Anda di halaman 1dari 13

PERPAJAKAN II

Oleh :
I Made Surya Widhi Wibawa (1707531085)
I Made Risky Prasetya (1707531087)
Made Satryawan Jelantik (1707531093)
I Made Andika Wicaksana (1707531116)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI REGULER


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN AJARAN 2018/2019

1
A. Tata Cara Perhitungan, Penyetoran, Pelaporan PPh 21/26
1. Dasar Hukum
a. Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan PPh Pasal 21
Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan, dan Tunjangan Hari
Tua;
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 181/PMK.03/2007 tentang Bentuk dan Isi
Surat pemberitahuan, Serta Tata Cara Pengambilan, pengisian, Penandatanganan,
dan Penyampaian Surat Pemberitahuan.
c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 186/PMK.03/2007 tentang Wajib Pajak
Tertentu yang Dikecualikan dari Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda
karena Tidak Menyampaikan Surat Pemberitahuan Dalam Jangka Waktu yang
Ditentukan;
d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara
Pengembalian Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang;
e. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008;
f. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009;
g. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 246/PMK.03/2008 tentang Beasiswa yang
Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan;
h. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif
Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang
Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
i. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Bagi Pejabat Negara,
PNS, Anggota TNI. Anggota POLRI, dan Pensiunannya Atas Penghasilan yang
Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
j. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 80/PMK.03/2010 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan
Tanggal Jatuh tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat
Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak,
Serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak;
k. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya
Jabatan atau Biaya Pensiun yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto
Pegawai Tetap atau Pensiunan;
l. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
m. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 254/PMK.03/2008 tentang Penetapan
Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian dan

2
Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan
Pemotongan Pajak Penghasilan;
n. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-57/PJ/2009 tanggal 25 Mei 2009
tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-31/PJ/2009
tanggal 25 Mei 2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran
dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26
sehubungan dengan Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi;
o. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2009 tanggal 25 Mei 2009
tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pasal 26 dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
21 dan/atau Pasal 26.

2. PPh Pasal 21/26


Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan dengan nama dan bentuk apapun yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri. Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah
Pajak Penghasilan atas deviden, bunga termasuk premium, diskonto, premi swap dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa, dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan sehubungan dengan
jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, pensiun dan pembayaran
berkala lainnya, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk
usaha tetap di Indonesia.
3. Pemotong PPh Pasal 21/26
Termasuk pemotong PPh Pasal 21/26 adalah Bendahara atau Pemegang Kas
Pemerintah termasuk Bendahara atau Pemegang Kas pada Pemerintah Pusat termasuk
institusi TNI dan POLRI, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga pemerintah,
lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar
negeri.
4. Subjek PPh Pasal 21/26
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah
orang pribadi yang merupakan:
a. Pegawai;
b. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
c. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pemberian jasa,
d. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
e. Mantan pegawai;
f. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan,
Bukan Subjek PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26

3
Tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah:
a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan
atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik;
b. Pejabat perwakilan organisasi internasional, yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan
usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
5. Objek PPh Pasal 21/26
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh pasal 26 adalah:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa
Penghasilan yang Bersifat Teratur maupun Tidak Teratur;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa
uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c. penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati
jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pegawai berhenti bekerja;
d. penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga KerjaLepas, berupa upah harian,
upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara
bulanan;
e. imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupamhonorarium, komisi, fee, dan
imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan
sehubungan jasa yang dilakukan;
f. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi,
uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun;
g. penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang
diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang
tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
h. penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain
yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
i. penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang
masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan.
Termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
a. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak penghasilan yang bersifat final; atau

4
b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan
khusus (deemed profit). (didasarkan pada harga pasar atas barang yang diberikan
atau nilai wajar atas pemberian kenikmatan yang diberikan).

6. Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21/26


a. Bendahara menyetor PPh Pasal 21 yang tidak ditanggungPemerintah dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Bank Persepsi atau Kantor Pos paling
lama tanggal 10 bulantakwim berikutnya. Apabila tangal 10 jatuh pada hari libur
maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya.
b. Atas PPh Pasal 21 yang terutang bagi pejabat negara, PNS, anggotaTNI, POLRI
yang PPh-nya ditanggung Pemerintah, Bendahara melaporkan penghitungan PPh
pasal 21 yang terutang dalam daftar gaji kepada KPPN.
c. Bendahara melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang sekalipun nihil dengan
menggunakan SPT Masa paling lama tanggal 20 bulan takwim berikutnya.
Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, pelaporan dilakukan pada hari kerja
berikutnya.

