Anda di halaman 1dari 22

REFERAT UROLOGI

“Overactive Bladder (OAB)”

Pembimbing :
dr. Tri Budiyanto, Sp.U

Disusun Oleh :
Naelin Nikmah G4A013095

Sofia Kusumadewi G4A013096

SMF ILMU BEDAH UROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2014
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN REFERAT UROLOGI

Overactive Bladder (OAB)

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik

Di bagian SMF Bedah Urologi

RSUD Prof. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun Oleh :

Naelin Nikmah G4A013095

Sofia Kusumadewi G4A013096

Telah disetujui,
Pada tanggal : Desember 2014

Pembimbing,

dr. Tri Budiyanto, Sp.U


BAB I

PENDAHULUAN

Overactive bladder (OAB) dapat didefinisikan sebagai urgensi dengan


atau tanpa adanya inkontinensia urin urgensi, yang umumnya disertai dengan
frekuensi dan nokturia. Urgensi merupakan gejala utama dari OAB. OAB dapat
diklasifikasikan menjadi OAB basah (jika disertai inkontinensia urin urgensi) dan
OAB kering (jika tanpa inkontinensia urin urgensi) (Jack, 2011).
Berbagai penelitian yang dilakukan di Eropa maupun di Amerika
menunjukkan bahwa prelavensi OAB di kedua benua ini hampir sama, yakni lebih
kurang 17% populasi umum menderita OAB (Cardozo et al., 2006), sementara
penelitian berbasis quisioner yang dilakukan pada wanita di Asia didapatkan
prevalensi OAB sebesar 53,1% .
Penelitian yang dilakukan oleh National Overactive Bladder Evaluation
(NOBLE) menyebutkan bahwa 37% pasien OAB mengeluhkan adanya
inkontinensia urin urgensi, atau dikenal dengan OAB basah (wet) dan 63% tidak
disertai dengan inkontinensia urin urgensi atau OAB kering (dry). Prevalensi
OAB ‘basah’ akan meningkat dengan bertambahnya usia. Disebutkan bahwa
OAB ‘kering’ lebih sering dijumpai pada lelaki daripada perempuan (13,6%
dibanding 7%) dan sebaliknya OAB ‘basah’ lebih sering dijumpai pada
perempuan (9,3% dibanding 2,4%). Prevalensi wanita dengan OAB adalah 16,9
%, dengan 9,3% disertai inkontinensia urin urgensi dan 7.6% tanpa inkontinensia
urin urgensi. Sedangkan prevalensi laki-laki dengan OAB adalah 16% laki-laki
dengan OAB, 2,4% disertai inkontinensia urin urgensi dan 13,6% tanpa
inkontinensia urin urgensi (Hershorn et al., 2008).
Gejala OAB antara lain adalah adanya urgensi, frekuensi, nokturia, dapat
disertai dengan atau tanpa adanya inkontinensia urin urgensi. Gejala-gejala
tersebut menyebabkan penurunan kualitas hidup, diantaranya adalah terbatasnya
aktivitas fisis, psikis, sosial, seksual, dan produktivitas kerja (Basuki, 2011).
BAB II

ISI

A. ANATOMI DAN HISTOLOGI


Vesika urinaria adalah suatu kantong yang dapat mengempis, terletak
dibelakang simfisis pubis di dalam cavitas pelvis. Vesika urinaria yang kosong
pada orang dewasa seluruhnya terletak dibelakang pelvis, bila vesika urinaria
terisi, dinding atasnya terangkat sampai masuk ke region hypogastrikum
(Snell, 2006).
Dinding vesika urinaria terdiri dari 4 lapis : tunika mukosa, tunika
submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa. Tunika muskularis terdiri
atas 3 lapis otot detrusor yang saling beranyaman, yakni (1) terletak paling
dalam adalah otot longitudinal, (2) ditengah merupakan otot sirkuler, dan (3)
paling luar merupakan otot longitudinal. Lapisan otot ini akan menebal pada
bagian leher untuk membentuk spinchter vesicae (Snell, 2006).

Gambar 1. Aspektus anteroposterior anatomi vesica urinaria. Dinding vesica urinaria yang
terdiri dari mukosa-submukosa-muskular dan lapisan tambahan.

Mukosa vesika urinaria terdiri atas epitel transisional yang sama


seperti pada mukosa pelvis renalis, ureter, dan uretra posterior. Mukosa ini
sebagian besar berlipat-lipat pada vesika urinaria yang kosong dan lipatan-
lipatan tersebut akan menghilang bila vesika urinaria terisi penuh. Pada dasar
vesika urinaria, kedua muara ureter dan meatus uretra internum membentuk
suatu segitiga yang disebut trigonum vesicae (Junquiera & Carneiro, 2007).

Gambar 2. Histologi vesica urinaria. Mukosa vesica urinaria yang kosong berbentuk lipatan
atau rugae. Pengaturan serabut otot muskulus detrussor menyebabkan sulitnya dibedakan
ketiga lapisan yang ada.

