Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di zaman sekarang ini, upaya peningkatan kesehatan masyarakat
tidaklah mudah, apalagi untuk Ibu dan Anak. Karena masalah kesehatan
sekarang ini sangatlah kompleks, dimana penderitanya adalah Ibu dan Anak,
terutama anak dibawah usia 5 tahun.
Beberapa penyakit yang sekarang sering terjadi dan diderita anak-anak
adalah infeksi saluran napas baik atas maupun bawah, tuberkulosis, asma, dan
masih ada lagi. Yang mana sekarang yang akan kami bahas yaitu tuberkulosis
dan juga asma.

1.2 Tujuan
Tujuan umum kami adalah agar laporan ini berguna dalam pembelajaran
dan sebagai referensi bagi mahasiswa pada khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya. Selain itu tujuan khususnya adalah agar kami dapat mengerti
mengenai bagaimana mekanisme penyakit-penyakit saluran napas.

1.3 Manfaat
Manfaat dari modul ini adalah mahasiswa bisa mengetahui mengenai asal
mula penyakit saluran napas, penyebaran hingga penatalaksanaan dari penyakit
saluran napas seperti tuberkulosis dan asma.

1
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
2.1 Skenario
Anakku Sayang Anakku Malang
Seorang Ibu datang membawa anak laki-lakinya berusia 8 tahun ke praktek
dokter.
Dokter : “Anaknya kenapa bu?”
Ibu : “Begini dok, anak saya sudah 1 tahun ini sering masuk rumah sakit
sehingga tidak masuk sekolah karena sesak. Bila sesak napasnya berbunyi. Nah
sekarang anak saya sesak lagi sudah 2 hari ini. Saya bingung kenapa anak saya
sesaknya tidak hilang-hilang”
Dokter : “Ada keluhan lain bu?”
Ibu : “Sudah 1 bulan ini anak saya juga batuk dok. Kalau malam batuknya
bertambah berat. Sempat demam tapi tidak terlalu tinggi. Sudah saya beri obat yang
saya beli di warung. Saya juga merasa anak saya sekarang semakin kurus.”
Dokter : “Apa ada anggota keluarga ada yang sakit serupa bu?”
Ibu : “Om-nya dok. Kebetulan tinggal satu rumah. Sekarang sedang berobat
rutin dan pengobatannya sudah masuk bulan ke 2. Kalau anak saya paling kecil
yang usianya 2 tahun tidak ada batuk dok.”
Dokter : “Apakah ada riwayat alergi di keluarga bu?”
Ibu : “Emm....saya nggak tau dok.”
Dokter : “Baik bu, saya akan periksa dulu anak ibu.”
Dari pemeriksaan didapatkan : BB 16 kg, nadi: 102x/menit, pernapasan:
32x/menit, suhu: 37,4 derajat selsius, didapatkan adanya pembesaran kelenjar getah
bening sebesar 2x1 cm kenyal dan tidak nyeri tekan, wheezing (+) pada paru kanan
dan kiri, geographic tounge (+). Dokter menyarankan agar dilakukan pemeriksaan
penunjang.

2.2 Identifikasi Istilah


1. Wheezing : Suara napas tambahan pada saat espirasi karena
adanya kelainan dan biasanya bersuara tinggi

2
2. Geographic Tongue : Kondisi kelainan pada lidah seseorang yang
ditandai dengan bintik-bintik
3. Sesak napas : Sulit bernapas karena penumpukan sekret; bernapas
yang terengah-engah dan berat; frekuensi yang lebih dari keadaan normal
4. Alergi : Reaksi hipersensitifitas yang diperantarai oleh
imunologi; biasanya karena terpajan alergen tertentu

2.3 Identifikasi Masalah


1. Apa saja penyebab syok dan bagaimana mekanisme syok?
2. Bagaimana mekanisme wheezing?
3. Mengapa si anak dalam skenario batuk lebih dari 1 bulan?
4. Mengapa batuk si anak memberat saat malam hari?
5. Bagaimana bisa terjadi pembesaran kelenjar?
6. Apakah riwayat alergi merupakan faktor risiko dari sesak?
7. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan di skenario dan pemeriksaan
penunjang seperti apa yang seharusnya dilakukan?
8. Apakah penyakit si anak pada skenario tertular dari om-nya? Bagaimana
penularannya?
9. Bagaimana penatalaksanaan yang dilakukan?

2.4 Analisa Masalah


1. Akibat kompensasi dari adanya sumbatan. Sesak napas memerlukan otot-
otot tambahan. Kemudian juga kelainan respirasi dari saraf yang lintang dan
adanya sumbatan sekret dan lain-lain. Penyebabnya ada dari pulmonal
(gangguan dari paru-paru) dan non-pulmonal (gangguan dari lingkungan).
Karena kekurangan cairan juga bisa menjadi salah satu penyebab. Faktor
emosi juga menjadi penyebab sesak napas. Dan beberapa gangguan lainnya.
2. Dari faktor pemicu ada beberapa, yaitu produksi mukus yang berlebihan dan
pembengkakan dinding usus. Dan kemudian menyebabkan adanya suara
tambahan (wheezing).

3
3. Batuk bisa karena rangsangan sensorik. Karena inflamasi terus terinfeksi
virus lagi dan terpapar oleh lingkungan.
4. Karena pada malam hari cuaca dingin. Pada hari selain malam, si anak
dalam skeanrio sudah hipersekresi. Ditambah pada saat malam hari,
hipersekresinya menjadi kompensasi.
5. Karena ada infeksi dari kumannya lewat limfe dan ke kelenjar getah bening
menjadi membengkak.
6. Alergi bisa dihubungkan dengan sesak napas. Misalnya ada orang yang
alergi dengan suhu, itu akan membuat orang atau si anak dalam skenario
menjadi alergi.
7. BB si anak 16 kg yang berarti tidak normal. Wheezing yang diskenario (+)
harusnya tidak ada. karena bila ada berarti ada sesuatu yang salah.
Geographic Tongue itu terjadi karena ada aktifitas yang berlebihan dari
leukosit. Suhu 37,4 derajat selsius masih dalam keadaan normal. Dari
skeanrio sesbenarnya bisa disebut si anak menderita TB karena sesuai
dengan 10 kriteria TB. Untuk pemeriksaan penunjang dari TB yaitu uji
tuberkulin, pemeriksaan mikrobiologis menggunakan sputum, pemeriksaan
radiologi, dan pemeriksaan laboratorium.
8. Penularan suatu penyakit itu dari udara.
Penatalaksanaan TB bisa dilakukan dengan medikamentosa, non-medikamentosa,
dan terapi profilaksis. Ada juga berupa first line (R, H, Z, E, S) dan second line
(PAS, CT)

