Anda di halaman 1dari 11

Suku Banjar dan suku-suku lainnya

Penduduk asli pulau kalimantan adalah suku dayak, yang terdiri dari beberapa anak
suku. Dari mana asalnya atau perkembangan suku tersebut ada beberapa pendapat, Ch F. H.
Dumont dalam bukunya yang terbit tahun 1924 mengatakatan :

Orang-orang Dayak ialah penduduk pulau Kalimantan yang sejati, dahulu mereka mendiami
pulau Kalimantan, baikpun pantai-pantai baikpun sebelah darat. Akan tetapi tatkala orang
melayu dari Sumatera dan Tanah Semenanjung Malaka datang ke situ terdesaklah orang
Dayak itu lalu mundur, bertambah lama, bertambah jauh ke sebelah darat pulau Kalimantan.
Lain daripada orang Melayu datang pula orang Bugis dan Makassar mendiami pantai Timur
dan pantai Barat pulau Kalimantan, demikian pula orang Jawa telah datang semasa kerajaan
majapahit. Dan orang asing yang datang di Kalimantan sebelah Barat, yaitu orang Tionghoa.

Sosio-historis

Secara sosio-historis masyarakat Banjar adalah kelompok sosial heterogen yang


terkonfigurasi dari berbagai sukubangsa dan ras yang selama ratusan tahun telah menjalin
kehidupan bersama, sehingga kemudian membentuk identitas etnis (suku) Banjar. Artinya,
kelompok sosial heterogen itu memang terbentuk melalui proses yang tidak sepenuhnya
alami (priomordial), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang cukup kompleks.

Islam telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga telah
menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok yang ada di
sekitarnya yang kini disebut sebagai Dayak, yang umumnya masih menganut religi sukunya.
Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga
berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai "babarasih"
(membersihkan diri) di samping menjadi orang Banjar.

Masyarakat Banjar bukanlah suatu yang hadir begitu saja, tetapi ia merupakan konstruksi
historis secara sosial suatu kelompok manusia yang menginginkan suatu komunitas tersendiri
dari komunitas yang ada di kepulauan Kalimantan. Etnik Banjar merupakan bentuk
pertemuan berbagai kelompok etnik yang memiliki asal usul beragam yang dihasilkan dari
sebuah proses sosial masyarakat yang ada di daerah ini dengan titik berangkat pada proses
Islamisasi yang dilakukan oleh Demak sebagai syarat berdirinya Kesultanan Banjar. Banjar
sebelum berdirinya Kesultanan Islam Banjar belumlah bisa dikatakan sebagai sebuah
ksesatuan identitas suku atau agama, namun lebih tepat merupakan identitas yang merujuk
pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal.

Suku Banjar yang semula terbentuk sebagai entitas politik terbagi 3 grup (kelompok besar)
berdasarkan teritorialnya dan unsur pembentuk suku berdasarkan persfektif kultural dan
genetis :
Grup Banjar Pahuluan adalah campuran orang Melayu-Hindu dan orang Bukit yang
berbahasa Melayik (unsur Bukit sebagai ciri kelompok)

Grup Banjar Batang Banyu adalah campuran orang Pahuluan, orang Melayu-
Hindu/Buddha, orang Keling-Gujarat, orang Maanyan, orang Lawangan, orang Bukit
dan orang Jawa-Hindu Majapahit (unsur Maanyan seperti Debagai ciri kelompok). Di
Kalsel masih dapat ditemukan komunitas sub-Dayak Maanyan yang masih menganut
adat Kaharingan yang bertetangga dengan perkampungan suku Banjar seperti Dayak
Warukin, Dayak Balangan, dan Dayak Samihim.

Grup Banjar Kuala adalah campuran orang Kuin, orang Batang Banyu, orang Dayak
Ngaju (Berangas, Bakumpai), orang Kampung Melayu, orang Kampung Bugis-
Makassar, orang Kampung Jawa, orang Kampung Arab, dan sebagian orang Cina
Parit yang masuk Islam (unsur Ngaju sebagai ciri kelompok). Proses amalgamasi
masih berjalan hingga sekarang di dalam grup Banjar Kuala yang tinggal di kawasan
Banjar Kuala - kawasan yang dalam perkembangannya menuju sebuah kota
metropolitan yang menyatu (Banjar Bakula).

