Anda di halaman 1dari 8

SOFIA KUSUMADEWI

G4A013096

UJIAN KOMPRE STASE SARAF

NEUROFISIOLOGI
Pengertian nyeri neuropatik menurut International Association for The Study
of Pain (IASP) adalah “nyeri yang dipicu atau disebabkan oleh lesi primer atau disfungsi dari
sistem saraf”. Nyeri neuropatik melibatkan gangguan neuronal fungsional dimana saraf perifer
atau sentral terlibat dan menimbulkan nyeri khas bersifat epikritik (tajam dan menyetrum)
(Scadding, 2003).
Nyeri neuropatik dapat terjadi akibat lesi di susunan saraf pusat (nyeri sentral) atau kerusakan
saraf perifer (nyeri perifer). Nyeri neuropatik berasal dari saraf perifer di sepanjang perjalanannya
atau dari SSP karena gangguan fungsi, tanpa melibatkan eksitasi reseptor nyeri spesifik
(nosiseptor). Gangguan ini dapat disebabkan oleh kompresi, transeksi, infiltrasi, iskemik, dan
gangguan metabolik pada badan sel neuron (Galuzzi, 2005)
Nyeri sentral neuropatik adalah suatu konsep yang berkembang akibat bertambahnya bukti
bahwa kerusakan ujung-ujung saraf nosiseptif perifer di jaringan lunak, pleksus saraf, dan saraf itu
sendiri juga dapat menyebabkan nyeri sentral nosiseptif melalui proses sensitasi. Sindrom nyeri
thalamus adalah salah satu nyeri neuropatik sentral. Nyeri sentral neuropatik juga dapat ditemukan
pada pasien post-strok, multiple sklerosis, spinal cord injury, dan penyakit Parkinson (Dupere,
2007).
Nyeri neuropatik perifer terjadi akibat kerusakan saraf perifer. Kerusakan yang berasal dari
perifer menyebabkan tidak saja pelepasan muatan spontan serat saraf perifer yang terkena tetapi
juga lepasnya muatan spontan sel-sel ganglion akar dorsal saraf yang rusak. Contoh-contoh
sindrom yang mungkin dijumpai adalah neuralgia pascaherpes, neuropati diabetes, neuralgia
trigeminus, kausalgi, phantom-limb pain, kompresi akibat tumor, dan post operasi (Dupere, 2007).
Impuls nyeri yang berasal dari nosiseptor (reseptor nyeri) disalurkan melalui salah satu dari
dua jenis serat aferen. Sinyal-sinyal yang berasal dari nosiseptor mekanis dan termal disalurkan
melalui serat A-delta yang berukuran besar dan bermielin dengan kecepatan sampai 30 meter/detik
(jalur nyeri cepat). Impuls dari nosiseptor polimodal (kimia) diangkut oleh serat C yang kecil dan
tidak bermielin dengan kecepatan yang jauh lebih lambat sekitar 12 meter/detik (jalur nyeri
lambat). Secara teori, nyeri neuropati terutama (jika tidak disertai penyakit lain) disebabkan oleh
gangguan fungsi dari akson yang tidak bermielin (serat C) dan akson yang bermielin tipis (serat
A-delta). Mekanisme yang mendasari munculnya nyeri neuropati adalah adanya sensitisasi perifer,
ectopic discharge, sensitisasi sentral, dan disinhibisi.
1. Sensitisasi perifer
Sensasi nyeri biasanya ditimbulkan oleh aktivitas neuron aferen primer yaitu serat C dan
serat A-δ. Nosiseptor ini biasanya tidak terstimulus bila tidak adanya rangsangan, dan akan
berespon terhadap stimulus noxius. Ketika terdapat kerusakan pada jalur saraf yang
mengirimkan informasi nyeri, sensasi nyeri yang dirasakan akan berkurang. Hal ini
menunjukkan terjadi peningkatan dari ambang batas nyeri dan penurunan intensitas rasa pada
stimulus noksius (stimulus yang merusak jaringan). Akan tetapi, pada beberapa kasus
kerusakan jalur sensori, terjadi hal yang berbeda. Pada pasien nyeri neuropati, akibat kerusakan
sensibilitas pada stimulus noksius, juga terdapat spontaneous pain (nyeri spontan). Perubahan
patologis didukung oleh perubahan molekuler dan seluler pada tingkat nosiseptor aferen primer
yang dipicu oleh lesi saraf (Baron, 2008 ; Costigan et al, 2010).
Ketika akson saraf perifer mengalami kerusakan maka akson yang rusak ini akan
menumbuhkan tunas-tunas baru (sprouting) yang tumbuh di sekitar struktur saraf tepi yang
tadinya dipersarafi. Apabila tempat masuk saraf pada jaringan yang menyambung tadi masih
intak atau dekat pada bagian saraf distal, akson akan masuk dan melanjutkan pertumbuhan
tunasnya ke jaringan tersebut. Jika tempat masuk tersebut rusak, maka pertumbuhan tunas
akson akhirnya tidak terkendali dan seperti bola kusut yang disebut neuroma. Secara histologi
tampak tunas dari akson yang memasuki neuroma yang berbeda dengan akson yang normal
pada saraf perifer. Kebanyakan memiliki diameter sangat kecil (<0,5 mikrometer) dan berasal
dari akson yang tidak bermielin, sekitar 80 persen dari akson aferen primer yang tidak
bermielin dan sisanya adalah eferen postganglion simpatis. Sifat fisiologi dari regenerasi
aferen primer ini juga berbeda dari aferen yang normal di beberapa segi. Pertama, area dari
pertumbuhan tunas menjadi lebih sensitif terhadap stimulasi mekanik langsung. Ini mungkin
juga dirasakan sebagai shooting pain yang biasanya timbul akibat pergerakan yang menekan
saraf. Kedua, yaitu spontaneous activity (aktifitas yang spontan). Pelepasan yang spontan dan
peningkatan sensitifitas terhadap mekanik.
Pada neuroma terjadi akumulasi berbagai ion-channel, terutama saluran Na+. Adanya
peningkatan transkripsi dan produksi saluran Natrium pada lokasi kerusakan, disertai dengan
penurunan jumlah saluran kalium menyebabkan hipereksitabilitas dan terbentuknya aktivitas
ektopik, yang diperkirakan berperan pada timbulnya nyeri spontan dan paroksismal (Costigan
et al, 2010). Terdapat dua tempat munculnya aktifivitas ektopik yaitu neuroma atau serabut
saraf yang mengalami lesi danneuron di gangglion radiks dorsalis dari serabut saraf yang
mengalami lesi. Aktivitas ektopik menimbulkan nyeri neuropati melalui:
a. Aliran impuls yang abnormal ke sistem saraf pusat (SSP) yang langsung dapat
menimbulkan gejala parestesia, disestesia dan nyeri misalnya:
1) Aktivitas yang dijalankan melalui serabut saraf C menimbulkan timbulnya persepsi
panas (burning pain)
2) Aktivitas spontan yang intermitten di serabut Aδ atau Aβ menyebabkan nyeri seperti
ditikan (lancinating) disestesia atau paresthesia.
b. Adanya saluran-saluran baru di daerah lesi (neuroma, lokasi lesi, ganglion radiks dorsalis)
menyebabkan timbulnya reseptor-reseptor yang sensitif terhadap impuls mekanikal, termal
atau kemikal. Kumpulan reseptor ektopik ini menyebabkan terjadinya hiperalgesia,
misalnya ketukan ringan di lokasi ektopik dapat menimbulkan nyeri seperti pada sindroma
terowongan karpal (tanda Tinel). Stres menyebabkan nyeri memberat karena katekolamin
yang mengaktivasi reseptor adrenergic.
c. Aktivitas Ektopik menyebabkan sensitisasi sentral sebagai penyebab utama hiperalgesia
dan alodinia

