Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara tropis yang paling besar di dunia. Iklim
tropis menyebabkan berbagai macam penyakit tropis yang di sebabkan oleh
nyamuk, seperti malaria, demam berdarah, filarial, kaki gajah, dan cikungunya
sering berjangkit pada masyarakat, bahkan menimbulkan epidemi yang
berlangsung dalam spektrum yang luas dan cepat. Penyebab utama munculnya
epidemi berbagai penyakit tropis tersebut adalah perkembangbiakan dan
penyebaran nyamuk sebagai vektor penyakit yang tidak terkendali (Lailatul,
dkk, 2010).
Nyamuk termasuk dalam subfamili Culicinae, family Culicidae
(Nematocera:Diptera) merupakan vektor atau penular utama dari penyakit
arbovirus atau arthropod-borne viruses. Di seluruh dunia terdapat lebih dari
2500 spesies nyamuk meskipun sebagian besar dari spesies - spesies nyamuk
ini tidak berasosiasi dengan penyakit virus (arbovirus) dan penyakit - penyakit
lainnya. Jenis - jenis nyamuk yang menjadi vektor utama, biasanya adalah
Aedes sp., Culex sp., Anopheles sp., dan Mansonia sp, penyakit yang ditularkan
oleh nyamuk hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia,
terutama penyakit demam berdarah dengue dan filariasis. Jenis nyamuk vektor
penyakit tersebut adalah Aedes aegypti untuk demam berdarah dengue dan
Culex quinguefasciatus yang merupakan vektor filariasis (Yasmin dan Fitri,
2012).
Nyamuk dewasa betina dalam melengkapi siklus hidupnya memerlukan
darah untuk mematangkan sel telurnya. Kebutuhan nyamuk untuk menghisap
darah inilah yang menjadikan interaksi yang seringkali merugikan manusia,
misalnya penularan penyakit DBD atau Chikungunya. Penyakit DBD
disebabkan oleh virus dengue, ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan
nyamuk aedes aegypti yang terinfeksi dan karenanya dianggap sebagai

1
arbovirus (virus yang ditularkan melalui arthropoda). Bila terinfeksi, nyamuk
tetap akan terinfeksi sepanjang hidupnya, menularkan virus ke individu rentan
selama menggigit dan menghisap darah. Nyamuk jantan akan menyimpan virus
pada nyamuk betina saat melakukan kontak seksual. Selanjutnya, nyamuk
betina tersebut akan menularkan virus ke manusia melalui gigitan (Santya dan
Hendri, 2013).
Pemberantasan nyamuk telah banyak dilakukan terutama menggunakan
larvasida kimia. seringnya penggunaan bahan kimia menyebabkan pencemaran
lingkungan. Pemakaian larvasida alami banyak dikembangkan untuk mengatasi
kerugian penggunaan larvasida kimia, selain itu pemberantasan nyamuk dengan
langkah mengubur, menguras, dan menutup (3M) juga telah dilakukan dan
dijadikan salah satu program pemerintah untuk memberantas dan mengurangi
kejadian penyakit yang dibawa oleh vektor nyamuk walaupun pemberantasan
nyamuk sering digalakkan namun sampai saat ini pengendalian nyamuk belum
bisa di tanggulangi dengan optimal. Disamping penyebarannya yang sangat
luas dari wilayah perkotaan hingga ke pelosok pedesaan, nyamuk tersebut juga
sangat mudah berkembang biak terutama dilingkungan sekitar tempat manusia
beraktivitas. Tempat perindukan nyamuk tersebut sangat bervariasi, tetapi
umumnya dapat ditemukan di tempat penampungan air jernih yang banyak
terdapat disekitar pemukiman penduduk, seperti bak mandi, tempayan dan
barang-barang bekas yang menampung sisa-sisa hujan (Jacob, dkk, 2014).
Pemberantasan larva nyamuk dengan menggunakan larvasida kimia dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan sedangkan apabila menggunakan
larvasida alami efek terhadap lingkungan dan manusia dapat dikurangi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nugroho, tahun 2011 tentang
kematian larva aedes aegypti setelah pemberian abate dibandingkan dengan
pemberian serbuk serai yaitu pada uji pendahuluan, didapatkan hasil rata-rata
kematian larva pada konsentrasi terkecil yaitu 100 mg/100 mL adalah 0,03 ekor
(3%), pada konsentrasi 200 mg/100 mL mematikan 0,06 ekor (6%), pada 300

