Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan agama Hindu-Budha tidak dapat lepas dari peradaban
lembah Sungai Indus, di India. Di Indialah mulai tumbuh dan berkembang agama
dan budaya Hindu dan Budha. Agama Hindu tumbuh bersamaan dengan
kedatangan bangsa Aria (kulit putih, badan tinggi, hidung mancung) ke
Mohenjodaro dan Harappa (Peradaban Lembah Sungai Indus) melalui
celah Kaiber (Kaiber Pass) pada 2000-1500 SM dan mendesak
bangsa Dravida (berhidung pesek, kulit gelap) dan bangsa Munda sebagai suku
bangsa asli yang telah mendiami daerah tersebut. Bangsa Dravida disebut
juga Anasah yang berarti berhidung pesek dan Dasa yang berarti raksasa. Bangsa
Aria sendiri termasuk dalam ras Indo Jerman. Awalnya bangsa Aria
bermatapencaharian sebagai peternak kemudian setelah menetap mereka hidup
bercocok tanam. Bangsa Aria merasa ras mereka yang tertinggi sehingga tidak
mau bercampur dengan bangsa Dravida. Sehingga bangsa Dravida menyingkir ke
selatan Pegunungan Vindhya.
Orang Aria mempunyai kepercayaan untuk memuja banyak Dewa
(Polytheisme), dan kepercayaan bangsa Aria tersebut berbaur dengan kepercayaan
asli bangsa Dravida yang masih memuja roh nenek moyang. Berkembanglah
Agama Hindu yang merupakan sinkretisme (percampuran) antara kebudayaan dan
kepercayaan bangsa Aria dan bangsa Dravida. Terjadi perpaduan antara budaya
Arya dan Dravida yang disebut Kebudayaan Hindu (Hinduisme). Istilah Hindu
diperoleh dari nama daerah asal penyebaran agama Hindu yaitu di Lembah
Sungai Indus/ Sungai Shindu/ Hindustan sehingga disebut kebudayaan Hindu
yang selanjutnya menjadi agama Hindu. Daerah perkembangan pertama agama
Hindu adalah di lembah Sungai Gangga, yang disebut Aryavarta (Negeri bangsa
Arya) dan Hindustan (tanah milik bangsa Hindu).
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Agama Hindu di Kalimantan Timur


Kerajaan Kutai terletak di Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai
Mahakam pada awal abad ke 4 masehi. Berdasarkan sumber sumber peninggalan
yang ada menyatakan bahwa di Kalimantan Timur telah bediri dan berkembang
serta mendapat pengaruh Hindu(india) denggan ditemukannya tujuh buah Yupa.
Yupa adalah tiang batu tertulis yang berisi tulisan Pallawa dengan bahasa
Sansekerta, tiang batu tersebut dipergunakan untuk mengikat hewan kurban yang
dipakai persembahan oleh rakyat kepada para dewa. Sejak muncul dan
berkembangnya pengaruh Hindu di Kalimantan Timur terjadi banyak perubahan
dalam tata pemerintahan, yaitu dari kepala suku menjadi kerajaan yang dipimpin
oleh raja sebagai kepala pemerintahaan.
Raja Raja yang Memerintah Kerajaan Kutai
1. Kudungga
Raja pertama yang berkuasa di Kerajaan Kutai adalah Kudungga, para ahli
berpendapat bahwa pada masa pemerintahan Raja Kudunga pengaruh hindu baru
masuk ke wilayahnya. Kedudukan Raja Kudungga pada awalnya adalah seorang
kepala suku. Dengan masuknya pengaruh Hindu, ia mengubah struktur
pemerintahanya menjadi Kerajaan dan mengangkat dirnya menjadi raja, sehingga
ergantian raja dilakukan secara turun temurun.
2. Aswawarman
Setelah Raja kudunga wafat, ia digantikan oleh putranya yang bernama
Aswawarman. Raja Aswawarman mendapat sebutan wamsakarta artinya
pembentuk keluarga atau pendiri keluarga raja (Dinasti). Dari yupa diketahui
bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa
keemasan. Hal ini dibuktikan dengan diadakanya upacara Asmawedha. Wilayah
kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai
hidup sejahtera dan makmur.
3. Mulawarman
Mulawarman adalah raja yang paling terkenal, anak dari Aswawarman dan
cucu dari Kudungga. Agama yang dianut adalah Hindu (Siva) hal itu terdapat
dalam salah satu dari tujuh buah yupa yang menyebutkan ”Waprakeswara”.
Menuut para ahli, Waprakeswara mengandung arti sebuah lapangan yang luas
sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa. Sehingga sudah dapat dipastikan bahwa
masyarakat Kutai memeluk agama Hindu(Siva) dengan alas an sebagai berikut:
· Besarnya pengaruh Kerajaan Pallawaa yang beragama Hindu Siwa
menyebabkan agama Hindu Siwa(Siwaisto) terkenal di Kutai.
· Peranan kaum Brahmana dalam agama Siva terutama mengenai upacara
agama.

