Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di tengah- tengah

masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Dalam konteks masyarakat Indonesia,

masalah kemiskinan juga merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji secara

terus-menerus.

Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal

untuk hidup layak (BPS dan Depsos 2002: 3). Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada

dibawah garis nilai standar kebutuhan minimum. Menurut Smeru (dalam Sjafari, 2014: 16), secara

luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang

buruk, dan kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Menurut Agus Sjafari dalam bukunya Kemiskinan Dan Pemberdayaan Kelompok (2014:

12), paradigma penanggulangan kemiskinan pada saat ini adalah bahwa kebijakan atau program

anti kemiskinan akan dapat berhasil apabila kaum miskin menjadi aktor utama dalam perang

melawan kemiskinan. Untuk membantu kaum miskin keluar dari lingkaran kemiskinan

dibutuhkan kepedulian, komitmen, kebijaksanaan, organisasi, dan program yang tepat.

Diperlukan pula sikap yang tidak memperlakukan orang miskin sebagai obyek, tetapi subyek.

Kemiskinan merupakan fenomena yang sangat kompleks (Suharto dkk, 2004). Menurut

David Cox, dikutip dalam Sjafari (2014: 17) membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi:

a. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan

pengalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Di negara-negara berkembang

seringkali orang yang miskin semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang

merupakan prasyarat globalisasi.


b. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan akibat rendahnya

pembangunan, peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan, dan akibat kecepatan

pertumbuhan perkotaan.

c. Kemiskinan sosial. Kemiskinan ini dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok

minoritas.

d. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadianlain atau

faktor-faktor eksternal diluar di miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan

lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.

Menurut Smeru (Sjafari, 2014:17-18), kemiskinan memiliki berbagai dimensi:

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan

papan)

2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan,

sanitasi, air bersih dan transportasi).

3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tidak adanya investasi untuk pendidikan

dan keluarga)

4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal.

5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam.

6. Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat.

7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang

berkesinambungan.

8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.

9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban

tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil.

2.2 Konsep Program Keluarga Harapan (PKH)

2.4.1 Pengertian PKH


Program Keluarga Harapan atau yang sering disebut dengan PKH adalah program

asistensi sosial kepada rumah tangga yang memenuhi kualifikasi tertentu dengan memberlakukan

persyaratan dalam rangka untuk mengubah perilaku miskin. Program sebagaimana dimaksud

merupakan program pemberian uang tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dan

bagi anggota keluarga RTSM diwajibkan melaksanakan persyaratan dan ketentuan yang telah

ditetapkan. Program semacam ini secara internasional dikenal sebagai program conditional cash

transfers (CCT) atau program Bantuan Tunai Bersyarat. Persyaratan tersebut dapat berupa

kehadiran di fasilitas pendidikan (misalnya bagi anak usia sekolah), ataupun kehadiran di fasilitas

kesehatan (misalnya bagi anak balita, atau bagi ibu hamil). (Pedoman Umum PKH 2013: 4-5)

2.4.2 Tujuan PKH

Tujuan utama dari PKH ini adalah untuk mengurangi angka dan memutus rantai

kemiskinan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta mengubah perilaku yang kurang

mendukung peningkatan kesejahteraan dari kelompok paling miskin. Tujuan ini berkaitan

langsung dengan upaya mempercepat pencapaian target Millennium Development Goals

(MDGs).Selain hal tersebut, masih terdapat beberapa tujuan lain dari PKH ini baik secara khusus

maupun secara umum.

Secara khusus, tujuan PKH terdiri atas:

1) Meningkatkan kondisi sosial ekonomi RTSM;

2) Meningkatkan taraf pendidikan anak-anak RTSM;

3) Meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu hamil, ibu nifas dan anak di bawah 6

tahun dari RTSM;

4) Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan,

khususnya bagi RTSM. RTSM yang menjadi sasaran PKH adalah sekelompok

orang yang tinggal satu atap, baik yang terikat oleh pertalian darah (keluarga batih)
maupun tidak (keluarga luas) yang memiliki pendapatan per kapita per bulan di

bawah garis fakir miskin. (Pedoman Umum PKH 2013: 5).