Dengan mengambil pendapat Idwar Saleh tentang inti suku Banjar, maka percampuran suku
Banjar dengan orang Ngaju/serumpunnya (Kelompok Barito Barat) yang berada di sebelah
barat Banjarmasin (Kalimantan Tengah) dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar
Kuala juga. Di sebelah utara Kalimantan Selatan terjadi percampuran suku Banjar dengan
orang Maanyan/serumpunnya (Kelompok Barito Timur) seperti Dusun, Lawangan dan suku
Pasir di Kalimantan Timur yang juga berbahasa Lawangan, dapat kita asumsikan sebagai
kelompok Banjar Batang Banyu. Percampuran suku Banjar di tenggara Kalimantan yang
banyak terdapat suku Bukit kita asumsikan sebagai Banjar Pahuluan.

Sistem Mata Pencaharian Suku Banjar

Orang Banjar dikenal dengan julukan masyarakat air (`the water people') karena adanya pasar
terapung, tempat perdagangan hasil bumi dan kebutuhan hidup sehari-hari di sungai-sungai
kota Banjarmasin, ibukota Propinsi Kalimantan Selatan.

Sebagian besar mereka hidup bertani dan menangkap ikan. Sekarang banyak pula yang
bergerak dalam bidang perdagangan, transportasi, pertambangan, pembangunan, pendidikan,
perbankan, atau menjadi pegawai negeri. Selain itu, mereka mempunyai keahlian
menganyam dan membuat kerajinan permata yang diwariskan secara turun temurun.
Upacara-upacara adat masih dipertahankan. Sistem kekerabatan suku Banjar adalah bilateral.

Kekayaan alam dan kesuburan tanah tempat orang Banjar ternyata tidak otomatis
meningkatkan taraf hidup mereka. Hal ini disebabkan karena sarana dan prasarana
transportasi (kondisi jalan dan angkutan) yang terbatas menyebabkan produk pertanian dan
non pertanian mereka sulit untuk dipasarkan. Selain itu, kesulitan mendapat modal juga
mengurangi ruang gerak mereka.

A. Pertanian Pada Suku Banjar


Sistem kearifan lokal secara netral dan dinamik di kalangan dunia barat biasanya disebut
dengan istilah Indigenous Knowledge (Warren, dalam Adimiharja, 2004). Konsep kearifan
lokal atau kearifan tradisional atau sistem pengetahuan lokal (indigenous knowledge system)
adalah pengetahuan yang khas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah
berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal-balik antara masyarakat dengan
lingkungannya (Marzali, dalam Mumfangati, dkk., 2004). Jadi, konsep sistem kearifan lokal
berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Karena hubungan
yang dekat dengan lingkungan dan sumber daya alam, masyarakat lokal, tradisional, atau asli,
melalui “uji coba” telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi dimana
mereka tinggal yang telah dianggap mempertahankan sumber daya alam, serta meninggalkan
kegiatan-kegiatan yang dianggap merusak lingkungan.

Dalam konteks pengembangan rawa lebak, kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan rawa
lebak ini cukup luas meliputi pemahaman terhadap gejala-gejala alam atau ciri-ciri alamiah
seperti kemunculan bintang dan binatang yang menandakan datangnya musim hujan/kemarau
sehingga petani dapat tepat waktu dalam melakukan kegiatan usaha taninya serta kebiasaan
dalam budidaya pertanian, termasuk perikanan dan peternakan seperti dalam penyiapan
lahan, konservasi air dan tanah, pengelolaan air dan hara, pemilihan komoditas, perawatan
tanaman, pengembalaan dan pemeliharaan ternak (itik, kerbau rawa), dan upaya
pengembangbiakannya yang meskipun masih bersifat tradisional, merupakan pengetahuan
lokal spesifik yang perlu digali dan dikembangkan (Noorginayuwati dan Rafieq, 2004;
Furukawa, 1996).