Peninggalan Peninggalan Kerajaan Kutai


Peninggalan-peninggalan kerajaan kutai yaitu: 7 buah Yupa yang bertuliskan
huruf Pallawa deengan bahasa Sansekerta, ketujuh Yupa itu tidak ada penjelasan
mesing masing dari nama Yupa itu. Waprakeswara merupakan bagian dari yupa
yang berarti sebuah lapangan luas untuk pemujaan Dewa Siwa. Disamping itu
juga ditemukan arca arca Agama Hindu seperti arca Siwa dan Ganesha dalam
Goa Kombeng di pedalaman Kutai.

Gambar. Prasasti Yupa


2.2 Perkembangan Agama Hindu di Jawa Barat
Drs. R. Soekmono dalam bukunya Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia
menyatakan di sekitar tahun 400-500 Masehi di Jawa Barat terdapat suatu
kerajaan yang bernama Kerajaan Taruma Negara, yang memerintah pada kerajaan
itu adalah “Punawarman”.
Peningalan-peninggalannya :
Kerajaan Taruma Negara meninggalkan banyak prasasti, diantaranya
prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Pasir Awi, dan Tugu. Prasasti-prasasti itu
kebanyakan ditulis dengan mempergunakan huruf Pallawa dan berbahasa
Sansekerta yang digubah dalam bentuk syair. Dalam prasasti Ciaruteun terdapat
lukisan dua telapak kaki Sang Punawarman yang disamakan dengan tapak kaki
dewa Wisnu.
Hal ini menegaskan bahwa Raja Punawarman adalah penganut Hindu yang
menonjolkan Wisnu, manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi
memberikan kemakmuran. Pada Prasasti Kebon Kopi terdapat gambaran tapak
kaki gajah dari sang raja yang dikatakan sebagai tapak kaki Airawata (gajah
Indra). Keterangan dalam prasasti Tugu mendukung pendapat ini, yang
menyatakan bahwa raja Punawarman dalam tahun yang ke-22 pemerintahannya
menggali sungai Gomati yang panjangnya 6122 busur (kurang lebih 12 KM)
dalam waktu 21 hari, bertempat di samping sungai yang telah ada yaitu sungai
Candra Bhaga (kali Bekasi). Pekerjaan ini ditutup dengan menghadirkan berupa
1000 ekor lembu kepada para brahmana. Penemuan arca perunggu yang memakai
atribut Wisnu dalam penggalian di Cibuaya, diperkirakan dibuat pada zaman
pemerintahan raja Punawarman. Hal ini memperkuat lagi pendapat bahwa raja
Punawarman adalah penganut Hindu yang menonjolkan Wisnu dalam pemujaan.

Gambar. Prasasti Ciaruteun Gambar. Prasasti Kebon Kopi


Gambar. Prasasti Pasir Awi Gambar. Prasasti Tugu

2.3 Perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah


Keberadaan pengaruh Agama Hindu di Jawa Tengah dapat diketahui
melalui bukti-bukti peninggalan sejarah berupa prasasti. Di Jawa Tengah tepatnya
di lereng Gunng Merbabu, sebelah barat Desa Dakawu Kewedanaan Grebeng
diketemukan sebuah prasasti yang diberi nama Prasasti Tukmas. Prasasti Tukmas
ditulis dengan menggunakan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Dilihat dari
tipe tulisannya Prasasti Tukmas yang ditulis dengan huruf Pallawa berasal dari
tahun 650 Masehi. Di dalam Prasasti tersebut terdapat gambar-gambar atribut
Dewa Tri Murti seperti Tri Cula yang melambangkan dewa Siwa, Kendi sebagai
lambang Dewa Brahma dan Cakra yang melambangkan dewa Wisnu.

