PEMBAHASAN
Kajian terhadap hadis Nabi SAW. Sampai saat ini masih sangat menarik, meskipun tidak
sesemarak dengan studi yang dilakukan terhadap pemikiran yang berkembang di seputar Al-
Qur’an. Faktor utama yang berpengaruh adalah kompleksitas problem yang ada, baik
menyangkut otentisitas teks, variasi lafal (jumlah hadis bil mana), maupun tentang waktu yang
cukup panjang antara “Nabi dalam realitas kehidupannya”sampai masa kodifikasi hadis kedalam
teks kitab hadis, yang dilakukan pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Abdul Azis.
Ulama yang berhasil mengumpulkan hadis nabi SAW atas perintah khalifah adalah
Muhammad ibnu Syihab al-Zuhridan Abu Bakar Muhammad bin Muhammadbin Hazm,
sekalipun hadis-hadis Nabi sAW tersebut telah dikumpulkan oleh kedua ulama tersebut pada
masa Umar bin Abdul Azis, ternyata kedua hasil kodifikasi tersebut sudah tidak ditemukan lagi.
Kitab tertua yang dapat dibaca oleh umat dewasa ini adalah kitab Al-Muwatha’ yang ditulis
oleh imam Malik.kemudian pada masa berikutnya muncullah ulama yang tekun melakukan
penelitiandan penelusuran terhadap hadis-hadis Nabi yang menghasilkan karya-karya yang
monumental yang dikenal dalam bentuk teks book kitab-kitab hadis seperti yang ditulis imam
Bukhari, imam Muslim, imam Abi Dawud, dan lain-lain.
Oleh karena itu, kajian yang dilakukan dalam studi hadis biasanya berawal dari kajian
apakah teks-teks hadis itu shahih atau tidak ?, sebab yang sangat diperlukan dalam studi hadis itu
adalah: apakah hadis itu dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil) terhadap masalah yang dihadapi
umat yang diungkapkan dalam sebuah hadis atau tidak .
Rasulullah SAW selama hidupnya berperan sebagai aktor utama dalam gerakan pembinaan
dan pengembangan syariat islam yang dimulai dari masyarakat Arab di Mekah, kemudian
masyarakat Mekah sebagian kecil menerima atau beriman kepadanya, namun itulah yang setia
dan mebantu dalam melakukakn gerakannya.
Mereka adalah para pengikut yang sangat setia sebutlah Abu Bakar As-Siddiq, Khadijah, Ali
bin Abi Thalib, Arqam bin Abil Arqam, kemudan menyusul Hamzah, Umar bin Khattab dan
lain-lain. Kesetiaan mereka dibuktikan ketika beliau Rasulullah SAW melakukan hijrah ke
Madinah, mereka juga ikut menyertainya, sehingga mereka dapat membangun sebuah
masyarakat yang terdiri atas orang muhajirin dan anshar. Mereka ini disebutkan dalam Al-
Qur’an sebagai As-sabiqunal awwalun, beliau bersabda, berbuat, berperilaku, dan bersikap ;
sebagai manusia biasakah , sebagai Rasulkah, atau sebagai kepala negara pemimpin masyarakat,
panglima perang ataukah sebagai hakim ? bahkan lebih spesifik lagi adalah apakah beliau itu
tampil sebagai pribadi atau sebagai seorang suami ?
Selain itu, kapan hadis itu diucapkan atau dsabdakan beliau, dalam kondisi apa hadis itu
diwurdkan, sehingga diperlukan sebuah kajian yang berdimensi sejarah untuk mngungkapkan
atau memahami kondisi masyarakat yang hidup bersama dengan Nabi SAW, demikian juga
kajian terhadap asbab al-wurud dari teks hadis tersebut, yakni mengapa Nabi SAW
mengucapkan hadis itu ?
Beberapa kajian di atas, pada dasarnya dalam rangka mendudukkan pemahaman hadis pada
tempat yang proporsional, kapan dipahami secara tekstual, kontekstual, universal, temporal,
situasional maupun lokal. Pemahaman yang kaku, radikal, dan statis sama saja menutup
elastisitas keberadaan islam yang shalih li kulli zaman wa makan.