Aktivitas ektopik spontan yang diikuti cedera saraf selaras dengan adanya peningkatan
ekspresi RNA untuk saluran Na+ yang diberi tegangan pada neuron aferen primer. Serangkaian
saluran Na+ pada impuls ektopik mungkin bertanggung jawab atas penurunan ambang batas
yang berpotensi dan hasil dari hiperaktivitas. Gen-gen yang mengkodekan saluran Na+ ,
Nav1.8 dan Nav1.9 terekspresi secara selektif dalam neuron aferen primer nosiseptif. Selain itu,
Nav1.3, muncul bila terjadi kerusakan saraf perifer, dan saluran ini berkaitan dengan
peningkatan rangsangan listrik (Baron, 2008)
Setelah kerusakan saraf perifer, kluster saluran Na+ terakumulasi tidak hanya pada lokasi
lesi saraf, tetapi juga jauh di dalam ganglion radix dorsalis. Penembakan ektopik dipicu ketika
amplitude sinusoid osilasi mencapai batas. Pada manusia yang menderita karena amputasi
dengan nyeri phantom, mikroneurografis serat tunggal dari serat aferen yang diproyeksikan ke
dalam neuroma telah menunjukkan aktivitas ektopik spontan. Pasien ini menunjukkan rasa
nyeri seperti terbakar secara spontan dan sensasi seperti terkena kejutan listrik, sehingga ada
kemungkinan bahwa gejala-gejala ini berhubungan dengan penembakan aferen primer ektopik.
Pada pasien yang menderita erythromelalia yang merasa nyeri seperti terbakar, sebuah mutasi
ditemukan pada gen SCN9A, yang mengkode saluran Na (Nav1.7).