B. FISIOLOGI
Fungsi vesika urinaria adalah menampung urin dari ureter dan
kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi
(berkemih). Normalnya vesika urinaria dapat menampung urin sebanyak 300-
450 ml (Sherwood, 2001).
Sistem persarafan vesica urinaria mencakup sistem simpatis dan
parasimpatis. Sistem saraf simpatis mengatur pengisian vesika urinaria dengan
menghambat kontraksi muskulus detrusor vesika dan merangsang penutupan
muskulus spinchter vesicae, sehingga memberikan rasa penuh, rasa terbakar,
atau rasa kejang dan perasaan urgency. Refleks detrusor memulai kontraksi
involunter dari otot vesika urinaria karena peregangan pada dinding. Refleks
ini terjadi melalui serabut aferen dan eferen sistem parasimpatis. Refleks
detrusor menjadi aktif bila vesika urinaria terisi lebih dari 100-150 cc urin.
Sistem saraf parasimpatis menimbulkan keinginan untuk berkemih
merangsang kontraksi muskulus detrusor vesika dan menghambat kerja
muskulus spinchter vesicae. Sistem saraf somatic mengirim signal ke sfingter
uretra eksterna untuk mencegah kebocoran urin atau untuk berelaksasi
sehingga urin dapat keluar (Sherwood, 2001).

Gambar 3. Inervasi vesica urinaria

C. DEFINISI
Menurut The International Continence Society (ICS), OAB (Overactive
Bladder) didefinisikan sebagai keluhan urgensi yang disertai inkontinensia
urin urgensi atau tanpa disertai dengan inkontinensia urin urgensi, yang
biasanya diikuti dengan frekuensi pada siang hari dan nokturia, juga tanpa
disertai infeksi saluran kemih (ISK) atau keadaan patologis yang lain pada
vesica urinaria (Gormley et al., 2012).
Urgensi didefinisikan sebagai rasa ingin berkemih mendadak yang sulit
ditahan, sedangkan frekuensi didefinisikan sebagai berkemih lebih dari 8 kali
per 24 jam. Nokturia didefinisikan sebagai bangun tidur lebih dari 1 kali saat
malam untuk berkemih. Sedangkan inkontinensia urin urgensi adalah keluhan
keluarnya urin yang tidak terkendali yang didahului oleh keinginan yang kuat
untuk berkemih (urgensi) (Gormley et al., 2012).
D. ETIOLOGI
OAB disebabkan terutama oleh masalah neuromuskuler di mana
kontraksi otot detrusor yang tidak tepat pada saat pengisian vesica urinaria.
Kontraksi ini menyebabkan keluarnya urin dari vesica urinaria. Penyebab
OAB dibagi menjadi dua yaitu neurogenik dan non-neurogenik. Penyebab
neurogenik termasuk kerusakaan medulla spinalis, stroke, multiple sclerosis,
dementis, Parkinson dan neuropati diabetikum (Ellsworth, 2014).
Overaktif otot detrusor juga dapat terjadi tanpa adanya etiologi
neurogenik. Kontraksi dapat terjadi secara spontan atau diinduksi karena
adanya pengisian vesica urinaria yang cepat, perubahan postural, berjalan atau
batuk. OAB idiopatik merupakan OAB dengan tidak adanya penyebab
neurologis, metabolisme, atau penyebab lain dari OAB atau kondisi lain
seperti infeksi saluran kemih, kanker kandung kemih, kencing batu, radang
kandung kemih, atau obstruksi kandung kemi (Ellsworth, 2014).
Obat-obat tertentu dapat menyebabkan gejala OAB. Diuretik dapat
menyebabkan gejala inkontinensia karena peningkatan pengisian vesica
urinaria yang akan merangsang otot detrusor tersebut (Ellsworth, 2014).

