Anda di halaman 1dari 7

SGD 10

LAST : LEARNING TASK 32


CENTRAL NERVOUS SYSTEM (CNS) INFECTIONS: TETANUS, POLIOMYELITIS
AND SPONDILITIS TB
Ni Putu Witari

Kasus 3
Seorang pria berusia 45 tahun mengeluh sakit punggung sejak 4 bulan lalu. Keluhan ini diikuti
oleh kelemahan kedua kaki secara bertahap dalam 2 minggu terakhir dengan perasaan tebal
mulai dari pusar ke bawah. Dia juga mengalami kesulitan buang air kecil dan buang air
besar.
LT
1. Tolong lakukan anamnesis pada pasien ini dan keluarganya
a. Riwayat sekarang
 Nyeri punggung di sebelah mana (cervical, torakal, atau lumbal)?
 Bagaimana awalnya nyeri tersebut bisa terjadi? Apakah ada faktor yang
memodifikasi?
 Kuantitas dan kualitas nyeri?
 Faktor yang memperberat nyeri dan faktor yang memperingan nyeri?
 Apakah terdapat gejala penyerta lainnya?
b. Riwayat sebelumnya
 Apakah sebelumnya ada riwayat kontak atau menderita TB paru?
 Adakah iwayat gejala-gejala klasik (demam subfebril, diaforesis nokturnal,
batuk lama, penurunan berat badan)?
c. Riwayat keluarga
 Apakah di keluarga ada yang mengalami gejala serupa?
d. Riwayat sosial ekonomi

2. Jika itu adalah TB spondilitis, apa yang akan Anda temukan pada pemeriksaan klinis?
SGD 10
a. Pernapasan cepat, dapat diakibatkan oleh hambatan pengembangan volume paru
oleh tulang belakang yang kifosis atau infeksi paru oleh kuman TB. Infiltrat paru
akan terdengar sebagai ronkhi, kavitas akan terdengar sebagai suara amforik atau
bronkial dengan predileksi di apeks paru.
b. Kesegarisan (alignment) tulang belakang harus diperiksa secara seksama. Infeksi
TB spinal dapat menyebar membentuk abses paravertebra yang dapat teraba,
bahkan terlihat dari luar punggung berupa pembengkakan. Permukaan kulit juga
harus diperiksa secara teliti untuk mencari muara sinus/fistel hingga regio gluteal
dan di bawah inguinal (trigonum femorale). Tidak tertutup kemungkinan abses
terbentuk di anterior rongga dada atau abdomen.
c. Terjadinya gangguan neurologis menandakan bahwa penyakit telah lanjut, meski
masih dapat ditangani. Pemeriksaan fisik neurologis yang teliti sangat penting
untuk menunjang diagnosis dini spondilitis TB. Pada pemeriksaan neurologis bisa
didapatkan gangguan fungsi motorik, sensorik, dan autonom. Defisit neurologis
yang mungkin terjadi meliputi: paraplegia, paresis, hypesthesia, nyeri radikuler dan
/ atau sindrom cauda equina.
d. Kelumpuhan berupa kelumpuhan upper motor neuron (UMN), namun pada
presentasi awal akan didapatkan paralisis flaksid, baru setelahnya akan muncul
spastisitas dan refleks patologis yang positif.
e. Kelumpuhan lower motor neuron (LMN) mononeuropati mungkin saja terjadi jika
radiks spinalis anterior ikut terkompresi. Jika kelumpuhan sudah lama, otot akan
atrofi, yang biasanya bilateral. Sensibilitas dapat diperiksa pada tiap dermatom
untuk protopatis (raba, nyeri, suhu), dibandingkan ekstremitas atas dan bawah
untuk proprioseptif (gerak, arah, rasa getar, diskriminasi 2 titik).
f. Evaluasi sekresi keringat rutin dikerjakan untuk menilai fungsi saraf autonom.
g. Mantoux test positif