Gambar 1. Perubahan neuron aferen primer (merah : nociceptive C-fibers; biru : non-
nociceptive myelinated A-fibers,) seteleh adanya lesi partial, yang berkembang menjadi
sensitisasi perifer.

Kerusakan pada saraf perifer juga menimbulkan regulasi berbagai reseptor protein,
beberapa diantaranya ada dalam keadaan fisiologis, pada membran aferen primer. Reseptor
vanilloid (TRPV1) terletak terutama pada serat aferen nosiseptif yang diaktifkan oleh
capcaisin. Secara fisiologis, reseptor ini merasakan panas yang berbahaya (>45°C). Pada
penelitian tikus dengan diabetes yang mengalami cedera saraf, terjadi perubahan yang
signifikan. Situasi tersebut memicu downregulation TRPV1 pada banyak aferen yang telah
rusak, dan menimbulkan ekspresi baru TRPV1 pada serat-C dan serat-A yang tak cedera
(Baron, 2008).
Penelitian terbaru juga membuktikan adanya upregulasi TRPV1 pada sel DRG yang
mengalami cedera sedang dan berat. Pengamatan pada tikus yang kekurangan TRPV1
menunjukan tidak adanya hiperalgesia setelah inflamasi jaringan, hal ini mendukung gagasan
bahwa perubahan-perubahan ini mungkin berkontribusi pada pengembangan sensitisasi
nosiseptor C dan berkaitan dengan gejala panas hiperalgesia. TRPV1 tampaknya bukan
merupakan mekanisme transduksi satu-satunya untuk sensitisisasi termal setelah cedera saraf.
Penelitian pada jenis tikus liar dan tikus tanpa TRPV1 post parsial ligase saraf skiatik
menunjukkan peningkatan terus-menerus respon nosiseptif mekanik dan respon nosiseptif
termal (Baron, 2008).
Penelitian ke dalam saluran ion yang peka rangsang terhadap suhu juga telah
mengidentifikasikan saluran TRP yang peka terhadap dingin dan mentol (TRPM8) yang
diaktifkan dalam jangkauan 8-28°C. Reseptor ini diekspresikan dalam neuron DRG yang
berdiameter kecil. Upregulasi saluran post cedera dapat menyebabkan sensitisisasi perifer
nosiseptor serat-C yang peka terhadap dingin, dan berakibat dengan terjadinya hiperalgesia
dingin (Baron, 2008). Proses transduksi untuk rangsangan mekanik masih belum diketahui
pasti, meskipun saluran ion yang peka asam (ASICs) telah disebut terlibatan dalam
hiperalgesia mekanik statis (Baron, 2008)
Setelah terjadinya lesi saraf, makrofag akan diaktifkan dari pembuluh darah endoneural
menuju saraf dan DRG, melepaskan sitokin proinflamasi, khususnya TNF-α. Mediator ini
menyebabkan aktivitas ektopik baik pada nosiseptor aferen primer yang cedera dan yang tidak
cedera pada lokasi lesi. Pada pasien yang menderita neuropati inflamatori, seperti neuropati
vaskulitis atau neuropati HIV, karakteristiknya adalah rasa sakit paroksimal yang dalam dan
rasa nyeri paroksismal. COX2 dan sitokin proinflamasi ditemukan pada upregulasi dalam
specimen biopsi saraf pada pasien ini. Pada ekstrimitas pasien CRPS (complex regional pain
syndromes) didapatkan kandungan kadar IL-6 and TNF-α yang lebih tinggi daripada
extremitas yang tidak terlibat (Baron, 2008)

