah vakuola
kecil dan satu inti pusat; sel fibrillar atau sel F dengan satu inti pusat; dan reverse inclusion
bearing cells atau sel RI pada jaringan penghubung (Nagesh et al., 1999).
Udang putih yang dipelihara pada salinitas 25‰ yang konstan, setelah 144 jam
terpapar tingkat kepadatan yang berbeda menunjukkan gangguan histologis pada tingkat
kepadatan 167 ekor/m3, berupa infiltasi ringan hemosit ke dalam ruang antar sel tubul, erosi
mikrovilli ringan dan hipertropi sel B tingkat sedang yang memberi desakan terhadap sel
42

lainnya sehingga bentuk lumen tidak beraturan (irreguler lumen) dengan skala sedang serta
nekrosis sel epitel ringan. Perubahan histologis pada tingkat kepadatan 267 ekor/m3 selain
menunjukkan infiltrasi ringan hemosit dan hipertropi sel B juga memperlihatkan pelepasan
tubul dari lamina basal dan erosi mikrovilli ringan serta nekrosis sel epitel dan tubul tingkat
ringan. Gangguan histologis yang lebih besar ditemukan pada tingkat kepadatan 367 –
567 ekor/m3 terutama infiltrasi sel, nekrosis, pelepasan tubul dari lamina basal dan bahkan
deskuamasi pada kepadatan 467 dan 567 ekor/m3. Perubahan histopatologi
hepatopankreas yang semakin meningkat tingkat kerusakannya seiring dengan
peningkatan kepadatan pemeliharaan pada seri percobaan pemeliharaan pada salinitas
iso-osmotik tanpa uji tantang mengindikasikan bahwa gangguan tekanan kepadatan
pemeliharaan semakin besar dengan peningkatan kepadatan. Kerusakan histologis yang
ditemukan lebih besar pada kepadatan 367-567 ekor/m3 terutama nekrosis dan pelepasan
lamina basal serta erosi microvilli menunjukkan bahwa pada tingkat kepadatan tersebut
gangguan fungsi biologi dan fisiologis akan semakin besar. Kerusakan yang terjadi akan
menurunkan kemampuan organ hepatopankreas untuk menjalankan perannya dengan
baik. Lamina basal merupakan pelindung tubul hepatopankreas sehingga kerusakan atau
pelepasan lapisan lamina basal akan meningkatkan kerentanan serangan patogen
terhadap hepatopankreas. Tubul hepatopankreas yang terserang patogen, penebalan
lamina basal merupakan reaksi pertahanan pertama karena penebalan lamina basal
menyebabkan bakteri terkurung di dalam lumen (Jiravanichpaisal, Miyazaki and Limsuwan,
1994). Kegagalan fungsi hepatopankreas dicirikan sel epithelial tubul yang terlepas ke
dalam lumen tubul sebelum ada indikasi agen kausatif (Tran et al., 2013). Dengan demikian
udang putih pada tingkat kepadatan 167 dan 267 ekor/m3 yang menunjukkan lamina basal
yang lebih kompak dan tebal serta tidak terjadi pelepasan sel epitel diyakini memiliki tingkat
kerentanan terhadap gangguan patogen lebih rendah.
Hepatopankreas udang putih yag dipelihara pada salinitas yang mengalami
perubahan menunjukkan tingkat kepadatan 167 ekor/m3 yang dipelihara pada dua
perubahan salinitas yang berbeda menunjukkan histopatologis yang relatif lebih ringan
dibandingkan pada tingkat kepadatan yang tinggi. Perubahan histologis hepatopankreas
yang paling berat ditunjukkan udang yang dipelihara pada tingkat kepadatan 567 ekor/m3
dan salinitas yang semakin meningkat. Perubahan histopatologis yang lebih ringan pada
tingkat kepadatan 167 ekor/m3 mengindikasikan bahwa perubahan salinitas pada tingkat
kepadatan rendah pengaruhnya relatif lebih kecil terhadap jaringan hepatopankreas. Pada
tingkat kepadatan yang sama, yang menunjukkan tingkat perubahan sel yang lebih ringan
pada hepatopankreas udang yang dipelihara pada salinitas yang menurun mengindikasikan
bahwa pengaruh perubahan salinitas yang semakin meningkat relatif lebih besar.
Kerusakan histologis yang paling berat pada tingkat kepadatan 567 ekor/m3 yang dipelihara
pada salinitas yang semakin meningkat mengindikasikan pengaruh kombinasi dua stressor
tersebut relatif lebih besar dibanding kombinasi stressor lainnya. Kuantitas peningkatan
volume sel B yang lebih besar pada udang yang dipelihara pada salinitas rendah
kemungkinan berhubungan dengan fungsi sel B yang merupakan tempat utama sintesis
enzim pencernaan (Caceci et al., 1988, Al-Mohanna and Nott, 1986). Sintesis dan
pelepasan enzim pencernaan dan antioksidan yang lebih tinggi mempercepat mobilisasi
nutrien pada tubul hepatopankreas sehingga suplai energi lebih banyak untuk osmoregulasi
dan adaptasi terhadap stres lingkungan (Li et al., 2008).
Setelah terpapar V. harveyi selama 144 jam, udang putih yang dipelihara pada
salinitas 25‰ yang konstan menunjkkan perubahan histologis paling berat pada tingkat
kepadatan 567 ekor/m3 yang relatif sama pada tingkat kepadatan 467 ekor/m3. Kondisi
histopatologis yang ditunjukkan kedua tingkat kepadatan tersebut relatif lebih berat
43

dibanding pada tingkat kepadatan di bawahnya, khususnya tingkat kepadatan 167 dan 267
ekor/m3. Jaringan histologis hepatopankreas pada tingkat kepadatan 567 ekor/m3
mengalami infiltrasi sel hemosit, nekrosis sel epitelium, tubul terlepas dari lamina basal, dan
perubahan bentuk lumen pada tingkat kategori berat. Dua jenis perubahan yang pertama

Tabel 3. Histopatologi hepatopankreas udang putih P. vannamei yang dipelihara pada


salinitas 25‰ yang konstan dan tingkat kepadatan berbeda

Kepadatan (ekor/m3)
Histopatologi
167 267 367 467 567
Infiltrasi sel hemosit + + ++ ++ ++
Pelepasan sel epitel
-- -- -- + +
(deskuamasi sel)
Nekrosis sel -- + + ++ +++
Tubul lepas dari lamina
-- ++ ++ ++ ++
basal
Peningkatan jumlah dan
++ + ++ ++ ++
ukuran sel B
Erosi mikrovilli -- - ++ ++ ++
Irreguler lumen ++ + + ++ ++
Keterangan:

+++ = Histopatologi berat (> 75%)


++ = Histopatologi sedang (25% - 75%)
+ = Histopatologi ringan (< 25%)
- - = Tidak ada histopatologi (0%)

disebutkan tersebut ditemukan juga pada tingkat kepadatan 467 ekor/m3 dengan kategori
kerusakan yang sama dan kategori kerusakan sedang pada tingkat kepadatan 367 ekor/m3
yang tidak ditemukana pada tingkat kepadatan lainnya atau tingkat kerusakan ringan.
Histopatologi berat berupa infiltrasi sel hemosit dan nekrosis, lamina basal yang terlepas
dari tubul, dan erosi mikrofili pada tingkat kepadatan 567 ekor/m3, hispatologi berat berupa
infiltrasi sel hemosit dan nekrosis sel pada tingkat kepadatan 467 ekor/m3 dan histopatologi
sedang pada tingkat kepadatan 367 mengindikasikan kecenderungan kerusakan yang
bersifat progresif berdasarkan peningkatan kepadatan. Kerusakan yang menunjukkan
peningkatan tersebut disebabkan oleh pengaruh tekanan kepadatan yang menginduksi
terjadinya stres dan bersinergi dengan infeksi bakteri yang menyerang hepatopankreas.
. Udang putih yang dipelihara pada salinitas yang mengalami perubahan selama
pemeliharaan (seri penurunan dan peningkatan salinitas) dan tingkat kepadatan yang
berbeda menunjukkan perubahan histologis setelah 96 jam (pemaparan pada salinitas 20‰
- 5‰ dan 30‰ - 45‰) dan 240 jam setelah infeksi bakteri V. harveyi (salinitas 5‰ dan 45‰)
(Tabel 17). Perubahan histologis hepatopankreas udang pada tingkat kepadatan dan waktu
yang sama menunjukkan tingkat perubahan yang lebih besar pada udang yang dipelihara
pada media yang salinitasnya semakin meningkat. Sementara perubahan histologis pada
tingkat kepadatan yang berbeda dan waktu yang sama menunjukkan kecenderungan
perubahan yang lebih besar pada tingkat kepadatan 567 ekor/m3. Pada tingkat kepadatan
yang sama dan waktu yang berbeda, perubahan histologis menunjukkan perkembangan
44