Gambar. Prasasti Tuk Mas

2.4 Perkembangan Agama Hindu di Jawa Timur


Awal perkembangan Agama Hindu di Jawa Timur dimulai dari Kota
Malang Jawa Timur dengan diketemukannya sebuah Prasasti yang
bernama Prasasti Dinoyo. Prasasti Dinoyo bertuliskan angka tahun 760
Masehi. Isi Prasasti Dinoyo adalah:
1. Terdapat kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan dengan rajanya
bernama Dewa Simha, Dewa Simha adalah Raja yang menganut agama
Hindu dengan memusatkan pemujaan kepada Dewa Siwa.
2. Tentang pembuatan arca Maharsi Agastya yaitu sebuah arca yang berwujud
Resi Agastya sebagai penghormatan atas jasanya menyebarkan dan
mengajarkan Agama Hindu dari India ke Indonesia ( Nusantara ).
Dewa Simha berputra seorang yang
bernama Liswa. Setelah dilantik menjadi raja, Liswa
bergelar Gajayana. Liswa mempunyai seorang putri
yang bernama Uttejana. Raja Gajayana mendirikan
sebuah tempat pemujaan untuk Rsi Agastya yang
terbuat dari kayu cendana kemudian diganti dengan
arca dari Batu Hitam. Arca Agastya diresmikan
tahun 760 Masehi.
Stelah Raja Dewa Simha yang menganut
agama Hindu, perkembangan Agama Hindu selanjutnya di Jawa Timur disusul
dengan munculnya Dinasti Isana Wamsa. Yang menjadi pendiri adalah Empu
Sendok. Empu Sendok sangat memuliakan Dewa Siwa. Mpu Sendok memerintah
pada tahun 929-974 Masehi dengan gelar “Sri Isana Tunggadewa Wijaya”
Raja Darmawangsa Teguh dalam masa pemerintahannya sangat
memperhatikan perkembangan karya-karya sastra. Pada masa pemerintahan
Darmawangsa Teguh, karya sastra besar dari India
yaitu Ramayana dan Mahabharata dikaji oleh ahli-ahli sastra (pengawi) di
Indonesia selanjutnya digubah dari yang dahulunya berbahasa Sanskerta digubah
menggunakan Bahasa Jawa Kuno. Yang memprakarsai kegiatan menggubah karya
sastra hasil karya Bhagawan Byasa menjadi karya yang berbahasa Jawa Kuno
diistilahkan dengan “ Mangjawaken Byasa Katha” yang artinya mermbahasa
Jawakan karya-karya Bhagawan Byasa dan karya Bhagawan Walmiki yang
dulunya berbahasa Sanskerta.
Setelah Raja Darmawangsa Teguh berkuasa dilanjutkan lagi
perkembangan agama Hindu di Jawa Timur dengan munculnya Prabhu
Airlangga. Pada masa pemerintahan Prabhu Airlangga di Jawa Timur selalu
memberikan kemakmuran kepada dunia. Atas jasa yang dilakukan oleh Prabhu
Airlangga maka Prabhu Airlangga diarcakan (dibuatkan arca yang
menggambarkan Prabhu Airlangga) dalam wujud Garuda Wisnu yaitu Wisnu
mengendarai Garuda.
Pada masa kerajaan Kediri yang juga menganut agama Hindu, banyak
muncul karya sastra pada masa itu. Pengawi/pengarang yang sangat terkenal pada
masa jayanya Kerajaan Kediri adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh yang
mengarang karya besar yang berjudul Kakawin Bharatayudha.
Setelah Kerajaan Kediri runtuh, muncul lagi Kerajaan yang bercorak
Hindu adalah Kerajaan Singosari pada tahun 1222 Masehi. Kerajaan Singosari
didirikan oleh Ken Arok. Ken Arok sebagai Raja di Kerajaan Singosari pada masa
pemerintahannya didampingi oleh para Purohita. Purohitaberarti pendeta
penasehat Raja.
Pada jaman Kerajaan Singosari banyak dibangun bangunan suci Hindu
berupa candi seperti:
a. Candi Kidal,
b. Candi Jago, dan
c. Candi Singosari.
Setelah runtuhnya Kerajaan Singosari, pada tahun 1293
muncullah kerajaan Majapahit. Pada jaman Kerajaan Majapahit, kehidupan
beragama Hindu sangat mantap berkat pembinaan dari pendeta yang
mendampingi raja dalam menjalankan pemerintahan. Masa kejayaan Kerajaan
Majapahit yakni pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Pada masa itu
wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit mencakup seluruh Nusantara bahkan
sampai ke Brunei Darussalam, Serawak, Kamboja danMalaysya. Raja Hayam
Wuruk pada masa pemerintahannya didampingi oleh Maha Patih Gajah Mada.
Gajah Mada adalah Maha Patih yang gagah berani dan kuat yang terkenal
dengan Sumpah Palapayang bertujuan untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan lain
agar mau tunduk kepada kekuasan Raja Majapahit. Sumpah Palapa dilaksanakan
oleh Gajah Mada selama 21 tahun yakni antara tahun Saka 1258 sampai 1279
Saka.
Hasil dari Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Maha Patih Gajah Mada
terbukti yaitu Bali dapat ditaklukkan pada tahun 1265, Dompu dan Pasunda dapat
ditaklukkan pada tahun 1279 Saka atau 1375 Masehi.
Selain dapat menaklukkan kerajaan-kerajaan di Nusantara bahkan sampai
ke Malaysya, Singapura, pada masa kejayaan Raja Hayam Wuruk banyak karya
sastra Hindu yang fundamental digubah pada masa itu, misalnya:
a. Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular,
b. Kakawin Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa,
c. Kitab Nagara Kertagama karya Mpu Prapanca, dan
d. Didirikannya Candi Besar yaitu Candi Penataran di Blitar.