Sistem pertanian yang dipraktekkan oleh petani Banjar di lahan rawa (lahan pasang surut,
lebak, dan gambut) Kalimantan bagian selatan terutama di kawasan Delta Pulau Petak oleh
para ahli, misalnya Collier, 1980: Ruddle, 1987; van Wijk, 1951; dan Watson, 1984, disebut
sebagai Sistem Orang Banjar (Banjarese System) (Leevang, 2003). Salah satu penemuan
petani Banjar adalah ilmu pengetahuan teknologi dan kearifan tradisional dalam pembukaan
(reklamasi), pengelolaan, dan pengembangan pertanian lahan rawa. Lahan rawa lebak telah
dimanfaatkan selama berabad-abad oleh penduduk lokal dan pendatang secara cukup
berkelanjutan. Menurut Conway (1985), pemanfaatan secara tradisional itu dicirikan oleh
(Haris, 2001):

· Pemanfaatan berganda (multiple use) lahan, vegetasi, dan hewan. Di lahan rawa,
masyarakat tidak hanya menanam dan memanen padi, sayuran, dan kelapa, tetapi juga
menangkap ikan, memungut hasil hutan, dan berburu hewan liar.

· Penerapan teknik budidaya dan varietas tanaman yang secara khusus disesuaikan dengan
kondisi lingkungan lahan rawa tersebut.

Teknik-teknik canggih dan rendah energi untuk transformasi pertanian yang berhasil pada
lahan rawa lebak di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah telah dikembangkan dan
diperluas dalam beberapa dekade oleh orang-orang Banjar, Bugis, dan migran dari Jawa.
Ketiga kelompok ini mempergunakan sistem yang hampir seluruhnya berdasarkan model
yang dikembangkan oleh orang Banjar (Ruddle, dalam Haris, 2001).
Sistem orang Banjar merupakan sistem pertanian tradisional lahan rawa yang akrab dan
selaras dengan alam, yang disesuaikan dengan situasi ekologis lokal seperti tipologi lahan
dan keadaan musim yang erat kaitannya dengan keadaan topografi, kedalaman genangan, dan
ketersediaan air. MacKinnon et al. (1996) menilai sistem ini sebagai sistem multicropping
berkelanjutan yang berhasil pada suatu lahan marjinal, sistem pertanian yang produktif dan
self sustaining dalam jangka waktu lama. Hal ini terlihat dari penerapan sistem surjan Banjar
dan pola suksesi dari pertanaman padi menjadi kelapa–pohon, buah-buahan–ikan yang
diterapkan petani Banjar (Haris, 2001).

Pertanian lahan rawa lebak yang dilakukan oleh Orang/Suku Banjar di Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Tengah umumnya masih dikelola secara tradisional, mulai dari persemaian
benih padi, penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama, penyakit dan gulma, pengelolaan
air, panen, hingga pasca panen. Fenomena alam dijadikan indikator dan panduan dalam
melaksanakan kegiatan bercocok tanam. Ketergantungan pada musim dan perhitungannya
pun masih sangat kuat. Apabila menurut perhitungan sudah waktunya untuk bertanam, maka
para petani akan mulai menggarap sawahnya. Sebaliknya, apabila perhitungan musim
menunjukkan kondisinya kurang baik, maka umumnya para petani akan beralih pada
pekerjaan lainnya.

Sebagai upaya penganekaan tanaman, petani memodifikasi kondisi lahan agar sesuai dengan
komoditas yang dibudidayakan. Petani membuat sistem surjan Banjar (tabukan
tembokan/tukungan/baluran). Dengan penerapan sistem ini, di lahan pertanian akan tersedia
lahan tabukan yang tergenang (diusahakan untuk pertanaman padi atau menggabungkannya
dengan budidaya ikan, mina padi) dan lahan tembokan/tukungan/baluran yang kering (untuk
budidaya tanaman palawija, sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman tahunan dan tanaman
industri). Pengolahan tanah menggunakan alat tradisional tajak, sehingga lapisan tanah yang
diolah tidak terlalu dalam, dan lapisan pirit tidak terusik. Dengan demikian, kemungkinan
pirit itu terpapar ke permukaan dan teroksidasi yang menyebabkan tanah semakin masam,
dapat dicegah. Pengolahan tanah dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengelolaan gulma
(menebas, memuntal, membalik, menyebarkan) yang tidak lain merupakan tindakan
konservasi tanah, karena gulma itu dikembalikan ke tanah sebagai pupuk organik (pupuk
hijau). Selain sebagai pupuk, rerumputan gulma yang ditebarkan secara merata menutupi
permukaan lahan sawah juga berfungsi sebagai penekan pertumbuhan anak-anak rumput
gulma (Idak, dalam Haris, 2001).