2
mg/100 mL mematikan 0,16 ekor (16%), pada 350 mg/100 mL mematikan 0,33
ekor (33%), pada 400mg/100mL mematikan 0,45 ekor (45%) dan pada dosis
tertinggi yaitu 500 mg/100 mL hanya mampu mematikan 0,84 ekor (84%). Pada
penelitian lanjutan dengan membandingkan antara abate dengan serbuk serai,
sehingga bisa dilihat perbedaan jumlah kematiannya. Dosis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 10 mg/100 mL untuk abate berdasarkan pada dosis
efektif abate yaitu 10 gram (±1 sendok makan) untuk tiap 100 liter air. Serbuk
serai dengan dosis 730 mg/100 mL berdasarkan LC90 dari serbuk serai. Hasil
pengamatan yang dilakukan selama 24 jam pada penelitian lanjutan didapatkan
rata-rata kematian larva Aedes setelah pemberian abate dengan dosis 10
mg/100 mL yaitu 100%, sedangkan rata-rata kematian larva pada serbuk serai
dengan dosis 730 mg/100 mL selama 24 jam yaitu 82%. Berdasarkan penelitan,
dapat disimpulkan adanya perbedaan yang signifikan antara jumlah kematian
larva Aedes yang disebabkan karena abate dibandingkan serbuk serai, hal ini
dapat dilihat dari uji independent t-test dimana nilai p = 0,002 (p<0,05). Abate
juga dapat lebih cepat dalam membunuh larva.
Pemberantasan larva yang merupakan fase kedua dalam siklus hidup
nyamuk setelah telur, selain dapat dilakukan secara kimia dengan larvasida
dapat pula dilakukan dengan pencegahan fisik seperti 3M dimana apabila
pelaksanaan 3M tidak dilakukan dengan baik maka dapat menyebabkan
meningkatnya kasus DBD pada suatu daerah, hal ini telah dibuktikan oleh
Alupaty, dkk, 2012 dalam penelitiannya tentang pemetaan distribusi densitas
larva aedes aegypti dan pelaksanaan 3M dengan kejadian DBD di Kelurahan
Kalukuang Kecamatan Tallo Kota Makassar tahun 2012. Berdasarkan
penelitian ini jumlah sampel diambil di 114 rumah dengan jumlah kontainer
yang diperiksa sebanyak 438, yang ditentukan dengan metode proporsional
simple random sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada
hubungan antara densitas larva dengan kejadian DBD (p=0,003), ada hubungan
antara pelaksanaan 3M dengan densitas larva (p=0,000), dan ada hubungan

3
antara pelaksanaan 3M dengan kejadian DBD (p=0,001). Densitas larva di
Kelurahan Kalukuang termasuk kategori kepadatan tinggi (HI=51,75%,
CI=23,29% dan BI=89,47%). Hasil pemetaan yang dilakukan menunjukkan
bahwa distribusi densitas larva lebih tinggi berada di wilayah RW 5 yaitu
42,4%, distribusi pelaksanaan 3M lebih tinggi berada di wilayah RW 1 yaitu
23,6% dan distribusi kejadian DBD lebih tinggi berada di wilayah RW 4 yaitu
54,5%.
Berdasarkan fakta diatas penting untuk mengetahui keberasaab jentik
nyamuk Aedes Aegepty yang dapat menyebabkan berbagai penyakit yang
ditimbulkan oleh vektor nyamuk maka perlu dilakukan identifikasi terhadap
larva nyamuk Aedes Aegepty yang berada di sekitar perumahan kantor Balai
Besar Pelatihan Kesehatan Makassar.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari latar belakang diatas adalah sebagai berikut
1. Untuk mengetahui keberadaan jentik nyamuk Aedes Aegepty di
perumahan dekat kantor Balai Besar Pelatihan Kesehatan Makassar.

Anda mungkin juga menyukai