Perkembangan agama Hindu-Budha tidak dapat lepas dari peradaban lembah Sungai Indus, di India. Di Indialah mulai tumbuh dan berkembang agama dan budaya Hindu dan Budha. Agama Hindu tumbuh bersamaan dengan kedatangan bangsa Aria (kulit putih, badan tinggi, hidung mancung) ke Mohenjodaro dan Harappa (Peradaban Lembah Sungai Indus) melalui celah Kaiber (Kaiber Pass) pada 2000-1500 SM dan mendesak bangsa Dravida (berhidung pesek, kulit gelap) dan bangsa Munda sebagai suku bangsa asli yang telah mendiami daerah tersebut. Bangsa Dravida disebut juga Anasah yang berarti berhidung pesek dan Dasa yang berarti raksasa. Bangsa Aria sendiri termasuk dalam ras Indo Jerman. Awalnya bangsa Aria bermatapencaharian sebagai peternak kemudian setelah menetap mereka hidup bercocok tanam. Bangsa Aria merasa ras mereka yang tertinggi sehingga tidak mau bercampur dengan bangsa Dravida. Sehingga bangsa Dravida menyingkir ke selatan Pegunungan Vindhya. Orang Aria mempunyai kepercayaan untuk memuja banyak Dewa (Polytheisme), dan kepercayaan bangsa Aria tersebut berbaur dengan kepercayaan asli bangsa Dravida yang masih memuja roh nenek moyang. Berkembanglah Agama Hindu yang merupakan sinkretisme (percampuran) antara kebudayaan dan kepercayaan bangsa Aria dan bangsa Dravida. Terjadi perpaduan antara budaya Arya dan Dravida yang disebut Kebudayaan Hindu (Hinduisme). Istilah Hindu diperoleh dari nama daerah asal penyebaran agama Hindu yaitu di Lembah Sungai Indus/ Sungai Shindu/ Hindustan sehingga disebut kebudayaan Hindu yang selanjutnya menjadi agama Hindu. Daerah perkembangan pertama agama Hindu adalah di lembah Sungai Gangga, yang disebut Aryavarta (Negeri bangsa Arya) dan Hindustan (tanah milik bangsa Hindu). BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Agama Hindu di Kalimantan Timur
Kerajaan Kutai terletak di Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam pada awal abad ke 4 masehi. Berdasarkan sumber sumber peninggalan yang ada menyatakan bahwa di Kalimantan Timur telah bediri dan berkembang serta mendapat pengaruh Hindu(india) denggan ditemukannya tujuh buah Yupa. Yupa adalah tiang batu tertulis yang berisi tulisan Pallawa dengan bahasa Sansekerta, tiang batu tersebut dipergunakan untuk mengikat hewan kurban yang dipakai persembahan oleh rakyat kepada para dewa. Sejak muncul dan berkembangnya pengaruh Hindu di Kalimantan Timur terjadi banyak perubahan dalam tata pemerintahan, yaitu dari kepala suku menjadi kerajaan yang dipimpin oleh raja sebagai kepala pemerintahaan. Raja Raja yang Memerintah Kerajaan Kutai 1. Kudungga Raja pertama yang berkuasa di Kerajaan Kutai adalah Kudungga, para ahli berpendapat bahwa pada masa pemerintahan Raja Kudunga pengaruh hindu baru masuk ke wilayahnya. Kedudukan Raja Kudungga pada awalnya adalah seorang kepala suku. Dengan masuknya pengaruh Hindu, ia mengubah struktur pemerintahanya menjadi Kerajaan dan mengangkat dirnya menjadi raja, sehingga ergantian raja dilakukan secara turun temurun. 2. Aswawarman Setelah Raja kudunga wafat, ia digantikan oleh putranya yang bernama Aswawarman. Raja Aswawarman mendapat sebutan wamsakarta artinya pembentuk keluarga atau pendiri keluarga raja (Dinasti). Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Hal ini dibuktikan dengan diadakanya upacara Asmawedha. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur. 3. Mulawarman Mulawarman adalah raja yang paling terkenal, anak dari Aswawarman dan cucu dari Kudungga. Agama yang dianut adalah Hindu (Siva) hal itu terdapat dalam salah satu dari tujuh buah yupa yang menyebutkan ”Waprakeswara”. Menuut para ahli, Waprakeswara mengandung arti sebuah lapangan yang luas sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa. Sehingga sudah dapat dipastikan bahwa masyarakat Kutai memeluk agama Hindu(Siva) dengan alas an sebagai berikut: · Besarnya pengaruh Kerajaan Pallawaa yang beragama Hindu Siwa menyebabkan agama Hindu Siwa(Siwaisto) terkenal di Kutai. · Peranan kaum Brahmana dalam agama Siva terutama mengenai upacara agama.