B. Kearifan Lokal Petani Lahan Rawa Lebak

Sajian di bawah ini aku ambil dari tulisannya Pak Achmad Rafieq yang berjudul “Sosial
Budaya dan Teknologi Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengembangan Pertanian Lahan
Lebak di Kalimantan Selatan”.

Sebagian besar penduduk yang bermukim di wilayah rawa lebak di Kalimantan Selatan
bergelut di sektor pertanian secara luas, yaitu sebagai petani holtikultura, padi, dan palawija,
sebagai penangkap ikan, serta peternak itik atau kerbau rawa. Sebagian penduduk lainnya
bergerak di sektor perdagangan, kerajinan, dan jasa yang hampir seluruhnya berhubungan
erat dengan pemanfaatan sumberdaya lahan rawa lebak.

Pada mulanya rawa lebak hanya dijadikan tempat tinggal sementara para penebang kayu dan
pencari ikan. Semakin lama komunitasnya semakin bertambah banyak, sementara kayu yang
ditebang mulai berkurang sehingga masyarakat berupaya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dengan mencoba menanam padi dan mengembangkan keterampilan. Semakin lama
mereka semakin memahami fenomena lahan rawa sehingga mampu mengembangkan
beragam komoditas pertanian. Dalam berinteraksi dengan alam mereka tidak berupaya untuk
menguasai atau melawannya tetapi berusaha untuk menyesuaikan dengan dinamika lahan
rawa.
Usaha tani padi yang dikembangkan di lahan rawa lebak sebagian terbesar merupakan upaya
untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sebagian besar hanya bertanam sekali setahun pada
musim kering (banih rintak) dan sebagian kecil dapat bertanam dua kali dalam setahun (banih
surung dan banih rintak). Mereka yang bertanam dua kali setahun umumnya sawahnya
berkisar antara 10-20 borongan (0,3-0,6 ha) dengan produktivitas sebesar 3,5 ton/ha. Petani di
Negara selalu menanam padi rintak setiap tahun sedangkan padi surung tergantung pada
keadaan air. Penanaman padi rintak paling sedikit seluas 0,3 ha sedangkan padi surung paling
sedikit setiap 0,6 ha. Pada daerah yang ditanami padi sekali dalam setahun, luas tanam setiap
keluarga mencapai rata-rata 1 ha permusim dengan produktivitas mencapai 4,2 ton/ha.

Petani lokal di lahan rawa lebak Kalimantan Selatan umumnya masih memerhatikan
fenomena alam seperti bintang atau binatang untuk melihat peluang keberhasilan usaha tani,
termasuk waktu tanam. Fenomena alam yang menjadi pertanda musim kering di antaranya
sebagai berikut:

1. Apabila ikan-ikan mulai meninggalkan kawasan lahan rawa lebak (turun) menuju sungai
merupakan pertanda akan datangnya musim kering. Gejala alam ini biasanya terjadi pada
bulan April atau Mei. Pada saat ini suhu air di lahan lebak sudah meningkat dan ikan turun
untuk mencari daerah yang berair dalam. Kegiatan usaha tani yang dilakukan adalah
persiapan semaian.

2. Apabila ketinggian air semakin menyusut tetapi masih ada ikan saluang yang bertahan
maka menunjukkan bahwa lahan rawa lebak masih tidak akan kekeringan. Biasanya masih
akan ada air sehingga kedalaman air di lahan rawa lebak kembali meningkat, baik sebagai
akibat turunnya hujan di lahan rawa lebak atau kiriman air di dataran tinggi yang mengalir
melalui beberapa anak sungai. Kegiatan usaha tani yang dilakukan adalah persiapan semaian.

3. Bintang karantika muncul di ufuk barat pada senja hari hingga sesudah waktu maghrib
menandakan air di lahan rawa lebak akan mulai kering. Bintang karantika merupakan
gugusan bintang yang susunannya bergerombol (bagumpal) membentuk segi enam.
Kemunculan bintang ini di ufuk barat merupakan peringatan kepada petani untuk segera
melakukan penyemaian benih tanaman padi (manaradak). Saat kemunculan bintang ini
hingga 20 hari kemudian dianggap merupakan waktu yang ideal untuk melakukan
penyemaian benih padi. Apabila telah lewat dari waktu tersebut maka petani akan terlambat
memulai usahatani padinya dan diperkirakan padi di pertanaman tidak akan sempat
memperoleh waktu yang cukup untuk memperoleh air.