4
2.5 Strukturisasi Konsep

2.6 Learning Objectives


1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang TB pada anak
a. Epidemiologi
b. Etiologi
c. Patogenesis
d. Manifestasi Klinik
e. Diagnosis
f. Diagnosis Banding
g. Komplikasi
h. Penatalaksanaan dan Pencegahan

2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Asma pada anak


a. Epidemiologi
b. Etiologi
c. Patogenesis
d. Diagnosis
e. Diagnosis Banding

5
f. Komplikasi
g. Penatalaksanaan

2.7 Belajar Mandiri


Dalam tahap belajar mandiri ini, setiap individu kelompok melakukan
kegiatan belajar baik mandiri maupun kelompok dengan mempelajari semua hal
yang berkaitan dengan learning objectives dari berbagai sumber referensi yang bisa
didapat.

2.8 Sintesis
LO 1 TUBERKULOSIS
A. EPIDEMIOLOGI
Dalam laporan WHO tahun 2013 diperkirakan terdapat 8,6 juta
kasus TB pada tahun 2012, di mana 1.1 juta orang (13%) di antaranya adalah
pasien dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di
wilayah Afrika. Pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 450.000 orang yang
menderita TB MDR (Multi Resistant Drug Tuberculosis/TB dengan
resistensi ganda) dan 170.000 di antaranya meninggal dunia. Pada tahun
2012, diperkirakan proporsi kasus TB anak di antara seluruh kasus TB
secara global mencapai 6% atau 530.000 pasien TB anak per tahun, atau
sekitar 8% dari total kematian yang disebabkan oleh TB.
Indonesia berpeluang mencapai penurunan angka kesakitan dan
kematian akibat TB menjadi setengahnya di tahun 2015, jika dibandingkan
dengan data tahun 1990. Angka prevalensi TB yang pada tahun 1990
sebesar 443 per 100.000 penduduk, pada tahun 2015 ditargetkan menjadi
280 per 100.000 penduduk. Berdasarkan hasil survey prevalensi TB tahun
2013, prevalensi TB paru smear positif per 100.000 penduduk umur 15
tahun ke atas sebesar 257.
Angka notifikasi kasus (case notification rate/CNR)
menggambarkan cakupan penemuan kasus TB. Secara umum, angka
notifikasi kasus BTA positif baru dan semua kasus dari tahun ke tahun di

6
Indonesia mengalami peningkatan. Angka notifikasi kasus pada tahun 2015
untuk semua kasus sebesar 177 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2016).

B. ETIOLOGI
Mikroorganisme penyebab TB pada manusia adalah Mycobacterium
tuberculosis. Kuman Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri
pleomorfik, batang gram positif lemah dengan panjang 2-4 μm.
Mikobakteria bersifat tahan asam, yaitu mampu membentuk kompleks
mikolat yang stabil dengan pewarna arylmethane. Istilah basil tahan asam
digunakan sebagai nama lain mikobakteria. Mikobakteria tumbuh lambat
dan waktu yang dibutuhkan untuk menumbuhkan kuman ini di media
sintesis biasanya 3-6 minggu. Tes sensitivitas obat membutuhkan waktu
tambahan 4 minggu. Pertumbuhan kuman dapat terdeteksi dalam 1 hingga
3 minggu dalam media cair tertentu menggunakan radiolabeled nutrients.
Metode polymerase chain reaction (PCR) dari spesimen klinis digunakan
berbagai laboratorium untuk diagnosis cepat (Marcdante, et al, 2014).

C. PATOGENESIS
Ketika Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam tubuh manusia,
bakteri tersebut tidak selalu menimbulkan penyakit tetapi tergantung pada
virulensi, banyaknya basil yang masuk, dan daya tahan tubuh manusia
tersebut. Infeksi primer sebagian besar terjadi di paru dikarenakan
penularan dari orang ke orang lain pada umumnya lewat percikan udara
(respiratory droplets) yang terhirup ketika individu yang sakit batuk, bersin,
tertawa, menguap, atau bernapas. Percikan udara yang terinfeksi dapat
mengering dan menjadi droplet nuclei, yang dapat bertahan di udara selama
berjam-jam, bahkan setelah orang tersebut telah pergi selama berjam-jam.
Hanya partikel yang berdiameter kurang dari 10 μm yang dapat mencapai
alveoli dan membuat infeksi (Marchdante, et al, 2014). Basil tuberkulosis
yang masuk akan mengalami eksudasi dan konsolidasi yang terbatas
sehingga disebut fokus primer. Basil tuberkulosis akan menyebar dengan

7
cepat melalui saluran getah bening menuju kelenjar regional yang kemudian
akan mengadakan reaksi eksudasi. Fokus primer, limfangitis, dan kelenjar
getah bening regional yang membesar membentuk kompleks primer 2-10
minggu setelah infeksi.
Pada anak lesi paru biasanya terjadi di lapangan bawah paru
dibanding dengan lapangan atas. Pembesaran kelenjar regional lebih banyak
terjadi pada anak daripada orang dewasa. Pada anak penyembuhan terutama
ke arah kalsifikasi sedangkan pada orang dewasa terutama ke arah fibrosis.
Penyebaran hematogen lebih banyak terjadi pada bayi dan anak kecil.
Tuberkulosis primer akan sembuh sendiri, tetapi sebagian akan
menyebar lebih lanjut dan dapat menimbulkan komplikasi. Tuberkulosis
dapat meluas dalam jaringan paru sendiri. Selain itu basil tuberkulosis dapat
masuk ke dalam aliran darah langsung atau melalui kelenjar getah bening.
Basil tuberkulosis dalam aliran darah dapat mati, tetapi dapat pula
berkembang terus, hal ini bergantung pada daya tahan penderita dan
virulensi kuman. Melalui aliran darah, basil tuberkulosis dapat mencapai
alat tubuh lain seperti bagian paru lain, selput otak, otak, tulang, hati, ginjal,
dan lain lain. Basil tuberkulosis bisa langsung menyebabkan penyakit, bisa
tenang dulu baru menimbulkan penyakit, atau sama sekali tidak
menyebabkan penyakit.

