Anda di halaman 1dari 49

PELAYANAN OPERASI (COT/Central Operation Theatre)

Definisi
Ruang operasi adalah suatu unit di rumah sakit yang berfungsi sebagai tempat untuk
melakukan tindakan pembedahan secara elektif maupun akut, yang membutuhkan
kondisi steril dan kondisi khusus lainnya. Luas ruangan harus cukup untuk
memungkinkan petugas bergerak sekeliling peralatan bedah. Ruang operasi harus
dirancang dengan faktor keselamatan yang tinggi.

Alur Pelayanan Bedah

Pelayanan Bedah Meliputi :


 Bedah minor (antara lain : bedah insisi abses, ekstirpasi, tumor kecil jinak pada
kulit, ekstraksi kuku/benda asing, sirkumsisi).
 Bedah umum/mayor dan bedah digestif.
 Bedah spesialistik (antara lain: kebidanan, onkologi/tumor, urologi, orthopedik,
bedah plastik dan reanimasi, bedah anak, kardiotorasik dan vaskuler).
 Bedah sub spesialistik (antara lain: transplantasi ginjal, mata, sumsum tulang
belakang; kateterisasi Jantung (Cathlab); dll)
Persyaratan teknis ruang operasi dapat melihat buku Pedoman Teknik Bangunan
Rumah Sakit, yang disusun oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang
Medik dan Sarana Kesehatan, Tahun 2012. 
Bangunan kamar operasi harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Mudah dicapai oleh pasien
2. Penerimaan pasien dilakukan dekat dengan perbatasan daerah steril dan non-steril
3. Kereta dorong pasien harus mudah bergerak
4. Lalu lintas kamar operasi harus teratur dan tidak simpang siur
5. Terdapat batas yang tegas yang memisahkan antara daerah steril dan non-steril,
untuk pengaturan penggunaan baju khusus 
 Letaknya dekat dengan UGD (untuk
kamar operasi kasus- kasus gawat darurat).
Rancang bangun kamar operasi harus mencakup:
1. Kamar yang tenang untuk tempat pasien menunggu tindakan anestesi yang
dilengkapi dengan fasilitas induksi anestesi
2. Kamar operasi yang langsung berhubungan dengan kamar induksi
3. Kamar pulih (recovery room)
4. Ruang yang cukup untuk menyimpan peralatan, llinen, obat farmasi termasuk bahan
narkotik
5. Ruang/tempat pengumpulan/pembuangan peralatan dan linen bekas pakai operasi
6. Ruang ganti pakaian pria dan wanita terpisah
7. Ruang istirahat untuk staf yang jaga
8. Ruang operasi hendaknya tidak bising dan steril. Kamar ganti hendaknya
ditempatkan sedemikian rupa sehingga terhindar dari area kotor setelah ganti
dengan pakaian operasi.
9. Ruang perawat hendaknya terletak pada lokasi yang dapat mengamati pergerakan
pasien.
10. Dalam ruang operasi diperlukan 2 ruang tindakan, yaitu tindakan elektif dan
tindakan cito
11. Alur terdiri dari pintu dan keluar untuk staf medik dan paramedik; pintu masuk
pasien operasi; dan alur perawatan
12. Harus disediakan spoelhock untuk membuang barang-barang bekas operasi
13. Disarankan terdapat pembatasan yang jelas antara:
14. Daerah bebas, area lalu lintas dari luar termasuk pasien
15. Daerah semi steril, daerah transisi yang menuju koridor kamar operasi dan ruangan
semi steril
16. Daerah steril, daerah prosedur steril diperlukan bagi personil yang harus sudah
berpakaian khusus dan masker
17. Setiap 2 kamar operasi harus dilayani oleh 2 kamar scrub up
18. Harus disediakan pintu keluar tersendiri untuk jenazah dan 
bahan kotor yang
tidak terlihat oleh pasien dan pengunjung
Syarat kamar operasi:
1. Lebar pintu minimal 1,2 m dan tinggi minimal 2,1 m, terdiri dari dua daun pintu,
dan semua pintu harus selalu dalam keadaan tertutup.
2. Pintu keluar masuk harus tidak terlalu mudah dibuka dan ditutup.
3. Sepertiga bagian pintu harus dari kaca tembus pandang.
4. Paling sedikit salah satu sisi dari ruang operasi ada kaca.
5. Ukurankamaroperasiminimal6x6m2dengantinggiminimal 3 m.
6. Pertemuan lantai, dinding dan langit-langit dengan lengkung
7. Plafon harus rapat, kuat dan tidak bercelah, terbuat dari bahan yang kuat, aman dan
tinggi minimal 2,70 m dari lantai.
8. Dindingterbuatdaribahanporselenatauvynilsetinggilangit- langit atau dicat dengan
cat tembok berwarna terang yang aman dan tidak luntur.
9. Lantai terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, mudah dibersihkan, permukaan rata
dan tidak licin serta berwarna terang, contoh : vinyl atau keramik.
10. Tersedia lampu operasi dengan pemasangan seimbang, baik jumlah lampu operasi
dan ketinggian pemasangan. Harus tersedia gelagar (gantungan) lampu bedah
dengan profil baja double INP 20 yang dipasang sebelum pemasangan langit- langit.
11. Pencahayaan 300–500 lux, meja operasi 10.000–20.000 lux dengan warna cahaya
sejuk atau sedang tanpa bayangan
12. Ventilasi sebaiknya menggunakan AC tersendiri yang dilengkapi filter bakteri, untuk
setiap ruang operasi yang terpisah dengan ruang lainnya. Pemasangan AC minimal 2
meter dari lantai dan aliran udara bersih yang masuk ke dalam kamar operasi
berasal dari atas ke bawah. Khusus untuk ruang bedah ortopedi atau transplatasi
organ harus menggunakan pengaturan udara UCA (Ultra Clean Air) System
13. Suhu kamar idealnya 20–26 C dan harus stabil
14. Kelembaban ruangan 50–60%
15. Kebisingan 45 dB.
16. Tidak dibenarkan terdapat hubungan langsung dengan udara luar, untuk itu harus
dibuat ruang antara.
17. Hubungan dengan ruang scrub-up untuk melihat ke dalam ruang operasi perlu
dipasang jendela kaca mati, hubungan ke ruang steril dari bagian alat steril
(cleaning) cukup dengan sebuah loket yang dapat dibuka/ditutup
18. Pemasangan gas medik secara sentral diusahakan melalui bawah lantai atau atas
langit-langit.
19. Di bawah meja operasi perlu adanya kabel anti petir yang dipasang di bawah lantai.
20. Ada sistem pembuangan gas anestesi yang aman.
21. Dilengkapi dengan sarana pengumpulan limbah medis.

Sumber Daya Manusia


Mengacu pada Undang-Undang No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
pengoperasian dan pemeliharaan ruang operasi harus dilakukan oleh petugas yang
mempunyai kompetensi di bidangnya. Kualifikasi sumber daya manusia disasuaikan
dengan klasifikasi rumah sakit.
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Peralatan medis adalah alat yang digunakan untuk tujuan medis pada pasien,
diagnosis, terapi serta tindakan pembedahan. Peralatan medis di rumah sakit
merupakan alat penunjang dalam pelayanan yang sangat vital. Peralatan medis dirumah
sakit dapat berupa peralatan sekali pakai (single-use) atau peralatan yang dapat
digunakan kembali (re-use). Ada dua risiko terkait single-use dan re-use peralatan
habis pakai : ada risiko meningkatnya infeksi dan ada risiko bahwa kekuatan peralatan
habis pakai tersebut mungkin tidak adekuat atau tidak memuaskan setelah diproses
kembali. Pada waktu alat single use menjadi re-use maka rumah sakit harus membuat
kebijakan yang menjadi panduan untuk re-use. Kebijakan konsisten dengan peraturan
dan perundangan nasional dan standar profesi dan termasuk mengidentifikasi dari :
1. Peralatan dan peralatan habis pakai yang tidak bisa di re-use.
2. Jumlah maksimum untuk melakukan re-use pada setiap peralatan dan peralatan yang di re-
use.
3. Tipe pemakaian dan kelayakan, dan indikasi bahwa peralatan habis pakai tidak bisa di re-
use.
4. Proses pembersihan untuk setiap peralatan yang mulai dengan segera sesudah digunakan
dan diikuti dengan protokol yang jelas.
5. Proses untuk pengumpulan, analisa dan data yang berhubungan dengan pencegahan dan
pengendalian infeksi peralatan dan material yang digunakan dan re-use.

2. TUJUAN
 Menyediakan proseduruntuk desain danpelaksanaanpendekatan sistematisuntuk
perencanaan, ketepatan penggunaan, ketepatan pengolahan, dan pemeliharaan semua
peralatanmedis yang dapat digunakan kembali atau peralatan medis re-use(PMR) di
rumah sakit.
 Melindungi pasien dan petugas kesehatan dari kemungkinan terkena infeksi silang
karena penggunaan alat yang seharusnya sekali pakai namun digunakan kembali tanpa
prosedur yang benar

3. PENGERTIAN
 Peralatan MedisRe-use (PMR) adalah setiap peralatan medis habis pakai yang dirancang
oleh produsen untuk digunakan kembali untuk beberapa pasien. Semua PMR harus disertai
dengan instruksi penggunaan kembali sesuai prosedur yang disediakan oleh produsen.
 Pemrosesan kembaliadalahpembersihan, desinfeksi, sterilisasi, dan persiapanperalatan
untukkesiapanpenuh/siap pakai untukpenggunaan selanjutnya. Hal ini dapat
terjadisebagian ataukeseluruhan,baik di dalam maupundi luarpenyediaan, pengolahan dan
BAB II
RUANG LINGKUP
Lingkup Area
1. Pelaksana panduan ini adalah tenaga kesehatan terdiri dari :
1. Staf Medis
2. Staf Perawat
3. Staf Bidan
4. Staf profesional lainya
Instalasi yang terlibat pelaksanaan Panduan Re –
Use adalah :
1. Instalasi Gawat Darurat
2. Instalasi Rawat Jalan
3. Instalasi Rehabilitasi Medis
4. Instalasi Gigi Dan Mulut
5. Instalasi Medical Chek Up
6. Instalas Radiologi
7. Instalasi laboratorium
8. Instalasi Bedah Sentral
9. Instalasi Rawat Inap terdiri dari :
10. Ruang Perawatan Dewasa I
11. Ruang Perawatan Dewasa II
12. Ruang Perawatan Bedah dan Anak
13. Ruang Perawatan Kebidanan dan Penyakit Kandungan
14. Ruang Neonatal
15. Ruang Paviliyun I
16. Ruang Paviliyun II
17. Ruang Paviliyun III
18. Kewajiban Dan Tanggung Jawab
1. Seluruh Staf Rumah Sakit wajib memahami tentang Panduan Re-Use
2. Perawat Yang Bertugas (Perawat Penanggung jawab Pasien) Bertanggung jawab melakukan
Panduan Re-Use
Kepala Instalasi / Kepala Ruangan
1. Memastikan seluruh staf di Instalasi memahami Panduan Re-Use
2. Terlibat dan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Panduan Re-Use
Manajer
1. Memantau dan memastikan Panduan Panduan Re-Use telah dikelola dengan baik oleh
Kepala Instalasi
2. Menjaga standarisasi dalam menerapkan Panduan Re-Use yang telah dibuat
BAB III
TATA LAKSANA
Prinsip Umum
Berkaitan dengan pemrosesan alat re-use dan single use ketentuan harus mengacu pada
ketentuan :
 Berikut adalah peralatan medik yang dapat di re-use :
 Peralatan medik yang terdapat ketentuan DAPAT digunakan kembali oleh produsen dan
tertera dengan jelas pada kemasan, dengan memperhatikan jumlah maksimal suatu
peralatan dapat digunakan kembali.
 Peralatan medik yang tidak berbahaya bila digunakan ulang dan dipastikan tidak
menyebabkan infeksi silang setelah dilakukan sterilisasi dan dengan syarat masih layak
digunakan kembali, list terlampir.

Berikut adalah peralatan medik yang tidak dapat di re-


use :
1. Peralatan medik yang terdapat ketentuan TIDAK DAPAT digunakan kembali oleh
produsen dan tertera dengan jelas pada kemasan tentang larangannya untuk melakukan re-
use.
2. Peralatan medik yang telah digunakan oleh pasien infeksius (HbSAg+, HCV+, HIV+) tidak
dapat digunakan kembali walaupun telah dilakukan sterilisasi.
3. Peralatan medik yang berbahaya bila digunakan ulang dan kemungkinan akan
menyebabkan infeksi silang walaupun setelah dilakukan sterilisasi.
4. Peralatan medik yang sudah mengalami kerusakan meskipun batas belum melewati batas
maksimal penggunaan.
 Proses pemilahan, pengecekan kondisi, pencucian dan sterilisasi alat dilakukan di CSSD.
Peralatan MedisRe-use (PMR) yang telah digunakan dapat disterilkan kembali di unit CSSD
dengan mengikuti ketentuan desinfeksi dan sterilisasi alat medik sesuai prosedur.
 Setelah peralatan medik disterilisasi, kemudian dikemas dan diberi identifikasi berupa :
nama alat, tanggal dilakukan sterilisasi dan tanggal kadaluarsa.
 Untuk mengetahui jumlah maksimal suatu alat dapat di re-use, setiap unit
mendokumentasikan jumlah pemakaian.
 Peralatan yang bersifat single use di gunakan untuk sekali pemakaian, peralatan single
use tidak boleh digunakan ulang. Apabila bahan atau peralatan medis single use telah
kedaluarsa, diberlakukan sebagai barang bekas pakai dan di bakar di incenerator dilengkapi
dengan berita acara pemusnaan

NAMA-NAMA PERALATAN MEDIS RE-USE (PMR)