2.5 Perkembangan Agama Hindu di Bali


Kedatangan orang-orang Hindu ke Bali. Pada bulan Maret atau April tahun
250 Masehi sasih ka Sanga tahun 172 Isaka, datanglah serombongan orang Hindu
dari Jawa ke Bali, rombongan itu terdiri dari bangsawan, prajurit, pemuka agama,
pendeta Siwa-Budha, ahli pertukangan dan kesenian, serta rakyat biasa yang
berjumlah kurang lebih 400 orang. Hal itu termuat dalam prasasti yang kini
tersimpan di Pura Puseh Desa Sading Kabupaten Badung. Pemimpin agama itu
terdiri dari: Shri Bayu, Shri Gni Jaya Sakti, Shri Sambu, Shri Brahma, Shri Indra
dan Shri Wisnu.
Sementara yang memimpin rombongan itu ialah Maha Raja Jaya Sakti.
Kedatangan mereka ke Bali, mula-mula menuju sebuah Gunung yang disebut Adri
Karang. Adri berarti gunung dan Karang berarti Batu Karang. Tempat itu terletak
di Bali bagian timur, raja Jaya Sakti akhirnya bertolak kembali ke Jawa, dan
pemimpin rombongan itu diserahkan kepada Shri Bayu yang kemudian bergelar
Prabhu Maharaja Bima. Dibawah Shri Bayulah pemimpin agama menyebarkan
agama di Bali, serta ahli lain mengajarkan kecakapan masing-masing kepada
penduduk Bali Aga. Shri Bayu membuat sebuah pesangrahan di Bantiran
Tabanan, tempat beliau pertama mengajarkan tata susila yang disebut Sila Krama,
ajaran itu melarang penduduk melakukan perkawinan terhadap saudara sepupu,
terutama kepada ibu atau bapak yang melahirkanya. Shri Gni Jaya Sakti membuat
pertapaan di Gunung Lempuyang, yang disebut Karang Asma, Asma berarti
Asrama, perkataan yang lama-kelamaan berubah bunyinya menjadi Karangasem.
Demikian banyaknya pemimpin agama menyebarkan agama di Bali, sehingga
sampai sekarang masih banyak orang Bali Aga yang memeluk agama Bayu,
agama Sambhu, agama Kala, agama Brahma, agama Wisnu, dan agama Indra,
agama Bayu mengajarkan agar penganutnya menyembah Dewa Bintang dan
Dewa Angin, serta waktu meningal mayatnya tidak dikuburkan, melainkan
diletakan di tebing-tebing yang dianggap keramat, agama itu sampai sekarang
masih dianut oleh orang-orang Trunyan Kintamani. Agama Sambhu mengajarkan
agar penganutnya menyembah Dewa yang bersemayam di patung dan arca, serta
pada waktu mangkat mayatnya harus segera dikuburkan, setelah dimandikan
dengan air Petpetan Ketan.
Agama Kala mengajarkan penganutnya agar menyembah segala yang
dianggapnya angker, upacara pada waktu matinya mengunakan Daun Bidara,
mayat harus di buang ke dalam jurang, penganut agama itu masih ada di desa
Sembiran. Agama Brahma mengajarkan pada penganutnya agar menyembah
kepada Dewa Agni, pada waktu mati mayatnya dimandikan dengan daun Delima
dan segera di bakar di kuburan. Agama Wisnu mengajarkan penganutnya agar
menyembah Dewa Hujan, upacara pada waktu matinya mempergunakan air bunga
atau air kumkuman untuk memandikan mayatnya, dan segera dihanyukan ke
dalam sungai. Agama Indra mengajarkan penganutnya menyembah Dewa Gunung