D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis TB terbagi atas dua, yaitu manifestasi sistemik
dan manifestasi spesifik organ/lokal.
a. Manifestasi Sistemik (umum/non spesifik)
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan
tidak spesifik karena dapat disebabkan oleh bebrbagai penyakit
atau keadaan lain. Sebagian besar anak dengan TB tidak
memperlihatkan gejala dan tanda selama beberapa waktu. Sesuai
dengan sifat kuman TB yang lambat membelah, manifestasi
klinis TB umumnya berlangsung dengan cepat dan progresif.

8
Seringkali orang tua tidak dapat menyebutkan kapan gejala
muncul.
Salah satu gejala sistemik adalah terjadinya demam. Demam
biasanya tidak tinggi dan hilang timbul dalam jangka waktu yang
cukup lama. Manifestasi lainnya adalah anoreksia, berat badan
tidak naik (turun, tetap, atau naik tetapi tidak sesuai dengan
grafik tubuh), dan malaise (letih, lesu, lemah lelah).
Batuk kronik pada anak dapat timbul bila limfadenitis
regional menekan brongkus sehingga menekan brongkus
sehingga merangsang reseptor batuk.

b. Manifestasi Spesifik Organ/lokal


Kelenjar Limfe; pembesaran kelenjar limfe superfisialis
sebagai manifestasi klinis TB sering dijumpai. Secara klinis,
karakteristik kelenjar yang dijumpai biasanya multipel,
unilateral, tidak nyeri tekan, tidak hangat pada perabaan, mudah
digerakkan, dapat saling melekat satu sama lain. Perlekatan ini
disebabkan oleh inflamasi.
Susunan saraf pusat; yang sering terjadi adalah meningitis.
Gejala klinis yang terjadi berupa nyeri kepala,, penurunan
kesadaran, kaku kuduk, muntah proyektil, dan kejang. Hal ini
terjadi karena berhasilnya bakteri TB masukmke basal otak.
Bentuk TB SSP yang alain adalah tuberkuloma, yang
manifestasi klinisnya sesuai dengan lokasi lesi.
Sistem Skeletal; gejala umun pada sistem skeletal adalah
nyeri, bengkak pada sendi yang terkena, dengan gangguan atau
keterbatasan gerak. Gejala sistemik biasanya tidak terlihat. TB
sistem skeletal yang sering terjadi adalah spondilitis TB,
koksitis TB, dan Gonotis TB.
Kulit; manifestasi TB kulit dapat terjadi dengan dua cara,
yaitu inokulasi langsung (infeksi primer) seperti tubercolous

9
chancer, akibat lifadenitis TB yang pecah menjadi
skrofuloderma (TB pascaprimer). Manifestasi TB yang sering
dijumpai adalah bentuk kedua. Skrofuloderma sering ditemukan
dileher dan wajah, ditempat yang mempunyai kelenjar gatah
bening seperti daerah parotis, submandibula, supraklavikula dan
lateral leher.

E. DIAGNOSIS
Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M.
tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, CSS, cairan pleura,
atau biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti
disebabkan oleh dua hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary)
dan sulitnya pengambilan spesimen (sputum).
Panyebab pertama, yaitu jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien
anak lebih sedikit daripada dewasa, karena lokasi kerusakan jaringan TB
paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian
perifer. Selain itu, tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pasien
dewasa. BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling
sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml spesimen.
Penyebab kedua, yaitu sulitnya melakukan pengambilan
spesimen/sputum. Pada anak, karena lokasi kelainannya di parenkim yang
tidak berhubungan langsung dengan bronkus, maka produksi sputum tidak
ada/minimal dan gejala batuk juga jarang. Sputum yang representatif
untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah sputum yang kental dan
purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml, dan ini sulit
diperoleh pada anak. Walaupun batuknya berdahak, pada anak biasanya
dahak akan ditelan, sehingga diperlukan bilas lambung yang diambil dari
NGT, dan sebaiknya dilakukan oleh petugas berpengalaman. Cara ini tidak
nyaman bagi pasien.
Beberapa alasan di atas menyebabkan diagnosis TB anak terutama
didasarkan pada penemuan klinis dan radiologis, yang keduanya seringkali

10
tidak spesifik. Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis
dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, foto toraks, dan
pemeriksaan laboratorium. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB
dewasa BTA positif, uji tuberkulin positif, gejala dan tanda sugestif TB,
dan foto toraks yang mengarah pada TB (sugestif TB), merupakan dasar
untuk menyatakan anak sakit TB.
Diagnosis TB pada anak didasarkan pada kriteria lain dengan
menggunakan sistem skor.

1. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemi, suhu
demam (subfebris), badan kurus dan berat badan menurun. Tempat
kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak)
paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan
inspeksi tidak simetris, gerakan napas kiri dan kanan yang tidak sama,
palpasi fremitus kiri tidak sama dengan kanan, perkusi yang redup dan
auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas

11
tambahan berupa ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini
diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikuler
melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan
suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi
menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat
menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari
setengah jumlah jaringan paru-paru akan terjadi pengecilan daerah aliran
darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis
(hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung
kanan. Di sini akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal
jantung kanan seperti takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift,
right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras,
tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites dan edema.
Bila TB mengenai pleura sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit
terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Pada palpasi, fremitus tidak
sama dan bagian paru yang terdapat efusi pleura akan lebih lemah atau
tidak ada terdengar getaran sama sekali. Perkusi memberikan suara pekak.
Auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar
sama sekali.
2. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
Pada saat TB baru aktif akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di
bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai
sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi.
Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah
lain didapatkan juga antara lain anemia ringan dengan gambaran

12
normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium
darah menurun.
2. Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya
kuman basil tahan asam (BTA), diagnosis TB sudah dapat dipastikan.
Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi
terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Kriteria sputum BTA positif
adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada
satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml
sputum. Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam
Hok yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan
Gabbet. Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat
kuman BTA tetapi pada biakan hasilnya negatif . Ini terjadi pada fenomen
dead bacilli atau non culturable bacilli yang disebabkan keampuhan
panduan obat anti TB jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA
dalam waktu pendek.
Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dahak dilakukan dengan
menggunakan skala IUATLD (International Union Againts Tuberculosis
and Lung Diseases)
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut
negatif.
b. Ada 1 – 9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah
kuman yangditemukan.
c. Ada 1 – 99 BTA per 100 lapangan pandang, disebut + atau 1+
d.Ada 1 – 10 BTA per lapangan pandang, disebut ++ atau 2+
e.Ada > 10 BTA per lapangan pandang, disebut +++ atau 3+
Penulisan gradasi hasil bacaan penting untuk menunjukkan
keparahan penyakit, derajat penularan dan evaluasi pengobatan.
3. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Biasanya