Maks
No Pemakaian
Nama Peralatan Medik Max of Use Unit Pengguna
Medical Equipment (times) User Unit
1 Dialyzer Hemodialisa 5 (Lima) kali Hemodialisa
2 Filter Inspirasi 5 (Lima) kali ICU
3 Humidifier ventilator 5 (Lima) kali ICU
4 Flow sensor 5 (Lima) kali ICU
5 Swefel Elbow 5 (Lima) kali ICU
Membrane ekspirasi
6 ventilator 5 (Lima) kali ICU
7 Conector Humidifier 5 (Lima) kali ICU
8 Conecting 2 Funel 2 (Dua) kali Kamar Bedah
9 Versaport (11 mm) 2 (Dua) kali Kamar Bedah
10 Versaport (5 mm) 2 (Dua) kali Kamar Bedah
11 Skin stapler remover 5 (Lima) kali Kamar Bedah
12 Valley Lab pencil 2 (Dua) kali Kamar Bedah
13 Agresif Full Radius 2 (Dua) kali Kamar Bedah
4 (Empat)
14 Endo Clip 10 mm kali Kamar Bedah
15 Endo Clip 5 mm 3 (Tiga) kali Kamar Bedah
10 (Sepuluh)
16 Probe Harmonic Scalpel kali Kamar Bedah
4 (Empat)
17 Blade Electrode (B / U Bar) kali Kamar Bedah
18 Guide Wire 2 (Dua) kali Kamar Bedah
19 Cutting Loop 2 (Dua) kali Kamar Bedah
20 Valley Cauter 5 (Lima) kali Kamar Bedah
21 Skin stapler 3 (Tiga) kali Kamar Bedah
22 Yankeur 2 (Dua) kali Kamar Bedah
23 Slip Knife 2,75mm 2 (Dua) kali Kamar Bedah
24 Stab Knife 15 Degree 2 (Dua) kali Kamar Bedah
25 Biliary baloon dilator ERCP 5 (Lima) kali Endoscopy
Biliary inflation device
26 ERCP 5 (Lima) kali Endoscopy
Disposible baloon catheter
27 Broncoscopy 5 (Lima) kali Endoscopy
Disposible citology brush
28 Broncoscopy 5 (Lima) kali Endoscopy
Disposible grasing forceps
29 Broncoscopy 5 (Lima) kali Endoscopy
Disposible
30 injector Gastroscopy 5 (Lima) kali Endoscopy
31 Extraction baloon ERCP 5 (Lima) kali Endoscopy
32 Guide wire 0,018 ” ERCP 5 (Lima) kali Endoscopy
33 Guide wire 0,025 ” ERCP 5 (Lima) kali Endoscopy
34 Guide wire 0,035 ” ERCP 5 (Lima) kali Endoscopy
35 Rotatable six shooter EVL 5 (Lima) kali Endoscopy
36 SB Tube 2 (Dua) kali Endoscopy
Spincterektome / Tritome
37 ERCP 5 (Lima) kali Endoscopy
38 Star Tip canula VPR EVL 5 (Lima) kali Endoscopy
39 The Web Extration Basket 5 (Lima) kali Endoscopy
BAB IV
DOKUMENTASI

1. Dokumentasi inventaris peralatan yang dilakukan proses sterilisasi.


2. Ekspedisi pengiriman dan peminjaman peralatan medis
3. Pencatatan penerapan SOP Sterilisasi

BAB V
PENUTUP

Panduan pemakaian ulang (re-use) ini disusun sebagai acuan dalam pengelolaan alat
yang disposable dan re usesable. Di harapakan melalui panduan ini dapat tercipta
keseragaman pemahaman dan persepsi, dalam mewujudkan pelayanan RS Ibnu Sina
Gresik yang berkualitas, Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran, maka tidak menutup kemungkinan, panduan yang saat ini
berlaku, akan semakin disempurnakan. Oleh karenanya, terhadap panduan ini pun
akan tetap dilakukan evaluasi secara berkala, agar diperoleh perkembangan yang
terbaru, demi upaya peningkatan mutu pelayanan di Rumah Sakit Semen Gresik

Ditetapkan di : Gresik

Pada tanggal : 5 Juni 2013


Panitia PPI RS Ibnu Sina Gresik Ketua,
Panduan Case Manager di Rumah Sakit
Posted on April 21, 2017by Healthcare and Hospital Consultant (IKKESINDO Batch 4)

BAB I
DEFINISI

 Manajemen Pelayanan Pasien :


 Suatu proses kolaboratif mengenai asesmen, perencanaan, fasilitasi, koordinasi asuhan,
evaluasi dan advokasi untuk pemilihan dan pelayanan bagi pemenuhan kebutuhan
pasien dan keluarganya yang komprehensif, melalui komunikasi dan sumber daya yang
tersedia sehingga memberi hasil (outcome) yang bermutu dengan biaya-efektif. (Sumber
: CSMA – Case Management Society of America, 2010)
 Suatu model klinis untuk manajemen stratejik mutu dan biaya pelayanan, dibuat untuk
memfasilitasi hasil pasien yang diharapkan dalam lama perawatan yang layak / patut
dan dengan manajemen sumber daya yang sesuai. (Cesta, 2009)
 Manajer Pelayanan Pasien – MPP (Case Manager) adalah professional di rumah sakit yang
memiliki kewenangan melaksanakan koordinasi manajemen pelayanan pasien.

BAB II
RUANG LINGKUP

Manajemen pelayanan pasien bersumber dari konsep pelayanan fokus pada pasien
(PFP). Sehingga pelaksanaan tugas manajer pelayanan adalah meningkatkan pelayanan
berfokus pada pasien.

Inti konsep pelayanan berfokus pada pasien terdiri dari 4 elemen :

1. Martabat dan Respek.


 Pemberi pelayanan kesehatan mendengarkan, menghormati dan menghargai pandangan
dan pilihan pasien serta keluarga.
 Pengetahuan, nilai-nilai, kepercayaan, latar belakang kultural pasien dan keluarga
dimasukkan dalam perencanaan pelayanan dan pemberian pelayanan kesehatan
2. Berbagi informasi.
 Pemberi pelayanan kesehatan mengkomunikasikan dan berbagi informasi secara
lengkap dengan pasien dan keluarga
 Pasien dan keluarga menerima informasi tepat waktu, lengkap, dan akurat
3.
Pasien dan keluarga didorong dan didukung untuk berpartisipasi dalam asuhan dan
pengambilan keputusan serta pilihan mereka

4. Kolaborasi / kerjasama.
Pasien dan keluarga adalah mitra pemberi pelayanan kesehatan. Pemberi pelayanan
kesehatan bekerjasama dengan pasien dan keluarga dalam pengembangan,
implementasi dan evaluasi kebijakan dan program.
TUJUAN UMUM
Mewujudkan pelayanan berfokus pada pasien dalam kerangkat meningkatkan mutu
rumah sakit.

TUJUAN KHUSUS
1. Meningkatkan partisipasi pasien dan keluarga dalam asuhan yang dialaminya.
2. Meningkatkan sinergisitas pelayanan pemberi asuhan di rumah sakit
3. Meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit
FUNGSI Manajer Pelayanan Pasien
1. Asesmen utilitas. Mampu mengakses semua informasi dan data untuk mengevaluasi
manfaat/utilisasi, untuk kebutuhan manajemen pelayanan pasien. (Semua informasi dan
data akurat, lengkap yang mudah diakses tentang kebutuhan klinis, finansial, serta sosial
pasien)
2. Dengan asesmen yang lengkap, disusun perencanaan untuk pelaksanaan manajemen
pelayanan pasien. Perencanaan tsb mencerminkan kelayakan/kepatutan dan efektivitas-
biaya dari pengobatan medis dan klinis serta kebutuhan pasien untuk mengambil
keputusan.
3. Tugas ini mencakup interaksi antara MPP dan para anggota tim pemberi pelayanan
kesehatan, perwakilan pembayar, serta pasien/keluarga yang mencari/menginginkan
pembebasan dari hambatan namun dapat mempengaruhi kinerja/hasil, serta menjaga
kontinuitas pelayanan.
4. Mewakili kepentingan pasien adalah inti dari peran MPP. Tetapi peran ini juga menjangkau
pemangku kepentingan lain. MPP diharapkan melakukan advokasi untuk opsi pengobatan
yang dapat diterima setelah berkonsultasi dengan DPJP, termasuk rencana pemulangan
yang aman. Advokasi perlu mempertimbangkan sistem nilai pasien, kemampuan finansial
termasuk atas jaminan pembiayaan, pilihan, serta kebutuhan pelayanan kesehatannya

TANGGUNG JAWAB
MPP dapat bertanggung-jawab ke Direktur RS melalui Kepala Bidang Pelayanan Medis

KUALIFIKASI MANAJER PELAYANAN PASIEN


Seorang case manager memiliki kualifikasi sebagai berikut

KUALIFIKASI DOKTER
 Dokter Umum
 Status Kepegawaian tetap
 Memiliki pengalaman minimal 2 tahun dalam pelayanan klinis
 Memiliki kemampuan Bahasa Indonesia Aktif
 Memiliki kemampuan Bahasa Inggris Aktif
 Pernah mengikuti pelatihan komunikasi efektif, dan pelatihan case manager
KUALIFIKASI PERAWAT
1. Perawat dengan pendidikan minimal Strata 1
2. Status Kepegawaian Tetap
3. Pengalaman minimal 3 – 5 tahun dalam pelayanan keperawatan
4. Memiliki kemampuan bahasa Indonesia aktif
5. Memiliki kemampuan Bahasa Inggris aktif
6. Pernah mengikuti pelatihan komunikasi efektif dan pelatihan case manager

BAB III
TATA LAKSANA

1. Penetapan dan Pengangkatan MPP oleh Direktur


2. Melakukan skrining pasien yang membutuhkan manajemen pelayanan pasien, berdasarkan
pasien yang meliputi :
 Risiko tinggi
 Biaya tinggi
 Potensi komplain tinggi
 Kasus dengan penyakit kronis
 Kasus komplek / rumit
 Kemungkinan sistem pembiayaan yang komplek
3. Setelah pasien ditentukan sebagai klien MPP, maka dilakukan asesmen utilitas dengan
mengumpulkan berbagai informasi klinis, psiko-sosial, sosio-ekonomis, maupun sistem
pembayaran yang dimiliki pasien
4. Menyusun rencana manajemen pelayanan pasien tersebut, berkolaborasi dengan DPJP serta
para anggota tim klinis lainnya, yang mencerminkan kelayakan / kepatutan dan efektivitas-
biaya dari pengobatan medis dan klinis serta kebutuhan pasien untuk mengambil keputusan
5. Melakukan fasilitasi yang mencakup interaksi antara MPP dan DPJP serta para anggota tim
klinis lainnya, berbagai unit pelayanan, pelayanan administrasi, perwakilan pembayar.
Fasilitasi untuk koordinasi, komunikasi dan kolaborasi antara pasien dan pemangku
kepentingan, serta menjaga kontinuitas pelayanan.
6. Memfasilitasi untuk kemungkinan pembebasan dari hambatan yang tidak mempengaruhi
kinerja/hasil
7. Memfasilitasi dan memberikan advokasi agar pasien memperoleh pelayanan yang optimal
sesuai dengan sistem pembiayaan dan kemampuan finansial
8. Ada bukti dokumentasi kegiatan MPP, a.l. termasuk dalam rekam medis seperti pencatatan
dalam formulir edukasi-informasi.
Panduan Penanggulangan Kebakaran di Rumah Sakit
Posted on April 20, 2017by Healthcare and Hospital Consultant (IKKESINDO Batch 4)

BAB I
KETENTUAN UMUM

PENGERTIAN
1. Bangunan gedung adalah konstruksi bangunan yang diletakkan secara tetap dalam suatu
lingkungan, di atas tanah/perairan, ataupun di bawah tanah/perairan, tempat manusia
melakukan kegiatannya, baik untuk tempat tinggal, berusaha, maupun kegiatan sosial dan
budaya. Sedangkan mengenai klasifikasi bangunan gedung sesuai dengan Keputusan
Menteri PU no. 441/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Bangunan Gedung dan
Lingkungan.
2. Bahaya kebakaran adalah bahaya yang diakibatkan oleh adanya ancaman potensional dan
derajat terkena pancaran api sejak dari awal terjadi kebakaran hinga penjalaran api, asap,
dan gas yang ditimbulkannya.
3. Exit atau jalan keluar adalah :
4. Salah satu atau kombinasi dari berikut ini jika memberikan jalan keluar menuju ke jalan
umum atau ruang terbuka:
 Bagian dalam dan luar tangga,
 Ramp
 Lorong yang dilindungi terhadap kebakaran
 Bukaan pintu yang menuju jalan umum atau ruang terbuka
1. Jalan keluar horizontal atau lorong yang dilindungi terhadap kebakaran yang menuju ke exit
horizontal.
2. Jalan akses adalah jalur pencapaian yang menerus dari perjalanan ke atau didalam
bangunan yang cocok digunakan untuk/oleh orang cacat sesuai dengan standar
aksesibilitas.
3. Jalan penyelamatan/evakuasi adalah jalur perjalanan yang menerus (termasuk jalan keluar,
koridor/selasar umum dan sejenis) dari setiap bagian bangunan termasuk di dalam unit
hunian tunggal ketempat yang aman.
4. Tempat aman adalah :
5. Suatu tempat yang aman di dalam bangunan, yakni:
 Yang tidak ada ancaman api, dan
 Dari sana penghuni bisa secara aman berhambur setelah menyelamatkan dari keadaan
darurat menuju ke jalan atau ruang terbuka, atau
1. Suatu jalan atau ruang terbuka.
2. Tangga kebakaran adalah tangga yang direncanakan khusus untuk penyelamatan bila terjadi
kebakaran.
3. Pintu kebakaran adalah pintu-pintu yang langsung menuju tangga kebakaran dan hanya
dipergunakan apabila terjadi kebakaran.
4. Waktu penyelamatan/Evakuasi adalah waktu bagi pengguna/penghuni bangunan untuk
melakukan penyelamatan ke tempat aman yang dihitung dari saat dimulainya keadaan
darurat hingga sampai ke tempat yang aman.

MAKSUD DAN TUJUAN


1. Maksud
Ketentuan teknis pengaman terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan
lingkungan ini dimaksudkan sebagai acuan persyaratan teknis yang diperlukan dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan oleh penyedia jasa dan pemilik/pengelola
bangunan gedung, serta pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung, melalui
mekanisme perijinan, pemeriksaan, dan penertiban oleh pemerintah untuk
mewujudkan bangunan gedung yang aman terhadap bahaya kebakaran.

2. Tujuan
Ketentuan ini bertujuan untuk mengatur dan menetapkan upaya teknis teknologis agar
dapat terselenggaranya pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung
secara tertib, aman dan selamat.
RUANG LINGKUP
Ruang lingkup dari ketentuan ini meliputi

1. Ketentuan umum
2. Perencanaan tapak untuk proteksi kebakaran
3. Sarana penyelamatan
4. Sistem proteksi pasif
5. Sistem proteksi aktif
6. Pengawasan dan pengendalian

BAB II
PERENCANAAN TAPAK UNTUK PROTEKSI KEBAKARAN

1. LINGKUNGAN BANGUNAN
Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran dan memudahkan operasi
pemadaman, maka di dalam lingkungan bangunan harus tersedia jalan lingkungan
dengan perkerasan agar dapat dilalui oleh kendaraan pemadam kebakaran.

Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran, harus disediakan jalur akses
dan ditentukan jarak antar bangunan.

AKSES PETUGAS PEMADAM KEBAKARAN KE LINGKUNGAN


1. Lapis perkerasan dan jalur akses masuk
2. APAR

AKSES PETUGAS PEMADAM KEBAKARAN KE BANGUNAN GEDUNG


1. Akses petugas pemadam kebakaran ke dalam bangunan
Akses petugas pemadam kebakaran dibuat melalui dinding luar untuk operasi
pemadaman dan penyelamatan. Bukaan tersebut harus siap dibuka dari dalam dan luar
atau terbuat dari bahan yang mudah dipecahkan, dan senantiasa bebas hambatan
selama bangunan dihuni atau dioperasikan. Akses petugas pemadam kebakaran harus
diberi tanda segitiga warna merah atau kuning dengan ukuran tiap sisi minimum 150
mm dan diletakkan pada sisi luar dinding dan diberi tulisan “AKSES PEMADAM
KEBAKARAN-JANGAN DIHALANGI” dengan ukuran tinggi minimal 50 mm.
2. Akses petugas pemadam kebakaran di dalam bangunan
Diperlukan persyaratan mengenai sarana atau fasilitas tambahan untuk menghindari
penundaan dan untuk memperlancar operasi pamadaman.
BAB III
SARANA PENYELAMATAN

TUJUAN, FUNGSI DAN PERSYARATAN KINERJA


1. Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dalam bab ini adalah mencegah terjadinya kecelakaan atau
luka pada waktu melakukan evakuasi pada saat keadaan darurat terjadi.

