Anda di halaman 1dari 43

PRESENTASI KASUS

INFARK MIOKARD ST ELEVASI (STEMI)

Disusun Oleh:
Nadia Salsabila
NIM. 20130310038
NIPP. 20174011035

Pembimbing:
dr. Kuadiharto, Sp. PD

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD KOTA SALATIGA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul

INFARK MIOKARD ST ELEVASI (STEMI)

Disusun oleh:
Nama: Nadia Salsabila
No. Mahasiswa: 20130310038

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Senin, 6 November 2017

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Kuadiharto, Sp. PD

i
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S.
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 54 tahun
Alamat : Tegalrejo, Argomulyo
Status nikah : Menikah
Status Asuransi : BPJS
Masuk RS : 16 Oktober 2017
No. CM : 09-10-139108

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Nyeri dada sebelah kiri.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri sejak ± 4 jam
sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk menjalar ke
lengan kiri dengan derajat nyeri yang tidak bisa ditahan oleh pasien. Nyeri mulai
dirasakan saat pasien sedang tidak beraktivitas. Tidak mengeluhkan sesak napas saat
beraktivitas sehari-hari. Pasien juga tidak mengeluhkan mual dan muntah. Pasien
adalah penderita darah tinggi dengan konsumsi obat rutin namun lupa jenis obatnya.
Pasien merasakan keju di sendi-sendi terutama di area bokong dan leher. Pasien juga
mengeluhkan batuk tidak berdahak dan pilek sejak 5 hari SMRS. Pasien mengaku sudah
mengonsumsi demacolin dan amoksisilin dan gejala flu dirasakan membaik. Tidak ada
riwayat alergi obat.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat serangan jantung pada tahun 2010, riwayat
hipoglikemia refrakter. Riwayat batuk lama disangkal oleh pasien.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Kedua orang tua pasien memiliki hipertensi. Tidak ada anggota keluarga yang
mengalami kondisi yang serupa pasien. Riwayat tuberkulosis, diabetes, penyakit
jantung disangkal oleh pasien.

1
e. Riwayat Personal Sosial
Pasien pernah bekerja sebagai pekerja pabrik tapi sekarang pasien sudah tidak
bekerja dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan membantu istri berdagang.
Pasien tinggal dengan istri.
f. Anamnesis sistem
 Kepala dan leher : tidak ada keluhan
 THT : tidak ada keluhan
 Respirasi : batuk tidak berdahak
 Kardiovaskuler : nyeri dada kiri
 Gastrointestinal : tidak ada keluhan
 Perkemihan : tidak ada keluhan
 Reproduksi : tidak ada keluhan
 Kulit dan ekstremitas : tidak ada keluhan

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum Lemah

Kesadaran Compos mentis (E4V5M6)


Tekanan darah = 160/110 mmHg
Nadi = 96 kali/menit, reguler, isi dan tekanan cukup
Respirasi = 26 kali/menit, tipe eupnea
Vital sign
Suhu = 36.50C
SpO2 = 95%
VAS = 9
GDS 240 mg/dL

Kepala dan Leher


Bentuk kepala Normocephali
Wajah Simetris, deformitas (-)
Edema palpebra (-/-)
Mata Conjungtiva anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Inspeksi: bentuk tidak nampak kelainan, deviasi trakea (-)
Leher
Palpasi: trakea teraba di garis tengah, pembesaran limfonodi (-)

2
Thorax
Inspeksi: bentuk thorax simetris pada saat statis dan dinamis, ketertinggalan
gerak (-), pernapasan torakoabdominal, retraksi (-)
Palpasi: pengembangan dada simetris, vocal fremitus simetris, nyeri (-)
Pulmo
Perkusi: pekak di hemithorax dextra bagian atas, sonor (+/+), batas paru-
hepar dalam batas normal
Auskultasi: suara nafas vesikuler +/+, reguler, suara ronkhi -/-, wheezing -/-
Inspeksi: tidak nampak pulsasi di ictus cordis
Palpasi: teraba ictus cordis di sic V linea midclavicularis kiri, diameter 2 cm,
kuat denyut, thrill (-)
Perkusi: batas kanan bawah paru-jantung pada sic V line sternalis kanan,
Cor batas kanan atas paru-jantung pada sic III line sternalis kanan. Batas kiri paru-
jantung pada sic V linea midclavicularis kiri, batas atas kiri paru-jantung pada
sic III linea parasternalis kiri.
Auskultasi: BJ 1 dan BJ 2 reguler, punctum maximum pada sic V linea
midclavicularis kiri, murmur (-), gallop (-), splitting (-)
Abdomen
Inspeksi Simetris, caput medusa (-), tidak nampak distensi
Auskultasi Bising usus (+)
Palpasi Distensi (-), defans muskular (-)
Timpani pada semua lapang perut, shfting dullness (-), liver span lobus dexter
Perkusi 11 cm, lobus sinister 6 cm.
Area traube timpani.
Extremitas
Inspeksi Jaringan nekrosis (-), ulkus (-)
Palpasi Capillary refill time < 2 detik, akral hangat
- -
Edema pitting
- -

IV. ASSESSMENT AWAL


1) Acute Coronary Syndrome
2) Chest pain
3) Hiperpnea
4) Hipertensi derajat II
5) Hiperglikemia

3
6) Myalgia
7) Ischialgia

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium (17/10/2017)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
HEMATOLOGI
Leukosit 7.84 4.5 – 11 103/uL
Eritrosit 4.54 4–5 106/uL
Hemoglobin 14.1 14 – 18 g/dL
Hematokrit 41.1 38.00 – 47.00 %
MCV 90.5 86 – 108 fL
MCH 31.1 28 – 31 pg
MCHC 34.3 30 – 35 g/dL
Trombosit 183 150 – 450 103/uL
HITUNG JENIS
Eosinofil% 0.5 1-6
Basofil% 0.6 0.0-1.0
Limfosit% 27.4 20-45
Monosit% 10.0 2-8
Neutrofil% 61.5 40-75
KIMIA
Glukosa Darah Puasa 277 <100 mg/dL
Glukosa 2 jam PP 251 <140 mg/dL
Ureum 33 10-50 mg/dL
Creatinin 1.0 0.6-1. 1 U/L
SGOT 30 <31 U/L
SGPT 35 <32 U/L
ELEKTROLIT
Natrium 138 135-155 mml/e
Kalium 4.2 3.6-5.5 mml/e
Chlorida 104 95-108 mmol/l
Kalsium 9.5 8.4-10.5 mg/%
Magnesium 2.2 1.70-2.5 /mg/dl

b. Pemeriksaan Laboratorium (19/10/2017)


KIMIA HASIL NILAI RUJUKAN
Kolesterol total 132 <200 mg/dL
Trigliserida 114 <150 mg/dL
HDL 34 >45 mg/dL
LDL 70 <100 mg/dL
Asam urat 3.9 3.4-7.0

c. Pemeriksaan Laboratorium (20/10/2017)


KIMIA HASIL NILAI RUJUKAN
HbA1C 11.3 <6.5 %

4
d. Pemeriksaan Laboratorium Glukosa Darah Sewaktu
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
KIMIA
17-10-2017
GDS <140 mg/dL
j.06.00=251
19-10-2017
GDS <140 mg/dL
j.06.00=175

