Anda di halaman 1dari 19

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teori

1. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah

kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang.

Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah

yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program

atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan

publik tersebut. Rangkaian implementasi kebijakan dapat diamati dengan

jelas yaitu dimulai dari program, ke proyek dan ke kegiatan. Model

tersebut mengadaptasi mekanisme yang lazim dalam manajemen,

khususnya manajemen sektor publik. Kebijakan diturunkan berupa

program program yang kemudian diturunkan menjadi proyek-proyek,

dan akhirnya berwujud pada kegiatan-kegiatan, baik yang dilakukan oleh

pemerintah, masyarakat maupun kerjasama pemerintah dengan

masyarakat.

Van Meter dan Van Horn (dalam Budi Winarno 2008:146-147)

mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan

dalam keputusan-keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini

mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi

tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam

rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan besar dan

10
11

kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan yang

dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-

tujuan yang telah ditetapkan.

Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan

Paul Sabatier (1979) sebagaimana dikutip dalam buku Solihin Abdul

Wahab (2008: 65), mengatakan bahwa:

Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah


suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus
perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan
kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-
pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha
untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan
akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan

sasaran-sasaran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan

kebijakan. Jadi implementasi merupakan suatu proses kegiatan yang

dilakukan oleh berbagai aktor sehingga pada akhirnya akan mendapatkan

suatu hasil yang sesuai dengan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran

kebijakan itu sendiri.

Terdapat beberapa teori dari beberapa ahli mengenai implementasi

kebijakan, yaitu:

a. Teori George C. Edward

Menurut pandangan Edward III (dalam Subarsono, 2011: 90-92)

implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu :


12

1) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan


mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus
dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran
kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran
(target group), sehingga akan mengurangi distorsi
implementasi.
2) Sumberdaya, meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan
secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor
kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka
implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya
tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya
kompetensi implementor dan sumber daya finansial.
3) Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh
implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis.
Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka
implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan
baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.
Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang
berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses
implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
4) Struktur Birokrasi, Struktur organisasi yang bertugas
mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek dari
struktur organisasi adalah Standard Operating Procedure
(SOP) dan fragmentasi. Struktur organisasi yang terlalu
panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan
menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit
dan kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak
fleksibel.

b. Teori Merilee S. Grindle

Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (dalam

Subarsono, 2011: 93) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi

kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context

of implementation). Variabel tersebut mencakup:

1) Sejauhmana kepentingan kelompok sasaran atau target


groups termuat dalam isi kebijakan
2) Jenis manfaat yang diterima oleh target group
3) Sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah
kebijakan
4) Apakah letak sebuah program sudah tepat
13

5) Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan


implementornya dengan rinci
6) Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang
memadai.

c. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier

Menurut Mazmanian dan Sabatier (dalam Subarsono, 2011: 94)

ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan

implementasi, yakni karakteristik dari masalah (tractability of the

problems), karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute

to structure implementation) dan variabel lingkungan (nonstatutory

variables affecting implementation).

d. Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn

Menurut Meter dan Horn (dalam Subarsono, 2011: 99) ada lima

variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni standar

dan sasaran kebijakan, sumberdaya, komunikasi antarorganisasi dan

penguatan aktivitas, karakteristik agen pelaksana dan kondisi sosial,

ekonomi dan politik.

Menurut pandangan Edward III (Budi Winarno, 2008: 175-177)

proses komunikasi kebijakan dipengaruhi tiga hal penting, yaitu:

1) Faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi


kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat
mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari
bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah
untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan.
2) Faktor kedua adalah kejelasan, jika kebijakan-kebijakan
diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka
petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima
oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi
kebijakan tersebut harus jelas. Seringkali instruksi-intruksi
yang diteruskan kepada pelaksana kabur dan tidak
14

menetapkan kapan dan bagaimana suatu program


dilaksanakan.
3) Faktor ketiga adalah konsistensi, jika implementasi
kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah
pelaksaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-
perintah yang disampaikan kepada pelaksana kebijakan
jelas, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka
perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana
kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik.