2.4.3 Sasaran Penerima Bantuan PKH

Penerima bantuan PKH adalah RTSM sesuai dengan kriteria BPS dan memenuhi satu atau

beberapa kriteria program yaitu memiliki Ibu hamil/nifas, anak balita atau anak usia 5-7 tahun

yang belum masuk pendidikan SD, anak usia SD dan SLTP dan anak 15-18 tahun yang belum

menyelesaikan pendidikan dasar.

Penggunaan bantuan PKH ditujukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan

kesehatan, karenanya bantuan akan lebih efektif dan terarah, jika penerima bantuannya adalah ibu

atau wanita dewasa yang mengurus anak pada rumah tangga yang bersangkutan (dapat nenek,

tante/bibi, atau kakak perempuan). Dalam kartu peserta PKH yang tercantum adalah nama

ibu/wanita yang mengurus anak, bukan kepala rumah tangga. Hal ini dikarenakan apabila dana

bantuan program PKH ini diterima oleh kepala keluarga, maka bantuan tersebut dikhawatirkan

tidak akan digunakan untuk kebutuhan anak akan tetapi bantuan tersebut dapat disalah gunakan

untuk kererluan yang lain seperti contoh dibelikan rokok atau pun hal lainnya. (Pedoman Umum

PKH 2013: 13).

2.4.4 Ketentuan Penerima PKH

Penerima bantuan PKH adalah RTSM yang memiliki anggota keluarga yang terdiri dari

anak usia 0-15 tahun dan/atau ibu hamil/nifas. Bantuan tunai hanya akan diberikan kepada RTSM

yang telah terpilih sebagai peserta PKH dan mengikuti ketentuan yang diatur dalam program.

Agar penggunaan bantuan dapat lebih efketif diarahkan untuk peningkatan kualitas pendidikan

dan kesehatan, bantuan harus diterima oleh ibu atau wanita dewasa yang mengurus anak pada

rumah tangga yang bersangkutan (dapat nenek, tante/bibi atau kakak perempuan).
Kewajiban penerima PKH adalah sebagai berikut:

1) Berkaitan dengan kesehatan RTSM yang ditetapkan sebagai peserta PKH diwajibkan

melakukan persyaratan berkaitan dengan kesehatan jika terdapat anggota keluarga terdiri

dari anak 0-6 tahun dan/atau ibu hamil/nifas. Apabila terdapat anak usia 6 tahun yang

telah masuk sekolah dasar, maka RTSM tersebut mengikuti persyaratan berkaitan

dengan pendidikan.

2) RTSM yang ditetapkan sebagai peserta PKH diwajibkan melakukan persyaratan berkaitan

dengan pendidikan jika terdapat anak yang berusia 6-15 tahun. Peserta PKH ini diwajibkan

untuk mendaftarkan anaknya ke SD/MI atau SMP/MTS (termasuk SMP/MTS terbuka)

dan mengikuti kehadiran di kelas minimal 85 persen dari hari sekolah dalam sebulan

selama tahun ajaran berlangsung. (Pedoman Umum PKH 2013- 7).

2.4.5 Landasan Program Keluarga Harapan

Pada awalnya PKH dibawah menkokesra, namun mulai tahun 2010 berada dibawah

sekertaris wakil Presiden (Sekwapres). PKH didasarkan pada Peraturan Presiden (perpres) No.

15 Tahun 2010 tentang percepatan penanggulanggan kemiskinan, dan Intruksi Presiden (Impres)

No. 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan.

Peraturan Presiden (Perpres) No. 15 Thun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan

Kemiskinan memuat strategi dan program percepatan penanggulangan kemiskinan. Strategi

percepatan penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan:

1) menguranggi pengeluaran masyarakat miskin,

2) meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin,

3) menggembangkan dan menjamin keberlanjutan usaha makro dan kecil,

4) mensinergikan kebijakan dan program penaggulangan kemiskinan.


Sedangkan program kemiskinan terdiri dari kelompok program bantuan sosial terpadu berbasis

keluarga, kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaaan masyarakat,

kelompok penaggulanggan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil,

dan program-program lain yang secara langsung atau tidak langsung dapat meninggkatkan

kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat miskin.

Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 Tahun 2010 tentang program pembanggunan yang

berkeadilan, memuat pelaksanaan program-program pembangunan yang berkeadilan, meliputi

program pro rakyat, keadilan untuk semua (justice for all), dan pencapaian tujuan pembangunan

millenium (Millenium Development Goals- MDGs). (Direktorat Jaminan Kesejahteraan Sosial

2009: 17)

Landasan Hukum pemberian PKH adalah:

Undang-undang nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Undang-undang nomor 13 Tahun 2011 tentang penanganan Fakir Miskin.