5
e. Pemeriksaan Elektrokardiogram (16/10/2017)

Interpretasi:
Irama : Sinus Interval PR : 0.20 detik (normal)
Regularitas : Reguler Kompleks QRS : 0.24 detik (memanjang)
Frekuensi : 103 kali/menit Q patologis di lead II, III, aVF
Axis : Left Axis Deviation (-600) LBBB, Poor R wave progression
Zona transisi : V6 (bergeser ke kiri) Segmen ST : ST elevasi di lead V2, V3, V4, V5
Gelombang P : Normal Gelombang T : Normal

Kesimpulan : Sinus Takikardi, AV Blok Derajat I, OMI Inferior, LBBB (diduga onset baru), STEMI Anterolateral
Saran : Periksa enzim jantung (Troponin, CKMB)

6
f. Pemeriksaan Elektrokardiogram (17/10/2017)
Interpretasi
Irama : Sinus
Regularitas : Reguler
Frekuensi : 83 kali/menit
Axis : Left Axis Deviation (-600)
Zona Transisi : V6 (bergeser ke kiri)
Gelombang P : Normal
Interval PR : 0.20 detik (normal)
Kompleks QRS : Q patologis di lead II, III, aVF, V3, V4, V5, V6
Poor R wave progression
Gelombang T : Normal
Kesimpulan : Normal Sinus Rhythm, OMI Anterolateroinferior
Saran : Observasi

7
VI. ASSESSMENT
1) Infark Miokard ST elevasi
2) Sindrom Metabolik
3) Diabetes melitus tipe 2
4) Hipertensi grade II
5) Dislipidemia

VII. PLAN
 Di IGD:
1) O2 3 liter permenit via nasal kanul
2) Infus Ringer Asering 20 tetes permenit
3) Injeksi Ranitidin 2 x 1 ampul intravena (IV)
4) Clopidogrel 1 x 75 mg peroral (PO)
5) ISDN 5 mg 3 x 1 mg Sublingual (SL)
6) Morfin 5 mg diencerkan IV
7) Valsartan 1 x 20 mg PO
 Di Bangsal:
HCU 16/10/2017
1) O2 3 liter permenit via nasal kanul
2) Infus Ringer Laktat 20 tetes permenit
3) Clopidogrel 1 x 75 mg PO
4) Aspilet 1 x 80 mg PO
5) ISDN 1 x 5 mg SL
6) Valsartan 1 x 20 mg
7) Diet TD I DM
HCU 17/10/2017
1) O2 3 liter permenit via nasal kanul
2) Infus Ringer Laktat 20 tetes permenit
3) Clopidogrel 1 x 75 mg PO
4) Aspilet 1 x 80 mg PO
5) ISDN 3 x 5 mg SL
6) Valsartan 1 x 20 mg
7) Diet TD I DM

8
HCU 18/10/2017
1) O2 3 liter permenit via nasal kanul
2) Infus Ringer Laktat 20 tetes permenit
3) Clopidogrel 1 x 75 mg PO
4) Aspilet 1 x 80 mg PO
5) ISDN 3 x 5 mg SL
6) Valsartan 1 x 20 mg
7) Allopurinol 1 x 300 mg
8) Atorvastatin 1 x 10 g
9) Metformin 3 x 500 mg
10) Glimepirid 1 x 2 gram
11) Diet TD II DM
HCU 19/10/2017
1) O2 3 liter permenit via nasal kanul
2) Infus Ringer Laktat 20 tetes permenit
3) Clopidogrel 1 x 75 mg PO
4) Aspilet 1 x 80 mg PO
5) ISDN 3 x 5 mg SL
6) Valsartan 1 x 20 mg
7) Allopurinol 1 x 300 mg
8) Atorvastatin 1 x 10 g
9) Metformin 3 x 500 mg
10) Glimepirid 1 x 2 gram
11) Diet TD II DM, rendah lemak jenuh, rendah purin, 1500 kkal, 60 gram protein
Bangsal 19/10/2017 – 23/10/2017
1) Infus Ringer Laktat 20 tetes permenit
2) Injeksi Lovenox (enoxaparin) 2 x 0.6 mg
3) Injeksi Ranitidin 2 x 1 ampul IV
4) Clopidogrel 1 x 75 mg PO
5) Aspilet 1 x 80 mg PO
6) ISDN 3 x 5 mg SL
7) Valsartan 1 x 80 mg PO
8) Allopurinol 1 x 300 mg PO
9) Atorvastatin 1 x 10 g PO

9
10) Metformin 3 x 500 mg PO
11) Glimepirid 1 x 2 gram PO
Saran:
 Konsultasi dokter spesialis jantung dan pembuluh darah
 Konsultasi untuk CABG

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ACUTE CORONARY SYNDROME


a. Definisi
Acute coronary syndrome (ACS) atau sindrom koroner akut merupakan suatu istilah
yang mengambarkan gejala dan tanda klinis iskemia pada miokardium serta mencakup
spektrum klinis berupa angina tidak stabil (unstable angina/UA), infark miokard non-ST
elevasi (non-ST elevation myocardial infarction/NSTEMI), dan infark miokard ST-elevasi
(ST-elevation myocardial infarction/STEMI) (Overbaugh, 2009; Rhee, 2011).

b. Epidemiologi
ACS menjadi salah satu kondisi medis yang mengancam jiwa. Di Amerika, sebanyak
lebih dari 1,4 juta pasien dilarikan ke rumah sakit karena ACS dan 38% diantaranya
meninggal (Rhee, 2011).
Di Indonesia, berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi ACS pada tahun 2013 sebesar
0,5% atau 883.447 orang. Sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 1,5%
atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang. Dari jumlah ini, estisasi jumlah penderita ACS
terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat yakni 160.812 orang (0,5%) (Kemenkes RI,
2014).

c. Etiologi, Faktor Risiko, dan Patogenesis


Hampir 90% kejadian ACS timbul akibat gangguan pada plak aterosklerotik yang
diikuti dengan agregasi trombosit dan pembentukan trombus intrakoroner. Selanjutnya
trombus dapat mengoklusi pembuluh darah koroner dan menyebabkan ketidakseimbangan
antara suplai oksigen koroner dan kebutuhan oksigen jantung (Rhee, 2011).
Terdapat dua faktor risiko utama sindrom koroner akut:
1) Faktor yang tidak dapat diubah (nonmodifiable)
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Riwayat penyakit jantung dalam keluargan
2) Faktor yang dapat diubah (modifiable)
a. Hipertensi
b. Dislipidemia

11
c. Merokok
d. Obesitas
e. Diabetes mellitus
f. Hiperurisemia
g. Gaya hidup sedenter (Huma, 2012).