E. PATOFISIOLOGI
Overactive Bladder adalah salah satu sindroma klinik yang merupakan
salah satu bentuk dari kelainan overactive detrusor. Overactive detrusor
adalah suatu keadaan dimana terjadi aktivitas atau kontraksi kandung kemih
yang berlebihan yang diakibatkan karena faktor miogenik, faktor neurogenik,
maupun faktor uroepitel.
Teori miogenik dapat terlihat pada pasien yang menderita obstruksi
intravesika, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intravesika, yang
berakibat terjadinya denervasi otot polos detrusor. Bangkitan potensial aksi
pada otot polos menjadi terganggu dan tidak bisa disebarkan dari sel ke sel
otot polos yang lain. Denervasi ini menyebabkan timbulnya gerakan mikro
(micromotion), yang justru meningkatkan tekanan intravesika dan
memberikan rangsangan pada reseptor aferen otot polos. Rangsangan ini akan
memberikan umpan balik ke sistem saraf pusat sehingga timbul sensasi OAB
(Basuki, 2011;Abram et al., 2005).
Dalam teori lain tentang uroepitel dikemukakan bahwa asetilkolin
(Ach) yang dikeluarkan dari urotelium pada saat distensi vesika urinaria jauh
lebih banyak daripada normal, disamping itu reseptor sensoris pada urotelium
lebih sensitif terhadap Ach yang dikeluarkannya. Kedua hal tersebut
memberikan umpan balik pada susunan saraf pusat yang memberikan
perasaan urgensi dari suatu OAB. Terdapat banyak bukti bahwa urotelium
juga berperan pada fungsi sensoris, termasuk di sini adalah pelepasan
neurotransmitter sebagai respon dari stimulus. Pada keadaan normal, selama
proses pengisian vesika urinaria, tidak terjadi aktivitas saraf eferen
postganglionik. Dalam hipotesis lain disebutkan bahwa pada pasien OAB,
terdapat kebocoran Ach pada serabut eferen, menyebabkan gerakan mikro
(micromotions) pada otot polos detrusor dan menstimulasi SSP, yang
menyebabkan perasaan urgensi.
Faktor neurogenik tersebut antara lain adalah penurunan inhibisi
suprapontin terhadap refleks miksi, seperti yang terjadi pada pasien pasca
stroke. Disamping itu, terusakan jaras akson pada korda spinalis,
meningkatnya input aferen pada Lower Urinary Tract (LUT), hilangnya
inhibisi perifer, dan meningkatnya neurotransmisi pada jaras refleks miksi,
yang kesemuanya bisa terjadi pada stroke, cedera korda spinalis, dan sklerosis
multiple (Basuki, 2011;Abram et al., 2005).

Gambar 4. Perbedaan vesica urinaria normal dan overaktif vesica urinaria


F. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Penderita dengan simptom overactive bladder harus melewati evaluasi
dasar sebagai kerangka penentuan yang dianjurkan Agency on Health Care
Policy and Research yang meliputi riwayat pemeriksaan fisik, pengukuran
volume residu sesudah pengosongan dan urinalisis. Riwayat klasik dari
overactive bladder adalah usaha kuat untuk pengosongkan kandung kemih
atau frekuensi pengosongan lebih dari 8 kali miksi dalam 24 jam dapat
dikaitkan keluarnya urin secara tiba tiba (Montella, 2003).
Diagnosis OAB dapat dibuat berdasarkan anamnesis dari gejala dan
riwayat penyakit, serta pemeriksaan fisik. Gejala yang terjadi pada overactive
bladder antara lain :
1. Frekuensi : berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali
dalam waktu 24 jam.
2. Nokturia : malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk
berkemih.
3. Urgensi : keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun
penderita belum lama sudah berkemih dan kandung kemih belum terisi
penuh seperti keadaan normal.
4. Urge inkontinensia : dorongan yang kuat sekali unuk berkemih dan
tidak dapat ditahan sehingga kadang –kadang sebelum sampai ke toilet
urine telah keluar lebih dulu.
Pasien dengan overactive bladder pada mulanya kontraksi otot detrusor
sejalan dengan kuatnya keinginan untuk berkemih, akan tetapi pada beberapa
pasien mereka menyadari kontraksi detrusor ini secara volunter berusaha