Inpres nomor 1 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi poin

lampiran ke 46 tentang Pelaksanaan Transparansi Penyaluran Bantuan Langsung Tunai

Bersyarat Bagi Keluarga Sangat Miskin (KSM) Sebagai Peserta Program Keluarga

Harapan (PKH).

Dasar Pelaksanaan PKH

Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku ketua Tim

Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, No: 31/KEP/MENKO/-KESRA/IX/2007

tentang "Tim Pengendali Program Keluarga Harapan" tanggal 21 September 2007

Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 02A/HUK/2008 tentang "Tim

Pelaksana Program Keluarga Harapan (PKH) Tahun 2008" tanggal 08 Januari 2008.
Keputusan Gubernur tentang "Tim Koordinasi Teknis Program Keluarga Harapan

(PKH) Provinsi/TKPKD".

Keputusan Bupati/Walikota tentang "Tim Koordinasi Teknis Program Keluarga

Harapan (PKH) Kabupaten/Kota/TKPKD".

Surat Kesepakatan Bupati untuk Berpartisipasi dalam Program Keluarga Harapan.

2.4.6 Besaran bantuan

Besaran bantuan untuk setiap RTSM peserta PKH tidak disamaratakan, tidak seperti

BLT. Akan tetapi mengikuti skenario bantuan yang disajikan pada tabel berikut.

Tabel: Skenario Bantuan PKH

Sumber: Buku Pedoman umum PKH 2013

Dengan adanya perbedaan komposisi anggota keluarga RTSM, maka besar bantuan

yang diterima setiap RTSM akan bervariasi. Contoh variasi besar bantuan baik per tahun

maupun per triwulan, berdasarkan komposisi anggota keluarga. Apabila besar bantuan yang

diterima RTSM melebihi batas maksimum yang ditetapkan sebagaimana digambarkan pada

contoh 7 tabel 5, maka untuk dapat menjadi peserta PKH seluruh anggota RTSM yang

memenuhi persyaratan harus mengikuti ketentuan PKH.


Apabila peserta tidak memenuhi komitmennya dalam tiga bulan, maka besaran bantuan

yang diterima akan berkurang dengan rincian sebagai berikut:

1) Apabila peserta PKH tidak memenuhi komitmen dalam satu bulan, maka bantuan akan

berkurang sebesar Rp 50,000,-

2) Apabila peserta PKH tidak memenuhi komitmen dalam dua bulan, maka bantuan akan

berkurang sebesar Rp 100,000,-

3) Apabila peserta PKH tidak memenuhi komitmen dalam tiga bulan, maka bantuan akan

berkurang sebesar Rp 150,000,-

4) Apabila peserta PKH tidak memenuhi komitmen dalam 3 bulan berturut-turut, maka

tidak akan menerima bantuan dalam satu periode pembayaran. (Pedoman Umum PKH

2013: 9).

2.2 Konsep Kebijakan Publik

2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Pengertian Kebijakan menurut W.I Jenkins yang dikutip oleh Solichin Abdul Wahab

bukunya Analisis Kebijakan Publik (2012:15) sebagai berikut : kebijakan publik adalah

serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh aktor politik atau kelompok

aktor, berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara- cara untuk mencapainya

dalam suatu situasi. Keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-

batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut.

Sedangkan menurut James Anderson yang dikutip oleh Leo Agustino dalam

bukunya Dasar-Dasar Kebijakan Publik (2016:17) memberikan pengertian atas definisi

kebijakan publik sebagai berikut : Serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud/tujuan

tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang actor atau sekelompok aktor yang

berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan.


2.1.2 Ciri-Ciri Kebijakan Publik

Menurut Solichin Abdul Wahab dalam bukunya Analisis Kebijakan Publik

(2012:20), ciri-ciri kebijakan publik yaitu :

1. Kebijakan Publik lebih merupakan tindakan yang sengaja dilakukan dan mengarah pada

tujuan tertentu, daripada sekedar sebagai bentuk perilaku atau tindakan menyimpang

yang serba acak ( at randown ), asal asalan, dan serba kebetulan.

