Anda di halaman 1dari 2

(BUKAN) BIROKRASI OBRALAN

(Nabella Rizki Al Fitri/ E0011211)


"Kita harus menerapkan e-budgeting, e-purchasing, e-catalogue, e-audit, pajak online,
IMB online. Kita online-kan semua, jadi tidak ada lagi 'ketema-ketemu', supaya
'amplop-amplopan' hilang" (Bapak Ir. Jokowi, Kompas, 15 Mei 2014)
Tere Liye dalam novel “Negeri Para Bedebah” telah berhasil mengangkat
potret sebuah negara yang dipenuhi oleh para cukong kebijakan lewat prosa yang
menukik kesadaran setiap pembacanya. Dua bulan yang lalu, masyarakat Indonesia pun
berhasil dibuai oleh para Calon Presiden, bukan dengan liukan prosa tapi dengan janji-
janji besar mereka tentang masa depan Indonesia. Dari berjibun janji yang tak terhitung,
ada satu janji yang menjadi trending dan memegang kunci utama kantong suara mereka.
Yakni janji agung tentang serba-serbi reformasi birokrasi yang ditunggu kebijakannya
oleh makelar rumah hingga investor asing. Sepertinya para Calon Presiden ini
mengilhami betul fatwa dari Max Weber tentang birokrasi yang merupakan konsepsi
tipe ideal organisasi pemerintah yang menjadi penentu roda pemerintahan
Tidak main-main dalam sembilan agenda prioritas yang dikenal dengan
Nawa Cita, Bapak Presiden terpilih menempatkan janji reformasi birokrasi pada poin ke
dua. Yakni berbunyi “Kami secara konsisten akan melakukan reformasi birokrasi
secara berkelanjutan dengan restruturisasi kelembagaan, perbaikan kualitas pelayanan
publik dan memperkuat kompetensi serta monitoring”. Celetukan pamungkas “kita
online-kan semua” menjadi salah satu rencana kebijakan teknis birokrasi Bapak yang
langsung ditanggapi pro dan kontra. Dari kejumawaan Bapak tentang waktu pembuatan
sistem informasi yang hanya membutuhkan satu minggu hingga respon positif tentang
membangun pemerintahan yang transparan. Pada dasarnya hari ini, rakyat telah
memegang erat komitmen Bapak untuk membangun good governance melalui
perbaikan sistem birokrasi yang ada, tapi Bapak tentu tidak lupa ungkapan tidak
semudah membolak-balikan tangan untuk mewujudkan itu, termasuk mengonlinekan
semua sistem yang ada.
Bapak hendaknya melihat masa lalu saat memimpin di Provinsi Jakarta
mengenai apa yang terjadi dengan laporan keuangan Provinsi yang mendapat predikat
Wajar dengan Pengecualian (WDP) karena sistem e-budgetting yang dipaksa segera
diterapkan. Reformasi birokrasi tidak membutuhkan ketergesaan, sebaliknya harus
dilakukan secara bertahap menjuru ke segala lapisan administrasi. Setidaknya ada tiga
hal yang harus disembuhkan terlibih dahulu dari penyakit birokrasi. Yakni lingkungan,
budaya serta nilai dan struktur birokrasi. Lingkungan merujuk pada kondisi ruang
administrasi, budaya dan nilai menilik pada kebiasaan birokrasi yang telah lama
terbangun di masyarakat, sedangkan struktur birokrasi merujuk kepada aparat
pemerintahan yang menjalankan fungsi birokrasi. Ketiga hal tersebut harus
mendapatkan porsi perhatian yang besar menuju sistem online yang diharapkan akan
segera dibangun berdasarkan grand design yang jelas.
Narasi besar tentang pembangunan Indonesia akan habis menjadi angan-
angan saja jika tidak dimulai dari kejelian melihat permasalahan birokrasi. Terlalu
sederhana melihat permasalahan akan menjebak pemerintah pada tidak sembuhnya
penyakit birokrasi. Sistem online yang diandalkan sebagai obat pun juga tidak terlepas
dari permasalahan. Salah satunya mengenai akses internet yang belum menyeluruh
hingga pelosok negeri, dan ketidaksiapan Sumber Daya Manusia (SDM) yang meliputi
aparat pemerintahan dan masyarakat luas.
Pertama, mengenai akses internet di negara ini sungguh menimbulkan
keprihatinan. Laporan dari State of the Internet di bulan April 2014 mencatat bahwa di
