Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem saraf perifer terdiri dari saraf – saraf kranial (kecuali nervus olfaktorius
dan optikus), saraf-saraf yang berasal dari medulla spinalis (radiks, rami, trunkus,
pleksus, maupun saraf perifer itu sendiri, seperti saraf medianus dan tibialis), dan
komponen-komponen dari system saraf otonom di perifer. Gangguan pada system
saraf perifer dapat dikelompokkan dalam satu entitas, yaitu Neuropati.

Kerusakan saraf perifer dialami oleh 2,4% populasi di dunia. Prevalensi ini
akan meningkat 8% seiring bertambahnya usia. Penyebab polineuropati yang paling
sering dijumpai adalah polineuropati sensorimotor diabetik, dimana 66% penderita
DM tipe 1 dan 59% penderita DM tipe 2 mengalami polineuropati.

Neuropati sendiri dapat di klasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu


mononeuropati, polineuropati, dan radikulopati. Sedangkan berdasarkan etiologi
Metabolik, Nutrisional, Toksik, Trauma, infeksi, autoimun, dan genetik.

Sasaran pengobatan neuropati perifer adalah mengontrol penyakit yang


mendasarinya dan menghilangkan gejala (simptomatis). Yang pertama dilakukan
adalah menghentikan penggunaan obat-obatan atau bahan yang menjadi pencetus,
memperbaiki gizi (pada defisiensi vitamin neurotropik), dan mengobati penyakit
yang mendasarinya (seperti pemberian kortikosteroid pada immune-
mediatedneuropathy).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi
Neuropati merupakan proses patologi yang mengenai susunan saraf perifer,
berupa proses demielinisasi atau degenerasi aksonal atau kedua-duanya. Sususan saraf
perifer mencakup saraf kranial (kecuali N. opticus dan N. olfaktorius), saraf spinal
dengan akar saraf serta cabang-cabangnya, saraf tepi dan bagian-bagian tepi dari
susunan saraf otonom.
Saraf perifer yang terkena meliputi semua akar saraf spinalis, sel ganglion radiks
dorsalis, semua saraf perifer dengan semua cabang terminalnya, susunan saraf otonom,
dan nervus cranialis kecuali opticus dan olfaktorius.

Adapun etiologi dari neuropati adalah sebagai berikut:


1. Metabolik : Diabetes, penyakit ginjal, porfiria
2. Nutrisional : Defisiensi B1, B6, B12 dan asam folat. Defisiensi tiamin, asam
nikotinat dan asam pentotenat mempengaruhi metabolisme neuronal dengan menghalangi
oksidasi glukosa. Defisiensi ini dapat terjadi pada kasus malnutrisi, muntah-muntah,
kebutuhan meningkat seperti pada masa kehamilan, atau pada alkoholisme.
3. Toksik (bahan metal dan obat-obatan) : Arsenik, merkuri, kloramfenikol dan
metronidazol, karbamazepin, phenytoin. Timah dan logam berat akan menghambat
aktivasi enzim dalam proses aktifitas oksidasi glukosa sehingga mengakibatkan neuropati
yang sulit dibedakan dengan defisiensi vitamin B.
4. Keganasan
5. Trauma : neuropati jebakan
6. Infeksi-inflamasi : Lepra, Difteri
7. Autoimun : immune-mediated demyelinating disorders
8. Genetik
2.2 Epidemiologi
Neuropati merupakan suatu penyakit saraf yang sering ditemukan di klinik.
Penyakit ini mengenai semua umur, terbanyak pada usia remaja dan pertengahan dan
laki-laki relatif lebih banyak daripada wanita.
Kerusakan saraf perifer dialami oleh 2,4% populasi di dunia. Prevalensi ini
akan meningkat 8% seiring bertambahnya usia. Penyebab polineuropati yang paling
sering dijumpai adalah polineuropati sensorimotor diabetik, dimana 66% penderita DM
tipe 1 dan 59% penderita DM tipe 2 mengalami polineuropati. Sedangkan polineuropati
genetic yang paling sering adalah akibat Charcot-Marie-Tooth type 1a, dimana 30 dari
100.000 populasi mengalaminya. Mononeuropati terbanyak disebabkan oleh carpal
tunnel syndrome yang prevalensinya 3% - 5% dari populasi orang dewasa.
2.3 Klasifikasi
Polineuropati
Lesi utama pada polineuropati adalah pada neuron sehingga bisa juga disebut
neuronopati. Gejala yang mula-mula mencolok adalah pada ujung saraf yang terpajang.
Disini didapatkan degenerasi aksonal, sehingga penyembuhan dapat terjadi jika ada
regenerasi aksonal. Proses disini lambat dan sering tidak semua saraf terkena lesi
tersebut. Gangguan bersifat simetris pada kedua sisi. Tungkai lebih dulu menderita
dibanding lengan. Gangguan sensorik berupa parastesia, disestesia, dan perasaan baal
pada ujung jari kaki yang dapat menyebar kearah proksimal sesuai dengan penyebaran
saraf tepi, ini disebut sebagai gangguan sensorik dengan pola kaus kaki. Kadang
parastesia dapat berupa perasaan yang aneh yang tidak menyenangkan, rasa terbakar.
Nyeri pada otot dan sepanjang perjalanan saraf tepi jarang dijumpai.
Kelemahan otot awalnya dijumpai pada bagian distal kemudian menyebar kearah
proksimal. Atrofi otot, hipotoni dan menurunnya reflex tendon dapat dijumpai pada fase
dini, sebelum kelemahan otot dijumpai. Saraf otonom dapat juga terkena sehingga
menyebabkan gangguan tropik pada kulit dan hilangnya keringat serta gangguan
vaskuler prifer yang dapat menyebabkan hipotensi postural.
CSF biasanya normal. Proses patologik pada sistem motorik dan sensorik dapat
mengalami gangguan yang tidak sama beratnya. Tidak jarang satu fungsi masih normal
sedangkan yang lain mengalami gangguan berat. Biasanya neuropati jenis ini
disebabkan oleh penyakit defisiensi, gangguan metabolisme dan intoksikasi.