2. Fungsi
Setiap bangunan harus dilengkapi dengan sarana evakuasi yang dapat digunakan oleh
penghuni bangunan, sehingga memiliki waktu yang cukup untuk menyelamatkan diri
dengan aman tanpa terhambat hal-hal yang diakibatkan oleh keadaan darurat.

3. Persyaratan Kinerja
Sarana atau jalan ke luar dari bangunan harus disediakan agar penghuni bangunan
dapat menggunakannya untuk penyelamatan diri. Jalan keluar harus ditempatkan
terpisah. Agar penghuni atau pemakai bangunan dapat menggunakan jalan ke luar
tersebut secara aman, maka jalur ke jalan luar harus memiliki dimensi yang di tentukan
berdasarkan :

1. Jumlah, mobilitas dan karakter-karakter lainnya dari penghuni atau pemakai bangunan
2. Fungsi atau pemakaian bangunan

PERSYARATAN JALAN KELUAR


Setiap bangunan harus mempunyai sedikitnya 1 eksit dari setiap lantainya. Eksit yang
disyaratkan sebagai alternatif jalan ke luar harus :

1. Tersebar merata di sekeliling lantai yang dilayani sehingga akses ke minimal dua eksit tidak
terhalang dari semua tempat termasuk area lif di lobby, dan
2. Jarak tidak kurang dari 9 m antar eksit, dan
3. Terletak sedemikian rupa sehingga alternatif jalur lintasan tidak bertemu, sehingga jarak
antar eksit kurang dari 6 m.

KONSTRUKSI EKSIT
1. Pintu
Suatu pintu dalam bangunan yang berfungsi sebagai eksit atau membentuk bagian dari
eksit atau setiap pintu untuk area perawatan pasien harus :

1. Bukan pintu berputar


2. Bukan pintu gulung
3. Tidak boleh dipasang pintu sorong
4. Pengoperasian gerendel pintu
Pintu pada eksit yang disyaratkan membentuk bagian dari eksit atau jalur yang menuju
ke eksit harus siap dapat dibuka tanpa kunci dari sisi dalam yang menghadap ke jalur
penyelamatan dengan satu tangan, dengan mendorong melalui alat yang dipasang pada
ketinggian antara 0,9 – 1,2 m dari lantai.

3. Rambu pada pintu


Untuk memberi tanda pada orang bahwa operasi pintu-pintu tertentu harus tidak di
halangi, harus dipasang di tempat yang mudah dilihat atau dekat dengan pintu
kebakaran yang memberikan akses langsung ke eksit yang dilindungi terhadap
kebakaran. Rambu tersebut harus dibuat dengan huruf besar minimal tinggi huruf 20
mm, warna kontras dengan warna latar belakang.

BAB IV
SISTEM PROTEKSI PASIF

TUJUAN, FUNGSI DAN PERSYARATAN KINERJA


1. Tujuan
Tujuan dari persyaratan yang tercantum dalam Bab ini adalah untuk:

1. Melindungi manusia yang sakit ataupun cedera akibat terjadinya kebakaran dalam
bangunan maupun saat penyelamatan
2. Menyediakan fasilitas untuk menunjang kegiatan yang dilakukan petugas pemadam
kebakaran
3. Menghindari penyebaran kebakaran antar bangunan
4. Melindungi benda atau barang lainnya terhadap kerusakan fisik akibat keruntuhan struktur
bangunan saat terjadi kebakaran.
5. Fungsi
6. Konstruksi suatu bangunan harus mampu menciptakan kestabilan struktur selama
kebakaran untuk:
 Memberikan waktu bagi penghuni bangunan untuk menyelamatkan diri secara aman
 Memberikan kesempatan bagi petugas pemadam kebakaran untuk beroperasi
 Menghindarkan kerusakan benda atau barang akibat kebakaran
1. Suatu bangunan harus dilindungi terhadap penyebaran kebakaran
 Sehingga penghuni bangunan mempunyai cukup waktu untuk melakukan evakuasi secara
aman tanpa dihalangi oleh penyebaran api dan asap kebakaran
 Untuk memberikan kesempatan bagi petugas pemadam kebakaran beroperasi
3. Persyaratan Kinerja
Suatu bangunan gedung harus mempunyai bagian atau elemen bangunan yang pada
tingkat tertentu bisa mempertahankan stabilitas struktur selama terjadi kebakaran,
yang sesuai dengan:

1. Fungsi bangunan
2. Beban api
3. Intensitas kebakaran
4. Potensial bahaya
5. Ketinggian bangunan
6. Kedekatan dengan bangunan lain
7. Sistem protektif aktif yang terpasang dalam bangunan
8. Ukuran kompartemen kebakaran
9. Tindakan petugas pemadam kebakaran
10. Elemen bangunan lainnya yang mendukung
11. Evakuasi penghuni
Ruang perawatan pasien harus dilindungi terhadap penjalaran asap dan panas serta gas
beracun yang ditimbulkan oleh kebakaran untuk dapat memberikan waktu cukup agar
evakuasi penghuni bisa berlangsung secara tertib pada saat terjadi kebakaran. Setiap
elemen bangunan yang dipasang atau disediakan untuk menahan penyebaran api pada
bukaan, sambungan-sambungan, tempat-tempat penembusan struktur untuk utilitas
harus dilindungi terhadap kebakaran sehingga diperoleh kinerja yang memadai dari
elemen tersebut.

BAB V
SISTEM PROTEKSI AKTIF

TUJUAN, FUNGSI DAN PERSYARATAN KINERJA


1. Tujuan
2. Melindungi penghuni dari kecelakaan atau luka, dengan memperingatkan kepada penghuni
akan adanya suatu kebakaran, sehingga dapat melaksanakan evakuasi dengan aman.
3. Melindungi penghuni dari kecelakaan atau luka pada waktu melakukan avakuasi pada saat
kejadian kebakaran.
4. Fungsi
Suatu bangunan dilengkapi dengan proteksi kebakaran sedemikian rupa sehingga:

1. Penghuni diperingatkan akan adanya suatu kebakaran dalam bangunan sehingga dapat
melaksanakan evakuasi dengan aman.
2. Penghuni mempunyai waktu untuk melakuikan evakuasi secara aman sebelum kondisi pada
jalur evakuasi menjadi tidak tertahankan oleh akibat kebakaran.
3. Persyaratan Kinerja
4. Dalam suatu bangunan yang menyediakan akomodasi tempat tidur, harus disediakan sistem
peringatan otomatis pada sistem deteksi asap, sehingga mereka dapat berevakuasi ke tempat
yang aman pada saat terjadi kebakaran.
5. Pada saat terjadi kebakaran pada bangunan gedung, kondisi pada setiap jalur evakuasi
harus dijaga untuk periode waktu yang diperlukan penghuni untuk melakukan evakuasi dari
bagian bangunan, sehingga :
 Temperatur tidak membahayakan jiwa manusia
 Jalur/rute evakuasi masih dapat terlihat jelas
 Tingkat keracunan asap tidak membahayakan jiwa manusia
1. Periode waktu yang diperlukan untuk melakukan evakuasi harus memperhitungkan:
 Jumlah, mobilitas, dan karakteristik lain dari penghuni, dan
 Fungsi bangunan
 Jarak tempuh dan karakteristik lainnya dari bangunan
 Beban api
 Potensi intensitas kebakaran
 Tingkat bahaya kebakaran
 Setiap sistem konstruksi kebakaran aktif yang terpasang dalam bangunan
 Tindakan petugas pemadam kebakaran
Persyaratan tersebut tidak berlaku untuk ruang parkir terbuka atau panggung terbuka.

SISTEM PEMADAMAN KEBAKARAN MANUAL


1. Alat Pemadam Api Portabel (APAP)
2. Lingkup
Spesifikasi ini menjelaskan instalasi dan pengoperasian Alat pamadam api portabel
(APAP) yang meliputi Alat Pemadam Api Ringan (APAR) dan Alat Pemadam Api
Beroda (APAB)

1. Tujuan
Instalasi APAP harus ditujukan untuk menyediakan sarana bagi pemadam api pada
tahap awal

1. Persyaratan kinerja
Alat pemadam api portabel harus dipilih dan ditempatkan sesuai ketentuan dalam SNI
03-3987- edisi terakhir, tentang Tata Cara Perencanaan, Pemasangan Pemadaman Api
Ringan untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Rumah dan Gedung.

1. Ketentuan istalasi APAP


 Jenis APAP
Jenis APAP yang digunakan harus dari jenis yang teruji menurut SNI 03-3988-edisi
terakhir, tentang pengujian kemampuan pemadaman dan penilaian alat pemadam api
ringan.

 Instalasi APAP harus memenuhi SNI 03-3987 edisi terakhir tentang tata cara perencanaan,
pemasangan pemadaman api ringan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan
rumah dan gedung.
 Penempatan APAP harus pada lokasi yang mudah ditemukan, mudah dijangkau, dan mudah
di ambil dari tempatnya untuk dibawa ke lokasi kebakaran.
 Instalasi APAP yang terpasang harus diperiksa secara berkala seperti yang diatur dalam SNI
03-3987-edisi terakhir tentang Tata Cara Perencanaan, Pemasangan pemadaman api ringan
untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung.

PENGENDALIAN ASAP KEBAKARAN


1. Pemberlakuaan persyaratan
2. Persyaratan kinerja
Pengendalian asap harus disediakan pada bangunan. Suatu bangunan bangunan yang
mempunyai atrium, atau yang terpisah/secara khusus. Ketentuan sistem pembuangan
asap serta ventilasi asap dan panas dari bagian ini tidak berlaku untuk setiap area yang
tidak digunakan oleh penghuni untuk jangka waktu lama antara lain: gudang dengan
luas lantai kurang dari 30 m², ruang sanitasi, ruang mesin atau sejenis.

1. Ketentuan umum
Suatu sistem deteksi asap harus dipasang guna mengoperasikan sistem pengendalian
asap terzona dan sistem penahan udara otomatis (pressurization) pada sarana jalan
keluar yang aman kebakaran.
1. Persyaratan untuk bahaya khusus
Upaya tambahan dalam pengendalaian asap mungkin diperlukan untuk:

 Karakteristik khusus bangunan,


 Penggunaan khusus bangunan
 Tipe material yang khusus, jumlah yang khusus dari bahan yang disimpan, dipamerkan atau
dipakai dalam bangunan.
2. Sistem deteksi asap dan alarm
3. Lingkup
Persyaratan ini menjelaskan pemasangan dan pengoperasian sistem deteksi asap dan
alarm otomatis

1. Sistem alarm asap


Sistem alarm asap harus terdiri dari alarm asap yang memenuhi ketentuan yang
berlaku. Bila alarm asap dipasang di dapur dan di area lainnya yang sering
mengakibatkan terjadinya alarm asap palsu, maka alarm panas boleh dipasang
sebagai pengganti alarm asap. Jika di dapur dan di area lain tersebut di pasang
sprinkler, maka alarm panas tidak diperlukan lagi.

1. Sistem deteksi asap


Sistem deteksi asap harus memenuhi SNI 03.3689 edisi terakhir. Di dapur dan di area
lainnya, dimana penggunaan area tersebut sering mengakibatkan terjadinya alarm asap
palsu, alarm boleh di pasang sebagai pengganti alarm asap. Apabila di dapur dan di area
lain tersebut di pasang sprinkler, maka alarm panas tidak perlu di pasang. Untuk ruang
pasien harus dipasang detektor asap tipe photo elektrik dan tipe ionisasi secara
berselang-seling. Di pasang alat manual pemicu alarm pada jalur evakuasi, sedemikian
rupa sehingga setiap titik pada bangunan mempunyai alat manual pemicu alarm yang
berjarak tidak kurang dari 30 m.

1. Deteksi asap untuk sistem pengendalian asap kebakaran


Detektor asap yang diperlukan untuk mengaktifkan sistem penekanan udara untuk
jalan keluar (eksit) yang aman dari kebakaran (fire, isolated exit) dan sistem
pengendalian asap yang terzona harus:

 Dipasang penggunaan sistem tata udara mekanis untuk pengendalian asap menurut
ketentuan yang berlaku.
 Mempunyai detektor asap tambahan yang dipasang di dekat setiap deretan pintu lif pada
jarak tidak lebih dari 3 m dari bukaan pintu.
Detektor asap dipasang pada jarak :

Antar detektor tidak lebih dari 20 m dan tidak berjarak lebih dari 10 m dan asap
dinding, dinding pemisah (bulkhead) atau tirai asap.

Detektor asap mempunyai kepekaan:


Sesuai dengan standar penggunaan sistem pengolah udara mekanis sebagai
pengendalian untuk ruangan selain dari koridor.

Detektor asap yang dipasang untuk mengaktifkan sistem pengendalian asap kebakaran
harus:

Merupakan bagian dari sistem pendeteksian asap atau kebakaran bangunan yang
memenuhi SNI 03-3689 edisi terakhir, atau merupakan sistem berdiri sendiri yang
dilengkapi dengan peralatan kontrol dan indikator dengan fasilitas verifikasi alarm dan
memenuhi persyaratan yang berlaku.

1. Sistem Peringatan Bahaya Bagi Penghuni Gedung


Bunyi suatu sistem peringatan bahaya bagi penghuni bangunan dapat terdengar pada
seluruh bagian bangunan yang dihuni harus sesuai persyaratan yang berlaku (SNI-03-
3689 edisi terakhir).

Dalam suatu bangunan pada suatu ruang perawatan pasien, sistem peringatan bahaya:
harus ditata untuk memberikan tanda bahaya bagi petugas rumah sakit dan dalam
bangsal perawatan keras bunyi alarm dan isi pesan dari tanda bahaya harus diatur
untuk meminimalkan trauma berkaitan dengan jenis dan kondisi penghuni.

1. Pemantauan sistem
Instalasi berikut ini harus dihubungkan secara permanen ke suatu pos instansi
pemadam kebakaran, atau peralatan pemantauan yang diperbolehkan lainnya dengan
suatu hubungan data langsung ke suatu pos instansi pemadam kebakaran.

3. Sistem pembuangan asap


4. Spesifikasi ini menjelaskan syarat-syarat untuk sistem pembuangan asap secara mekanis.
5. Kapasitas pembuangan asap
Fan pembuangan asap harus mempunyai kapasitas yang cukup untuk menghisap
lapisan asap: berada di dalam reservoir asap, yang tepi bawahnya tidak kurang dari 2 m
diatas permukaan lantai tertinggi. Di atas puncak setiap bukaan yang menghubungkan
reservoir-reservoir asap yang berbeda.

