Anda di halaman 1dari 14

Latar Belakang

Dalam menghadapi era globalisasi ini, organisasi perlu meningkatkan kinerjanya agar
mampu bersaing dalam banyak konteks, yang bermakna bahwa kapasitas untuk berubah dari
sebuah organisasi penting sekali. Organisasi yang harus berubah adalah organisasi yang
menggabungkan pembelajaran dalam tempat kerjanya. Upayanya berupa kualitas adaptasi dan
aspek fundamental dimana individu harus melihat kedalam perubahan suatu paradigma. Dalam
kontek ini individu haruslah merubah sikap atau dengan kata lain menyesuaikan perkembangan
jaman karena individu dianggap sebagai penentu maju mundurnya suatu organisasi.
Dikarenakan individu adalah segalanya bagi perkembangan organisasi, mungkin bisa
dikata bahwa organisasi tanpa individu adalah suatu kebohongan belaka atau tak mungkin. Dari
hal ini maka kita lihat mengenai sebagian sifat dan pemikiran individu yang harus dimiliki
demi terwujudnya suatu organisasi yang baik, walaupun tanpa meniadakan komponen –
komponen lain seperti teknologi.
A. Karakteristik Biografis
Karakteristik biografis seperti umur, jenis kelamin, ras, disabilitas, dan lama bekerja
adalah beberapa perbedaan yang nyata pada para pekerja. Variasi dalam karakteristik level
permukaan mungkin menjadi dasar diskriminasi terhadap kelas-kelas pekerja, sehingga
layak untuk mengetahui seberapa erat kaitannya terhadap pentingnya hasil kerja. Banyak
yang ternyata tidak terlalu penting sebagaimana yang diyakini orang-orang, dan lebih
banyak lagi variasi yang terjadi dalam kelompok dengan berbagai karakteristik biografis
dibandingkan diantara mereka.
1. Umur
Hubungan antara umur dan kinerja mungkin menjadi suatu isu yang semakin penting
selama dekade mendatang karena banyak alasan. Salah satunya tingkat usia angkatan kerja
di seluruh dunia bertambah. Sebagai contoh, tingkat partisipasi sipil dari pekerja Amerika
Serikat diatas umur 59 telah meningkat, dari sekitar 22% tahun 2002 ke 29% di tahun 2012,
dan 93% pertumbuhan angkatan kerja dari 2006 ke 2016 akan berasal dari pekerja di atas
umur 54 tahun. Alasan lainnya, legislasi Amerika Serikat secara disengaja telah
menghilangkan keharusan pensiun. Kebanyakan pekerja saat ini tidak perlu lagi pensiun
pada usia 70 tahun, dan 62% dari mereka yang berusia 45-60 berencana untuk menunda
pensiun.
Pemberi kerja menunjukkan perasaan yang berbeda mengenai pekerja yang lebih tua.
Mereka melihat sejumlah kualitas positif yang dimiliki pekerja yang lebih tua terhadap
pekerjaannya, seperti pengalaman, penilaian, etika kerja yang baik, dan komitmen terhadap
kualitas. Tetapi pekerja yang lebih tua juga dinilai kurang fleksibel dan sulit menerima
teknologi baru. Ketika organisasi secara aktif mencari individu yang adaptif dan terbuka
atas perubahan, hal-hal negatif yang diasosiasikan dengan umur secara jelas menghalangi
perekrutan awal pekerja yang lebih tua dan meningkatkan kemungkinan memberhentikan
mereka saat perusahaan membutuhkan penghematan. Masa kerja mereka yang panjang
cenderung memberikan tingkat upah yang lebih tinggi, masa cuti lebih lama, dan manfaat
pensiun yang lebih menarik.
Sangat naif jika mengasumsikan dampak umur tehadap absen atau ketidakhadiran.
Kebanyakan studi menunjukkan bahwa pekerja yang lebih tua memiliki tingkat absen yang
dapat dihindari yang lebih rendah dibandingkan pekerja yang lebih muda dan tingkat yang
tidak dapat dihindari yang sama, seperti absen sakit. Secara umum populasi pekerja yang
lebih tua lebih sehat dari apa yang mungkin di ekspetasikan, tetapi riset terkini
menunjukkan bahwa di seluruh dunia, pekerja yang lebih tua memiliki masalah psikologis
atau masalah kesehatan harian tidak lebih banyak dibandingkan pekerja yang lebih muda.