Radikulopati
Lesi utama yaitu pada radiks bagian proksimal, sebelum masuk ke foramen
intervertebralis. Pada kasus ini dijumpai proses demielinisasi yang disertai degenerasi
aksonal sekunder. Demielinisasi diduga sebagai akibat reaksi alergi.
Reaksi serupa dapat dijumpai pada binatang percobaan dengan memberikan
imunisasi lanjutan jaringan saraf. Pada manusia dijumpai pada neuritis difteria dan
Guillian-Barre syndrome. Oleh karena lesi terjadi disekitar ruangan subarakhnoid maka
akan terjadi reaksi pada CSF yang disebut sebagai disosiasi sitoalbumin, dimana protein
meningkat dan sedikit perubahan pada jumlah sel.
Gangguan sensorik sangat bervariasi, kadang-kadang berupa gangguan segmental,
pola kaus kaki dan juga dapat normal tanpa kelainan. Kelemahan otot dapat terjadi pada
bagian proksimal maupun distal pada tungkai. Atrofi tidak begitu nyata dibandingkan
pada poli neuropati. Refleks-refleks dapat menurun sampai menghilang.

Mononeuropati
Pada mononeuropati terjadi lesi perifer lokal yang disebabkan oleh infeksi,
kompresi, atau iskemik pada satu saraf. Gangguan motorik maupun sensorik hanya
terbatas pada satu saraf yang terkena. Lesi pada berbagai saraf perifer yang bersifat
simetris yang disebut mononeuropati multipleks sebagai komplikasi penyakit kolagen.

2.4 Patofisiologi
Sistem persarafan terdiri dari neuron dan nerologia yang tersusun membentuk
system saraf pusat dan perifer. Sistem saraf pusat itu dibagi menjadi otak dan medulla
spinalis sedangkan system saraf tepi merupakan system saraf diluar system saraf pusat
yang membawa pesan dan system saraf tepi/perifer adalah perpanjangan medulla
spinalis disebut system saraf spinal.