Dengan demikian, untuk memahami hadis-hadis Nabi SaW diperlukan sebuah kajian terhadap :
1. Teks, yaitu memahami matan hadis berdasarkan teks dengan memperhatikan bentuk lafal,
susunan kalimat, dan makna yang bersifat lahiriyah (mantuq). Kajian ini disebut sebagai
sebuah kajian tekstual yang menggunakan pendekatan linguistik dan teleologis.
2. Antar teks, yakni memahami hadis yang dikaji berdasarkan atau memperhatikan
hubungan antara sebuah teks hadis antara hadis yang lain semakna atau yang berada
dalam sebuah tema yang sama (keragaman lafal), demikian juga hubungan antara teks
hadis yang dikaji dengan teks ayat Al-Qur’an sebagai sumber ajaran dan hukum
islamyang pertama, baik yang dipertegas maupun yang dijelaskan atau diuraikan. Kajian
seperti ini disebutkan pula kajian intertekstual.
Kajian ini dapat pula menggunakan berbagai pendekatan dalam memahami hadis-hadis
Nabi, seperti pendekatan teologis yang bersifat nomatif, pendekatan filosofis, pendekatan
syar’i, pendekatan sosiohistoris, dan lain-lain.
3. Konteks, yaitu memahami hadis dengan memperhatikan peristiwa (asbab al-wurud) dan
kondisi yang dialami Rasulullah SAW pada saat mengucapkan atau melakukan sesuatu
amalan. Kajian ini disebut sebagai sebuah kajian kontekstual yang menggunakan metode
pendekatan historis, sosiologis, filosofis yang bersifat interdisipliner.
Untuk memahami hadis Nabi SAW secara komperensip dan integralistik serta holistik
diperlukan sebuah kajian yang menggunakan metode kontemporeryang berkembang seperti
yang digunakan dalam melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu metode
maudu’i, tahlili, ijmali atau muqaran dengan melibatkan interpretasi tekstual, intertekstual,
dan kontekstual. Berikut penjelasan singkat tentang metode tersebut :
Kekurangan:
Metode tahliliy menjadikan petunjuk hadîts bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga
seolah-olah hadîts memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena syarah
yang diberikan pada hadîts lain yang sama karena kurang memperhatikan hadîts lain yang mirip
atau sama redaksinya dengannya.
Dalam metode tahliliy, pensyarah tidak sadar bahwa dia telah mensyarah hadîts secara subyektif
dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang mensyarah hadîts sesuai dengan kemauan
pribadinya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku.
1. Pengertian
Metode ijmaliy (global) adalah menjelaskan atau menerangkan hadîts-hadîts secara
ringkas, tapi dapat merepresentasikan makna literal hadîts dengan bahasa yang mudah
dimengerti dan enak dibaca.
2. Ciri-ciri Metode Ijmaliy
a) Pensyarah langsung melakukan penjelasan hadist dari awal sampai akhir tanpa
perbandingan dan penetapan judul.
b) Penjelasannya umum dan sangat ringkas.
Namun perlu diingat bahwa ciri metode ijmaliy ini tidak terleta pada jumlah hadîts-hadîts
yang disyarahkan, apakah keseluruhan kitab atau sebagian saja. Yang menjadi tolak ukur adalah
pola atau sistematika pembahasan. Selama pensyarah hanya mensyarah hadits secara singkat
maka dapat dikategorikan dalam syarah global. Contoh :
يﺮﺍ َمايَ ِجيء َكذَ ِل َكﻔَ ََليَ ِﺮدأَنَّ ْال َﻌدَدقَدْ َجا َءفِيبَيَ ْ
اناْلَب َْوﺍب ُﻤ ْختَ ِﻠﻔ َق ْوله الو َهذَﺍ ِكنَايَﺔ َع ْن ْال َكثْ َﺮةفَإِنَّأ َ ْس َﻤ ْ
اءﺍل َﻌدَد َك ِث ً ص َ ﺍدم ْن ْاْل َ ْب َو ْ
ﺍبال ِخ َ ) أَدْنَاهَا ( َو ْﺍل ُﻤ َﺮ ِ
Metode ini tidak menyediakan ruangan yang memuaskan berkenaan dengan wacana pluralitas
pemahaman suatu hadîts. Namun inilah ciri khas metode ijmaliy yang jika pensyarah tidak
konsisten dengan pola ini maka ia otomatis akan keluar dari ranah metode ijmaliy.
