Anda di halaman 1dari 4

VI.

PEMBAHASAN
Pada praktikum ini dilakukan uji stabilitas pada sediaan vitamin C yang
bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan dari
suatu obat, khususnya pengaruh suhu. Kestabilan dari suatu zat merupakan faktor
yang harus diperhatikan dalam pembuatan suatu formulasi pada sediaan farmasi.
Hak ini sangat penting karena obat yang disimpan dalam waktu yang lama akan
mengalami penguraian dan dapat mengakibatkan dosis yang diterima pasien akan
berkurang. Ada kala hasil penguraian zat tersebut dapat bersifat toksik sehingga
dapat membahayakan pasien. Oleh karena itu perlu dilakakan ui stabilitas
terhadap vitamin C sehingga dapat mengetahui cara pembuatan, formulasi,
pengemasan, penyimpanan, dan masa kadaluarsa dari vitamin C sehingga sediaan
tetap berada pada keadaan stabil (Ansel, 1989).
Penetapan kadar vitamin C dengan menggunakan metode iodometri.
Titrasi iodometri adalah jenis titrasi tidak langsung yang digunakan untuk
menetapkan senyawa-senyawa yang mempunyai potensial oksidasi yang lebih
besar dari system iodium-iodida. Pada iodometri sampel yang bersifat sebagai
oksidator direduksi dengan kalium iodide (KI) yang berlebih terlebih dahulu yang
kemudian akan menghasilkan iodium (I2) dan dititrasi dengan larutan baku
natrium tiosulfat (Na2S2O3). Titrasi tidak langsung (iodometri) digunakan karena
vitamin C mudah mengalami oksidasi sehingga tidak bagus bila dititrasi langsung
dengan standar iodida. Selain itu pada titrasi langsung membutuhkan larutan
iodide pada konsentrasi tinggi untuk menghasilkan kompleks I3 (Gandjar dan
Rohman, 2007). Metode tak langsung digunakan karena iodium merupakan
oksidator lemah sehingga jika dilakukan metode langsung maka jumlah iodium
yang dibutuhkan cukup banyak nantinya. Selain itu juga sifat dari iod yang mudah
menguap dan mudah teroksidasi dapat memperbesar resiko terjadinya kesalahan
dalam titrasi jika iodium digunakan dalam titrasi langsung. Vitamin C merupakan
vitamin yang mudah rusak dan mudah teroksidasi diantara semua vitamin yang
ada. Oksidasi akan terjadi sangat cepat dalam kondisi alkalis, pada suhu tinggi,
terkena sinar matahari dan logam-logam yang rendah (Gaman dan Sherrington,
1994).
Pada proses standarisasi larutan KIO3 yang berfungsi sebagai larutan baku
primer yang digunakan untuk membakukan natrium tiosulfat karena larutan ini
kemurniannya cukup tinggi dengan pembakuan natrium tiosulfat melalui
pembentukan iodium (Gandjar dan Rohman 2007). Garam KIO3 mampu
mengoksidasi iodida menjadi iod secara kuantitatif dalam larutan asam. Oleh
karena itu digunakan sebagai larutan standar dalam proses titrasi iodometri ini.
Selain itu juga karena sifat iod itu sendiri yang mudah teroksidasi oleh oksigen
dalam lingkungan sehingga iodida mudah terlepas. Reaksi ini sangat kuat dan
hanya membutuhkan sedikit sekali kelebihan ion hidrogen untuk melengkapi
reaksinya, ditambahkan sedikit Kalium iodat pada larutan. Tujuan penambahan KI
adalah sebagai sumber iod berlebih. Iod dibuat berlebih karena sifat dari iod yang
sangat mudah menguap sehingga perlu adanya sumber iod lain agar iod yang
terbentuk tidak menguap sepenuhnya dengan pembentukan ion triiodida (I3-).
Proses standarisasi dilakukan pada suasana asam atau pH asam dikarenakan iod
yang dihasilkan dari KIO3 dan KI tidak dapat digunakan dalam medium netral
atau medium dengan keasaman rendah. Selain itu pada suasana asam, oksidasi ion
iodida berlangsung lebih cepat (Day dan Underwood, 1981). Hal ini terjadi karena
pada suasana asam, potensial reduksi iodat meningkat tajam akibat meningkatnya
konsentrasi H+ dalam larutan sehingga iodat ini direduksi secara lengkap oleh
iodida (Basset et al., 1994).
Standarisasi Na2S2O3 0,1 M dilakukan dengan menggunakan larutan KIO3
0,02 M yang ditambahkan 0,5 gram KI dan 5 ml H2SO4 0,5 M. Penambahan KI
ini ditujukan untuk menciptakan iodida berlebih, meningkatkan kelarutan I2 dan