Sistem saraf cranial terbagi menjadi 12 saraf dan system saraf spinal 3 saraf di tiap saraf
tersebut terdapat saraf motorik, sensorik, maupun otonom.
1. Saraf motorik adalah saraf yang membawa pesan dari otak ke tubuh dan
bertanggung jawab terhadap kemampuan bergerak dari bagian tubuh seperti tangan
dan kaki
2. Saraf sensorik adalah saraf yang membawa informasi dari organ (contoh: kulit) ke
system saraf pusat dan diproses dalam bentuk sensasi, contohnya: rasa raba,
perubahan suhu, dan vibrasi.
3. Saraf otonom adalah seperti detak jantung, tekanan darah, pernafasan, pencernaan,
dan fungsi kandung kemih

Potensial aksi yang terbentuk di salah satu jenis organ reseptor dihantarkan kea rah
sentral disepanjang serabut aferen, yang merupakan penonjolan perifer neuron
somatosik pertama yang badan sel nya terletak di ganglion radikal dorsalis.
Serabut aferen dari area tubuh tertentu berjalan bersamaan disusunan saraf tepi, saraf
tersebut tidak hanya mengandung serabut untuk sensasi superficial dan dalam serabut
aferen somatik, tetapi juga serabut aferen otot lurik (serabut eferen somatik) dan serabut
yang mensarafi organ dalam, kelenjar keringat, dan otot polos pembuluh darah (serabut
aferen visceral dan serabut eferen visceral)
Serabut atau akson semua jenis bergabung bersama di dalam rangkaian selubung
jaringan ikat (endononium, perinokornium, dan epinorium) untuk membentuk kabel
saraf prenorium juga mengandung pembuluh darah yang menyuplai saraf (vasa
nervosum).
Secara umum neuropati perifer terjadi akibat 3 proses patologi yaitu degenerasi
wallerian, degenerasi aksonal dan demielinisasi segmental. Proses spesifik dari beberapa
penyakit yang menyebabkan neuropati masih belum diketahui.
Pada degenerasi wallerian, terjadi degenerasi myelin sebagai akibat dari
kelainan pada akson. Degenerasi akson berlangsung dari distal sampai lesi fokal
sehingga merusak kontinuitas akson. Reaksi ini biasanya terjadi pada mononeuropati
fokal akibat trauma atau infark saraf perifer.
Degenerasi aksonal, yang biasanya disebut dying-back phenomenon,
kebanyakan menunjukkan degenerasi aksonal pada daerah distal.
Polineuropati akibat degenerasi akson biasanya bersifat simetris dan
selama perjalanan penyakit akson berdegenerasi dari distal ke proksimal.
Proses ini sering didapatkan pada penderita polineuropati kausa metabolik.
Pada degenerasi akson dan Wallerian, perbaikannya lambat karena
menunggu regenerasi akson, disamping memulihkan hubungan dengan
serabut otot, organ sensorik dan pembuluh darah.
Pada demielinisasi segmental terjadi degenerasi fokal dari myelin.
Reaksi ini dapat dilihat pada mononeuropati fokal dan pada sensorimotor
general atau neuropati motorik predominan. Polineuropati demielinasi
segmental yang didapat biasanya akibat proses autoimun atau yang berasal
dari proses inflamasi, dapat pula terdapat pada polineuropati herediter.
Pada kelainan ini perbaikan dapat terjadi secara cepat karena yang
diperlukan hanya remielinisasi.
Pada polineuritis idiopatik akut dapat terjadi infiltrasi limfosit, sel
plasma dan sel mononuklear pada akar-akar saraf spinalis, sensorik dan
ganglion simpatis dan saraf perifer. Pada polineuropati difteri terjadi
demielinisasi pada serat-serat saraf di akar dan ganglion sensorik dengan
reaksi inflamasi.
Mekanisme yang mendasari neuropati perifer tergantung dari kelainan
yang mendasarinya. Diabetes sebagai penyebab tersering, dapat
mengakibatkan neuropati melalui peningkatan stress oksidatif yang
meningkatkan Advance Glycosylated End products (AGEs), akumulasi
polyol, menurunkan nitric oxide, mengganggu fungsi endotel, mengganggu
aktivitas Na/K ATP ase, dan homosisteinemia. Pada hiperglikemia,
glukosa berkombinasi dengan protein, menghasilkan protein glikosilasi,
yang dapat dirusak oleh radikal bebas dan lemak, menghasilkan AGE yang
kemudian merusak jaringan saraf yang sensitif. Selain itu, glikosilasi
enzim antioksidan dapat mempengaruhi sistem pertahanan menjadi kurang
efisien.
Gambar 1. Patofisiologi pada neuropati diabetik. Dari:Head KA.
Peripheral neuropathy:pathogenic mechanisms and alternative therapies.
Alternative Medicine Review 2006;11(4):294-296.