membantu sfingter untuk menahan urine keluar serta menghambat kontraksi
otot detrusor, sehingga keluhan yang menonjol hanya urgensi dan frekuansi
yaitu lebih kurang 80 %. Nokturia hampir ditemukan 70 % pada kasus
overactive bladder dan simptom nokturia sangat erat hubungannya dengan
nokturnal enuresis. Keluhan urge inkontinensia ditemukan hanya pada
sepertiga kasus overactive bladder (Junizaf, 2002).
Riwayat penyakit yang harus digali pada pasien dengan OAB antara lain:
1. Riwayat spesifik medis, neurologis dan genitourineari dan riwayat obat-
obatan.
2. Ekplorasi mendalam dari gejala overactive bladder termasuk durasi.
3. Penilaian kualitas hidup.
4. Gejala yang terkait, misalnya inkontinensia akibat stress dan prolapsus
organ pelvik.
5. Pola pemasukan cairan dengan catatan pengosongan dalam 24 jam – 72
jam.
6. Penilaian mobilitas, lingkungan hidup, faktor sosial.
Pemeriksaan fisik difokuskan untuk mendeteksi adanya kelainan
anatomi maupun neurologi yang dapat menyebabkan timbulnya gejala itu.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan diantaranya sebagai berikut:
1. Evaluasi neurologis pada segmen bawah sakrum, termasuk
bulbocavernosus dan reflek spinter anus.
2. Pemeriksaan status mental.
3. Pemeriksaan abdomen untuk mengevaluasi massa atau kumpulan cairan,
yang dapat mempengaruhi tekanan intra abdomen dan fungsi detrusor.
4. Pemeriksaan pelvis yang biasanya normal pada penderita overaktif kandung
kemih, untuk menilai adakah kontribusi dari gejala overaktif kandung
kemih dan juga pemeriksaan rectal harus dinilai.
5. Test penekanan akibat batuk, untuk menilai adakah inkontinensia akibat
stress.
6. Estimasi volume residu setelah pengosongan baik melalui kateter atau
ultrasound pelvis, residu < 50 cc normal, residu 100 cc – 200 cc dianggap
pengosongan kandung kemih tidak sempurna (Montella, 2003).
Pemeriksaan penunjang OAB meliputi :
1. Urinealisis dan kultur digunakan untuk menyingkirkan hematuria (karena
tumor atau batu pada traktus urenarius), glukosuria (yang mungkin
menyebabkan peningkatan frekuensi pengosongan), pyuria dan bakteriuria.
2. Test lanjutan.
a. Pemeriksaan sistoskopi
b. Test Urodynamic dan cytometry
Menurut National Women’s Health Report, diagnosis dan terapi
overactive bladder dapat ditegakkan oleh sejumlah pemberi pelayanan
kesehatan, termasuk dokter pada pelayanan primer, perawat, geriatris,
gerontologis, urologis, ginekologis, pedriatris, neurologis, fisioterapis,
perawat kontinensia, dan psikolog. Pemberi pelayanan primer dapat
mendiagnosis overactive bladder dengan pemeriksaan riwayat medis yang
lengkap dan menggunakan tabel penilaian gejala (Montella, 2003; Dwyer
dan Rosmalia, 2002).
Tes yang biasanya dilakukan adalah urinealisa (tes urine untuk
menetukan apakah gejalanya disebabkan oleh overactive bladder, atau
masalah lain, seperti infeksi saluran kemih atau batu kandung kemih). Bila
urinealisa normal, seorang pemberi pelayanan primer dapat menentukan untuk
mengobati pasien atau merujuknya untuk pemeriksaan gejala lebih lanjut
(Ouslander, 2004; Weinberger, 2003).
Pada beberapa pasien, pemeriksaan fisik yang terfokus pada saluran
kemih bagian bawah, termasuk penilaian neurologis pada tungkai dan
perineum, juga diperlukan. Sebagai tambahan , pasien dapat diminta untuk
mengisi buku harian kandung kemih (catan tertulis intake cairan, jumlah dan
seringnya buang air kecil, dan sensasi urgensi) selama beberapa hari untuk
mendapatkan data mengenai gejala. Bila setelah langkah tadi diagnosis
definitif masih belum dapat ditegakkan, pasien dapat dirujuk ke spesialis
untuk penilaian urodinamis. Tes ini akan memberikan data mengenai tekanan/
volume dan hubungan tekanan/ aliran di dalam kandung kemih. Pengukuran
tekanan detrusor selama sistometri digunakan untuk mengkonfirmasi
diagnosis overaktifitas detrusor (Dwyer dan Rosmalia, 2002).