4. Bintang baur bilah yang muncul 20 hari kemudian juga dijadikan pertanda bagi datangnya
musim kering dan dijadikan patokan dalam memperkirakan lama tidaknya musim kering.
Bintang ini muncul di ufuk barat berderet tiga membentuk garis lurus. Apabila bintang paling
atas terlihat terang, terjadi musim kemarau panjang. Sebaliknya, jika bintang paling bawah
terlihat terang, kemarau hanya sebentar. Juga bila bintang paling kiri paling terang, terjadi
panas terik pada awal musim, sebaliknya jika paling kanan terang, maka terik di akhir musim.

5. Tingginya air pasang yang datang secara bertahap juga menjadi ciri yang menentukan
lamanya musim kering. Apabila dalam tiga kali kedatangan air pasang (pasang-surut, pasang-
surut, dan pasang kembali), ketinggian air pasang pada tahapan pasang surut yang ketiga
lebih tinggi dari dua pasang sebelumnya biasanya akan terjadi musim kering yang panjang.

6. Ada juga yang melihat posisi antara matahari dan bintang karantika. Apabila matahari
terbit agak ke sebelah timur laut dibandingkan posisi karantika berarti akan terjadi musim
kemarau panjang (landang).

7. Apabila burung putuh (kuntul = sejenis bangau) mulai meletakkan telurnya di semak
padang parupuk merupakan tanda air akan menyurut (rintak). Burung putih mengharapkan
setelah telurnya menetas air akan surut sehingga anaknya mudah mencari mangsa (ikan).

8. Ada pula petani yang meramalkan kemarau dengan melihat gerakan asap (mamanduk).
Apabila asap terlihat agak tegak (cagat) agak lama berarti kemarau panjang dan sebaliknya.

Fenomena alam sebagai pertanda akan datangnya air di lahan rawa lebak di antaranya sebagai
berikut:

1. Munculnya fenomena alam yang disebut kapat, yaitu saat suhu udara mencapai derajat
tinggi. Diceritakan, orang yang mengetahui waktu terjadinya kapat dapat menunjukkan
bahwa air yang diletakkan dalam suatu tempat akan memuai. Kapat ini biasanya mengikuti
kalender syamsiah dan terjadi pada awal bulan Oktober. Empat puluh hari setelah terjadinya
kapat maka biasanya air di lahan rawa lebak akan dalam kembali (layap).

2. Setelah terjadi fenomena kapat, akan muncul fenomena alam lain yang ditandai dengan
beterbangannya suatu benda yang oleh masyarakat disebut benang-benang. Munculnya benda
putih menyerupai benang-benang yang sangat lembut, beterbangan di udara dan menyangkut
di pepohonan dan tiang-tiang tinggi ini disebutkan sebagai pertanda datangnya musim barat,
yaitu tanda akan dalam kembali air di lahan lebak (layap). Fenomena alam ini biasanya
terjadi pada bulan Oktober sampai Nopember.

3. Apabila kumpai payung (papayungan) yang tumbuh di tanah yang agak tinggi mulai
menguning dan rebah maka pertanda air akan dalam (basurung). Ada pula tumbuhan yang
disebut pacar halang yang berbuah kecil seperti butir jagung. Apabila buahnya memerah
(masak) dan mulai berjatuhan maka air sudah mulai menggenangi lahan rawa lebak.
4. Untuk menentukan lama tidaknya musim basah, petani menjadikan keladi lumbu (gatal)
sebagai indikator. Bila tanaman ini mulai berbunga berarti itulah saat pertengahan musim air
dalam. Apabila rumput pipisangan daunnya bercahaya agak kuning maka pertanda air akan
lambat turun (batarik).

5. Apabila ikan-ikan yang masih bisa ditemukan di lahan lebak mulai bertelur maka pertanda
air akan datang (layap). Fenomena ini biasanya terlebih dahulu ditandai dengan hujan deras,
lalu ikan betok berloncatan (naik) melepaskan telurnya, setelah itu akan panas sekitar 40 hari
lalu air akan datang dan telur ikan akan menetas.

Selain pengetahuan yang berhubungan dengan peramalan iklim, petani di lahan rawa lebak
juga mempunyai kearifan lokal mengenai kesesuaian tanah dengan tanaman, baik ditinjau
dari ketinggiannya maupun kandungan humus dan teksturnya. Mereka menanami tanah yang
tinggi dengan semangka, jagung, kacang, dan ubi negara, sedangkan tanah yang rendah
ditanami padi.