dan Bulan, pada waktu mati mayatnya dimandikan dengan air beras, kemudian
diletakan di tebing sungai, atau di dalam goa, agama ini dianut oleh penduduk
Tenganan Pagringsingan Karangasem.
Kedatangan orang Hindu ke Bali tepat pada sasih ka Sanga, maka perayaan
hari raya Nyepi yang diadakan tiap tahun di Bali, dapat juga diperkirakan untuk
menghormati hari kedatangan leluhur mereka dijaman bahari, keturunan orang
Hindu itulah yang kini di sebut orang-orang Bali Hindu, disamping orang-orang
Bali Aga yang lebih dahulu mendiami pulau Bali. Sesudah kedatangan orang-
orang Hindu, pada sebuah prasasti yang kini tersimpan di Pura Puseh Desa Sading
Badung, tidak terdengar lagi berita tentang Pulau Bali selama kurang lebih 3 abad.
Hal itu mungkin karena orang yang datang pada waktu itu dapat menyesuaikan
dirinya dengan orang-orang Bali Aga, atau mungkin catatan yang dibuat pada
jaman itu belum diketemukan sampai sekarang. Akan tetapi catatan resmi di
negeri Cina menunjukan bahwa pada tahun 518 dan tahun 671 Masehi ada utusan
raja di Bali menghadap kepada raja di Cina, kemungkinan sejak waktu itulah uang
kepeng beredar di Bali, sesudah raja-raja Bali mengadakan hubungan dengan
kerajaan di Cina.
Pengaruh Siwa Buda Meluas di Bali. Di dalam kitab sejarah Sunda, yang
bernama Hikayat parahyangan, menyebutkan antara lain bahwa sebuah kerajaan
kecil di Jawa Tengah yang bernama Kaling, lama kelamaan menjelma menjadi
kerajaan besar. Kerajaan itu kemudian berubah namanya menjadi kerajaan
Mataram, dengan ibu kotanya di Medang, seorang rajanya bernama Sanjaya yang
mampu memperluas kekuasaannya hingga meliputi Nusantara bagian timur,
beliau memuliakan agama Siwa, karenanya banyaklah candi-candi Siwa dibangun
baik di pulau Jawa maupun di pulau Bali. Kebesaran kerajaan di bawah raja
Sanjaya, diabadikan pada sebuah piagam yang terletak di Desa Canggal di
wilayah Kedu di Jawa Tengah. Piagam tersebut ditulis pada sebuah batu besar
yang bertahun saka 654 atau 732 Masehi. Situs Gunung Kawi, Tampaksiring,
Gianyar
Setelah raja Sanjaya mangkat, kerajaan Mataram yang luas itu, dipimpin
oleh salah seorang putranya yang bernama Pacapana, beliau mempergunakan
gelar Rake Panangkaran, serta memuliakan agama Budha Mahayana, sehingga
banyak candi-candi Budha yang beliau dirikan, diantaranya candi Borobudur yang
dibangun kira-kira pada tahun 775 Masehi. Perkembangan agama Siwa-Budha di
Jawa, sangat luas pengaruhnya di Bali, kemungkinan pada waktu itulah banyak
pemuka agama yang disebut Rsi, Muni, Bhiksu, dan sebagainya, datang ke Bali.
Mereka mendirikan tempat pertapaan yang disebut dengan Wihara atau Bihara,
yang hingga kini masih terdapat di daerah Gianyar, yakni di tebing sungai
Pakerisan, yaitu Gunung Kawi terletak disebelah timur desa Tampaksiring,
Kerobokan teletak pada pertemuan batang sungai Kerobokan, Goa Garbha terletak
desebelah timur desa Patemon, dekat Pura Pangukur-ukuran. Di pinggir sungai