7. Tarif dan Cara Penghitungan PPh Pasal 21/26


a. Tarif
Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:

Lapisan Penghasilan Tarif Tarif Pajak untuk WP


Kena Pajak Pajak yang tidak memiliki
NPWP
s/d Rp 50 Juta 5% 6% atau (120% x 5%)
di atas Rp 50 juta s/d Rp 15% 18% atau (120% x 15%)
250 juta
di atas Rp 250 juta s/d Rp 25% 30% atau (120% x 25%)
500 juta
di atas Rp 500 juta 30% 36% atau (120% x 30%)

b. Tarif berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 252/PMK.03/2008


tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan
Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi:
1) Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atau 20% lebih tinggi dari tarif Pasal
17 ayat (1) huruf a UU PPh (khusus untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki
NPWP) diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi pegawai tetap, pegawai
tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayar secara bulanan.
2) 5% atau 6% (khusus untuk Wajib Pajak yang tidakmemiliki NPWP) dari
upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku
harianyang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja

5
lepas yang jumlahnya melebihi Rp 150.000,- sehari dan penghasilan
kumulatif dalam satu bulan kalender tidak melebihi Rp6.000.000,00;
3) Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atau 20% lebih tinggi dari tarif Pasal
17 ayat (1) huruf a UU PPh (khusus untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki
NPWP) atas jumlah kumulatif dari dasar pengenaan dan pemotongan PPh
Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh bukan pegawai. Dasar
pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 tenaga ahli adalah 50% dari jumlah
penghasilan bruto;
4) Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atau 20% lebih tinggi dari tarif Pasal
17 ayat (1) huruf a UU PPh (khusus untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki
NPWP) diterapkan atas jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali
pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta
kegiatan.
5) 20% bersifat fi nal diterapkan terhadap penghasilan bruto yang diterima atau
diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri, dengan
memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang
berlaku antara Republik Indonesia dengan negara domisili Wajib Pajak luar
negeri tersebut.
c. Tarif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif
Pemotongan Dan Pengenaan Pajak Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah:
1. Bersifat Final
a) 0% diterapkan atas penghasilan yang dibayarkan berupa Honorarium
dan imbalan lain dengan nama apapun yang diterima oleh PNS
Golongan I dan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat
Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b) 5% diterapkan atas penghasilan yang dibayarkan berupa Honorarium
dan imbalan lain dengan nama apapun yang diterima oleh PNS
Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat
Perwira Pertama, dan pensiunannya;
c) 15% diterapkan atas penghasilan yang dibayarkan berupa Honorarium
dan imbalan lain dengan nama apapun yang diterima Pejabat Negara,
PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan
Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya;
2. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas
jumlah penghasilan bruto berupa penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
yang menjadi beban APBN atau APBD setelah dikurangi dengan biaya
jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena
Pajak. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan
teratur setiap bulan termasuk gaji ke-13 yang menjadi beban APBN atau
APBD yang dihitung dengan tarif ini ditanggung oleh pemerintah;

6
3. Dalam hal PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya diangkat
sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lembaga yang tidak termasuk
sebagai Pejabat Negara, atas penghasilan yang menjadi beban APBN atau
APBD terkait dengan kedudukannya sebagai pimpinan dan/atau anggota
pada lembaga tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan tidak ditanggung oleh
Pemerintah;
4. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas
jumlah penghasilan bruto berupa penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
yang menjadi beban APBN atau APBD setelah dikurangi dengan biaya
jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak
ditambah tarif 20% lebih tinggi apabila Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI,
Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak. Tambahan PPh Pasal 21 sebesar 20% dipotong dari penghasilan yang
diterima Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI dan Anggota POLRI dan
pensiunannya pada saat penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
dibayarkan.
d. Cara Penghitungan
1) Pengenaan PPh Pasal 21 bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota
TNI, POLRI dan para Pensiunan termasuk janda/duda dan atau anak-anaknya
yang dibebankan kepada Keuangan Negara/Daerah (APBN/APBD)
a) Atas penghasilan yang dibayarkan berupa:
• Gaji kehormatan;
• Gaji atau uang pensiun, dan
• Tunjangan yang terkait dengan gaji kehormatan, gaji atau uang pensiun
yang dibebankan kepada Keuangan Negara Daerah.
PPh Pasal 21-nya dihitung dengan cara sebagai berikut:
• Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil dan anggota TNI,POLRI,
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a X Penghasilan Kena Pajak (PKP).
Penghasilan Kena Pajak = (penghasilan bruto – biaya jabatan - iuran
pensiun - PTKP).
• Bagi penerima pensiun bulanan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a X
Penghasilan Kena Pajak (PKP). Penghasilan Kena Pajak = (penghasilan
bruto – biaya pensiun – PTKP).
b) Atas penghasilan yang dibayarkan berupa:
- Honorarium;
- Uang sidang;
- Uang hadir;
- Uang lembur;
- Imbalan prestasi kerja, dan
- Imbalan lain dengan nama apapun;
yang dibebankan kepada Keuangan Negara/ daerah, pengenaan PPH
Pasal 21-nya dipotong sebesar 15% jumlah bruto penghasilan tersebut