Tabel 4. Histopatologi hepatopankreas udang putih P. vannamei yang dipelihara pada


salinitas yang yang menurun dari 25‰ ke 5‰ atau meningkat dari 25% ke 45‰
dan tingkat kepadatan berbeda

Salinitas menurun Salinitas meningkat


Histopatologi
167 ekor/m3 567 ekor/m3 167 ekor/m3 567 ekor/m3
Infiltrasi sel hemosit ++ ++ ++ ++
Pelepasan sel epitel
+ + + +
(deskuamasi sel)
Nekrosis sel + ++ + ++
Tubul lepas dari lamina basal + + -- +
Peningkatan jumlah dan ukuran
+++ +++ ++ +++
sel B
Erosi mikrovilli + ++ + ++
Irreguler lumen ++ ++ ++ +++
Reduksi lumen ++ ++ + +++
Keterangan:

+++ = Histopatologi berat (> 75%)


++ = Histopatologi sedang (25% - 75%)
+ = Histopatologi ringan (< 25%)
- - = Tidak ada histopatologi (0%)

perubahan yang semakin meningkat pada seri peningkatan salinitas dan relatif rendah pada
seri penurunan salinitas. Perubahan histologis yang ditemukan pada jam ke- 96 dan 240
jam setelah infeksi tersebut mengindikasikan bahwa perubahan patologis hepatopankreas
dalam kondisi ini sudah terjadi sejak jam ke 96 setelah infeksi. Perubahan histologis pada
tingkat kepadatan dan waktu yang sama yang menunjukkan tingkat perubahan yang
lebih besar pada seri percobaan peningkatan salinitas mengindikasikan bahwa kombinasi
tekanan salinitas dan infeksi bakteri lebih tinggi pada salinitas tinggi. Tingkatan kepadatan
567 ekor/m3 yang menunjukkan gejala histopatplogis hepatopankreas yang lebih berat
dibanding tingkat kepadatan 167 ekor/m3 pada waktu yang sama mengindikasikan bahwa
densitas pemeliharaan tinggi memberi pengaruh negatif terhadap stabilitas kondisi
hepatopankreas. Perubahan histolopatologis yang semakin berat setelah 240 jam infeksi
pada tingkat kepadatan yang sama, kecuali tingkat kepadatan 167 ekor/m3 seri penurunan
salinitas, mengindikasikan bahwa gangguan kombinasi kepadatan, salinitas dan infeksi
bakteri bersifat progresif dengan meningkatnya kepadatan. Fakta tersebut menunjukkan
bahwa semakin tinggi salinitas atau semakin jauh dari salinitas iso-osmotik dan kepadatan
tinggi maka pengaruh infeksi bakteri juga semakin meningkat. . Perubahan yang relatif
kecil pada tingkat kepadatan 167 ekor/m3 seri penurunan salinitas mengindikasikan bahwa
udang pada kondisi tersebut cenderung mengalami pemulihan ke kondisi normal yang
dapat disebabkan oleh kemampuan sel-sel fagositik hemosit melakukan perlawanan
terhadap bakteri. Kondisi tersebut mengakibatkan infeksi bakteri dan pengaruh negatifnya
dapat dihambat sehingga tidak menyebabkan kerusakan hepatopankreas yang lebih parah.
45

Kerusakan paling parah yang ditemukan pada tingkat kepadatan dan salinitas tinggi
tersebut adalah infiltrasi sel hemosit, nekrosis sel, erosi mikrofili dan perubahan bentuk
lumen. Infiltrasi hemositik merupakan salah satu respon terhadap berbagai tekanan
lingkungan (Nasci et al., 1999). Perubahan histologis yang ditemukan tersebut dapat
mengakibatkan gangguan fungsi absorbsi, penyimpanan, dan sekretori. Struktur dan fungsi
hepatopankreas P. vannamei yang rusak menyebabkan perubahan dan ketidaktersediaan
material biokimia dan nutrisi di dalam hepatopankreas dan mengakibatkan pertumbuhan
terhambat (Wu and Chen, 2005).

Tabel 5. Histopatologi hepatopankreas udang putih P. vannamei setelah infeksi V. harveyi


yang dipelihara pada salinitas 25‰ yang konstan dan tingkat kepadatan berbeda

Kepadatan (ekor/m3)
Histopatologi
167 267 367 467 567
Infiltrasi sel hemosit + ++ ++ +++ +++
Pelepasan sel epitel
+ + + + +
(deskuamasi sel)
Nekrosis sel + + ++ +++ +++
Tubul lepas dari lamina
+ + + ++ +++
basal
Peningkatan jumlah dan
+ + ++ ++ ++
ukuran sel B
Erosi mikrovilli + + + ++ +++
Irreguler lumen + + + ++ ++
Reduksi lumen + + + + +
Keterangan:

+++ = Histopatologi berat (> 75%)


++ = Histopatologi sedang (25% - 75%)
+ = Histopatologi ringan (< 25%)
- - = Tidak ada histopatologi (0%)

F. Pembahasan Umum
Perubahan salinitas dan kepadatan tinggi dapat menginduksi dan memberi
pengaruh negatif terhadap parameter imun akibat stres yang ditimbulkan sehingga
mereduksi kemampuan imun udang. Gangguan perubahan salinitas dan kepadatan
penebaran dalam pemeliharaan udang diekspresikan dalam perubahan parameter imun
seperti total hemosit, diferensial hemosit, aktifitas fagositosis, dan konsentrasi SOD serta
perubahan histologis organ tubuh yang terlibat dalam proses pengaturan mekanisme
biologis dan fisiologis.
Udang yang dipelihara dalam salinitas iso-osmotik dianggap akan mengeluarkan
energi yang paling rendah dalam pemenuhan kebutuhan aktifitas metabolisme sehingga
mampu tumbuh dengan baik. Menurut Silva et al. (2010), salinitas pada titik iso-osmotik
telah dihubungkan dengan pertumbuhan yang lebih baik pada udang penaeid disebabkan
46

oleh kondisi fisologis yang nyaman dan pengeluaran energi untuk aktifitas osmoregulasi
lebih rendah. Namun demikian, perubahan faktor lain di luar salinitas media pemeliharaan
akan berkontribusi dan memberi tekanan yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan
metabolisme tubuh. Dalam penelitian ini terungkap bahwa kepadatan pemeliharaan udang
dapat menyebabkan gangguan parameter imun. Kepadatan tinggi ditemukan
menyebabkan penurunan total hemosit, persentase sel hialin, persentase sel granulosit dan
aktifitas fagositosis udang putih, khususnya setelah 24 jam terpapar kepadatan, dengan titik
balik perubahan pada tingkat kepadatan 367 ekor/m3. Waktu yang dibutuhkan untuk pulih
atau kembali ke nilai normal parameter imun yang ditemukan relatif lebih lama pada tingkat
kepadatan tinggi. Perubahan histologis hepatopankreas berupa nekrosis dan pelepasan
lamina basal serta erosi microvilli yang ditemukan lebih berat pada tingkat kepadatan 367-
567 ekor/m3 dapat menyebabkan gangguan fungsi bilologis dan fisiologis. Kondisi tersebut
Tabel 6. Histopatologi Hepatopankreas udang putih P. vannamei setelah infeksi V. harveyi
yang dipelihara pada salinitas yang yang menurun dari 25‰ ke 5‰ atau
meningkat dari 25% ke 45‰ dan tingkat kepadatan berbeda