Atherosklerosis

Ruptur plak Disfungsi endotel

Perdarahan Pengeluaran Terpaparnya Aliran ↓ efek ↓ efek


intraplak tissue factor kolagen darah vasodilator antitrombotik
subendotel turbulen

Aktivasi
↓ diameter Aktivasi dan Vasokonstriks
lumen vasa kaskade agregasi i
koagulasi trombosit

Trombosis koroner

Sumber: Rhee, 2011


Spektrum klinis ACS yang terjadi akan bergantung pada derajat obstruksi koroner dan
iskemia yang terjadi (Rhee, 2011).
Trombus yang mengoklusi secara parsial adalah kausa yang berkaitan dengan sindrom
UA dan NSTEMI. Jika trombus dapat mengobstruksi arteri koronaria secara total maka
iskemia yang terjadi semakin berat dan lebih banyak jaringan yang mengalami nekrosis
sehingga dimanifestasikan sebagai STEMI (Overbaugh, 2009; Rhee, 2011).

d. Patofisiologi
Pada kondisi ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokardium maka
miosit-miosit akan mengalami perubahan jalur metabolik dari aerobik menjadi anaerobik.
Pengurangan hasil ATP pada metabolisme anaerobik akan mengganggu interaksi protein
dan menyebabkan penurunan kontraksi sistolik dan relaksasi diastolik ventrikel.

12
Peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri yang terjadi terus menerus akan merambat ke
pembuluh darah pulmoner yang dapat menyebabkan kongesti pulmoner ditandai dengan
munculnya gejala sesak napas (dispnea). Produk metabolit seperti laktat, serotonin, dan
adenosin akan menumpuk secara lokal dan dapat mengaktifkan reseptor nyeri perifer di
cervical 7 hingga thoracal 4 sehingga terjadi rasa tidak nyaman pada dada yang menjalar
ke rahang dan lengan kiri. Ketika kadar O2 turun drastis akibat oklusi koroner maka
akumulasi asam laktat dapat menurunkan pH dan mengurangi produk fosfat. Kekurangan
energi fosfat dapat mengganggu kanal Na+ K+ ATPase yang mengakibatkan peningkatan
konsentrasi Na+ intraselular dan menyebabkan edema selular. Bocornya membran sel
akibat gangguan kanal Na+ K+ ATPase dapat mengganggu potensial listrik transmembran
sehingga berisiko terjadi aritmia letal (Rhee, 2011).

e. Penegakan Diagnosis
Definisi kasus ACS yang digunakan oleh World Health Organization (1959) dan
American Heart Association (1964) didasarkan pada nyeri dada yang khas, perubahan
EKG, dan pemeriksaan biomarker enzim jantung (Mendis, 2010). Bila terdapat dua dari
tiga kriteria tersebut maka diagnosis ACS dapat ditegakkan.
1. Anamnesis: ditemukan gejala kardial, yakni nyeri dada yang tipikal (Mendis, 2010)
Nyeri dada tipikal atau angina merupakan gejala kardinal pasien ACS. Sifat
nyeri dada angina adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Karakteristik Angina pada ACS
ANGINA INFARK
Position Difus, substernal, retrosternal, difus, substernal,
dan prekordial. retrosternal, dan prekordial.
Provocation Latihan fisik, stres emosi, udara Tidak ada.
dingin, dan sesudah makan.
Quality Rasa sakit, seperti ditekan, rasa
rasa sakit, seperti ditekan,
terbakar, ditindih benda berat,rasa terbakar, ditindih benda
seperti ditusuk, rasa diperas, berat, seperti ditusuk, rasa
dan dipelintir. diperas, dan dipelintir.
Radiation Menjalar ke bahu, punggung, Menjalar ke bahu,
tangan, leher, rahang
punggung, tangan , leher,
(dermatom C7-T4). rahang (dermatom C7-T4).
Relief Istirahat dan/atau nitrat. Tidak hilang dengan
istirahat dan nitrat.
Severity VAS 1-6 VAS 6-10
Symptoms Stimulasi simpatis: takikardi, Stimulasi simpatis tinggi.
diaforesis, mual, dispnea,
lemas.

13
Timing Onset baru, 5 detik sampai 10 Lebih dari 20 menit.
menit.
Sumber: Rhee, 2011

2. Pemeriksaan Fisik:
Sebagian besar pasien cemas dan gelisah. Seringkali ekstremitas pucat disertai
keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal dan banyak keringat dicurigai
kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai
manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipertensi) dan
hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis
(bradikardia dan/atau hipotensi). Bila terjadi disfungsi ventrikular maka dapat
ditemukan S3 dan S4 gallop, penurunan intensitas bunyi S1 dan split paradoksikal
bunyi S2 (Alwi, 2014; Rhee, 2011).

3. Perubahan EKG
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksan ini harus dilakukan segera
dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG perlu diulang setiap
keluhan angina timbul kembali. Bila EKG awal didapatkan hasil
normal/nondiagnostik, namun keluhan angina masih dirasakan maka EKG dapat
diulang 10-20 menit kemudian (American Heart Association, 2015; Alwi, 2014).
Jika pada EKG ulangan tetap normal namun keluhan angina masih ada dan
sangat sugestif pada ACS, maka perlu dilakukan pemantauan 12-24 jam dan
pengulangan EKG setiap 6 jam dan setiap keluhan angina muncul (Alwi, 2014).
Perubahan-perubahan EKG yang mengindikasikan adanya iskemia onset baru
adalah:
Tabel 2. Perubahan EKG pada Kondisi Acute Coronary Syndrome
Segmen ST
 Elevasi: Dikatakan elevasi segmen ST bila segmen ST berada >1 mV diatas garis
isoelektrik pada lead ekstremitas atau >2 mV diatas garis isoelektrik pada lead
prekordial.
 Depresi: Dikatakan depresi segmen ST bila segmen ST berada >1 mV dibawah garis
isoelektrik pada semua lead.
Gelombang T
 Inversi gelombang T >0,2 mV yang simetris
Right Bundle Branch Block dengan elevasi ST
Left Bundle Branch Block baru atau diduga baru
Sumber: AHA, 20157, PERKI, 20158

14
Jika ditemukan perubahan-perubahan tersebut maka harus diikuti dengan
penentuan lokasi infark:
Tabel 3. Lokasi Infark berdasarkan Perubahan pada Lead EKG
Sadapan dengan Perubahan Segmen ST Lokasi Iskemia/Infark
V1-V6 Anterior ekstensif
V1-V2 Septal
V3-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular Indonesia, 2015; Pratanu,
2014

4. Peningkatan enzim jantung


Terdapat banyak biomarker enzim jantung yang dapat digunakan untuk deteksi
adanya iskemia atau infark miokardium, diantaranya adalah:
 Mioglobin
Terdapat pada otot skelet dan otot jantung. Pada infark miokard akut,
mioglobin cepat dilepas dibanding CKMB dan troponin serta dapat dideteksi
didalam darah dalam waktu 2 jam, dan menghilang dalam waktu <24 jam
setelah infark.
 CK-MB
Creatinin kinase adalah enzim yang mengkatalis jalur kreatin phosphat dalam
sel otot dan otak. Pada kasus ACS, isoenzim CK-MB akan meningkat 4-8 jam
setelah infark dan mencapai puncak 12-24 jam kemudian menurun pada hari
ke-3.
 Troponin I dan T
Troponin adalah kompleks protein kontraktil yang terdapat paa filamen
serabut otot termasuk otot jantung. Kadar meningkat 2-8 jam, mencapai
puncak 12-96 jam kemudian dan mulai menurun setelah hari ke-14.
Dibandingkan biomarker lainnya, troponin I dan T merupakan biomarker yang
paling sensitif terhadap adanya iskemia atau infark otot jantung dan berguna
dalam penegakan diagnosis, stratifikasi risiko, dan penentuan prognosis.
Peningkatan kadar troponin berkorelasi dengan peningkatan risiko mortalitas
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015).