wilayah Asia Pasifik, kecepatan akses internet Indonesia hampir menyentuh posisi juru
kunci yakni peringkat ke 118. Belum lagi sebaran internet belum menyentuh seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kementrian Komunikasi dan
Informasi (KOMINFO) Republik Indonesia menulis bahwa baru terdapat 74 juta
pengguna internet di Indonesia. Angka itu baru setara 29 persen dari total penduduk dan
sebagian besar dari mereka berada di wilayah perkotaan. Kondisi internet yang minim
ini tentu akan menghambat pelaksanaan sistem online birokrasi yang dicita-citakan.
Bagaimanapun internet menjadi syarat utama pelaksanaan sistem birokrasi semacam ini.
Kedua, lemahnya kualitas SDM menyangkut dua hal pokok. Yakni
ketidaksiapan aparat pemerintah yang menjalankan fungsi birokrasi dan masyarakat
Indonesia pada umumnya. Tidak melek internet di setiap pelosok negeri berimbas pada
rendahnya kualitas pemahaman masyarakat untuk menggunakan internet. Padahal
birokrasi adalah hak setiap rakyat yang dilindungi oleh konstitusi, sehingga mereka
seharusnya tidak dihambat untuk mengurus hal yang berkaitan dengan birokrasi. Kedua
adalah ketidaksiapan aparat pemerintahan yang memperlihatkan bahwa perlunya
dibangun kultur baru dalam transisi birokrasi dari manual ke sistem online.
Ketidaksiapan dari aparat akan menjadi bumerang karena mereka yang menjalankan
sistem induk nantinya yang berbeda dengan peran yang sudah lama diemban.
Kusutnya permasalahan tersebut harus segera dipertemukan dengan
solusi yang komprehensif dan efektif. Cita-cita mulia berupa sistem birokrasi online
tidak bisa berjalan sendiri sebagai obat dari penyakit birokrasi yang kronis. Menjadi hal
mutlak bagi Bapak Presiden untuk memperluas akses internet hingga pelosok negeri.
Oleh karena bagaimanapun setiap manusia di bumi pertiwi ini berhak atas kedudukan
yang sama di depan pemerintahan sebagaimana ditugaskan dalam Konstitusi.
Selanjutnya persiapan aparat pemerintahan dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan
yang komprehensif dan konsisten sesuai dengan Nawa Cita yang telah bapak Presiden
susun.
Membangun sistem online dalam birokrasi merupakan salah satu pokok
reformasi birokrasi yang berupa pembangunan pemerintahan yang modern.
Sesungguhnya ini adalah mimpi yang amat baik untuk menghadapi berbagai kemajuan
globalisasi yang menuntut segala proses birokrasi yang cepat dan tepat. Apalagi di
tahun 2015, Indonesia harus memasuki arena Asean Free Trade Area yang membuka
lebar-lebar pintu investasi di negara ini. Investor dapat lari segera mungkin jika proses
birokrasi seperti perizinan investasi lama dan berbelit-belit. Hal ini tentu akan
berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi yang akan semakin melambat. Tidak hanya
investor yang dibuat pusing oleh birokrasi berbelit, ibu-ibu di kampung yang butuh
segera surat keterangan tidak mampu untuk anaknya yang bercita-cita mendapat
beasiswa sekolah tinggi pun bisa menangis habis-habisan karena hal ini. Akhirnya cita-
cita kemerdekaan dan reformasi hanya bisa diwujudkan dalam kesatuan ikhtiar
pembangunan menyeluruh tanpa saling mengabaikan yang lain, dan besar harapan
rakyat menuntut kebijaksanaan Bapak Presiden yang terhormat untuk mempersempit
waktu tidur dan menyeditkan makan guna menyerahkan sepenuhnya diri kepada rakyat
Indonesia. Oleh karena birokrasi tidak hanya sekedar obralan janji indah yang menagih
kantong suara Pemilu, melainkan janji yang harus dibuktikan. Selamat mengabdi
Bapak, kami akan menyertai selama Tuhan mencintai Bapak Presiden terhormat.
Dengan penuh hormat, atas nama Nabella 

Anda mungkin juga menyukai