Anda di halaman 1dari 25

Faktor Risiko Stunting Pada Balita

Ting
Panj Riwaya Sosial Riwa Akti
Peneliti Asi kat Kepad Sanitasi
ang t - Geneti yat vitas Pola
an BBLR Ekskl Kon atan Lingku
Bad Imunis Ekon k Infek Fisi Asuh
usif sum Tulang ngan
an asi omi si k
si
Swathm
a, D,
Lestari,
H, V V V - - - - - - - - -
Ardiansy
ah, RT.
2016
Bentian,
I,
Mayulu,
V - V V - - - - - - - -
N, Rattu,
AJM.
2015
Rukman
a, E,
Briawan,
V - - - V - - - - - - -
D,
Ekayanti
, I. 2016
Rahayu,
A. dkk. V - - - V V - - - - - -
2015
Hariyati,
Neni,
Rohmaw
ati,
- - - - V - V V - - - -
Ninna,
Ningtyia
s, FW.
2016
Harahap,
H,
Sandjaj, - - - - - - - V V V - -
Soekatri,
M. 2015
Ibrahim, - - - -
IA,
Faramita - - - - V - - -
, R. 2015
Ni’mah,
Khoiru,
Nadhiro V V - V V - - - - - - -
h, SR.
2016
Cahyono
, Fi,
Manong
- - - - - - V V - - V V
ga, SP,
Picauly,
I. 2016
Margaw
ati, A,
Astuti, - - - - V - - V - - - -
AM.
2018
1.

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linier dan apabila terjadi pada masa golden period
perkembangan otak (0-3 tahun), maka berakibat pada perkembangan otak yang tidak baik. Hal tersebut
di masa yang akan datang dapat berakibat pada penurunan kemampuan intelektual dan produktivitas,
peningkatan risiko penyakit degeneratif dan kelahiran bayi dengan berat lahir rendah atau premature.

Perbaikan masalah gizi juga tertuang dalam sasaran RPJMN 2015-2019 dengan target prevalensi
stunting adalah 28%6. Namun pada kenyataannya hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan
adanya peningkatan prevalensi stunting sebesar 1,8% yaitu dari 35,6% pada tahun 2010 menjadi 37,2%
pada tahun 2013. Menurut WHO 2010 hal ini merupakan masalah yang berat karena prevalensi pendek
berada pada rentang 30-39 %.

Adanya 178 juta anak di dunia yang terlalu pendek berdasarkan usia dibandingkan dengan pertumbuhan
standar WHO, stunting menjadi indikator kunci dari kekurangan gizi kronis, seperti pertumbuhan yang
melambat, perkembangan otak tertinggal dan sebagai hasilnya anak-anak stunting lebih mungkin
mempunyai daya tangkap yang lebih rendah. Tingkat stunting antara anak-anak di Afrika dan Asia sangat
bervariasi di antara beberapa studi yang dipublikasikan.

Kekurangan gizi di kalangan anak-anak masih umum di banyak bagian dunia. Di Afrika, peningkatan
prevalensi di tambah dengan pertumbuhan penduduk menyebabkan peningkatan jumlah anak kurus
dari 24 juta di tahun 1990 menjadi 30 juta di 2010. Di Asia, jumlah anak kurus diperkirakan akan lebih
besar sekitar 71 juta pada tahun 2010. Menurut data dunia, diperkirakan terdapat 165 juta anak
dibawah usia lima tahun yang mengalami stunting saat ini.

Prevalensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37,2 %, yang berarti terjadi peningkatan
dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi pendek sebesar 37,2 % terdiri dari 18,0
% sangat pendek dan 19,2 % pendek. Pada tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan
penurunan, dari 18,8 % tahun 2007 dan 18,5 % tahun 2010. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0 %
pada tahun 2007 menjadi 19,2 % pada tahun 2013.

Proses terjadinya stunting pada anak di suatu wilayah atau daerah miskin dimulai sejak usia sekitar 6
bulan dan muncul utamanya pada dua sampai tiga tahun awal kehidupan serta berlangsung terus
sampai usia 18 tahun. Stunting yang terjadi dalam usia 36 bulan pertama biasanya disertai dengan efek
jangka. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan prediktor terkuat terjadinya stunting
pada anak usia 12 bulan. Tingginya prevalensi stunting juga disebabkan oleh paparan berulang yang
dapat berupa penyakit infeksi atau kejadian lain yang dapat merugikan kesehatan

Ada berbagai macam faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting. Hasil penelitian yang telah
dilakukan, menyatakan bahwa sosial ekonomi keluarga yakni pendidikan, pekerjaan dan pendapatan
merupakan faktor risiko terjadinya stunting pada anak.

faktor risiko stunting pada anak adalah usia anak, jenis kelamin dan rendahnya status sosial ekonomi.
Banyak anak yang berasal dari keluarga miskin di negara berkembang yang mengalami stunting sejak
bayi dikarenakan penyakit infeksi dan kurangnya asupan makanan yang bergizi13. Faktor yang
menyebabkan terjadinya kekurangan gizi pada anak adalah kurangnya akses untuk mendapatkan
pangan, pola asuh yang tidak tepat, sanitasi yang buruk dan kurangnya pelayanan kesehatan.Penyakit
diare yang dialami pada awal masa kanak-kanak dapat memberikan konsekuensi jangka panjang
terhadap tinggi badan menurut umur.

Berat lahir juga indikator potensial untuk pertumbuhan bayi, respon terhadap rangsangan, lingkungan,
dan untuk bayi bertahan hidup. Berat lahir memiliki dampak yang besar terhadap pertumbuhan anak,
perkembangan anak dan tinggi badan pada saat dewasa. Bayi lahir dengan berat lahir rendah akan
berisiko tinggi pada morbiditas, kematian, penyakit infeksi, kekurangan berat badan dan stunting diawal
periode neonatal sampai masa kanak-kanak. Hasil analisis besar risiko berat badan lahir rendah
terhadap kejadian stunting, diperoleh OR sebesar 5,250. Artinya responden yang memiliki balita dengan
berat badan lahir rendah mempunyai risiko mengalami stunting 5 kali lebih besar dibandingkan dengan
responden yang memiliki balita dengan berat badan lahir normal. Karena rentang nilai pada tingkat
kepercayaan (CI) = 95% dengan lower limit (batas bawah) = 1,897 dan upper limit (batas atas) = 14,532
tidak mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna. Dengan demikian berat badan lahir
rendah merupakan faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 12-36 bulan di wilayah kerja
puskesmas Kandai kota kendari tahun 2016. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, proporsi balita
stunting lebih banyak ditemukan pada balita dengan berat badan lahir rendah dibandingkan balita
dengan berat badan lahir normal. Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa pada kelompok kasus
terdapat 30 responden dengan berat badan lahir normal tetapi mengalami stunting. Hal ini dikarenakan
ada faktor lain yang secara langsung mempengaruhi status gizi seperti sosial ekonomi keluarga, penyakit
infeksi dan tingkat konsumsi zat gizi.