13
dipakai tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D
(Purified Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5 T.U (intermediate
strength). Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5 T.U dapat diberikan dulu
1 atau 2 T.U (first strength). Kadang-kadang bila dengan 5 T.U masih
memberikan hasil negatif dapat diulangi dengan 250 T.U. (second
strength). Bila dengan 250 T.U masih memberikan hasil negatif berarti TB
dapat disingkirkan. Umumnya tes Mantoux dengan 5 T.U. saja sudah
cukup berarti. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seorang individu
sedang atau pernah mengalami infeksi M. Tuberculosae, M.bovis,
vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini
adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan,
akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat
limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi selular dan antigen
tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi selular dan
antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral, makin besar
pengaruh antibodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, hasil tes Mantoux ini dibagi dalam:
a. indurasi 0-5 mm (diameternya): Mantoux negatif = golongan no
sensitivity. Disini peran antibodi humoral paling menonjol.
b. Indurasi 6-9 mm: hasil meragukan = golongan low grade
sensitivity. Disini peran antibodi humoral masih menonjol.
c. Indurasi 10-15 mm: Mantoux positif = golongan normal
sensitivity. Disini peran kedua antibodi seimbang.
d. Indurasi lebih dari 15 mm: Mantoux positif kuat = golongan
hypersensitivity. Disini peran antibodi selular paling menonjol.
Biasanya hampir seluruh pasien tuberculosis memberikan reaksi
Mantoux yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini juga terdapat positif
palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium
lain. Negatif palsu lebih banyak ditemukan daripada positif palsu. Hal-hal
ini memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu) yakni:
- Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan TB

14
- Alergi, penyakit sistemik berat (sarkoidosis, LE)
- Penyakit eksantematous dengan panas yang akut: morbili, cacar air,
poliomielitis.
- Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular
(Hodgkin)
- Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obat
imunosupresi lainnya.
- Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan.
Untuk penderita dengan HIV positif, test Mantoux ± 5 mm, dinilai
positif.
4. Serologi
Pemeriksaan Serologi, dengan berbagai metoda antara lain:
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi
respon humoral berupa proses antigen – antibodi yang terjadi.
b. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang
direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini
kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, bila di dalam serum
tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai
yang sesuai dengan aktivitas penyakit maka akan timbul perubahan warna
pada sisir yang dapat dideteksi dengan
mudah.
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi
serologi yang terjadi.

15
F. DIAGNOSIS BANDING
1. Pneumonia
2. Keganasan
3. Penyakit yang disertai limfadenofati generalisata

G. KOMPLIKASI
Sebagian besar komplikasi tuberkulosis primer terjadi dalam 12
bulan setelah terjadinya penyakit.
• Penyebaran hematogen atau milier dan meningitis biasanya terjadi
dalam 3-4 bulan.
• Efusi pleura dapat terjadi 6-12 bulan setelah terbentuknya kompleks
primer, kalau disebabkan oleh penyebaran hematogen dapat terjadi
lebih cepat.
• Komplikasi pada tulang dan kelenjar getah bening superficial dapat
terjadi akibat penyebaran hematogen hingga dapat terjadi dalam 6
bulan setelah terbentuknya kompleks primer, tetapi komplikasi ini
dapat juga terjadi setelah 6-18 bulan.
• Komplikasi pada traktus urogenitalis dapat terjadi setelah bertahun-
tahun.

16
• Pleuritis dan penyebaran bronkogen dalam 6 bulan dan tuberkulosis
tulang dalam 1-5 tahun setelah terbentuknya kompleks primer.
Pembesaran kelenjar getah bening yang terkena infeksi dapat
menyebabkan atelektasis karena menekan bronkus hingga tampak sebagai
perselubungan segmen atau lobus, sering lobus tengah paru kanan, dapat
juga menembus bronkus kemudian pecah dan menyebabkan penyebaran
bronkogen. Atelektasis juga dapat terjadi karena konstriksi bronkus pada
tuberkulosis dinding bronkus, tuberkuloma dalam lapisan otot bronkus atau
sumbatan oleh gumpalan keju dalam lumen bronkus.
H. PENATALAKSANAAN DAN PENCEGAHAN
Ditentukan berdasarkan 2 pertimbangan bakteriologis:
1. Adanya mutan yang resisten terhadap obat. Diduga mutan yang
resisten terjadi dengan kecepatan 1 x 10-6 terhadap 1 obat dan 1
x 10-12 terhadap tiap obat jika dipakai 2 obat dan ini dapat
diabaikan. Populasi yang paling banyak basil tuberkulosis pada
infeksi manusia adalah di dalam kavitas aktif yang tidak pernah
melebihi 1 x 10-9. Jadi dengan pemakaian 2 obat atau lebih dapat
dicegah terjadinya resistensi yang berarti. Kalau tidak ada
masalah resistensi terhadap rifampisin dan INH, maka
pemberian kombinasi INH dan rifampisin dikatakan cukup
brhasil dalam 9 bulan.
2. Adanya basil tuberkulosis yang hidup karena pertumbuhannya
yang lambat dan intermitten. Hal ini biasanya dapat
ditanggulangi dengan memperpanang masa pengobatan sampai
18 bulan atau lebih.
Dalam tubuh seorang penderita dengan tuberkulosis aktif, diduga
terdapat 3 macam populasi basil tuberkulosis yang masih dapat diobati :
a. Sebagian besar basil yang berkembang aktif dan terdapat
ekstraseluler. Basil ini cepat resisten dan memerlukan
sedikitnya 2 obat bakterisid.

