Definisi
Ruang operasi adalah suatu unit di rumah sakit yang berfungsi sebagai tempat untuk
melakukan tindakan pembedahan secara elektif maupun akut, yang membutuhkan
kondisi steril dan kondisi khusus lainnya. Luas ruangan harus cukup untuk
memungkinkan petugas bergerak sekeliling peralatan bedah. Ruang operasi harus
dirancang dengan faktor keselamatan yang tinggi.
1. LATAR BELAKANG
Peralatan medis adalah alat yang digunakan untuk tujuan medis pada pasien,
diagnosis, terapi serta tindakan pembedahan. Peralatan medis di rumah sakit
merupakan alat penunjang dalam pelayanan yang sangat vital. Peralatan medis dirumah
sakit dapat berupa peralatan sekali pakai (single-use) atau peralatan yang dapat
digunakan kembali (re-use). Ada dua risiko terkait single-use dan re-use peralatan
habis pakai : ada risiko meningkatnya infeksi dan ada risiko bahwa kekuatan peralatan
habis pakai tersebut mungkin tidak adekuat atau tidak memuaskan setelah diproses
kembali. Pada waktu alat single use menjadi re-use maka rumah sakit harus membuat
kebijakan yang menjadi panduan untuk re-use. Kebijakan konsisten dengan peraturan
dan perundangan nasional dan standar profesi dan termasuk mengidentifikasi dari :
1. Peralatan dan peralatan habis pakai yang tidak bisa di re-use.
2. Jumlah maksimum untuk melakukan re-use pada setiap peralatan dan peralatan yang di re-
use.
3. Tipe pemakaian dan kelayakan, dan indikasi bahwa peralatan habis pakai tidak bisa di re-
use.
4. Proses pembersihan untuk setiap peralatan yang mulai dengan segera sesudah digunakan
dan diikuti dengan protokol yang jelas.
5. Proses untuk pengumpulan, analisa dan data yang berhubungan dengan pencegahan dan
pengendalian infeksi peralatan dan material yang digunakan dan re-use.
2. TUJUAN
Menyediakan proseduruntuk desain danpelaksanaanpendekatan sistematisuntuk
perencanaan, ketepatan penggunaan, ketepatan pengolahan, dan pemeliharaan semua
peralatanmedis yang dapat digunakan kembali atau peralatan medis re-use(PMR) di
rumah sakit.
Melindungi pasien dan petugas kesehatan dari kemungkinan terkena infeksi silang
karena penggunaan alat yang seharusnya sekali pakai namun digunakan kembali tanpa
prosedur yang benar
3. PENGERTIAN
Peralatan MedisRe-use (PMR) adalah setiap peralatan medis habis pakai yang dirancang
oleh produsen untuk digunakan kembali untuk beberapa pasien. Semua PMR harus disertai
dengan instruksi penggunaan kembali sesuai prosedur yang disediakan oleh produsen.
Pemrosesan kembaliadalahpembersihan, desinfeksi, sterilisasi, dan persiapanperalatan
untukkesiapanpenuh/siap pakai untukpenggunaan selanjutnya. Hal ini dapat
terjadisebagian ataukeseluruhan,baik di dalam maupundi luarpenyediaan, pengolahan dan
BAB II
RUANG LINGKUP
Lingkup Area
1. Pelaksana panduan ini adalah tenaga kesehatan terdiri dari :
1. Staf Medis
2. Staf Perawat
3. Staf Bidan
4. Staf profesional lainya
Instalasi yang terlibat pelaksanaan Panduan Re –
Use adalah :
1. Instalasi Gawat Darurat
2. Instalasi Rawat Jalan
3. Instalasi Rehabilitasi Medis
4. Instalasi Gigi Dan Mulut
5. Instalasi Medical Chek Up
6. Instalas Radiologi
7. Instalasi laboratorium
8. Instalasi Bedah Sentral
9. Instalasi Rawat Inap terdiri dari :
10. Ruang Perawatan Dewasa I
11. Ruang Perawatan Dewasa II
12. Ruang Perawatan Bedah dan Anak
13. Ruang Perawatan Kebidanan dan Penyakit Kandungan
14. Ruang Neonatal
15. Ruang Paviliyun I
16. Ruang Paviliyun II
17. Ruang Paviliyun III
18. Kewajiban Dan Tanggung Jawab
1. Seluruh Staf Rumah Sakit wajib memahami tentang Panduan Re-Use
2. Perawat Yang Bertugas (Perawat Penanggung jawab Pasien) Bertanggung jawab melakukan
Panduan Re-Use
Kepala Instalasi / Kepala Ruangan
1. Memastikan seluruh staf di Instalasi memahami Panduan Re-Use
2. Terlibat dan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Panduan Re-Use
Manajer
1. Memantau dan memastikan Panduan Panduan Re-Use telah dikelola dengan baik oleh
Kepala Instalasi
2. Menjaga standarisasi dalam menerapkan Panduan Re-Use yang telah dibuat
BAB III
TATA LAKSANA
Prinsip Umum
Berkaitan dengan pemrosesan alat re-use dan single use ketentuan harus mengacu pada
ketentuan :
Berikut adalah peralatan medik yang dapat di re-use :
Peralatan medik yang terdapat ketentuan DAPAT digunakan kembali oleh produsen dan
tertera dengan jelas pada kemasan, dengan memperhatikan jumlah maksimal suatu
peralatan dapat digunakan kembali.
Peralatan medik yang tidak berbahaya bila digunakan ulang dan dipastikan tidak
menyebabkan infeksi silang setelah dilakukan sterilisasi dan dengan syarat masih layak
digunakan kembali, list terlampir.
BAB V
PENUTUP
Panduan pemakaian ulang (re-use) ini disusun sebagai acuan dalam pengelolaan alat
yang disposable dan re usesable. Di harapakan melalui panduan ini dapat tercipta
keseragaman pemahaman dan persepsi, dalam mewujudkan pelayanan RS Ibnu Sina
Gresik yang berkualitas, Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran, maka tidak menutup kemungkinan, panduan yang saat ini
berlaku, akan semakin disempurnakan. Oleh karenanya, terhadap panduan ini pun
akan tetap dilakukan evaluasi secara berkala, agar diperoleh perkembangan yang
terbaru, demi upaya peningkatan mutu pelayanan di Rumah Sakit Semen Gresik
Ditetapkan di : Gresik
BAB I
DEFINISI
BAB II
RUANG LINGKUP
Manajemen pelayanan pasien bersumber dari konsep pelayanan fokus pada pasien
(PFP). Sehingga pelaksanaan tugas manajer pelayanan adalah meningkatkan pelayanan
berfokus pada pasien.
4. Kolaborasi / kerjasama.
Pasien dan keluarga adalah mitra pemberi pelayanan kesehatan. Pemberi pelayanan
kesehatan bekerjasama dengan pasien dan keluarga dalam pengembangan,
implementasi dan evaluasi kebijakan dan program.
TUJUAN UMUM
Mewujudkan pelayanan berfokus pada pasien dalam kerangkat meningkatkan mutu
rumah sakit.
TUJUAN KHUSUS
1. Meningkatkan partisipasi pasien dan keluarga dalam asuhan yang dialaminya.
2. Meningkatkan sinergisitas pelayanan pemberi asuhan di rumah sakit
3. Meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit
FUNGSI Manajer Pelayanan Pasien
1. Asesmen utilitas. Mampu mengakses semua informasi dan data untuk mengevaluasi
manfaat/utilisasi, untuk kebutuhan manajemen pelayanan pasien. (Semua informasi dan
data akurat, lengkap yang mudah diakses tentang kebutuhan klinis, finansial, serta sosial
pasien)
2. Dengan asesmen yang lengkap, disusun perencanaan untuk pelaksanaan manajemen
pelayanan pasien. Perencanaan tsb mencerminkan kelayakan/kepatutan dan efektivitas-
biaya dari pengobatan medis dan klinis serta kebutuhan pasien untuk mengambil
keputusan.