15
f. Spektrum Klinis
Derajat oklusi arteri koronaria berkolerasi dengan gejala yang ditimbulkan dan
variasi penanda enzim jantung serta penemuan elektrokardiografi (EKG) (Rhee, 2011).
Trombus koroner

Trombus Trombus oklusi Trombus


kecil oklusi total
(nonoklusif)
Iskemia
Iskemia
berkepanjangan
transien

Depresi segmen Elevasi segmen


Tidak ada ST
perubahan ST dan/atau T
EKG inversi
Enzim Enzim Enzim
jantung (-) jantung (+) jantung (+)

Penyembuhan
dan
pembesaran UA NSTEMI STEMI

Sumber: Rhee, 2011


1. Angina Tidak Stabil (Unstable Angina) dan Infark Miokard Non-ST Elevasi
(NSTEMI)
Presentasi klinik UA dan NSTEMI pada umumnya berupa:
a) Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. Dialami oleh
sebagian besar pasien (80%).
b) Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian
Cardiovascular Society. Terdapat pada 20% pasien.
c) Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif atau
kresendo): menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi makin berat;
minimal kelas III klasifikasi CCS.
d) Angina pascainfark-miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah
infark miokard (American Heart Association, 2015; Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015).
Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin
timbul pada saat istirahat atau saat beraktivitas ringan. Nyeri dada dapat disertai
keluhan sesak napas, mual bahkan hingga muntah, kadang-kadang disertai keringat
dingin.

16
Pemeriksaan fisik meskipun tidak khas namun dalam kondisi ini dapat membantu
pemeriksaan fisik adalah untuk menegakkan diagnosis banding dan mengidentifikasi
pencetus. Selain itu, pemeriksaan fisik jika digabungkan dengan keluhan angina
(anamnesis), dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri dada sebagai
representasi ACS (Trisnohadi, 2014).

Sumber: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015


Pemeriksaan EKG sangat penting terutama untuk diagnosis maupun stratifikasi
risiko pasien angina tidak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru
menunjukkan kemungkinan iskemia akut. Gelombang T inversi juga salah satu
tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan segmen ST dan gelombang T yang
nonspesifik seperti depresi ST <0,55 mm dan gelombang T inversi <2 mm tidak
spesifik untuk iskemia (Pratanu, 2014).
Pada angina tidak stabil exercise test dengan alat treadmill dapat dilakukan pada
pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan menunjukkan adanya
risiko tinggi. Bila hasil negatif maka prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya positif
terutama bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam dianjurkan untuk

17
dilakukan pemeriksaan angiografi koroner dalam rangka menilai keadaan
pembuluh darah koronernya apakah perlu dilakukan tindakan revaskularisasi
(Percutaneus Coronary Intervention/PCI atau Coronary Artery Bypass
Graft/CABG) karena risiko komplikasi kardiovaskular cukup besar. Pemeriksaan
ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis angina tidak stabil secara
langsung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya
insufisiensi mitral dan abnormalitas gerakan dinding regional jantung, menandakan
prognosis kurang baik. Ekokardiografi stres dapat membantu menegakkan adanya
iskemia miokardium (Trisnohadi, 2014).
a) Stratifikasi Risiko UA dan NSTEMI
Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk
ACS. Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan
selanjutnya (konservatif atau intervensi segera) bagi pasien NSTEMI (Harun,
2014).
Penilaian klinis dan EKG, keduanya merupakan parameter utama dalam
pengenalan dan penilaian risiko NSTEMI. Jika ditemukan risiko tinggi, maka
keadaan ini perlu diberika terapi awal yang segera. Skor risiko yang digunakan
untuk stratifikasi risiko dan angka faktor risiko yakni Skor Risiko TIMI.
Stratifikasi risiko Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) III Registry
ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel. Skor ini umumnya digunakan pada
STEMI dan UA (Harun, 2014; Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia, 2015).
Tabel 4. Variabel dan Skor pada Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI)
III Registry
Variabel TIMI Skor
Usia ≥65 tahun 1
≥3 faktor risiko PJK (riwayat keluarga, hipertensi, 1
hiperkolesterolemia, DM, merokok)
Stenosis sebelumnya ≥50% 1
Deviasi segmen ST ≥0,05 mm 1
Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir 1
Angina berat ≥2 episode dalam waktu ≤244 jam 1
Peningkatan enzim jantung 1

18
Tabel 5. Derajat Risiko Menurut Skor TIMI III
Total Skor Risiko Risiko Kejadian Kedua
0-2 Rendah <8,3%
3-4 Menengah <19,9%
5-7 Tinggi ≤41%

Klasifikasi GRACE ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di


rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit.
Tabel 6. Variabel pada Klasifikasi GRACE
Prediktor Skor
Usia dalam tahun
<40 0
40-49 18
50-59 36
60-69 55
70-79 73
80 91
Laju denyut jantung (kali permenit)
<70 0
70-89 7
90-109 13
110-149 23
150-199 36
>200 46
Tekanan darah sistolik (mmHg)
<80 63
80-99 58
100-119 47
120-139 37
140-159 26
160-199 11
>200 0
Kreatinin (μmol/L)
0-34 2
35-70 5
71-105 8
106-140 11
141-176 14
177-353 23
≥354 31
Gagal jantung berdasarkan klasifikasi Killip
I 0
II 21
III 43
IV 64
Henti jantung saat tiba di RS 43
Peningkatan enzim jantung 15

19
Deviasi segmen ST 30

Tabel 7. Prediksi kematian di rumah sakit berdasarkan Skor GRACE


Total Skor Derajat Risiko
≤108 Risiko rendah (risiko kematian <1%)
109-140 Risiko menengah (risiko kematian 1-3%)
>140 Risiko tinggi (risiko kematian >3%)

Tabel 8. Prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit
berdasarkan Skor GRACE
Total Skor Derajat Risiko
≤88 Risiko rendah (risiko kematian <3%)
89-118 Risiko menengah (risiko kematian 3-8%)
>118 Risiko tinggi (risiko kematian >8%)

Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko


berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard
akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari.
Klasifikasi Killip juga digunakan sebagai salah satu variabel dalam klasifikasi
GRACE.
Tabel 9. Derajat Gagal Jantung berdasarkan Kelas Killip
Kelas Killip Temuan Klinis Mortalitas
I Tidak terdapat gagal jantung (tidak terdapat 6%
ronkhi maupun S3)
II Terdapat gagal jantung ditandai dengan S3 17%
dan ronkhi basah pada setengah lapangan
paru
III Terdapat edema paru ditandai oleh ronkhi 38%
basah di seluruh lapangan paru
IV Terdapat syok kardiogenik ditandai oleh 81%
tekanan darah sistolik <90 mmHg dan tanda
hipoperfusi jaringan

2. Infark Miokard ST Elevasi (STEMI)


STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koronaria berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak menimbulkan
STEMI karena berkembangnya banyak vaskular kolateral sepanjang waktu (Rhee,
2011). Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami
fisur, ruptur, atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis
sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi.