17
b. Basil yang tumbuh lambat atau intermitten dan terdapat di
dalam makrofag dengan pH asam.
c. Basil yang tumbuh lambat atau intermitten dalam daerah
kaseosa dengan pH netral.
Obat-obatan bakterisid:
- Rifampisin
o bekerja bakterisidal terhadap ketiga jenis populasi basil
o dosis 10-15 mg/kgBB/hari diberikan sekali sehari
peroral pada saat lambung kosong
o diberikan selama 6-9 bulan
- INH (isoniazid)
o bekerja bakterisidal terhadap basil yang berkembang
aktif ekstraseluler dan basil dalam makrofag
o dosis 10-20 mg/kgBB/hari peroral
o diberikan selama 18-24 bulan
- Streptomisin
o Bekerja bakterisidal terhadap basil yang berkembang
aktif ekstraseluler
o Dosis 30-50 mg/kgBB/hari dengan maksimum 750
mg/hari diberikan secara i.m
o Diberikan tiap hari selama 1-3 bulan, dilanjutkan 2-3x
seminggu selama 1-3 bulan
- Pirazinamid
o Bekerja bakterisidal terhadap basil intraseluler
o Dosis 30-35 mg/kgBB/hari peroral 2x sehari
o Diberikan selama 4-6 bulan
- Etambutol
o Belum jelas apakah bekerja bakterisidal atau
bakteriostatik
o Dosis 20 mg/kgBB/hari peroral pada waktu
lambung kosong 1x sehari

18
o Lama pemberian 1 tahun
Kombinasi obat tuberkulostatikum apa yang hendak digunakan
tergantung pada berat ringannya penyakit, obat yang tersedia dan
kemampuan penderita. Obat- obat Tbc mempunyai beberapa efek samping
yang perlu diperhatikan, diantaranya hepatoxic pada semua jenis OAT,
sedangkan yang spesifik menimbulkan efek samping adalah Etambutol
yaitu Neoritis Optika, sehingga pada anak-anak obat ini tidak dianjurkan.
Kortikosteroid dengan sifat imunosupresif diberikan sebagai
antiflogistik dan ajuvan, bersama-sama dengan obat anti-tuberkulosis yang
masih sensitif. Dalam bentuk kortison dengan dosis 10-15 mg/kgBB/hari,
dalam bentuk prednison dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari. Disamping itu,
kortikosteroid diberikan pada :
 Tuberkulosis milier
 Meningitis serosa tuberkulosa
 Pleuritis eksudativa tuberkulosa
 Penyebaran bronkogen
 Atelektasis (perselubungan segmen atau lobus)
 Tuberkulosis berat atau KU berat
Pemberian kortikosteroid kurang dari 3 bulan akan menyebabkan
rebound pnemomenon. Dikatakan pula bahwa kortikosteroid tidak oleh
diberikan pada anak berumur kurang dari 6 bulan dengan tuberkulosis
milier disertai distres pernafasan, karena bahaya terjadinya buta atau
pneumotoraks. Pada limfadenopati mediastinum soliter pemberian
kortokosteroid tidak ada gunanya bahkan mungkin berbahaya karena
mungkin terjadi perforasi endobronkial dan obstruksi.
Prinsip dasar pemberian obat anti tuberkulosis (OAT) adalah
minimal 2 macam obat dan diberikan dalam waktu relatif lama (6-12
bulan). Pengobatan TB dalam 2 fase, yaitu fase intensif (2 bulan pertama)
dan sisanya sebagai fase lanjutan. OAT diberikan setiap hari, ukan 3 kali
dalam seminggu. Sususnan paduan OAT pada anak adalah 2HRZ/4HR,
yaitu fase intensif terdirir dari Rifampisin, INH, dan Pirazinamid diberikan

19
setiap hari selaa 2 bulan (2RHZ), dan fase lanjutan terdiri dari INH dan
Rifampisisn diberikan setiap hari selama 4 bulan (4HR).
Obat Antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya.
Dosis
Dosis harian maksimal
Nama Obat Efek Samping
(mg/kgBB/hari) (mg per
hari)
Isoniazid 5-15 300 Hepatitis, neuritis perfifer,
hiperensitivitis
Rifampisin 0-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit,
hepatitis, trombositopenis,
peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye
kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hepar, artralgia,
gastrointestinal
Etambutol 15-40 1250 Neuritis optik, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah
hijau, hipesensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksik, nefrotoksik

 Bila INH dikombinasi dengan rifampisin, dosisnyta tidak


boleh melebihi 10 mg/kg BB/ hari.
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan
OAT lain karena dapat menganggu bioavaibilitas rifampisin.
FIXED DOSE COMBINATION (FDC)
Salah d=satu masalah dalam terapi TB adalah kepatuhan pasien
dalam menjalani pengobatan yang relatif lama denan jumlah obat yang
banyak. Untuk mengatasi hal tersebut maka dibuat suatusediaan obat

20
kombinasi dalam dosis yang telah ditentukan (FDC; Fixed Dose
Combination).
Keuntungan menggunakan FDC dalam pengobatan Tb adalah
sebagai berikut:
- Menyederhanakan pengobatan dan pegurangan kesalahan
penulisan resep.
- Meningkatkan penerimaan dan keptuhan pasien,
memungkinkan petugas kesehatan memberikan pengobatan
standart dengan tepat.
- Mempermudah pengelolaan obat (mempermudah proses
pengadaan, penyimpanan, dan distribusi obat pada setiap
tingkatan pengelola progran pemberantasan TB).
- Mengurangi kesalahn penggunaan obat TB (monoterapi)
sehingga mengurangi resistensi terhadap obat TB.
- Paduan FDC mengurangi kemungkinan kegagalan
pengobatan dan terjadinya kekambuhan.
- Pengawasan minum obat menjadi lebih cepat dan mudah,
sehingga dapat mengurangi beban kerja.
- Mempermudah penentuan dosis berdasarkan berat badan.

UKK Pulmonologi PP IDAI membuat rumusan tentang FDC pada


anak. Dosis kombinasi pada anak:
Berat Badan (kg) 2 bulan RHZ (75/50/150 mg) 4 bulan RH (75/50 mg)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-19 2 tablet 2 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet

Catatan:
Bila BB > 33 kg dosis disesuaikan dengan tabel (perhatikan dosis
maksimal).
1. Bila BB < 5 kg sebaiknya dirujuk ke RS,

21
2. Obat harus diberikan secara utuh ( tidak boleh dibelah ).