Panjang badan badan bayi saat lahir menggambarkan pertumbuhan linear bayi selama dalam
kandungan. Ukuran linear yang rendah biasanya menunjukkan keadaan gizi yang kurang akibat
kekurangan energi dan protein yang diderita waktu lampau yang di awali dengan perlambatan atau
retardasi pertumbuhan janin. Asupan gizi ibu yang kurang adekuat sebelum masa kehamilan
menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin sehingga dapat menyebabkan bayi lahir dengan
panjang badan lahir pendek. Bayi yang dilahirkan memiliki panjang badan lahir normal bila panjang
badan lahir bayi tesebut berada pada panjang 48-52 cm. Panjang badan bayi saat lahir yang pendek
dipengaruhi oleh pemenuhan nutrisi bayi tersebut saat masih dalam kandungan. Menurut Riskesdas
tahun 2013 panjang badan bayi lahir pendek adalah bayi yang lahir dengan panjang < 48 cm. Hasil
analisis besar risiko panjang badan bayi saat lahir terhadap kejadian stunting, diperoleh OR sebesar
4,078. Artinya responden yang memiliki balita dengan panjang badan yang pendek saat lahir mempunyai
risiko mengalami stunting 4,078 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang memiliki balita
dengan panjang badan yang normal saat lahir. Karena rentang nilai pada tingkat kepercayaan (CI) = 95%
dengan lower limit (batas bawah) =1,599 dan upper limit (batas atas) = 10,400 tidak mencakup nilai
satu, maka besar risiko tersebut bermakna. Dengan demikian panjang badan bayi saat lahir merupakan
faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 12-36 bulan di wilayah kerja puskesmas Kandai kota
kendari tahun 2016. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, proporsi balita stunting lebih banyak
ditemukan pada balita dengan panjang badan bayi yang pendek saat lahir dibandingkan balita dengan
panjang badan bayi yang normal saat lahir. Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa pada kelompok
kasus terdapat 29 responden dengan panjang badan lahir normal saat lahir tetapi mengalami stunting.
Hal ini dikarenakan karena ketidakcukupan asupan zat gizi pada balita normal yang menyebabkan
terjadinya growth faltering (gagal tumbuh). Asupan gizi yang rendah serta paparan terhadap infeksi
memberikan dampak growth faltering yang lebih berat pada balita normal. Hal ini sejalan penelitian
yang telah dilakukan yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh signifikan terhadap
kejadian stunting adalah penyakit infeksi.

Imunisasi adalah suatu cara untuk memberikan kekebalan terhadap seseorang secara aktif terhadap
penyakit menular25. Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kesehatan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpapar antigen yang serupa tidak pernah terjadi
penyakit. Imunisasi merupakan reaksi antara antigen dan antibody-antibodi yang dalam bidang ilmu
imunologi merupakan kuman atau racun (toxin disebut sebagai antigen). Tujuan pemberian imunisasi
adalah untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Hasil analisis besar risiko riwayat imunisasi dasar terhadap kejadian stunting,
diperoleh OR sebesar 6,044. Artinya responden yang memiliki balita dengan riwayat imunisasi dasar
tidak lengkap mempunyai risiko mengalami stunting 6 kali lebih besar dibandingkan dengan responden
yang memiliki balita dengan riwayat imunisasi dasar lengkap. Karena rentang nilai pada tingkat
kepercayaan (CI) = 95% dengan lower limit (batas bawah) = 2,295 dan upper limit (batas atas) = 15,916
tidak mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut bermakna. Dengan demikian riwayat imunisasi
dasar merupakan faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 12-36 bulan di wilayah kerja puskesmas
Kandai kota kendari tahun 2016. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, proporsi balita stunting lebih
banyak ditemukan pada balita dengan riwayat imunisasi dasar yang tidak lengkap dibandingkan balita
dengan riwayat imunisasi dasar yang lengkap. Pada kelompok kasus, lebih banyak responden yang
memiliki riwayat imunisasi dasar lengkap yaitu 26 balita atau (25,4%). Dibandingkan dengan responden
yang tidak memiliki riwayat imunisasi dasar tidak lengkap. Dalam hal ini imunisasi yang lengkap belum
tentu dapat mempengaruhi manfaat dan efektivitas dari pemberian imunisasi seperti kualitas vaksin
yang diberikan tidak memenuhi standar atau kurang baik. Hal ini berarti baik anak balita yang
imunisasinya lengkap maupun yang tidak lengkap memiliki peluang yang sama untuk mengalami
stunting

Faktor Risiko BBLR, Panjang Badan Bayi Saat Lahir dan Riwayat Imunisasi Dasar Terhadap Kejadian
Stunting Pada Balita Usia 12-36 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Kandai Kota Kendari Tahun 2016.
(Swathma, Lestari, and Ardiansyah 2016)
2.

Stunting adalah bentuk dari proses pertumbuhan anak yang terhambat. Sampai saat ini stunting
merupakan salah satu masalah gizi yang perlu mendapat perhatian. Faktor utama penyebab stunting
yaitu asupan makanan yang tidak seimbang, berat badan lahir rendah (BBLR) dan penyakit infeksi.

Milenium development goals (MDGs) bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan dan kelaparan,
mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS,
malaria dan penyakit menular lainnya, memastikan kelestarian lingkungan hidup serta
mengembangakan kemitraan global untuk pembangunan. Hal-hal yang dapat membantu pencapaian
tujuan MDGs ini adalah peningkatan kecukupan gizi masyarakat, digencarkannya penyuluhan tentang
kesehatan, serta kemudahan akses layanan kesehatan dan penambahan jumlah layanan kesehatan itu
sendiri dan tenaga kesehatan yang berpengalaman. (Bentian and Mayulu, N 2015)

Berdasarkan hasil analisis, ditemukan subjek penelitian pada kelompok stunting dengan BBLR sebanyak
24 orang (80,0%) dan pada kelompok tidak stunting sebanyak 14 orang (53,3%). Sedangkan subjek
penelitian pada kelompok stunting dengan sebanyak 6 orang (20,0%) sedangkan pada kelompok tidak
stunting sebanyak 16 orang (46,7%). Hasil uji chi- square (x²) diperoleh nilai odds ratio= 34,571 (1,452-
14,389). Hal ini menunjukan bahwa BBLR merupakan faktor risiko terhadap kejadian stunting. Analisis
dengan taraf signifikansi 95% diperoleh nilai p < 0,05 (0,007) yang berarti hipotesis diterima dan
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting.