1. Fan pembuangan asap


Setiap fan pembuangan asap berikut kelengkapannya:

Mampu beroperasi terus menerus pada titik kerja yang ditentukan pada temperatur
200º C untuk selang waktu tidak kurang dari 60 menit, beroperasi terus menerus pada
temperatur 300º C untuk selang waktu 30 menit untuk gedung yang tidak dilindungi
sistem sprinkler. Karakteristik fan ditentukan berdasarkan temperatur udara luar. Bila
fan dilengkapi dengan alat pengaman temperatur tinggi maka alat tersebut akan
diabaikan secara otomatis selama sistem pembuangan asap beroperasi.
PENCAHAYAAN DARURAT DAN TANDA
PENUNJUK ARAH
1. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penerapan persyaratan ini adalah untuk
menyelamatkan penghuni dari kecelakaan ataupun ancaman bahaya dengan:

1. Menyediakan pencahayaan yang memadai


2. Memberikan petunjuk/rambu-rambu yang cukup jelas untuk menuju jalan keluar (eksit)
dan alur pencapaian menuju eksit
3. Memberikan peringatan kepada penghuni/pengguna bangunan akan terjadinya keadaan
darurat.
4. Tuntutan Fungsi
Suatu bangunan harus dilengkapi:

1. Pencahayaan yang cukup memadai bila sistem pencahayaan buatan yang normal pada
bangunan tidak berfungsi saat keadaan darurat
2. Pencahayaan yang cukup diartikan masih mampu berfungsi untuk:
 Memperingatkan penghuni/pengguna bangunan untuk menyelamatkan diri
 Mengatur proses evakuasi
 Mengenali tanda eksit dan jalur menuju ke eksit
3. Persyaratan Kinerja
4. Suatu tingkat pencahayaan (iluminasi) untuk pelaksanaan evakuasi yang aman pada saat
keadaan darurat harus disediakan pada bangunan disesuaikan dengan:
 Fungsi atau peruntukan bangunan
 Luas lantai bangunan
 Jarak tempuh ke eksit
1. Dalam menunjang proses evakuasi, tanda-tanda yang cocok atau cara lain untuk dapat
mengenali, sampai pada tingkat yang diperlukan, harus:
 Dipasang pencahayaan darurat untuk mengidentifikasi lokasi eksit
 Dapat memandu penghuni/pengguna bangunan ke eksit
 Dapat terlihat secara jelas
 Dapat beroperasi saat sumber daya untuk sistem pencahayaan tidak berfungsi, untuk waktu
yang cukup hingga penghuni bangunan terevakuasi dengan selamat.
1. Untuk mengingatkan penghuni/pengguna bangunan akan terjadinya kondisi darurat, maka
sistem peringatan dini dan interkomunikasi darurat harus disediakan sampai pada tingkat
yang diperlukan, disesuaikan dengan:
 Luas lantai bangunan
 Fungsi atau penggunaan bangunan
 Ketinggian bangunan.
4. Persyaratan Teknis Pencahayaan Darurat
Suatu sistem pencahayaan darurat harus dipasang:

1. Disetiap tangga, ramp dan jalan terusan yang dilindungi terhadap kebakaran,
2. Di setiap jalan terusan, koridor, jalur penghubung di ruangan besar (hall) atau semacamnya
yang menjadi bagian dari jalur perjalanan ke eksit,setiap ruangan yang mempunyai luas
lantai lebih dari 100 m² yang tidak membuka ke arah koridor atau ruang yang mempunyai
pencahayaan darurat atau ke jalan umum atau ke ruang terbuka, setiap ruangan yang
mempunyai luas lantai lebih dari 300 m²
3. Desain Sistem Pencahayaan Keadaan Darurat
4. Setiap sistem pencahayaan keadaan darurat harus:
 Beroperasi otomatis
 Memberikan pencahayaan yang cukup tanpa penundaan yang tidak perlu dalam upaya
menjamin evakuasi yang aman di seluruh daerah dalam bangunan di lokasi atau tempat
yang dipersyaratkan
 Dilindungi terhadap kerusakan akibat kebakaran bila sistem pencegahan darurat tersebut
merupakan sistem yang tersentralisasi.
1. Pencahayaan darurat harus memenuhi standar yang berlaku.
2. Tanda keluar (Eksit)
Suatu tanda eksit harus jelas terlihat bagi orang yang menghampiri eksit dan harus
dipasang pada, di atas atau berdekatan dengan setiap:

1. Pintu yang memberikan jalan ke luar langsung dari satu lantai ke:
 Tangga, jalan terusan atau ramp yang dilindungi struktur tahan api, yang berfungsi sebagai
sksit yang memenuhi persyaratan
 Tangga luar, jalan terusan atau ramp yang memenuhi syarat sebagai eksit
 Serambi atau balkon luar yang memberikan akses menuju ke eksit.
1. Pintu dari suatu tangga, jalan terusan atau ramp yang dilindungi struktur tahan api atau tiap
level hamburan ke jalan umum atau ruang terbuka
2. Eksit horisontal
3. Pintu yang melayani atau membentuk bagian dari eksit yang disyaratkan pada lantai
bangunan yang harus dilengkapi dengan pencahayaan darurat.
4. Tanda penunjuk arah
Bila suatu eksit tidak dapat terlihat secara langsung dengan jelas oleh penghuni atau
pengguna bangunan, maka harus dipasang tanda penunjuk dengan tanda panah
menunjukkan arah, dan di pasang di koridor, jalan menuju ruang besar (hllways), lobi
dan semacamnya yang memberikan indikasi penunjukkan arah ke eksit yang
disyaratkan.

8. Perkecualian Untuk Pemasangan Tanda Penunjuk Arah Ke Luar


9. Desain dan Pengoperasian Tanda Penunjuk Arah Keluar
10. Setiap tanda eksit harus:
 Jelas dan pasti serta mempunyai huruf dan simbol berukuran tepat
 Diberi pencahayaan yang cukup agar jelas terlihat setiap waktu saat bangunan dihuni atau
dipakai oleh setiap orang yang berhak untuk memasuki bangunan
 Dipasang sedemikian rupa sehingga bila terjadi gangguan listrik, maka pencahayaan darurat
segera menggantikannya
 Bila diterangi dengan sistem pencahayaan darurat, maka komponen pengkabelan dan
sumber daya dan lain-lain harus memenuhi syarat.
1. Tanda penunjuk arah ke luar harus memenuhi standar yang berlaku.
2. Sistem Peringatan dan Interkomunikasi Darurat
Suatu sistem pemberitahuan atau peringatan dan interkomunikasi darurat sesuai
dengan standar yang berlaku harus dipasang pada:

Bangunan dengan tinggi efektif lebih dari 25 m

SISTEM DAYA DARURAT


1. Umum
2. Sumber daya listrik darurat digunakan antara lain untuk mengoperasikan:
 Pencahayaan darurat
 Sarana komunikasi darurat
 Lif kebakaran
 Sistem deteksi dan alarm kebakaran
 Hidran kebakaran
 Sprinkler kebakaran
 Alat pengendali asap
 Pintu tahan api otomatis
 Ruang pusat pengendali kebakaran.
1. Ketentuan penggunaan sumber daya darurat untuk kebutuhan mengoperasikan
pencahayaan darurat, sarana komunikasi darurat, lif kebakaran, sistem deteksi dan alarm
kebakaraan, alat pengendali asap dan pintu tahan api otomatis diatur dalam ketentuan
tersendiri.
2. Instalasi listrik sistem daya darurat harus memenuhi SNI tentang Persyaratan Umum
Instalasi Listrik edisi terakhir.
3. Sumber Daya
Daya yang disuplai untuk mengoperasikan sistem daya darurat diperoleh sekurang-
kurangnya dari dua sumber sebagai berikut:

1. Sumber Daya Listrik dapat diperoleh:


 PLN, dan atau
 Sumber darurat berupa:
1. Batere
2. Generator
3.
4. sumber daya listrik darurat harus direncanakan dapat bekerja secara otomatir apabila
sumber daya utama tidak bekerja dan harus dapat bekerja setiap saat.
5. Bangunan atau ruangan yang sumber daya utamanya dari PLN harus dapat juga dilengkapi
dengan generator sebagai sumber daya darurat dan penempatannya harus memenuhi TKA
yang berlaku.
6. Jaringan Catu Daya
7. Semua instalasi kabel yang melayani sumber daya listrik darurat harus memenuhi kabel
tahan api selama 60 menit.
8. Alat Proteksi Daya Suplai
Apabila alat proteksi daya suplai (pengaman lebur, pemutus daya) dipasang dalam sirkit
daya suplai dari gardu sendiri dan sambungan PLN di depan sirkit feeder pompa
kebakaran, alat tersebut harus mampu selalu terhubung pada saat menerima arus
locked rotor dari motor pompa kebakaran dan beban listrik maksimum bangunan.

1. Jaringan pembagi (Ampacity jaringan)


Konduktor antara sumber daya dan motor pompa kebakaran ukurannya harus sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.

PUSAT PENGENDALI KEBAKARAN


1. Umum
2. Spesifikasi ini menjelaskan mengenai konstruksi dan sarana yang disyaratkan dalam pusat
penegndali kebakaran.
3. Sarana yang ada di pusat pengendali kebakaran dapat digunakan untuk:
 Melakukan tindakan pengendalian dan pengarahan selama berlangsungnya operasi
penanggulangan kebkaran atau penanganan kondisi darurat lainnya.
 Melengkapi sarana alat pengendali, panel kontrol, telepon, mebel, peralatan dan sarana
lainnya yang diperlukan dalam penanganan kondisi kebakaran.
1. Pusat pengendali kebakaran tidak digunakan untuk keperluan lain selain:
 Kegiatan pengendalian kebakaran
 Kegiatan lain yang berkaitan dengan unsur keselamatan atau keamanan bagi penghuni
bangunan.
2. Lokasi ruang Pusat Pengendali
Ruang pusat pengendali kebakaran haruslah ditempatkan sedemikian rupa pada
bangunan, sehingga jalan keluar dari setiap bagian pada lantai ruang tersebut kearah
jalan atau ruang terbuka umum tidak terdapat perbedaan ketinggian permukaan lantai
lebih dari 30 cm.

3. Konstruksi
Ruang pusat pengendali kebakaran pada bangunan gedung yang tinggi efektifnya lebih
dari 50 meter, haruslah berada pada ruang terpisah, dengan syarat:

1. Konstruksi pelindung penutupnya dibuat dari beton, tembok atau sejenisnya yang
mempunyai kekokohan yang cukup terhadap keruntuhan akibat kebakaran dan dengan nilai
TKA tidak kurang dari 120/120/120;
2. Bahan lapis penutup, pembungkus atau sejenisnya yang digunakan dalam ruang pengendali
harus memenuhi persyaratan tangga kebakaran yang dilindungi
3. Peralatan utilitas, pipa-pipa, saluran-saluran udara dan sejenisnya yang tidak diperlukan
untuk berfungsinya ruang pengendali, tidak boleh melintasi ruang tersebut
4. Bukaan pada dinding, lantai atau langit-langit yang memisahkan ruang penegndali dengan
ruang dalam bangunan dibatasi hanya untuk pintu, ventilasi dan lubang perawatan lainnya
khusus untuk melayani fungsi ruang pengendali tersebut.
5. Pintu ‘KELUAR’
6. Pintu yang menuju ruang pengendali harus membuka kearah dalam ruang tersebut, dapat
dikunci dan ditempatkan sedemikian rupa sehingga orang yang menggunakan jalur evakuasi
dari dalam bangunan tidak menghalangi atau menutup jalan masuk ke ruang pengendali
tersebut
7. Ruang pengendali haruslah dapat dimasuki dari dua arah;
 Satu dari arah pintu masuk di depan bangunan
 Satu langsung dari tempat umum atau melalui jalan terusan yang dilindungi terhadap api,
yang menuju ke tempat umum dan mempunyai TKA tidak kurang dari -/120/30.
5. Ukuran dan Sarana
6. Ruang pengendali kebakaran harus dilengkapi dengan sekurang-kurangnya:
 Panci indikator kebakaran dan sakelar kontrol dan indikator visual yang diperlukan untuk
semua pompa kebakaran, kipas pengendali asap, dan peralatan pengaman kebakaran
lainnya yang dipasang di dalam bangunan
 Telepon yang memiliki sambungan langsung
 Sebuah papan tulis berukuran tidak kurang dari 120 cm x 100 cm
 Sebuah papan tempel (pin-up board) berukuran tidak kurang dari 120 cm x 100 cm
 Sebuah meja berukuran cukup untuk menggelar gambar dan rencana taktis
 Rencana taktis penanggulangan kebakaran yang ditetapkan dan diberi kode warna.
1. Sebagai tambahan di ruang pengendali dapat disediakan:
 Panel pengendali utama, panel indikator lif, sakelar pengendali jarak jauh untuk gas atau
catu daya listrik dan genset darurat
 Sistem keamanan bangunan, sistem pengamatan, dan sistem manajemen jika dikehendaki
terpisah total dari sistem lainnya.
1. Sustu ruang pengendali harus:
 Mempunyai luas lantai tidak kurang dari 10 m² dan panjang dari sisi bagian dalam tidak
kurang dari 2,5 m
 Jika hanya menampung peralatan minimum, maka luas lantai bersih tidak kurang dari 8 m²
dan luas ruang bebas di antara depan panel indikator tidak kurang dari 1,5 m²
 Jika dipasang peralatan tambahan, maka luas bersih daerah tambahan adalah 2 m² untuk
setiap penambahan alat dan ruang bebas di antara depan panel indikator tidak kurang dari
1,5 m²
6. Ventilasi dan Pemasok Daya
Ruang pengendali harus diberi ventilasi dengan cara:

1. Ventilasi alami dari jendela atau pintu pada dinding luar bangunan yang membuka langsung
ke ruang pengendali dari jalan atau ruang terbuka
2. Sistem udara bertekanan pada sisi yang hanya melayani ruang pengendali,
 Dipasang sesuai ketentuan yang berlaku sebagai ruangan adalah tangga kebakaran yang
dilindungi
 Beroperasi secara otomatis melalui aktivitas sistem isyarat bahaya kebakaran (fire alarm)
atau sistem sprinkler yang dipasang pada bangunan dan secara manual di ruang pengendali
 Mengalirkan udara segar ke dalam ruangan tidak kurang dari 30 kali pertukaran udara per
jamnya pada waktu sistem sedang beroperasi dan salah satu pintu ruangan terbuka
 Mempunyai kipas, motor, dan pipa-pipa saluran udara yang membentuk bagian dari sistem,
tetapi tidak berada di dalam ruang penegndali dan diproteksi oleh dinding yang mempunyai
TKA tidak lebih kecil dari 120/120/120
 Mempunyai catu daya listrik ke ruang penegndali atau peralatan penting bagi beroperasinya
ruang pengendali dan yang dihubungkan dengan pasokan daya dari sisi masuk saklar
hubung bagi daya dari luar bangunan, dan tidak ada sarana/peralatan yang terbuka kecuali
pintu yang diperlukan, pengendali pelepas tekanan (pressure control relief) dan jendela
yang dapat dibuka oleh kunci yang menjadi bagian dari konstruksi ruang pengendali.
7. Tanda
Permukaan luar pintu yang menuju ke dalam ruang pengendali harus diberi tanda
dengan tulisan sebagai berikut: ‘RUANG PENGENDALI KEBAKARAN’

Dengan huruf tidak lebih kecil dari 50 mm tingginya dan dengan warna yang kontras
dengan latar belakangnya.