Menurut pandangan Edwards (dalam Budi Winarno, 2008: 181)

sumber-sumber yang penting meliputi, staff yang memadai serta

keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka,

wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan

usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik.

Struktur Birokrasi menurut Edwards (dalam Budi Winarno, 2008:

203) terdapat dua karakteristik utama, yakni Standard Operating

Procedures (SOP) dan Fragmentasi:

SOP atau prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar


berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang
terbatas dan sumber-sumber dari para pelaksana serta keinginan
untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang
kompleks dan tersebar luas. Sedangkan fragmentasi berasal dari
tekanan-tekanan diluar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite
legislatif, kelompok-kelompok kepentingan pejabat-pejabat
eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang
mempengaruhi organisasi birokrasi pemerintah.

2. Kebijakan Publik

Secara etimologis, istilah kebijakan atau policy berasal dari

bahasaYunani “polis” berarti negara, kota yang kemudian masuk ke

dalam bahasa Latin menjadi “politia” yang berarti negara. Akhirnya

masuk ke dalam bahasa Inggris “policie” yang artinya berkenaan dengan


15

pengendalian masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan.

Istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku

seorang aktor (misalnya seorang pejabat,suatu kelompok maupun suatu

badan pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan

tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif

memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa, namun

menjadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih

bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik.

Budi Winarno (2007:16) menyebutkan secara umum istilah

“kebijakan” atau “policy” digunakan untuk menunjuk perilaku seorang

aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu lembaga

pemerintahan) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu,

pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif memadai

untuk pembicaraan-pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi

kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang kebih bersifat

ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik oleh karena

itu diperlukan batasan atau konsep kebijakan publik yang lebih tepat.

Makna kebijakan menurut Friedrich yang dikutip oleh Solichin

Abdul Wahab (1997 : 3) adalah:

Kebijakan merupakan suatu tindakan yang mengarah pada tujuan


yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam
lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan
tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau
sasaran yang diinginkan.
Frederickson dan Hart dalam Tangkilisan (2003:19), mengemukakan
16

kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang

diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan

tertentu sehubungan adanya hambatan-hambatan tertentu sambil mencari

peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang

diinginkan.

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kebijakan adalah

suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan, sedangkan

kebijakan tentang perlindungan anak jalanan di Kota Yogyakarta adalah

suatu kebijakan sosial yang dibuat pemerintah untuk mengatur tentang

kesejahteraan sosial masyarakat yang bersifat proteksi terhadap

permasalahan dan penanggulangan anak yang hidup di jalan.

3. Kebijakan Pemerintah Daerah

Seperti penjelasan sebelumnya kebijakan adalah suatu tindakan yang

bermaksud untuk mencapai tujuan. Kebijakan pemerintah daerah adalah

suatu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah setempat yaitu

pemerintah Kota Yogyakarta untuk mencapai sasaran atau tujuan yang

diinginkan. Dalam kebijakan pemerintah daerah yang diambil yaitu

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 6 tahun

2011 tentang Perlindungan Anak yang Hidup di Jalan. Peraturan Daerah

ini secara khusus mengatur mengenai perlindungan kepada anak yang

hidup di jalan disebabkan posisi mereka yang sangat rentan terhadap

kekerasan dan diskriminasi. Diperlukan sebuah peraturan perundang-

undangan yang bersifat affirmatif untuk melindungi dan menjamin hak-


17

hak anak-anak yang hidup di jalan agar mereka memperoleh kesempatan

untuk tumbuh kembang yang layak.

Kebijakan merupakan aturan yang harus dijalankan dan wajib di

laksanakan. Peraturan Daerah (perda) adalah instrument aturan yang

secara sah diberikan kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan

pemerintahan di daerah. Sejak Tahun 1945 hingga sekarang ini, telah

berlaku beberapa undang-undang yang menjadi dasar hukum

penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menetapkan peraturan

daerah. (Febrina Fona, 2012 diakses

http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/2065 pada tanggal 5

Februari 2013).