2. Kebijakan pada hakikatnya terdiri atas tindakan tindakan yang saling berkaitan dan

berpola, mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat pejabat

pemerintah, dan bukan keputusan keputusan yang berdiri sendiri.

3. Kebijakan itu ialah apa yang nyatanya dilakukan pemerintah dalam bidangbidang

tertentu.

4. Kebijakan Publik munkin berbentuk positif, munkin pula negatif. Dalam bentuk yang

positif, kebijakan publik munkin mencakup beberapa bentuk tindakan pemerintah

yang dimaksudkan untuk memengaruhi penyelesaian atas masalah tertentu. Sementara

dalam bentuknya yang negatif, ia kemungkinan meliputi keputusan keputusan

pejabat pejabat pemerintah untuk tidak bertindak, atau tidak melakukan tindakan

apa pun dalam masalah masalah di mana campur tangan pemerintah itu sebernarnya

justru amat diperlukan. Sedangkan menurut Anderson yang dikutip oleh Said Zainal

Abidin dalam

bukunya Kebijakan Publik (2012:22) memberikan pengertian atas definisi kebijakan publik

sebagai berikut :
1. Setiap kebijakan harus ada tujuannya. Artinya, pembuatan suatu kebijkan tidak boleh

sekedar asal buat atau karena kebetulan ada kesempatam membuatnya. Tanpa ada tujuan

tidak perlu ada kebijakan.

2. Suatu kebijakan tidak berdiri sendiri, terpisah dari kebijakan yang lain. namun, ia berkaitan

dengan kebijakan dalam masyarakat, berorientasi pada implementasi, interprestasi, dan

penegakan hukum.

3. Kebijakan adalah apa yang dilakukan oleh pemerintah, bukan apa yang masih ingin atau

dikehendaki untuk dilakukan pemerintah.

4. Kebijakan dapat berbentuk negatif atau melarang dan juga dapat berupa pengarahan untuk

melaksanakan atau menganjurkan.

5. Kebijaksanaan harus berdasarkan hukum, sehingga mempunyai kewenangan untuk

memaksa masyarkat mengikutinya.

2.1.3 Proses Kebijakan Publik

Proses Analisis Kebijakan Publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang

dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politik tersebut nampak

dalam serangkaian kegiatan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian

kebijakan. Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan

monitoring dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual.

Berikut adalah proses kebijakan publik yang dikemukakan William N. Dunn dalam

bukunya Pengantar Analisis Kebijakan Publik (2013:24).


Tabel Proses Kebijakan Publik

Fase Karakteristik Ilustrasi


Penyusunan Agenda Para pejabat yang dipilih dan
Legislator negara dan kosposornya

diangkat menempatkan masalah pada


menyiapkan rancangan undang-undang

agenda publik. Banyak masalah tidak


mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan

disentuh sama sekali, sementara


Kesejahteraan untuk dipelajari dan

lainnya ditunda disetujui. Atau rancangan berhenti di

untuk waktu lama. komite dan tidak terpilih.


Formulasi Kebijakan Para pejabat merumuskan alternatif
Peradilan Negara Bagian

kebijakan untuk mengatasi masalah.


mempertimbangkan pelarangan

Alternatif kebijakan melihat perlunya


penggunaan tes kemampuan standar

membuat perintah eksekutif,


seperti SAT dengan alasan bahwa tes

keputusan peradilan dan tindakan


tersebut cenderung bias terhadap

legislatif. perempuan dan minoritas.

Adopsi Kebijakan Alternatif kebijakan yang diadopsi


Dalam keputusan Mahkamah agung pada

dengan dukungan dari mayoritas


kasus Roe.v. Wade tercapai keputusan

legislatif, konsensus di antara direktur


mayoritas bahwa wanita mempunyai hak

lembaga atau keputusan peradilan.untuk mengakhiri kehamilan melalui

aborsi.
Implementasi Kebijakan
Kebijakan yang telah diambil
Bagian Keuangan Kota mengangkat

dilaksanakan oleh unit-unit


pegawai untuk mendukung peraturan baru

administrasi yang memobilisasikantentang penarikan pajak kepada rumah

sakita yang
sumberdaya finansial dan manusia.tidak lagi memiliki status pengecualian

pajak.