Berdasarkan hasil analisis, ditemukan subjek penelitian pada kelompok stunting yang diberikan ASI
Eksklusif sebanyak 9 orang (30,0%) dan pada kelompok tidak stunting sebanyak 11 orang (36,7%).
Sedangkan subjek penelitian pada kelompok stunting yang tidak diberi ASI Eksklusis sebanyak 21 orang
(70,0%) sedangkan pada kelompok tidak stunting sebanyak 19 orang (63,3%). Hasil uji chi- square (x²)
diperoleh nilai odds ratio= 4,030 (1,372-11,839). Hal ini menunjukan bahwa penberian ASI Eksklusif
merupakan faktor risiko terhadap kejadian stunting. Analisis dengan taraf signifikansi 95% diperoleh nilai
p < 0,05 (0,010) yang berarti hipotesis diterima dan disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting. Berdasarkan hasil wawancara, ada banyak alasan
mengapa ibu-ibu tidak memberikan ASI Eksklusif, diantaranya : ASI tidak keluar, ibu akan kuliah, ibu
sakit, ASI sedikit dan lain-lain. Hal inilah yang mempengaruhi mengapa ada banyak bayi yang tidak
mendapat ASI Eksklusif.

Berdasarkan hasil analisis, ditemukan subjek penelitian pada kelompok stunting yang diberikan
imunisasi lengkap sebanyak 23 orang (76,7%) dan pada kelompok tidak stunting sebanyak 18 orang
(60,0%). Sedangkan subjek penelitian pada kelompok stunting yang tidak diberikan imunisasi lengkap
sebanyak 7 orang (23,3%) sedangkan pada kelompok tidak stunting sebanyak 12 orang (40,0%). Hasil uji
chi-square (x²) diperoleh nilai odds ratio= 0,457 (0,149- 1,396). Hal ini menunjukan bahwa penberian
imunisasi bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian stunting. Analisis dengan taraf signifikansi
95% diperoleh nilai p > 0,05 (0,133) yang berarti hipotesis ditolak dan disimpulkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara pemberian imunisasi dengan kejadian stunting. (Bentian and Mayulu, N 2015)
3.

Pertumbuhan anak yang optimal merupakan salah satu indikator status gizi dan kesehatan dalam
populasi untuk mencerminkan kualitas sumber daya manusia. Indikator yang sensitif sebagai penentu
status gizi masyarakat adalah status gizi anak balita. Stunting merupakan status gizi yang disebabkan
oleh masalah gizi kronik, sehingga anak balita stunting bisa menjadi indikator kunci dari kesehatan ibu
dan anak. Pertumbuhan linear yang terhambat, panjang badan tidak sesuai dengan usia, akan
menghasilkan anak yang stunting. Defisit pertumbuhan linear ini karena akumulasi dari 1.000 hari
pertama kehidupan yang tidak optimal.

Dampak dari anak balita stunting dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif, motorik, dan emosional.
Stunting di masa dewasa dapat menurunkan kapasitas kerja dan risiko kematian melahirkan pada
wanita. Selain itu juga, stunting dihubungkan dengan potensi masa depan generasi berikutnya yang
berkemungkinan untuk menjadi generasi yang stunting. Beberapa faktor yang berhubungan dengan
stunting adalah jenis kelamin, berat badan lahir rendah (<2500 gram), panjang badan lahir rendah (<48
cm), dan faktor sosial ekonomi seper- ti pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, serta pendapatan
orang tua. (Rukmana, Briawan, and Ekayanti 2016)

Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa berat badan lahir, dan pendidikan ayah berhubungan
signifikan dengan stunting (p<0,05) dengan masing-masing nilai OR adalah sebesar 4,192 dan 1,807
dengan arah hubungan yang ber- banding lurus dan menjadi faktor risiko stunting.

Penelitian ini menunjukkan bahwa berat badan lahir rendah dibawah 2.500 gram akan berisiko 4,192
kali stunting dibandingkan dengan anak yang berat badan lahir normal yaitu diatas atau sama dengan
2.500 gram.

penelitian ini menunjukkan persentase yaitu 23,30% anak stunting dengan panjang lahir kurang 48 cm.
Hasil statistik menunjukkan tidak ada hubungan panjang lahir dengan stunting. Variabel berat dan
panjang lahir merupakan data sekunder yang didapatkan dari catatan yang ada di KMS dan buku KIA.
Sehingga validitas berat dan panjang lahir tidak dapat diketahui dengan pasti. Pengukur- an panjang
badan lahir lebih sensitif dibandingkan dengan berat badan lahir, diantaranya yang me- nyangkut
tentang validitas alat ukur timbangan dan panjang badan, validitas pengukuran, validitas waktu/ hari
mengukur setelah dilahirkan.

Faktor sosial ekonomi yaitu pendidikan ibu dan ayah, pekerjaan ibu dan ayah, dan pendapatan keluarga
merupakan hubungan yang tidak langsung terjadinya stunting. Hasil penelitian ini yang berhubungan
adalah hanya pendidikan ayah rendah. Pendidikan ayah rendah akan mengalami 1,807 kali berisiko anak
stunting dibandingkan dengan pendidikan ayah tinggi. Pendidikan ayah yang tinggi berkesempatan
untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, yang nantinya akan berdampak pada pendapatan dan
ketersediaan pangan bagi keluarganya. Pendidikan ayah yang tinggi dikaitkan juga dengan pola
pengasuhan anak termasuk pemberian kapsul vitamin A, imu- nisas lengkap, sanitasi yang baik dan
penggunaan garam beryodium. Pendidikan ayah berhubungan dengan pendapatan keluarga. Pendidikan
ibu yang tidak bermakna diduga terkait dengan pekerjaan ibu yang dirumah (IRT). Jumlah ibu IRT lebih
banyak dibandingkan dengan ibu bekerja dan pendidikan tinggi. Selain itu, pola pengasuhan,
keterampilan dan kemauan untuk bertindak dapat membawa perubahan per- baikan gizi balita tidak
hanya dilihat dari pendi- dikan ibu tetapi bisa dilihat dari pengetahuan ibu yang bisa didapatkan dari
pendidikan nonformal. Pendapatan keluarga tidak bermakna dengan stunting anak usia 6-24 bulan,
akan tetapi persen- tase stunting lebih besar pada pendapatan keluar- ga dengan kuintil terendah
dibandingkan dengan kuintil tertinggi. Penelitian ini menyimpulan bahwa pendapatan keluarga yang
tinggi berkemung- kinan untuk mendapatkan pangan yang bagus un- tuk memenuhi kebutuhan
keluarga.
4.

Salah satu indikator terbaik untuk melihat status gizi anak bawah lima tahun (balita) adalah
pertumbuhan. Pertumbuhan pada masa ini penting karena merupakan salah satu indikator kesehatan di
masa dewasa. Pada tahun 2015, program perbaikan gizi telah menargetkan masalah gizi, baik gizi lebih
maupun gizi kurang hanya mencapai 15,5%. Di Indonesia, malnutrisi yang terjadi pada anak bawah dua
tahun (baduta) merupakan masalah pokok kesehatan masyarakat yang harus segera diatasi karena
dapat mengganggu pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan terjadi pada usia balita, khususnya baduta
dapat meningkatkan risiko penyakit kronis pada usia dewasa. Salah satu gangguan pertumbuhan pada
masa tersebut adalah stunting. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia dan penelitian di
Vietnam, menemukan bahwa kejadian stunting meningkat pada usia satu hingga dua tahun.