7
dan bersifat fi nal kecuali Pegawai Negeri Sipil golongan II-d ke bwah
atau Anggota ABR berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah atau
Ajun Inspektur Polisi Satu ke bawah. c) Atas penghasilan yang
dibayarkan.
2) Pengenaan PPh Pasal 21 bagi selain Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil,
anggota TNI, POLRI dan para Pensiunan yang dibebankan kepada Keuangan
Negara/Daerah
a) Upah harian, Upah mingguan, Upah satuan, Upah borongan, Uang saku
harian adalah penghasilan bruto harian dikurangi Rp150.000,- (seratus
lima puluh ribu rupiah) sepanjang jumlah yang diterimanya dalam satu
bulan takwim tidak melebihi Rp1.320.000,- (satu juta tiga ratus dua
puluh ribu rupiah) dan tidak dibayarkan secara bulanan. Contoh pada
halaman sebelumnya.
b) Honorarium, Uang saku, Hadiah/penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apapun, komisi, dan Pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang diterima oleh
bukan pegawai dipotong PPh Pasal 21 berdasarkan penerapan tarif Pasal
17 ayat (1) huruf a UU PPh X 50% X penghasilan bruto.
c) Honorarium, Uang saku, Hadiah/penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apapun, komisi, dan Pembayaran lain secara berkesinambungan
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang
diterima oleh bukan pegawai yang memiliki NPWP dan hanya menerima
penghasilan dari pemberi kerja tersebut dipotong PPh Pasal 21
berdasarkan penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh X ((50%
X penghasilan bruto) - PTKP).
d) Honorarium, uang saku, uang representasi, uang rapat dan hadiah
/penghargaan dan penghasilan sejenis lainnya yang diterima oleh peserta
kegiatan (perlombaan, rapat, konferensi, sidang, pertemuan, kunjungan
kerja, anggota kepanitiaan, pendidikan pelatihan dan magang, kegiatan
lainnya) dipotong PPh Pasal 21 berdasarkan penerapan tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a UU PPh X jumlah bruto untuk setiap pembayaran yang
bersifat utuh dan tidak dipecah.
3) Penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh orang pribadi dengan status
WP luar negeri, sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa dan kegiatan Tarif 20%
x penghasilan bruto dan bersifat final atau tarif berdasarkan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Apabila WP luar negeri tersebut
berubah status, maka pemotongan PPh Pasal 21-nya tidak bersifat final.

B. Pelaporan/Penyusunan SPT Massa PPh Pasal 21/26


Sarana bagi Wajib Pajak untuk melaporkan kewajiban pemungutan PPh atas
pembayaran penghasilan kepada Pegawai dan Bukan Pegawai orang pribadi sehubungan