EVALUASI HASIL PENGOBATAN


Evaluasi pengobatan dilakukan setelah 2 bulan. Pentingnya evaluasi
pengobatan adalah karena diagnosis TB pada anak yang sulit, tidak jarang
terjadi salah diagnosis. Apabila respons pengobatan baik yaitu gejala
klinisnya hilang dan terjadi penambahan berat badan, maka pengobatan
dilanjutkan. Apabila respons setelah 2 bulan kurang baik yaitu gejala
masih ada, tidak terjadi penambahan berat badan, maka OAT tetap
diberikan dengan tambahan merujuk ke sarana lebih tinggi atau konsultan
paru anak. Kemungkinan yang terjadi adalah midiagnosis, mistreatment,
ataua resisten terhadap OAT.
Apabila setelah pengobatan 6-12 bulan terdapat perbaikan klinis
seperti berat badan meningkat, nafsu makan membaik, dan gejala-gejala
lainnya menghilang, m,aka pengobatan dapat dihentikan. Apabila pada
saat diagnosis terdapat kelainan gambaran radiologis, maka dianjurkan
pemeriksaan radiologis ulang.
Evaluasi juga dilakukan terhadap efek samping obat. Efek samping
yang cukup sering terjadi pada pemberian INH dan Rifampisin adalah
gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam, dan gatal, serta demam.
Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOT/SGPT hingga 5 kali
normal, peningkatan bilirubin total . 1,5 mg/dl, serta peningkatan
SGOT/SGPT dengan nilai berapapun yang disertai anoreksia, nausea,
muntah, dan ikterus.

EFEK SAMPING OAT DAN PENATALAKSANAANNYA


Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat
dengan pendekatan gejala.

22
Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
• Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui,
maka pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging”
dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan
obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.

23
• Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi
hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya,
semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan
prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang
dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas
karena reaksi hipersensitivitas.
• Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah
diketahui, misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka
pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila
mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan
mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko
terjadinya kambuh.
• Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas
(kepekaan) terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan
jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling
penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi
hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV negatif,
mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan
desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko
besar terjadi keracunan yang berat.

Pemeriksaan Radiologis
Pada anak dengan uji tuberculin positif dilakukan pemeriksaan
radiologis. Secara rutin dilakukan foto rontgen paru dan atas indikasi juga
dibuat foto rontgen alat tubuh lain, misalnya foto tulang punggung pada
spondilitis. Gambaran radiologis paru yang sering dijumpai pada
tuberculosis paru, seperti :
1) Kompleks primer dengan atau tanpa perkapuran.
2) Pembesaran kelenjar paratrakeal.
3) Penyebaran milier.
4) Penyebaran bronkogen.

24
5) Atelektasis.
6) Pleuritis dengan efusi.
Pemeriksaan radiologis paru saja tidak dapat digunakan untuk
membuat diagnosis tuberculosis, tetapi harus disertai data klinis lainnya.

Pemeriksaan Bakteriologis
Penemuan basil tuberculosis memastikan diagnosis tuberculosis,
tetapi tidak ditemukannya basil tuberculosis bukan berarti tidak menderita
tuberculosis. Bahan - bahan yang digunakan untuk pemeriksaan
bakteriologis ialah :
1) Bilasan lambung.
2) Sekret bronkus.
3) Sputum pada anak besar.
4) Cairan pleura.
5) Likuor cerebrospinal.
6) Cairan asites.
7) Bahan-bahan lainnya.
Di Negara yang telah maju dengan sarana laboraotrium yang baik,
basil tuberculosis dapat ditemukan sebesar 50-90% dari anak dengan
tuberculosis. Pada umumnya hanya dapat ditemukan 25-30% saja. Di
Jakarta pada tahun 1956-1960 pemeriksaan bilasan lambung pada 204
anak dengan meningitis tuberkulosa menghasilkan basil tuberculosis
positif pada 27 anak (13%) dan ada pemeriksaan likuor serebrospinalisnya
hanya ditemukan 38 anak (18,5%).

Pemeriksaan Patologi Anatomi


Pemeriksaan patologi anatomi tidak dilakukan secara rutin.
Biasanya diperiksa kelenjar getah bening, hepar, pleura, peritoneum, kulit,
dan lain lain. Pada pemeriksaan biasanya ditemukan tuberkel dan basil
tahan asam.
 Pemeriksaan lanjutan :

25
• Chest X rays : 2 / 6 bulan (pada indikasi)
• darah : BSR
• Tuberculin test : sekali positif, tidak perlu diulang

Pencegahan
1. Vaksinasi BCG
Pemberian BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi
oleh basil tuberlulosis yang virulen. Imunitas timbul 6-8minggu setelah
pemberian BCG. Imunitas yang terjadi tidaklah lengkap sehingga masih
mungkin terjadi superinfeksi meskipun biasanya tidak progresif dan
menimbulkan komplikasi yang berat.
2. Kemoprofilaksis
Sebagai kemoprofilaksi biasanya dipakai INH dengan dosis
10mg/kgbb/hari selama 1 tahun. Kemoprofilaksi primer diberikan untuk
mencegah terjadinya infeksi pada anak dengan kontak tuberkulosis dan uji
tuberkulin masih negatif yang berarti masih negatif yang berarti belum
terkena atau masih dalam inkubasi.
Kemoprofilaksi Sekunder diberikan unuk mencegah
berkembangnya infeksi menjadi penyakit, misalnya pada anak berumur
kurang dari 5 tahun dengan uji tuberkulin positif tanpa kelainan radiologis
paru dan anak dengan konversi uji tuberkulin tan kelainan radiologis paru.
Selain itu juga diberikan pada anak dengan uji tuberkulin posistif tanpa
kelainan radiologis paru yang telah sembuh dari tuberkolosis tetapi
mendapat pengobatan dengan kortikosteroid yang lama.

LO 2 ASMA
A. EPIDEMIOLOGI
Kira-kira 2-20% populasi anak dilaporkan pernah menderita
asma.Belum ada penyelidikanmenyeluruh mengenai angka kejadian asma
pada anak Indonesia,namun diperkirakan berkisar antara 5-10%.Dilaporkan
di beberapa Negara angka kejadian asma meningkat,misalnya

26
jepang,Melbouerne dan Taiwan.Dipoliklinik subbagian paru anak FKUI-
RSCM Jakarta,lebih dari 50% kumjungan merupakan penderita
asma.Jumlah kunjungan di poliklinik subbagian paru anak berkisar
antara12000-13000 atau rata-rata 12.324 kunjungan pertahun.Pada tahun
1985 yang mampu mendapat perawatan karena serangan asma yang berat
ada 5 anak,2 anak diantaranya adalah pasien polilinik paru.Sedang yang
lainnya dikirim oleh dokter luar.Tahun 1986 hanya terdapat 1 anak dan pada
tahun 1987 terdapat 1 anak yang dirawat karena serangan asma yang berat.