G. PENATATALAKSANAAN
Terapi optimal untuk overactive bladder tergantung pada evaluasi
menyeluruh, diikuti terapi semua penyebab yang ada dan faktor yang
berperan. Timbulnya gejala overactive bladder biasanya multifaktor, dan
terapi multimodal yang meliputi Konservatif dan operatif dapat diberikan.
1. Terapi konservatif
a. Bladder training (Waktu miksi)
Ada tiga komponen utama blader training: edukasi, jadwal miksi
dengan sistematik jadual miksi yang tertunda dan tenaga tambahan
yang positif. Bagian edukasi mengkombinasikan tulisan, lisan, instruksi
verbal yang melayani untuk membiasakan pasien dengan anatomi dan
fisiologi dari traktus urinearius bagian bawah. Pasien lalu diminta untuk
melawan atau menahan sesuai urgensi, menunda miksi, dan miksi
berdasarkan waktu yang tepat lebih baik daripada miksi yang
mendesak. Penyesuaian pada muatan cairan dan penundaan miksi untuk
meningkatkan jumlah volume buli-buli dapat saja digunakan untuk
memperjelas terapi ini. Pasien juga diminta untuk melengkapi catatan
harian (Taher, 2000; Montella, 2003).
Program bladder training yang efektif yang telah menghasilkan
hasil baik terdiri dari 6 minggu protokol miksi pasien rawat jalan. Hal
ini mewakili pasien sebagai arti untuk mendapatkan kembali kontrol
kortikal yang lebih dari detrusor dan ditawarkan sebagai
penatalaksanaan primer pada pasien dengan overactive bladder. Pasien
diatur dengan suatu jadwal miksi berdasarkan interval miksi merela
sehari-harinya; mereka biasanya diminta untuk memulai dengan miksi
setiap jam saat bangun selama 2 minggu pertama.
Instruksi kepada pasien mencakup :
1) Kosongkan kandung kemih pada waktu yang terjadwal apakah ya
atau tidak saat merasakan miksi yang mendesak.
2) Aspek yang penting adalah inisiasi miksi yang volunter, bukan
jumlah miksi.
3) Menghindari ke kamar mandi antara waktu yang terjadwal, dan
menekan desakan pada waktu yang lain.
4) Jangan merasa malu jika gagal.
Protokol membutuhkan follow up setiap 2 minggu sampai efek
keinginan unuk miksi didapat. Karena hal ini suatu pola dari terapi
tingkah laku, tenaga tambahan sangat diperlukan. Interval miksi
meningkat 15 sampai 30 menit, tergantung bagaimana baiknya pasien
bertindak pada 2 minggu pertama. Kombinasi terapi ini dengan latihan
Kegel dapat meningkatkan kemampuan pasien untuk menjadi
berkelanjutan karena peningkatan tonus otot dasar panggul akan
meningkatkan kemampuan pasien untuk menahan urine. Pengobatan ini
dapat berhasil jika pasien memiliki interval miksi 2,5 sampai 3 jam dan
bebas dari gejala overactive bladder (Taher, 2000; Montella, 2003).
b. Modifikasi tingkah laku pada pasien usia lanjut
Keseluruhan insiden overactive bladder meningkat dengan umur
dan pada pasien yang lebih tua, defisit kognitif, dan penurunan mobilits
lebih sering menyebabkan inkontinensia urine. Hadley menjelaskan
empat rejimen terjadwal secara spesifik terkait pada kemampuan
pasien. Antara lain meliputi modifikasi tingkah laku, digunakan secara
kognitif ambulatori pasien yang intak, sampai pada waktunya miksi,
digunakan pada pasien dengan kognitif berat dan perbaikan mobilitas.
Pada suatu rancangan studi longitudinal, waktu miksi telah digunakan
untuk 2 minggu pertama tunggal. Lalu oxybutinin ditambahkan pada
rejimen waktu miksi. Secara signifikan waktu miksi mengurangi
episode inkontinensia, dan penambahan oxybutirin klorid tidak
memberikan tambahan yang menguntungkan (Montella, 2003).
c. Neuromodulasi sakrum
Neuromodulasi sarum dipertegas sebagai suatu alat terapi yang
bermanfat dalam pengobatan overactive bladder.Tidak diketahui secara
pasti bagaimana kerja neuromodulasi, tetapi sedikitnya dua mekanisme
potensial yang memungkinkan :
1) Aktifasi serabut eferen terhadap sfingter urera secra refleks
menyebabkan relasksasi otot – otot detrusor.
2) Aktifasi serabut aferen menyebabkan inhibisi pada level spinal atau
supraspinal (Taher, 2000; Montella, 2003; Lennan, 2003).
d. Terapi Obat
Banyak kelas obat yang diteliti atau diusulkan untuk pengobatan
gejala overactive bladder. Kebanyakan percobaan klinis telah
mentargetkan gejala inkontinensia urine, walau percobaan terakhir
secara spesifik memasukaan subjek dengan overactive bladder.
Beberapa kelemahan menyertai kualitas studi. Grup ahli telah
mengusulkan standar metodologi untuk memperbaiki keilmuan terapi
obat pada overactive bladder. Obat-obatan yang direkomendasikan
pada kasus overactive bladder antara lain (Taher, 2000; Montella,
2003;Lennan, 2003; Cannon dan Chancellor, 2002):
1) Antikolinergik
Agen antikolinergik direkomendasikan sebagai terapi medis
pertama kalinya untuk overactive bladder dengan bekerja pada
reseptor ganglion untuk memblok kontraksi detrusor baik pada
kandung kemih normal dan juga overactive bladder . Pengobatan
ini dikontraindikasikan pada pasien dengan glaukom sudut sempit
yang tidak diobati. Semua obat antikolinergik memiliki efek
samping, meskipun mulut kering adalah yang paling sering,
konstipasi, refluks gastoesofageal, pandangan mengabur, retensi
urine, dan efek samping kognitif juga dapat terjadi. Overactive
bladder dan demensia sering ditemukan pada pasie usia lanjut.