Bagi petani di lahan rawa lebak, tanah bukaan baru dan dekat hutan umumnya dianggap
sangat subur dan tidak masam, tetapi bila banyak tumbuh galam pertanda tanah itu masam.
Ciri tanah masam lainnya adalah apabila di batang tanaman tersisa warna kekuning-kuningan
begas terendam (tagar banyu) dan ditumbuhi oleh kumpai babulu dan airnya berwarna
kuning. Tanah masam ini maih dapat ditanami ubi nagara atau bila ingin ditanami semangka
maka tanah dilakukan pengapuran terlebih dahulu. Bila telah ditanami beberapa kali
keasaman akan berkurang karena sisa-sisa rumput yang tumbuh dan mati menjadi humus.
Apabila keasaman tanah tidak bisa ditingkatkan maka petani akan meninggalkannya dan
menganggap tanah tersebut sebagai tanah yang tidak produktif (tanah bangking). Tanah yang
baik adalah tanah yang tidak banyak ditumbuhi oleh jenis tanaman liar (taung) seperti
parupuk, mengandung humus yang banyak dari pembusukan kumpai, serta mempunyai aliran
sungai yang dalam. Sungai ni berfungsi untuk pembuangan air masam sehingga sejak dahulu
petani membuat dan memelihara ray yang dibuat setiap jarak 30 depan.

Pada masa lalu pengembangan dan penerapan kearifan lokal ini merupakan otoritas perangkat
kampung yang disebut Kepala Padang. Kepala Padang biasanya orang yang mempunyai
pengetahuan yang luas mengenai silsilah kepemilikan lahan dan peramalan iklim. Ketentuan
suatu kampung memulai melakukan aktivitas pertanian biasanya ditentukan oleh Kepala
Padang berdasarkan indikator gejala alam yang diamatinya. Pada saat ini sudah jarang desa
yang dilengkapi perangkat Kepala Padang.

Prilaku Orang Banjar di Bidang Bisnis.

Sebagian besar responden yang dijadikan penelitian ini adalah merekayang menggeluti
bisnis, dari batubara,biji besi, intan dan jenis penambanganlain. Artinya sebagian besar
pengusahayang cukup sukses. Sebagaimanagambaran prilaku sosial mereka baik dalam
konteks bisnis, perteman, sosial, relasi kekeluargaan dan rumah tangga atau percintaan dapat
dikategorikan berbagai tipe.

Tipe pengusaha yang sosial dan agamis.


Ada beberapa tipe pengusaha yang kepedulian sosialnya tinggi, seperti memiliki prilaku
senang membantu pakir miskin, menulakakan umrah kaum, guru agama, imam, khatib dan
masyarakat yang senang beribadah, terutama orang-orang tua. Ada cerita salah satu informan,
“kalau orang Binuang itu hendak umrah, rarajin bagana di mesjid dan mambarasihi mesjid.
Kina ada tu yang menolakakan haji atau umrah”. Terbukti ada dua orang informan yang
melakukan itu, dan ditolakakan haji, satunya lagi ditolakakan Umrah oleh H.Ijai di Binuang.
Sering menyumbang mesjid, panti asuhan, jalanan, majlista‟lim, pesantren dll dilakukan
oleh sebagian kecil resnpoden. Juga selain itu memiliki kedekatan dengan ulama, tuan guru,
dan tokoh agama (habib), sebagiannya memiliki kesan agamis. Bukti kegiatan sosial dan
agamis bisa menyatu dalam aktivitas bisnis, karena hajat dunia terkabulkan dalam kesuksesan
bisnis, sebaliknya hajat akhirat dalam ibadah khusus dan ibadah sosial juga menyertai.
Simbol lain kesuksesan bisnis tidak lepas dari pengaruh agama dan kepercayaan. Termasuk
orang yang sugih luar biasa, ada simbiosis entah kakek buyut atau pakaiyan yang sering
balampah dan mendapatkan Lailatul Kadar, dalam wujud kekayaan harta benda yang
melimpah ruah tujuh turunan.

Tipe pengusaha glamour dan senang hiburan.