Banyak yang percaya bahwa produktivitas menurun sejalan dengan umur. Sering
diasumsikan bahwa keahlian seperti kecpatan, ketangkasan, kekuatan, dan koordinasi
melemah sepanjang waktu dan kebosanan atas pekerjaan serta kurangnya stimulasi
intelektual berkonrtribusi terhadap penurunan produktivitas. Meskipun demikian, bukti
melawan asumsi itu tinjauan atas riset menemukan bahwa umur dan kinerja tidak
berhubungan dan bahwa pekerja yang lebih tua lebih mungkin terlibat dalam perilaku
kewargaan (citizenship behavior).
Hubungan antara usia dan kinerja diperkirakan akan terus menjadi isu yang penting
dimasa yang akan datang. Hal ini disebabkan setidaknya oleh 3 alasan, yaitu:
a. Keyakinan yang meluas bahwa kinerja merosot seiring dengan usia
b. Realita bahwa angkatan kerja menua
c. Mulai adanya perundang-undangan yang melarang segala macam bentuk pensiun yang
bersifat perintah.
Usia mempunyai hubungan positif dengan tingkat keluar masuknya pegawai,
produktifitas dan kepuasan kerja. Semakin tua usia, semakin kecil untuk keluar dari suatu
perusahaan, semakin produktif dan semakin menikmati kepuasan akan pekerjaan. Tetapi
usia berbanding terbalik dengan tingkat kemungkinan walaupun tidak mutlak. Riset
terakhir menemukan bahwa umur dan kinerja tidak memiliki hubungan. Mc Donald yang
mengerjakan karyawan yang sudah berumur di atas 55 tahun ternyata kinerja mereka tidak
kalah dengan yang lebih muda.
2. Jenis Kelamin
Sedikit isu mengawali lebih banyak debat, kesalahpahaman, dan opini yang tidak
didukung dibandingkan apakah wanita mempunyai kinerja sebaik pria.
Tempat terbaik untuk mulai mempertimbangkan ini adalah dengan mengakui bahwa
sedikit, jika ada, perbedaan – perbedaan penting antara pria dan wanita yang mempengaruhi
kinerjanya. Nyatanya, sebuah studi menganalisis terbaru atas kinerja menemukan bahwa
wanita meraih skor yang sedikit lebih tinggi dibandingkan pria dalam ukuran – ukuran
kinerja (meskipun diskusi ini mengenai diskriminasi, pria dinilai memiliki potensi promosi
yang lebih tinggi). Tidak ada perbedaan pria wanita yang konsisten dalam kemampuan
memecahkan masalah, keahlian analitis, dorongan kompetitif, motivasi, kemampuan
bersosialisasi, atau kemampuan belajar.
Sayangnya, peran jenis kelamin masih mempengaruhi persepsi kita. Misalnya, saat
wanita memperoleh 60% gelar sarjana di Amerika Serikat. Satu studi terbaru menemukan
bahwa profesor ilmu pengetahuan masih memandang mahasiswa sarjana wanita mereka
kurang kompeten dibandingkan pria dengan pencapaian dan keahlian yang sama.
Sayangnya, mahasiswa wanita dihadapkan pada pilihan untuk menerima stereotip
pekerjaan, serta sering merasa ketidakcocokan antara mereka dan peran pria secara
tradisional. Dalam dunia perekrutan, riset modern mengindikasikan bahwa manajer masih
dipengaruhi oleh bias gender saat memilih kandidat untuk posisi tertentu. Sebuah studi
terbaru melaporkan bahwa saat bekerja, pria dan wanita bisa saja ditawari sejumlah
pengalaman pengembangan yang sama, tetapi wanita kurang ditugaskan dalam posisi yang
menantang oleh pria, penugasan yang mungkin membantu mereka mencapai posisi
organisasional yang lebih tinggi. Wanita yang sukses dalam domain pria dinilai kurang
disukai, lebih kasar, dan kurang diinginkan sebagai atasan, tetapi wanita dalam posisi
puncak telah melaporkan bahwa persepsi ini semakin berubah dan dapat dilawan dengan
keahlian interpersonal yang efektif. Riset juga menyatakan bahwa wanita percaya
diskriminasi berbasis jenis kelamin lebih nyata dibandingkan pria, dan kepercayaan ini
khususnya dinyatakan di antara wanita yang bekerja dengan proporsi jumlah pegawai pria
yang besar.