3. Tugas ini mencakup interaksi antara MPP dan para anggota tim pemberi pelayanan
kesehatan, perwakilan pembayar, serta pasien/keluarga yang mencari/menginginkan
pembebasan dari hambatan namun dapat mempengaruhi kinerja/hasil, serta menjaga
kontinuitas pelayanan.
4. Mewakili kepentingan pasien adalah inti dari peran MPP. Tetapi peran ini juga menjangkau
pemangku kepentingan lain. MPP diharapkan melakukan advokasi untuk opsi pengobatan
yang dapat diterima setelah berkonsultasi dengan DPJP, termasuk rencana pemulangan
yang aman. Advokasi perlu mempertimbangkan sistem nilai pasien, kemampuan finansial
termasuk atas jaminan pembiayaan, pilihan, serta kebutuhan pelayanan kesehatannya
TANGGUNG JAWAB
MPP dapat bertanggung-jawab ke Direktur RS melalui Kepala Bidang Pelayanan Medis
KUALIFIKASI DOKTER
Dokter Umum
Status Kepegawaian tetap
Memiliki pengalaman minimal 2 tahun dalam pelayanan klinis
Memiliki kemampuan Bahasa Indonesia Aktif
Memiliki kemampuan Bahasa Inggris Aktif
Pernah mengikuti pelatihan komunikasi efektif, dan pelatihan case manager
KUALIFIKASI PERAWAT
1. Perawat dengan pendidikan minimal Strata 1
2. Status Kepegawaian Tetap
3. Pengalaman minimal 3 – 5 tahun dalam pelayanan keperawatan
4. Memiliki kemampuan bahasa Indonesia aktif
5. Memiliki kemampuan Bahasa Inggris aktif
6. Pernah mengikuti pelatihan komunikasi efektif dan pelatihan case manager
BAB III
TATA LAKSANA
BAB I
KETENTUAN UMUM
PENGERTIAN
1. Bangunan gedung adalah konstruksi bangunan yang diletakkan secara tetap dalam suatu
lingkungan, di atas tanah/perairan, ataupun di bawah tanah/perairan, tempat manusia
melakukan kegiatannya, baik untuk tempat tinggal, berusaha, maupun kegiatan sosial dan
budaya. Sedangkan mengenai klasifikasi bangunan gedung sesuai dengan Keputusan
Menteri PU no. 441/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Bangunan Gedung dan
Lingkungan.
2. Bahaya kebakaran adalah bahaya yang diakibatkan oleh adanya ancaman potensional dan
derajat terkena pancaran api sejak dari awal terjadi kebakaran hinga penjalaran api, asap,
dan gas yang ditimbulkannya.
3. Exit atau jalan keluar adalah :
4. Salah satu atau kombinasi dari berikut ini jika memberikan jalan keluar menuju ke jalan
umum atau ruang terbuka:
Bagian dalam dan luar tangga,
Ramp
Lorong yang dilindungi terhadap kebakaran
Bukaan pintu yang menuju jalan umum atau ruang terbuka
1. Jalan keluar horizontal atau lorong yang dilindungi terhadap kebakaran yang menuju ke exit
horizontal.
2. Jalan akses adalah jalur pencapaian yang menerus dari perjalanan ke atau didalam
bangunan yang cocok digunakan untuk/oleh orang cacat sesuai dengan standar
aksesibilitas.
3. Jalan penyelamatan/evakuasi adalah jalur perjalanan yang menerus (termasuk jalan keluar,
koridor/selasar umum dan sejenis) dari setiap bagian bangunan termasuk di dalam unit
hunian tunggal ketempat yang aman.
4. Tempat aman adalah :
5. Suatu tempat yang aman di dalam bangunan, yakni:
Yang tidak ada ancaman api, dan
Dari sana penghuni bisa secara aman berhambur setelah menyelamatkan dari keadaan
darurat menuju ke jalan atau ruang terbuka, atau
1. Suatu jalan atau ruang terbuka.
2. Tangga kebakaran adalah tangga yang direncanakan khusus untuk penyelamatan bila terjadi
kebakaran.
3. Pintu kebakaran adalah pintu-pintu yang langsung menuju tangga kebakaran dan hanya
dipergunakan apabila terjadi kebakaran.
4. Waktu penyelamatan/Evakuasi adalah waktu bagi pengguna/penghuni bangunan untuk
melakukan penyelamatan ke tempat aman yang dihitung dari saat dimulainya keadaan
darurat hingga sampai ke tempat yang aman.
2. Tujuan
Ketentuan ini bertujuan untuk mengatur dan menetapkan upaya teknis teknologis agar
dapat terselenggaranya pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung
secara tertib, aman dan selamat.
RUANG LINGKUP
Ruang lingkup dari ketentuan ini meliputi
1. Ketentuan umum
2. Perencanaan tapak untuk proteksi kebakaran
3. Sarana penyelamatan
4. Sistem proteksi pasif
5. Sistem proteksi aktif
6. Pengawasan dan pengendalian
BAB II
PERENCANAAN TAPAK UNTUK PROTEKSI KEBAKARAN
1. LINGKUNGAN BANGUNAN
Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran dan memudahkan operasi
pemadaman, maka di dalam lingkungan bangunan harus tersedia jalan lingkungan
dengan perkerasan agar dapat dilalui oleh kendaraan pemadam kebakaran.
Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran, harus disediakan jalur akses
dan ditentukan jarak antar bangunan.
2. Fungsi
Setiap bangunan harus dilengkapi dengan sarana evakuasi yang dapat digunakan oleh
penghuni bangunan, sehingga memiliki waktu yang cukup untuk menyelamatkan diri
dengan aman tanpa terhambat hal-hal yang diakibatkan oleh keadaan darurat.
3. Persyaratan Kinerja
Sarana atau jalan ke luar dari bangunan harus disediakan agar penghuni bangunan
dapat menggunakannya untuk penyelamatan diri. Jalan keluar harus ditempatkan
terpisah. Agar penghuni atau pemakai bangunan dapat menggunakan jalan ke luar
tersebut secara aman, maka jalur ke jalan luar harus memiliki dimensi yang di tentukan
berdasarkan :
1. Jumlah, mobilitas dan karakter-karakter lainnya dari penghuni atau pemakai bangunan
2. Fungsi atau pemakaian bangunan
1. Tersebar merata di sekeliling lantai yang dilayani sehingga akses ke minimal dua eksit tidak
terhalang dari semua tempat termasuk area lif di lobby, dan
2. Jarak tidak kurang dari 9 m antar eksit, dan
3. Terletak sedemikian rupa sehingga alternatif jalur lintasan tidak bertemu, sehingga jarak
antar eksit kurang dari 6 m.
KONSTRUKSI EKSIT
1. Pintu
Suatu pintu dalam bangunan yang berfungsi sebagai eksit atau membentuk bagian dari
eksit atau setiap pintu untuk area perawatan pasien harus :
BAB IV
SISTEM PROTEKSI PASIF
1. Melindungi manusia yang sakit ataupun cedera akibat terjadinya kebakaran dalam
bangunan maupun saat penyelamatan
2. Menyediakan fasilitas untuk menunjang kegiatan yang dilakukan petugas pemadam
kebakaran
3. Menghindari penyebaran kebakaran antar bangunan
4. Melindungi benda atau barang lainnya terhadap kerusakan fisik akibat keruntuhan struktur
bangunan saat terjadi kebakaran.