20
Penelitian histologis menunjukkan bahwa plak yang cenderung rentan ruptur jika plak
tersebut memiliki fibrous cap tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI
gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red thrombus, sehingga ini menjadi
dasar STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik (Alwi, 2014;
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015; Rhee, 2011).
Karakteristik utama STEMI adalah angina tipikal dan perubahan EKG dengan
gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI. Pada hampir setengah kasus,
terdapat faktor presipitasi sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres
emosi, atau penyakit medis lain atau bedah. Walaupun STEMI terjadi sepanjang hari
atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah
bangun tidur. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan
keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Pada
pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark pada ventrikel kanan. Sebagian besar pasien dengan presentasi
awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang
akhirnya didiagnosis sebagai old myocardial infarction atau infark miokard
gelombang Q (Alwi, 2014; Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia,
2015).
Pada STEMI terjadi peningkatan kadar biomarker jantung dalam serum.
Pemeriksaan CK-MB dan atau troponin I dan T dapat dilakukan secara serial.
Troponin I harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang
disertai kerusakan otot skeletal karena pada kondisi ini juga akan diikuti peningkatan
CK-MB.

g. Diagnosis Banding
Berikut beberapa kondisi yang dapat menyerupai gejala pada sindrom koroner akut.
Tabel 12. Diagnosis banding pada nyeri dada
Kondisi Hal Pembeda
Kardiak
Acute coronary syndrome  Rasa menekan di retrosternal,
menjalar ke leher, rahang, atau bahu
dan lengan kiri. Dirasakan lebih berat
dan lebih lama dibandingan serangan
sebelumnya.

21
 EKG: Segmen ST elevasi atau depresi
yang terlokalisasi
Perikarditis  Nyeri pleuritik tajam (memberat saat
inspirasi)
 Nyeri bervariasi tergantung posisi
(membaik bila duduk condong
kedepan)
 Auskultasi: friction rub di precordial
 EKG: Segmen ST elevasi yang difus
Diseksi aorta  Nyeri seperti teriris yang menhalar ke
dada dan punggung
 Tekanan darah asimetris di kedua
tangan
 Rontgen thorax: Mediastinum melebar
Pulmo
Emboli pulmo  Nyeri pleuritik yang terlokalisasi,
disertai dispnea
 Friction rub
 Terdapat kondisi predisposisi untuk
trombosis vena
Pneumonia  Nyeri dada pleuritik
 Batuk dan produksi sputum
 Auskultasi dan perkusi paru abnormal
karena konsolidasi
 Rontgen thorax: infiltrat
Pneumothorax  Nyeri dada pleuritik, tajam, tiba-tiba,
di unilateral hemithorax
 Penurunan suara dasar nafas dan
hipersonor pada area yang terkena
 Rontgen thorax: hiperlusensi dan
hilangnya corakan bronkovaskular
Gastrointestinal
GERD  Rasa terbakar di retrosternal
 Dicetuskan oleh beberapa jenis
makanan, memberat pada posisi
berbaring
 Membaik dengan antasida
Ulkus peptikum  Nyeri atau rasa terbakar di epigastrium
 Nyeri setelah makan
 Membaik dengan antasida
Spasme esofagus  Nyeri retrosternal, memberat saat
menelan
 Riwayat disfagia
Kolesistitis akut  Nyeri tekan di lobus kanan atas
 Disertai mual
 Riwayat intoleransi makanan
berlemak

22
Muskuloskeletal
Sindrom kostokondral  Nyeri sternal yang memberat dengan
pergerakan dada
 Nyeri tekan pada artikulasio
kostokondral
 Membaik dengan obat anti-inflamasi
Radikulitis servikal  Pegal atau nyeri yang terus menerus,
sesuai distribusi dermatom
 Memberat bila leher digerakkan
Sumber: Rhee, 2011

23
h. Penatalaksanaan

Sumber: American Heart Association, 2015


Sekitar separuh pasien ACS meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Ventrikel fibrilasi
atau ventrikel takikardi tanpa nadi merupakan pencetus henti jantung pada kebanyakan
kematian ACS, dan umumnya berkembang di fase awal evolusi ACS (American Heart

24
Association, 2015). Oleh karena itu setiap waktu pada periode ACS sangat penting untuk
dilakukan tindakan tata laksana yang tepat disetiap fasenya:
1) Emergency Medical Service (EMS) di Ambulans
Petugas medis harus mengenali manifestasi klinis ACS dan mampu menentukan onset
gejala. Petugas harus selalu memonitor tanda-tanda vital dan bersiap untuk memberikan
resusitasi jantung paru dan defibrilasi bila diperlukan. Dapat diberikan O2 selama penilaian
awal pasien dengan kecurigaan ACS. Jika pasien mengalami dispnea, hipoksemia, atau
terdapat tanda nyata gagal jantung, maka petugas perlu mentitrasi terapi O2 berdasarkan
saturasi oksihemoglobin hingga mencapai 94%.
Dikarenakan aspirin harus diberikan segera mungkin setelah onset gejala, maka petugas
dapat menginstruksikan pasien dengan tidak ada riwayat alergi aspirin atau tanda
perdarahan gastrointestinal untuk mengunyah aspirin dengan dosis 160-325 mg.
Nitrat dapat diberikan hingga 3 dosis setiap 3-5 menit. Nitrat, dalam bentuk sediaan
apapun dikontraindikasikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau
>30 mmHg dibawah rata-rata tekanan darah pada pasien dengan infark ventrikel kanan.
Bila dari pemeriksaan EKG didapatkan adanya STEMI inferior maka harus dievaluasi
apakah adanya infark ventrikel kanan. Pemberian nitrat harus dengan hati-hati pada pasien
dengan STEMI inferior dan suspek keterlibatan ventrikel kanan karena pasien tersebut
membutuhkan preload ventrikel kanan yang adekuat. Nitrat dikontraindikasikan pada
pasien dengan riwayat konsumsi obat phosphodiesterase-5 (PDE-5) inhibitor dalam 24 jam
atau 48 jam untuk tadalafil. Morfin diberikan dengan indikasi pasien STEMI yang tidak
respon terhadap nitrat. Pemberian morfin perlu dilakukan dengan hati-hati pada pasien UA
dan NSETMI karena dapat meningkatkan mortalitas (American Heart Association, 2015).
2) Di Instalasi Gawat Darurat
Penilaian awal pasien ACS harus dinilai dalam waktu kurang dari 10 menit dan harus
segera diberikan terapi umum. Penilaian awal berupa:
 pemeriksaan tanda-tanda vital,
 evaluasi saturasi O2,
 mempersiapkan akses intravena,
 anamnesis dan pemeriksaan fisik secara singkat,
 pemeriksaan EKG bila belum dilakukan di fase sebelumnya,
 pemeriksaan enzim jantung, elektrolit serum, dan koagulasi, serta
 foto rontgen thorax.