mengantisipasi kekurangan I2. Ion iodida yang berasal dari KI ini, akan
menggantikan ion iodida yang telah menguap. Indikator yang digunakan adalah
indikator kanji karena warna biru tua kompleks pati-iod berperan sebagai uji
kepekaan terhadap iod. Kepekaan itu lebih besar dalam larutan yang sedikit asam
daripada larutan netral dan lebih besar dengan adanya ion iodida. Kanji dipilih
sebagai indikator karena kanji bereaksi dengan iod, dengan adanya iodida
membentuk suatu kompleks yang berwarna biru kuat, yang akan terlihat pada
konsentrasi iod yang sangat rendah. Larutan dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1
M hingga mendekati titik akhir titrasi yang ditunjukkan dengan warna kuning
pucat. Kemudian ditambahkan indikator kanji sebanyak 30 tetes hingga larutan
menjadi berwarna biru gelap. Kemudian titrasi dilanjutkan hingga warna biru
hilang. Standarisasi larutan Na2S2O3 0,1 M dengan menggunakan kalium iodat,
kalium iodat akan bereaksi dengan kalium iodide (KI) dalam larutan asam dan
akan membangkitkan I3-.
Pada standarisasi dilakukan sebanyak tiga kali titrasi untuk memenuhi
validasi metode presisi sehingga diperoleh data yang valid. Volume Na2S2O3 0,1
M yang digunakan dari ketiga titrasi tersebut adalah sebanyak 8 mL, 7,6 mL dan
7,5 mL.
Dilakukan uji stabilitas vitamin C dengan menyiapkan 9 botol via yang
digunakan sebagai tempat atau wadah sampel, vitamin C dalam botol vial yang
telah dibungkus dengan aluminium foil dan diikat dengan tali kasut, masing-
masing tiga sampel diberikan perlakuan dengan suhu yang berbeda hal ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap stabilitas vitamin C. Tiga
sampel pertama disimpan pada suhu 400C selama 10 menit, 20 menit, 30 menit.
Tiga sampel yang kedua dan ketiga dipanaskan pada suhu masing-masing 600C
dan 800C selama 10 menit, 20 menit, 30 menit. Kemudian, sampel dimasukkan
kedalam es batu kurang lebih selama 5 menit. Waktu yang digunakan untuk
pendinginan harus sama pada setiap sampel yang digunakan dengan tujuan untuk
menseragamkan waktu berhentinya reaksi oksidasi vitamin C yang terjadi selama
pemanasan. Penetapan kadar vitamin C dilakukan setelah diberi perlakuan suhu
yang berbeda untuk mengetahui jumlah vitamin C yang telah teroksidasi ataupun
yang masih tersisa pada larutan, dapat dilakukan dengan titrasi iodometri. Sampel
yang telah dingin, ditambahkan dengan H2SO4 0,5 M sebanyak 10 mL, aquadest 5
mL kemudian, ditambahkan KIO3 0,02 M sebanyak 6,25 mL dan KI sebanyak 1
gram. Fungsi dari masing-masing bahan yang ditambahkan sama dengan saat
proses standarisasi. Warna larutan setelah ditambahkan KI adalah merah
kecoklatan. Titrasi dilakukan pada masing-masing sampel dengan menggunakan
titran Na2S2O3, Kemudian ditambahkan 20 tetes indikator kanji sehingga larutan
berwarna biru kehitaman. Titrasi dilakukan kembali dengan Na2S2O3 sampai
larutan berubah menjadi bening, yang menandakan titik akhir titrasi telah tercapai.
Pada titik akhir titrasi, seluruh vitamin C telah bereaksi dengan iodin. Berdasarkan
hasil yang diperoleh, dihitung kadar vitamin C pada masing-masing perlakuan.
Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh kadar vitamin C berturut-turut dari suhu
40oC adalah 0,44384 %b/v, 0,41214 %b/v, 0,38044 %b/v, pada suhu 60oC adalah
0,413442 %b/v, 0,397 %b/v, 0,3818 %b/v sedangkan pada suhu 80oC adalah
0,413442%b/v, 0,397%b/v, 0,3818 %b/v.
Berdasakan dari data yang diperoleh, pada perlakuan masing-masing suhu
menunjukkan hasil kadar yang berbeda-beda pula. Hal ini menunjukkan suhu
berpengaruh pada stabilitas vitamin C dalam sampel. Pada setiap suhu yang
diberikan, semakin lama waktu pemanasan maka semakin sedikit pula kadar
Vitamin C yang terkandung dalam sampel. Hal ini dapat disebabkan karena
semakin lama pemanasan maka semakin banyak vitamin C yang terdegradasi dan
kecepatan degradasinya meningkat seiring dengan meningkatnya suhu yang
diberikan.

Anda mungkin juga menyukai