2. Sensitisasi Sentral
Proses kunci yang mendasari sensitisasi sentral adalah hipereksitabilitas abnormal neuron
nosiseptif sentral. Proses ini terjadi di medula spinalis karena cedera saraf perifer dan
pelepasan tachynins dan neurotransmitter. Tachynins termasuk neuropeptida substansia P dan
neurokinin. Neurotransmiter termasuk glutamat, Calcitonine Gene Related Peptide, dan
GABA. Pelepasan glutamat yang prolonged akan berikatan dengan reseptor N-metil-D-
aspartat (NMDA) dan meningkatkan kadar kalsium intraseluler. Perubahan ini selanjutnya
akan menyebabkan serangkaian proses biokimiawi di ganglion radiks dorsalis. Ambang
aktivasi akan menurun, respon terhadap stimulus meningkat, dan luas receptive
field bertambah (meluasnya area permukaan neuron untuk menerima stimulus). Secara
bersama-sama perubahan ini menyebabkan sebuah fenomena yang dikenal dengan wind up,
yaitu meningkatnya eksitabilitas dan sensitivitas neuron medula spinalis. Rangsangan sentuhan
yang biasanya tidak berbahaya menjadi mampu untuk mengaktifkan neuron pemberi isyarat
rasa nyeri pada medulla spinalis melalui Aδ dan Aβ mekanoreseptor batas rendah. Saluran N-
calsium yang berisikan tegangan neuronal sentral terletak pada lokasi presinapsis pada ujung
terminal nosiseptor aferen primer mempunyai peran penting pada sensitisasi sentral, melalui
penyediaan glutamat dan pelepasan zat P. Saluran ini terekspresi berlebihan setelah lesi saraf
perifer (Baron, 2008).
Mekanisme sentral lain yang diperkirakan berperan pada nyeri neuropatik adalah
disinhibisi sentral, yang terjadi saat mekanisme kontrol sepanjang jalur modulasi/inhibisi
hilang atau menurun. Selanjutnya juga akan menyebabkan eksitabilitas abnormal neuron
sentral. Di samping sensitisasi sentral mekanisme lain yang mendasari nyeri neuropatik di SNS
adalah disinhibisi. Penurunan inhibisi berarti eksitasi. Impuls perifer yang datang di kornu
dorsalis biasanya berupa eksitasi. Impuls tersebut sebelum diteruskan ke otak selalu
dimodifikasi oleh serabut saraf intersegmental atau serabut saraf desendens yang bersifat
inhibisi. Pada tingkat medula spinalis proses ini diperantarai oleh neuron inhibisi yang
melepaskan GABA dan glisin. Input desenden dari batang otak bekerja melalui
norepinefrin/noradrenalin dan serotonin. Percobaan eksperimental memperlihatkan bahwa
blokade reseptor GABA dan glisin akan menghasilkan hipersensitivitas nyeri (Baron, 2008)
Disinhibisi terutama terjadi karena kematian interneuron GABA setelah cedera saraf. Pada
nyeri kronik khususnya nyeri neuropatik terlihat adanya penurunan aktivitas inhibisi yang
berarti eksitasi. Keadaan ini akan menyebabkan alodinia (Meliala, 2004). Penelitian
eksperimental memperlihatkan bahwa 1 minggu setelah cedera akan terjadi apoptosis neuron
di kornu dorsalis. Proses apoptosis dapat terjadi karena eksitasi berlebih akibat pelepasan
glutamat atau kegagalan ambilan kembali glutamat, dapat pula terjadi sebagai bentuk sinyal
bunuh diri akibat pelepasan tumor necrosis factor α dari mikroglia (Woolf, 2004).
Sensitisasi sentral dapat pula ditambah dengan non-neural sel glia di medulla spinalis.
Cedera saraf perifer mengaktifkan sel glia di medulla spinalis dan menyebabkan sel-sel
tersebut untuk meningkatkan rasa nyeri dengan melepaskan sitokin proinflamasi dan glutamate
(Costigan et al, 2010).
Gambar . Aktivitas spontan serat C yang diinduksi adanya perubahan pada sensoris
sentral, dan menyebabkan adanya hipereksitabilitas medulla spinalis.