B. ETIOLOGI
Penyebab asma masih belum jelas. Diduga yang memegang peranan
utama ialah reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus (hiperaktivitas
bronkus). Hipperaktivitas bronkus itu belum diketahui dengan jelas
penyebabnya. Diduga karena adanya hambatan sebagian sistem adenergik,
kurangnnya enzim adenilsiklase dan meningginya tonus sistem
parasimpatik. Keadaan demikian menyebabkan mudah terjadinya kelebihan
tonus parasimpatik kalau ada rangsangan sehingga terjadi spasme bronkus.
Banyak faktor yang turut menentukan derajat reaktivitas atau iritabilitas
tersebut. Faktor genetik, biokimiawi, saraf otonom, imunologis, infeksi,
endokrin, psikologis dan lingkungan lainnya, dapat turut serta dalam proses
terjadinya manifestasi asma. Karena itu asma disebut penyakit
multifaktorial.

C. PATOGENESIS
Allergen yang masuk ke dalam tubuh merangsang sel plasma yang
menghasilkan IgE yang selanjutnya menempel ke dinding sel mast. Sel
mast ini isebut sel mast tersensitisasi.
Bila allergen serupa masuk ke dalam tubuh, allergen tersebut akan
menempel pada sel mas tersensitisasi yang kemudian mengalami
degranulasi dan mengeluarkan sejumlah mediator seperti histamine,
leukotrin, factor pengaktivasi platelet, bradikinin, dan lain – lain. Mediator

27
ini menyebabkan permeabilitas kapiler sehingga muncul edema,
peningkatan produksi mucus dan kontraksi otot polos secara langsung atau
melalui persarafan simpatis.
Salah satu sel yang memegang peranan penting dalam kasus asma
adalah sel mast. Sel mast dapat terangsang oleh beberapa pencetus
misalnya alergen, infeksi, exercise dan lain – lain.
Misalnya alergen sebagai pencetus. Alergen yang masuk ke dalam
tubuh merangsang sel plasma atau sel pembentuk antibodi lainnya untuk
menghasilkan antibodi reagenik yang disebut imunoglobulin E (IgE).
Selanjutnya IgE menempel pada reseptor yang sesuai pada dinding sel
mast. Sel mast ini disebut sel mast tersensitisasi. Apabila alergen yang
serupa masuk kedalam tubuh, alergen tersebut akan menempel pada sel
mast tersensitisasi, kemudian terjadi degradasi dinding dan degranulasi sel
mast, sehingga mengeluarkan mediator – mediator misalnya histamin,
slow reacting substance of anaphylaxis,(SRS-A), yang dikenal sebagai
lekotrin, eoxinophyl chemotactic of anaphylaxis (ECF-A), bradikinin,
enzim – enzim dan peroksidase.
Mediator yang dilepaskan oeh sel mast akan membuka ikatan antar
sel epitel mukosa, sehingga alergen dapat lebih masuk sampai sel mast sub
mukosa. Sel mast submukosa mengeluarkan mediator sehingga jumlah
mediator yang berada di lingkungan itu makin banyak. Mediator dapat
langsung bereaksi dengan reseptor di mukosa bronkus sehingga
menurunkan siklik AMP kemudian terjadi bronkokonstriksi.
Mediator yang dilepaskan sel mast mengakibatkan :
1. Peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga terjadi edema.
2. Peningkatan produksi mukus
3. Kontraksi otot polos secara langsung atau melalui
persarafan nervus vagus.
Sel mast melepaskan faktor kemotaksis (mediator) yang menarik
neutrofil dan eusinofil. Mediator yang dikeluarkan basofil akan menarik
neutrofil dan eusinofil. Histamin mengakibatkan kontraksi otot polos,

28
udem mukosa, inflamasi dan sekresi mukus, MBP (Major basic protein)
yang dikeluarkan oleh eusinofil bersifat merusak sel – sel epitel. Akibat
kerusakan epitel, maka faktor relaksasi yang terdapat dalam epitel akan
berkurang / hilang, sehingga lebih memudahkan kontraksi otot polos.

D. DIAGNOSIS

E. DIAGNOSIS BANDING

29
Mengi dan dispneu ekspiratoir dapat terjadi pada macam-macam
keadaan yang menyebabkan obstruksi pada saluran nafas
1. Pada bayi adanya korpus aleinum disaluran nafas dan
esophagus atau kelenjar timus yang menekan trakea.
2. Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan
bronkiektasis atau fibrosis kistik.
3. Bronkiolitis akut, biasanya mengenai anak dibawah umur 2
tahun dan terbanyak dibawah unur 6 bulan dan jarang
berulang.
4. Bronchitis.

F. KOMPLIKASI
Bila serangan asma sering terjadi dan berlangsung lama  emfisema
dan mengakitakan perubaha dinding toraks  toraks membungkus kedepan
dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma rendah,
gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah.
Pada asma kronik dan berta  bentuk dada burung dan tampak sulkus
harrison. Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat
 atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Mediastinum tertarik ke arah
atelektasis, bila atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi
bronkiektasis dan bila ada infeksi akan terjadi bronkopneumonia.

G. PENATALAKSANAAN
Penting untuk dilakukan pendidikan terhadap anak dan orang tua
mengenai pengenalan akan asma. Sehingga diharapkan keluarga dan anak
yang menderita asma dapat :
1. Mencegah serangan asma dengan membuat lingkungan
seserasi mungkin terhadap anak.
2. Selalu sedia obat asma yang menurut pengalaman serangan
yang lalu masih efektif.
3. Mengetahui tanda – tanda serangan asma.

30
4. Mengetahui kapan harus konsultasi ke dokter atau ke rumah
sakit.
5. Menjaga kesehatan umum anak yang asma
6. Membina suasana keluarga agar dapat memberi pengaruh
yang positif bagi kehidupan keluarga pada umumnya dan
pada anak asma khususnya.