Glukosa di dalam sel saraf diubah menjadi sorbitol dan polyol lain oleh
enzim aldose reductase. Polyol tidak dapat berdifusi secara pasif ke luar
sel, sehingga akan terakumulasi di dalam sel neuron, yang menganggu
kesetimbangan gradien osmotik sehingga memungkinkan natrium dan air
masuk ke dalam sel dalam jumlah banyak. Selain itu, sorbitol juga
dikonversi menjadi fruktosa, dimana kadar fruktosa yang tinggi
meningkatkan prekursor AGE. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel
saraf menurunkan aktivitas Na/K ATP ase.

Gambar 2. Jalur sorbitol, sebagai salah satu mekanisme patogenesis pada


neuropati perifer. Dari: Head KA. Peripheral neuropathy:pathogenic
mechanisms and alternative therapies. Alternative Medicine Review
2006;11(4):294-296.

Nitric oxide memainkan peranan penting dalam mengontrol aktivitas


Na/K ATPase. Radikal superoksida yang dihasilkan oleh kondisi
hiperglikemia mengurangi stimulasi NO pada aktivitas Na/K ATPase.
Selain itu, penurunan kerja NO juga mengakibatkan penurunan aliran
darah ke saraf perifer.

2.5 Diagnosis Klinis dan Diagnosis Banding


Neuropati secara klinis dapat dibagi menjadi polineuropati,
neuropati fokal, dan mutifokal. Polineuropati disebabkan oleh agen-agen
yang bekerja secara difus terhadap sistem saraf perifer seperti bahan
beracun (toksik), defisiensi zat-zat yang diperlukan dalam metabolisme
saraf perifer, gangguan metabolic, dan beberapa reaksi imun. Adapun lesi
fokal (mononeuropati) dan lesi multifokal yang terisolasi (multipel
mononeuropati atau mononeuropati multipleks) disebabkan oleh kerusakan
local di antaranya penjepitan saraf seperti carpal tunnel syndrome (CTS),
cedera mekanik (karena tekanan, traksi, ledakan, dan penetrasi), suhu
ekstrim (panas maupun dingin), elektrik, radiasi, lesi vaskuler,
granulomatosa, keganasan atau proses infiltratif lainnya, dan tumor primer
saraf perifer.
Di Indonesia, salah satu penyebab tersering mononeuropati
multipleks adalah kusta. Gejala yang sering muncul pada neuropati kusta
adalah gangguan sensorik berupa anestesi atau gangguan peraba terutama
di distal jari-jari termasuk ibu jari dan gangguan vibrasi yang paling
banyak terjadi di telapak kaki. Selain itu secara elektroneurofisiologis
ternyata neuropati kusta dapat terjadi di ekstremitas maupun di wajah. Di
ekstremitas saraf yang seering mengalami gangguan adalah N. Peroneus
superfisialis, dan N. Suralis, sedangkan pada wajah adalah N. Trigeminal
dan N. Fasialis.
Beberapa polineuropati dapat menjadi tidak polanya karena
superimposed dengan mononeuropati atau mononeuropati multipleks,
contoh yang paling sering adalah sindrom terowongan karpal pada
polineuropati diabetes. Neuropati dapat juga dibagi berdasarkan
distribusinya, yaitu: polineuropati simetrik distal, polineuropati simetrik
proksimal, polineuropati dengan predominasi ekstremitas atas, distribusi
kompleks, keterlibatan saraf kranial, serta neuropati fokal dan multifokal.
Polineuropati dengan distribusi gangguan motorik dan sensorik
distal simetrik merupakan pola paling umum dan banyak ditemui. Gejala
motoric ditandai dengan kelemahan dan atrofi yang dimulai dari
ekstremitas bagian distal kemudian menyebar ke proksimal. Gejala
sensorik ditandai dengan adanya pola distribusi “stocking and glove”, yaitu
seolah-olah membentuk sarung tangan dan kaos kaki, sehingga pasien
merasa perabaannya berkurang di daerah yang tertutupi “sarung tangan”
dan “kaos kaki” yang tak nampak mata tersebut. Pola distribusi ini
disebabkan karena saraf yang paling panjang akan mengalami gangguan
terlebih dahulu (length dependent polyneuropathy). Pada ekstremitas
bawah N. Tibialis anterior dan M. Peroneus biasanya akan terganggu
terlebih dahulu dibandingkan bagian posterior betis karena panjang saraf
yang mensarafi bagian anterior betis lebih panjang dibandingkan bagian
posterior. Pola distribusi seperti ini dapat ditemukan pada Charcot Marie
Tooth/ Hereditary Motor and Sensory Neuropathy (HMSN) tipe I.
polineuropati simetrik distal yang hanya mempengaruhi komponen
sensorik juga sering ditemukan pada polineuropati diabetic tahap awal.
Contoh polineuropati simetrik proksimal yang paling umum adalah
Sindrom Guillain Barre (SGB) dan Chronic Inflammatory Demyelinating
Polyneuropathy (CIDP). Diagnosis lain yang perlu dipikirkan dengan
distribusi seperti ini adalah porfiriam spina muscular atrofi, dan penyakit
Tangier.
Polineuropati dengan predominasi ekstremitas atas dengan gejala
sensorik banyak terjadi pada tahap awal kekurangan vitamin B12.
Distribusi ini dengan gejala motoric kadang juga terjadi pada beberapa
SGB, porfiria, dan HMSN. Neuropati dengan keterlibatan saraf kranial
dapat disebabkan oleh sarcoidosis, diabetes mellitus, dan yang paling
sering adalah neuropati pada saraf fasialis yang dikenal dengan Bell’s
Palsy. Bell’s Palsy dapat disebabkan berbagai faktor seperti imunologi,
infeksi, vaskuler, dan paling banyak adalah idiopatik.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Tatalaksana neuropati sesuai dengan etiologinya. Pemeriksaan
penunjang dibutuhkan sebelum memulai terapi definitif.