Pantas untuk mempertanyakan implikasi diskriminasi jenis kelamin bagi individu.
Tercatat bahwa wanita masih memperoleh upah yang lebih sedikit dibandingkan pria untuk
posisi yang sama, bahkan dalam peran wanita yang tradisional. Dalam sebuah studi terbaru,
manajer berpengalaman mengalokasikan 71% dana kenaikan gaji yang tersedia untuk pria,
menyisakan hanya 29% untuk wanita. Ibu yang bekerja juga menghadapo “bias dinding
maternal oleh pemberi kerja”, yang membatasi peluang profesional mereka, dan baik pria
maupun wanita menghadapi diskriminasi atas peran perawatan keluarga mereka. Riset
telah menunjukkan bahwa pekerja yang mengalami bentuk terburuk dari diskriminasi yang
terlihat jelas, pelecehan seksual memilliki stres psikologis yang lebih tinggi, dan perasaan
ini kemudian terkait dengan komitmen organisasi serta kepuasan yang lebih rendah, disertai
motivasi yang tinggi untuk keluar dari perusahaan. “Sebagaimana diskriminasi umur, bukti
menunjukkan bahwa mengentaskan diskriminasi jenis kelamin dapat diasosiasikan dengan
kinerja yang lebih baik bagi organisasi secara keseluruhan, sebagian karena pekerja yang
didiskriminasikan cenderung akan pergi. Riset terus menggarisbawahi bahwa meskipun
alasan – alasan perputaran pekerja kompleks, ia berbahaya bagi kinerja organisasi,
khususnya untuk posisi intelektual, pekerja di posisi manajerial, di Amerika Serikat, dan
perusahaan berskala menengah.
3. Ras dan Etnis
Ras merupakan sebuah kontroversial. Bukti menyatakan bahwa beberapa orang
mendapati interaksi dengan kelompok ras lainnya tidak nyaman apabila tidak ada skenario
perilaku yang jelas untuk memandu perilaku mereka. Kita mendefinisikan ras sebagai
warisan biologis yang digunakan orang untuk mengidentifikasi dirinya.
Di Amerika serikat, Biro Sensus mengklasifikasikan individu ke dalam tujuh kategori
ras: Amerika Indian dan Alaska Asli, Asia, Kulit Hitam atau Afrika Amerika, Hawai Asli
dan Kepulauan Pasifik lainnya, beberapa Ras lain Kulit Putih, dan Dua atau Lebih Ras.
Perbedaan nyata etnis juga dibuat juga dibuat antara pembicara bahasa inggris asli dan
Hispanik. Hispanik bisa merupakan bagian ras apa pun. Kita mendefinisikan ras sebagai
warisan biologis yang digunakan orang untuk mengidentifikasi dirinya. Etnis merupakan
karakteristik budaya tambahan yang sering beririsan dengan ras, definisi ini
memungkinkan setiap individu menentukan ras dan etnisnya.
Ras dan etnis telah dipelajari karena terkait dengan hasil perekrutan seperti keputusan
perekrutan, evaluasi kinerja, gaji, dan diskriminasi tempat kerja. Kebanyakan riset
berkonsentrasi pada perbedaan pada hasil dan sikap antara kulit putih dan Afrika Amerika,
dengan sedikit studi mengenai isu – isu yang relevan tentang populasi Asia, Amerika asli,
dan Hispanik. Menguraikan semua riset tersebut tidaklah mungkin, jadi dapat diringkas
beberapa poin berikut.
Pertama, dalam latar pekerjaan, individu cenderung untuk sedikit memihak kolega dari
ras mereka dalam evaluasi kinerja, keputusan promosi, dan kenaikan gaji. Meskipun
perbedaan tersebut tidak selalu ditemukan, khususnya saat metode berstruktur tinggi dari
pengambilan keputusan digunakan. Kedua, Afrika Amerika dan Hispanik menilai
diskriminasi lebih nyata di tempat kerja. Ketiga, Afrika Amerika umumnya lebih buruk
dibandingkan kulit putih dalam keputusan pekerjaan. Mereka menerima peringkat yang
lebih rendah dalam wawancara pekerjaan, menerima peringkat yang lebih rendah, digajih
lebih sedikit, dan lebih jarang dipromosikan. Tetapi tidak ada perbedaan yang secara
statistik signifikan antara Afrika Amerika dan kulit putih dalam tingkat absen yang diamati,
penerapan keahlian sosial di tempat kerja, atau tingkat kecelakaan lebih tinggi. Afrika
Amerika dan Hispanik juga memiliki tingkat perputaran pekerja yang lebih tinggi.