Ada beberapa responden kaya yang sukses senang hidup mewah dan glamour berpergian ke
luar negeri, dan tidak terlalu banyak membangun relasi sosial, keterkenalan tidak diperlukan,
karena yang bersangkutan juga jarang diketahui publik, namun memiliki kekayaan luar biasa.
Bahkan diceitakan oleh sopirnya, saking pentingnya urusan bisnis yang bersangkutan
berangkat ke Jakarta dengan menggunakan pesawat sendirian, semua tiket penerbangan di
pesawat yang besangkutan dijadikan namanya sendiri. Begitu juga dari sisi hiburan, misalnya
sering berlibur ke Jakarta, ke Singapura, mempunyai isteri simpanan di Jakarta atau di luar
negeri, sudah biasa.

Tipe pengusaha yang membangun relasi.

Tipe pengusaha yang kuat membangun relasi dan kemasyarakatan karena terkait dengan
bisnis, partai politik, dan kegiatan lainnya seperti olahraga, kesenian, dan kegiatan
keagamaan. Pengusaha tipe ini memiliki prilaku relatif normal dalam hubungan
kemasyarkatan, dan tidak memiliki fenomena unik, menarik dan “dianggap menyimpang”
secara umum.

Tipe pejabat bergaya pengusaha.

Ada beberapa responden walaupun dianggap berprofesi sekaligus berkarakter pejabat,


misalnya anggota dewan, kepala dinas atau kepala daerah, namun mereka memiliki karakter
sebagai pengusaha atau berwatak pengusaha, yang memiliki kekayaan luar biasa, atau kalau
tokoh menjadi pengusaha, namun tidak terlacak profil usahanya. Hanya kolega dekat saja
yang mengatahuinya. Namunmereka memiliki gaya hidup sebagai pengusaha, memiliki isteri
simapanan, baik di Jakarta, di Bandung, di Surabaya, di Bali atau di luar negeri. Para pejabat
sebagian besar memang anggota dewan di Kalsel yang jadi responden, yang dijadikan sumber
informan pun kalangan mereka sendiri, mereka mengemas dengan studi banding, workshop,
kunjungan dinas, serta analisis kebijakan luar, dan dari sana mereka menunjukan prilaku
sosial dan prilaku yang lain yang terkait dengan hubungan jabatan atau sekadar prilaku biasa
yang intinya tidak jauh dari gaya hidup baru orang kaya yang senang menikmati
hiburanhiburan, sekaligus liburan-liburan. Alasannya sederhana karena jenuh mengurusi
rakyat dan perlu penyegaran otak dan otot.

Gaya hidup pengusaha berkedok bisnis.

Gaya hidup sebagian responden yang berprofesi sebagai penagih hutang-piutang, terutama
kalangan pengusaha luar dan keturunan Tionghoa, layaknya seperti pengusaha, namun
kadangkala terjadi penipunan hasil penagihan yang digelapkan, dengan alasan penagihan
tidak cair dan orang yang dicari sulit sekali. Padahal dana yang didapatkan sudah dibayar
oleh si terhutang. Duit yang kadangkala mencapai milyaran rupiah pun dipergunakan untuk
menaikan citra gaya hidup, seperti layaknya pengusaha sukses dan hidup dari hotel satu ke
hotel yang lain, dari tempat hiburan malam satu ke tempat hiburan malam yang lain.
Sebagian kecil respon yang memiliki profesi ini, cukup dikenal di kalangan pejabat,
pengusaha dan di kalangan mereka sendiri.

Gaya bisnisman sukses berkedok bisnis batu bara, rental dan emas.