Penyebab utama stunting di antaranya adalah hambatan pertumbuhan dalam kandungan, asupan zat
gizi yang tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang cepat pada masa
bayi dan anak- anak serta seringnya terkena penyakit infeksi selama masa awal kehidupan. Selain itu,
berdasarkan hasil penelitian Kusumawati et al, faktor yang memengaruhi stunting antara lain sebagian
besar karena anak mengalami penyakit infeksi, anak memiliki panjang badan yang rendah ketika lahir,
pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai menurut usia disertai dengan konsistensi makanannya
dan anak yang mengalami berat lahir yang rendah pada saat dilahirkan. Selain itu, menurut Arifeen et al,
status gizi ibu sebelum dan ketika hamil juga turut berperan mencetuskan kejadian berat badan lahir
rendah (BBLR).

Hasil penelitian ini juga telah menemukan bahwa masih terdapat responden yang melahirkan anak yang
mengalami riwayat berat bayi lahir rendah, yaitu sebesar 11 responden (9,40%). Bayi yang lahir dengan
berat rendah dari normal berpotensi meng- hambat tinggi badan ketika usianya semakin bertambah.
Terhambatnya tinggi badan ini disebut dengan stunting.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak yang mengalami stunting memiliki ibu tidak
bekerja sebesar 38 orang (32,5%). Berdasarkan hasil uji statistik, diperoleh nilai p = 0,873 yang
menunjukkan bahwa walaupun ibu memiliki waktu luang yang relatif banyak, namun tidak memiliki efek
positif bagi perawatan dan pengasuhan yang baik dalam menjaga pertumbuhan anaknya. Dengan status
ekonomi keluarga yang baik, maka akan memengaruhi kemampuan pemenuhan gizi keluarga maupun
kemampuan mendapatkan layanan kesehatan. Orangtua dengan sosial ekonomi yang baik cenderung
memiliki pendidikan yang tinggi. Dengan pendidikan yang tinggi lebih mudah dan cepat memperoleh
akses media informasi serta mudah untuk menyerap informasi kesehatan yang baik bagi pertumbuhan
dan perkembang- an anak. Sebaliknya, anak pada keluarga dengan tingkat ekonomi rendah lebih
berisiko mengalami stunting karena selain terbatasnya untuk memperoleh akses layanan kesehatan,
keluarga juga memiliki kemampuan pe- menuhan gizi yang rendah sehingga meningkatkan risiko
terjadinya gizi salah. Selain itu, status ekonomi yang ren- dah berhubungan dengan keterbatasan
keluarga dalam memenuhi kebutuhan akan zat gizi baik makro maupun mikro. Status ekonomi keluarga
yang rendah akan memengaruhi kualitas maupun kuantitas bahan makanan yang dikonsumsi oleh
keluarga. Makanan yang didapat biasanya akan kurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama pada
bahan pangan yang berfungsi untuk per- tumbuhan anak seperti sumber protein, vitamin dan min- eral
sehingga meningkatkan risiko kurang gizi pada anak. Selain itu, kondisi rendahnya kualitas dan kuanti-
tas makanan yang dikonsumsi ibu hamil berpotensi juga memengaruhi produksi ASI. Akibat dari
produksi ASI yang tidak lancar bahkan kurang, maka anak tidak men- dapat cukup asupan zat gizi yang
penting untuk pertum- buhan dan perkembangannya melalui ASI, akibatnya berisiko mengalami gizi
kurang maupun gangguan per- tumbuhan dan perkembangan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang mengalami stunting tidak berhubungan dengan
tinggi badan ayah maupun ibu. Pada Tabel 2 terlihat bahwa anak yang mengalami stunting lebih besar
memiliki ayah dan ibu dengan tinggi badan kategori tidak pendek sebe- sar 52 orang (44,4%) dan 43
orang (36,8%). Kondisi sesuai menurut UNICEF bahwa tinggi badan orangtua bukan merupakan
penyebab langsung yang memengaruhi status gizi anak, namun faktor penyebab secara langsung kurang
gizi adalah ketidakcukupan makanan yang dikon- sumsi dan penyakit infeksi yang mungkin dialami oleh
anak. Selain itu, kemampuan orangtua dalam menyedi- akan makanan tingkat rumah tangga yang
kurang, ku- rang baiknya cara orangtua dalam merawat anak, lingkungan keluarga yang tidak terjaga
kebersihannya serta kemampuan keluarga dalam memanfaatkan layanan kesehatan terbatas
merupakan pokok masalah gizi ku- rang pada anak.

Jika ibu dan ayah tergolong pendek, anak berpotensi memiliki risiko memiliki tubuh yang pendek pula
karena anak mewarisi gen dalam kromosom yang membawa sifat stunting. Akan tetapi, tinggi badan
dipengaruhi oleh pelbagai faktor, tidak hanya faktor genetik saja (tinggi badan orangtua), tetapi juga
dipengaruhi asupan nutrisi dan juga penyakit yang dideri- ta. Jika anak mengalami stunting karena
kurangnya asu- pan gizi sejak kecil, maka stunting pada keturunannya masih dapat ditanggulangi.

Faktor risiko yang paling dominan berhubungan dengan anak yang mengalami stunting adalah BBLR.
Sedangkan variabel status pekerjaan ibu, tinggi badan ayah dan tinggi badan ibu tidak berhubungan
dengan ke- jadian stunting pada anak baduta di bantaran sungai wilayah Puskesmas Sungai Karias,
Kabupaten Hulu Sungai Utara. (Rahayu et al. 2015)
5.

Stunting merupakan suatu terminologi untuk tinggi badan di bawah persentil -3 atau -2 SD pada kurva
pertumbuhan yang berlaku pada populasi tersebut. Permasalahan gizi, khususnya anak stunting
merupakan indikator dari status ekonomi rendah serta indikator dari kurang gizi kronis, juga retardasi
pertumbuhan linear (stunting) menunjukkan gizi yang kronis yang terjadi dalam jangka waktu yang lama.

Faktor penyebab langsung terjadinya stunting adalah ketidakseimbangan gizi/faktor gizi dalam makanan
yang dikonsumsi dan terjangkitnya penyakit infeksi. Terlihat pula adanya sinergisme antara status gizi
dan infeksi. Keduanya dipengaruhi oleh makanan, kualitas mengasuh anak, kebersihan lingkungan, dan
lain-lain yang kesemuanya mencerminkan keadaan sosial ekonomi penduduk serta lingkungan
pemukimannya.