Beberapa industri tetap kurang beragam secara rasial dibandingkan yang lain. Misalnya,
organisasi iklan dan media kurang beragam dalam peringkat manajemen meskipun basis
klien mereka semakin beragam secara etnis.
Kebanyakan riset menunjukkan bahwa anggota dari ras dan etnis minoritas melaporkan
level diskriminasi yang lebih tinggi di tempat kerja. Seperti yang dibahas sebelumnya,
diskriminasi atas alasan apapun berujung pada meningkatnya perputaran pekerja, yang
berbahaya bagi kinerja organisasi. Saat refrresentasi yang lebih baik dari semua kelompok
ras dalam organisasi tetap menjadi sebuah sasaran, riset terkini menunjukkan bahwa
seseorang individu dengan status minoritas semakin tidak mungkin meninggalkan
organisasinya jika ada perasaan diinklusikan (sebuah iklim keragaman positif). Bebrapa
riset menyatakan bahwa memiliki sebuah iklim keragaman positif secara keseluruhan dapat
berujung pada meningkatnya penjualan.
4. Disabilitas
Dengan terbentuknya paragraf undang – undang mengenai pendudukan dengan
disabilitas atau disebut Americans with disabilities act (ADA) tahun 1990, perwakilan
individu penyandang cacat dalam tenaga kerja Amerika Serikat meningkat cepat. Menurut
ADA pemberi kerja disyaratkan untuk menyediakan akomodasi yang sesuai sehingga
tempat kerjanya dapat diakses oleh individu dengan cacat fisik atau mental. Komisi
pemerataan peluang kerja Amerika Serikat mengklasifikasi seseorang sebagai penyandang
Disabilitas apabila ia memiliki kerusakan fisik atau mental yang setara subtansial
membatasi satu atau lebih aktivitas utama. Contohnya, orang yang kehilangan anggota
tubuh gangguan kejang, Syndrom Down, ketulian, skizofrenia, alkoholisme, diabetes dan
sakit punggung kronis. Kondisi ini hampir tidak ada yang serupa sehingga tidak ada
generalisasi mengenai bagaimana setiap kondisi terkait dengan pekerjaan. Beberapa
pekerjaan jelas – jelas tidak dapat diakomodasi untuk beberapa penyandang disabilitas.
Misalnya, hukum dan akal mengakui bahwa seorang buta tidak dapat menjadi supir bus.
Salah satu aspek yang paling kontroversial dari ADA adalah adanya provinsi yang
mensyaratkan pemberi kerja untuk memberikan akomodasi yang sesuai untuk orang
dengan disabilitas psikiatrik. Oleh karena prasangka negatif pemberi kerja, banyak
penderita gangguan mental enggan mengungkapkan keadaannya sehingga
menyembunyikan masalah. Meskipun demikian, kemajuanm teknologi yang berkelanjutan
telah meningkatkan lingkup ketersediaan pekerjaan bagi penyandang disabilitas
memberikan peluang baru dan beragam.
Dampak dari disabilitas pada hasil pekerjaan telah dikaji pada berbagai perspektif. Di
sisi lain, sebuah tinjauan atas bukti menyatakan bahwa kerjaan dengan disabilitas menerima
evaluasi kinerja yang lebih tinggi. Meskipun demikian, tinjauan yang sama menemukan
bahwa meskipun kinerja mereka lebih tinggi, individu dengan disabilitas cenderung
menemukan ekspetasi kinerja yang lebih rendah dan semakin kecil kemungkinan di
pekerjakan. Efek negatif lebih kuat bagi individu dengan disabilitas mental, dan ada
beberapa bukti menyatakan bahwa disabilitas mental bisa saja menjelekkan kinerja lebih
dari disabilitas fisik. Individu dengan isu kesehatan mental umum seperti depresi dan
kecemasan secara signifikan lebih mungkin absen dari pekerjaan.
Meskupun individu penyandang cacat terus mengalami diskriminasi, mereka kadang –
kadang diberikan perlakuan prerefensial di tempat kerja. Ketika status penyandang cacat
secara acak dimanipulasi diantara kandidat hipotetikal, individu penyandang cacat dinilai
memiliki kualitas kepribadian superior seperti dependabilitas dan potensi.