Salinitas menurun Salinitas meningkat


Histopatologi 167 ekor/m3 567 ekor/m3 167 ekor/m3 567 ekor/m3
96 jam 240 jam 96 jam 240 jam 96 jam 240 jam 96 jam 240 jam

Infiltrasi sel hemosit + ++ ++ +++ +++ +++ +++ +++


Pelepasan sel epitel
+ + + + + + + +
(deskuamasi sel)
Nekrosis sel + + +++ ++ ++ ++ +++ +++
Tubul lepas dari lamina
-- -- + + ++ ++ + ++
basal
Peningkatan jumlah dan
++ + ++ + ++ ++ + +
ukuran sel B
Erosi mikrovilli + - ++ ++ + ++ +++ +++
Irreguler lumen + + ++ +++ ++ ++ ++ +++
Reduksi lumen + + + + + + + +
Keterangan:

+++ = Histopatologi berat (> 75%)


++ = Histopatologi sedang (25% - 75%)
+ = Histopatologi ringan (< 25%)
- - = Tidak ada histopatologi (0%)

menurunkan peran organ hepatopankreas yang memiliki fungsi absorbsi, penyimpanan,


dan sekretori. Dengan demikian, udang yang dipelihara pada tingkat kepadatan
pemeliharaan rendah, yang memperlihatkan parameter imun yang relatif stabil dan lebih
cepat pulih atau kembali ke nilai originalnya serta kerusakan histologis yang rendah, dapat
dianggap memiliki kerentanan terhadap patogen lebih rendah.
Perubahan salinitas dan tingkat kepadatan pemeliharaan berbeda menunjukkan
pengaruh yang signifikan terhadap parameter imun, khususnya pada tingkat kepadatan
tinggi dan/atau salinitas yang semakin meningkat memberi pengaruh negatif. Intervensi
47

kepadatan tinggi, baik pada seri penurunan salinitas maupun seri peningkatan salinitas,
menginduksi penurunan total hemosit dan aktifitas fagositosis., peningkatan konsentrasi
enzim antioksidan SOD serta mengakibatkan histopatologis pada jaringan
hepatopankrteas. Kondisi yang berbeda ditunjukkan pada tingkat kepadatan rendah yang
cenderung memperlihatkan total hemosit dan aktifitas fagositosis yang lebih tinggi. Interaksi
perubahan salinitas dan kepadatan tinggi juga memperlihatkan aktifitas fagositosis yang
lebih rendah dan persentase sel hialin yang fluktuatif, sebaliknya interaksi kepadatan
rendah dengan perubahan salinitas aktifitas fagositosisnya relatif lebih tinggi. Fakta
tersebut mengungkapkan bahwa performa imun menurun dengan meningkatnya kepadatan

dan/atau salinitas. Total hemosit yang rendah mengindikasikan rendahnya sel-sel hemosit
beredar dalam hemolimf yang mengisyaratkan bahwa sel-sel yang memiliki peran
pertahanan tubuh dan harus tetap siaga untuk menghadapi serangan patogen relatif
rendah. Sel hialin yang berperan untuk melakukan fagositosis terhadap benda asing yang
masuk dalam tubuh sangat penting untuk senantiasa beredar di dalam hemolimf.
Peningkatan konsentrasi enzim SOD mengindikasikan tingginya radikal bebas yang
diinduksi oleh stres akibat tekanan kepadatan dan salinitas. Radikal bebas dalam jumlah
besar dan tidak bisa diatasi oleh SOD berpeluang untuk menyebabkan terjadinya stres
oksidatif dan kerusakan DNA jaringan. SOD yang berperan untuk mengubah radikal bebas
oksidatif menjadi hidrogen peroksida dan molekul oksigen harus merespon dengan cepat
radikal bebas yang terbentuk untuk menghindari kerusakan DNA jaringan. Perubahan
histologis hepatopankreas merupakan bukti pengaruh negatif tekanan kepadatan tinggi dan
perubahan salinitas. Kerusakan histologis pada tingkat kepadatan rendah yang relatif lebih
ringan dibandingkan pada tingkat kepadatan tinggi mengindikasikan pengaruh yang lebih
besar pada tingkat kepadatan tinggi. Kondisi histopatologis yang lebih ringan ditemukan
pada salinitas yang menurun pada tingkat kepadatan yang sama mengindikasikan
pengaruh perubahan salinitas yang semakin meningkat relatif lebih besar.
Parameter imun udang putih pada salinitas iso-osmotik setelah infeksi V. harveyi
memperlihatkan penurunan seiring dengan peningkatan kepadatan khususnya pada tingkat
kepadatan > 367 ekor mengindikasikan bahwa udang pada kondisi tersebut relatif rentan
terhadap infeksi patogen. Penurunan kapasitas imun dan peningkatan kerentanan tersebut
ditandai dengan penurunan persentase sel hialin, sel semigranulosit dan aktifitas fagositosis
serta peningkatan persentase granulosit. Penurunan sel hialin dan sel semi granulosit serta
aktifitas fagositosis mengindikasikan menurunnya kemampuan fagositosis hemosit
terhadap serangan fatogen dalam hemolimf sehingga berpeluang menyebabkan lolosnya
patogen dari mekanisme pertahanan tersebut. Hal tersebut dapat menyebabkan infeksi
jaringan tubuh yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan jaringan dan gangguan fungsi
metabolisme jaringan. Peningkatan persentase sel granulosit yang berlebihan dapat
menjadi indikasi stres atau terjadinya infeksi sehingga sel-sel tersebut yang menempati
jaringan penghubung akan dilepaskan dan bermigrasi ke sistem sirkulasi atau ke tempat
terjadnya infeksi. Kerusakan sel hepatopankreas setelah infeksi V. harveyi yang meningkat
seiring dengan peningkatan salinitas mengindikasikan bahwa tekanan kepadatan dan
infeksi bakteri meningkatkan kerentanan udang terhadap serangan patogen. Kondisi
histologis jaringan hepatopankreas yang menunjukkan histopatologis sedang hingga berat
pada kepadatan ≥ 367 ekor/m3 mempertegas fakta sebelumnya yang menunjukkan
penurunan kapasitas imun dan kerentanan udang putih terhadap infeksi bakteri pada tingkat
kepadatan tersebut.
48