4. Anak Jalanan

Anak Jalanan menurut UNICEF, yaitu Street child are those who

have abandoned their homes, school and immediate communities before

they are sixteen years of age, and have drifted into a nomadic street life

(anak jalanan merupakan anak-anak berumur di bawah 16 tahun yang

sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat

terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya)

(Handout Tim Anak Jalanan Kota Yogyakarta tahun 2008)

Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) (dalam handout

Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Penanganan Anak Jalanan

berbasis Kewilayahan Kota Yogyakarta, 2012: 4) menyebutkan, dalam


18

menilai anak jalanan atau bukan dapat dilihat melalui beberapa

indikator:

a. Anak yang benar-benar hidup dan bekerja di jalanan dan


ditelantarkan atau telah lari dari keluarga mereka. Anak
jalanan betul-betul tinggal di jalanan, lepas sama sekali dari
orangtuanya. Mereka ini pada umumnya dianggap
gelandangan (children of the street)
b. Anak jalanan yang kadang-kadang saja kembali pada
orangtuanya. Anak jalanan seperti ini pada umumnya kebih
banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Anak tersebut
masih menjaga hubungan dengan keluarga mereka, akan tetapi
mereka menghabiskan banyak waktunya dijalanan (children on
the street)
c. Anak dari keluarga yang hidup dijalanan (family of the street),
yaitu anak jalanan yang keluarganya berasal dari jalanan.

Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans)

mengelompokkan anak jalanan ke dalam kategori Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial (PMKS). Adapun yang dimaksud dengan PMKS

adalah seseorang atau keluarga yang karena suatu hambatan, kesulitan,

atau gangguan tidak dapat melakukan fungsi sosialnya dan karenanya

tidak dapat menjalin hubungan yang serasi dan kreatif dengan

lingkungannya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (jasmani,

rohani, dan sosial) secara memadai dan wajar. Kementrian RI

menyebutkan terdapat 26 jenis PMKS dan anak jalanan merupakan salah

satunya. Dinsosnakertrans Kota Yogyakarta mendefinisikan anak jalanan

adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar

waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan maupun

ditempat-tempat umum. Dengan kriteria:

a. Anak yang rentan bekerja di jalanan karena suatu sebab


19

b. Anak yang melakukan aktivitas di jalanan

c. Anak yang bekerja di jalanan.

Jadi Anak jalanan, adalah anak yang berusia dibawah 18 tahun yang

menghabiskan sebagaian waktunya di jalan, anak yang berkerja di

jalanan dan/atau anak yang berkerja dan hidup di jalanan. Umumnya

anak jalanan berasal dari keluarga yang pekerjaannya berat dan

ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar

kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan

hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya

berperilaku negatif.

5. Perlindungan Anak Jalanan

Perda No. 6 Tahun 2011 mendefinisikan, perlindungan adalah segala

tindakan untuk menjamin dan melindungin anak dan hak-haknya agar

dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat perlindungan

sehingga anak terentaskan dari kehidupan di jalan. Perlindungan terhadap

hak-hak anak telah diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan

antara lain Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan

peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Tetapi hak anak yang

telah diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut

ternyata masih belum optimal menjangkau anak yang hidup di jalan.


20

Kebijakan perlindungan anak yang hidup di jalan sesuai dengan

Perda No. 6 tahun 2011 (pasal 3) menyebutkan bahwa perlindungan anak

yang hidup di jalan bertujuan untuk mengentaskan anak dari kehidupan

di jalan, menjamin pemenuhan hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusian serta memberikan perlindungan dari diskriminasi,

eksploitasi dan kekerasan demi terwujudnya anak yang berkualitas,

berakhlak mulia dan sejahtera.