Malnutrisi dan infeksi sering terjadi pada saat bersamaan. Malnutrisi dapat meningkatkan risiko infeksi,
sedangkan infeksi dapat menyebabkan malnutrisi. Anak kurang gizi yang memiliki daya tahan tubuh
rendah akan mudah jatuh sakit dan mengalami kurang gizi, sehingga mengurangi kemampuannya untuk
melawan penyakit dan sebagainya. Penyakit dan terlambatnya pertumbuhan anak di negara-negara
belum maju merupakan kompleksitas hubungan timbal balik yang saling mendorong atau sinergisme
antara status gizi dan infeksi.

Stunting adalah status gizi yang didasarkan indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi
Badan menurut Umur (TB/U). Stunting merupakan hasil dari asupan makanan yang tidak adekuat,
kualitas makanan yang rendah, peningkatan kesakitan, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut yang
terjadi pada periode waktu yang lama. Zat gizi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan balita ada
pada zat makro dan zat mikro.

Penelitian ini menganalisis hubungan riwayat infeksi dan tingkat konsumsi dengan kejadian stunting
pada anak usia 25-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Kalisat Kabupaten Jember. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa anak balita di wilayah kerja Puskesmas Kalisat memiliki status gizi TB/U dibawah
normal dengan kategori stunting dan severe stunting. Hal ini menunjukkan bahwa angka stunting di
wilayah kerja Puskesmas Kalisat masih tinggi. Hal ini dikarenakan tingkat konsumsi zat gizi untuk
pertumbuhan anak balita di wilayah kerja Puskesmas Kalisat masih tergolong defisit sehingga dapat
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan anak balita tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara riwayat infeksi dengan kejadian
stunting. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Gerungan et al (2014) yang menyebutkan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara riwayat infeksi dengan kejadian stunting di wilayah kerja
Puskesmas Tuminting Kota Manado. Penyakit infeksi yang dialami balita yang paling dominan adalah
common cold tidak sampai menganggu status gizi balita khususnya untuk kejadian stunting. Hal ini dapat
disebabkan karena kekebalan tubuh balita yang kuat untuk melawan penyakit infeksi tersebut sehingga
tidak sampai menghambat pertumbuhan balita tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat konsumsi energi dengan
kejadian stunting. Ketidakbermaknaan hubungan dikarenakan tingkat konsumsi energi yang diperoleh
merupakan gambaran sekarang bukan gambaran masa lampau karena stunting merupakan akumulasi
dari asupan makan terdahulu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat konsumsi lemak dengan
kejadian stunting. dikarenakan hasil yang didapat merupakan tingkat konsumsi lemak saat sekarang
bukan masa lalu dikarenakan stunting merupakan akumulasi asupan gizi dari masa lalu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi
karbohidrat dengan kejadian stunting. Hal ini dikarenakan karbohidrat bukan satu-satunya zat gizi yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan balita, ada beberapa zat gizi makro, mikro, serta vitamin yang dapat
membantu pertumbuhan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat konsumsi protein dengan kejadian
stunting. Hal ini dikarenakan protein yang di atas AKG menggantikan peran lemak dan karbohidrat yang
tingkat konsumsinya defisit sehingga terjadi penguraian yang cepat pada protein untuk diubah menjadi
energi, sehingga peran protein yang berfungsi sebagai zat pembangun tidak dapat dijalankan yang
mengakibatkan tumbuh kembang balita terhambat.

Hasl penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat konsumsi kalsium dengan
kejadian stunting. Hal ini dikarenakan tingkat konsumsi kalsium yang didapat merupakan gambaran
masa sekarang bukan masa lampau.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat konsumsi zink dengan kejadian
stunting. Hal ini dikarenakan tingkat konsumsi zink yang sudah cukup sesuai dengan AKG sehingga zink
dapat melakukan fungsinya sebagaimana mestinya khususnya untuk proses percepatan pertumbuhan.

Berdasarkan hasil penelitian pada anak usia 25-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Kalisat Kabupaten
Jember dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat infeksi dengan kejadian stunting.
Tidak ada hubungan antara tingkat konsumsi energi, lemak, karbohidrat, kalsium, dan zink dengan
kejadian stunting. Ada hubungan antara tingkat konsumsi protein dengan kejadian stunting. (Hariyati,
Rohmawati, and Ningtyias 2016)
6.

Stunting berhubungan dengan perkembangan yang buruk pada balita dan berakibat pada berkurangnya
pengetahuan dan serta prestasi sekolah. Stunting dapat mengakibatkan terganggunya fungsi kognitif,
terganggunya proses metabolisme, dan terjadinya penurunan produktivitas. Stunting disebutkan juga
merupakan faktor risiko untuk berkurangnya kelangsungan hidup, kesehatan masa anak-anak dan
dewasa, kapasitas belajar dan produktivitas.

Penyebab langsung terjadinya stunting adalah karena intake makanan dan infeksi yang berulang.
Stunting merupakan pertumbuhan linier yang gagal untuk mencapai potensi genetik sebagai akibat dari
pola makan yang buruk dan penyakit. Zat gizi utama yang berhubungan dengan kejadian stunting adalah
protein. Hal ini terjadi apabila kekurangan protein secara terus menerus dapat menyebabkan
pertumbuhan anak balita terhambat dan tidak sesuai dengan umurnya. Hasil penelitian terdahulu
menunjukkan bahwa ada hubungan antara konsumsi protein dengan stunting, anak-anak dengan
konsumsi protein yang rendah berisiko untuk menjadi stunting dibanding anak-anak dengan konsumsi
protein baik.

Anak-anak yang stunting biasanya pada saat dewasa juga menjadi orang dewasa yang stunting. Anak-
anak stunting sering mengalami keterlambatan dalam kematangan tulang. Analisis ini bertujuan untuk
menentukan hubungan antara kepadatan tulang, aktivitas fisik, dan konsumsi makanan dengan kejadian
stunting.

faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian stunting. Kepadatan tulang, aktivitas fisik, konsumsi
protein, dan tempat tinggal berhubungan dengan kejadian stunting. Anak yang mempunyai kepadatan
tulang rendah berisiko 2,8 kali untuk menjadi stunting dibandingkan anak dengan kepadatan tulang baik
(OR=2,805 ; 95%CI: 1,448-5,435). Aktivitas fisik sedang (OR=0,215; 95%CI : 0,069-0,667). memberikan
efek protektif terhadap kejadian stunting dibandingkan dengan aktivitas fisik tinggi. Anak dengan
konsumsi protein < 80% RDA berisiko untuk menjadi stunting dibanding anak dengan konsumsi protein ≥
80% RDA (OR=2,000; 95%CI: 0,753-5,309). Anak yang tinggal di desa berisiko 3,5 untuk menjadi stunting
dibandingkan dengan anak yang tinggal di kota (OR=3,453 ; 95%CI : 1,240-9,615).