Adapun juga karakteristik biografis lainnya adalah masa kerja, agama orientasi seksual
dan identitas kelamin, serta identitas budaya.
B. Kemampuan
Kemampuan merupakan kapasitas individu saat ini untuk melakukan berbagai tugas
dalam sebuah pekerjaan. Kemampuan keseluruhan esensinya dibangun oleh dua set faktor
intelektual dan fisik.
1. Kemampuan Intelektual
Kemampuan Intelektual (intellectual ability) adalah kemampuan yang dibutuhkan
untuk melakukan aktivitas mental berpikir, penalaran, dan memecahkan masalah.
Kebanyakan masyarakat mendapatkan nilai yang tinggi pada intelektualitas, dan untuk
alasan yang baik. Orang – orang cerdas umumnya memperoleh lebih banyak uang dan
memperoleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Mereka juga semakin mungkin untuk
muncul sebagai pemimpin kelompok. Meskipun demikian, saat orang – orang tidak selalu
mampu menilai kemampuan kognitifnya secara benar, faktor – faktor asli dan yang
mempengaruhi, serta kemampuan kecerdasan intelektual (intelligence quotiente (IQ))
adalah kontrovensial. Tes IQ dirancang untuk mengetahui kemampuan intelektual umum
seseorang. Begitu juga tes penerimaan kuliah populer, seperti SAT dan ACT serta tes
penerimaan lulusan dalam bisnis (GMAT), hukum (LSAT), dan kedokteran (MCAT).
perusahaan yang menguji tidak mengklaim tesnya untuk menilai kecerdasan, tetapi para
ahli mengetahui bahwa mereka melakukannya. Tujuh dimensi yang paling sering disebut
membentuk kemampuan intelektual adalah kecerdasan angka, komprehensi verbal,
kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi spasial, dan
ingatan.
2. Kemampuan Fisik
Kemampuan fisik merupakan kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang
menuntut daya stamina, kecekatan dan keterampilan. Penelitian terhadap berbagai
persyaratan yang dibutuhkan dalam ratusan pekerjaan telah mengidentifikasi sembilan
kemampuan dasar yang tercakup dalam kinerja dari tugas-tugas fisik, yaitu yaitu kekuatan
dinamis, kekuatan tubuh, kekuatan statis, kekuatan eksplosif, fleksibilitas luas, fleksibilitas
dinamis, koordinasi tubuh, keseimbangan dan stamina. Setiap individu memiliki
kemampuan dasar tersebut secara berbeda-beda. Kemampuan intelektual berperanan besar
dalam pekerjaan yang rumit, sedangkan kemampuan fisik hanya menguras kapabilitas fisik.
C. Mengimplementasikan Strategi Manajemen Keragaman
Manajemen keragaman (diversity management) adalah proses dan program dimana
manajer membuat setiap orang sadar dan sensitif terhadap setiap kebutuhan dan perbedaan
yang ada. Keragaman akan memiliki tingkat kemungkinan untuk sukses jika kita
memandang sebagai urusan setiap orang daripada menganggap keragaman hanya sebagai
membantu kelompok pekerja tertentu.
1. Menarik, Memilih, Mengembangkan, dan Mempertahankan Pekerja yang
Beragam
Satu metode meningkatkan keragaman tenaga kerja adalah menargetkan pesan
rekrutmen yang spesifik pada kelompok demografis yang kurang diwakili dalam tenaga
kerja. Riset telah menunjukkan bahwa wanita dalam kelompok minoritas memiliki minat
yang lebih pada pemberi kerja yang memberikan peluang untuk menonjolkan komitmen
akan keragaman dalam materi rekrutmen mereka. Proses seleksi adalah salah satu tempat
terpenting untuk menerapkan usaha keragaman. Manajer yang merekrut perlu menghargai
keadilan dan objektivitas dalam memilik pekerja dan fokus pada potensi produktivitas
pekerja yang baru dipekerjakan.
Kesamaan dalam kepribadian dapat mempengaruhi perkembangan karier, dimana
mereka yang memiliki sifat kepribadian sama dengan rekan kerjanya lebih mungkin untuk
dipromoasikan. Ada pengkualifikasian atas hal ini, yaitu dalam budaya kolektif, kesamaan
dengan atasan lebih penting untuk memprediksikan kemajuan, sedangkan dalam budaya
perorangan, kesamaan dengan rekan lebih penting. Individu yang berbeda secara
demografis dari rekan kerjanya lebih mungkin merasakan komitmen yang lebih rendah dan
keluar, tetapi sebuah iklim keragaman yang positif dapat membantu. Semua pekerja akan
lebih memilih sebuah organisasi yang menghargai keragaman.