Peninggalan Peninggalan Kerajaan Kutai
Peninggalan-peninggalan kerajaan kutai yaitu: 7 buah Yupa yang bertuliskan huruf Pallawa deengan bahasa Sansekerta, ketujuh Yupa itu tidak ada penjelasan mesing masing dari nama Yupa itu. Waprakeswara merupakan bagian dari yupa yang berarti sebuah lapangan luas untuk pemujaan Dewa Siwa. Disamping itu juga ditemukan arca arca Agama Hindu seperti arca Siwa dan Ganesha dalam Goa Kombeng di pedalaman Kutai.
Gambar. Prasasti Yupa
2.2 Perkembangan Agama Hindu di Jawa Barat Drs. R. Soekmono dalam bukunya Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia menyatakan di sekitar tahun 400-500 Masehi di Jawa Barat terdapat suatu kerajaan yang bernama Kerajaan Taruma Negara, yang memerintah pada kerajaan itu adalah “Punawarman”. Peningalan-peninggalannya : Kerajaan Taruma Negara meninggalkan banyak prasasti, diantaranya prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Pasir Awi, dan Tugu. Prasasti-prasasti itu kebanyakan ditulis dengan mempergunakan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta yang digubah dalam bentuk syair. Dalam prasasti Ciaruteun terdapat lukisan dua telapak kaki Sang Punawarman yang disamakan dengan tapak kaki dewa Wisnu. Hal ini menegaskan bahwa Raja Punawarman adalah penganut Hindu yang menonjolkan Wisnu, manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi memberikan kemakmuran. Pada Prasasti Kebon Kopi terdapat gambaran tapak kaki gajah dari sang raja yang dikatakan sebagai tapak kaki Airawata (gajah Indra). Keterangan dalam prasasti Tugu mendukung pendapat ini, yang menyatakan bahwa raja Punawarman dalam tahun yang ke-22 pemerintahannya menggali sungai Gomati yang panjangnya 6122 busur (kurang lebih 12 KM) dalam waktu 21 hari, bertempat di samping sungai yang telah ada yaitu sungai Candra Bhaga (kali Bekasi). Pekerjaan ini ditutup dengan menghadirkan berupa 1000 ekor lembu kepada para brahmana. Penemuan arca perunggu yang memakai atribut Wisnu dalam penggalian di Cibuaya, diperkirakan dibuat pada zaman pemerintahan raja Punawarman. Hal ini memperkuat lagi pendapat bahwa raja Punawarman adalah penganut Hindu yang menonjolkan Wisnu dalam pemujaan.
Gambar. Prasasti Ciaruteun Gambar. Prasasti Kebon Kopi
Gambar. Prasasti Pasir Awi Gambar. Prasasti Tugu
2.3 Perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah
Keberadaan pengaruh Agama Hindu di Jawa Tengah dapat diketahui melalui bukti-bukti peninggalan sejarah berupa prasasti. Di Jawa Tengah tepatnya di lereng Gunng Merbabu, sebelah barat Desa Dakawu Kewedanaan Grebeng diketemukan sebuah prasasti yang diberi nama Prasasti Tukmas. Prasasti Tukmas ditulis dengan menggunakan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Dilihat dari tipe tulisannya Prasasti Tukmas yang ditulis dengan huruf Pallawa berasal dari tahun 650 Masehi. Di dalam Prasasti tersebut terdapat gambar-gambar atribut Dewa Tri Murti seperti Tri Cula yang melambangkan dewa Siwa, Kendi sebagai lambang Dewa Brahma dan Cakra yang melambangkan dewa Wisnu.