Stunting merupakan faktor risiko untuk berkurangnya kelangsungan hidup, kesehatan masa anak-anak
dan dewasa, kapasitas belajar dan produktivitas. Proses terjadinya stunting umumnya disebabkan oleh
intake makanan dan infeksi yang berulang. Masalah stunting menunjukkan ketidakcukupan gizi dalam
jangka waktu panjang yaitu kurang energi dan protein serta beberapa zat mikro lainnya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sekitar 35 persen anak mengkonsumsi < 80 persen angka
kecukupan gizi protein. Kekurangan protein akan menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan pada
anak. Anak dengan konsumsi protein <80 persen berisiko 6,5 kali untuk menjadi stunting dibanding
anak dengan konsumsi protein ≥80 persen. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Gibson, et.al.6 and Esfarjani, et.al.

Protein diperlukan untuk pembentukan tulang dan otot pada anak-anak yang sedang dalam masa
pertumbuhan. Selain itu protein juga berfungsi sebagai 1) sumber energi dan sebagai cadangan
makanan, 2) pembentukan dan perbaikan sel dan jaringan, 3) pengatur keseimbangan kadar asam basa
dalam sel, 4) sintesis hormon, enzim, dan antibodi, 4) menjaga kekebalan tubuh, sehingga kekurangan
protein pada masa pertumbuhan akan menyebabkan terjadinya stunting.

Pada dekade terakhir terjadi perhatian yang besar dalam penilaian kepadatan tulang pada anak-anak.
Hal ini karena adanya fakta bahwa risiko osteoporosis pada orang dewasa dipengaruhi oleh puncak
massa tulang, yang sebagian besar dicapai selama masa kanak- kanak dan remaja.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa anak dengan kepadatan tulang rendah berisiko 5,3 kali untuk
menjadi stunting dibanding anak dengan kepadatan tulang normal. Mineralisasi tulang adalah tahap
perkembangan penting yang perlu dicapai pada masa anak-anak dan remaja. Akumulasi massa tulang
umumnya sejajar dengan pertumbuhan linear, sehingga persentase pembentukan massa tulang yang
besar dicapai selama masa pertumbuhan cepat (growth spurt). Kegagalan untuk mencapai massa tulang
yang memadai selama masa remaja merupakan faktor risiko untuk osteoporosis. Zat gizi makro yang
berhubungan dengan pembentukan tulang adalah protein, sedangkan zat gizi mikro adalah kalsium,
phospor dan zink. Pada analisis ini hanya zat gizi protein yang berhubungan bermakna dengan stunting,
namun tidak ditemukan ada interaksi antara protein dengan kepadatan tulang pada kejadian stunting.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak dengan aktivitas fisik sedang merupakan faktor protektif
(OR=6,448; 95%CI:1,756-23,672) untuk kejadian stunting dibanding anak dengan aktivitas fisik tinggi.
Keseimbangan antara energi yang dikonsumsi dan energi yang dikeluarkan merupakan faktor risiko
kejadian stunting pada anak dengan aktivitas fisik rendah dan tinggi. Anak-anak dengan konsumsi yang
rendah diasumsikan tidak mempunyai aktivitas yang banyak karena mereka tidak mempunyai energi
yang cukup untuk beraktivitas. Anak-anak dengan aktivitas yang tinggi akan mengeluarkan banyak
energi, jika konsumsi energi tidak mencukupi maka akan dilakukan pemecahan protein untuk memenuhi
kebutuhan energi. Pada penelitian ini tidak ditemukan interaksi antara aktivitas fisik dan kepadatan
tulang dengan risiko kejadian stunting, hal ini diduga karena proses pertumbuhan tulang pada anak
masih berlangsung berbeda dengan orang tua yang mengalami penurunan kepadatan tulang sehingga
memerlukan aktivitas fisik dengan intensitas tinggi untuk mencegah terjadinya osteoporosis.

Kejadian stunting berhubungan signifikan dengan kepadatan tulang, aktivitas fisik dan konsumsi protein
pada anak usia sekolah. (Harahap, Sandjaja, and Soekatri 2015)
7.

Balita usia 24-59 bulan termasuk dalam golongan masyarakat kelompok rentan gizi (kelompok
masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi), sedangkan pada saat ini mereka sedang
mengalami proses pertumbuhan yang relatif pesat. Gangguan pertumbuhan linear, atau stunting, terjadi
terutama dalam 2 sampai 3 tahun pertama kehidupan dan merupakan cerminan dari efek interaksi
antara kurangnya asupan energi dan asupan gizi serta infeksi (Fitri 2012 dalam (Ibrahim and Faramita
2015)

Penelitian ini berisi tentang hubungan sosial ekonomi dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59
bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong Kota Makassar.

Berdasarkan hasil analisis bivariate dengan menggunakan uji Chi-Square Test diperoleh hasil bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ayah dengan kejadian stunting pada anak
usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Barombong. Walaupun secara statistik tidak memiliki
hubungan yang signifikan tetapi berdasarkan hasil penelitian, presentasi tertinggi masih terdapat pada
ayah pendidikan cukup dengan status gizi anak normal dan sebaliknya. Hal ini menandakan bahwa
tingkat pendidikan ayah berkontribusi terhadap pertumbuhan tinggi badan anak, dimana digambarkan
rata-rata pendidikan ayah adalah tamat SD. Tingkat pendidikan yang tinggi akan memudahkan
seseorang termasuk ayah untuk menyerap informasi, namun jika dalam pengimplementasiannya kurang
akan berdampak pada status gizi anak.

Untuk tingkat pendidikan ibu menunjukkan ada hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting
pada anak usia 24- 59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Barombong. Tingkat pendidikan dapat
meningkatkan keputusan ibu membuat kekuasaan, yang meningkatkan gizi anak, kesehatan dan
akhirnya pertumbuhan fisik mereka. peningkatan pendidikan ibu dapat mengurangi kejadian stunting,
karena ibu pada umumnya pengasuh utama bagi anak, dan tingkat pendidikan ibu yang diharapkan
memiliki hubungan yang kuat terhadap stunting pada anak.

Berdasarkan hasil analisis bivariate (uji Chi-Square Test) diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan
antara pengetahuan ibu tentang gizi dan stunting dengan kejadian stunting pada anak. Dimana
diketahui dari hasil penelitian bahwa kejadian stunting pada anak, baik itu pendek maupun sangat
pendek, lebih banyak terjadi pada ibu yang berpengetahuan kurang. Pengetahuan ibu tentang gizi akan
menentukan sikap dan perilaku ibu dalam menyediakan makanan untuk anaknya termasuk jenis dan
jumlah yang tepat agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Berdasarkan hasil analisis bivariate (uji Chi-Square Test) diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara status pekerjaan ibu dengan kejadian stunting pada anak. Tidak adanya hubungan
antara pekerjaan dengan kejadian stunting disebabkan, meskipun ibu tidak bekerja, belum tentu
dipengaruhi atau diikuti dengan pola pengasuhan yang baik.