Saat penelitian berlangsung ruang bisnis baru yang banyak diminati masyarakat Banjar
adalah investasi emas baik dalam bentuk joint dengan perusahaan cabang di daerah yang
perusahaannya berkantor di Surabaya, di Jakarta, dan di Batam. Pola bisnis adalah dengan
cara menyetorkan sekian puluh juta dana cash dan mendapatkan keuntungan 10-15%
perbulan. Investasi batu bara dan emas. serta pola pembelian mobil rental, dengan sistem
sewa kredit yang dijalankan oleh para pengusaha, atau berdalih pengusaha. Namun beberapa
kejadian wakaupun responden yang diteliti hanya 2 orang yang tertipu dengan kedok emas
batangan dengan kerugian sekitar 225 juta, sekitar 3 bulan yang lewat. Artinya pada saat awal
dana investasi aman, namun berjalan 3 atau 4 bulan sudah kelihatan mulai macet keuntungan
yang dijanjikan. Bisnis rental ada satu responden yang ikut tertipu karena mobil yang dibeli
dengan cara kredit, namun setelah berjalan 2 bulan mobilnya raib beserta penyandang usaha
induk penyewaan rentalnya. Ada cerita informan bahwa bukan hanya mobil jenis Avansa,
atau innova dan sedan, juga kadang-kadang tronton dan bahkan ada alat berat yang dijadikan
kongsi modal sewa-menyewa. Malah masalah batu bara maraknya sekitar 23 tahun yang
lewat, namun bukan berarti sekarang kedok penipuan itu sirna, masih ada namun, sebagian
responden yang terlibat enggan menceritakan, namun setelah diadakan pendalaman dan
kroscek, ternyata sering penipuan berkedok batu bara terjadi di daerah Tapin, Pelaihari dan
Tanah Bumbu sebagai lokasi geografisnya. Penipuan baik dalam bentuk investasi maupun
pembelian bodong, artinya barang yang dibeli aspal (batubara aspal) emas batangan aspal,
dan mobil bodong aspal BPKBnya.

Gaya pengusaha barang antik dan dana gaib.

Berbagai prilaku yang tergolong unik bahkan dianggap langka, masih ada yang berbisnis
barang antik seperti batu giok Cina, Samurai, Duit Soekarno, Cupu, Piring Melawin, Buntat
Bayu dan sebagainya. Hubungannya ada yang bersifat bisnis, atau bisnis berkedok penipuan,
dan ada
Interaksi masyarakat banjar

Pergaulan pada suku melayu, banjar dan suku-suku di pesisir terjadi karena adanya:
(a) kedudukan dan pandangan hidup yang sempurna, (b) tujuan yang bersamaan, (c) pikiran
dan perasaan yang serupa, dan (d) saling rasa hormat menghormati.

Dari segi profesi masyarakat banjar digolongkan menjadi : (a) alim ulama, (b) terpelajar, (c)
alat negara/pegawai, (d) pedagang, dan (e) buruh, tani, nelayan.

Penggolongan tersebut bukan berarti memisahkan antara golongan dengan golongan


lainnya. Namun bermaksud untuk menggambarkan adanya paersaudaraan yang dilakukan
dengan menghormati satu sama lain sesuai dengan tata cara kehidupan kepribadian bangsa
indonesia.

Di pusat kota memang tampak nyata adanya perbedaaan dalam pergaulan masyarakat
banjar. Misalnya, pedagang hanya bergaul dengan pedagang, namun demikian rasa toleransi
antar tetap ada. Berbeda jika di kampung-kampung atau desa-desa, bisa dikatakan semua
menjadi satu , tidak ada yang namanya penggolongan. Namun hanya alim ulama yang
mendapat penghormatan khusus.

Jika ada seseorang yang tinggal di suatu kampung dan tidak mau bersosial dengan
jiran, oleh orang banjar itu disebut manyorangan. Secara umum sudah menjadi tradisi bahwa

a. Golongan alim ulama mendapat penghormatan lebih dari golongan lainnya.

b. Orang berpangkat/mempunyai kedudukan penting dalam pemerintah dan orang-orang kaya


yang tahu harga dirinya mendapat penghormatan istimewa.

c. Yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua.

d. Pria bergaul sesama pria dan wanita bergaul sesama wanita kecuali serumah tangga atau
mahramnya.

e. Pergaulan biasanya sebaya atau sepantaran.

f. Apabila seseorang berlalu dihadapan orang-orang tua memiliki adab tersendiri.

g. Kaum pria harus memberi kesempatan jalan lebih dahulu kepada kaum wanita.

h. Harus tegur sapa atau memberi salam

i. Keharusan khusus untuk kaum wanita menjenguk jiran atau keluarga yang baru melahirkan.

j. Jika berjumpa dengan kawan atau orang tua hendaklah menjulurkan tangan dan berjabat
tangan, baru kemudian mengutarakan maksud.
k. Harus menggunakan tutur-kata dan gerak-gerik yang sopan.

Daftar Pustaka

Riwut, Tjilik. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. Tiara Wacana Yogya :
Yogyakarta. 1993.

Koentjaraningrat dkk. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Karya Unipress : Jakarta. 2002

jurnal.uin-antasari.ac.id

Anda mungkin juga menyukai