Pemenuhan Hak anak yang hidup di jalan merupakan tugas dan

tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan

Pemerintah Kabupaten/Kota, masyarakat pada umumnya, dunia usaha,

serta lembaga-lembaga yang secara khusus aktif di dalam pemenuhan

hak-hak anak. Fokus utama pemenuhan hak anak di dalam Peraturan

Daerah seperti yang diamanatkan dalam Perda no 6 tahun 2011 tentang

perlindungan anak yang hidup di jalan (Pasal 15) meliputi:

a. Hak identitas
b. Hak atas pengasuhan
c. Hak atas kebutuhan dasar
d. Hak kesehatan
e. Hak pendidikan
f. Hak untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan hukum.

Di Kota Yogyakarta banyak terdapat anak–anak jalanan yang

bekerja dan mengadu nasib di jalanan. Antara lain, mereka berusaha

mendapatkan uang dan sesuap nasi dengan berbagai kegiatan seperti

pengamen, pedagang asongan (koran, makanan, minuman dan

sebagainya). Hal tersebut mereka lakukan karena tidak ada pilihan lain
21

bagi mereka seperti layaknya anak-anak normal yang tiap hari hanya

berkewajiban belajar atau sekolah yang serta mendapatkan perlindungan

dan kasih sayang dari orangtua.

Oleh karena itu, Pemerintah khususnya Pemerintah Kota Yogyakarta

untuk lebih peduli dan memperhatikan anak jalanan terpenting lagi

memberikan perlindungan kepada mereka yang hidup di jalanan. Seperti

yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 34 yakni “Fakir miskin dan anak

terlantar dipelihara oleh Negara”. Dalam penyelenggaraan perlindungan

anak yang hidup di jalan sebagaimana disebutkan dalam Perda No. 6

tahun 2011 (Pasal 5) Pemerintah Kota Yogyakarta berwenang:

a. Menyusun pedoman operasional standar pelayanan minimal bagi


usaha-usaha pemenuhan hak-hak anak yang hidup di jalan
b. Melaksanakan pelayanan pemenuhan hak-hak anak yang hidup di
jalan
c. Melakukan pengawasan terhadap usaha-usaha pemenuhan hak-
hak anak yang hidup di jalan
d. Mengembangkan jejaring kerjasama antar lembaga pemerintah
maupun dengan masyarakat dan swasta.

B. Penelitian yang Relevan

1. Febrina Fonna (2012) dengan judul “Implementasi Kebijakan Pemerintah

Daerah Tentang Pembinaan Anak Jalan Di Kota Makassar”. Dari

penelitian tersebut dapat diketahui bahwa Pemerintah Daerah

menghadapi dilema yaitu berkewajiban melindungi dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat disatu pihak, dipihak lain membutuhkan dana

dan sumberdaya manusia yang fungsional dalam menangani masalah

kesejahteraan sosial bagi anak jalanan. Terdapat beberapa faktor

pendukung maupun faktor penghambat, kebijakan pemerintah daerah


22

seperti kebijakan tentang anak jalanan ini hendaknya harus mendapat

apresiasi yang bagus dari masyarakat, karena ini juga merupakan langkah

awal dari meminimalisirnya keberadaan anak jalanan yang seringkali

meresahkan masyarakat. Misalnya saja dengan adanya masyarakat yang

ikut berpartisipasi dalam membina anak jalanan ini tentu akan membawa

dampak positif. Namun, di lain pihak ada masyarakat juga yang tidak

tahu aturan akan adanya sanksi atau denda jika mereka masih

membiasakan memberikan uang kepada anak-anak jalanan tersebut.

Adapun faktor dari orang tua dan/atau wali dari anak jalanan tersebut.

Dukungan orang tua yang mendorong anaknya untuk tetap kembali ke

jalan sangat besar pengaruhnya. Sebab, mayoritas para orang tua anak

jalanan memiliki prinsip mengajar anak mereka hidup mandiri meski

dengan cara meminta-minta di jalan. Kalau mereka sudah kehabisan

modal/subsidi yang diberikan pemerintah, tentu akan kembali ke jalan

lagi sebab mereka berpikir mencari uang di jalan lebih mudah dan

hasilnya banyak.