5. Fungsi
6. Konstruksi suatu bangunan harus mampu menciptakan kestabilan struktur selama
kebakaran untuk:
Memberikan waktu bagi penghuni bangunan untuk menyelamatkan diri secara aman
Memberikan kesempatan bagi petugas pemadam kebakaran untuk beroperasi
Menghindarkan kerusakan benda atau barang akibat kebakaran
1. Suatu bangunan harus dilindungi terhadap penyebaran kebakaran
Sehingga penghuni bangunan mempunyai cukup waktu untuk melakukan evakuasi secara
aman tanpa dihalangi oleh penyebaran api dan asap kebakaran
Untuk memberikan kesempatan bagi petugas pemadam kebakaran beroperasi
3. Persyaratan Kinerja
Suatu bangunan gedung harus mempunyai bagian atau elemen bangunan yang pada
tingkat tertentu bisa mempertahankan stabilitas struktur selama terjadi kebakaran,
yang sesuai dengan:
1. Fungsi bangunan
2. Beban api
3. Intensitas kebakaran
4. Potensial bahaya
5. Ketinggian bangunan
6. Kedekatan dengan bangunan lain
7. Sistem protektif aktif yang terpasang dalam bangunan
8. Ukuran kompartemen kebakaran
9. Tindakan petugas pemadam kebakaran
10. Elemen bangunan lainnya yang mendukung
11. Evakuasi penghuni
Ruang perawatan pasien harus dilindungi terhadap penjalaran asap dan panas serta gas
beracun yang ditimbulkan oleh kebakaran untuk dapat memberikan waktu cukup agar
evakuasi penghuni bisa berlangsung secara tertib pada saat terjadi kebakaran. Setiap
elemen bangunan yang dipasang atau disediakan untuk menahan penyebaran api pada
bukaan, sambungan-sambungan, tempat-tempat penembusan struktur untuk utilitas
harus dilindungi terhadap kebakaran sehingga diperoleh kinerja yang memadai dari
elemen tersebut.
BAB V
SISTEM PROTEKSI AKTIF
1. Penghuni diperingatkan akan adanya suatu kebakaran dalam bangunan sehingga dapat
melaksanakan evakuasi dengan aman.
2. Penghuni mempunyai waktu untuk melakuikan evakuasi secara aman sebelum kondisi pada
jalur evakuasi menjadi tidak tertahankan oleh akibat kebakaran.
3. Persyaratan Kinerja
4. Dalam suatu bangunan yang menyediakan akomodasi tempat tidur, harus disediakan sistem
peringatan otomatis pada sistem deteksi asap, sehingga mereka dapat berevakuasi ke tempat
yang aman pada saat terjadi kebakaran.
5. Pada saat terjadi kebakaran pada bangunan gedung, kondisi pada setiap jalur evakuasi
harus dijaga untuk periode waktu yang diperlukan penghuni untuk melakukan evakuasi dari
bagian bangunan, sehingga :
Temperatur tidak membahayakan jiwa manusia
Jalur/rute evakuasi masih dapat terlihat jelas
Tingkat keracunan asap tidak membahayakan jiwa manusia
1. Periode waktu yang diperlukan untuk melakukan evakuasi harus memperhitungkan:
Jumlah, mobilitas, dan karakteristik lain dari penghuni, dan
Fungsi bangunan
Jarak tempuh dan karakteristik lainnya dari bangunan
Beban api
Potensi intensitas kebakaran
Tingkat bahaya kebakaran
Setiap sistem konstruksi kebakaran aktif yang terpasang dalam bangunan
Tindakan petugas pemadam kebakaran
Persyaratan tersebut tidak berlaku untuk ruang parkir terbuka atau panggung terbuka.
1. Tujuan
Instalasi APAP harus ditujukan untuk menyediakan sarana bagi pemadam api pada
tahap awal
1. Persyaratan kinerja
Alat pemadam api portabel harus dipilih dan ditempatkan sesuai ketentuan dalam SNI
03-3987- edisi terakhir, tentang Tata Cara Perencanaan, Pemasangan Pemadaman Api
Ringan untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Rumah dan Gedung.
Instalasi APAP harus memenuhi SNI 03-3987 edisi terakhir tentang tata cara perencanaan,
pemasangan pemadaman api ringan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan
rumah dan gedung.
Penempatan APAP harus pada lokasi yang mudah ditemukan, mudah dijangkau, dan mudah
di ambil dari tempatnya untuk dibawa ke lokasi kebakaran.
Instalasi APAP yang terpasang harus diperiksa secara berkala seperti yang diatur dalam SNI
03-3987-edisi terakhir tentang Tata Cara Perencanaan, Pemasangan pemadaman api ringan
untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung.
1. Ketentuan umum
Suatu sistem deteksi asap harus dipasang guna mengoperasikan sistem pengendalian
asap terzona dan sistem penahan udara otomatis (pressurization) pada sarana jalan
keluar yang aman kebakaran.
1. Persyaratan untuk bahaya khusus
Upaya tambahan dalam pengendalaian asap mungkin diperlukan untuk:
Dipasang penggunaan sistem tata udara mekanis untuk pengendalian asap menurut
ketentuan yang berlaku.
Mempunyai detektor asap tambahan yang dipasang di dekat setiap deretan pintu lif pada
jarak tidak lebih dari 3 m dari bukaan pintu.
Detektor asap dipasang pada jarak :
Antar detektor tidak lebih dari 20 m dan tidak berjarak lebih dari 10 m dan asap
dinding, dinding pemisah (bulkhead) atau tirai asap.
Detektor asap yang dipasang untuk mengaktifkan sistem pengendalian asap kebakaran
harus:
Merupakan bagian dari sistem pendeteksian asap atau kebakaran bangunan yang
memenuhi SNI 03-3689 edisi terakhir, atau merupakan sistem berdiri sendiri yang
dilengkapi dengan peralatan kontrol dan indikator dengan fasilitas verifikasi alarm dan
memenuhi persyaratan yang berlaku.
Dalam suatu bangunan pada suatu ruang perawatan pasien, sistem peringatan bahaya:
harus ditata untuk memberikan tanda bahaya bagi petugas rumah sakit dan dalam
bangsal perawatan keras bunyi alarm dan isi pesan dari tanda bahaya harus diatur
untuk meminimalkan trauma berkaitan dengan jenis dan kondisi penghuni.
1. Pemantauan sistem
Instalasi berikut ini harus dihubungkan secara permanen ke suatu pos instansi
pemadam kebakaran, atau peralatan pemantauan yang diperbolehkan lainnya dengan
suatu hubungan data langsung ke suatu pos instansi pemadam kebakaran.
Mampu beroperasi terus menerus pada titik kerja yang ditentukan pada temperatur
200º C untuk selang waktu tidak kurang dari 60 menit, beroperasi terus menerus pada
temperatur 300º C untuk selang waktu 30 menit untuk gedung yang tidak dilindungi
sistem sprinkler. Karakteristik fan ditentukan berdasarkan temperatur udara luar. Bila
fan dilengkapi dengan alat pengaman temperatur tinggi maka alat tersebut akan
diabaikan secara otomatis selama sistem pembuangan asap beroperasi.
PENCAHAYAAN DARURAT DAN TANDA
PENUNJUK ARAH
1. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penerapan persyaratan ini adalah untuk
menyelamatkan penghuni dari kecelakaan ataupun ancaman bahaya dengan:
1. Pencahayaan yang cukup memadai bila sistem pencahayaan buatan yang normal pada
bangunan tidak berfungsi saat keadaan darurat
2. Pencahayaan yang cukup diartikan masih mampu berfungsi untuk:
Memperingatkan penghuni/pengguna bangunan untuk menyelamatkan diri
Mengatur proses evakuasi
Mengenali tanda eksit dan jalur menuju ke eksit
3. Persyaratan Kinerja
4. Suatu tingkat pencahayaan (iluminasi) untuk pelaksanaan evakuasi yang aman pada saat
keadaan darurat harus disediakan pada bangunan disesuaikan dengan:
Fungsi atau peruntukan bangunan
Luas lantai bangunan
Jarak tempuh ke eksit
1. Dalam menunjang proses evakuasi, tanda-tanda yang cocok atau cara lain untuk dapat
mengenali, sampai pada tingkat yang diperlukan, harus:
Dipasang pencahayaan darurat untuk mengidentifikasi lokasi eksit
Dapat memandu penghuni/pengguna bangunan ke eksit
Dapat terlihat secara jelas
Dapat beroperasi saat sumber daya untuk sistem pencahayaan tidak berfungsi, untuk waktu
yang cukup hingga penghuni bangunan terevakuasi dengan selamat.