3. Apa diagnosis banding Anda untuk kasus ini?


a. Spondilitis TB
SGD 10
b. Pyogenic Spondylitis
Salah satu penyakit dengan presentasi gejala yang serupa dengan spondilitis TB
dan tidak mudah untuk membedakan keduanya tanpa pemeriksaan penunjang yang
adekuat. Spondilitis piogenik umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus,
Streptococcus, dan Pneumococcus. Secara epidemiologi, spondilitis piogenik lebih
sering menyerang usia produktif (30–50 tahun). Hingga saat ini, prevalensi
spondilitis piogenik dilaporkan meningkat diakibatkan banyaknya penyalahgunaan
antibiotik, tindakan invasif spinal, pembedahan spinal. Spondilitis piogenik
memiliki perjalanan yang lebih akut dengan gejala yang hampir sama dengan
spondilitis TB. Vertebra servikal dan lumbal lebih sering terlibat, dibandingkan
dengan spondilitis TB yang lebih sering menyerang vertebra torakolumbal lebih
dari satu vertebra. Dari segi hematologis, CRP, laju endap darah (LED), jumlah
leukosit, dan hitung jenis dapat membantu diagnosis. Pada spondilitis piogenik,
peningkatan CRP lebih bermakna dibandingkan peningkatan LED, meskipun pada
beberapa kasus dapat normal. Telah dilakukan studi untuk membedakan kedua
penyakit melalui MRI. Jung dkk menjabarkan beberapa perbedaan temuan MRI
secara rinci yang mengarahkan pada infeksi TB: 1) sinyal abnormal paraspinal
berbatas tegas. 2) dinding abses tipis dan halus. 3) adanya abses paraspinal dan
intraoseus. 4) penyebaran subligamen lebih dari 2 vertebra. 5) keterlibatan vertebra
torakal. 6) lesi multipel. Bila ada temuan radiologis selain yang disebutkan tadi,
tampaknya diagnosis infeksi piogenik lebih mungkin. Penelitian oleh Harada dkk
menambahkan bahwa adanya sinyal abnormal pada sendi faset merupakan
karakteristik infeksi piogenik. Kultur dan pewarnaan Gram spesimen tulang yang
diambil melalui biopsi perkutan/terbuka dapat memastikan diagnosis, namun
tindakan ini termasuk tindakan invasif.
c. Metastatic tumor
Mencakup 85 persen bagian dari semua tumor tulang belakang yang
mengakibatkan kompresi medula spinalis. Insiden tertinggi kasus tumor metastasik
spinal pada usia di atas 50 tahun. Urutan segmen yang sering terlibat yaitu torakal,
SGD 10
lumbar dan servikal. Neoplasma dengan kecenderungan bermetastasis ke medula
spinalis meliputi tumor payudara, prostat, paru, limfoma, sarkoma, dan mieloma
multipel. Metastasis keganasan saluran cerna dan rongga pelvis relatif melibatkan
vertebra lumbosakral, sedangkan keganasan paru dan mamae lebih sering
melibatkan vertebra torakal.
d. Fraktur kompresi badan vertebra
Berpotensi menyebabkan deformitas kifotik disertai gangguan neurologis dengan
derajat yang bervariasi. Trauma harus dengan kekuatan yang besar untuk membuat
badan vertebra yang bersangkutan retak, kecuali jika didapatkan osteoporosis, usia
tua atau penggunaan steroid jangka panjang. Contoh klasik trauma yang
menyebabkan fraktur kompresi seperti jatuh dari ketinggian dengan bokong
terlebih dahulu. Kecelakaan mobil juga dapat menyebabkan dampak serupa.
Mekanisme fleksi-kompresi biasanya menyebabkan fraktur kompresi dengan
bagian anterior mengecil (wedge-shaped) dengan derajat kerusakan bagian tengah
dan posterior yang bervariasi. Medula spinalis segmen torakal lebih sering
mengalami cedera karena merupakan segmen yang paling panjang dibandingkan
segmen lainnya dan juga karena kanalis spinalisnya yang lebih sempit dengan
vaskularisasi yang tentatif. Diagnosis ditegakkan dengan temuan klinis dan adanya
riwayat trauma yang bermakna dikombinasikan dengan ada/ tidaknya faktor risiko
seperti osteoporosis atau usia tua.
e. Spinal cord injury

Diagnosis diferensial lainnya yang perlu dipertimbangkan antara lain: spondilitis jamur
yang dapat ditemukan pada pasien-pasien dengan inkompetensi imun, mielitis
transversa, sarkoidosis, dan reumatoid artritis.

4. Apa yang harus Anda lakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis Anda?


a. Imaging: Rontgen, CT scan, MRI
SGD 10
 Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering
dilakukan dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil
sebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal, akan tampak
lesi osteolitik pada bagian anterior badan vertebra dan osteoporosis
regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis menandakan terjadinya
kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya memberikan
gambaran fusiformis. Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin
memberat dan membentuk angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang
memanjang paravertebral dapat terlihat, yang merupakan cold abscess.
Namun, sayangnya sinar-X tidak dapat mencitrakan cold abscess dengan
baik. Dengan proyeksi lateral, klinisi dapat menilai angulasi kifotik diukur
dengan metode Konstam.
 CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi
badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan
kanalis spinalis. CT myelography juga dapat menilai dengan akurat
kompresi medula spinalis apabila tidak tersedia pemeriksaan MRI.
Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras melalui punksi lumbal ke
dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan. Penggunaan CT
scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan MRI untuk visualisasi jaringan
lunak.
 MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi
badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk
abses paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini. Untuk
mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial,
dan sagital yang meliputi seluruh vertebra untuk mencegah
terlewatkannya lesi noncontiguous. MRI juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi perbaikan jaringan.
b. Tes Laboratorium
SGD 10
 ESR & CRP sangat meningkat,
 Tes tuberkulin positif dalam 84-95%
 Studi mikrobiologi untuk memastikan diagnosis: Dapatkan sampel jaringan
tulang atau abses untuk stain basil tahan asam (BTA), dan isolat organisme
untuk kultur dan kerentanan (positif hanya sekitar 50% dari kasus), PCR
TB

5. Bagaimana cara manajemen pasien?


Sesuai dengan SKDI 3A, hendaknya pasien perlu dirujuk untuk melakukan beberapa
pemeriksaan yang telah disebutkan. Dokter umum hendaknya memberikan terapi awal
berupa analgesic (disesuaikan dengan kondisi pasien, apakah ada kontraindikasi ataupun
alergi), kemudian dirujuk.
Dilihat dari gejala klinis pasien mengarah pada spondylitis TB, apabila diagnosisnya nanti
benar spondylitis TB dapat diberikan terapi medikamentosa (OAT) atau pembedahan.
SGD 10
Berikut klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis TB dan
penatalaksanaanya:

Anda mungkin juga menyukai