Karena banyak bentuk demensia yang diterapi dengan inhibitor
kolinesterase secara rutin, kemungkinan efek samping kognitif dan
delirium akibat obat antimuskarinik menjadi perhatian khusus pada
populasi ini. Walaupun obat ini tidak mempunyai efek samping
kognisi pada percobaan klinis yang melibatkan dewasa tua yang
relatif sehat, dapat terjadi perubahan fungsi yang penting. Data
kuantitatif EEG meunjukkan oxybutinin memiliki efek pada SSP
diabandingkan trospium atau tolterodine. Agen antikolinergik kerja
lama dan yang terbaru, agen antimuskarinik yang lebih selektif
harus diperiksa secara klinis untuk efek samping kognitif, terutama
pada pasien lanjut.
Di antara obat antikolinergik, hanya oxybutinin, propiverin,
tolterodin, dan trospium yang memiliki level rekomendasi klinis
yang tinggi dan bukti efikasi. Oxybutinin dan tolterodine telah
dipelajari dengan luas. Terdapat dalam sediaan segera dan bentuk
absorbsi lambat, juga transdermal patch. Oxybutynin absorbsi
cepat (dosis umum dewasa, 5 mg tiga kali sehari) tampak efektif
dalam terapi overaktifitas detrusor neurogenik dan non neurogenik
dengan inkontinensia urgensi. Karena inilah, oxybutinin
memberikan perbaikan yang signifikan, berupa reduksi episode
inkontinensia sebesar lebih dari 50%, pada hampir 60 hingga 80%
subjek studi. Efikasi oxybutynin absorbsi cepat memiliki efek
samping antimuskarinik pada obat parenteral dan metabolit
aktifnya (N-desetiloxybutynin), mulut kering, sebagai contoh, pada
hampir dua pertiga subjek percobaan klinis. Oxybutynin absorbsi
cepat yang generik relatif murah dan bermanfaat pada pasien yang
gejalanya paling baik diatasi dengan obat kerja singkat (misalnya
gejala yang mengganggu hanya bila pasien jauh dari rumah atau
malam hari).
Sediaan oxybutyrin absorbsi lambat sehari sekali tampak
memiliki efek manfaat yang sama dengan absorbsi cepat, dengan
efek samping lebih sedikit. Kebanyakan studi oxybutynin lepas
terkontrol melaporkan reduksi episode inkontinensia urgensi
hampir 70%. Oxybutynin transdermal patch juga ada yang sama
efektif dengan oxybutynin absorbsi cepat tapi dengan insidens
mulut kering separuhnya.
Tolterodine adalah antagonis muskarinik yang tersedia dalam
preparat kerja singkat (2 kali sehari) dan kerja lama (sekali sehari).
Kedua bentuk memiliki efek klinis dan statistik yang signifikan
pada gejala overactive bladder pada percobaan multipel, acak,
terkontrol. Efek samping mirip dengan oxybutynin kerja singkat
dengan 20 hingga 25% mulut kering, dan penghentian akibat efek
samping sama dengan placebo (5 hingga 6%). Tolterodine tampak
sama efektif pada subjek tua dan muda dan ditoleransi dengan baik
pada satu percobaan dengan pasien yang tinggal di perawatan. Dua
studi tersponsor oleh industri yang dipublikasi, telah
membandingkan bentuk kerja cepat tolterodine dengan oxybutynin.
Dalam satu studi, dokternya diacak, wanita (mean usia 60 tahun)
diacak dan menerima satu atau agen yang lainnya. Hasil kedua
percobaan menunjukkan efikasi dan efektifitas yang sama.
Tambahan, keduanya tampak efektif ketika dikombinasikan
dengan berbagai intervensi perilaku.
Trial acak, terkontrol mengindikasikan propiverine dan
trospium efektif untuk terapi inontinensia urgensi dan memiliki
efek samping lebih sedikit daripada oxybutinin kerja singkat.
Walaupun hyosciamin, seperti oxybutynin kerja singkat, dapat
bermanfaat bagi beberapa pasien dengan gejala intermiten, dapat
disertai efek samping. Propanteline terbukti efektif dalam terapi
inkontinensia urgensi, tapi perlu dosis multipel per harinya dan
memiliki insiden efek samping yang lebih tinggi bila dihentikan.
Wanita postmenopause dengan gejala overactive bladder
sering diterapi estrogen oral atau topikal, tapi data tentang
efektfitas agen tersebut masih sedikit. Terapi nokturia, gejala
overactive bladder yang paling mengganggu pada pasien,
tergantung pada penyakit dasar – overaktivitas detrusor, poliuria
nokturna, gangguan tidur primer, atau kombinasi kondisi tersebut.
Nokturia yang berhubungan dengan overaktivitas detrusor diterapi
dengan anti kolinergik.
2) Antidepresan
Antidepresan trisiklik Efek antidepresan trisiklik pada traktus
urinearius bawah adalah 2 kali lipat antikolinergik dan efek alfa
adrenergik, untuk meningkatkan tonus uretra dan leher kandung
kemih. Dua studi kontrol yang random mengungkapkan
keefektifan doxepin dan imipramin dalam mengurangi nokturnal
inkontinensia pada pasien overactive bladder. Efek samping yang
dapat ditimbulkan antara lain fatigue, xerostomia, pusing,
pandangan kabur, nausea, dan insomnia. Dosis oral biasanya 10-25
mg 1-3 kali perhari, dengan total dosis perhari biasanya 25-100
mg.
3) Anti inflamasi nonsteroid
Obat anti inflamsi nonsteroid efektif untuk overactive bladder
karena efek inhibisinya terhadap prostaglandin sintetase sehingga
mengganggu peranan prostaglandin untuk kontraksi kandung
kemih. Penelitian yang telah dilakukan sangat terbatas, dan pada
umumnya penggunaan obat ini tidak sukses. Dosis yang efektif
untuk mengurangi kontraksi kandung kemih menimbulkan efek
samping gastritis dan ulserasi.