2. Keragaman dalam Kelompok
Kebanyakan tempat kerja kontemporer membutuhkan kerja keras dalam tatanan
kelompok. Saat orang-orang bekerja dalam kelompok, mereka perlu menyusun sebuah cara
yang sama untuk melihat dan menyelesaikan tugas-tugas utamama, dan mereka perlu
berkomunikasi dengan sering. Jika mereka merasa sedikit rasa keanggotaan dan kohesi
dalam kelompoknya, semua atribut kelompok ini mungkin akan menderita.
Tanpa memandang komposisi kelompok, perbedaan dapat dimanfaatkan untuk
menapai kinerja superior. Cara yang paling penting adalah untuk menekankan kesamaan
level tinggi antara anggotanya. Kelompok dari individu yang beragam akan lebih efektif
apabila pemimpin dapat menujukkan bagaimana para anggota memiliki kepentingan yang
sama dalam kesuksesan kelompok. Pimpinan transformasonal (yang menekankan sasaran
yang lebih tinggi dan menghargai dalam gaya kepemimpinannya) lebih efeektif dalam
mengelola tim yag beragam.
3. Program Keragaman Efektif
Program tenaga kerja yang efektif dan komprehensif mendorong agar keragaman
memiliki tiga konsep yang nyata. Pertama, mereka mengajarkan manajer mengenai
kerangka kerja legal bagi peluang pekerjaan yang sama dan mendorong perlakuan yang
adil atas semua orang tanpa memandang karakteristik demografisnya. Kedua, mereka
mengajarkan manajer bagaimana sebuah tenaga kerja yang beragam akan lebih baik dalam
melayani pasar yang beragam dari klien dan pelanggan. Ketiga, mereka mempercepat
praktik perkembangan pribadi yang mengeluarkan keahlian dan kemampuan semua
pekerja, mengakui bagaimana perbedaan perspektif dapat menjadi cara yang bernilai untuk
meningkatkan kinerja setiap orang.

D. Kepribadian
Para psikolog cenderung mengartikan kepribadian sebagai suatu konsep dinamis yang
mendeskripsikan pertumbuhan dan perkembangan seluruh sistem psikologis seseorang.
Definisi kepribadian yang paling sering digunakan dibuat oleh Gordon Allport hampir 70
tahun yang lalu. Ia mengatakan bahwa kepribadian adalah “organisasi dinamis dalam suatu
sistem psikofisiologis individu yang menentukan caranya untuk menyesuaikan diri secara
unik terhadap lingkungannya.” Kepribadian juga dapat diartikan keseluruhan cara dimana
seorang individu bereaksi dan berinteraksi. Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam
istilah sifat yang bisa diukur yang ditunjukkan oleh seseorang.
1) Menurut Umar Nimran, kepribadian adalah keseluruhan cara bagaimana individu
bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain yang digambarkan dalam bentuk sifat-sifat
yang dapat diukur dan dilihatkan seseorang.
2) Menurut Robbins, kepribadian itu sebagai total dari cara-cara dimana
seseorang/individu bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain, yang digambarkan
dalam bentuk sifat-sifat yang dapat diukur dan dapat diperlihatkan.
3) Menurut Robert Kreitner dan Angelo Kinicki, mendefinisikan kepribadian sebagai
gabungan dari ciri fisik dan mental yang bersifat tetap yang memberi identitas pada
seseorang/individu.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepribadian seseorang menurut Robbins
disebutkan ada tiga, yaitu:
1. Faktor Keturunan
Keturunan merujuk pada faktor genetis seorang individu. Tinggi fisik, bentuk wajah,
gender, temperamen, komposisi otot dan refleks, tingkat energi dan irama biologis adalah
karakteristik yang pada umumnya dianggap, entah sepenuhnya atau secara substansial,
dipengaruhi oleh siapa orang tua, yaitu komposisi biologis, psikologis dan psikologis
bawaan mereka. Pendekatan keturunan berpendapat bahwa penjelasan pokok mengenai
kepribadian seseorang adalah struktur molekul dari gen yang terdapat dalam kromosom.