Penilaian Kebijakan Unit-unit pemeriksaan dan akuntansi


Kantor akuntansi public memantau

dalam pemeritnahan program program kesejahteraan sosial


menentukan

apakah badan-badan eksekutif,


seperti bantuan untuk keluarga dengan

legislatif dan peradilan undang-


anak tanggungan (AFDC) untuk

undang dalam pembuatan kebijakan


menentukan luasnya

dan pencapaian tujuan. penyimpangan/korupsi.


Sumber : William N Dunn (2013:24)

2.3 Konsep Implementasi Kebijakan

2.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

Van Meter dan Van Horn (dalam Leo Agustino, 2016:126) mendefinisikan implementasi

kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan dalam keputusan- keputusan sebelumnya. Tindakan-

tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-

tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha

untuk mencapai perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan

yang dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuant-ujuan yang telah

ditetapkan. Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul

Sabatier (1979) sebagaimana dikutip dalam buku Solihin Abdul Wahab (2008: 65),

mengatakan bahwa:

Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program

dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi

kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah


disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha- usaha

untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada

masyarakat atau kejadian-kejadian.

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan

tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau diidentifikasi

oleh keputusan-keputusan kebijakan. Jadi implementasi merupakan suatu proses kegiatan

yang dilakukan oleh berbagai aktor sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil

yang sesuai dengan tujuan-tujuan atau sasaran- sasaran kebijakan itu sendiri.

2.2.2 Implikasi Dan Tahap-Tahap Implementasi

Menurut Luankali yang dikutip Rahayu Kusuma Dewi dalam bukunya studi analisis

kebijakan (2016: 159), implikasi implementasi kebijakan secara ringkas mencakup hal-hal

sebagai berikut.

1. Pelaksanaan keputusan dasar, (undang-undang, peraturan pemerintah, atau keputusan

eksekutif yang penting), atau keputusan pengadilan.

2. Keputusan mengidentifikasi masalah, tujuan, sasaran yang jelas akan dicapai, berbagai

cara untuk mengatur proses implementasinya.

3. Implementasi berlangsung dalam proses dengan tahapan tertentu (pengesahan undang-

undang menjadi output, keputusan atau aksi).

4. Pelaksanaan keputusan.

5. Kesediaan melaksanakan dari kelompok-kelompok sasaran.

6. Ada Dampak yang dipersepsikan oleh badan-badan decision making (pengambilan

keuptusan).

7. Perbaikan-perbaikan penting yang dilakukan oleh perumus kebijakan.

8. Rekomendasi untuk revisi atau melanjutkan kebijakan tersebut atau mengubah dalam

bentuk suatu kebijakan baru (a new policy).


Tahap implementasi menurut Bernadus Luankali, dikutip dalam Rahayu Kusuma

Dewi (2016: 159-160), digambarkan pada tabel berikut.

Tabel: Tahap-Tahap Implementasi Kebijakan

No Tahap Isu Penting

1. Implementasi strategi 1) Menyesuaikan struktur dengan strategi

(praimplementasi) 2) Melembagakan strategi

3) Mengoperasikan strategi

4) Menggunakan prosedur untuk memudahkan

2. Pengorganisasian 1)implementasi.
Desain organisasi dan struktur organisasi

(organizing) 2) Integrasi dan koordinasi

3) Perekrutan dan penempatan sumber daya manusia

4) Hak, wewenang dan kewajiban

5) Pendelegasian (sentralisasi atau desentralisasi)

6) Pengembangan kapasitas organisasi dan kapasitas sumber

daya manusia

7) Budaya organiasi
3. Penggerakan dan 1) Efektivitas kepemimpinan

kepemimpinan 2) Motivasi

3) Etika

4) Mutu

5) Teamwork

6) Komunikasi organisasi

7) Negosiasi

4. Pengendalian 1) Desain pengendalian

2) Sistem informasi dan manajemen dan monitoring

3) Pengendalian anggaran/ keuangan

4) Audit

Sumber : Rahayu Kusuma Dewi (2016:159).

2.2.3 Faktor Penentu Implementasi Kebijakan

Faktor penentu implementasi kebijakan menurut Leo Agustino dalam bukunya dasar-

dasar kebijakan publik (2016: 155-162), yaitu sebagai berikut.