8. Pencahayaan
Pencahayaan darurat sesuai ketentuan yang berlaku harus dipasang dalam ruang pusat
pengendali, tingkat iluminasi diatas meja kerja tak kurang dari 400 Lux.

9. Peralatan yang tidak diperbolehkan ada di ruang Pengendali Kebakaran


Beberapa peralatan seperti motor bakar, pompa pengendali sprinkler, pemipaan dan
sambungan-sambungan pipa tidak boleh dipasang dalam ruang pengendali, tetapi boleh
dipasang dalam ruangan-ruangan yang dapat dicapai dari ruang pengendali terssebut.
10. Tingkat Suara Lingkungan (ambient).
Tingkat suara di dalam ruang pengendali kebakaran beroperasi ketika kondisi darurat
berlangsung tidak melebihi 65 dBA bila ditentukan berdasarkan ketentuan tingkat
kebisingan di dalam bangunan.

BAB VI
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

UMUM
Pada bab ini dimuat rangkaian sistematis dan menerus dalam upaya pengawasan dan
pengendalian pengaman terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan
lingkungan baik terhadap bangunan baru maupun bangunan lama agar bangunan laik
fungsi serta aman bagi penghuni atau pengguna bangunan tersebut. Dengan demikian
jaminan keselamatan terhadap bahaya kebakaran baik pada penghuni bangunan dan
lingkungan yang terjadi sewaktu-waktu dapat terpenuhi baik pada tahap perencanaan,
pelaksanaan atau kostruksi/instalasi serta pemanfaatan dan pemeliharaan bangunan.

PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN TAHAP


PERENCANAAN
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan dan pengecekan oleh instansi teknis yang
berwenang serta konsultan perencana dalam rangka pemenuhan standar dan ketentuan
yang berlaku, melalui pengawasan dan pengendalian terhadap gambar-gambar
perencanaan. Hasil pemeriksaan pada tahap ini akan menentukan diperolehnya
rekomendasi dalam rangka memperoleh ijin mendirikan bangunan.

PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN TAHAP


PELAKSANAAN
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan dan pengecekan oleh instansi teknis yang
berwenang serta konsultan pengawas dalam rangka pengawasan dan pengendalian agar
spesifikasi teknis dan gambar-gambar perencanaan seluruh instalasi sistem proteksi
kebakaran baik pasif maupun aktif serta sarana penyelamatan sesuai dengan hasil
perencanaannya. Pada tahap ini dilakukan pengecekan material, pengecekan
beroperasinya seluruh sistem instalasi kebakaran, tes persetujuan, tes kelikan fungsi
serta melakukan laporan berkala.

Pelaporan sistem proteksi kebakaran:


1. Laporan sistem proteksi kebakaran memuat informasi mengenai sistem proteksi yang
terdapat atau terpasang pada bangunan termasuk komponen-komponen sistem proteksi
dan kelengkapannya.
2. Laporan sistem proteksi kebakaran ini disusun atau dibuat sebagai pegangan bagi pemilik
atau pengelola bangunan serta menjadi salah satu dokumen yang harus diserahkan kepada
instansi teknis yang berwenang, dalam rangka memperoleh ijin-ijin yang telah ditetapkan.
Substansi atau materi laporan ini mencakup sekurang-kurangnya:

1. Identifikasi bangunan
2. Konsep perancangan sistem proteksi kebakaran
3. Aksesibilitas untuk mobil pemadam kebakaran
4. Sarana jalan ke luar yang ada atau tersedia
5. Persyaratan struktur terhadap kebakaran yang dipenuhi
6. Sistem pengendalian asap
7. Sistem pengindera dan alarm kebakaran
8. Sistem pemadam kebakaran (media air, kimia, khusus)
9. Pembangkit tenaga listrik darurat
10. Sistem pencahayaan untuk menunjang proses evakuasi
11. Sistem komunikasi dan pemberitahuan keadaan darurat
12. Lif kebakaran
13. Daerah dengan resiko atau potensi bahaya kebakaran tinggi
14. Skenario kebakaran yang mungkin terjadi
15. Eksistensi manajemen penanggulangan terhadap kebakaran.
Pihak yang berwenang melakukan inspeksi dan memberikan rekomendasi adalah
Instansi Pemadam Kebakaran. Bila Instansi Pemadam Kebakaran belum cukup mampu
melaksanakan tugas tersebut diatas, maka dapat dibantu oleh konsultan perseorangan
yang profesional atau pihak perguruan tinggi yang tergabung dalam suatu tim dengan
ijin Kepala Daerah.

PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN TAHAP


PEMANFAATAN / PEMELIHARAAN
Pengawasan dan pengendalian pada tahap ini dilaksanakan selain oleh penilik
bangunan juga instansi teknis yang berwenang serta konsulkan dibidang perawatan
bangunan gedung dan lingkungan, agar bangunan selalu laik fungsi. Aspek yang
diperiksa selain melakukan pemeriksaan terhadap seluruh instalasi dan konstruksinya
juga seluruh penunjang yang mendukung beroperasinya sistem tersebut. Pemeriksaan
dilakukan secara berkala, termasuk tes beroperasinya seluruh peralatan yang ada.
Diwajibkan secara berkala melaksanakan “latihan kebakaran”. Bagi
pengelola/pengguna bangunan diharuskan melaksanakan seluruh ketentuan teknis
manajemen penanggulangan kebakaran perkotaan, khususnya menyangkut pada
bangunan gedung dan lingkungan sesuai yang diatur dalam ketentuan teknis tersebut.
JAMINAN KEANDALAN SISTEM
1. Kinerja sistem proteksi kebakaran sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu seperti
pemilihan standar dan sistem desain, kualitas instansi serta aspek pemeliharaan.
2. Perancangan dan pemilihan sistem proteksi kebakaran perlu memperhitungkan potensi
bahaya kebakaran pada bangunan yang mencakup beban api, dimensi serta konfigurasi
ruang, termasuk ventilasi, keberadaan benda-benda penyebab kebakaran dan ledakan, jenis
peruntukan bangunan, serta kondisi lingkungan sekitar termasuk lokasi instansi kebakaran
dan sumber-sumber air untuk pemadaman (water supplies), serta memenuhi ketentuan dan
standar yang berlaku.
3. Pelaksanaan pekerjaan serta instalasi sistem proteksi kebakaran harus memenuhi ketentuan
dan standar pelaksanaan konstruksi melalui penerapan dan pengendalian kualitas bahan,
komponen, terutama ditinjau dari unsur kombustibilitas bahan dan nilai TKA, serta
pelaksanaan pekerjaan dengan baik disamping penyediaan sarana proteksi yang aman
disaat pekerjaan konstruksi berlangsung.
4. Unsur manajemen pengamanan kebakaran (Fire Safety Management), terutama yang
menyangkut kegiatan pemeriksaan berkala, perawatan dan pemeliharaan, audit
keselamatan kebakaran dan latihan penanggulangan kebakaran harus dilaksanakan secara
periodik sebagai bagian dari kegiatan pemeliharaan sarana proteksi aktif yang terpasang
pada bangunan.
5. Hal-hal yang berkaitan dengan masalah proteksi kebakaran, meliputi latihan dan pengertian
bagi pengelola dan penghuni bangunan terhadap:
6. Potensi bahaya kebakaran, dan menghindarkan terjadinya kebakaran
7. Tindakan pemadaman dan pengamanan saat terjadinya kebakaran
8. Tindakan penyelamatan baik bagi benda maupun jiwa.

PENGUJIAN API
1. Dalam hal menentukan sifat bahan bangunan dan tingkat ketahanan api (TKA) komponen
struktur bangunan dalam rangka desain maupun evaluasi keandalan sistem proteksi
kebakaran pada suatu bangunan, harus terlebih dahulu dilakukan pengujian api atau
mengacu kepada hasil-hasil pengujian api yang telah dilakukan di laboratorium uji api.
2. Pelaksanaan pengujian, pengamatan dan penilaian hasil uji dilakukan sesuai ketentuan dan
standar metode uji yang berlaku.
3. Dalam hal pelaksanaan uji tidak dapat dilakukan di Indonesia berhubung dengan prosedur
standar, sumber daya manusia maupun kondisi peralatan uji yang ada, maka evaluasi
dilakukan dengan mengacu kepada hasil pengujian yang telah dilakukkan oleh lembaga uji
yang terakreditasi baik di dalam negeri ataupun di luar negeri.

PEMELIHARAAN DAN PERAWATAN SISTEM


PROTEKSI KEBAKARAN
Pemeliharaan dan pengoperasian sistem proteksi kebakaran termasuk menjaga
berfungsinya semua peralatan/perlengkapan pencegahan api (fire stop)

1. Umum
Pedoman ini menetapkan persyaratan minimum pemeliharaan dan perawatan sistem
proteksi kebakaran. Jenis sistem meliputi:
1. Kerumahtanggaan keselamatan kebakaran (fire safety housekeeping)
2. Sarana jalan ke luar (means of access).
3. Sistem deteksi dan alarm kebakaran dan sistem komunikasi suara darurat.
4. Alat pemadan api ringan (APAR) (fire extinguisher).
5. Sistem pompa kebakaran terpasang atap
6. Sistem pipa tegak dan slang atau hidran bangunan.
7. Sistem sprinkler otomatik.
8. Sistem pemadam kebakaran terpasang tetap lain.
9. Sistem pengendalian dan manajemen asap.
10. Kerumahtanggaan keselamatan kebakaran (fire safety housekeeping)
11. Kerumahtanggaan keselamatan kebakaran meliputi:
 Pemeliharaan dan perawatan bangunan, termasuk:
 Lantai: perawatan umum lantai seperti pembersihan, penanganan dan sebagainya dapat
memberikan bahaya kebakaran bila pelarut atau pelapis yang mempunyai sifat mudah
terbakar digunakan, atau bila sisa (residu) yang mudah terbakar dihasilkan.
 Debu dan kain tiras (dust & lint): dalam banyak fungsi/hunian bangunan diperlukan
prosedur pembersih/pembuangan debu dan kain tiras mudah terbakar yang terakumulasi
dari dinding, langit-langit, lantai dan komponen struktur terbuka. Kecuali prosedur ini
dijalankan dengan aman menggunakan penyedot debu (vacuum cleaner) atau sistem
penggerak udara (blower & exhaust system), dapat menimbulkan bahaya kebakaran atau
ledakan. Pada beberapa kasus di mana atmosfir penuh dengan debu, peralatan penyedot
hartus dilengkapi dengan motor tahan penyalaan (ignition-proof motor) untuk menjamin
operasi yang aman.
 Kerumahtanggaan hunian dan proses, kuncinya di sini adalah tidak memberikan kebakaran
tempat untuk mulai:
 Pembuangan sampah
 Tempat sampah yang terbuat dari bahan tidak mudah terbakar harus digunakan untuk
pembuangan limbah dan sampah.
 Pemilahan/segresi limbah: sebaiknya sampah yang mudah terbakar dipisahkan dari sampah
yang tidak mudah terbakar.
 Pengendalian/kontrol sumber penyalaan
 Kontrol kebiasaan merokok
 Kontrol listrik statik
 Kontrol friksi/gesekan
 Kontrol bahaya elektrikal
 Pembuangan limbah cair mudah terbakar dan korosif: pembuangan limbah cair yang mudah
terbakar sering menjadi masalah yang menyusahkan. Setiap bahan limbah yang cair dan
korosif (pH <2 atau >12), atau cair dan mempunyai titik nyala pada temperatur 60ºC atau
kurang, adalah termasuk Bahan Beracun dan Berbahaya (B3).
 Tumpahan cairan mudah terbakar: Tumpahan cairan mudah terbakar dapat diantisipasi di
daerah dimana cairan semacam itu ditangani dan digunakan, dan cara mengatasinya harus
tersedia, meliputi tersedianya material penyerap dan peralatan khusus untuk membatasi
penumpahan.
 Penyimpanan cairan mudah terbakar: cairan mudah terbakar harus disimpan di ruang
terpisah.
 Praktek kerumahtanggaan halaman: kerumahtanggaan yang baik adalah sama pentingnya
untuk di dalam maupun di luar bangunan. Kerumahtanggaan halaman yang tidak
memenuhhi syarat dapat mengancam keamanan struktur bagian luar banguunan dan
barang-barang yang disimpan di halaman. Akumulassi barang bekas dan sampah dan
tumbuhnya rumput, ilalang dan belukar yangg tinggi bersebelahan dengan bangunan atau
barang-barang yang disimpan adalah bahaya yang biasa ditemui. Penting adanya sebuah
program berkala untuk mengawasi halaman. Kerrumahtanggaan halaman meliputi:
 Pengendalian/kontrol rumput dan ilalang
 Penyimpanan barang di halaman secara aman
 Pembuangan sampah di halaman secara aman
1. Inspeksi
Inspeksi / pemeriksaan harus didefinisikan dengan baik, dan harus meliputi:

 Lokasi / daerah yang diperiksa


 Frekuensi pemeriksaan
 Apa kinerja yang dapat diterima
 Siapa yang akan melakukan pemeriksaan
3. Sarana jalan keluar (means of egress).
4. Sarana jalan keluar meliputi eksit, eksis ke akses dan exit pelepasan, tanda jalan keluar,
penerangan darurat dan fan presurisasi tangga kebakaran
5. Inspeksi harus dilakukan secara berkala setiap bulan, atau lebih sering tergantung kondisi,
untuk
 Pintu:
 Tidak boleh dikunci atau di gembok
 Kerusakan pada penutup pintu otomatik (door closer)
 Terdapat ganjal atau ikatan yang membiarkan pintu terbuka, pada pintu yang harus selalu
pada keadaan tertutup.
 Halangan benda dan lain-lain di depan pintu eksit
 Tangga kebakaran:
 Terdapatnya ganjal atau ikatan yang membiarkan pintu tangga terbuka.
 Bersih, dan tidak digunakan untuk tempat istirahat/merokok penghuni/karyawan, serta
tidak digunakan untuk gedung
 Tidak boleh dipakai untuk tempat peralatan seperti panel, unit AC dan sejenisnya
 Kerusakan pada lantai dan pegangan tangga.
 Koridor yang digunakan sebagai jalur untuk keluar
 Bebas dari segala macam hambatan
 Tidak digunakan untuk gudang
 Eksit pelepasan di lantai dasar yang menuju ke jalan umum atau tempat terbuka di luar
bangunan harus tidak boleh dikunci.
 Tanda eksit:
 Jelas kelihatan tidak terhalang
 Lampu penerangannya hidup