Terdapat tiga dasar penelitian berbeda yang memberikan sejumlah kredibilitas terhadap
argumen bahwa faktor keturunan memiliki peran penting dalam menentukan kepribadian
seseorang. Dasar pertama berfokus pada penyokong genetis dari perilaku dan temperamen
anak-anak. Dasar kedua berfokus pada anak-anak kembar yang dipisahkan sejak lahir.
Dasar ketiga meneliti konsistensi kepuasan kerja dari waktu ke waktu dan dalam berbagai
situasi.
2. Faktor Lingkungan
Faktor lain yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap pembentukan karakter kita
adalah lingkungan dimana kita tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga, teman-
teman, dan kelompok sosial dan pengaruh-pengaruh lain yang kita alami. Faktor-faktor
lingkungan ini memiliki peran dalam membentuk kepribadian kita.
3. Faktor Situasi
Faktor lainnya adalah situasi. Ini berarti, kepribadian sesorang yang banyak ditentukan
oleh bawaan lahir, lingkungan yang relatif stabil, akan dapat berubah karena adanya kondisi
situasi tertentu yang berubah. Robbins (2001) mencatat 16 ciri-ciri kepribadian sebagai
sumber prilaku yaitu sebagai berikut :
a) Pendiam vs Ramah
b) Kurang Cerdas vs Cerdas
c) Emosi Labil vs Emosi mantap
d) Mengalah vs Dominan
e) Serius vs Senang-Senang
f) Kompromis vs Hati-Hati
g) Mali-Malu vs Petualang
h) Keras Hati vs Peka
i) Percaya vs Curiga
j) Praktis vs Imajinatif
k) Terus terang vs Lihai
l) Percaya Diri vs Takut-takut
m) Konservatif vs Suka bereksperimen
n) Bergantung Kelompok vs Mandiri
o) Tak Terkendali vs Terkendali
p) Santai vs Tegang
1. Tipe-tipe Kepribadian
Holland dalam Haryono (2001) memformulasikan tipe-tipe kepribadian sebagai berikut:
a) Tipe Realistik
Mereka yang berada area ini adalah cenderung sebagai orang yang memiliki keengganan
sosial, agak pemalu, bersikap menyesuaikan diri, materialistik, polos, keras hati, praktis,
suka berterus terang, asli, maskulin dan cenderung atletis, stabil, tidak ingin
menonjolkan diri, sangat hemat, kurang berpandangan luas dan kurang mau terlihat.
b) Tipe Investigatif
Mereka yang berada dalam tipe ini cenderung berhati-hati, kritis, ingin tahu, mandiri,
intelektual,instropektif, introvert, metodik, agak pasif, pesimis, teliti, rasional, pendiam,
menahan diri dan kurang populer.
c) Tipe Artistik
Orang-orang yang masuk dalam tipe ini cenderung untuk memperlihatkan dirinya
sebagai orang yang “agak sulit” (complicated), tidak teratur, emosional, tidak
materaialistik, idealistis, imaginitif, tidak praktis, impulsif, mandiri, instropektif,
intuitif, tidak menyesuaikan diri dan orisinil/asli.
d) Tipe Sosial
Mereka yang tergolong dalam tipe sosial ini cenderung untuk memperlihatkan dirinya
sebagai orang yang suka kerjasama, suka menolong, sopan santun, murah hati, agak
konservatif, idealistis, persuasif, bertanggung jawab, bersifat sosial, bijaksana dan
penuh pengertian.
e) Tipe Enterprising
Mereka yang masuk dalam tipe ini cenderung memperlihatkan dirinya sebagai orang
yang gigih mencapai keuntungan, petualang, bersemangat (ambisi), argumentatif,
dominan, energik, suka menonjolkan diri, suka spekulasi dan membujuk, impulsif,
optimis, pencari kesenangan, percaya diri, sosial dan suka bicara.
f) Tipe Kovensional
Mereka yang masuk dalam tipe ini adalah orang-orang yang mudah menyesuaikan diri,
teliti, dipensif, efesien, kurang fleksibel, pemalu, patuh, sopan santun, teratur dan
cenderung rutin, keras hati, praktis, tenang, kurang imajinasi dan kurang mengontrol
diri.