8
dengan pekerjaan adalah dengan menggunakan Formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26.
Selama ini formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 ini diberi kode Formulir 1721. Namun
mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 ini akan mengalami perubahan. Perubahan
juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013. Seperti dinyatakan
dalam peraturan tersebut, SPT baru ini mulai diberlakukan per tanggal 1 Januari 2014.
Sebagaimana telah diketahui, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UU PPh, para pemberi
kerja, dana pensiun, bendahara pemerintah, badan yang membayar honorarium dan
sejenisnya serta para penyelenggara kegiatan, ditugaskan untuk melakukan pemotongan,
penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21.
Pemotongan PPh Pasal 21 ini wajib mereka lakukan terhadap imbalan
(penghasilan) yang mereka bayarkan (atau terutang) kepada WP orang pribadi dalam
negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Sedangkan bila si WP orang
pribadi penerima penghasilan tersebut berstatus sebagai WP luar negeri, maka jenis PPh
yang harus dipotong adalah PPh Pasal 26. PPh Pasal 21/26 yang telah dipotong tersebut
selanjutnya harus disetorkan ke kas negara sesuai dengan jangka waktu yang sudah
ditetapkan. Dalam hal ini jika terjadi keterlambatan setor, para subjek pemotong PPh
Pasal 21/26 tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan.
Selanjutnya tugas terakhir para subjek pemotong PPh Pasal 21/26 adalah
melaporkan pelaksanaan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21/26 tersebut kepada
KPP tempat subjek pemotong PPh tersebut terdaftar. Pelaporan tersebut menggunakan
media yang dikenal dengan sebutan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan
Pasal 21 Dan/Atau Pasal 26 (lebih sering disebut dengan SPT Masa PPh Pasal 21/26).
SPT Masa PPh Pasal 21/26 tersebut wajib disampaikan dan dilaporkan kepada KPP
tempat subjek pemotong PPh terdaftar NPWP, paling lambat pada tanggal 20 (dua puluh)
bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak (bulan) terutangnya PPh Pasal 21/26.
Dalam hal ini jika terjadi keterlambatan pelaporan, subjek pemotong PPh dapat dikenai
sanksi administrasi denda sebesar Rp 100.000,- untuk setiap SPT Masa PPh yang
terlambat dilaporkan.
1. Bentuk Formulir
Bentuk Formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 ditetapkan dengan peraturan ini
sebagaimana ditentukan dalam Lampiran 1, terdiri dari:
a) Induk SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721);
b) Daftar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Penerima
Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta bagi Pegawai
Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik
Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya (Formulir 1721-I);
c) Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau
Pasal 26 - (Formulir 1721-II);
d) Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final) - (Formulir 1721-
III);
e) Daftar Surat Setoran Pajak (SSP) dan/atau Bukti Pemindahbukuan (Pbk) untuk
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721-IV);
f) Daftar Biaya - (Formulir 1721-V);

9
Sedangkan bentuk Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 yang merupakan dokumen
pendukung dari SPT Masa PPh Pasal 21/26 ditetapkan dalam Lampiran 2 peraturan ini
terdiri dari:
a) Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) atau Pasal 26 -
(Formulir 1721-VI);
b) Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final) - (Formulir 1721-VII);
c) Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Penerima
Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala - (Formulir 1721-
A1);
d) Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pegawai Negeri Sipil atau
Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Polisi Republik Indonesia atau
Pejabat Negara atau Pensiunannya - (Formulir 1721-A2);
Bentuk Formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 ini adalah berupa:
- formulir kertas (hard copy); atau
- e-SPT
2. Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26
a. Pelaporan dengan formulir kertas (hard copy)
Wajib Pajak/Pemotong Pajak dapat menggunakan SPT Masa PPh Pasal 21/26
dalam bentuk kertas (hard copy) adalah apabila:
1) Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima
pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap
pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik
Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya tidak lebih dari
20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau;
2) Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain
pemotongan PPh sebagaimana dimaksud pada angka 1 dengan bukti
pemotongan yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam
1 (satu) masa pajak; dan/atau
3) Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang
jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa
pajak; dan/atau
4) Melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang
jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa
pajak.
b. Pelaporan dengan e-SPT
Bagi Wajib Pajak/Pemotong Pajak yang diperbolehkan untuk
melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan formulir dalam
bentuk kertas, namun ingin melaporkannya menggunakan e-SPT, maka dalam
ketentuan ini Wajib Pajak ini diperbolehkan untuk melaporkan dengan
menggunakan e-SPT.
Bagi Wajib Pajak/Pemotong Pajak yang tidak memenuhi salah satu dari
keempat ketentuan yang memperbolehkan untuk melaporkan SPT Masa PPh
Pasal 21/26 dengan menggunakan formulir kertas, maka wajib melaporkan SPT
Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan e-SPT.