4. Alat pemadam api ringan (APAR)


5. Alat pemadam api ringan meliputi alat pemadam portabel/jinjing dan yang memakai roda.
6. Prosedur inspeksi/pemeriksaan, pengujian hidrostatik dan pemeriksaan berkala mengikuti
SNI 03-3987-1995 tata cara perencanaan dan pemasangan alat pemadam api ringan untuk
pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung
7. Inspeksi
 Inspeksi/pemeriksaan harus dilakukan pada saat pertamakali dipasang/digunakan, dan
selanjutnya setiap bulan.
 Inspeksi/pemeriksaan meliputi:
 Lokasi di tempat yang ditentukan
 Halangan akses atau pandangan (Visibilitas)
 Pelat nama instruksi operasi jelas terbaca dan menghadap keluar terisi penuh ditentukan
dengan di timbang atau dirasakan dengan di angkat.
 Pemeriksaan visuil untuk kerusakan fisik, karat, kebocoran atau nozel tersumbat.
 Bacaan penunjuk atau indikator tekanan menunjukkan pada posisi dapat dioperasikan.
 Untuk yang memakai roda, kondisi dari roda, kereta, slang dan nozel
 Terdapat label (tag) pemeliharaan.
 Catatan inspeksi bulanan, berisi alat pemadam api ringanyang di inspeksi, tanggal dan paraf
personil yang melakukan, harus di muat dalam label (tag) pemeliharaan yang dilekatkkan
pada alat pemadan api ringan tersebut.
1. Pemeliharaan
 Pemeliharaan yang dilakukan setiap tahun oleh manufaktur, perusahaan jasa pemeliharaan
alat pemadam api ringan, atau oleh personil yang terlatih
 Prosedur pemeliharaan harus termasuk pemeliharaan menyeluruh dari elemen dasar alat
pemadam api ringan seperti berikut:
 Bagian mekanikal dari semua alat pemadam api ringan.
 Media pemadam
 Cara penghembusan media pemadam
 Pengisian kembali: semua alat pemadam api ringan yang dapat diisi kembali, harus di isi
kembali setelah stiap penggunaan atau seperti ditunjukkan oleh hasil inspeksi atau
pemeliharaan.
BAB VIII
PENUTUP
Ketentuan teknis ini diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan oleh pengelola
gedung, penyedia jasa konstruksi, dan instansi yang terkait dengan kegiatan pengaturan
dan pengendalian penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung dalam pencegahan
dan penanggulangan bahaya kebakaran, guna menjamin keamanan dan keselamatan
bangunan gedung dan lingkungan terhadap bahaya kebakaran. Persyaratan-persyaratan
yang lebih spesifik dan atau yang bersifat alternatif serta penyesuaian Ketentuan Teknis
Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan
disesuaikan dengan kondisi dan kesiapan kelembagaan di daerah. Sebagai
pedoman/petunjuk pelengkapan dapat digunakan Standar Nasional Indonesia (SNI)
terkait lainnya.

Posted in Perumahsakitan
| Tagged akreditasi, APAR, depkes, jci, kars, kebakaran, panduan, pedoman, penanggulangan, permenkes
56, rumah sakit

Panduan Penyusunan File Kepegawaian Rumah Sakit


Posted on April 19, 2017by Healthcare and Hospital Consultant (IKKESINDO Batch 4)

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dalam rangka penyelenggaraan managemen pegawai dilingkungan Rumah Sakit Islam
Namira diperlukan pengelolaan arsip pegawai berdasarkan pada suatu pola penataan
dan penyusunan arsip file kepegawai yang seragam dan standar.
Penyusunan file kepegawaian dilingkungan Rumah Sakit Islam Namira berdasarkan
satuan kerja dan berdasarkan tahun, bulan dan tanggal pengangkatan serta nomor urut
pegawai, Sehingga dengan demikian akan memudahkan dalam pencarian file masing-
masing pegawai.

RUANG LINGKUP
1. Sarana dan Pemeliharaan penataan file pegawai
2. Prosedur penataan file pegawai
3. Penyusunan file pegawai
4. Peminjaman dan penemuan kembali file pegawai
MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud

Petunjuk teknis tata cara Penyusunan file kepegawaian ini dimaksud sebagai pedoman
bagi pengelola dalam melaksanakan kegiatan penyusunan dan penataan kepegawaian
dilingkungan Rumah Sakit Islam Namira.

Tujuan

2. Menyeragamkan dalam penyusunan file kepegawaian


3. Memudahkan pengelola file kepegawaian dalam penataan file
4. Mewujudkan terciptanya penyusunan file kepegawaian yang efektif dan efisien sehingga
memudahkan dalam penemuan kembali.
PENGERTIAN
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. File adalah tempat untuk menyimpan arsip atau dokumen kepegawaian


2. Lemari arsip adalah tempat untuk menyimpan file pegawai
3. Buku Peminjaman File adalah buku catatan untuk mengetahui file kepegawaian yang
dikeluarkan atau dipinjam.

BAB II
SARANA DAN PEMELIHARAAN FILE KEPEGAWAIAN
SARANA
1. Map arsip
2. Lemari
3. Buku Kendali
4. Vacum cleaner
5. Obat pencegah/pembasmi kutu
6. Sapu
7. Kemoceng
PEMELIHARAAN
1. Pemeliharaan meliputi kebersihan ruang file, almari file,map arsip
2. Pemeliharaan dilakukan dengan menyapu, menyedot debu, memelihara peralatan/sarana
penataan file, penyemprotan rayap atau kutu lainnya yang merusak file
BAB III
PENATAAN FILE KEPEGAWAIAN
BAHAN
Bahan yang diperlukan dalam penataan file kepegawaian meliputi :

1. Tenaga klinis Dokter Umum


 Daftar Isi
 Foto copy Ijazah Sekolah Dasar
 Foto copy Ijazah Sekolah Menengah Pertama
 Foto copy Sekolah Menengah Atas
 Foto Copy Ijasah Sarjana Kedokteran
 Foto copy Ijazah Kedokteran Umum
 Foto copy Transkripsi Nilai Ijazah Terakhir
 Kurikulum Vitae
 Foto copy Akta Kelahiran
 Foto copy Kartu Tanda Penduduk
 Foto copy Kartu Keluarga
 Foto copy Akta Nikah ( kalau sudah menikah )
 Surat Tanda Registrasi
 Surat Izin Praktek Dokter
 Surat Penugasan Klinis (SPK)
 Rincian Kewenangan Klinis (RKK)
 SK Pengangkatan Karyawan
 SK Kontrak
 Surat Perjanjian Kontrak
2. Tenaga klinis Dokter Spesialis
 Daftar Isi
 Foto copy Ijazah Sekolah Dasar
 Foto copy Ijazah Sekolah Menengah Pertama
 Foto copy Sekolah Menengah Atas
 Foto Copy Ijasah Sarjana Kedokteran
 Foto copy Ijazah Kedokteran Umum
 Foto copy Ijazah Spesialis
 Foto copy Transkripsi Nilai Ijazah Terakhir
 Kurikulum Vitae
 Foto copy Akta Kelahiran
 Foto copy Kartu Tanda Penduduk
 Foto copy Kartu Keluarga
 Foto copy Akta Nikah ( kalau sudah menikah )
 Surat Tanda Registrasi
 Surat Izin Praktek Dokter
 Surat Penugasan Klinis (SPK)
 Rincian Kewenangan Klinis (RKK)
 SK Pengangkatan Karyawan
 SK Kontrak
 Surat Perjanjian Kontrak
3. Tenaga klinis Perawat Diploma III dan Bidan
 Daftar Isi
 Foto copy Ijazah Sekolah Dasar
 Foto copy Ijazah Sekolah Menengah Pertama
 Foto copy Sekolah Menengah Atas
 Foto copy Ijazah Diploma III, Sarjana Keperawatan, Ners
 Foto copy Transkripsi Nilai Ijazah Terakhir
 Kurikulum Vitae
 Foto copy Akta Kelahiran
 Foto copy Kartu Tanda Penduduk
 Foto copy Kartu Keluarga
 Foto copy Akta Nikah ( kalau sudah menikah )
 Surat Tanda Registrasi
 Surat Izin Praktek Perawat atau Bidan
 Surat Penugasan Klinis (SPK)
 Rincian Kewenangan Klinis (RKK)
 SK Pengangkatan Karyawan
 SK Kontrak Tahunan
 SK Karyawan Tetap
 Surat Perjanjian Kontrak
4. Tenaga klinis Profesi Lain
 Daftar Isi
 Foto copy Ijazah Sekolah Dasar
 Foto copy Ijazah Sekolah Menengah Pertama
 Foto copy Sekolah Menengah Atas
 Foto Copy Ijasah Diploma III / Sarjana
 Foto copy Transkripsi Nilai Ijazah Terakhir
 Kurikulum Vitae
 Foto copy Akta Kelahiran
 Foto copy Kartu Tanda Penduduk
 Foto copy Kartu Keluarga
 Foto copy Akta Nikah ( kalau sudah menikah )
 Surat Tanda Registrasi
 Surat Izin Praktek
 Surat Penugasan Klinis (SPK)
 Rincian Kewenangan Klinis (RKK)
 SK Pengangkatan Karyawan
 SK Kontrak Tahunan
 SK Karyawan Tetap
 Surat Perjanjian Kontrak

5. Tenaga Non Klinis


 Daftar Isi
 Foto copy Ijazah Sekolah Dasar
 Foto copy Ijazah Sekolah Menengah Pertama
 Foto copy Sekolah Menengah Atas
 Kurikulum Vitae
 Foto copy Akta Kelahiran
 Foto copy Kartu Tanda Penduduk
 Foto copy Kartu Keluarga
 Foto copy Akta Nikah ( kalau sudah menikah )
 Surat Tugas
 Uraian Tugas
 SK Pengangkatan Karyawan
 SK Kontrak Tahunan
 SK Karyawan Tetap
 Surat Perjanjian Kontrak
CARA PENATAAN FILE
Untuk memudahkan penyusunan file yang diperlu dilakukan adalah :

1. Pengelompokan Satuan Kerja


2. Dikelompokkan berdasarkan Tahun, bulan,tanggal dan nomor urut masuk menjadi
karyawan tetap Rumah Sakit Islam Namira
BAB IV
PEMINJAMAN DAN PENEMUAN FILE KEMBALI
PEMINJAMAN FILE
Layanan peminjaman file pegawai dapat dilakukan dengan datang sendiri ke bagian
manajemen. Dari cara tersebut yang penting bahwa yang dipinjam dapat diawasi secara
terus menerus dan jelas peminjamnya.

Ketentuan Peminjaman file :

1. Yang dapat dipinjam adalah isi file yang diperlukan oleh peminjam dalam arti tidak
dibenarkan meminjam file seutuhnya dengan mapnya.
2. Peminjam file mengisi dan menandatangani buku peminjaman file.
3. Setelah mengisi buku peminjaman file petugas yang ditunjuk mengmbil file yang dipinjam
dan menyerahkan kepada peminjam.
4. Apabila peminjam sudah mengembalikan file yang dipinjam petugas memaraf dan mencatat
tanggal dikembalikan.
PENEMUAN KEMBALI FILE PEGAWAI
Keberhasilan pelaksanaan managemen file akan nampak dengan jelas bilamana semua
bahan yang dibutuhkan mudah ditemukan kembali dan mudah pula dikembalikan ke
tempat semua. Karena penemuan atau pencarian file merupakan salah satu kegiatan
dan bidang kearsipan, yang bertujuan untuk menemukan kembali file karena dapat
dipergunakan dalam proses penyelenggaraan administrasi. Menemukan kembali berarti
memastikandimana suatu file yang akan dipergunakan itu disimpan dan dalam
kelompok berkas apa file itu berada, disusun menurut setiap sistem apa, dan bagaimana
cara mengambilnya kembali.
BAB V
PENYUSUTAN FILE
Penyusutan file adalah kegiatan pengurangan file yang telah secara resmi dinyatakan
oleh pejabat yang berwenang telah pensiun, berhenti, meninggal dunia ( in aktif) filenya
disusutkan.

Langkah-langkah yang dilakukan dalan menyusutan file meliputi :

1. Dibuatkan daftar pegawai yang dinyatakan in aktif sebagai dasar penyusutan


2. File in aktif dikeluarkan kemudian dibuatkan berita acara penghapusan file.
3. Berkas dapat dimusnahkan dengan cara pengepakan kemudian dimusnahkan ditempat
pemnbuangan sementara untuk selanjutnya akan dibawa ke tempat pembuangan akhir pada
pihak ketiga.
BAB VI
PENUTUP
Petunjuk teknis tata cara penyusutan file kepegawaian dilingkungan Rumah Sakit
merupakan pedoman dalam penataan dan penyusunan arsip pegawai yang memiliki
nilai efektivitas dan efisiensi dalam menemukan file pegawai.

Pedoman teknis ini juga menjadi instrumen penting yang mendukung petugas
pelaksana an dalam kelancaran pelaksanaan tugasnya.

BERITA ACARA PENGHAPUSAN ARSIP KEPEGAWAIAN


Pada hari ini jumat tanggal delapan bulan Januari tahun dua ribu enam belas kami yang
bertanda tangan dibawah ini,

Nama :

Jabatan :

NIK :

Nama :

Jabatan :

NIK :
Berdasarkan surat tugas Nomor telah memusnahkan file pegawai sebagaimana
yang tercantum dalam daftar pertelaan arsip terlampir pada acara ini

Pemusnahan dilakukan dengan kerjasama dengan

Berita acara ini dibuat dengan sesungguhnya dalam rangkap dua disampaikan kepada

BERITA ACARA UPDATE ARSIP KEPEGAWAIAN


Pada hari ini jumat tanggal delapan bulan Januari tahun dua ribu enam belas kami yang
bertanda tangan dibawah ini,

Nama :

Jabatan :

NIK :

Nama :

Jabatan :

NIK :

Berdasarkan surat tugas Nomor telah mengupdate file pegawai sebagaimana yang
tercantum dalam daftar arsip kepagawaian terlampir pada acara ini

Berita acara ini dibuat dengan sesungguhnya dalam rangkap dua disampaikan kepada
Posted in Perumahsakitan | Tagged akreditasi, file, jci, kars, kebijakan, kepegawaian, panduan, pedoman, rumah
sakit

Panduan Code Blue Rumah Sakit


Posted on April 18, 2017by Healthcare and Hospital Consultant (IKKESINDO Batch 4)

BAB I
DEFINISI
1. DEFINISI
Code blue merupakan salah satu kode prosedur emergensi yang harus segera diaktifkan
jika ditemukan seseorang dalam kondisi cardiaerespiratory arrest di dalam area
rumah sakit.
Code blue response team atau tim code blue adalah suatu tim yang dibentuk oleh rumah
sakit yang bertugas merespon kondisi code blue didalam area rumah sakit. Tim ini
terdiri dari dokter dan perawat yang sudah terlatih dalam penanganan
kondisi cardiac respiratory arrest.
Resusitasi jantung paru merupakan serangkaian tindakan untuk meningkatkan daya
tahan hidup setelah terjadinya henti jantung. Meskipun pencapaian optimal dari
resusitasi jantung paru ini dapat bervariasi, tergantung kepada kemampuan penolong,
kondisi korban, dan sumber daya yang tersedia, tantangan mendasar tetap pada
bagaimana melakukan resusitasi jantung paru sedini mungkin dan efektif.