E. Pembelajaran
Definisi pembelajaran secara umum adalah setiap perubahan perilaku yang relatif
permanen, terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Ironisnya disini kita dapat mengatakan
bahwa perubahan perilaku menunjukkan bahwa pembelajaran telah terjadi dan
pembelajaran adalah perubahan perilaku. Sedangkan definisi lain menurut Robbins (2001)
mengatakan pembelajaran dalam prespektif perilaku keorganisasian adalah proses
perubahan yang relatif konstan dalam tingkah laku yang terjadi karena pengalaman atau
pelatihan. Menurut Robbins ada 3 teori untuk menjelaskan bagaimana orang mendapatkan
pola-pola perilaku, yaitu sebagai berikut:
1. Pengkondisian Klasik
Pengkondisian klasik tumbuh berdasarkan eksperimen untuk mengajari anjing
mengeluarkan air liur sebagai respons terhadap bel yang bordering. Model ini
diperkenalkan oleh seorang ahli fisiolog Rusia bernama Ivan Pavlov pada tahun 1900-an.
Pada dasarnya, model ini mempelajari sebuah respons berkondisi mencakup pembangunan
hubungan antara rangsangan berkondisi dan rangsangan tidak berkondisi. Ketika
rangsangan tersebut, yang satu menggoda dan yang lainnya netral, dipasangkan rangsangan
yang netral menjadi sebuah rangsangan berkondisi dan dengan demikian mengambil sifat-
sifat dari rangsangan tidak berkondisi tersebut.

2. Pengkondisian Operant
Pengkondisian operant menyatakan bahwa perilaku merupakan fungsi dari
konsekuensi- konsekuensinya. Individu belajar berperilaku untuk mendapatkan sesuatu
yang mereka inginkan atau menghindari sesuatu yang tidak mereka inginkan. Perilaku
operant berarti perilaku secara sukarela atau yang dipelajari, kebalikan dari perilaku
refleksi atau tidak dipelajari. Kecendrungan untuk mengulangi perilaku seperti ini
dipengaruhi oleh ada atau tidaknya penegasan dari konsekuensi-konsekuensi yang
dihasilkan oleh perilaku. Dengan demikian, penegasan akan memperkuat sebuah perilaku
dan meningkatkan kemungkinan perilaku tersebut diulangi. Psikolog Harvard, B. F.
Skinner, mengemukakan bahwa menciptakan konsekuensi yang menyenangkan untuk
mengikuti bentuk perilaku tertentu akan meningkatkan frekuensi perilaku tersebut. Ia
mendemonstrasikan bahwa individu berkemungkinan besar akan melakukan perilaku yang
diharapkan jika mereka ditegaskan secara positif untuk melakukannya, paling efektif,
penghargaan diberikan segera setelah respons yang diharapkan diperoleh dan perilaku yang
tidak diberi penghargaan atau dihukum, berkemungkinan lebih kecil untuk di ulang.
3. Pembelajaran Sosial
Seseorang dapat belajar dengan mengamati apa yang terjadi pada individu lain dan
hanya dengan diberi tahu mengenai sesuatu, seperti belajar dari pengalaman langsung.
Disini teori pembelajaran soSial adalah sebuah perluasan dari pengkondisian operant. Teori
ini berasumsi bahwa sebuah fungsi dari konsekuensi- teori ini juga mengakui keberadaan
pembelajaran melalui pengamatan atau observasi dan pentingnya persepsi dalam
pembelajaran. Individu merespons pada bagaimana mereka merasakan dan mendefinisikan
konsekuensi, bukan pada konsekuensi objektif itu sendiri.
Ada empat model yang telah ditemukan oleh Robbins (2001) untuk menentukan
pengaruh sebuah model pada seorang individu, yaitu:
a. Proses perhatian. Individu berminat belajar dari suatu model bila model itu cukup
dikenal, cukup dapat menarik perhatiannya sedemikian rupa serta apa yang disajikan
penting buatnya.
b. Proses penyimpanan. Pengaruh dari suatu model bergantung kepada seberapa baik
individu mengingat tindakan model setelah model tersebut tidak lagi tersedia.
c. Proses reproduksi motor. Setelah seseorang melihat sebuah perilaku baru dengan
mengamati model, pengamatan tersebut harus diubah menjadi tindakan. Proses ini
kemudian menunjukkan bahwa individu itu dapat melakukan aktivitas yang dicontohkan
oleh model tersebut.
d. Proses penegasan. Individu akan termotivasi untuk menampilkan perilaku yang
dicontohkan jika tersedia insentif positif atau penghargaan. Perilaku yang ditegaskan
secara positif akan mendapat lebih banyak perhatian, dipelajari dengan lebih baik dan
dilakukan lebih sering.

Anda mungkin juga menyukai