1. Respek anggota masyarakat pada otoritas dan keputusan pemerintah.

Dalam hal ini, faktor penentu keefektifan pelaksanaan kebijakan didasarkan atas

penghormatan dan penghargaan publik pada pemerintah yang legitimat. Apabila publik

menghormati pemerintah yang berkuasa oleh Karena legitimasinya, maka secara otomatis

mereka akan turut memenuhi ajakan pemerintah melalui berbagai bentuk kebijakan.
2. Kesadaran untuk menerima kebijakan.

Bermain dalam ranah kesadaran public merupakan hal yang sulit sebab pemerintah perlu

merubah mindset warga.

3. Ada tidaknya sanksi hukum

Faktor penentu lainnya agar implementasi kebijakan dapat berjalan efektif adalah sanksi

hukum. Orang akan melaksanakan dan menjalankan suatu kebijakan (kendati dengan

perasaan terpaksa) karena mereka takut terkena sanksi hukum yang dijabarkan oleh konten

suatu kebijakan seperti denda, kurungan, dan sanksi lainnya.

4. Kepentingan pribadi atau kelompok

Subjek kebijakan (individu atau kelompok) sering memperoleh keuntungan langsung

dari suatu kebijakan. Maka tidak heran apabila efektifitas suatu implementasi kebijakan ikut

dipengaruhi oleh penerimaan dan dukungan subjek kebijakan atas pelaksanaan suatu

kebijakan.

5. Bertentangan dengan nilai yang ada

Implementasi kebijakan pun berjalan tidak efektif apabila bertentangan dengan sistem

nilai yang ada pada suatu daerah.

6. Keanggotaan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi.

Kepatuhan atau ketidakpatuhan seseorang atau sekelompok orang pada kebijakan dapat

disebabkan oleh bergabung atau tidak bergabungnya subjek kebijakan dalam suatu organisasi

tertentu atau tidak.

7. Wujudnya kepatuhan selektif

Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua subjek kebijakan patuh atas aturan atau

kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena sebagian besar masyarakat

yang patuh pada suatu kebijakan tertentu, tetapi tidak pada kebijakn lain.
8. Waktu

Efektif tidaknya suatu implementasi kebijakan sangat dipengaruhi juga oleh faktor waktu.

Seiring berjalannya waktu, kebijakan yang pada awalnya ditolak dan dianggap kontroversial

bisa berubah menjadi kebijakan yang wajar dan dapat diterima oleh masyarakat.

9. Sosialisasi

Hal berikutnya yang dapat digunakan untuk menilai efektif tidaknya suatu

implementasi kebijakan adalah dilaksanakan atau tidaknya sosialisasi. Sosialisasi

merupakan salah satu cara untuk mendistribusikan perbagai hal yang akan dilakukan dan

ditempuh oleh pemerintah melalui kebijakan yang diformulasikannya. Tanpa sosialisasi

yang cukup baik, maka tujuan kebijakan bisa jadi tidak tercapai.

10. Koordinasi antar-lembaga atau antar-organisasi

Implementasi kebijakan tidak jarang melibatkan banyak pemangku kebijakan atau

stakeholder. Oleh karena itu, koordinasi merupakan hal penting dalam menilai keefektifan

suatu implementasi kebijakan.

2.2.4 Model implementasi kebijakan George C. Edward III

Model implementasi kebijakan George C. Edward III (dalam Leo Agustino,

2016: 136-141) mengajukan empat faktor atau variabel yang berpengaruh terhadap

keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan. Empat variabel atau faktor yang

dimaksud antara lain meliputi :

1. Variabel Komunikasi (communication).

Komunikasi kebijakan berarti merupakam proses penyampaian informasi kebijakan dari

pembuat kebijakan (policy maker) kepada pelaksana kebijakan (policy implementor). Menurut

Edward III, komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi
kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah

mengetahui apa yang akan mereka kerjakan.

Komunikasi kebijakan memiliki tiga dimensi,

a. transformasi (transmission), yang meghendaki agar kebijakan publik dapat

ditransformasikan kepada para pelaksana, kelompok sasaran, dan pihak lain yang terkait

dengan kebijakan.

b. kejelasan (clarity) menghendaki agar kebijakan yang ditransmisikan kepada pelaksana,

target group, dan pihak lain yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung

terhadap kebijakan dapat diterima dengan jelas sehingga di antara mereka mengetahui apa

yang menjadi maksud, tujuan, dan sasaran serta substansi dari kebijakan publik tersebut

dapat tercapai secara efektif dan efisien.

c. konsistensi (consistency) menghendaki agar dalam pelaksanaan kebijakan haruslah

konsisten dan jelas (untuk diterapkan dan dijalankan), karena jika perintah yang diberikan

berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi para pelaksana lapangan.