Bantuan hidup dasar menekankan pada pentingnya mempertahankan sirkulasi dengan


segera melakukan kompresi sebelum membuka jalan napas dan memberikan napas
bantuan. Perubahan pada siklus bantuan hidup dasar menjadi C-A-B (compression —
airway — breathing) ini dengan pertimbangan segera mengembalikan sirkulasi jantung
sehingga perfusi jaringan dapat terjaga.
Rantai pertama pada rantai kelangsungan hidup (the chain of survival) adalah
mendeteksi segera kondisi korban dan meminta pertolongan (early access), rantai
kedua adalah resusitasi jantung paru (RJP) segera (early cardiopulmonary
resuscitation), rantai ketiga adalah defibrilasi segera (early defibrillation), rantai
keempat adalah tindakan bantuan hidup lanjut segera (early advanced cardiovascular
life support) dan rantai kelima adalah perawatan paska henti jantung (post cardiac-
arrest care).

Figure 1

ANA ECC Adult Chain of Survival


The inks n the neo., AHA ECG Adult
Chain of SuruiveA areas folluw5.
1. Immediate recognition of cardiac
arrest and activation of the emergency
response system
2. Early CPA with an emphasis on
chest compressions
3. Rapid dellbrialtdion
4. Effective advanced life support
5. Integrated post-cardiac arrest care
TUJUAN
Tujuan dari panduan ini adalah :

1. Untuk memberikan panduan baku bagi tim code blue dalam melaksanakan tugas-tugasnya
sebagai tim reaksi cepat jika code blue diaktifkan.
2. Membangun respon seluruh petugas di RS Islam Jemursari pada pelayanan kesehatan
dalam keadaan gawat darurat.
3. Mempercepat respon time kegawatdaruratan di rumah sakit untuk menghindari kematian
dan kecacatan yang seharusnya tidak perlu terjadi.

BAB II
RUANG LINGKUP
Sistem respon cepat code blue dibentuk untuk memastikan bahwa semua
kondisi cardiacrespiratory arrest tertangani dengan resusitasi dan stabilisasi sesegera
mungkin. Sistem respon terbagi dalam 2 tahap, yaitu:
1. Respon awal (responder pertama) berasal dari petugas rumah sakit baik medis ataupun non
medis yang berada di sekitar korban.
2. Respon kedua (responder kedua) berasal dari tim code blue.
Adapun area penanganan cardiac respiratory arrest di Rumah Sakit terbagi atas:
1. Area satu yaitu area lantai satu dan lantai dua di Rumah Sakit, yaitu:
2. Area kantor
3. Instalasi Gawat Darurat dan area sekitarnya
4. Instalasi Rawat Jalan lantai I dan area sekitarnya
5. Area dua yaitu area lantai satu di Rumah Sakit, yaitu:
6. Ruang Mawar dan area sekitarnya
7. Ruang Neonatus dan area sekitarnya
8. Ruang Azzara 1 dan area sekitarnya
9. Instalasi Perawatan Intensif dan area sekitarnya
10. Hemodialisa dan area sekitarnya
11. Ruang Zahira dan area sekitarnya
12. Instalasi Radiologi dan area sekitarnya
13. Instalasi Laboratorium dan area sekitarnya
14. Unit Logistik dan area sekitarnya
15. Gizi dan area sekitarnya
16. Unit K3 dan area sekitarnya
17. Kamar Jenasah dan area sekitarnya
18. Laundry dan area sekitarnya
19. Gudang Farmasi dan area sekitarnya
20. Pengadaan dan area sekitarnya
21. Area tiga yaitu area lantai dua di Rumah Sakit, yaitu:
22. Instalasi Rawat Jalan lantai II dan area sekitarnya
23. Ruang Melati dan area sekitarnya
24. Ruang Azzara II dan area sekitarnya
25. Ruang Dahlia dan area sekitarnya
26. Ruang Teratai dan area sekitarnya
27. Instalasi Bedah Sentral dan area sekitarnya
28. Area empat yaitu diluar area satu, dua, dan tiga, yaitu meliputi:
29. Area parkir Rumah Sakit
30. Pujasera Rumah Sakit
31. Masjid Rumah Sakit
32. IPS
BAB III
TATA LAKSANA
PROSEDUR CODE BLUE
1. Jika didapatkan seseorang atau pasien dalam kondisi cardiac respiratory arrest maka
perawat ruangan (I) atau first responder berperan dalam tahap pertolongan, yaitu:
2. Segera melakukan penilaian dini kesadaran korban.
3. Pastikan lingkungan penderita aman untuk dilakukan pertolongan.
4. Lakukan cek respon penderita dengan memanggil nama atau menepuk bahu.
5. Meminta bantuan pertolongan perawat lain (II) atau petugas yang ditemui di lokasi untuk
mengaktifkan code blue.
6. Lakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) sampai dengan tim code blue
7. Perawat ruangan yang lain (II) atau penolong kedua, segera menghubungi operator telepon
“8600” untuk mengaktifkan code blue, dengan prosedur sebagai berikut:
8. Perkenalkan diri.
9. Sampaikan informasi untuk mengaktifkan code blue.
10. Sebutkan nama lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest dengan lengkap dan jelas, yaitu:
area ….. (area satu/dua/tiga/empat), nama lokasi atau ruangan.
11. Jika lokasi kejadian di ruangan rawat inap maka informasikan : “ nama ruangan ….. nomor
…. “.
12. Waktu respon operator menerima telepon “8600” adalah harus secepatnya diterima, kurang
dari 3 kali deringan telepon.
13. Jika lokasi kejadian berada di area ruang rawat inap ataupun rawat jalan,
setelah menghubungi operator, perawat ruangan II segera membawa troli
emergensi (emergency trolley) ke lokasi dan membantu perawat ruangan I melakukan
resusitasi sampai dengan tim Code Blue datang. Operator menggunakan alat
telekomunikasi Handy Talky (HT) atau pengeras suara mengatakan code blue dengan
prosedur sebagai berikut:
14. “Code Blue, Code Blue, Code Blue, di area …..(satu/dua/tiga/empat), nama lokasi atau
ruangan…..”.
15. Jika lokasi kejadian diruangan rawat inap maka informasikan: “Code Blue, Code Blue, Code
Blue, nama ruangan ….. nomor kamar …..”.
16. Setelah tim code blue menerima informasi tentang aktivasi code blue, mereka segera
menghentikan tugasnya masing-masing, mengambil resusitasi kit dan menuju lokasi
terjadinya cardiac respiratory arrest. Waktu respon dari aktivasi code blue sampai dengan
kedatangan tim code blue di lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest adalah 5 menit.
17. Sekitar 5 menit kemudian, operator menghubungi tim code blue untuk memastikan bahwa
tim code blue sudah menuju lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest
18. Jika lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest adalah lokasi yang padat manusia (public
area) maka petugas keamanan (security) segera menuju lokasi terjadinya untuk
mengamankan lokasi tersebut sehingga tim code blue dapat melaksanakan tugasnya dengan
aman dan sesuai prosedur.
19. Tim code blue melakukan tugasnya sampai dengan diputuskannya bahwa resusitasi
dihentikan oleh ketua tim code blue.
20. Untuk pelaksanaan code blue di area empat, Tim code blue memberikan bantuan hidup
dasar kepada pasien kemudian segera ditransfer ke Instalasi Gawat Darurat.
21. Ketua tim code blue memutuskan tindak lanjut pasca resusitasi, yaitu:
22. Jika resusitasi berhasil dan pasien stabil maka dipindahkan secepatnya ke Instalasi
Perawatan Intensif untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut jika keluarga pasien setuju.
23. Jika keluarga pasien tidak setuju atau jika Instalasi Perawatan Intensif penuh maka pasien
di rujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas
24. Jika keluarga pasien menolak dirujuk dan meminta dirawat di ruang perawatan biasa, maka
keluarga pasien menandatangani surat penolakan.
25. Jika resusitasi tidak berhasil dan pasien meninggal, maka lakukan koordinasi dengan bagian
bina rohani, kemudian pasien dipindahkan ke kamar jenazah.
26. Ketua tim code blue melakukan koordinasi dengan DPJP.
27. Ketua tim code blue memberikan informasi dan edukasi kepada keluarga pasien.
28. Perawat ruangan mendokumentasikan semua kegiatan dalam rekam medis pasien dan
melakukan koordinasi dengan ruangan pasca resusitasi.
PENGORGANISASIAN TIM CODE BLUE
Tim code blue di Rumah Sakit terbagi atas:
1. Tim code blue satu yaitu tim Code Blue yang bertanggung jawab terhadap area satu.
2. Tim code blue dua yaitu tim Code Blue yang bertanggung jawab terhadap area dua.
3. Tim code blue tiga yaitu tim Code Blue yang bertanggung jawab terhadap area tiga.

Tim code blue terdiri dari:


1. Ketua tim code blue yaitu satu orang dokter umum.
2. Anggota tim code blue yang terdiri dari satu orang perawat senior (supervisi) dan satu orang
perawat.

Struktur tim code blue di Rumah Sakit adalah sebagai berikut:


1. Ketua Tim Code Blue
2. Ketua tim code blue adalah dokter umum ( jaga ruangan / jaga IGD )
3. Kualifikasi:
 Memiliki SIP yang masih berlaku.
 Memiliki ATLS atau ACLS.
 Memiliki kewenangan klinis dalam hal kegawatdaruratan medis.
2. Anggota Tim Code Blue
Anggota tim code blue terdiri dari:
1. Supervisi
Kualifikasi:

 Memiliki SIP yang masih berlaku.


 Memiliki sertifikat PPGD.
 Memiliki kewenangan klinis dalam hal kegawatdaruratan medis.
1. Perawat IGD/Resusitasi/IPI/IBS dan perawat ruangan terkait (Katim dan anggota tim) yang
bertanggung jawab saat itu.
 Memiliki SIP yang masih berlaku.
 Memiliki sertifikat PPGD.
 Memiliki kewenangan klinis dalam hal kegawatdaruratan medis.
1. Petugas Binroh
2. Security
3. Farmasi
URAIAN TUGAS TIM CODE BLUE
1. Ketua Tim Code Blue
2. Memimpin pelaksanaan code blue di area Rumah Sakit, meliputi:
 Shift pagi (jam 07.00 — 14.30 WIB):
1. Ketua tim code blue di area satu adalah dokter jaga IGD.
2. Ketua tim code blue di area dua adalah dokter jaga ruangan.
3. Ketua tim code blue di area tiga adalah dokter jaga ruangan.
4. Ketua tim code blue di area empat adalah dokter jaga IGD.
 Shift sore (jam 14.30 — 22.00 WIB):
1. Ketua tim code blue di area satu adalah dokter jaga IGD.
2. Ketua tim code blue di area dua adalah dokter jaga ruangan.
3. Ketua tim code blue di area tiga adalah dokter jaga ruangan.
4. Ketua tim code blue di area empat adalah dokter jaga IGD.
 Shift malam (jam 22.00 — 07.00 WIB):
Ketua tim code blue di semua area adalah dokter jaga IGD yang bertugas jaga pada shift
malam.
1. Memimpin pelaksanaan Resusitasi Jantung Paru (RJP).
2. Menentukan tindak lanjut pasca resusitasi.
3. Melakukan koordinasi dengan Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP).
4. Sebagai pengambil keputusan dalam kondisi emergensi atau kondisi jika DPJP tidak ada di
tempat atau sulit dihubungi.
5. Melakukan edukasi dengan keluarga pasien.
6. Melakukan koordinasi dengan bagian pelayanan medis dan keperawatan terkait jadwal jaga
tim code blue.
7. Melakukan koordinasi dengan bagian/unit yang lain untuk pelaksanaan code blue,misalnya
dengan bagian farmasi untuk pengadaan obat dan alat kesehatan (alkes) emergensi.
8. Bekerja sama dengan diklat Rumah Sakit dalam meningkatkan kualitas tim code blue.

2. Anggota Tim Code Blue


3. Supervisi
 Shift pagi (jam 07.00 — 14.30 W1B) : Pelaksana code blue di semua area.
 Shift sore (jam 14.30 — 22.00 WIB) : Pelaksana code blue di semua area.
 Shift malam (jam 22.00 — 07.00 WIB) : Pelaksana code blue di semua area.
1. Perawat
 Shift pagi (jam 07.00 — 14.30 W1B) :
1. Perawat pelaksana code blue di area satu adalah perawat jaga Res/IGD shift pagi.
2. Perawat pelaksana code blue di area dua adalah perawat IPI dan Res/IGD shift pagi.
3. Perawat pelaksana code blue di area tiga adalah perawat jaga IBS dan Res/IGD shift pagi.
 Shift sore (jam 14.30 — 22.00 WIB) :
1. Perawat pelaksana code blue di area satu adalah perawat jaga Res/IGD shift sore.
2. Perawat pelaksana code blue di area dua adalah perawat IPI dan Res/IGD shift sore.
3. Perawat pelaksana code blue di area tiga adalah perawat jaga IBS dan Res/IGD shift sore.
4. Perawat pelaksana code blue di area empat adalah perawat jaga Res/IGD shift sore.
 Shift malam (jam 22.00 — 07.00 WIB) :
1. Perawat pelaksana code blue di area satu adalah perawat jaga Res/IGD shift malam.
2. Perawat pelaksana code blue di area dua adalah IPI dan Res/IGD shift malam.
3. Perawat pelaksana code blue di area tiga adalah perawat jaga IBS dan Res/IGD shift malam.
4. Perawat pelaksana code blue di area empat adalah perawat jaga Res/IGD shift malam.
5. Binroh : Pelaksana code blue di semua area.
6. Security : Pelaksana code blue di semua area.
7. Farmasi : Pelaksana code blue di semua area.
8. Anggota tim code blue segera mengambil alih tindakan resusitasi yang sedang berjalan dan
melanjutkan tahapan resusitasi jantung paru, meliputi:
 Dokter pelaksana code blue bertugas:
Berkoordinasi dengan perawat ruangan (I) atau .first responder dalam hal:
1. Mempertahankan kepatenan jalan nafas (Airway):
 Tekan dahi angkat dagu (head tilt — chin lift) bila tidak ada trauma.
 Mendorong rahang bawah (jaw thrust) bila ada trauma.
 Pemasangan Oropharyngeal airway.
 Persiapan pemasangan LMA.
1. Bertanggung jawab terhadap keadequatan pemafasan pasien (Breathing).
 Memberikan bantuan pernafasan melalui Bag-Valve-Mask.
 Memberikan oksigen sesuai kebutuhan pasien.
 Perawat pelaksana code blue bertugas :
1. Bertanggung jawab terhadap sirkulasi (circulation) pasien
 Memasang monitor EKG/Defibrilator.
 Monitoring Tekanan Darah dan Nadi.
1. Bertanggung jawab membawa “resusitasi kit”.
2. Bertanggung jawab dalam persiapan pemasangan defibrilator.
3. Bertanggung jawab dalam penggunaan obat-obatan emergensi.
4. Bertanggung jawab terhadap penggunaan peralatan emergensi termasuk defibrilator.
5. Bertanggung jawab terhadap dokumentasi.
Semua ketua dan anggota tim code blue memiliki alat komunikasi (HT) yang harus
selalu dinyalakan dan standbye.
ALGORITME CODE BLUE