1. Untuk mengingatkan penghuni/pengguna bangunan akan terjadinya kondisi darurat, maka
sistem peringatan dini dan interkomunikasi darurat harus disediakan sampai pada tingkat
yang diperlukan, disesuaikan dengan:
Luas lantai bangunan
Fungsi atau penggunaan bangunan
Ketinggian bangunan.
4. Persyaratan Teknis Pencahayaan Darurat
Suatu sistem pencahayaan darurat harus dipasang:
1. Disetiap tangga, ramp dan jalan terusan yang dilindungi terhadap kebakaran,
2. Di setiap jalan terusan, koridor, jalur penghubung di ruangan besar (hall) atau semacamnya
yang menjadi bagian dari jalur perjalanan ke eksit,setiap ruangan yang mempunyai luas
lantai lebih dari 100 m² yang tidak membuka ke arah koridor atau ruang yang mempunyai
pencahayaan darurat atau ke jalan umum atau ke ruang terbuka, setiap ruangan yang
mempunyai luas lantai lebih dari 300 m²
3. Desain Sistem Pencahayaan Keadaan Darurat
4. Setiap sistem pencahayaan keadaan darurat harus:
Beroperasi otomatis
Memberikan pencahayaan yang cukup tanpa penundaan yang tidak perlu dalam upaya
menjamin evakuasi yang aman di seluruh daerah dalam bangunan di lokasi atau tempat
yang dipersyaratkan
Dilindungi terhadap kerusakan akibat kebakaran bila sistem pencegahan darurat tersebut
merupakan sistem yang tersentralisasi.
1. Pencahayaan darurat harus memenuhi standar yang berlaku.
2. Tanda keluar (Eksit)
Suatu tanda eksit harus jelas terlihat bagi orang yang menghampiri eksit dan harus
dipasang pada, di atas atau berdekatan dengan setiap:
1. Pintu yang memberikan jalan ke luar langsung dari satu lantai ke:
Tangga, jalan terusan atau ramp yang dilindungi struktur tahan api, yang berfungsi sebagai
sksit yang memenuhi persyaratan
Tangga luar, jalan terusan atau ramp yang memenuhi syarat sebagai eksit
Serambi atau balkon luar yang memberikan akses menuju ke eksit.
1. Pintu dari suatu tangga, jalan terusan atau ramp yang dilindungi struktur tahan api atau tiap
level hamburan ke jalan umum atau ruang terbuka
2. Eksit horisontal
3. Pintu yang melayani atau membentuk bagian dari eksit yang disyaratkan pada lantai
bangunan yang harus dilengkapi dengan pencahayaan darurat.
4. Tanda penunjuk arah
Bila suatu eksit tidak dapat terlihat secara langsung dengan jelas oleh penghuni atau
pengguna bangunan, maka harus dipasang tanda penunjuk dengan tanda panah
menunjukkan arah, dan di pasang di koridor, jalan menuju ruang besar (hllways), lobi
dan semacamnya yang memberikan indikasi penunjukkan arah ke eksit yang
disyaratkan.
3. Konstruksi
Ruang pusat pengendali kebakaran pada bangunan gedung yang tinggi efektifnya lebih
dari 50 meter, haruslah berada pada ruang terpisah, dengan syarat:
1. Konstruksi pelindung penutupnya dibuat dari beton, tembok atau sejenisnya yang
mempunyai kekokohan yang cukup terhadap keruntuhan akibat kebakaran dan dengan nilai
TKA tidak kurang dari 120/120/120;
2. Bahan lapis penutup, pembungkus atau sejenisnya yang digunakan dalam ruang pengendali
harus memenuhi persyaratan tangga kebakaran yang dilindungi
3. Peralatan utilitas, pipa-pipa, saluran-saluran udara dan sejenisnya yang tidak diperlukan
untuk berfungsinya ruang pengendali, tidak boleh melintasi ruang tersebut
4. Bukaan pada dinding, lantai atau langit-langit yang memisahkan ruang penegndali dengan
ruang dalam bangunan dibatasi hanya untuk pintu, ventilasi dan lubang perawatan lainnya
khusus untuk melayani fungsi ruang pengendali tersebut.
5. Pintu ‘KELUAR’
6. Pintu yang menuju ruang pengendali harus membuka kearah dalam ruang tersebut, dapat
dikunci dan ditempatkan sedemikian rupa sehingga orang yang menggunakan jalur evakuasi
dari dalam bangunan tidak menghalangi atau menutup jalan masuk ke ruang pengendali
tersebut
7. Ruang pengendali haruslah dapat dimasuki dari dua arah;
Satu dari arah pintu masuk di depan bangunan
Satu langsung dari tempat umum atau melalui jalan terusan yang dilindungi terhadap api,
yang menuju ke tempat umum dan mempunyai TKA tidak kurang dari -/120/30.
5. Ukuran dan Sarana
6. Ruang pengendali kebakaran harus dilengkapi dengan sekurang-kurangnya:
Panci indikator kebakaran dan sakelar kontrol dan indikator visual yang diperlukan untuk
semua pompa kebakaran, kipas pengendali asap, dan peralatan pengaman kebakaran
lainnya yang dipasang di dalam bangunan
Telepon yang memiliki sambungan langsung
Sebuah papan tulis berukuran tidak kurang dari 120 cm x 100 cm
Sebuah papan tempel (pin-up board) berukuran tidak kurang dari 120 cm x 100 cm
Sebuah meja berukuran cukup untuk menggelar gambar dan rencana taktis
Rencana taktis penanggulangan kebakaran yang ditetapkan dan diberi kode warna.
1. Sebagai tambahan di ruang pengendali dapat disediakan:
Panel pengendali utama, panel indikator lif, sakelar pengendali jarak jauh untuk gas atau
catu daya listrik dan genset darurat
Sistem keamanan bangunan, sistem pengamatan, dan sistem manajemen jika dikehendaki
terpisah total dari sistem lainnya.
1. Sustu ruang pengendali harus:
Mempunyai luas lantai tidak kurang dari 10 m² dan panjang dari sisi bagian dalam tidak
kurang dari 2,5 m
Jika hanya menampung peralatan minimum, maka luas lantai bersih tidak kurang dari 8 m²
dan luas ruang bebas di antara depan panel indikator tidak kurang dari 1,5 m²
Jika dipasang peralatan tambahan, maka luas bersih daerah tambahan adalah 2 m² untuk
setiap penambahan alat dan ruang bebas di antara depan panel indikator tidak kurang dari
1,5 m²
6. Ventilasi dan Pemasok Daya
Ruang pengendali harus diberi ventilasi dengan cara:
1. Ventilasi alami dari jendela atau pintu pada dinding luar bangunan yang membuka langsung
ke ruang pengendali dari jalan atau ruang terbuka
2. Sistem udara bertekanan pada sisi yang hanya melayani ruang pengendali,
Dipasang sesuai ketentuan yang berlaku sebagai ruangan adalah tangga kebakaran yang
dilindungi
Beroperasi secara otomatis melalui aktivitas sistem isyarat bahaya kebakaran (fire alarm)
atau sistem sprinkler yang dipasang pada bangunan dan secara manual di ruang pengendali
Mengalirkan udara segar ke dalam ruangan tidak kurang dari 30 kali pertukaran udara per
jamnya pada waktu sistem sedang beroperasi dan salah satu pintu ruangan terbuka
Mempunyai kipas, motor, dan pipa-pipa saluran udara yang membentuk bagian dari sistem,
tetapi tidak berada di dalam ruang penegndali dan diproteksi oleh dinding yang mempunyai
TKA tidak lebih kecil dari 120/120/120
Mempunyai catu daya listrik ke ruang penegndali atau peralatan penting bagi beroperasinya
ruang pengendali dan yang dihubungkan dengan pasokan daya dari sisi masuk saklar
hubung bagi daya dari luar bangunan, dan tidak ada sarana/peralatan yang terbuka kecuali
pintu yang diperlukan, pengendali pelepas tekanan (pressure control relief) dan jendela
yang dapat dibuka oleh kunci yang menjadi bagian dari konstruksi ruang pengendali.