1. Pemeriksaan Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik terdiri dari KHS dan
elektromiografi (EMG), yang standar untuk pemeriksaan neuropati akibat
kerusakan serabut saraf besar. EMG dapat membedakan antara
polineuropati dengan miopati, neuronopati, pleksopati, ataupun
poliradikulopati. Sebagai kepanjangan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrodiagnostik meningkatkan ketajaman distribusi fungsi saraf,
membedakan keterlibatan motor dan sensorik, tingkat keparahan. Lebih
dalam lagi, elektrodiagnostik dapat menilai gangguan saraf berdasarkan
aksonopati maupun mielinopati. Elektrodiagnostik juga dapat dilakukan
berulang untuk tujuan evaluasi atau menilai progresifitas penyakit.

2. Biopsi Saraf dan Biopsi Kulit


Biopsi saraf dilakukan untuk mencari etiologi, lokasi patologi, dan
tingkat kerusakan saraf. Dalam beberapa dekade belakang, biopsi saraf
sudah jarang dilakukan karena perkembangan elektrodiagnostik,
laboratorium, dan tes genetik. Saat ini pemeriksaan biospi saraf dilakukan
bila etiologi tidak dapat ditemukan setelah berbagai pemeriksaan tambahan
dilakukan.
Lain halnya dengan biopsi saraf, biopsi kulit meningkat secara
dramatis dalam dua dekade belakangan. Biopsi ini menjadi pemeriksaan
baku emas untuk menilai inervasi serabut saraf kecil intraepidermal tidak
bermielin yang menghantarkan sensasi nyeri dan suhu dari kulit serta
berperan dalam regulasi fungsi otonom. Neuropati serabut saraf kecil ini
dapat hanya mempunyai gejala klinis minimal dan mungkin saja
terlewatkan pada pemeriksaan klinis oleh karena pemeriksaan
elektrodiagnostik konvensional hanya dapat menilai serabut saraf besar.