NEUROPATOLOGI
Secara klinis, sensitisasi dan disinhibisi sentral dipercaya menimbulkan alodinia, suatu
keadaan dimana stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri (gesekan baju, rabaan
halus) dipersepsi sebagai nyeri. Alodinia terjadi karena beberapa mekanisme anatara lain
sensitisasi sentral atau wind-up, reorganisasi sentral dari serabut Aβ, dan hilangnya kontrol
inhibisi.
Reorganisasi sentral serabut Aβ terjadi akibat kematian serabut saraf C (misalnya akibat herpes
zoster). Dalam keadaan normal serabut Aβ menhasilkan sensasi sentuhan bila distimulasi. Serabut
saraf ini dapat menimbulkan sensasi nyeri bila distimulasi pada individu dengan nyeri neuropatik.
Beberapa teori telah berupaya menjelaskan fenomena alodinia yaitu penurunan ambang rangsang
sensorik di neuron sentral, dan penurunan inhibisi sentral terhadap input nosiseptif. Abnormalitas
organisasi neuronal juga dapat terjadi.
Serabut saraf C biasanya bersinaps di lamina I dan II kornu dorsalis. Kehilangan serabut saraf
C di lamina I dan II memicu sprouting Aβ dan menuju lamina tersebut untuk mengisi kekosongan
sinap (neuronal plasticity). Dengan demikian impuls sentuhan ringan yang dibawa serabut Aβ
masuk ke lamina I dan II kornu dorsalis akan diterjemahkan dengan nyeri (Meliala, 2004).
Hiperalgesia merupakan gambaran yang lazim ditemukan pada nyeri. Terdapat dua tipe
hiperalgesia, yaitu primer dan sekunder. Hiperalgesia primer adalah peningkatan nyeri dan
sensitivitas di area yang mengalami kerusakan, dan hiperalgesia sekunder adalah peningkatan
sensitivitas di area sekitar kerusakan. Hiperalgesia primer diperkirakan terjadi sebagai akibat dari
perubahan perifer setelah kerusakan jaringan. Hiperalgesia sekunder diperkirakan terjadi akibat
perubahan di kornu dorsalis medula spinalis (Pasero, 2004).

DAFTAR PUSTAKA
Baron,R. 2008. Mechanisms of Disease: neuropathic pain, a clinical perspective. Nature
Clinical Practice Neurology.
Costigan, M., Scholz, J., dan Woolf, C.J.. 2009. Neuropathic Pain: A Maladaptive Response of
the Nervous System to Damage. The Annual Review of Neuroscience. 32: 1–32.
Dupere D. 2006. Neuropathic Pain: An Option Overview. The Canadian Journal of CME. 79:
90-92.
Galuzzi KE. 2005. Management of Neuropathic Pain. JAOA. 105: 12-19.
Meliala, L. 2004. Terapi Rasional Nyeri. Medika Gama Press, Yogyakarta
Pasero, C.. 2004. Pathophysiology of neuropathic pain, Pain Management Nursing; 5(4):3-8.
Scadding, J.. 2003. Neuropatic Pain. Advances in Clinical Neuroscience and Rehabilitation. Vol.
3 Number 2
Woolf, C. J.. 2004. Pain: Moving from Symptom Control toward Mechanism-Specific
Pharmacologic Management. Ann Intern Med. 140:441-451.

Anda mungkin juga menyukai