25
Penilaian awal tersebut diikuti dengan pemberian terapi segera berupa:
 Dilakukan tirah baring
 O2 jika saturasi <90% melalui non-rebreathing mask dengan kecepatan 4L/menit,
titrasi sesuai saturasi O2
 Aspirin tidak bersalut dengan dosis 160-320 mg dikunyah jika belum diberikan di
fase sebelumnya. Dilanjutkan dengan dosis 80-160 mg/hari.
 Penghambat reseptor adenosine diphosphate (ADP), yakni ticagrelor dengan loading
dose 180 mg dilanjutkan maintenance 2 x 90 mg/hari kecuali pada STEMI yang
direncanakan untuk reperfusi dengan agen fibrinolitik atau clopidogrel 300 mg
dilanjutkan dengan dosis maintenance 75 mg/hari (diberikan terutama pada STEMI
yang direncanakan terapi reperfusi dengan agen fibrinolitik).
 Nitrogliserin sublingual atau semprot dengan dosis 5-10 mg, dapat diulang setiap
lima menit hingga maksimal tiga kali pemberian. Setelah itu dapat diberikan
nitrogliserin intravena.
 Morfin dengan dosis 1-5 mg secara intravena bila nyeri tidak berespon terhadap
nitrogliserin. Pemberian dapat diulang setiap 10-30 menit.
Jika hasil EKG sudah ada, maka penting bagi klinisi untuk segera menginterpretasi
hasil EKG tersebut apakah masuk ke kelompok STEMI yang ditandai dengan adanya
elevasi segmen ST atau kelompok UA/NSTEMI yang nantinya dapat dibedakan dengan
pemeriksaan biomarker enzim jantung (American Heart Association, 2015).
3) Terapi farmakologis pada ACS
 Anti Iskemia
o Beta blocker
Keuntungan utama terapi β-blocker terletak pada efeknya terhadap reseptor β-1
yang mengakibatkan penurunan konsumsi O2 miokardium. β-blocker hendanya
tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrioventrikular yang
signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan
kasus preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.
β-blocker direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika
terdapat hipertensi dan /atau takikardia, dan selama tidak terdapat kontraindikasi.
β-blocker oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama.

β-blocker Selektivitas Aktivitas Dosis untuk angina


agonis parsial

26
Atenolol β-1 - 50-200 mg/hari
Bisoprolol β-1 - 10 mg/hari
Carvedilol α dan β + 2 x 6,25 mg/hari,
titrasi sampai
maksimum 2 x 25
mg/hari
Metoprolol β-1 - 50-200 mg/hari
Propanolol Nonselektif - 2 x 20-80 mg/hari
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

o Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga
konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi
pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami
aterosklerosis.
a) Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari
episode angina
b) Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut
sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali
pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena
jika tidak ada kontraindikasi.
c) Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung,
atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan
menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang
terbukti menurunkan mortalitas seperti β-blocker atau angiotensin converting
enzymes inhibitor (ACE-I).
d) Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg
atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit),
takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan.
e) Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang
tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan.

27
Nitrat Dosis
Isosorbid dinitrate (ISDN) Sublingual 2,5-15 mg (onset 5 menit)
Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Intravena 1,25-5 mg/jam
Isosorbid 5 mononitrate Oral 2 x 20 mg/hari
Oral (slow release) 120-240 mg/hari
Nitrogliserin Sublingual tablet 0,3-0,6 mg-1,5 mg
(Trinitrin, TNT, gliseril trinitrate) Intravena 5-200 mcg/menit
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

o Calcium Channel Blockers (CCB)


Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit
atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem
mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus
efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner
yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin,
merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan
CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang
dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.
a) CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien
yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta.
b) CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan
kontraindikasi terhadap penyekat beta.
c) CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti terapi penyekat beta.
d) CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik.
e) Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak
direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta.
CCB Dosis
Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis
Nifedipine GITS (long acting) 30-90 mg/hari
Amlodipine 5-10 g/hari
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

28
o Antiplatelet
a) Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda kontraindikasi dengan
dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya
untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan.
b) Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin
dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko
perdarahan berlebih.
c) Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama
DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP)
direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau
ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor
risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi bersama
dengan antikoagulan atau steroid.
d) Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan
sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis.
e) Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian
iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis
loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan
tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan
pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel
kemudian dihentikan).
f) Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg
setiap hari.
g) Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg
diikuti dosis tambahan 300 mg saat PCI) direkomendasikan untuk pasien
yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan
ticagrelor.
h) Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu
dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa
risiko perdarahan yang meningkat.
i) Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP
yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG),
perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah

29
penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis
memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi.
j) Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau
dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman.
k) Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-2
selektif dan NSAID non-selektif).
Antiplatelet Dosis
Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis pemeliharaan 75-100
mg
Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90 mg/hari
Clopidogrel Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75 mg/hari
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

o Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin


Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi
remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard
yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung
klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut,
walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah terbukti
menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.
a) Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali
ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dan
pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik
(PGK).
b) Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain
seperti di atas. Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah
direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada.
c) Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard
yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel
kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung.
Inhibitor ACE Dosis
Captopril 2-3 x 6,25-50 mg
Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

30
o Antikoagulan
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.
a) Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan
terapi antiplatelet.
b) Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia,
dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.
c) Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding
risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara
subkutan.
d) Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan
bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang
mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat PCI.
e) Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko
perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia.
f) Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin
berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang
direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin
tidak tersedia.
g) Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu
dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit.
h) Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan.
Antikoagulan Dosis
Fondaparinux 2,5 mg subkutan
Enoxaparin 1 mg/kg BB, dua kali sehari
Heparin tidak terfraksi (UFH) Bolus i.v. 60 U/g dosis maksimal 4000 U
Infus i.v. 12 U/kg selama 24-48
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

o Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan


a) Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan
risiko perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat.
b) Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat
indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan
dipilih targen INR terendah yang masih efektif.

31
c) Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada
penderita tua atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih
terpilih.

4) Terapi definitif
 UA DAN STEMI
Berdasarkan stratifikasi risiko dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan
strategi invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasif
melibatkan dilakukannya angiografi dan ditujukan pada pasien dengan tingkat
risiko tinggi hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan angiografi ditentukan
berdasarkan beberapa parameter dan dibagi menjadi 4 kategori, yakni
1) Strategi invasif segera (<2 jam, urgent)
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi.
2) Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam
Dilakukan bila pasien memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu
kriteria risiko tinggi (high risk) primer.
3) Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi (high risk)
atau dengan gejala berulang.
4) Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif
Dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko tinggi dan
dianggap memiliki risiko rendah, yakni:
 Nyeri dada tidak berulang
 Tidak ada tanda-tanda gagal jantung
 Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam ke-
6 hingga 9)
 Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tibat atau antara jam ke-6
hingga 9)
 Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia).
 STEMI
Pada STEMI terapi reperfusi segera baik dengan PCI atau farmakologis,
diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam
dengan elevasi segmen ST yang menetap atau LBBB yang (terduga) baru.