c. Metode Muqârin(Komparatif)
1.Pengertian
Metode muqârin adalah metode memahami hadîts dengan cara: (1) membandingkan hadîts
yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki redaksi yang
berbeda dalam kasus yang sama. (2) membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam
mensyarah hadîts.
Jadi metode ini dalam memahami hadîts tidak hanya membandingkan hadîts dengan hadîts
lain, tetapi juga membandingkan pendapat ulama (pensyarah) dalam mensyarah hadîts.
Diantara kitab syarah hadîts yang menggunakan metode muqarin ini adalah Shahih Muslim bi
Syarh al-Nawawiy karya Imam Nawawiy, Umdah al-Qâriy Syarh Shahih al-Bukhariy karya
Badr al-Din Abu Muhammad Mahmûd al-’Ainiy, dan lain-lain.
Ruang lingkup atau wilayah kajian dari masing-masing aspek itu berbeda-beda. Ada yang
berhubungan dengan kajian redaksidan kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat yang
dikandungnya, dan ada yang menguraikan berbagai aspek, baik yang menyangkut kandungan
(makna) hadîts maupun korelasi antara hadîts dengan hadîts.
Jadi, ciri utama metode ini adalah perbandingan, yang mencakup dua sasaran yakni
membandingkan hadits dengan hadîts, dan pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadîts.
Contoh :
Diantara kitab yang menggunakan syarh muqârin adalah Umdah al-Qâry Syarh Shahih al-
Bukhâriy karya Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-’Aini, menjelaskan
pemakaian mufradat (suku kata), urutan kata, kemiripan redaksi. Jika yang akan
diperbandingkan adalah kemiripan redaksi misalnya, maka langkah-yang ditempuh dapat
disimpulkan sebagai berikut :
Untuk dapat memahami hadîts dengan tepat, kelengkapan ilmu bantu mutlak diperlukan.
Berkaitan dengan ilmu bantu daIam memahami hadîts, Yusuf al-Qardhawiy memberikan
beberapa pedoman, yaitu :
4). Mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisi ketika hadîts diucapkan diperbuat
serta tujuaannya.
5). Mampu membedakan antara sasaran yang berubah-ubah dengan sasaran yang tetap.
6). Mampu membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan bersifat metafora.
7). Mampu membedakan antara hadîts yang berkenaan dengan alam gaib dengan yang kasat
mata.
8). Mampu memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadîts.
1.) Pengertian
Metode mawdhu’iy adalah memahami hadîts dengan cara menghimpun hadits yang
membicarakan tentang topik atau permasalahan yang sama kemudian memahami hadîts tersebut
secara tematik.
Meskipun metode ini lebih populer di kalangan ahli tafsir, namun metode ini juga telah
diterapkan untuk memahami hadîts-hadîts Rasulullah Saw. Diantara ulama kontemporer yang
mengembangkan metode ini adalah Yusuf al-Qardhawiy. Dalam konteks ini ia mengatakan
bahwa untuk memahami hadîts secara benar kita harus menghimpun semua hadîts shahih yang
berkaitan dengan satu tema tertentu, kemudian mengembalikan kandungan yang mutasyabih
kepada yang muhkam, mengaitkan yang muthlaq dengan muqayyad, dan menafsirkan yang ‘aam
dengan yang khas.
Bertitik tolak dari pemikiran Yusuf al-Qardhawiy diatas, dapat dipahami bahwa ciri-ciri metode
ini adalah:
a) Menghimpun hadîts- hadîts yang membicarakan satu topik atau permasalahan tertentu.