2. Nanda Al Iradah, Chyntia Dewi A S, Windujati P, Fariz Afifah (2012)

dengan judul “Implementasi Perda No. 6 Tahun 2011 Tentang

Perlindungan Anak Jalanan (Anjal) Di Kota Yogyakarta”. Kesimpulan

dari penelitian tersebut adalah Implementasi Perda No. 6 Tahun 2011

sudah banyak memberikan efek positif dalam penanganan dan

perlindungan anak jalanan, hal ini ditandai dengan adanya upaya-upaya

dari pemerintah yang bekerja sama dengan Forum Komunikasi Pekerja


23

Sosial Masyarakat (FK PSM) dalam mewujudkan program-program

pembinaan terhadap anak jalanan (anjal). Adapun manfaat positif dari

adanya program tersebut serta perhatian dari pemerintah sangat

berdampak pada berkurangnya prosentase anak jalanan (anjal) yang ada

di Kota Yogyakarta karena mereka sudah kembali ke tengah keluarga

mereka dan tentunya kembali bersekolah dengan difasilitasi pemerintah

dalam hal ini Dinas Sosial Pemerintah Kota Yogyakarta yang dibantu

Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat (FK PSM). Dalam

penelitian ini peneliti hanya memfokuskan peran Dinas Sosial, Tenaga

Kerja dan Transmigrasi dalam menangani implementasi perda no 6 tahun

2011.

Jadi dari kesimpulan-kesimpulan penelitian diatas, peneliti ingin

melanjutkan penelitian mengenai anak jalanan yang difokuskan pada

perda No 6 Tahun 2011 tentang Perlindungan Anak yang Hidup di Jalan.

Penelitian sebelumnya lebih Content Analysis dimana mengkaji serta

mengevaluasi isi/konten Perda, sedangkan penelitian ini untuk

mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan

yang dilihat dari empat variabel, yaitu: komunikasi, sumberdaya,

disposisi dan struktur birokrasi.

Peneliti juga ingin lebih mengetahui implementasi perda tersebut

dari berbagai stakeholders tidak hanya dari instansi pemerintahan seperti

penelitian sebelumnya, karena dalam mengimplementasikan suatu

peraturan diperlukan peran-peran stakeholders lainnya. Jadi dalam


24

penelitian ini, dalam mengetahui implementasi suatu kebijakan lebih

mengembangkan peran dari stakeholders lainnya.

C. Kerangka Berfikir

Kerangka pemikiran penelitian ini dimulai dengan adanya permasalahan-

permasalahan sosial mengenai anak jalanan. Masalah kemiskinan dan krisis

ekonomi yang melanda menyebabkan anak untuk hidup di jalan. Akibat

kondisi tersebut sebagian anak-anak yang terpaksa hidup di jalan cenderung

rawan terjerumus dalam tindakan yang salah, seperti tindakan penyimpangan

yang ringan sampai dengan yang harus berurusan dengan hukum. Lingkungan

pergaulan yang bebas dan tidak adanya kontrol dari keluarga yang ketat

adalah faktor penyebab anak jalanan terjerumus dalam kehidupan seks bebas

dan prostitusi. Anak jalanan juga sering mengalami tindak kekerasan dari

lingkungan, dari keluarga mereka sendiri bahkan terdapat orang tua yang

membiarkan dan menyuruh anak untuk melakukan aktifitas ekonomi atau

melakukan kegiatan meminta-minta di jalan atau ditempat umum, hal tersebut

tentunya mengakibatkan anak menjadi tereksploitasi.

Di Kota Yogyakarta, keberadaan anak jalanan umumnya tersebar di

berbagai kantong atau zone tertentu, yakni tempat atau lokasi dimana anak

jalanan melakukan kegiatan atau aktivitasnya termasuk bekerja. Aktivitas

yang dilakukan anak-anak tidak saja di jalanan tanpa tujuan, tetapi juga

mencakup kegiatan ekonomi, seperti mengamen, mengasong, mengemis,

penyemir sepatu, pembersih motor/mobil, ojek payung, pekerja seks dan

berkeliaran tak tentu. Aktivitas-aktivitas itu umumnya dilakukan ditempat-


25

tempat atau pusat-pusat keramaian. Misalnya perempatan jalan, terminal,

stasiun kereta api, bioskop, mall/plaza, taman kota dan sebagainya.