32
Terapi reperfusi (sedapat mungkin berupa PCI primer) diindikasikan bila
terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung
bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan
perubahan EKG tampak tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi tahap pertama adalah menentukan ada
tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas PCI. Bila tidak ada, langsung
pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian
(baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut kurang atau lebih dari 2
jam. Jika membutuhkan waktu >2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik.
Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke
pusat kesehatan dengan fasilitas PCI.
a) PCI Primer
PCI primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan
dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam
120 menit dari waktu kontak medis pertama. PCI primer diindikasikan untuk
pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali
bila diperkirakan bahwa pemberian PCI akan tertunda lama dan bila pasien
datang dengan awitan gejala yang telah lama. Stenting lebih disarankan
dibandingkan angioplasti balon untuk PCI primer. Tidak disarankan untuk
melakukan PCI secara rutin pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari
24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik
yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis.
Bila pasien tidak memiliki kontraindikasi terhadap terapi antiplatelet
dual (dual antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh
terhadap pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih disarankan daripada
bare metal stents (BMS).
b) Terapi Fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada
tempat-tempat yang tidak dapat melakukan PCI pada pasien STEMI dalam
waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan
dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra
apabila PCI primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam
120 menit sejak kontak medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang
segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko

33
perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara
kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit. Fibrinolisis
harus dimulai pada ruang gawat darurat. Agen yang spesifik terhadap fibrin
(tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan dibandingkan agen-agen
yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase). Aspirin oral atau
intravena harus diberikan. Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai
tambahan untuk aspirin.
Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang
diobati dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau
selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari. Antikoagulan yang digunakan
dapat berupa:
 Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin
tidak terfraksi).
 Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan
dan infus selama 3 hari.
 Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks
intravena secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam
kemudian.
Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan
PCI setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien. PCI “rescue”
diindikasikan segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST
kurang dari 50% setelah 60 menit disertai tidak hilangnya nyeri dada. PCI
emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia rekuren atau bukti
adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil. Hal ini ditunjukkan oleh
gambaran elevasi segmen ST kembali.
Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi
diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya
fibrinolisis inisial. Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk
melakukan revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark) diindikasikan
setelah fibrinolisis yang berhasil. Waktu optimal angiografi untuk pasien
stabil setelah lisis yang berhasil adalah 3-24 jam.

34
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

Langkah-langkah Pemberian Fibrinolisis pada Pasien STEMI


1) Langkah 1: Nilai waktu dan risiko
• Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam
dengan tanda dan gejala iskemik)
• Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolisis
• Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang
mampu melakukan PCI (<120 menit)
2) Langkah 2: Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi
invasif untuk kasus tersebut
Bila pasien <3 jam sejak serangan dan PCI dapat dilakukan tanpa
penundaan, tidak ada preferensi untuk satu strategi tertentu.
Keadaan di mana fibrinolisis lebih baik:

35
• Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat
halangan untuk strategi invasif
• Strategi invasif tidak dapat dilakukan
* Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai
* Kesulitan mendapatkan akses vaskular
* Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang mampu
melakukan PCI dalam waktu <120 menit
• Halangan untuk strategi invasif
* Transportasi bermasalah
* Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60 menit
* Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon
lebih dari 90 menit
Keadaan di mana strategi invasif lebih baik:
• Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan
* Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon
kurang dari 90 menit
* Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang dari 1 jam
• Risiko tinggi STEMI
* Syok kardiogenik
* Kelas Killip ≥ 3
• Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko perdarahan
dan perdarahan intrakranial
• Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala
• Diagnosis STEMI masih ragu-ragu
Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif
 Stroke hemoragik atau stroke yang  Transient Ischemic Attack (TIA) dalam 6
penyebabnya belum diketahui, dengan bulan terakhir
awitan kapanpun
 Stroke iskemik 6 bulan terakhir  Pemakaian antikoagulan oral
 Kerusakan sistem saraf sentral dan  Kehamilan atau dalam 1 minggu post-
neoplasma partum
 Trauma operasi/trauma kepala yang berat  Tempat tusukan yang tidak dapat
dalam 3 minggu terakhir dikompresi
 Perdarahan saluran cerna dalam 1 bulan  Resusitasi traumatik
terakhir
 Penyakit perdarahan  Hipertensi refrakter (tekanan darah
sistolik >180 mmHg)
 Diseksi aorta  Penyakit hati lanjut

36
 Infeksi endokarditis
 Ulkus peptikum yang aktif
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

Regimen fibrinolitik untuk infark miokard akut


Dosis awal Koterapi Kontraindikasi
antitrombin spesifik
Streptokinase (Sk) 1,5 juta U dalam 100 Heparin i.v. selama Sebelum Sk atau
mL D5% atau NaCl 24-48 jam anistreplase
0,9% dalam waktu 60
menit
Alteplase (tPA) Bolus 15 mg intravena Heparin i.v. selama
0,75 mg/kg BB selama 24-48 jam
30 menit, kemudian 0,5
mg/kg BB selama 60
menit
Dosis total tidak lebih
dari 100 mg
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

i. Komplikasi
o Iskemia yang berulang
o Aritmia, seperti fibrilasi ventrikel, aritmia supraventrikular, blok konduksi
o Gagal jantung kongestif
o Syok kardiogenik
o Infark ventrikel kanan
o Komplikasi mekanis, seperti ruptur otot papilari,rupture septal ventrikel
o Perikarditis
o Tromboembolisme (Rhee, 2011).

37
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. Pembahasan
Tn. S, seorang laki-laki berusia 54 tahun datang ke IGD RSUD Kota Salatiga dengan
keluhan nyeri dada kiri menjalar ke lengan kiri yang sudah dirasakan sejak ± 4 jam SMRS.
Nyeri dada dirasakan hebat seperti ditusuk-tusuk dengan skala nyeri di angka 9. Nyeri dada
timbul saat pasien sedang beristirahat dan dirasakan tidak kunjung mereda melainkan
semakin bertambah parah.
Nyeri dada yang dirasakan oleh pasien tersebut dapat disebabkan oleh berbagai sistem
organ yang ada di sekitar regio dada, yakni sistem jantung, sistem paru, sistem
gastrointestinal, maupun sistem muskuloskeletal. Berdasarkan tabel 12, maka nyeri dada
yang dirasakan pasien ini menjurus pada kondisi yang disebabkan oleh sistem jantung.
Berdasarkan perunutan anamnesis dengan sistem P-Q-R-S-T (Position, Provocation,
Quality, Radiation, Relief, Severity, Symptoms, dan Timing) nyeri dada yang dirasakan
pasien sudah mengarah pada angina pectoris dengan infark.
Diketahui bahwa pasien memiliki riwayat mengalami serangan jantung berulang sejak
7 tahun yang lalu, riwayat perokok aktif berat yakni konsumsi rokok 2 pack/hari selama 20
tahun. Informasi tersebut mengindikasikan adanya faktor yang meningkatkan risiko pasien
terhadap penyakit kardiovaskular.
Pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah terukur 160/110 mmHg dan
pemeriksaan glukosa darah sewaktu sebesar 240 mg/dL. Menurut JNC 8, tekanan darah
pada pasien termasuk dalam kategori hipertensi derajat II, yakni bila tekanan darah sistolik
≥160 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥100 mmHg. Menurut PERKENI, kadar GDS
yang terukur pada pasien saat datang di IGD menunjukkan bahwa pasien memiliki kondisi
hiperglikemia atau diabetes melitus, yakni kadar glukosa darah >200 mg/dL.
Pada pemeriksaan fisik head to toe tidak didapatkan kelainan. Gejala yang dirasakan
oleh pasien mengarah pada gangguan sistem jantung dan usia pasien >40 tahun merupakan
suatu indikasi yang kuat untuk dilakukan pemeriksaan elektrokardiogram. Dari
pemeriksaan EKG didapatkan adanya gelombang Q patologis di lead II, III, avF, elevasi
segmen ST di lead V2, V3, V4, V5, serta Right Bundle Branch Block.
Menurut kriteria WHO, suatu kondisi dapat dikatakan sebagai acute coronary
syndrome apabila telah memenuhi dua dari tiga kriteria berikut yakni:
1) Nyeri dada tipikal angina