Gambar. Prasasti Tuk Mas
2.4 Perkembangan Agama Hindu di Jawa Timur
Awal perkembangan Agama Hindu di Jawa Timur dimulai dari Kota Malang Jawa Timur dengan diketemukannya sebuah Prasasti yang bernama Prasasti Dinoyo. Prasasti Dinoyo bertuliskan angka tahun 760 Masehi. Isi Prasasti Dinoyo adalah: 1. Terdapat kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan dengan rajanya bernama Dewa Simha, Dewa Simha adalah Raja yang menganut agama Hindu dengan memusatkan pemujaan kepada Dewa Siwa. 2. Tentang pembuatan arca Maharsi Agastya yaitu sebuah arca yang berwujud Resi Agastya sebagai penghormatan atas jasanya menyebarkan dan mengajarkan Agama Hindu dari India ke Indonesia ( Nusantara ). Dewa Simha berputra seorang yang bernama Liswa. Setelah dilantik menjadi raja, Liswa bergelar Gajayana. Liswa mempunyai seorang putri yang bernama Uttejana. Raja Gajayana mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk Rsi Agastya yang terbuat dari kayu cendana kemudian diganti dengan arca dari Batu Hitam. Arca Agastya diresmikan tahun 760 Masehi. Stelah Raja Dewa Simha yang menganut agama Hindu, perkembangan Agama Hindu selanjutnya di Jawa Timur disusul dengan munculnya Dinasti Isana Wamsa. Yang menjadi pendiri adalah Empu Sendok. Empu Sendok sangat memuliakan Dewa Siwa. Mpu Sendok memerintah pada tahun 929-974 Masehi dengan gelar “Sri Isana Tunggadewa Wijaya” Raja Darmawangsa Teguh dalam masa pemerintahannya sangat memperhatikan perkembangan karya-karya sastra. Pada masa pemerintahan Darmawangsa Teguh, karya sastra besar dari India yaitu Ramayana dan Mahabharata dikaji oleh ahli-ahli sastra (pengawi) di Indonesia selanjutnya digubah dari yang dahulunya berbahasa Sanskerta digubah menggunakan Bahasa Jawa Kuno. Yang memprakarsai kegiatan menggubah karya sastra hasil karya Bhagawan Byasa menjadi karya yang berbahasa Jawa Kuno diistilahkan dengan “ Mangjawaken Byasa Katha” yang artinya mermbahasa Jawakan karya-karya Bhagawan Byasa dan karya Bhagawan Walmiki yang dulunya berbahasa Sanskerta. Setelah Raja Darmawangsa Teguh berkuasa dilanjutkan lagi perkembangan agama Hindu di Jawa Timur dengan munculnya Prabhu Airlangga. Pada masa pemerintahan Prabhu Airlangga di Jawa Timur selalu memberikan kemakmuran kepada dunia. Atas jasa yang dilakukan oleh Prabhu Airlangga maka Prabhu Airlangga diarcakan (dibuatkan arca yang menggambarkan Prabhu Airlangga) dalam wujud Garuda Wisnu yaitu Wisnu mengendarai Garuda. Pada masa kerajaan Kediri yang juga menganut agama Hindu, banyak muncul karya sastra pada masa itu. Pengawi/pengarang yang sangat terkenal pada masa jayanya Kerajaan Kediri adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh yang mengarang karya besar yang berjudul Kakawin Bharatayudha. Setelah Kerajaan Kediri runtuh, muncul lagi Kerajaan yang bercorak Hindu adalah Kerajaan Singosari pada tahun 1222 Masehi. Kerajaan Singosari didirikan oleh Ken Arok. Ken Arok sebagai Raja di Kerajaan Singosari pada masa pemerintahannya didampingi oleh para Purohita. Purohitaberarti pendeta penasehat Raja. Pada jaman Kerajaan Singosari banyak dibangun bangunan suci Hindu berupa candi seperti: a. Candi Kidal, b. Candi Jago, dan c. Candi Singosari. Setelah runtuhnya Kerajaan Singosari, pada tahun 1293 muncullah kerajaan Majapahit. Pada jaman Kerajaan Majapahit, kehidupan beragama Hindu sangat mantap