Kombinasi tekanan salinitas, kepadatan pemeliharaan dan infeksi V. harveyi


menunjukkan pengaruh negatif terhadap parameter imun serta jaringan hepatopankreas
udang. Pengaruh tekanan yang lebih besar ditemukan pada tingkat kepadatan tinggi, baik
pada penurunan maupun peningkatan salinitas pemeliharaan. Pengaruh tekanan tersebut
dapat dilihat dari nilai parameter hemogram (sel hialin, sel semigranulosit, aktifitas
fagositosis yang semakin menurun dan sel granulosit yang semakin meningkat), kecepatan
perubahan dan pemulihan atau kembali ke posisi normal parameter yang dimaksud serta
peningkatan konsentrasi SOD hemolimf. Peningkatan SOD sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya merupakan indikasi peningkatan konsentrasi radikal bebas dalam hemolimf
yang dapat mengakibatkan stres dan kerusakan DNA jaringan. Nilai parameter imun
terendah dan pemulihan kondisi parameter yang lebih lama ditemukan pada tingkat
kepadatan tinggi dan salinitas yang semakin menurun mengindikasikan bahwa dalam
kondisi tersebut kapasitas imun lebih rendah dibanding kondisi lain. Kapasitas imun
tertinggi ditunjukkan pada tingkat kepadatan rendah dan salinitas menurun yang memiliki
nilai parameter imun tinggi dan kecepatan pemulihan yang lebih cepat.
Konfirmasi kondisi histologis jaringan hepatopankreas menunjukkan perubahan
histologis yang lebih berat pada tingkat kepadatan dan waktu yang sama pada seri
peningkatan salinitas mengindikasikan tekanan salinitas dan infeksi bakteri lebih tinggi pada
salinitas tinggi. Kondisi yang sama ditemukan pada tingkat kepadatan tinggi, kerusakan
histopatologi lebih berat ditemukan pada seri peningkatan salinitas. Fakta tersebut
menunjukkan bahwa udang yang dipelihara pada tingkat kepadatan tinggi, baik pada
salinitas yang semakin menurun maupun pada salinitas semakin meningkat, lebih rentan
terhadap infeksi patogen, dan dengan tingkat kerentanan lebih tinggi pada salinitas yang
semakin meningkat. Fakta perubahan histologis ini juga mengkonfirmasikan bahwa udang
yang dipelihara pada kepadatan rendah, baik pada salinitas yang semakin menurun
maupun pada salinitas semakin meningkat, tingkat kerentannya terhadap infeksi patogen
lebih rendah, dengan tingkat kerentanan lebih tinggi pada salinitas yang semakin
meningkat.
Fakta-fakta ilmiah yang terungkap pada penelitian ini menunjukkan bahwa
kepadatan tinggi dan/atau salinitas tinggi berpotensi menginduksi stres yang menyebabkan
penurunan kapasitas imun dan akhirnya meningkatkan kerentanan terhadap patogen.
Informasi lain yang terungkap dalam penelitian ini menunjukkan hemogram (total hemosit,
sel hialin, sel semigranulosit, sel granulosit dan aktifitas fagositosis) dan histopatologi
hepatopankreas sebaiknya digunakan bersama-sama untuk saling mengkonfirmasi dalam
menegakkan diagnosa perubahan respon imun dan kerentanan. Perubahan parameter
hemosit yang fluktuatif khususnya total hemosit dan diferensial hemosit akibat tekanan
lingkungan, yang dapat berubah drastis, tidak serta merta dapat menunjukkan kapasitas
imun udang. Dalam hal ini diagnosa yang dilakukan harus dikonfirmasi dengan parameter
lainnya, khususnya aktifitas fagositosis dan histopatologi hepatopankreas. Aktifitas
fagositosis dapat menggambarkan kemampuan hemosit untuk melawan patogen atau
bahan asing yang masuk ke dalam tubuh, sementara histologi jaringan hepatopankreas
mengkonfirmasi kerusakan yang terjadi akibat adanya tekanan.
Analisa kapasitas imun dalam praktek budidaya sangat penting dilakukan untuk
memastikan keamanan dan kenyamanan organisme yang dibudidayakan. Organisme
yang dipelihara dalam kondisi tertekan akan mengalami stres sehingga energi yang
tersedia sebagian besar akan digunakan untuk mengatasi stres. Dengan demikian energi
yang sedianya akan digunakan sebagai energi pertumbuhan akan digunakan untuk
mengantisipasi stres yang timbul sehingga mengakibatkan pertumbuhan organisme
terhambat. Kondisi tersebut akan menyebabkan peningkatan biaya produksi karena input
49

energi yang diberikan tidak memberi output pertumbuhan yang diharapkan seperti dalam
kondisi organisme dalam kondisi yang nyaman dan optimal untuk tumbuh. Hal ini
mengisyaratkan bahwa manajemen stres dalam praktek budidaya harus diterapkan
dengan ketat untuk memastikan kenyamanan organisme budidaya sehingga input energi
dapat dimanfaatkan dengan efektif.

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
1. Respon imun udang putih pada salinitas isosmotik cenderung dengan peningkatan
kepadatan dan tingkat kepadatan ≤ 367 ekor/m3 memberi respon yang lebih baik, pola
perubahan pameter imunnya mengikuti pola kubik dengan bertambahnya waktu dan
waktu penurunan signifikan pada jam ke-24 yang kembali ke nilai normalnya pada jam
ke-96.
2. Respon imun udang putih pada kepadatan tinggi dan salinitas yang berubah lebih
rendah dibanding kepadatan rendah, khususnya pada salinitas yang meningkat, pola
perubahan parameter imun cenderung mengikuti pola kubik dengan bertambahnya
waktu, gangguan parameter imun cenderung lebih cepat dan lebih lama pada tingkat
kepadatan tinggi dan/atau salinitas tinggi yang bahkan tidak kembali ke nilai originalnya,
konsentrasi SOD meningkat secara progresif seiring dengan waktu dan perubahan
salinitas yang semakin jauh dari salinitas isosmotiknya dan SOD lebih tinggi pada
kepadatan rendah dan salinitas yang semakin menurun
3. Kapasitas imun udang putih yang dipelihara pada salinitas isosmotik setelah infeksi V.
harveyi relatif lebih tinggi pada kepadatan rendah dan cenderung menurun secara
progresif dengan meningkatnya kepadatan yang dengan bertambahnya waktu
mengikuti pola polinomial kubik, parameter imun relatif stabil pada tingkat kepadatan ≤
367 ekor/m3 sedang pada tingkat kepadatan > 367 ekor/m3 cenderung menurun pada
jam ke-24 yang kembali ke posisi normal pada jam ke-96, dan kerentanan udang
semakin meningkat dengan meningkatnya kepadatan..
4. Respon imun udang putih yang dipelihara pada salinitas menurun dan/atau kepadatan
rendah setelah infeksi V. harveyi relatif lebih tinggi dan stabil, kepadatan tinggi dan/atau
salinitas tinggi paling besar pengaruhnya dalam menginduksi penurunan nilai
parameter imun dan cenderung membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan
pemulihan kembali ke posisi normal (recovery) yang cenderung mengikuti pola
polinomial berorde tiga hingga lima, konsentrasi SOD hemolimf meningkat secara
progresif dengan meningkatnya waktu infeksi dan lebih tinggi pada seri penurunan
salinitas. Kerentanan udang yang dipelihara pada kepadatan rendah terhadap infeksi
patogen lebih rendah, baik pada salinitas yang semakin menurun maupun pada
salinitas semakin meningkat, dengan tingkat kerentanan lebih tinggi pada salinitas yang
semakin meningkat

B. Saran

1. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa intervensi kepadatan tinggi dan/atau


salinitas, khususnya salinitas tinggi, menginduksi stres yang mengakibatkan penurunan
kapasitas imun sehingga praktisi budidaya udang putih diharapkan melakukan
manajemen stres yang ketat, khususnya terkait dengan densitas pemeliharaan, untuk
menghindari peningkatan input energi yang tidak efisien yang pada akhirnya berdampak
terhadap peningkatan biaya produksi
50

2. Kapasitas imun dan resistensi udang putih terhadap infeksi V. harveyi yang dalam
penelitian ini cenderung menurun pada tingkat kepadatan ≥ 367 ekor/m3 sehingga
disarankan agar tingkat kepadatan dalam budidaya jenis udang ini tidak melebihi
kepadatan tersebut.
3. Perlu penelitian lanjutan untuk mengamati perubahan kapasitas imun udang putih dalam
skala yang lebih besar dan waktu pengamatan yang lebih lama, termasuk pengujian di
sentra budidaya.
4. Perlu penelitian lanjutan untuk mengkaji karakteristik perubahan enzim antioksidan lain
seperti glutathione peroksidase dan katalase yang berperan untuk mereduksi hidrogen
peroksidase yang dihasilkan oleh SOD yang dapat bersifat toksik bila tidak dieliminasi
dalam sistem sirkulasi hemolimf.