Berdasarkan hasil analisis bivariate (uji Chi-Square Test) diperoleh hasil yang menunjukkan tidak ada
hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan dengan kejadian stunting pada anak. Tidak adanya
hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita dapat disebabkan pendapatan tidak
berpengaruh positif terhadap status gizi tidak secara langsung tetapi melalui variabel distribusi
makanan, pengetahuan dan keterampilan orang tua (pola asuh), karena pendapatan hanya sebagai
media dalam membelanjakan kebutuhan dalam mengkonsumsi kebutuhan pangan.

Dengan pendapatan yang rendah, biasanya mengkonsumsi makanan yang lebih murah dan menu yang
kurang bervariasi, sebaliknya pendapatan yang tinggi umumnya mengkonsumsi makanan yang lebih
tinggi harganya, tetapi penghasilan yang tinggi tidak menjamin tercapainya gizi yang baik. Pendapatan
yang tinggi tidak selamanya meningkatkan konsumsi zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, tetapi
kenaikan pendapatan akan menambah kesempatan untuk memilih bahan makanan dan meningkatkan
konsumsi makanan yang disukai meskipun makanan tersebut tidak bergizi tinggi. Terdapat keluarga
dengan pendapatan tinggi kurang baik dalam mengatur belanja keluarga, mereka membeli pangan
dalam jumlah sedikit serta mutu yang kurang, sehingga dapat mempengaruhi keadaan gizi anak.

Berdasarkan hasil analisis bivariate (uji Chi-Square Test) diperoleh hasil yang menunjukkan tidak ada
hubungan yang signifikan antara jumlah anggota keluarga dengan kejadian stunting pada anak usia 24 -
59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Barombong. Hal tersebut terjadi karena meskipun jumlah anggota
keluarga besar namun apabila ibu selaku orang yang mengasuh dan mengkoordinir pemberian makan
dengan baik dan seimbang maka tidak akan terjadi masalah gizi seperti stunting. Walaupun hasil
penelitian yang diperoleh menyimpulkan bahwa jumlah anggota keluarga tidak berhubungan kejadian
stunting pada balita, tetapi jumlah anggota keluarga dan banyaknya balita dalam keluarga akan
berpengaruh terhadap tingkat konsumsi makanan yaitu jumlah dan distribusi makanan dalam rumah
tangga. Semakin kecil jumlah anggota keluarga, kemampuan untuk menyediakan makanan yang
beragam juga semakin besar karena tidak membutuhkan biaya yang cukup besar untuk membeli
beragam makanan jika dibandingkan dengan jumlah anggota keluarga sedang atau besar. Namun jika
jumlah anggota keluarga besar tanpa diimbangi dengan distribusi makanan yang tidak merata akan
menyebabkan anak balita dalam keluarga tersebut menderita kurang gizi seperti stunting. Semakin
banyak jumlah anggota rumah tangga, maka akan semakin kecil distribusi ke masing-masing anggota.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan faktor sosial ekonomi keluarga
dengan kejadian stunting anak usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Barombong Kota Makassar
tahun 2014, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
pendidikan ibu (p=0,020) dan pengetahuan gizi & stunting pada ibu (p=0,000) dengan kejadian stunting
anak usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Barombong. Dan tidak terdapat hubungan antara
pendidikan ayah (p=0,150), pekerjaan ibu (p=0,513), pendapatan orang tua (p=0,599), dan jumlah
anggota keluarga (p=0,178) dengan kejadian stunting anak usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas
Barombong.

Untuk mencegah terjadinya peningkatan prevalensi stunting, diperlukan penanganan dimulai sejak dini,
seperti perlunya pemantauan pertumbuhan balita dengan pengukuran tinggi badan secara berkala
melalui posyandu, serta diperlukan penyuluhan kesehatan secara rutin dalam meningkatkan
pengetahuan gizi bagi orang tua khususnya pengetahuan ibu sehingga pengetahuan meningkat demi
mewujudkan keluarga yang sadar akan gizi. (Ibrahim and Faramita 2015)
8.

Status gizi ibu hamil sangat memengaruhi keadaan kesehatan dan perkembangan janin. Gangguan
pertumbuhan dalam kandungan dapat menyebabkan berat lahir rendah (WHO, 2014). Faktor lain yang
berhubungan dengan stunting adalah asupan ASI Eksklusif pada balita. Penelitian di Ethiopia Selatan
membuktikan bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan berisiko tinggi
mengalami stunting (Fikadu, et al., 2014). Status sosial ekonomi keluarga seperti pendapatan keluarga,
pendidikan orang tua, pengetahuan ibu tentang gizi, dan jumlah anggota keluarga secara tidak langsung
dapat berhubungan dengan kejadian stunting. Hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa kejadian
stunting balita banyak dipengaruhi oleh pendapatan dan pendidikan orang tua yang rendah.

Hasil peneltian menunjukkan bahwa sebagian besar balita stunting maupun normal mempunyai berat
badan lahir normal (≥2500 gram). Berdasarkan hasil uji Fisher Exact dengan tingkat kepercayaan 95%
didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara berat badan lahir dengan kejadian
stunting pada balita (p=1,000). Berat badan lahir merupakan salah satu indikator kesehatan pada bayi
yang baru lahir. Berat badan lahir merupakan parameter yang sering dipakai untuk menggambarkan
pertumbuhan janin pada masa kehamilan. Bayi dengan berat badan lahir rendah akan lebih rentan
terhadap pengaruh lingkungan yang kurang baik di masa mendatang (Umboh, 2013 dalam (Ni’mah and
Nadhiroh 2016)

Berat lahir pada hasil penelitian ini tidak menunjukkan hubungan dengan kejadian stunting pada balita
dapat disebabkan oleh banyak faktor yang lebih besar pengaruhnya dengan kejadian stunting balita
seperti ketidakcukupan gizi serta infeksi. Selain itu efek berat badan lahir terhadap pertumbuhan tinggi
badan paling besar terdapat pada usia 6 bulan pertama. Jika pada 6 bulan pertama balita dapat
memperbaiki status gizinya, maka terdapat kemungkinan bahwa tinggi badan balita dapat tumbuh
dengan normal dan terhindar dari kejadian stunting di usia selanjutnya.