berkat pembinaan dari pendeta yang mendampingi raja dalam menjalankan pemerintahan. Masa kejayaan Kerajaan Majapahit yakni pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Pada masa itu wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit mencakup seluruh Nusantara bahkan sampai ke Brunei Darussalam, Serawak, Kamboja danMalaysya. Raja Hayam Wuruk pada masa pemerintahannya didampingi oleh Maha Patih Gajah Mada. Gajah Mada adalah Maha Patih yang gagah berani dan kuat yang terkenal dengan Sumpah Palapayang bertujuan untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan lain agar mau tunduk kepada kekuasan Raja Majapahit. Sumpah Palapa dilaksanakan oleh Gajah Mada selama 21 tahun yakni antara tahun Saka 1258 sampai 1279 Saka. Hasil dari Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Maha Patih Gajah Mada terbukti yaitu Bali dapat ditaklukkan pada tahun 1265, Dompu dan Pasunda dapat ditaklukkan pada tahun 1279 Saka atau 1375 Masehi. Selain dapat menaklukkan kerajaan-kerajaan di Nusantara bahkan sampai ke Malaysya, Singapura, pada masa kejayaan Raja Hayam Wuruk banyak karya sastra Hindu yang fundamental digubah pada masa itu, misalnya: a. Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular, b. Kakawin Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa, c. Kitab Nagara Kertagama karya Mpu Prapanca, dan d. Didirikannya Candi Besar yaitu Candi Penataran di Blitar.
2.5 Perkembangan Agama Hindu di Bali
Kedatangan orang-orang Hindu ke Bali. Pada bulan Maret atau April tahun 250 Masehi sasih ka Sanga tahun 172 Isaka, datanglah serombongan orang Hindu dari Jawa ke Bali, rombongan itu terdiri dari bangsawan, prajurit, pemuka agama, pendeta Siwa-Budha, ahli pertukangan dan kesenian, serta rakyat biasa yang berjumlah kurang lebih 400 orang. Hal itu termuat dalam prasasti yang kini tersimpan di Pura Puseh Desa Sading Kabupaten Badung. Pemimpin agama itu terdiri dari: Shri Bayu, Shri Gni Jaya Sakti, Shri Sambu, Shri Brahma, Shri Indra dan Shri Wisnu. Sementara yang memimpin rombongan itu ialah Maha Raja Jaya Sakti. Kedatangan mereka ke Bali, mula-mula menuju sebuah Gunung yang disebut Adri Karang. Adri berarti gunung dan Karang berarti Batu Karang. Tempat itu terletak di Bali bagian timur, raja Jaya Sakti akhirnya bertolak kembali ke Jawa, dan pemimpin rombongan itu diserahkan kepada Shri Bayu yang kemudian bergelar Prabhu Maharaja Bima. Dibawah Shri Bayulah pemimpin agama menyebarkan agama di Bali, serta ahli lain mengajarkan kecakapan masing-masing kepada penduduk Bali Aga. Shri Bayu membuat sebuah pesangrahan di Bantiran Tabanan, tempat beliau pertama mengajarkan tata susila yang disebut Sila Krama, ajaran itu melarang penduduk melakukan perkawinan terhadap saudara sepupu, terutama kepada ibu atau bapak yang melahirkanya. Shri Gni Jaya Sakti membuat pertapaan di Gunung Lempuyang, yang disebut Karang Asma, Asma berarti Asrama, perkataan yang lama-kelamaan berubah bunyinya menjadi Karangasem. Demikian banyaknya pemimpin agama menyebarkan agama di Bali, sehingga sampai sekarang masih banyak orang Bali Aga yang memeluk agama Bayu, agama Sambhu, agama Kala, agama Brahma, agama Wisnu, dan agama Indra, agama Bayu mengajarkan agar penganutnya menyembah Dewa Bintang dan Dewa Angin, serta waktu meningal mayatnya tidak dikuburkan, melainkan diletakan di tebing-tebing