Kelebihan:
a) Pembahasan lebih fokus dan mendalam karena objek pemahaman hanya satu tema
tertentu. Contoh: Jihad, Thaharah, Shalat dan sebagainya.
b) Metode mawdhu’iy bisa diterapkan untuk menjawab problematika umat tentang
suatu masalah.
c) Referensi yang lebih luas karena tidak fokus pada satu kitab matan seperti halnya
metode-metode sebelumnya.
Kekurangan:
Melahirkan syarah yang bersifat subjektif jika pensyarah tidak proporsional dalam
menghimpun hadîts
e. MetodeTakhrij
Menurut bahasa mempunyai beberapa makna, yang paling mendekati disi adalah berasal
dari kata kharaja yang artinya nampak dari tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah dan
kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya,
dan al-makhraj artinya tempat keluar, dan akhraja al-Hadits wa kharrajahu artinya
menampakkan dan memperlihatkan hadis kepada orang dengan menjelaskan tempat
keluarnya.
Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadis pada sumber aslinya yang
mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.
Dalam takhrij terdapat beberapa metode yang kami ringkas pokoknya saja sebagai berikut :
a. Metode petama, takhrij dengan cara mengetahui perawi hadist dari sahabat.
Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadist,lalu
kita mencari bantuan dari tiga macam karya hadist:
1) Al-Masanid (musnad-musnad): dalam kitab ini disebutkan hadist-hadist yang
diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama
sahabat yang meriwayatkan hadist,maka kita mecari hadist tersebut dalam kitab al-masanaid
hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
2) Al Ma’ajim (mu’jam-mu’jam): susunan hadist didalamnya berdasarkan urutan musnad
para sahabat atau syuyukh (guru-guru) atau bangsa (tempat asal) sesuai huruf kamus
(hijaiyah). Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya.
3) Kitab-kitab Al-Athraf : kebanyakan kitab-kitab al-ahtraf disusun berdasarkan musnad-
musnad para sahabaat dengaan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti
mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang
ditunjukkan oleh kitab-kitab al-ahtraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.
b. Metode kedua,takhrij dengan cara mengetahui permulaan lafazh dari hadits. Cara ini
dapat dibantu dengan:
1) Kitab-kitab yang berisi tentang hadits-hadits yang dikenal oleh orang banyak,misalnya;
“Ad-Durar Al-Muntatsirah fil Ahaditsi Al-Musytaharah” karya As-Suyuti, “Al-Laali’ Al-
Mantsurah fi Al-Ahadist Al-masyhurah” Karya Ibnu Hajar, “Al-Maqashid Al-Hasanah fi
bayaani Katsiirin min Al-Hadits Al-Musytahirah `alal Alsinah,” karya As-Sakhawy,
“Tamyiizu At-Thayyib min Al-Khabits fima Yaduru `Ala Alsinati An-naas min Al-Hadits”
Karya Ibnu Ad Dabi’ Asy-Syaibany, “Kasyful Khafa’ wa Muziilu Al-Ilbaas `amma Isytahara
min Al-Ahadist `ala Alsinati An-nas” Karya Al-`Ajluni.
2) Kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan urutan huruf kamus, misalnya: “Al-Jami’u
Ash-Shaghir min Ahadits Al-Basyir An-Nadzir” karya As-Suyuti.
3) Petunjuk-petunjuk dan indeks yang disusun para ulama kitab-kitab tertentu, misalnya :
“Miftah Ash-Shahihain” karangan At-Tauqadi, “Miftah At-Tartibi li Ahadits Tarikh Al-
Khatib” karya Sayyid Ahmad Al-Ghumari, “Al-Bughiyah fi Tartibi Ahadits Al-Khilyah karya
Sayyid Abdulaziz bin Al-Ghumari, “Fihris li Tartibi Ahadits Shahih Muslim” karya
Muhammad Fuad Abdul Baqi, “Miftah Muwattha’ Malik” karya Muhammad Fuad Abdul
Baqi.
c. Metode ketiga, takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang penggunannya oleh
orang dar bagian mana saja dari matan hadits.