Wos yaitu: Goa raksasa terletak dekat Pura Gunung Lebah di sebelah barat desa
Ubud, Jukut Paku terletak diantara desa Nagari dan Singakerta dan Negari teletak
di Nagari. Di pinggir Sungai Kungkang ada Telaga Waja dekat Desa Sapat, lain
dari pada wihara atau bihara seperti tersebut di atas terdapat pula tempat pertapaan
lain yaitu: Goa Gajah di sebelah barat desa Bedulu, Yeh Pulu disebelah selatan
desa Bedulu, Gunung Kawi di sebelah selatan desa Bitra. Di samping wihara yang
merupakan tempat bertapa, juga didekat desa Riang Gede terdapat patilasan
merupakan sebuah candi, petilasan tersebut disebut juga Goa Peminggi, yang
tingginya lebih dari 10 meter, dan bentuknya sama dengan candi Kelebutan, yang
terdapat disebelah barat desa Pejeng. Wihara tersebut dipungsikan sebagai tempat
bertapa Siwa dan yang lainya adalah tempat pertapaan Budha, kedua golongan itu
hidup berdampingan secara rukun, karena mereka percaya dengan adanya
reinkarnasi, yang menyebutkan bahwa hidup itu adalah samsara. Menurut
penelitian para ahli arkeologi, mereka berpendapat bahwa, wihara itu didirikan
didalam abad ke 8.
Pendapat itu diperkuat lagi dengan terdapatnya beratus-ratus benda kuno
disebelah selatan desa Pejeng yang terbuat dari tanah liat, bentuknya bulat kecil
dengan bergaris tengah kurang lebih 2 cm, tiap 2 buah dibalut dengan tanah liat,
bentuknya menyerupai stupa kecil.
Menurut Dr R. Goris, bahasa Sanskerta tersebut berarti
“keadaan tentang sebab-sebab kejadian itu, sudah diterangkan oleh tathagata
(Budha), tuan maha tapa itu juga telah menerangkan juga apa yang harus
diperbuat orang supaya dapat menghilangkan sebab-sebab itu”
Tulisan itu berbentuk mantra dari ajaran Budha yang dapat menolak marabahaya,
benda-benda tersebut diketemukan pada tahun 1925, dan kini sebagian tersimpan
di museum kota Denpasar dan sebagian lagi tersimpan di Pura Penataran Sasih di
desa Pejeng. Rupanya Pejeng pada jaman kuno menjadi pemusatan agama Budha
di Bali. Tulisan yang berbunyi serupa itu, terdapat juga di pintu candi Kalasan di
Jawa Tengah, bertahun Isaka 700 atau 778 Masehi, hal itu memastikan bahwa
didalam abad ke VIII pengaruh Siwa Budha meluas di Bali, merambah jauh ke
pelosok-pelosok daerah, mulai dari daerah pesisir, daerah dataran, hingga daerah
pegunungan yang sulit dijangkau. Faham Siwa Budha yang berkembang ini
membuat beberapa wilayah di Bali tengah semakin berkembang peradabannya,
memuja sudah dilakukan secara terorganisir, dengan dipimpin oleh pemuka
agama, Bersatunya dua faham layaknya seperti badan dengan roh, menjadi dua hal
akan tetapi tidak bisa dipisahkan, mereka memakai simbol-simbol keagamaan dari
kedua faham, Altar, Lingga, Yoni, Arca dewa dan bentuk-bentuk daerah suci yang
dipagar dengan sangat sederhana.
Salah satu peninggalan Agama Hindu di Bali adalaah Pura Goa Gajah.

Gambar. Pura Goa Gajah

Anda mungkin juga menyukai