yang dianggap keramat, agama itu sampai sekarang masih dianut oleh orang-orang Trunyan Kintamani. Agama Sambhu mengajarkan agar penganutnya menyembah Dewa yang bersemayam di patung dan arca, serta pada waktu mangkat mayatnya harus segera dikuburkan, setelah dimandikan dengan air Petpetan Ketan. Agama Kala mengajarkan penganutnya agar menyembah segala yang dianggapnya angker, upacara pada waktu matinya mengunakan Daun Bidara, mayat harus di buang ke dalam jurang, penganut agama itu masih ada di desa Sembiran. Agama Brahma mengajarkan pada penganutnya agar menyembah kepada Dewa Agni, pada waktu mati mayatnya dimandikan dengan daun Delima dan segera di bakar di kuburan. Agama Wisnu mengajarkan penganutnya agar menyembah Dewa Hujan, upacara pada waktu matinya mempergunakan air bunga atau air kumkuman untuk memandikan mayatnya, dan segera dihanyukan ke dalam sungai. Agama Indra mengajarkan penganutnya menyembah Dewa Gunung dan Bulan, pada waktu mati mayatnya dimandikan dengan air beras, kemudian diletakan di tebing sungai, atau di dalam goa, agama ini dianut oleh penduduk Tenganan Pagringsingan Karangasem. Kedatangan orang Hindu ke Bali tepat pada sasih ka Sanga, maka perayaan hari raya Nyepi yang diadakan tiap tahun di Bali, dapat juga diperkirakan untuk menghormati hari kedatangan leluhur mereka dijaman bahari, keturunan orang Hindu itulah yang kini di sebut orang-orang Bali Hindu, disamping orang-orang Bali Aga yang lebih dahulu mendiami pulau Bali. Sesudah kedatangan orang- orang Hindu, pada sebuah prasasti yang kini tersimpan di Pura Puseh Desa Sading Badung, tidak terdengar lagi berita tentang Pulau Bali selama kurang lebih 3 abad. Hal itu mungkin karena orang yang datang pada waktu itu dapat menyesuaikan dirinya dengan orang-orang Bali Aga, atau mungkin catatan yang dibuat pada jaman itu belum diketemukan sampai sekarang. Akan tetapi catatan resmi di negeri Cina menunjukan bahwa pada tahun 518 dan tahun 671 Masehi ada utusan raja di Bali menghadap kepada raja di Cina, kemungkinan sejak waktu itulah uang kepeng beredar di Bali, sesudah raja-raja Bali mengadakan hubungan dengan kerajaan di Cina. Pengaruh Siwa Buda Meluas di Bali. Di dalam kitab sejarah Sunda, yang bernama Hikayat parahyangan, menyebutkan antara lain bahwa sebuah kerajaan kecil di Jawa Tengah yang bernama Kaling, lama kelamaan menjelma menjadi kerajaan besar. Kerajaan itu kemudian berubah namanya menjadi kerajaan Mataram, dengan ibu kotanya di Medang, seorang rajanya bernama Sanjaya yang mampu memperluas kekuasaannya hingga meliputi Nusantara bagian timur, beliau memuliakan agama Siwa, karenanya banyaklah candi-candi Siwa dibangun baik di pulau Jawa maupun di pulau Bali. Kebesaran kerajaan di bawah raja Sanjaya, diabadikan pada sebuah piagam yang terletak di Desa Canggal di wilayah Kedu di Jawa Tengah. Piagam tersebut ditulis pada sebuah batu besar yang bertahun saka 654 atau 732 Masehi. Situs Gunung Kawi, Tampaksiring, Gianyar Setelah raja Sanjaya mangkat, kerajaan Mataram yang luas itu, dipimpin oleh salah seorang putranya yang bernama Pacapana, beliau mempergunakan gelar Rake Panangkaran, serta memuliakan agama Budha Mahayana, sehingga banyak candi-candi Budha yang beliau dirikan, diantaranya candi Borobudur yang dibangun kira-kira pada tahun 775 Masehi. Perkembangan agama Siwa-Budha di Jawa, sangat