Metode ini dapat dibantu dengan kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfaadzi Al-Hadits An-
Nabawi, berisi Sembilan kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab hadits, yaitu :
Kutubus Sittah, Muwattha’ Imam Malik, Musnad Ahmad dan Musnad Ad-Darimi. Kitab ini
disusun oleh seorang orientalis, DR. Vensink (wafat 1939 M), guru bahasa Arab di
Universitas Leiden, Belanda, dan ikut dalam menyebarkan dan mengedarkannya kitab ini
Muhammad Fuad Abdul Baqi.
Dalam menyusun kitab ini, penyusun menghabiskan waktunya selama 10 tahun, kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan diedarkan oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, yang
mengahabiskan waktu untuk itu selama empat tahun.
“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang
kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Shahih Lighairihi,
D. KENYATAAN UMAT
Inilah yang menimbulkan keprihatinan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa umat
Islam telah berpecah-belah menjadi banyak golongan. Antara satu dengan lainnya memiliki prinsip-
prinsip yang berbeda, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. Kenyataan seperti ini menjadi bukti
kebenaran nubuwwah (kenabian) Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah
memberitakan iftiraqul ummah (perpecahan umat Islam) ini semenjak hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Walaupun demikian, kita tidak boleh pasrah terhadap kenyataan yang ada, bahkan kita
diperintahkan untuk mengikuti syariat dalam keadaan apa saja. Sedangkan syariat telah memerintahkan
agar kita bersatu di atas al-haq, di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya
radhiallahu ‘anhum.
Salah satu hal terpenting untuk menyatukan umat ini ialah, umat harus mengikuti
kaidah yang benar dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
rahimahullah berkata, “Pada zaman ini, kita hidup bersama kelompok-kelompok orang yang semua
mengaku bergabung dengan Islam. Mereka meyakini bahwa Islam adalah Alquran dan as-Sunnah, tetapi
kebanyakan mereka tidak ridha berpegang dengan perkara ketiga yang telah dijelaskan, yaitu sabilul
mukminin (jalan kaum mukminin), jalan para sahabat yang dimuliakan dan orangorang yang mengikuti
mereka dengan sebaik-baiknya dari kalangan tabi’in dan para
pengikut mereka, sebagaimana telah kami jelaskan di dalam hadits “Sebaik-baik manusia adalah
generasiku”, dan seterusnya.
Oleh karena itu, tidak merujuk kepada Salafush Shalih dalam pemahaman, pemikiran dan pendapat,
merupakan penyebab utama yang menjadikan umat Islam berpecahbelah menuju jalan-jalan yang banyak.
Maka, barangsiapa benar-benar menghendaki, kembalilah kepada al-Kitab dan as-Sunnah, yaitu wajib
kembali kepada apa yang ada pada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in dan para
pengikut mereka setelah mereka.” [Manhaj as Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin al Albani].
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana kita ketahui bahwa hadis adalah sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an.
Dimana Hadis adalah pembicaraan, perkataan, percakapan, cerita, kabar dan kejadian
yang diungkapkan dan dialami oleh Rasulullah SAW. Dilihat dari segi itu sudah menjadi
kewajiban manusia untuk memahami atau mempelajari hadis. Dalam mempelajari hadis
ada berbagai macam metode yang digunakan yakni : metode maudu’i, tahlili, ijmali atau
muqaran.
B. Saran
Untuk melihat lebih jelas masing-masing metode penulis hanya merujuk beberapa buku
saja, untuk lebih jelasnya nanti perbanyak mencari sumber yang jelas agar lebih baik dan
bisa dimengerti.
DAFTAR PUSTAKA
Pengantar studi ilmu hadits penerbit “PUSTAKA AL-KAUTSAR” Jl.Cipinang raya Jakarta
timur
ILMU HADITS, pengantar memahami hadist Nabi SAW penerbit “Dar al-Hikmah wa al-ulum”
Alauddin Press Makassar
http://mamanpermatahati.blogspot.com