DAFTAR PUSTAKA
Agustina, S. (2013) Respon fisiologis sistem osmoregulasi juvenil udang windu Penaeus
monodon Fabr. pada salinitas yang berfluktuasi. Universitas Hasanuddin.
Al-Mohanna, S. and Nott, J. (1986) ‘B-cells and digestion in the hepatopancreas of Penaeus
semisulcatus (Crustacea: Decapoda).’, Journal of the Marine Biological Association
of the United Kingdom, 66, pp. 403–414.
Arnold, S. J., Sellars, M. J., Crocos, P. J. and Coman, G. J. (2006) ‘An evaluation of stocking
density on the intensive production of juvenile brown tiger shrimp (Penaeus
esculentus)’, Aquaculture, 256, pp. 174–179.
Bachère, E. (2003) ‘Anti-infectious immune effectors in marine invertebrates: Potential tools
for disease control in larviculture’, Aquaculture, 227, pp. 427–438.
Bachere, E., Mialhe, E., Noel, D., Boulo, V., Morvan, A. and Rodriguez, J. (1995)
‘Knowledge and research prospects in marine mollusc and crustacean immunology’,
Aquaculture, 132, pp. 17–32.
Ballarin, L., Pampanin, D. M. and Marin, M. G. (2003) ‘Mechanical disturbance affects
haemocyte functionality in the Venus clam Chamelea gallina’, Comparative
Biochemistry and Physiology - A Molecular and Integrative Physiology, 136(3), pp.
631–640.
Barreda, D. R. and Belosevic, M. (2001) ‘Transcriptional regulation of hemopoiesis’,
Developmental and Comparative Immunology, 25, pp. 763–789.
Barton, B. A. and Iwama, G. K. (1991) ‘Physiological changes in fish from stress in
aquaculture with emphasis on the response and effects of of corticosteroids’, Annual
Rev. of Fish Disease, I, pp. 3–26.
Barton, B., Schreck, C. and Barton, L. (1987) ‘Effects of chronic Cortisol administration and
daily acute stress on growth, physiological conditions, and stress responses in
juvenile rainbow trout’, Diseases of Aquatic Organisms, 2, pp. 173–185.
Beckmann, N., Morse, M. P. and Moore, C. M. (1992) ‘Comparative study of phagocytosis
in normal and diseased hemocytes of the bivalve mollusc Mya arenaria’, Journal of
Invertebrate Pathology, 59, pp. 124–132.
51

Bianchini, A. and Monserrat, J. M. (2007) ‘Effects of methyl parathion on Chasmagnathus


granulatus hepatopancreas: Protective role of Sesamol’, Ecotoxicology and
Environmental Safety, 67, pp. 100–108.
Boudet, L. N. C., Polizzi, P., Romero, M. B., Robles, A., Marcovecchio, J. E. and Gerpe, M.
S. (2015) ‘Histopathological and biochemical evidence of hepatopancreatic toxicity
caused by cadmium in white shrimp ...’, Ecotoxicology and Environmental Safety.
Elsevier, 113(December 2014), pp. 231–240.
Boyd, C. E. and Fast, A. W. (1982) ‘Pond monitoring and management’, in Lester, A. F. and
L. (ed.) Marine Shrimp Culture: Prrinciples and Practices. Amsterdam: Elsevier
Science Publisher, pp. 497–513.
Van de Braak, C. B. T., Botterblom, M. H. A., W.Liu, Taverne, N. and Knaap, W. P. W. Van
der (2002) ‘The role of the haematopoietic tissue in haemocyte production and
maturation in the black tiger shrimp ( Penaeus monodon )’, Fish & Shellfish
Immunology, 12, pp. 253–272.
van de Braak, K. (2002) Haemocytic defence in black tiger shrimp (Penaeus monodon).
Wageningen University.
Caceci, T., Neck, K., Lewis, D. and Sis, R. (1988) ‘Ultrastructure of the hepatopancreas of
the Pacific white shrimp, Penaeus vannamei (Crustacea: Decapoda)’, Journal of the
Marine Biological Association of the United Kingdom., 68, pp. 323–337.
Chen, Y. Y., Sim, S. S., Chiew, S. L., Yeh, S. T., Liou, C. H. and Chen, J. C. (2012) ‘Dietary
administration of a Gracilaria tenuistipitata extract produces protective immunity of
white shrimp Litopenaeus vannamei in response to ammonia stress’, Aquaculture.,
370–371, pp. 26–31.
Cheng, S. Y., Hsu, S. W. and Chen, J. C. (2007) ‘Effect of sulfide on the immune response
and susceptibility to Vibrio alginolyticus in the kuruma shrimp Marsupenaeus
japonicus’, Fish and Shellfish Immunology, 22(1), pp. 16–26.
Cheng, W. and Chen, J.-C. (2000) ‘Effects of pH, temperature and salinity on immune
parameters of the freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii’, Fish & Shellfish
Immunology, 10, pp. 387–391.
Cheng, W., Wang, L. and Chen, J. (2005) ‘Effect of water temperature on the immune
response of white shrimp Litopenaeus vannamei to Vibrio alginolyticus’,
Aquaculture, 250, pp. 592–601.
Chien, Y.-H., Pan, C.-H. H. and Hunter, B. (2003) ‘The resistance to ammonia stress of
Penaeus monodon Fabricius juvenile fed diets supplemented with astaxanthin’,
Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 297, pp. 107–118.
Cochennec-Laureau, N., Auffret, M., Renault, T. and Langlade, A. (2003) ‘Changes in
circulating and tissue-infiltrating hemocyte parameters of European flat oysters,
Ostrea edulis, naturally infected with Bonamia ostreae’, Journal of Invertebrate
Pathology, 83, pp. 23–30.
Costa, A. M., Buglione, C. C., Bezerra, F. L., Martins, P. C. C. and Barracco, M. A. (2009)
52