4) Kalsium-channel bloker
Kalsiun-channel bloker menghentikan influk kalsium
ekstraseluler yang dibutuhkan untuk proses kontraksi derusor dan
juga mencegah pemindahan dari penyimpanan kalsium intraseluler
dengan hasil adanya hambatan kontraksi eksitasi. Obat-obat ini
khusus digunakan pada pengobatan angina karena kemampuannya
untuk mencegah perpindahan kalsium intraseluler melalui saluran
lambat pada membran. Walaupun demikian, peneliti telah
menggunakan obat-obat ini pada pengobatan overactive bladder,
karena tidak dihambatnya kandung kemih telah menunjukkan
adanya ketergantungan pada influks kalsium. Tidak ada studi
kontrol nifedipin, verapamil, ataupun diltiazem yang ditampilkan,
dan penggunaannya untuk inkontinensia urgensi tidak
direkomendasikan untuk saat ini.
2. Terapi operatif
Pembedahan harus diprtimbngkan jika terapi perilaku atau terapi
pengobatan telah gagal karena adanya morbiditas lanjut pada terapi ini.
Pilihan pembedahan bervariasi antara lain
a. Augmentasi Sitoplasti
Direkomendasikan pada pasien overactive bladder yang berat atau
bagi mereka dengan kompliansi kandung kemih yang rendah, dengan
tujuan unuk menciptakan unit penyimpanan urine yang komplians dan
dengan kapasitas yang besar. Hampir semua segmen traktus
gastrointestinal, seperti ureter, telah digunakan untuk augmentsi., tetapi
tidak ada satu segmen yang mewakili substitusi ideal karena masing-
masing memiliki komplikasi sendiri. Evaluasi preoperatif harus
termasuk penilaian fungsi renal (kreatinin serum urine 24 jam, elektrolit
serum, blood urea nitrogen), penilaian fungsi saluran cerna
(sigmoidoskopi dan barium enema), sitoskopi untuk melihat adanya
abnormalits intravesikal, dan kultur urine. Selama pembedahan
kandung kemih dibagi dua melalui insisi secara sagital dari 3 cm diatau
leher buli-buli sampai 2 cm di atas trigonum. Pada ileosistoplasti dipilih
ileum terminal yang panjangnya sekitar 20-40 cm dan sedikitnya 15 cm
proksimal ke katup ileosekal. Usus dibagi dan penganastomosisan
kembali ujung ke ujung pada sisa usus dilakukan untuk menimbulkan
kontinuitas usus. Segmen ileum yang dipilih kemudian dibuka pada sisi
anti mesenteriknya dan dibentuk menjadi bentuk U atau S, menjaga
agar suplai darahnya intak, yang kemudian dianastomosiskan ke
kandung kemih. Pada ileosistoplasti, kantung caecum dibuat bersama-
sama dengan segmen ileum terminal dan dianastomosiskan ke kandung
kemih. Tujuan augmentasi sitoplasti pada pasien instabilitas detrusor
dengan lesi neuromotorik di bawah atau disinergis sfingter detrusor
yaitu untuk menginduksi retensi urine dan mengizinkan pasien untuk
mngososngkan kandung kemih sendiri dengan menggunakan kateter
sementara. Komplikasi post operatif dari augmentasi intestinositoplasti
termasuk infeksi traktus urinearius, pembentukan batu, dan masalah
metabolik. Kontra indikasinya termasuk insufisiensi renal, penyakit
usus, dan ketidakmampuan untuk melakukan kateter sendiri. Rata-rata
penyembuhannya adalah 77,2 %; rata-rata pemulihannya adalah 80,9
%.
b. Diversi urine
Diversisi urine umunya dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir
pada pasien yang bukan calon yang baik untuk rekonstruksi traktus
urinearius bawah dan dapat diobati dengan bentuk terapi lain. Dua tipe
diversi urine adalah diversi urine yang kontinen dan yang tidak
kontinen, yang pertama membutuhkan alat pengumpul eksterna. Bricker
mempubliksikan pipa ileus sebagai metode untuk diversi urine yang
nonkontinen pada tahun 1950. Tehnik terkini mengikitkan isolasi 15-20
cm ileum terminal, 10-15 cm dari anastomosis ileocaecal. Ureter
ditranseksi 3-4 cm dari kandung kemih dan dianastomosiskan baik ke
perbatasan antimesenterik loop ileal atau akhir proksimal loop ileal.
Usus yang tersisa kemudian dianastomosiskan kembali dan sebuah
lubang dibuat pada diniding anterior abdomen dengan menggunakan
loop ileum. Komplikasi prosedur ini adalah adanya infeksi luka,
kebocoran uretroileal, obstruksi intestinal, stenosis, retraksi, dan hernia.
Kompliksi yang jarang terjadi adalah urolithiasis termasuk adanya pipa
dan transformsi maligna dari loop ileum.
Keuntungan utama dari diversi urine kontinen daripada yang
nonkontinen adalah dihilangkannya peralatan pengumpul urine
eksterna. Beberapa penampung dirancang dengan berbagi kombinasi
berbeda dari ileum, caecum, kolon, sigmoid dan rektum untuk
menggantungkannya. Penampung yang ideal harus mempunyai tekanan
intrinsik yang rendah dan juga kapasitas adekuat untuk menyediakan
kontinensia dan mencegah refluks. Biasanya 40 cm ileum atau 20 cm
usus besar atau kombinasinya dibutuhkan untuk menciptakan
penampung dengan kapasitas yang adekuat.
c. Denervasi kandung kemih
Denervasi kandung kemih dapat diselesaikan dengan rhizotomi sakral
selektif, injeksi foramen S-3, atau denervsi paravaginal. Komplikasinya
termasuk hiperestesia perineal, infeksi luka, dan perdarahan
intraoperatif. Pengawasan jangka panjang menyatakan bahwa 50 %
telah menjadi persisten atau menjadi inkontinensia, dan sebagai
tambahan 20 % menjadi kering dengan penambahan antikolinergik.
BAB III
KESIMPULAN