2. Variabel Sumber daya (Resources)

Edward III (dalam Leo Agustino, 2016: 138-139) mengemukakan bahwa faktor sumber daya

ini juga mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan. Dalam implementasi

kebijakan, sumber daya terdiri dari empat variabel, yaitu:

a. Sumber daya Manusia, merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi keberhasilan

dan kegagalan pelaksana kebijakan. Edward III menegaskan bahwa Probably the most

essential resources in implementing policy is staff. Sumber daya manusia (staff), harus

cukup (jumlah) dan cakap (keahlian). Oleh karena itu, sumberdaya manusia harus ada

ketepatan dan kelayakan antara jumlah staf yang dibutuhkan dan keahlian yang dimiliki

sesuai dengan tugas pekerjaan yang ditanganinya.


b. Sumber daya Anggaran, yang dimaksud adalah dana (anggaran) yang diperlukan untuk

membiayai operasionalisasi pelaksana kebijakan. Sumberdaya keuangan (anggaran) akan

mempengaruhi kebehasilan pelaksanaan kebijakan. Disamping program tidak dapat

dilaksanakan dengan optimal, terbatasnya anggaran menyebabkan disposisi para pelaku

kebijakan rendah, bahkan akan terjadi goal displacement yang dilakukan oleh pelaksana

kebijakan terhadap pencapaian tujuan. Maka dari itu, perlu ditetapkan suatu sistem insentif

dalam sistem akuntabilitas.

c. Sumber daya Peralatan (facility), merupakan sarana yang digunakan untuk operasionalisasi

implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung, tanah, dan saranayang semuanya

akan memudahkan dalam memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan.

d. Sumberdaya Informasi dan Kewenangan, yang dimaksud adalah informasi yang relevan

dan cukup tentang berkaitan dengan bagaimana cara mengimplementasikan suatu

kebijakan. Kewenangan yang dimkasud adalah kewenangan yang digunakan untuk

membuatkeputusan sendiri dalam bingkaimelaksanakan kebijakan yang menjadi

kewenanganya.

3. Variabel Disposisi (Dispotition)

Disposisi merupakan sikap dari pelaksana kebijakan untuk melaksanakan kebijakan secara

sungguh-sungguh sehingga tujuan kebijakan dapat diwujudkan. Sikap yang bisa mempengaruhi

berupa sikap menerima, acuh tak acuh, atau menolak. Hal ini dipengaruhi oleh pengetauan dari

seorang implementor akan kebijakan tersebut mampu menguntungkan organisasi atau dirinya

sendiri. Pada akhirnya, intensitas disposisi implementor dapat mempengaruhi pelaksana kebijakan.

Kurangnya atau terbatasnya intensitas disposisi ini, akan bisa menyebabkan gagalnya implementasi

kebijakan.

4. Variabel Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure)


Menurut Edward III (dalam Leo Agustino, 2016: 141), kebijakan yang begitu kompleks

menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan

yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber- sumber daya tidak efektif dan tidak

termotivasi ssehingga menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah

kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan

melakukan koordinasi dengan baik.

Dua karakteristik menurut Edward III, yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi

kinerja struktur birokrasi atau organisasi ke arah yang lebih baik adalah :

a. Membuat standar operating procedures (SOPs) yang lebih fleksibel; SOPs adalah suatu

prosedur atau aktivitas terencana rutin yang memungkinkan para pegawai (atau plelaksan

kebijakan seperti aparatur, administrator, atau birokrat) untuk melakasanakan kegiatan-

kegiatannya pada setiap harinya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

b. Melaksanakan fragmentasi, tujuannya untuk menyebar tanggung jawab pelbagai aktivitas,

kegiatan atau program pada beberapa unit kerja yang sesuai dengan bidangnya masing-

masing. Dengan terfragmentasinya struktur birokrasi, maka implementasi akan lebih

efektif karena dilaksanakan oleh organisasi yang berkompeten dan kapabel.

Anda mungkin juga menyukai