10
Apabila Wajib Pajak/Pemotong Pajak yang telah melaporkan SPT Masa
PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan e-SPT, maka tidak diperbolehkan lagi
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk
formulir kertas (hard copy) untuk masa-masa pajak berikutnya.
Bagi Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa PPh
Pasal 21/26 dengan e-SPT namun tetap menyampaikannya dengan formulir
kertas, maka atas SPT yang telah dilaporkannya dengan menggunakan formulir
kertas ini dianggap tidak pernah melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26.
3. Bentuk Formulir Yang Harus Digunakan
Bagi Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan
menggunakan formulir kertas, maka bentuk, isi dan ukuran formulir SPT Masa PPh
Pasal 21/26 tersebut harus sama seperti bentuk formulir yang ditetapkan dalam
Lampiran 1 PER-14/PJ/2013 ini dan tidak boleh diubah. Bagi Wajib Pajak yang
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan e-SPT, maka harus
menggunakan aplikasi e-SPT yang telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
4. Cara Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dapat disampaikan oleh Pemotong
dengan cara:
a) Langsung ke KPP atau KP2KP;
b) Melalui pos dengan bukti pengiriman surat ke KPP;
c) Melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat
ke KPP; atau
d) E-filing yang tata cara penyampaiannya diatur dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
5. Formulir Yang Harus Dilaporkan
Dalam Hal Pelaporan Menggunakan Formulir Kertas (hard copy) SPT Masa
PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) tidak perlu
dilampiri dengan:
a) Formulir 1721-I dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pegawai
Tetap, Penerima Pensiun, Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta
bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi
Republik Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya;
b) Formulir 1721-II dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final)
dan Pasal 26 dengan menggunakan Formulir 1721-VI;
c) Formulir 1721-III dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan
menggunakan Formulir 1721-VII;
d) Formulir 1721-IV dalam hal tidak ada penyetoran dan pemindahbukuan PPh
Pasal 21 dan Pasal 26 dengan menggunakan SSP dan Bukti Pbk;
e) Formulir 1721-V dalam hal Pemotong wajib menyampaikan SPT Tahunan;
f) Formulir 1721-VI;
g) Formulir 1721-VII;
h) Formulir 1721-A1;
i) Formulir 1721-A2;

11
Dalam Hal Pelaporan Menggunakan e-SPT, SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau
Pasal 26 dalam bentuk e-SPT harus disampaikan dengan disertai Induk SPT Masa
PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy).

I.KASUS

Bambang Pamungkas Olahragawan Terkaya Indonesia

Tak dapat dipungkiri lagi bahwa ikon atlet indonesia adalah bambang pamungkas,
Kapasitasnya menjadi pencetak goal terbanyak di Timnas dan kemampuanya membobol
gawang lawan yang tinggi membuat ia dihargai tinggi. baik di indonesia, maupun saat
bermain di Malaysia (Selangor FC). Bahkan saat di selangor, gaji bambang adalah yang
tertinggi, hal ini karna bambang menjadi top skorer selangor FC. Di Persija pun tak jauh
berbeda , ia mendapatkan gaji tertinggi di antara gaji pemain lainya. dan perlu diingat
bahwa ia adalah pemain lokal dengan harga kontrak termahal indonesia sampai saat ini
(1,5 miliar) estimasi gaji per bulan : 100 juta.

Bagaimana kasus tersebut diatas jika ditinjau dari sisi perpajakan terutama PPh 21 /26 yang
belaku sekarang??????

Dengan penjelasan materi diatas, penghasilan olahragawan Bambang Pamungkas sebagai


olahragawan terkaya di Indonesia yang terkena pajak penghasilan PPh 21 adalah sebagai
berikut :

PPh 21 yang terhutang atas olahragawan Bambang pamungkas

Penghasilan setahun 1.500.000.000

Jumlah Penghasilan Bruto 1.500.000.000

PTKP

- Diri WP Sendiri 15.840.000

12
- Status Kawin 1.320.000

Jumlah tanggungan 2 (dua) 2.640.000

Jumlah PTKP 19.800.000

Penghasilan kena pajak setahun 1.480.200.000

Berdasarkan PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK PPh 21 NOMOR


PER - 57PJ2009 perubahan NOMOR PER - 31PJ2009 Penghasilan kena pajak
sebagai berikut :

Tarif pasal 17ayat (1) huruf a UU PPh :

5% x 50% x Rp50.000.000,- 1.250.000

15% x 50% x Rp200.000.000,- 15.000.000

25% x 50% x Rp250.000.000,- 31.250.000

30% x 50% x Rp 980.200.000,- 147.030.000

PPh terhutang th 2011 194.530.000

PPh terhutang sebulan Rp194.530.000,- / 12 16.210.833

II. KASUS
Penghitungan pemotongan PPh pasal 26 atas penghasilan pegawai dengan status wajib
pajaka luar negeri yang memperoleh gaji sebagian atau seluruhnya dalam uang mata asing

Done Preksi adalah pegawai asing yang berada di Indonesia kurang dari 183 hari dia
berstatus menikah dan mempunyai 2 orang anak. Ia memperoleh gaji pada bulan Maret
2016 sebesar US$2,500 sebulan. Kurs Menteri Keuangan pada saat pemotongan adalah
Rp13.394,00,00 untuk US$1.00.

Peghitungan PPh pasal 26


penghasilan bruto berupa gaji sebulan adalah:
US$2,500 x Rp13.394,00,00 = Rp33.485.000,00
PPh pasal 26 teerutang adalah:
20 % x Rp 33.485.000,00 = Rp6.697.000,00

13

Anda mungkin juga menyukai