luas pengaruhnya di Bali, kemungkinan pada waktu itulah banyak pemuka agama yang disebut Rsi, Muni, Bhiksu, dan sebagainya, datang ke Bali. Mereka mendirikan tempat pertapaan yang disebut dengan Wihara atau Bihara, yang hingga kini masih terdapat di daerah Gianyar, yakni di tebing sungai Pakerisan, yaitu Gunung Kawi terletak disebelah timur desa Tampaksiring, Kerobokan teletak pada pertemuan batang sungai Kerobokan, Goa Garbha terletak desebelah timur desa Patemon, dekat Pura Pangukur-ukuran. Di pinggir sungai Wos yaitu: Goa raksasa terletak dekat Pura Gunung Lebah di sebelah barat desa Ubud, Jukut Paku terletak diantara desa Nagari dan Singakerta dan Negari teletak di Nagari. Di pinggir Sungai Kungkang ada Telaga Waja dekat Desa Sapat, lain dari pada wihara atau bihara seperti tersebut di atas terdapat pula tempat pertapaan lain yaitu: Goa Gajah di sebelah barat desa Bedulu, Yeh Pulu disebelah selatan desa Bedulu, Gunung Kawi di sebelah selatan desa Bitra. Di samping wihara yang merupakan tempat bertapa, juga didekat desa Riang Gede terdapat patilasan merupakan sebuah candi, petilasan tersebut disebut juga Goa Peminggi, yang tingginya lebih dari 10 meter, dan bentuknya sama dengan candi Kelebutan, yang terdapat disebelah barat desa Pejeng. Wihara tersebut dipungsikan sebagai tempat bertapa Siwa dan yang lainya adalah tempat pertapaan Budha, kedua golongan itu hidup berdampingan secara rukun, karena mereka percaya dengan adanya reinkarnasi, yang menyebutkan bahwa hidup itu adalah samsara. Menurut penelitian para ahli arkeologi, mereka berpendapat bahwa, wihara itu didirikan didalam abad ke 8. Pendapat itu diperkuat lagi dengan terdapatnya beratus-ratus benda kuno disebelah selatan desa Pejeng yang terbuat dari tanah liat, bentuknya bulat kecil dengan bergaris tengah kurang lebih 2 cm, tiap 2 buah dibalut dengan tanah liat, bentuknya menyerupai stupa kecil. Menurut Dr R. Goris, bahasa Sanskerta tersebut berarti “keadaan tentang sebab-sebab kejadian itu, sudah diterangkan oleh tathagata (Budha), tuan maha tapa itu juga telah menerangkan juga apa yang harus diperbuat orang supaya dapat menghilangkan sebab-sebab itu” Tulisan itu berbentuk mantra dari ajaran Budha yang dapat menolak marabahaya, benda-benda tersebut diketemukan pada tahun 1925, dan kini sebagian tersimpan di museum kota Denpasar dan sebagian lagi tersimpan di Pura Penataran Sasih di desa Pejeng. Rupanya Pejeng pada jaman kuno menjadi pemusatan agama Budha di Bali. Tulisan yang berbunyi serupa itu, terdapat juga di pintu candi Kalasan di Jawa Tengah, bertahun Isaka 700 atau 778 Masehi, hal itu memastikan bahwa didalam abad ke VIII pengaruh Siwa Budha meluas di Bali, merambah jauh ke pelosok-pelosok daerah, mulai dari daerah pesisir, daerah dataran, hingga daerah pegunungan yang sulit dijangkau. Faham Siwa Budha yang berkembang ini membuat beberapa wilayah di Bali tengah semakin berkembang peradabannya, memuja sudah dilakukan secara terorganisir, dengan dipimpin oleh pemuka agama, Bersatunya dua faham layaknya seperti badan dengan roh, menjadi dua hal akan tetapi tidak bisa dipisahkan, mereka memakai simbol-simbol keagamaan dari kedua faham, Altar, Lingga, Yoni, Arca dewa dan bentuk-bentuk daerah suci yang dipagar dengan sangat sederhana. Salah satu peninggalan Agama Hindu di Bali adalaah Pura Goa Gajah.