Bila ada kondisi “ code blue ” pasien dengan henti nafas / henti jantung

First resporder / penemu pertama memanggil bantuan

First resporder melakukan BHD awal

Penolong kedua mengaktifkan Code Blue melalui nomer telepon darurat dengan ext.00

Operator menerima telepon “00” ( << 3 dering harus segera diangkat, kemudian:

1. Operator mengumumkan melalui handy talky atau pengeras suara

2. Selang 5 menit operator menghubungi tim Code Blue memastikan tim sudah berada
di tempat kejadian
Tim Code Blue segera menuju lokasi yang ditentukan untuk melanjutkan resusitasi yang telah
dilakukan oleh First Responder

Rawat IPI, Transfer IGD, Rujuk ke RS lain, DNR

Meninggal

Perawat ruangan mendokumentasikan semua kegiatan


BAB IV
DOKUMENTASI

1. Kondisi code blue pada pasien didokumentasikan dalam rekam medis pasien.

Posted in Perumahsakitan | Tagged akreditasi, code blue, depkes, ijin operasional, jci, kars, kelas rumah
sakit, panduan, permenkes 56, rumah sakit, surveior

PERSYARATAN PENGAMANAN RADIASI DALAM


RUMAH SAKIT
Posted on April 18, 2017by Healthcare and Hospital Consultant (IKKESINDO Batch 4)

Pengertian
1. Radiasi adalah emisi dan penyebaran energi melalui ruang (media) dalam bentuk
gelombang elektromagnetik atau partikel-partikel atau elementer dengan kinetik yang sangat
tinggi yang dilepaskan dari bahan atau alat radiasi yang digunakan oleh instalasi di rumah
sakit.
2. Pengamanan dampak radiasi adalah upaya perlindungan kesehatan masyarakat dari
dampak radiasi melalui promosi dan pencegahan risiko atas bahaya radiasi, dengan
melakukan kegiatan pemantauan, investigasi dan mitigasi pada sumber, media lingkungan
dan manusia yang terpajan atau alat yang mengandung radiasi.
Persyaratan
Persyaratan sesuai Keputusan Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 01 Tahun 1999,
tentang Ketentuan Keselamatan Kerja terhadap Radiasi adalah:

1. Nilai Batas Dosis (NBD) bagi pekerja yang terpajan radiasi sebesar 50 mSv (milli Sievert)
dalam satu tahun.
2. NBD bagi masyarakat yang terpajan sebesar 5 mSv dalam 1 (satu) tahun.
Tata Laksana
Perizinan
Setiap rumah sakit yang memanfaatkan peralatan yang memajankan radiasi dan
menggunakan zat radioaktif, harus memperoleh izin dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir
(sesuai PP Nomor 64 Tahun 2000 tentang Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir, pasal
2 ayat 1).
Sistem Pembatasan Dosis
Penerimaan dosis radiasi terhadap pekerja atau masyarakat tidak boleh melebihi nilai
batas dosis yang ditetapkan oleh Badan Pengawas.

Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja terhadap Pemanfaatan Radiasi


Pengion
Organisasi
Setiap pengelola rumah sakit yang mempunyai pelayanan radiasi harus memiliki
organisasi proteksi radiasi dimana petugas proteksi radiasi tersebut telah memiliki surat
ijin sebagai petugas radiasi dari Badan Pengawas.

Peralatan Proteksi Radiasi


Pengelola rumah sakit yang mempunyai pelayanan radiasi harus menyediakan dan
mengusahakan peralatan proteksi radiasi, pemantau dosis perorangan, pemantau daerah
kerja dan pemantau lingkungan hidup, yang dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan
jenis sumber radiasi yang digunakan.

Pemantauan Dosis Perorangan


Pengelola rumah sakit yang mempunyai pelayanan radiasi mewajibkan setiap pekerja
radiasi untuk memakai peralatan pemantau dosis perorangan, sesuai dengan jenis
instalasi dan sumber radiasi yang digunakan.

Pengamanan terhadap bahan yang memancarkan radiasi hendaknya mencakup


rancangan instalasi yang memenuhi persyaratan, penyediaan pelindung radiasi atau
kontainer.

Proteksi radiasi yang disediakan harus mempunyai ketebalan tertentu yang mampu
menurunkan laju dosis radiasi. Tebal bahan pelindung sesuai jenis dan energi radiasi,
aktivitas dan sumber radiasi, serta sifat bahan pelindung.

Perlengkapan dan peralatan yang disediakan adalah monitoring perorangan, survei


meter, alat untuk mengangkat dan mengangkut, pakaian kerja, dekontaminasi kit, alat-
alat pemeriksaan tanda-tanda radiasi.

Pemeriksaan Kesehatan
Pengelola rumah sakit harus menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan awal secara teliti
dan menyeluruh, untuk setiap orang yang akan bekerja sebagai pekerja radiasi, secara
berkala selama bekerja sekurang-kurangnya sekali dalam 1 tahun.

Pengelola rumah sakit harus memeriksaakan kesehatan pekerja radiasi yang akan
memutuskan hubungan kerja kepada dokter yang ditunjuk, dan hasil pemeriksaan
kesehatan diberikan kepada pekerja radiasi yang bersangkutan.
Dalam hal terjadi kecelakaan radiasi, pengelola rumah sakit harus menyelenggarakan
pemeriksaan kesehatan bagi pekerja radiasi yang diduga menerima pajanan berlebih.

Penyimpanan Dokumentasi
Pengelola rumah sakit harus tetap menyimpan dokumen yang memuat catatan dosis hasil
pemantauan daerah kerja, lingkungan dan kartu kesehatan pekerja selama 30 tahun sejak
pekerja radiasi berhenti bekerja.

Jaminan Kualitas
Pengelola rumah sakit harus membuat program jaminan kualitas bagi instalasi yang
mempunyai potensi dampak radiasi tinggi.

Untuk menjamin efektivitas pelaksanaan Badan Pengawas melakukan inspeksi dan audit
selama pelaksanaan program jaminan kualitas.

Pendidikan dan Pelatihan


Setiap pekerja harus memperoleh pendidikan dan pelatihan tentang keselamatan dan
kesehatan kerja terhadap radiasi.

Pengelola rumah sakit bertanggung jawab atas pendidikan dan pelatihan.

Kalibrasi
Pengelola rumah sakit wajib mengkalibrasikan alat ukur radiasi secara berkala sekurang-
kurangnya 1(satu) tahun sekali.

Pengelola rumah sakit wajib mengkalibrasi keluaran radiasi (output) peralatan


radioterapi secara berkala sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali.
Kalibrasi hanya dapat dilakukan oleh instansi yang telah terakreditasi dan ditunjuk oleh
Badan Pengawas.

Penanggulangan Kecelakaan Radiasi


Pengelola rumah sakit harus melakukan upaya pencegahan terjadinya kecelakaan radiasi.

Dalam hal terjadi kecelakaan radiasi, pengelola rumah sakit harus melakukan upaya
penanggulangan diutamakan pada keselamatan manusia.

Lokasi tempat kejadian harus diisolasi dengan memberi tanda khusus seperti pagar,
barang atau bahan yang terkena pancaran radiasi segera diisolasi kemudian
didekontaminasi.
Jika terjadi kecelakaan radiasi, pengelola rumah sakit harus segera melaporkan
terjadinya kecelakaan radiasi dan upaya penanggulangannya kepada Badan Pengawas
dan instansi terkait lainnya.

Pengelolaan Limbah Radioaktif


Penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang wajib mengumpulkan,
mengelompokkan, atau mengolah dan menyimpan sementara limbah radioaktif sebelum
diserahkan kepada Badan Pelaksana.

Pengelolaan limbah radioaktif pada unit kedokteran nuklir dilakukan pemilahan


menurut jenis yaitu limbah cair dan limbah padat.

Limbah radioaktif yang berasal dari luar negeri tidak dizinkan untuk disimpan di wilayah
Indonesia.

Posted in Perumahsakitan | Tagged akreditasi, alat pelindung diri, B3, CT Scan, depkes, ijin
operasional, indonesia, kesehatan, kesehatan lingkungan, kesling, lingkungan, Lingkungan
Hidup, menular, MFK, panduan, pendirian, penyakit, PPR, radiologi, Rontgen, rumah sakit, sanitasi

DEKONTAMINASI MELALUI DISINFEKSI DAN STERILISASI


DALAM RUMAH SAKIT
Posted on April 17, 2017by Healthcare and Hospital Consultant (IKKESINDO Batch 4)

Pengertian
1. Dekontaminasi adalah upaya mengurangi dan atau menghilangkan kontaminasi oleh
mikroorganisme pada orang, peralatan, bahan, dan ruang melalui disinfeksi dan sterilisasi
dengan cara fisik dan kimiawi.
2. Disinfeksi adalah upaya untuk mengurangi/menghilangkan jumlah mikro-organisme
patogen penyebab penyakit (tidak termasuk spora) dengan cara fisik dan kimiawi.
3. Sterilisasi adalah upaya untuk menghilangkan semua mikroorganisme dengan cara fisik dan
kimiawi.
Persyaratan
1. Suhu pada disinfeksi secara fisik dengan air panas untuk peralatan sanitasi 800C dalam waktu
45-60 detik, sedangkan untuk peralatan memasak 800C dalam waktu 1 menit.
2. Disinfektan harus memenuhi kriteria tidak merusak peralatan maupun orang, disinfektan
mempunyai efek sebagai deterjen dan efektif dalam waktu yang relatif singkat, tidak
terpengaruh oleh kesadahan air atau keberadaan sabun dan protein yang mungkin ada.
3. Penggunaan disinfektan harus mengikuti petunjuk pabrik.
4. Pada akhir proses disinfeksi terhadap ruang pelayanan medis (ruang operasi dan ruang
isolasi) tingkat kepadatan kuman pada lantai dan dinding 0-5 cfu/cm2, bebas mikroorganisme
patogen dan gas gangren. Untuk ruang penunjang medis (ruang rawat inap, ruang ICU/ICCU,
kamar bayi, kamar bersalin, ruang perawatan luka bakar, dan laundry) sebesar 5-10 cfu/cm2
5. Sterilisasi peralatan yang berkaitan dengan perawatan pasien secara fisik dengan
pemanasan pada suhu + 121OC selama 30 menit atau pada suhu 134OC selama 13 menit dan
harus mengacu pada petunjuk penggunaan alat sterilisasi yang digunakan.
6. Sterilisasi harus menggunakan disinfektan yang ramah lingkungan.
7. Petugas sterilisasi harus menggunakan alat pelindung diri dan menguasai prosedur sterilisasi
yang aman.
8. Hasil akhir proses sterilisasi untuk ruang operasi dan ruang isolasi harus bebas dari
mikroorganisme hidup.
Tata Laksana
1. Kamar/ruang operasi yang telah dipakai harus dilakukan disinfeksi dan disterilisasi sampai
aman untuk dipakai pada operasi berikutnya.
2. Instrumen dan bahan medis yang dilakukan sterilisasi harus melalui persiapan, meliputi:
A. Persiapan sterilisasi bahan dan alat sekali pakai. Penataan – Pengemasan – Pelabelan –
Sterilisas
B. Persiapan sterilisasi instrumen baru: Penataan dilengkapi dengan sarana pengikat (bila
diperlukan) – Pelabelan – Sterilisasi.
C. Persiapan sterilisasi instrumen dan bahan lama : Desinfeksi – Pencucian (dekontaminasi)
– Pengeringan (pelipatan bila perlu) – Penataan – Pelabelan – Sterilisasi.
3. Indikasi kuat untuk tindakan disinfeksi/sterilisasi :
A. Semua peralatan medik atau peralatan perawatan pasien yang dimasukkan ke dalam
jaringan tubuh, sistem vaskuler atau melalui saluran darah harus selalu dalam keadaan
steril sebelum digunakan.
B. Semua peralatan yang menyentuh selaput lendir seperti endoskopi,
pipa endotracheal harus disterilkan/didisinfeksi dahulu sebelum digunakan.
C. Semua peralatan operasi setelah dibersihkan dari jaringan tubuh, darah atau sekresi harus
selalu dalam keadaan steril sebelum dipergunakan.
4. Semua benda atau alat yang akan disterilkan/didisinfeksi harus terlebih dahulu dibersihkan
secara seksama untuk menghilangkan semua bahan organik (darah dan jaringan tubuh) dan
sisa bahan linennya.
5. Sterilisasi (132oC selama 3 menit pada grativity displacement steam sterilizier) tidak
dianjurkan untuk implant.
6. Setiap alat yang berubah kondisi fisiknya karena dibersihkan, disterilkan atau didisinfeksi
tidak boleh dipergunakan lagi. Oleh karena itu hindari proses ulang yang dapat
mengakibatkan keadaan toxin atau mengganggu keamanan dan efektivitas peralatan.
7. Jangan menggunakan bahan seperti linen, dan lainnya yang tidak tahan terhadap sterilisasi,
karena akan mengakibatkan kerusakan seperti kemasannya rusak atau berlubang, bahannya
mudah sobek, basah, dan sebagainya.
8. Penyimpanan peralatan yang telah disterilkan harus ditempatkan pada tempat (lemari)
khusus setelah dikemas steril pada ruangan:
9. Dengan suhu 180C– 22oC dan kelembaban 35%-75%, ventilasi menggunakan sistem tekanan
positif dengan efisiensi partikular antara 90%-95% (untuk particular 0,5 mikron).
10. Dinding dan ruangan terbuat dari bahan yang halus, kuat dan mudah dibersihkan.
11. Barang yang steril disimpan pada jarak 19 cm -24 cm.
12. Lantai minimum 43 cm dari langit-langit dan 5 cm dari dinding serta diupayakan untuk
menghindari terjadinya penempelan debu kemasan.
13. Pemeliharaan dan cara penggunaan peralatan sterilisasi harus memperhatikan petunjuk dari
pabriknya dan harus dikalibrasi minimal 1 kali satu tahun.
14. Peralatan operasi yang telah steril jalur masuk ke ruangan harus terpisah dengan peralatan
yang telah terpakai.
15. Sterilisasi dan disinfeksi terhadap ruang pelayanan medis dan peralatan medis dilakukan
sesuai permintaan dari kesatuan kerja pelayanan medis dan penunjang medis.

Anda mungkin juga menyukai