7. Tanda
Permukaan luar pintu yang menuju ke dalam ruang pengendali harus diberi tanda
dengan tulisan sebagai berikut: ‘RUANG PENGENDALI KEBAKARAN’
Dengan huruf tidak lebih kecil dari 50 mm tingginya dan dengan warna yang kontras
dengan latar belakangnya.
8. Pencahayaan
Pencahayaan darurat sesuai ketentuan yang berlaku harus dipasang dalam ruang pusat
pengendali, tingkat iluminasi diatas meja kerja tak kurang dari 400 Lux.
BAB VI
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
UMUM
Pada bab ini dimuat rangkaian sistematis dan menerus dalam upaya pengawasan dan
pengendalian pengaman terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan
lingkungan baik terhadap bangunan baru maupun bangunan lama agar bangunan laik
fungsi serta aman bagi penghuni atau pengguna bangunan tersebut. Dengan demikian
jaminan keselamatan terhadap bahaya kebakaran baik pada penghuni bangunan dan
lingkungan yang terjadi sewaktu-waktu dapat terpenuhi baik pada tahap perencanaan,
pelaksanaan atau kostruksi/instalasi serta pemanfaatan dan pemeliharaan bangunan.
1. Identifikasi bangunan
2. Konsep perancangan sistem proteksi kebakaran
3. Aksesibilitas untuk mobil pemadam kebakaran
4. Sarana jalan ke luar yang ada atau tersedia
5. Persyaratan struktur terhadap kebakaran yang dipenuhi
6. Sistem pengendalian asap
7. Sistem pengindera dan alarm kebakaran
8. Sistem pemadam kebakaran (media air, kimia, khusus)
9. Pembangkit tenaga listrik darurat
10. Sistem pencahayaan untuk menunjang proses evakuasi
11. Sistem komunikasi dan pemberitahuan keadaan darurat
12. Lif kebakaran
13. Daerah dengan resiko atau potensi bahaya kebakaran tinggi
14. Skenario kebakaran yang mungkin terjadi
15. Eksistensi manajemen penanggulangan terhadap kebakaran.
Pihak yang berwenang melakukan inspeksi dan memberikan rekomendasi adalah
Instansi Pemadam Kebakaran. Bila Instansi Pemadam Kebakaran belum cukup mampu
melaksanakan tugas tersebut diatas, maka dapat dibantu oleh konsultan perseorangan
yang profesional atau pihak perguruan tinggi yang tergabung dalam suatu tim dengan
ijin Kepala Daerah.
PENGUJIAN API
1. Dalam hal menentukan sifat bahan bangunan dan tingkat ketahanan api (TKA) komponen
struktur bangunan dalam rangka desain maupun evaluasi keandalan sistem proteksi
kebakaran pada suatu bangunan, harus terlebih dahulu dilakukan pengujian api atau
mengacu kepada hasil-hasil pengujian api yang telah dilakukan di laboratorium uji api.
2. Pelaksanaan pengujian, pengamatan dan penilaian hasil uji dilakukan sesuai ketentuan dan
standar metode uji yang berlaku.
3. Dalam hal pelaksanaan uji tidak dapat dilakukan di Indonesia berhubung dengan prosedur
standar, sumber daya manusia maupun kondisi peralatan uji yang ada, maka evaluasi
dilakukan dengan mengacu kepada hasil pengujian yang telah dilakukkan oleh lembaga uji
yang terakreditasi baik di dalam negeri ataupun di luar negeri.
1. Umum
Pedoman ini menetapkan persyaratan minimum pemeliharaan dan perawatan sistem
proteksi kebakaran. Jenis sistem meliputi:
1. Kerumahtanggaan keselamatan kebakaran (fire safety housekeeping)
2. Sarana jalan ke luar (means of access).
3. Sistem deteksi dan alarm kebakaran dan sistem komunikasi suara darurat.
4. Alat pemadan api ringan (APAR) (fire extinguisher).
5. Sistem pompa kebakaran terpasang atap
6. Sistem pipa tegak dan slang atau hidran bangunan.
7. Sistem sprinkler otomatik.
8. Sistem pemadam kebakaran terpasang tetap lain.
9. Sistem pengendalian dan manajemen asap.
10. Kerumahtanggaan keselamatan kebakaran (fire safety housekeeping)
11. Kerumahtanggaan keselamatan kebakaran meliputi:
Pemeliharaan dan perawatan bangunan, termasuk:
Lantai: perawatan umum lantai seperti pembersihan, penanganan dan sebagainya dapat
memberikan bahaya kebakaran bila pelarut atau pelapis yang mempunyai sifat mudah
terbakar digunakan, atau bila sisa (residu) yang mudah terbakar dihasilkan.
Debu dan kain tiras (dust & lint): dalam banyak fungsi/hunian bangunan diperlukan
prosedur pembersih/pembuangan debu dan kain tiras mudah terbakar yang terakumulasi
dari dinding, langit-langit, lantai dan komponen struktur terbuka. Kecuali prosedur ini
dijalankan dengan aman menggunakan penyedot debu (vacuum cleaner) atau sistem
penggerak udara (blower & exhaust system), dapat menimbulkan bahaya kebakaran atau
ledakan. Pada beberapa kasus di mana atmosfir penuh dengan debu, peralatan penyedot
hartus dilengkapi dengan motor tahan penyalaan (ignition-proof motor) untuk menjamin
operasi yang aman.
Kerumahtanggaan hunian dan proses, kuncinya di sini adalah tidak memberikan kebakaran
tempat untuk mulai:
Pembuangan sampah
Tempat sampah yang terbuat dari bahan tidak mudah terbakar harus digunakan untuk
pembuangan limbah dan sampah.
Pemilahan/segresi limbah: sebaiknya sampah yang mudah terbakar dipisahkan dari sampah
yang tidak mudah terbakar.
Pengendalian/kontrol sumber penyalaan
Kontrol kebiasaan merokok
Kontrol listrik statik
Kontrol friksi/gesekan
Kontrol bahaya elektrikal
Pembuangan limbah cair mudah terbakar dan korosif: pembuangan limbah cair yang mudah
terbakar sering menjadi masalah yang menyusahkan. Setiap bahan limbah yang cair dan
korosif (pH <2 atau >12), atau cair dan mempunyai titik nyala pada temperatur 60ºC atau
kurang, adalah termasuk Bahan Beracun dan Berbahaya (B3).
Tumpahan cairan mudah terbakar: Tumpahan cairan mudah terbakar dapat diantisipasi di
daerah dimana cairan semacam itu ditangani dan digunakan, dan cara mengatasinya harus
tersedia, meliputi tersedianya material penyerap dan peralatan khusus untuk membatasi
penumpahan.
Penyimpanan cairan mudah terbakar: cairan mudah terbakar harus disimpan di ruang
terpisah.
Praktek kerumahtanggaan halaman: kerumahtanggaan yang baik adalah sama pentingnya
untuk di dalam maupun di luar bangunan. Kerumahtanggaan halaman yang tidak
memenuhhi syarat dapat mengancam keamanan struktur bagian luar banguunan dan
barang-barang yang disimpan di halaman. Akumulassi barang bekas dan sampah dan
tumbuhnya rumput, ilalang dan belukar yangg tinggi bersebelahan dengan bangunan atau
barang-barang yang disimpan adalah bahaya yang biasa ditemui. Penting adanya sebuah
program berkala untuk mengawasi halaman. Kerrumahtanggaan halaman meliputi:
Pengendalian/kontrol rumput dan ilalang
Penyimpanan barang di halaman secara aman
Pembuangan sampah di halaman secara aman
1. Inspeksi
Inspeksi / pemeriksaan harus didefinisikan dengan baik, dan harus meliputi:
Posted in Perumahsakitan
| Tagged akreditasi, APAR, depkes, jci, kars, kebakaran, panduan, pedoman, penanggulangan, permenkes
56, rumah sakit
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dalam rangka penyelenggaraan managemen pegawai dilingkungan Rumah Sakit Islam
Namira diperlukan pengelolaan arsip pegawai berdasarkan pada suatu pola penataan
dan penyusunan arsip file kepegawai yang seragam dan standar.