Permasalahan sosial anak jalanan ini perlu mendapat perhatian secara khusus

dari pemerintah dan masyarakat karena anak harus mendapatkan

perlindungan baik pendidikan, kesehatan, keamanan, bebas dari kekerasan

dan ekspolitasi.

Pemerintah Kota Yogyakarta sebenarnya sudah mengeluarkan kebijakan

untuk menangani permasalahan sosial anak jalanan ini. Kebijakan tersebut

dibuat dalam suatu Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011 tentang

perlindungan anak yang hidup di jalan yang telah diimplementasikan kurang

lebih satu tahun. Tugas dan wewenang pemerintah sesuai perda tersebut

yaitu, melakukan koordinasi lintas lembaga pemerintah maupun dengan

masyarakat dan swasta, memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam

penyelenggaraan perlindungan anak yang hidup di jalan, memberikan

pelayanan pemenuhan hak-hak anak yang hidup dijalan dan memfasilitasi

usaha-usaha penyelenggaraan pelayanan pemenuhan hak-hak anak yang

hidup di jalan.

Untuk mengetahui sejauh mana implementasi Peraturan Derah no 6 tahun

2011 tentang perlindungan anak yang hidup di jalan perlu dilakukan analisis

secara mendalam yang mencakup proses komunikasi, kemampuan

sumberdaya, proses disposisi dan kejelasan struktur birokrasi. Dengan alasan

tersebut peneliti memutuskan untuk menggunakan teori George C. Edward,

dikarenakan teori tersebut menyebutkan bahwa implementasi kebijakan


26

dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi

dan struktur birokrasi. Dari proses implementasi kebijakan melalui empat

indikator tersebut dapat diketahui apa saja hambatan dalam implementasi

kebijakan perlindungan anak jalanan.

Edwards menyebutkan bahwa empat faktor yang berpengaruh terhadap

implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama

lain untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan (Budi

Winarno, 2008:174). Sehingga dari pernyataan diatas peneliti menilai bahwa

teori ini akan memudahkan peneliti dalam mengetahui bagaimana

implementasi perda no 6 tahun 2011 tentang perlindungan anak yang hidup

dijalan dengan melihat bagaimana proses komunikasi yang dilakukan,

kemampuan sumberdaya, proses disposisi dan struktur birokrasi yang ada.

Dari proses implementasi kebijakan melalui empat indikator tersebut dapat

diketahui apa saja hambatan dalam implementasi kebijakan perlindungan

anak jalanan. Hambatan-hambatan tersebut seperti hambatan dalam upaya

pencegahan, upaya penjangkuan, upaya pemenuhan hak dan upaya reintegrasi

sosial. Sehingga dengan adanya hambatan-hambatan tersebut peneliti dapat

mengetahui upaya-upaya apa saja yang akan dilakukan dalam mengatasi

hambatan tersebut.
27

Kebijakan

Implementasi
Kebijakan

Komunikasi Sumberdaya Struktur


Disposisi
Birokrasi

Hambatan

Implementasi Kebijakan

Upaya Mengatasi Hambatan


Implementasi Kebijakan

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

D. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana proses komunikasi dalam implementasi perda nomor 6 tahun

2011 tentang perlindungan anak yang hidup di jalan?

2. Bagaimana kemampuan sumberdaya dalam mengimplementasikan

kebijakan tentang perlindungan anak jalanan?


28

3. Bagaimana proses disposisi dalam implementasi kebijakan tentang

perlindungan anak jalanan?

4. Bagaimana kemampuan struktur birokrasi dalam mengimplementasikan

kebijakan tentang perlindungan anak jalanan?

5. Apa hambatan pelaksanaan Perda Nomor 6 Tahun 2011 tentang

perlindungan anak jalanan di kota Yogyakarta?

6. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan

implementasi kebijakan tersebut?

Anda mungkin juga menyukai