‘Immune assessment of farm-reared Penaeus vannamei shrimp naturally infected


by IMNV in NE Brazil’, Aquaculture. Elsevier B.V., 291, pp. 141–146.
Fang, Y., Yang, H., Wang, T., Liu, B., Zhao, H. and Chen, M. (2010) ‘Metallothionein and
superoxide dismutase responses to sublethal cadmium exposure in the clam Mactra
veneriformis’, Comparative Biochemistry and Physiology - C Toxicology and
Pharmacology. Elsevier Inc., 151, pp. 325–333.
Fisher, W. S. and Newell, R. E. (1986) ‘Salinity effects on the activity of granular hemocytes
of American oysters, Crassostrea virginica’, Biological Bulletin, 170(1), pp. 122–134.
Fisher, W. S. and Tarnplin, M. (1988) ‘Environments Influence on Activities and Foreign-
Particle Binding by Hemocytes of American Oysters, Crassostrea virginica’, Can. J.
Fish. Aqwt. Sci, 45, pp. 1309–1315.
Franceschini-vicentini, I. B., Ribeiro, K. and Moraes-valenti, P. M. C. (2009)
‘Histoarchitectural features of the hepatopancreas of the Amazon river prawn
Macrobrachium amazonicum’, Int. J. Morphol., 27(1), pp. 121–128.
Giulio, T. D. I., Washburn, C., Wenning, R. J., Carolina, N., Winston, G. and Jewell, C.
(1989) ‘Biochemicals responses in aquatic animals: a review of determinants of
oxidative stress’, Environ.Toxicol.Chem., 8, pp. 1103–1123.
Gopalakrishnan, S., Chen, F. Y., Thilagam, H., Qiao, K., Xu, W. F. and Wang, K. J. (2011)
‘Modulation and interaction of immune-associated parameters with antioxidant in the
immunocytes of crab Scylla paramamosain challenged with lipopolysaccharides’,
Evidence-based Complementary and Alternative Medicine, 2011, pp. 1-8.
Hauton, C. and Williams, J. (1995) ‘Circatidal rhythmicity in the activity of phenoloxidase
enzyme in the common shore crab (Carcinus maenas)’, Comp. Biochem. Physiol.,
111B(3), pp. 347–352.
Hose, J. E., Martin, G. G. and Gerard, A. S. (1990) ‘A Decapod Hemocyte Classification
Scheme Integrating Morphology, Cytochemistry, and Function’, Biological Bulletin,
178, pp. 33–45.
Jiravanichpaisal, P., Lee, B. L. and Söderhäll, K. (2006) ‘Cell-mediated immunity in
arthropods: Hematopoiesis, coagulation, melanization and opsonization’,
Immunobiology, 211, pp. 213–236..
Jiravanichpaisal, P., Miyazaki, T. and Limsuwan, C. (1994) ‘Histopathology , Biochemistry ,
and Pathogenicity of Vibrio harveyi Infecting Black Tiger Prawn Penaeus monodon’,
Journal of Aquatic Animal Health, 6, pp. 27–35.
Johansson, M. W., Keyser, P., Sritunyalucksana, K. and Söderhäll, K. (2000) ‘Crustacean
haemocytes and haematopoiesis’, Aquaculture, 191, pp. 45–52.
Johansson, M. W., Lind, M. I., Holmblad, T., Thornqvist, P.-O. and Soderhall, K. (1995)
‘Peroxinectin, a novel cell adhesion protein from crayfish blood’, Biochmeical and
Bophysical Research Communications, 216(3), pp. 1079–1087.
Johansson, M. W. and Soderhall, K. (1988) ‘Isolation and Purification of a Cell Adhesion
Factor from Crayfish Blood Cells’, The Journal of Cell Biology, 106, pp. 1795–1803.
53

Jussila, J., Jago, J., Tsvetnenko, E., Dunstan, B. and Evans, L. H. (1997) ‘Total and
differential haemocyte counts in western rock lobsters (Panulirus cygnus George)
under post-harvest stress’, Marine and Freshwater Research, 48, pp. 863–867.
Jussila, J., McBride, S., Jago, J. and Evans, L. H. (2001) ‘Hemolymph clotting time as an
indicator of stress in western rock lobster Panulirus cygnus’, Aquaculture, 199, pp.
185–193.
Krummenauer, D., Peixoto, S., Cavalli, R. O., Poersch, L. H. and Wasielesky, W. (2011)
‘Superintensive culture of white shrimp, Litopenaeus vannamei, in a biofloc
technology system in Southern Brazil at different stocking densities’, Journal of the
World Aquaculture Society, 42(5), pp. 726–733.
Kumar, S. P., Musthafa, M. S., Sharada, A. and Daniel, G. S. (2010) ‘Histological changes
in the hepatopancreas of tiger shrimp, Penaeus monodon exposed to sublethal
concentration of lead nitrate’, Journal of Basic & Applied Biology, 4(1 & 2), pp. 120–
124.
Li, C. C., Yeh, S. T. and Chen, J. C. (2010) ‘Innate immunity of the white shrimp Litopenaeus
vannamei weakened by the combination of a Vibrio alginolyticus injection and low-
salinity stress’, Fish and Shellfish Immunology. Elsevier Ltd, 28, pp. 121–127.
Li, E., Chen, L., Zeng, C., Yu, N., Xiong, Z., Chen, X., Qin, J. G., Xuefen and Qin, J. G.
(2008) ‘Comparison of digestive and antioxidant enzymes activities, haemolymph
oxyhemocyanin contents and hepatopancreas histology of white shrimp,
Litopenaeus vannamei, at various salinities’, Aquaculture, 274, pp. 80–86.
Lin, X. and Soderhall, I. (2011) ‘Review article Crustacean hematopoiesis and the astakine
cytokines’, Blood, 117(24), pp. 6417–6425.
Lin, Y.-C., Chen, J.-C., Chen, Y.-Y., Yeh, S.-T., Chen, L.-L., Huang, C.-L., Hsieh, J.-F. and
Li, C.-C. (2015) ‘Crowding of white shrimp Litopenaeus vananmei depresses their
immunity to and resistance against Vibrio alginolyticus and white spot syndrome
virus’, Fish & Shellfish Immunology, 45, pp. 104–111.
Liu, C.-H., Tseng, M.-C. and Cheng, W. (2007) ‘Identification and cloning of the antioxidant
enzyme, glutathione peroxidase, of white shrimp, Litopenaeus vannamei, and its
expression following Vibrio alginolyticus infection.’, Fish & shellfish immunology, 23,
pp. 34–45.
Liu, C. and Chen, J. (2004) ‘Effect of ammonia on the immune response of white
shrimpLitopenaeus vannamei and its susceptibility to Vibrio alginolyticus’, Fish &
Shellfish Immunology, 16, pp. 321–334..
Malham, S. K., Lacoste, A., Gélébart, F., Cueff, A. and Poulet, S. A. (2003) ‘Evidence for a
direct link between stress and immunity in the mollusc Haliotis tuberculata.’, Journal
of experimental zoology. Part A, Comparative experimental biology, 295(2), pp.
136–44.
Martin, G. G. and Graves, B. L. (1985) ‘Fine Structure and Classification of Shrimp
Hemocytes’, Journal of Morphology, 185, pp. 339–348.
54

Matozzo, V., Ballari, L., Pampanin, D. M. and Marin, M. G. (2001) ‘Effects of copper and
cadmium exposure on functional responses of hemocytes in the clam, Tapes
philippinarum’, Archives of Environmental Contami- nation and Toxicology, 41, pp.
163–170.
Medvinsky, A. and Dzierzak, E. (1999) ‘Development of the Hematopoietic Stem Cell : Can
We Describe It ?’, Blood, 94, pp. 3613–3614.
Moullac, G. Le and Haffner, P. (2000) ‘Environmental factors affecting immune responses
in Crustacea’, Aquaculture, 191, pp. 121–131.
Munoz, M., Cedeno, R., Rodrıguez, J., P.W Will, van der K., Eric, M. and Bachere, E. (2000)
‘Measurement of reactive oxygen intermediate production in haemocytes of the
penaeid shrimp , Penaeus vannamei’, Aquaculture, 191, pp. 89–107.
Nagesh, T. S., Jayabalan, N., Mohan, C. V, Annappaswamy, T. S. and Anil, T. M. (1999)
‘Survival and histological alterations in juvenile tiger shrimp exposed to saponin’,
Aquaculture International, 7, pp. 159–167.
Nasci, C., Da Ros, L., Campesan, G., Van Vleet, E. S., Salizzato, M., Sperni, L. and Pavoni,
B. (1999) ‘Clam transplantation and stress-related biomarkers as useful tools for
assessing water quality in coastal environments’, Marine Pollution Bulletin, 39(1–
12), pp. 255–260. doi: 10.1016/S0025-326X(99)00094-6.
Omori, S. A., Martin, G. G. and Hose, J. E. (1989) ‘Morphology of hemocyte lysis and clotting
in the ridgeback prawn, Sicyonia ingentis’, Cell And Tissue Research, 255, pp. 117–
123.
Oubella, R., Maes, P., Allam, B., Paillard, C. and Auffret, M. (1996) ‘Selective Induction of
Hemocytic Response in Ruditapes Philippinarum (Bivalvia) By Different Species of
Vibrio (Bacteria)’, Aquatic Living Resources, 9, pp. 137–143.
Oubella, R., Paillard, C., Maes, P. and Auffret, M. (1994) ‘Changes in Hemolymph
Parameters in the Manila Clam Ruditapes-Philippinarum (Mollusca, Bivalvia)
Following Bacterial Challenge’, Journal of Invertebrate Pathology, 64, pp. 33–38.
Pamplona, R. and Costantini, D. (2011) ‘Molecular and structural antioxidant defenses
against oxidative stress in animals’, American Journal of Physiology -Regulatory,
Integrative and Comparative Physiology, 301, pp. 843–863.
Pan, L., Hu, F. and Zheng, D. (2011) ‘Effect of Dopamine Injection on the Hemocyte count
and Prophenoloxidase System of the White Shrimp Litopenaeus vannamei’, Journal
of Ocean University of China, 10, pp. 280–286.
Pei, S., Dong, S., Wang, F., Tian, X. and Gao, Q. (2012) ‘Effects of density on variation in
individual growth and differentiation in endocrine response of Japanese sea
cucumber ( Apostichopus japonicus Selenka )’, Aquaculture, 356–357, pp. 398–403.
doi: 10.1016/j.aquaculture.2012.04.032.
Perazzolo, L. M., Gargioni, R. R., Ogliari, P. and Barracco, M. A. A. A. (2002) ‘Evaluation of
some hemato-immunological parameters in the shrimp Farfantepenaeus paulensis
submitted to environmental and physiological stress’, Aquaculture, 214(1–4), pp.
55