1. OAB (Overactive Bladder) didefinisikan sebagai keluhan urgensi yang


disertai inkontinensia urin urgensi atau tanpa disertai dengan inkontinensia
urin urgensi, yang biasanya diikuti dengan frekuensi pada siang hari dan
nokturia, dan tanpa didapatkan infeksi atau patologi yang lain pada vesica
urinaria.
2. Gejala OAB antara lain adalah adanya urgensi, frekuensi, nokturia, dapat
disertai dengan atau tanpa adanya urge inkontinensia.
3. Penegakan diagnosis OAB meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pengukuran
volume residu sesudah pengosongan dan urinalisis.
4. Terapi non farmakologis adalah pilihan pertama untuk pasien OAB dan yang
terbaik adalah kombinasi dengan terapi farmakologis. Tindakan pembedahan
hanya dilakukan jika terapi non farmakologis dan terapi farmakologis gagal.
DAFTAR PUSTAKA

Abrams P, Cardozo L, Khoury S, Wein A. 2005. Incontinence volume 2


Management.

Basuki, P. 2011. Dasar-dasar urologi ed.3. Jakarta : Sagung Seto

Cannon Tw, Chancellor MB. 2002. Pharmacotherapy of the overactive bladder


and advanced in drug delivery. Clin Obstet Gynecol. 45: 205-207

Cardozo L, Castro-Diaz D, Gittelman M, et al. 2006. Reductions in overactive


bladder-related incontinence from pooled analysis of phase III trials
evaluating treatment with solifenacin. International Urogynecology Journal
and Pelvic Floor Dysfunction. 17(5):512–9.

Dwyer Pl, Rosamilia A. 2002. Evaluation and diagnosis of the overactive bladder.
Clin Obstet Gynecol. 45: 193-204

Ellsworth, P.. 2014. Overactive bladder. Diakses tanggal 24 Desember 2010 dari
http://emedicine.medscape.com/article/459340-overview#aw2aab6b2b5.

Gormley, E. A.., Deborah, J. L., Kathryn L. B., et al.. 2012. Diagnosis and
Treatment of Overactive Bladder (Non-Neurogenic) in Adults: AUA/SUFU
Guideline. The Journal of Urology.

Hershon, S., Gajewski, J., Schulz, J., Corcos, J.. 2008. A population-based study
of urinary symptoms and incontinence : The Canadia Urinary Bladder Survey.
British Journal of Urology International. 101 (1) : 52-58

Jack, B. 2011. Overactive bladder. The Canadian Journal of Urology. 18


(Supplement 1) : 8-13

Junizaf. 2002. Overactive bladder. Dalam : Buku Ajar Neurofisiologi


Uroginekologi I. Jakarta : Subbagian Uroginekologi-Rekonstruksi Bagian
Obsteri dan Ginekologi FKUI/ RSUPN-CM. 88-89

Junquiera LC, Carneiro J. 2007. Histologi Dasar Teks dan Atlas edisi 6. Jakarta:
EGC.
Montella JM. 2003. Management of overactive bladder. In : Ostergrad’s
th
urogynecology and pelvic floor dysfunction. 5 ed. Philadelphia : Lippincot
William & Wilkuns.293-307

Ouslander JG. 2004. Management of overactive bladder. N Engl J Med. 350: 786-
799

Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem ed.2. Jakarta : EGC.

Snell RS. 2006. Anatomi klinik ed.6. Jakarta : EGC.

Taher A. 2000. Anatomi dan fisiologi miksi. Dalam : Simposium diagnosis dan
penatalaksanaan mutakhir inkontinensia urine. Jakarta.

Weinberger MW. 2003. Differential diagnosis of urineary incontinence. In :


th
Ostergrad’s urogynecology and pelvic floor dysfunction. 5 ed. Philadelphia :
Lippincot William & Wilkuns. 61-69

Anda mungkin juga menyukai