Penyusunan file kepegawaian dilingkungan Rumah Sakit Islam Namira berdasarkan
satuan kerja dan berdasarkan tahun, bulan dan tanggal pengangkatan serta nomor urut
pegawai, Sehingga dengan demikian akan memudahkan dalam pencarian file masing-
masing pegawai.
RUANG LINGKUP
1. Sarana dan Pemeliharaan penataan file pegawai
2. Prosedur penataan file pegawai
3. Penyusunan file pegawai
4. Peminjaman dan penemuan kembali file pegawai
MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud
Petunjuk teknis tata cara Penyusunan file kepegawaian ini dimaksud sebagai pedoman
bagi pengelola dalam melaksanakan kegiatan penyusunan dan penataan kepegawaian
dilingkungan Rumah Sakit Islam Namira.
Tujuan
BAB II
SARANA DAN PEMELIHARAAN FILE KEPEGAWAIAN
SARANA
1. Map arsip
2. Lemari
3. Buku Kendali
4. Vacum cleaner
5. Obat pencegah/pembasmi kutu
6. Sapu
7. Kemoceng
PEMELIHARAAN
1. Pemeliharaan meliputi kebersihan ruang file, almari file,map arsip
2. Pemeliharaan dilakukan dengan menyapu, menyedot debu, memelihara peralatan/sarana
penataan file, penyemprotan rayap atau kutu lainnya yang merusak file
BAB III
PENATAAN FILE KEPEGAWAIAN
BAHAN
Bahan yang diperlukan dalam penataan file kepegawaian meliputi :
1. Yang dapat dipinjam adalah isi file yang diperlukan oleh peminjam dalam arti tidak
dibenarkan meminjam file seutuhnya dengan mapnya.
2. Peminjam file mengisi dan menandatangani buku peminjaman file.
3. Setelah mengisi buku peminjaman file petugas yang ditunjuk mengmbil file yang dipinjam
dan menyerahkan kepada peminjam.
4. Apabila peminjam sudah mengembalikan file yang dipinjam petugas memaraf dan mencatat
tanggal dikembalikan.
PENEMUAN KEMBALI FILE PEGAWAI
Keberhasilan pelaksanaan managemen file akan nampak dengan jelas bilamana semua
bahan yang dibutuhkan mudah ditemukan kembali dan mudah pula dikembalikan ke
tempat semua. Karena penemuan atau pencarian file merupakan salah satu kegiatan
dan bidang kearsipan, yang bertujuan untuk menemukan kembali file karena dapat
dipergunakan dalam proses penyelenggaraan administrasi. Menemukan kembali berarti
memastikandimana suatu file yang akan dipergunakan itu disimpan dan dalam
kelompok berkas apa file itu berada, disusun menurut setiap sistem apa, dan bagaimana
cara mengambilnya kembali.
BAB V
PENYUSUTAN FILE
Penyusutan file adalah kegiatan pengurangan file yang telah secara resmi dinyatakan
oleh pejabat yang berwenang telah pensiun, berhenti, meninggal dunia ( in aktif) filenya
disusutkan.
Pedoman teknis ini juga menjadi instrumen penting yang mendukung petugas
pelaksana an dalam kelancaran pelaksanaan tugasnya.
Nama :
Jabatan :
NIK :
Nama :
Jabatan :
NIK :
Berdasarkan surat tugas Nomor telah memusnahkan file pegawai sebagaimana
yang tercantum dalam daftar pertelaan arsip terlampir pada acara ini
Berita acara ini dibuat dengan sesungguhnya dalam rangkap dua disampaikan kepada
Nama :
Jabatan :
NIK :
Nama :
Jabatan :
NIK :
Berdasarkan surat tugas Nomor telah mengupdate file pegawai sebagaimana yang
tercantum dalam daftar arsip kepagawaian terlampir pada acara ini
Berita acara ini dibuat dengan sesungguhnya dalam rangkap dua disampaikan kepada
Posted in Perumahsakitan | Tagged akreditasi, file, jci, kars, kebijakan, kepegawaian, panduan, pedoman, rumah
sakit
BAB I
DEFINISI
1. DEFINISI
Code blue merupakan salah satu kode prosedur emergensi yang harus segera diaktifkan
jika ditemukan seseorang dalam kondisi cardiaerespiratory arrest di dalam area
rumah sakit.
Code blue response team atau tim code blue adalah suatu tim yang dibentuk oleh rumah
sakit yang bertugas merespon kondisi code blue didalam area rumah sakit. Tim ini
terdiri dari dokter dan perawat yang sudah terlatih dalam penanganan
kondisi cardiac respiratory arrest.
Resusitasi jantung paru merupakan serangkaian tindakan untuk meningkatkan daya
tahan hidup setelah terjadinya henti jantung. Meskipun pencapaian optimal dari
resusitasi jantung paru ini dapat bervariasi, tergantung kepada kemampuan penolong,
kondisi korban, dan sumber daya yang tersedia, tantangan mendasar tetap pada
bagaimana melakukan resusitasi jantung paru sedini mungkin dan efektif.
Figure 1
1. Untuk memberikan panduan baku bagi tim code blue dalam melaksanakan tugas-tugasnya
sebagai tim reaksi cepat jika code blue diaktifkan.
2. Membangun respon seluruh petugas di RS Islam Jemursari pada pelayanan kesehatan
dalam keadaan gawat darurat.
3. Mempercepat respon time kegawatdaruratan di rumah sakit untuk menghindari kematian
dan kecacatan yang seharusnya tidak perlu terjadi.
BAB II
RUANG LINGKUP
Sistem respon cepat code blue dibentuk untuk memastikan bahwa semua
kondisi cardiacrespiratory arrest tertangani dengan resusitasi dan stabilisasi sesegera
mungkin. Sistem respon terbagi dalam 2 tahap, yaitu:
1. Respon awal (responder pertama) berasal dari petugas rumah sakit baik medis ataupun non
medis yang berada di sekitar korban.
2. Respon kedua (responder kedua) berasal dari tim code blue.
Adapun area penanganan cardiac respiratory arrest di Rumah Sakit terbagi atas:
1. Area satu yaitu area lantai satu dan lantai dua di Rumah Sakit, yaitu:
2. Area kantor
3. Instalasi Gawat Darurat dan area sekitarnya
4. Instalasi Rawat Jalan lantai I dan area sekitarnya
5. Area dua yaitu area lantai satu di Rumah Sakit, yaitu:
6. Ruang Mawar dan area sekitarnya
7. Ruang Neonatus dan area sekitarnya
8. Ruang Azzara 1 dan area sekitarnya
9. Instalasi Perawatan Intensif dan area sekitarnya
10. Hemodialisa dan area sekitarnya
11. Ruang Zahira dan area sekitarnya
12. Instalasi Radiologi dan area sekitarnya
13. Instalasi Laboratorium dan area sekitarnya
14. Unit Logistik dan area sekitarnya
15. Gizi dan area sekitarnya
16. Unit K3 dan area sekitarnya
17. Kamar Jenasah dan area sekitarnya
18. Laundry dan area sekitarnya
19. Gudang Farmasi dan area sekitarnya
20. Pengadaan dan area sekitarnya
21. Area tiga yaitu area lantai dua di Rumah Sakit, yaitu:
22. Instalasi Rawat Jalan lantai II dan area sekitarnya
23. Ruang Melati dan area sekitarnya
24. Ruang Azzara II dan area sekitarnya
25. Ruang Dahlia dan area sekitarnya
26. Ruang Teratai dan area sekitarnya
27. Instalasi Bedah Sentral dan area sekitarnya
28. Area empat yaitu diluar area satu, dua, dan tiga, yaitu meliputi:
29. Area parkir Rumah Sakit
30. Pujasera Rumah Sakit
31. Masjid Rumah Sakit
32. IPS
BAB III
TATA LAKSANA
PROSEDUR CODE BLUE
1. Jika didapatkan seseorang atau pasien dalam kondisi cardiac respiratory arrest maka
perawat ruangan (I) atau first responder berperan dalam tahap pertolongan, yaitu:
2. Segera melakukan penilaian dini kesadaran korban.
3. Pastikan lingkungan penderita aman untuk dilakukan pertolongan.
4. Lakukan cek respon penderita dengan memanggil nama atau menepuk bahu.
5. Meminta bantuan pertolongan perawat lain (II) atau petugas yang ditemui di lokasi untuk
mengaktifkan code blue.
6. Lakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) sampai dengan tim code blue
7. Perawat ruangan yang lain (II) atau penolong kedua, segera menghubungi operator telepon
“8600” untuk mengaktifkan code blue, dengan prosedur sebagai berikut:
8. Perkenalkan diri.
9. Sampaikan informasi untuk mengaktifkan code blue.
10. Sebutkan nama lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest dengan lengkap dan jelas, yaitu:
area ….. (area satu/dua/tiga/empat), nama lokasi atau ruangan.
11. Jika lokasi kejadian di ruangan rawat inap maka informasikan : “ nama ruangan ….. nomor
…. “.
12. Waktu respon operator menerima telepon “8600” adalah harus secepatnya diterima, kurang
dari 3 kali deringan telepon.
13. Jika lokasi kejadian berada di area ruang rawat inap ataupun rawat jalan,
setelah menghubungi operator, perawat ruangan II segera membawa troli
emergensi (emergency trolley) ke lokasi dan membantu perawat ruangan I melakukan
resusitasi sampai dengan tim Code Blue datang. Operator menggunakan alat
telekomunikasi Handy Talky (HT) atau pengeras suara mengatakan code blue dengan
prosedur sebagai berikut:
14. “Code Blue, Code Blue, Code Blue, di area …..(satu/dua/tiga/empat), nama lokasi atau
ruangan…..”.
15. Jika lokasi kejadian diruangan rawat inap maka informasikan: “Code Blue, Code Blue, Code
Blue, nama ruangan ….. nomor kamar …..”.
16. Setelah tim code blue menerima informasi tentang aktivasi code blue, mereka segera
menghentikan tugasnya masing-masing, mengambil resusitasi kit dan menuju lokasi
terjadinya cardiac respiratory arrest. Waktu respon dari aktivasi code blue sampai dengan
kedatangan tim code blue di lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest adalah 5 menit.
17. Sekitar 5 menit kemudian, operator menghubungi tim code blue untuk memastikan bahwa
tim code blue sudah menuju lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest
18. Jika lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest adalah lokasi yang padat manusia (public
area) maka petugas keamanan (security) segera menuju lokasi terjadinya untuk
mengamankan lokasi tersebut sehingga tim code blue dapat melaksanakan tugasnya dengan
aman dan sesuai prosedur.
19. Tim code blue melakukan tugasnya sampai dengan diputuskannya bahwa resusitasi
dihentikan oleh ketua tim code blue.
20. Untuk pelaksanaan code blue di area empat, Tim code blue memberikan bantuan hidup
dasar kepada pasien kemudian segera ditransfer ke Instalasi Gawat Darurat.
21. Ketua tim code blue memutuskan tindak lanjut pasca resusitasi, yaitu:
22. Jika resusitasi berhasil dan pasien stabil maka dipindahkan secepatnya ke Instalasi
Perawatan Intensif untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut jika keluarga pasien setuju.
23. Jika keluarga pasien tidak setuju atau jika Instalasi Perawatan Intensif penuh maka pasien
di rujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas
24. Jika keluarga pasien menolak dirujuk dan meminta dirawat di ruang perawatan biasa, maka
keluarga pasien menandatangani surat penolakan.
25. Jika resusitasi tidak berhasil dan pasien meninggal, maka lakukan koordinasi dengan bagian
bina rohani, kemudian pasien dipindahkan ke kamar jenazah.
26. Ketua tim code blue melakukan koordinasi dengan DPJP.
27. Ketua tim code blue memberikan informasi dan edukasi kepada keluarga pasien.
28. Perawat ruangan mendokumentasikan semua kegiatan dalam rekam medis pasien dan
melakukan koordinasi dengan ruangan pasca resusitasi.
PENGORGANISASIAN TIM CODE BLUE
Tim code blue di Rumah Sakit terbagi atas:
1. Tim code blue satu yaitu tim Code Blue yang bertanggung jawab terhadap area satu.
2. Tim code blue dua yaitu tim Code Blue yang bertanggung jawab terhadap area dua.
3. Tim code blue tiga yaitu tim Code Blue yang bertanggung jawab terhadap area tiga.
Bila ada kondisi “ code blue ” pasien dengan henti nafas / henti jantung
Penolong kedua mengaktifkan Code Blue melalui nomer telepon darurat dengan ext.00
Operator menerima telepon “00” ( << 3 dering harus segera diangkat, kemudian:
2. Selang 5 menit operator menghubungi tim Code Blue memastikan tim sudah berada
di tempat kejadian
Tim Code Blue segera menuju lokasi yang ditentukan untuk melanjutkan resusitasi yang telah
dilakukan oleh First Responder
Meninggal
1. Kondisi code blue pada pasien didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
Posted in Perumahsakitan | Tagged akreditasi, code blue, depkes, ijin operasional, jci, kars, kelas rumah
sakit, panduan, permenkes 56, rumah sakit, surveior
Pengertian
1. Radiasi adalah emisi dan penyebaran energi melalui ruang (media) dalam bentuk
gelombang elektromagnetik atau partikel-partikel atau elementer dengan kinetik yang sangat
tinggi yang dilepaskan dari bahan atau alat radiasi yang digunakan oleh instalasi di rumah
sakit.
2. Pengamanan dampak radiasi adalah upaya perlindungan kesehatan masyarakat dari
dampak radiasi melalui promosi dan pencegahan risiko atas bahaya radiasi, dengan
melakukan kegiatan pemantauan, investigasi dan mitigasi pada sumber, media lingkungan
dan manusia yang terpajan atau alat yang mengandung radiasi.
Persyaratan
Persyaratan sesuai Keputusan Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 01 Tahun 1999,
tentang Ketentuan Keselamatan Kerja terhadap Radiasi adalah:
1. Nilai Batas Dosis (NBD) bagi pekerja yang terpajan radiasi sebesar 50 mSv (milli Sievert)
dalam satu tahun.
2. NBD bagi masyarakat yang terpajan sebesar 5 mSv dalam 1 (satu) tahun.
Tata Laksana
Perizinan
Setiap rumah sakit yang memanfaatkan peralatan yang memajankan radiasi dan
menggunakan zat radioaktif, harus memperoleh izin dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir
(sesuai PP Nomor 64 Tahun 2000 tentang Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir, pasal
2 ayat 1).
Sistem Pembatasan Dosis
Penerimaan dosis radiasi terhadap pekerja atau masyarakat tidak boleh melebihi nilai
batas dosis yang ditetapkan oleh Badan Pengawas.
Proteksi radiasi yang disediakan harus mempunyai ketebalan tertentu yang mampu
menurunkan laju dosis radiasi. Tebal bahan pelindung sesuai jenis dan energi radiasi,
aktivitas dan sumber radiasi, serta sifat bahan pelindung.
Pemeriksaan Kesehatan
Pengelola rumah sakit harus menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan awal secara teliti
dan menyeluruh, untuk setiap orang yang akan bekerja sebagai pekerja radiasi, secara
berkala selama bekerja sekurang-kurangnya sekali dalam 1 tahun.
Pengelola rumah sakit harus memeriksaakan kesehatan pekerja radiasi yang akan
memutuskan hubungan kerja kepada dokter yang ditunjuk, dan hasil pemeriksaan
kesehatan diberikan kepada pekerja radiasi yang bersangkutan.