3. Pemeriksaan Laboratorium dan Genetik


Pemilihan pemeriksaan laboratorium dan genetik memberi
tantangan tersendiri. Banyak sekali pemeriksaan yang dapat dilakukan,
namun karena mahal, perlu analisis mendalam berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik sebelum menentukan pilihan yang tepat. Pemeriksaan
standar yang disarankan American Academy of Neurology (AAN)
diantaranya gula darah puasa, elektrolit, pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi
hepar, darah lengkap, hitung jenis, kadar vitamin B12, lanjut endap darah,
fungsi tiroid, dan jika memungkinkan Immunofixation electrophoresis
(IFE).
Pemeriksaan toleransi gula 2 jam pascapuasa lebih sensitif
dibandingkan dengan pemeriksaan hemoglobin A1c ( HbA1c) dan gula
darah puasa. Oleh karena itu pemeriksaan ini perlu dipikirkan jika
pemeriksaan awal normal. Defisiensi vitamin B12 merupakan penyebab
neuropati yang mudah diterapi. Di Indonesia karena pemeriksaan ini lebih
mahal dibandingkan obatnya, maka pemeriksaan ini jarang dilakukan.
Jika dicurigai suatu neuropati demielinisasi, pertimbangkan untuk
memeriksa anti-myelin-associated glycoprotein (anti-MAG). Jika dicurigai
suatu multifocal motor neuropathy (MMN) pertimbangkan pemeriksaan
anti-GM1. Pada varian SGB di periksakan antiGQ1b, antiGM1, dan
antiGD-1a. Untuk kecurigaan etiologi infeksi sistemik/ gangguan imunitas,
perlu dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal. Pasien perokok rentan
terhadap keganasan. Jika didapatkan neuropati sensorik pada perokok,
pertimbangkan pemeriksaan antibodu antiHu, yang berhubungan dengan
neuropati paraneoplastik.
Pemeriksaan genetik merupakan pemeriksaan lanjutan jika
dicurigai neuropati herediter secara klinis ditunjang dengan klasifikasi
menurut elektrodiagnostik. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan lebih
efisien secara bertahap dimulai dari kecurigaan klinis paling besar dan
paling sering terjadi.

2.7 Tatalaksana

Obat-obatan yang banyak digunakan sebagai terapi nyeri neuropati


adalah anti depresan trisiklik dan anti konvulsan karbamasepin.

Anti depresan
Dari berbagai jenis anti depresan, yang paling sering digunakan
untuk terapi nyeri neuropati adalah golongan trisiklik, seperti amitriptilin,
imipramin, maprotilin, desipramin. Mekanisme kerja anti depresan trisiklik
(TCA) terutama mampu memodulasi transmisi dari serotonin dan
norepinefrin (NE). Anti depresan trisiklik menghambat pengambilan
kembali serotonin (5-HT) dan noradrenalin oleh reseptor presineptik.
Disamping itu, anti depresan trisiklik juga menurunkan jumlah reseptor 5-
HT (autoreseptor), sehingga secara keseluruhan mampu meningkatkan
konsentrasi 5-HT dicelah sinaptik. Hambatan reuptake norepinefrin juga
meningkatkan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik. Peningkatan
konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik menyebabkan penurunan jumlah
reseptor adrenalin beta yang akan mengurangi aktivitas adenilsiklasi.
Penurunan aktivitas adenilsiklasi ini akan mengurangi siklik adenosum
monofosfat dan mengurangi pembukaan Si-Na. Penurunan Si-Na yang
membuka berarti depolarisasi menurun dan nyeri berkurang.

Anti konvulsan

Anti konvulsan merupakan gabungan berbagai macam obat yang


dimasukkan kedalam satu golongan yang mempunyai kemampuan untuk
menekan kepekaan abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf sentral.
Seperti diketahui nyeri neuropati timbul karena adanya aktifitas abnormal
dari sistem saraf. Nyeri neuropati dipicu oleh hipereksitabilitas sistem saraf
sentral yang dapat menyebabkan nyeri spontan dan paroksismal. Reseptor
NMDA dalam influks Ca2+ sangat berperan dalam proses kejadian wind-
up pada nyeri neuropati. Prinsip pengobatan nyeri neuropati adalah
penghentian proses hiperaktivitas terutama dengan blok Si-Na atau
pencegahan sensitisasi sentral dan peningkatan inhibisi.

Karbamasepin dan Okskarbasepin

Mekanisme kerja utama adalah memblok voltage-sensitive sodium


channels (VSSC). Efek ini mampu mengurangi cetusan dengan frekuensi
tinggi dari neuron. Okskarbasepin merupakan anti konvulsan yang struktur
kimianya mirip karbamasepin maupun amitriptilin. Dari berbagai uji coba
klinik, pengobatan dengan okskarbasepin pada berbagai jenis nyeri
neuropati menunjukkan hasil yang memuaskan, sama, atau sedikit diatas
karbamazepin, hanya saja okskarbasepin mempunyai efek samping yang
minimal.