Pengobatan
1. Agonis adrenergik
Agonis adrenergik adalah obat terbaik untuk meredakan
serangan asma yang tiba – tiba pada anak – anak, juga dapat
mencegah asma yang disebabkan oleh olah raga.
 Agonis β2 kerja singkat, yaitu salbutamol, fenoterol,
tulobuterol.
 Agonis β2 kerja lama, yaitu bambuterol, formoterol,
salmeterol.
2. Antikolinergik
Antikolinergik terutama menghambat kerja asetilkolin
yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran nafas dan
peningkatan produksi mukus secara berlebih dalam bronkus.
Obat ini lebih efektif bila dikombinasikan dengan agonis β2.
Contoh antikolinergik adalah ipratropium bromide,
noscapine, dan oxitropium.
3. Antihistamin.
Digunakan pada asma yang dicetuskan oleh alergen. Contoh
obat ini adalah ketotifen dan oxatomide.
4. Preparat inhalasi dengan kandungan kortikosteroid
Obat ini menghambat reaksi inflamasi, dan bila digunakan
dalam jangka waktu yang lama, obat – obatan ini akan
mengurangi sensitivitas jalan napas terhadap rangsangan.
5. Kromon

31
Obat ini terutama digunakan sebagai terapi profilaksis asma
bronkial dengan menghambat sel mast. Contoh obat ini
cromolyn sodium, dan nedocromil.

Tata laksana
Serangan asma ringan
- Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respon yang
baik (complete response), berarti derajat serangannya ringan
- Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respon tersebut bertahan,
pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat β-agonis (hirupan
atau oral) yang harus diberikan tiap 4-6 jam
- Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat
ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari)
- Pasien kemudian dianjurkan control ke klinik rawat jalan dalam
waktu 24-48 jam (2-3 hari setelah pulang) untuk evaluasi ulang
tata laksana
- Jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali,
obat tersebut diteruskan hingga evaluasi ulang yang dilakukan di
klinik rawat jalan.
- Jika setelah observasi 1-2 jam di atas gejala timbul kembali,
pasien diperlakukan sebagai serangan asma sedang.
Serangan asma sedang
- Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien hanya
menunjukkan respon parsial (incomplete response),
kemungkinan derajat serangannya sedang. Untuk itu derajat
serangan harus dinilai ulang sesuai pedoman
- Jika serangannya memang termasuk serangan sedang, pasien
perlu diobservasi dan ditangani di ruang rawat sehari (RRS).
Pada serangan asma sedang diberikan kortikosteroid sistemik
(oral) seperti metilprednisolon dengan dosis 0.5-1 mg/kgBB/hari
selama 3-5 hari
- Walaupun belum tentu diperlukan, untuk persiapan keadaan
darurat, pasien yang akan diobservasi di RRS langsung dipasang

32
jalur parenteral sejak di unit gawat darurat – sebagai ”jaga-jaga”.
Serangan asma berat
- Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak
menunjukkan respon (poor response), yaitu gejala dan tanda
serangan masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman), pasien
harus dirawat di ruang rawat inap
- Oksigen 2-4L/menit diberikan sejak awal termasuk saat
nebulisasi
- Kemudian dipasang jalur parenteral (infus) untuk mengatasi
dehidrasi dan asidosis dan dilakukan foto toraks
- Bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas,
pasien harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pada
pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, foto
toraks harus langsung dibuat untuk mendeteksi komplikasi
pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum
- Steroid i.v diberikan secara bolus tiap 6-8 jam. Dosis steroid i.v
0.5-1 mg/kgBB/hari
- Nebulisasi β-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan
tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi
perbaikan klinis, jarak pemberian bisa diperlebar menjadi tiap 4-
6 jam
- Aminofilin diberikan secara i.v dengan ketentuan:
- Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan
aminofilin dosis awal sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam
dekstrosa 5% atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan
dalam 20-30 menit
- Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari
4 jam), dosis yang diberikan adalah setengah dosis inisial
- Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan
dipertahankan sebesar 10-20 mcg/ml
- Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0.5-1
mg/kgBB/jam

- Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6

33
jam, sampai dengan 24 jam
- Steroid dan aminofilin diganti dengan pemberian per oral
- Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan
dengan dibekali obat β-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan
tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu, steroid oral dilanjutkan
hingga pasien control ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam
untuk evaluasi ulang tata laksana
- Ancaan henti napas; hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah
diberi oksigen (kadar PaO2 < 60 mmHg dan/atau PaCO2 > 45
mmHg). Pada ancaman henti napas diperlukan ventilasi
mekanik.

34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan dari pembahasan pada bab-bab terdahulu
antara lain bahwa deteksi dini dan terapi yang adekuat merupakan langkah
promotif terpadu Tuberculosis pada anak. Sampai saat ini, imunisasi BCG
masih dilakukan karena dianggap paling efektif.
Untuk langkah diagnostik, anamnesis yang kritis mesti dilakukan demi
tercapainya diagnosis pasti penyakit pada anak agar tepat terapi. Perlu
ditanyakan adanya batuk, kontak dengan penderita TB, demam, dan nafsu
makan sebagai langkah awal anamnesis sebelum dilakukan pemeriksaaan fisis
dan penunjang. Dan pada pemeriksaaan fisis serta penunjang akan diketahui
bahwa pasien menderita TB atau bukan meski pemeriksaan tersebut bukan
langkah pasti diagnosis TB.
Monitoring perlu dilakukan sebagai penilaian terhadap diagnosis yang
diambil. Respon klinis yang baik terhadap terapi mempunyai nilai diagnostik.
Respon yang baik dapat dilihat dari perbaikan semua keluhan awal dan keadaan
umum pasien. Respon nyata biasa terjadi dalam 2 bulan awal pada fase intensif.
Evaluasi radiologis dilakukan pada akhir pengobatan.
Begitu juga dengan halnya Asma, asma pada anak yg segera di
diagnostik dan di beri penatalaksanaan segera serta tepat akan mebuat prognosis
yang lebih baik.

3.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan adalah hendaknya mahasiswa lebih
aktif lagi mencari referensi atau bahan, apapun bentuknya demi menambah
wawasan dan informasi teranyar. Mengingat dan mengerjakan hal-hal yang
ditanyakan balik oleh tutor maupun dokter yang memberikan materi. Selain itu,
dapat lebih aktif dalam kegiatan pleno, tidak hanya untuk kelompok kami, tetapi
juga untuk teman-teman kelompok lain.

35

Anda mungkin juga menyukai