38
2) Perubahan EKG
3) Peningkatan enzim jantung
Pasien ini telah memenuhi adanya gejala nyeri dada khas angina pektoris infark dengan
temuan EKG berupa elevasi segmen ST yang terlokalisasi di lead V2-V5. Selain dapat
menegakkan acute coronary syndrome, penemuan EKG tersebut juga dapat menegakkan
diagnosis ST-elevation Myocardial Infarction atau STEMI.
STEMI merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan pada jantung yang memiliki golden
period selama 12 jam sejak onset gejala. STEMI akan muncul bila terjadi sumbatan total
pada arteri koronaria. Untuk memastikan lebih lanjut diagnosis STEMI dapat dilakukan
pemeriksaan biomarker jantung yakni Troponin I.
Tata laksana awal pasien pada kasus harus dilakukan primary survey berupa penilaian
Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure. Dari langkah ini tidak
ditemukan adanya gangguan pada ABCD, serta tidak dijumpai adanya jejas. Tata laksana
berupa MONACO masih belum secara komplit dilakukan pada pasien yakni pemberian O2
dengan kecepatan 3 L/menit melalui nasal kanul untuk mempertahankan saturasi O2
sehingga diharapkan oksigenasi jaringan tetap dalam kondisi baik, ISDN sublingual
dengan dosis 5 mg sebanyak 3 kali pemberian dengan selang 5 menit untuk mengurangi
nyeri angina yang dirasakan pasien, clopidogrel 1 x 75 mg secara peroral sebagai
antitrombus, serta morfin secara intravena dengan dosis 5 mg diencerkan. Pemberian
inhibitor ACE yang pada kasus ini digantikan dengan Angiotensin Receptor Blocker
berupa Valsartan 1 x 80 mg dengan tujuan mengurangi remodeling dan menurunkan angka
kematian penderita pascainfark-miokard. Dalam kasus ini pasien tidak diberikan aspirin
peroral pada penanganan awal yang padahal pemberian aspirin merupakan salah satu terapi
dini pada pasien ACS sebagai antiplatelet yang bertujuan mencegah pembentukan
impending trombus. Pasien juga tidak diberikan β-blocker yang bertujuan untuk
menurunkan konsumsi oksigen miokardium. Pasien diberikan antikoagulan yakni injeksi
lovenox yang berisi enoxaparin dengan dosis 2 x 0,6 mg. Sayangnya, pemberian
antikoagulan ini baru diberikan 3 hari setelah pasien masuk rumah sakit. Pemberian
antikoagulan seharusnya secepat mungkin mengiringi pemberian antiplatelet.
Pada kasus STEMI dalam golden period maka terapi reperfusi merupakan suatu terapi
wajib untuk meningkatkan prognosis pada pasien STEMI. Terapi reperfusi dapat
dilakukan dengan medikamentosa maupun nonmedikamentosa. Hal ini bergantung pada
fasilitas apakah ada rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas PCI. Bila tidak ada,
langsung pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian

39
(baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut kurang atau lebih dari 2 jam. Jika
membutuhkan waktu >2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik
selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat kesehatan dengan
fasilitas PCI. Pada pasien ini, terapi reperfusi baik secara medikamentosa maupun
nonmedikamentosa tidak diberikan meskipun tidak ditemukan adanya kontraindikasi
absolut maupun relatif. Tidak adanya tindakan reperfusi dapat menurunkan prognosis pada
pasien. Hal ini terlihat pada EKG serial di tanggal 17 Oktober 2017 tanda ST elevasi yang
ada di satu hari sebelumnya sudah berubah menjadi gelombang Q patologis yang
menandakan bahwa area tersebut sudah menjadi scar infark yang permanen.

B. Kesimpulan
Berdasarkan perunutan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada
kasus ini pasien acute coronary syndrome dengan diagnosis anatomis yakni adanya infark
miokardium, diagnosis fungsional adalah fase kompensata, dan diagnosis etiologinya
berupa atherosclerosis-heart disease/ischemic heart disease tipe kronis. Diagnosis akhir
yakni infark miokard ST elevasi. Menurut guideline AHA (2015), pemberian tata laksana
awal pada kasus ini belum komplit karena pasien tidak diberikan aspirin peroral. Pasien
juga tidak segera dipersiapkan untuk dilakukan terapi definitif penanganan STEMI yakni
terapi reperfusi.

40
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Idrus. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam A. W. Setiyohadi, B., Alwi I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing, 2014. p 1741-1756.
American Heart Association. Part 9: Acute Coronary Syndrome. American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care,
2015. p 1-56.
American Heart Association. Unstable Angina. 2017. Diakses 30 Oktober 2017 dari
http://www.heart.org
Harun, Sjaharuddin, I., Alwi. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST. Dalam A. W. Setiyohadi,
B., Alwi I., Simadibrata, M., Setiati, S. Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
VI. Jakarta: Interna Publishing, 2014. p 1757-1766.
Huma, Sadia, R., Tariq, A., Fatima, et al. Modifiable and Non-modifiable predisposing Risk
Factors of Myocardial Infarction – A Review. Journal of Pharmaceutical Sciences and
Research, 2012. p 1649-1653.
Kemenkes Republik Indonesia. Situasi Kesehatan Jantung. 2014. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Mendis, Shanti, K., Thygesen, K. Kuulasmaa, et al. World Health Organization definition of
myocardial infarction: 2008-09 revision. Oxford University Press, 2010. p 139-146.
Overbaugh, Kristen J. Acute coronary syndrome. AJN, 2009. p. 42-52.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut. Edisi Ketiga. 2015.
Pratanu, Sunoto, M., Yamin, S., Harun. Elektrokardiografi. Dalam A. W. Setiyohadi, B., Alwi
I., Simadibrata, M., Setiati, S. Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing, 2014. p 1523-1538.
Rhee, June-Wha, M., Sabatine, L., Lily. Acute coronary syndrome. Dalam Lily, Leonard.
Pathophysiology of Heart Disease. Edisi 5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2011. p 161-189.
Thaler, Malcolm S. Satu-satunya Buku EKG yang Anda Perlukan. Jakarta: EGC, 2006.
Trisnohadi, Hanafi B. Angina Pektoris Tak Stabil. Dalam A. W. Setiyohadi, B., Alwi I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing, 2014. p 1728-1734.

41

Anda mungkin juga menyukai