Lamotrigin

Merupakan anti konvulsan baru untuk stabilisasi membran melalui


VSCC, merubah atau mengurangi pelepasan glutamat maupun aspartat dari
neuron presinaptik, meningkatkan konsentrasi GABA di otak. Khusus
untuk nyeri neuropati penderita HIV, digunakan lamotrigin sampai dosis
300 mg perhari. Hasilnya, efektivitas lamotrigin lebih baik dari plasebo,
tetapi 11 dari 20 penderita dilakukan penghentian obat karena efek
samping. Efek samping utama lamotrigin adalah skin rash, terutama bila
dosis ditingkatkan dengan cepat.

Gabapentin

Akhir-akhir ini, penggunaan gabapentin untuk nyeri neuropati


cukup populer mengingat efek yang cukup baik dengan efek samping
minimal. Khusus mengenai gabapentin, telah banyak publikasi mengenai
obat ini diantaranya untuk nyeri neuropati diabetika, nyeri pasca herpes,
nyeri neuropati sehubungan dengan infeksi HIV, nyeri neuropati
sehubungan dengan kanker dan nyeri neuropati deafferentasi. Gabapentin
cukup efektif dalam mengurangi intensitas nyeri pada nyeri neuropati yang
disebabkan oleh neuropati diabetik, neuralgia pasca herpes, sklerosis
multipel dan lainnya. Dalochio, Nicholson mengatakan bahwa gabapentin
dapat digunakan sebagai terapi berbagai jenis neuropati sesuai denngan
kemampuan gabapentin yang dapat masuk kedalam sel untuk berinteraksi
dengan reseptor α2β yang merupakan subunit dari Ca2+-channel.
DAFTAR PUSTAKA

Aninditha T dan Wiratman W. 2017. Buku Ajar Neurologi. Edisi


Pertama. Tangerang: Penerbit Kedokteran Indonesia, 663-676.

Argoff CE. Managing Neuropathic Pain: New Approaches For


Today's Clinical Practice. [online] 2002 [cited 2018 October 29] : [31
screens]. Available from: URL :
http://www.medscape.com/viewprogram/2361.htm

Azhary, hend, dkk. 2010 Peripheral Neuropathy: Differential


Diagnosis and Management-American Family Physician;81(7):887-892.

Beydoun A. Symptomatic treatment of neuropathic pain: a focus on


the role of anticonvulsants. [online] April 2001 [cited 2018 October 29] :
[20 screens]. Available from: URL :
http://www.medscape.com/viewprogram/220.htm

Frida, Meiti. Clinical Approach and Electrodiagnostic in Peripheral


Neuropathy in Elderly. Padang:Department of Neurology, Medical Faculty
of University of Andalas, Dr. M. Djamil Hospital.

Greenberg, David.A, Aminoff, Michael.J, Simon, Roger.P. 2002.


Clinical Neurology Greenberg 5th ed. San Francisco

Harsono. 2009. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press, pp.33-35
Harsono.2011. Buku Ajar Neurologi Klinik. Yogyakarta: UGM Press,
84-89

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. PMK No. 5 ttg Panduan


Praktik Klinis Dokter di FASYANKES Primer. Jakarta: Kemenkes RI

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2013. Standar


Pelayanan Medik Neurologi. Jakarta: Perdossi

Richeimer S. Understanding neuropathic pain. [online] 2007 [cited


2018 October 29] : [6 screens]. Available from URL :
http://www.spineuniverse.com

Robert W. Shields, Jr. D.2014. Peripheral Neuropathy.

Suzuki R, Dickenson A. Neuropathic pain. [serial online] 2003 Maret


3 [cited 2018 October 29]: [3 screens]. Available from: URL:
http://www.chemistanddruggist.com

Zeltzer L. The use of topical analgesics in the treatment of neuropathic


pain: mechanism of action, clinical efficacy, and psychologic correlates.
[online] 2004 [cited 2018 October 29] : [2 screens]. Available from: URL:
http://www.medscape.com

Anda mungkin juga menyukai