19–33.
Perez, D. G. and Fontanetti, C. S. (2011) ‘Hemocitical responses to environmental stress in
invertebrates: A review’, Environmental Monitoring and Assessment, 177, pp. 437–
447.
Persson, M., Cerenius, L. and Soderhall, K. (1987) ‘The influence of haemocyte number on
the resistance of the freshwater crayfish, Pacifastacus leniusculus Dana, to the
parasitic fungus Aphanomyces astaci’, Journal of Fish Diseases, 10, pp. 471–477.
Pickering, A. D. and Pottinger, T. G. (1989) ‘Stress responses and disease resistance in
salmonid fish: Effects of chronic elevation of plasma cortisol’, Fish Physiology and
Biochemistry, 7(1–4), pp. 253–258. doi: 10.1007/BF00004714.
Pipe, R. K. and Coles, J. A. (1995) ‘Environmental Contaminants Influencing Immune
Function in Marine Bivalve Molluscs’, Fish & Shellfish Immunology, 5, pp. 581–595.
Pipe, R. K. and Coles, J. A. (1995) ‘Environmental Contaminants Influencing Immune
Function in Marine Bivalve Molluscs’, Fish & Shellfish Immunology, 5, pp. 581–595.
Pongsomboon, S., Wongpanya, R., Tang, S., Chalorsrikul, A. and Tassanakajon, A. (2008)
‘Abundantly expressed transcripts in the lymphoid organ of the black tiger shrimp,
Penaeus monodon, and their implication in immune function’, Fish and Shellfish
Immunology, 25, pp. 485–493.
Rasa, T. M., Listianingsih, W. and Palupi, I. . (2013) Lebih Efisien dengan Supra Intensif:
Sistem supra intensif mampu mengatrol produksi udang. Available at:
http://www.agrina-online.com/redesign2.php?rid=7&aid=4617 (Accessed: 1
January 2015).
Reid, D. J. and MacFarlane, G. R. (2003) ‘Potential biomarkers of crude oil exposure in the
gastropod mollusc, Austrocochlea porcata: Laboratory and manipulative field
studies’, Environmental Pollution, 126, pp. 147–155.
Rodrıguez, J., Rodríguez, J. and Le Moullac, G. (2000) ‘State of the art of immunological
tools and health control of penaeid shrimp’, Aquaculture, 191(1–3), pp. 109–119.
Ross, S. W., Dalton, D. A., Kramer, S. and Christensen, B. L. (2001) ‘Physiological
(antioxidant) responses of estuarine fishes to variability in dissolved oxygen’,
Comparative Biochemistry and Physiology - C Toxicology and Pharmacology, 130,
pp. 289–303.
Russo, J., Brehe, M. and Carton, Y. (2001) ‘Haemocyte changes in resistant and susceptible
strains of D . melanogaster caused by virulent and avirulent strains of the parasitic
wasp Leptopilina boulardi’, Journal of Insect Physiology, 47, pp. 167–172.
Saha, S. (2011) ‘Innate Immune Source and Functional Machinery in Decapods of
Crustacea’, Indian Journal of Fundamental and Applied Life Sciences, 1(3), pp. 311–
324.
Sequeira, T., Tavares, D. and Arala-Chaves, M. (1996) ‘Evidence for circulating hemocyte
proliferation in the shrimp Penaeus japonicus’, Developmental and Comparative
Immunology, 20(2), pp. 97–104.
56

Shakir, C., Lipton, A. P., Manilal, A., Sugathan, S. and Selvin, J. (2014) ‘Effect of Stocking
Density on the Survival Rate and Growth Performance in Penaeus monodon’,
Journal of Basic & Applied Sciences, 10, pp. 231–238.
Silva, E., Calazans, N., Soares, M., Soares, R. and Peixoto, S. (2010) ‘Effect of salinity on
survival, growth, food consumption and haemolymph osmolality of the pink shrimp
Farfantepenaeus subtilis (Perez-Farfante, 1967)’, Aquaculture, 306, pp. 352–356.
Smith, V. J. and Johnston, P. A. (1992) ‘Differential haemotoxic effect of PCB congeners in
the common shrimp, Crangon crangon’, Comparative Biochemistry and Physiology.
Part C, Comparative, 101C(3), pp. 641–649.
Smith, V. J. and Söderhäll, K. (1983) ‘Induction of degranulation and lysis of haemocytes in
the freshwater crayfish, Astacus astacus by components of the prophenoloxidase
activating system in vitro’, Cell and Tissue Research, 233, pp. 295–303.
Söderhäll, I., Bangyeekhun, E., Mayo, S. and Söderhäll, K. (2003) ‘Hemocyte production
and maturation in an invertebrate animal; proliferation and gene expression in
hematopoietic stem cells of Pacifastacus leniusculus’, Developmental and
Comparative Immunology, 27, pp. 661–672.
Soderhall, K. and Cerenius, L. (1992) ‘Crustacean immunity’, Annual Review of Fish
Disease, 2, pp. 3–23.
Soderhall, K. and Cerenius, L. (1998) ‘Role of the prophenoloxidase-activating system in
invertebrate immunity’, Current Opinion in Immunology, 10, pp. 23–28.
Soto-Rodriguez, S., Gomez-Gil, B. and Lozano, R. (2010) ‘“Bright-red” syndrome in Pacific
white shrimp Litopenaeus vannamei is caused by Vibrio harveyi’, Diseases of
Aquatic Organisms, 92(1), pp. 11–19.
Soto Rodriguez, S. a., Gomez Gil, B., Lozano, R. and Roque, A. (2010) ‘Density of vibrios
in hemolymph and hepatopancreas of diseased pacific white shrimp, Litopenaeus
vannamei, from Northwestern Mexico’, Journal of the World Aquaculture Society,
41(SUPPL. 1), pp. 76–83.
Thornqvist, P.-O., Johansson, M. W. and Soderhall, K. (1994) ‘Opsonic activity of cell
adhesion proteins and β-1,3-glucan binding proteins from two crustaceans’,
Developmental and Comparative Immunology, 18(1), pp. 3–12.
Tran, L., Nunan, L., Redman, R. M., Mohney, L. L., Pantoja, C. R., Fitzsimmons, K. and
Lightner, D. V. (2013) ‘Determination of the infectious nature of the agent of acute
hepatopancreatic necrosis syndrome affecting penaeid shrimp’, Diseases of Aquatic
Organisms, 105, pp. 45–55.
Victor, B., Narayanan, M. and JonesNelson, D. (1990) ‘Gill pathology and hemocyte
response in mercury exposed Macrobrachium Ž.idae Heller’, J. Environ. Biol., 11,
pp. 61–65.
Wang, L. U. and Chen, J. C. (2005) ‘The immune response of white shrimp Litopenaeus
vannamei and its susceptibility to Vibrio alginolyticus at different salinity levels’, Fish
and Shellfish Immunology, 18, pp. 269–278.
57