Dalam hal terjadi kecelakaan radiasi, pengelola rumah sakit harus menyelenggarakan
pemeriksaan kesehatan bagi pekerja radiasi yang diduga menerima pajanan berlebih.
Penyimpanan Dokumentasi
Pengelola rumah sakit harus tetap menyimpan dokumen yang memuat catatan dosis hasil
pemantauan daerah kerja, lingkungan dan kartu kesehatan pekerja selama 30 tahun sejak
pekerja radiasi berhenti bekerja.
Jaminan Kualitas
Pengelola rumah sakit harus membuat program jaminan kualitas bagi instalasi yang
mempunyai potensi dampak radiasi tinggi.
Untuk menjamin efektivitas pelaksanaan Badan Pengawas melakukan inspeksi dan audit
selama pelaksanaan program jaminan kualitas.
Kalibrasi
Pengelola rumah sakit wajib mengkalibrasikan alat ukur radiasi secara berkala sekurang-
kurangnya 1(satu) tahun sekali.
Dalam hal terjadi kecelakaan radiasi, pengelola rumah sakit harus melakukan upaya
penanggulangan diutamakan pada keselamatan manusia.
Lokasi tempat kejadian harus diisolasi dengan memberi tanda khusus seperti pagar,
barang atau bahan yang terkena pancaran radiasi segera diisolasi kemudian
didekontaminasi.
Jika terjadi kecelakaan radiasi, pengelola rumah sakit harus segera melaporkan
terjadinya kecelakaan radiasi dan upaya penanggulangannya kepada Badan Pengawas
dan instansi terkait lainnya.
Limbah radioaktif yang berasal dari luar negeri tidak dizinkan untuk disimpan di wilayah
Indonesia.
Posted in Perumahsakitan | Tagged akreditasi, alat pelindung diri, B3, CT Scan, depkes, ijin
operasional, indonesia, kesehatan, kesehatan lingkungan, kesling, lingkungan, Lingkungan
Hidup, menular, MFK, panduan, pendirian, penyakit, PPR, radiologi, Rontgen, rumah sakit, sanitasi
Pengertian
1. Dekontaminasi adalah upaya mengurangi dan atau menghilangkan kontaminasi oleh
mikroorganisme pada orang, peralatan, bahan, dan ruang melalui disinfeksi dan sterilisasi
dengan cara fisik dan kimiawi.
2. Disinfeksi adalah upaya untuk mengurangi/menghilangkan jumlah mikro-organisme
patogen penyebab penyakit (tidak termasuk spora) dengan cara fisik dan kimiawi.
3. Sterilisasi adalah upaya untuk menghilangkan semua mikroorganisme dengan cara fisik dan
kimiawi.
Persyaratan
1. Suhu pada disinfeksi secara fisik dengan air panas untuk peralatan sanitasi 800C dalam waktu
45-60 detik, sedangkan untuk peralatan memasak 800C dalam waktu 1 menit.
2. Disinfektan harus memenuhi kriteria tidak merusak peralatan maupun orang, disinfektan
mempunyai efek sebagai deterjen dan efektif dalam waktu yang relatif singkat, tidak
terpengaruh oleh kesadahan air atau keberadaan sabun dan protein yang mungkin ada.
3. Penggunaan disinfektan harus mengikuti petunjuk pabrik.
4. Pada akhir proses disinfeksi terhadap ruang pelayanan medis (ruang operasi dan ruang
isolasi) tingkat kepadatan kuman pada lantai dan dinding 0-5 cfu/cm2, bebas mikroorganisme
patogen dan gas gangren. Untuk ruang penunjang medis (ruang rawat inap, ruang ICU/ICCU,
kamar bayi, kamar bersalin, ruang perawatan luka bakar, dan laundry) sebesar 5-10 cfu/cm2
5. Sterilisasi peralatan yang berkaitan dengan perawatan pasien secara fisik dengan
pemanasan pada suhu + 121OC selama 30 menit atau pada suhu 134OC selama 13 menit dan
harus mengacu pada petunjuk penggunaan alat sterilisasi yang digunakan.
6. Sterilisasi harus menggunakan disinfektan yang ramah lingkungan.
7. Petugas sterilisasi harus menggunakan alat pelindung diri dan menguasai prosedur sterilisasi
yang aman.
8. Hasil akhir proses sterilisasi untuk ruang operasi dan ruang isolasi harus bebas dari
mikroorganisme hidup.
Tata Laksana
1. Kamar/ruang operasi yang telah dipakai harus dilakukan disinfeksi dan disterilisasi sampai
aman untuk dipakai pada operasi berikutnya.
2. Instrumen dan bahan medis yang dilakukan sterilisasi harus melalui persiapan, meliputi:
A. Persiapan sterilisasi bahan dan alat sekali pakai. Penataan – Pengemasan – Pelabelan –
Sterilisas
B. Persiapan sterilisasi instrumen baru: Penataan dilengkapi dengan sarana pengikat (bila
diperlukan) – Pelabelan – Sterilisasi.
C. Persiapan sterilisasi instrumen dan bahan lama : Desinfeksi – Pencucian (dekontaminasi)
– Pengeringan (pelipatan bila perlu) – Penataan – Pelabelan – Sterilisasi.
3. Indikasi kuat untuk tindakan disinfeksi/sterilisasi :
A. Semua peralatan medik atau peralatan perawatan pasien yang dimasukkan ke dalam
jaringan tubuh, sistem vaskuler atau melalui saluran darah harus selalu dalam keadaan
steril sebelum digunakan.
B. Semua peralatan yang menyentuh selaput lendir seperti endoskopi,
pipa endotracheal harus disterilkan/didisinfeksi dahulu sebelum digunakan.
C. Semua peralatan operasi setelah dibersihkan dari jaringan tubuh, darah atau sekresi harus
selalu dalam keadaan steril sebelum dipergunakan.
4. Semua benda atau alat yang akan disterilkan/didisinfeksi harus terlebih dahulu dibersihkan
secara seksama untuk menghilangkan semua bahan organik (darah dan jaringan tubuh) dan
sisa bahan linennya.
5. Sterilisasi (132oC selama 3 menit pada grativity displacement steam sterilizier) tidak
dianjurkan untuk implant.
6. Setiap alat yang berubah kondisi fisiknya karena dibersihkan, disterilkan atau didisinfeksi
tidak boleh dipergunakan lagi. Oleh karena itu hindari proses ulang yang dapat
mengakibatkan keadaan toxin atau mengganggu keamanan dan efektivitas peralatan.
7. Jangan menggunakan bahan seperti linen, dan lainnya yang tidak tahan terhadap sterilisasi,
karena akan mengakibatkan kerusakan seperti kemasannya rusak atau berlubang, bahannya
mudah sobek, basah, dan sebagainya.
8. Penyimpanan peralatan yang telah disterilkan harus ditempatkan pada tempat (lemari)
khusus setelah dikemas steril pada ruangan:
9. Dengan suhu 180C– 22oC dan kelembaban 35%-75%, ventilasi menggunakan sistem tekanan
positif dengan efisiensi partikular antara 90%-95% (untuk particular 0,5 mikron).
10. Dinding dan ruangan terbuat dari bahan yang halus, kuat dan mudah dibersihkan.
11. Barang yang steril disimpan pada jarak 19 cm -24 cm.
12. Lantai minimum 43 cm dari langit-langit dan 5 cm dari dinding serta diupayakan untuk
menghindari terjadinya penempelan debu kemasan.
13. Pemeliharaan dan cara penggunaan peralatan sterilisasi harus memperhatikan petunjuk dari
pabriknya dan harus dikalibrasi minimal 1 kali satu tahun.
14. Peralatan operasi yang telah steril jalur masuk ke ruangan harus terpisah dengan peralatan
yang telah terpakai.
15. Sterilisasi dan disinfeksi terhadap ruang pelayanan medis dan peralatan medis dilakukan
sesuai permintaan dari kesatuan kerja pelayanan medis dan penunjang medis.