Warner, H. R. (1994) ‘Superoxide dismutase, aging, and degenerative disease’, Free


Radical Biology & Medicine, 17(3), pp. 249–258.
Wasielesky, W., Atwood, H., Stokes, A. and Browdy, C. L. (2006) ‘Effect of natural
production in a zero exchange suspended microbial floc based super-intensive
culture system for white shrimp Litopenaeus vannamei’, Aquaculture, 258, pp. 396–
403.
Wu, J. P. and Chen, H. C. (2005) ‘Effects of cadmium and zinc on the growth, food
consumption, and nutritional conditions of the white shrimp, Litopenaeus vannamei
(boone)’, Bulletin of Environmental Contamination and Toxicology, 74(2), pp. 234–
241.
Xian, J., Wang, A., Ye, C., Chen, X. and Wang, W. (2010) ‘Apoptotic cell ratio of haemocytes
from the black tiger shrimp , Penaeus monodon under acute copper stress’,
Comparative Biochemistry and Physiology, Part C, 152, pp. 182–188.
Yu, C.-I. and Song, Y.-L. (2000) ‘Outbreaks of taura syndrome in pacific white shrimp
Penaeus vannamei cultured in Taiwan’, Fish Pathology, 35(1), pp. 21–24.
Zhang, Z. F., Shao, M. and Ho Kang, K. (2006) ‘Classification of haematopoietic cells and
haemocytes in Chinese prawn Fenneropenaeus chinensis’, Fish and Shellfish
Immunology, 21, pp. 159–169.
Zodrow, J. M., Stegeman, J. J. and Tanguay, R. L. (2004) ‘Histological analysis of acute
toxicity of 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD) in zebrafish’, Aquatic
Toxicology, 66, pp. 25–38.
58

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama lengkap : Ir. Arifuddin, M.Si


Tempat dan Tanggal Lahir : Labessi, 14 Pebruari 1968
Jenis kelamin : Pria
Agama : Islam
Alamat Rumah : Perumahan Mitra Mas Blok A No. 14 Mandai
Maros (90552)
Telpon : 0811444277
NIDN : 0014026802
Pangkat/Golongan Terakhir : Pembina/IVb
Jabatan Akademik Terakhir : Lektor Kepala

Nama Orang Tua:


Ayah : Pawi
Ibu : Nurhayati
Jumlah Saudara : 7 (tujuh) orang
Nama Isteri : Herlina, ST
Nama Anak : 1. Alya Sakinah Arif
2. Muhammad Zhafran Iffat Taqy Arif
3. Muhammad Iftikhar Dzaky Arif

PENDIDIKAN
 Magister (S2) : Jurusan Ilmu Perairan IPB, Bogor, 2001-200
 Sarjana (S1) : Jurusan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar,
1987-1992
 SMA : SMUN 1 Watangsoppeng, Soppeng, 1984-1987
 SMP : SMPN 1 Takalala, Soppeng, 1981-1984
 SD : SDN 136 Labessi, Soppeng, 1975-1981

PENGALAMAN KERJA

 Dosen Politeknik Pertanian Negeri Pangkep, 1994-2012


 Sekretaris Jurusan Perikanan Budidaya Politani Negeri Pangkep, 1998-1999
 Kasubag Akademik, kemahasiswaan dan sistem informasi Politani Negeri Pangkep,
1999-2000
 Kepala Pusat Pengembangan Sumberdaya Manusia dan Kerjasama Politani Negeri
Pangkep, 2001
 Ketua Tim Sistem Perencanaan, Penyusunan Program dan Penganggaran (SP4), 2004-
2006
59

 Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Politani Negeri Pangkep,
2004-2006
 Pembantu Direktur II Politani Negeri Pangkep, 2006-20011
 Dosen Luar Biasa Universitas Indonesia Timur, 2015-2016
 Dosen Fakultas Perikanan Universitas Cokroaminoto, 2015-2017

PELATIHAN/MAGANG YANG PERNAH DIIKUTI

 DNA barcode in fish identification, Unhas, Makassar, 2015


 Preparing, writing and publishing article in international journal, Unhas, 2012
 Special Training Program: Biotechnology and Aquaculture, University of the
PhilippinesVisayas, Iloilo Filipina, 2012
 Pelatihan Pengendalian Penyakit pada Pembenihan Udang, IPB, Bogor, 2011
 Pelatihan Applied Approach (AA), Politani Negeri Pangkep, 2010
 Pelatihan Pembenihan dan Pembesaran Udang, BBAP Situbondo, 2009
 Pelatihan Teknik Penyuntingan Artikel Ilmiah, Bogor, 2006
 Rapid Identification of microbe, ITB, Bandung, 2003
 PEKERTI, Universitas Hasanuddin, 1999
 Metodologi Penelitian, Universitas Hasanuddin, 1998
 Bioteknologi I (Kultur jaringan Tanaman), PEDCA, Universitas Pajajaran, 1996
 Workshop Algae dan kultur jaringan serta pemanfaatannya, Universitas Hasanuddin,
1995

PENELITIAN DAN PUBLIKASI ILMIAH

 Alteration of phagocytic activity of white shrimp Litopenaeus vannamei (Boone, 1931)


reared in isosmotic salinity and different density, International Journal of Science: Basic
and Applied Research, 31(3): 84-93
 Immunokompeteni dan resistensi penyakit pada larva ikan nila(Oreochromis niloticus)
melalui transfer maternal dengan suplementasi fukoidan dari ekstrak rumput laut alga
coklat (Sargassum crassifolium), 2013
 Kajian Induksi Kalus Rumput Laut Kappaphycus alvarezii untuk Produksi Embriogenesis
Somatik, 2010
 Biologi Reproduksi Ikan Butini (Glossogobius matanensis) di danau Matano, Danau
Mahalona, dan Danau Towuti, Sulawesi Selatan, 2009
 Strategi reproduksi ikan endemik Telmatheri Bonti di danau Matano, Danau Mahalona,
dan Danau Towuti, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, 2009
 Manfaat Bahan Aktif Hidrokuinon dari Buah Sonneratia caseolaris untuk Mengendalikan
Infeksi Buatan Vibrio harveyi pada Udang Windu, Penaeus monodon Fab., 2004.
 Pengaruh Bahan Aktif Hidrokuinon dari Buah Sonneratia caseolaris terhadap Parameter
Hemolimph Udang Windu, Penaeus monodon Fab., 2004
 Bioenkapsulasi oxytetracycline dalam artemia untuk mengendalikan vibriosis pada udang
windu, Penaeus monodon Fab. Agrokompleks Volume 3 No. 1, 2004
 Efektifitas penggunaan immunostimulant levamisol untuk menanggulangi vibriosis pada
larva udang, Penaeus monodon Fab. Tidak dipublikasikan, 2001
 Penumbuhan Chaetoceros sp. dengan warna cahaya biru dan photoperiod yang
berbeda, Lutjanus, Volume 6 No. 1, 2001
60

 Pengembangbiakan ikan hias pelangi Sulawesi, Telmatherina ladigesi. Tidak


dipublikasikan, 2000
 Kultur Chaetoceros sp. dengan warna cahaya berbeda. Lutjanus, Volume 11, 1998
 Penggunaan Epysin untuk menanggulangi penyakit vibriosis pada larva udang windu,
Penaeus monodon Fab. Tidak dipublikasikan, 1997
 Pengaruh beberapa desinfektan terhadap daya tetas telur ikan mas, Cyprinus carpio L.
Lutjanus, Volume 2, 1995.

Makassar, 28 Juli 2017

Arifuddin

Anda mungkin juga menyukai