balita pada kelompok stunting memiliki proporsi panjang badan lahir lebih tinggi 23,5% dibandingkan
kelompok balita normal. Hasil uji Chi Square didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara panjang badan lahir dengan kejadian stunting pada balita dengan OR 4,091. Artinya, balita
dengan panjang badan lahir kurang (<48 cm) berisiko mengalami stunting 4,091 kali lebih besar daripada
balita dengan panjang badan lahir normal (>48 cm). menurut Kusharisupeni (2002) dalam (Ni’mah and
Nadhiroh 2016) Risiko untuk terjadi gangguan tumbuh (growth faltering) lebih besar pada bayi yang
telah mengalami falter sebelumnya yaitu keadaan pada masa kehamilan dan prematuritas. Artinya,
panjang badan yang jauh di bawah rata- rata lahir disebabkan karena sudah mengalami retardasi
pertumbuhan saat dalam kandungan. Retardasi pertumbuhan saat masih dalam kandungan
menunjukkan kurangnya status gizi dan kesehatan ibu pada saat hamil sehingga menyebabkan anak
lahir dengan panjang badan yang kurang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif selama 6 bulan
pertama lebih tinggi pada kelompok balita stunting (88,2%) dibandingkan dengan kelompok balita
normal (61,8%). Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian stunting dengan OR sebesar 4,643. Hasil wawancara dengan ibu balita yang
menjadi responden penelitian menunjukkan bahwa alasan ibu balita yang tidak memberikan ASI
eksklusif pada anaknya karena ASI tidak keluar pada saat anak lahir sehingga bayi diberikan susu formula
sebagai pengganti. Setelah ASI sudah lancar maka ASI diberikan kepada anaknya dengan tetap ditambah
susu formula. Selain itu, makanan tambahan ASI diberikan lebih awal agar bayi tidak menangis atau
rewel. Besarnya pengaruh ASI eksklusif terhadap status gizi anak membuat WHO merekomendasikan
agar menerapkan intervensi peningkatan pemberian ASI selama 6 bulan pertama sebagai salah satu
langkah untuk mencapai WHO Global Nutrition Targets 2025 mengenai penurunan jumlah stunting pada
anak di bawah lima tahun (WHO, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa keluarga pada kelompok balita normal cenderung
berpenghasilan cukup (50%) dibandingkan dengan keluarga balita stunting (23,5%). Hasil analisis Chi
Square menunjukkan bahwa pendapatan keluarga merupakan faktor yang berhubungan dengan
kejadian stunting pada balita (p=0,044) dengan OR sebesar 3,250. Status ekonomi yang rendah dianggap
memiliki dampak yang signifikan terhadap kemungkinan anak menjadi kurus dan pendek (UNICEF,
2013).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi tingkat pendidikan ayah yang rendah pada kelompok
balita stunting sedikit lebih tinggi (47,1%) dibandingkan dengan kelompok balita normal (32,4%). Akan
tetapi hasil uji Chi Square tidak menunjukkan hubungan yang signifi kan antara pendidikan ayah dengan
kejadian stunting pada balita (p=0,32). Pendidikan ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan
kejadian stunting pada balita (p=0,029) dengan OR sebesar 3,378. Hal ini bisa dilihat dari distribusi data
yang menunjukkan bahwa lebih dari separuh ibu balita stunting memiliki tingkat pendidikan yang
rendah (61,8%), sementara lebih dari separuh ibu pada kelompok balita normal memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi (67,6%).

Penelitian yang dilakukan Tiwari, et al. (2014) di Nepal yang dikutip dalam (Ni’mah and Nadhiroh 2016)
menunjukkan bahwa pendidikan ibu merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak di bawah lima
tahun. Hal ini bisa disebabkan karena peran pengasuhan lebih besar dilakukan oleh ibu sedangkan ayah
lebih banyak bekerja sehingga waktu dengan anaknya akan lebih berkurang. Tingkat pendidikan ibu
turut menentukan mudah tidaknya seorang ibu dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang
didapatkan. Pendidikan diperlukan agar seseorang terutama ibu lebih tanggap terhadap adanya masalah
gizi di dalam keluarga dan diharapkan bisa mengambil tindakan yang tepat sesegera mungkin.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ibu balita stunting (61,8%) memiliki pengetahuan gizi yang
lebih rendah daripada ibu balita normal (29,4%). Hasil analisis Chi-Square menunjukkan bahwa
pengetahuan gizi ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita
(p=0,015) dengan OR sebesar 3,877. Ketidaktahuan mengenai informasi tentang gizi dapat
menyebabkan kurangnya mutu atau kualitas gizi makanan keluarga khususnya makanan yang
dikonsumsi balita. Menurut Suhardjo, 2003 yang dikutip dalam (Ni’mah and Nadhiroh 2016) Salah satu
penyebab gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi dan kemampuan seseorang menerapkan
informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat pengetahuan gizi ibu memengaruhi sikap
dan perilaku dalam memilih bahan makanan, yang lebih lanjut akan memengaruhi keadaan gizi
keluarganya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh kelompok balita stunting (67,6%) dan normal
(58,8%) memiliki jumlah anggota keluarga >4 orang. Hasil uji statistik Chi Square menghasilkan bahwa
jumlah anggota keluarga bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada
balita. Besar keluarga menentukan status gizi, namun status gizi juga ditentukan oleh faktor lain seperti
dukungan keluarga dalam pemberian makanan bergizi serta tingkat sosial ekonomi keluarga. Keluarga
dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang disertai jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan
bukan hanya kurang perhatian dan kasih sayang pada anak namun juga kebutuhan primer seperti
makanan, sandang, dan papan atau perumahan tidak dapat terpenuhi (Soetjiningsih, 1995 dalam
(Ni’mah and Nadhiroh 2016)
9.

Penelitian ini menganalisis gambaran perbedaan dan membandingkan faktor penentu stunting anak
balita pada berbagai zona ekosistem di Kabupaten Kupang. Penelitian ini diharapkan dapat membantu
mengatasi masalah stunting sedini mungkin sehingga tinggi badan optimal bisa tercapai dan menangani
masalah gizi pada umumnya.

Tingkat pendapatan keluarga dihitung dan dibandingkan dalam bentuk pengeluaran keluarga selama
sebulan baik pengeluaran pangan dan non pangan. Hasil tersebut menunjukkan rata-rata pendapatan
keluarga pada zona ekosistem dataran rendah paling tinggi daripada zona ekosistem lainnya. Keluarga
pada zona ekosistem dataran rendah lebih mudah memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga
termasuk kebutuhan pangan dalam rumah tangga.

Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat bermakna sebagai penentu
stunting pada variabel konsumsi energi (p<0,01), konsumsi protein dan jenis makanan (p=0,005). Rata-
rata tingkat konsumsi energi dan protein anak balita pada zona ekosistem dataran rendah lebih tinggi
daripada zona ekosistem dataran sedang dan pegunungan. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna
sebagai penentu stunting pada variabel frekuensi makan di zona ekosistem dataran rendah, dataran
sedang, dan pegunungan (p=0,887). Rata-rata frekuensi makan, tidak ada yang paling dominan pada
masing-masing zona ekosistem, artinya pada masing-masing zona ekosistem mempunyai frekuensi
makan anak balita yang cenderung sama yaitu frekuensi konsumsi bahan makanan ≥3 kali sehari.
Frekuensi makan dipengaruhi oleh kebiasaan yang ada di sekitarnya. Frekuensi makan berhubungan
dengan penggunaan jenis makanan yang dikonsumsi.

Hasil penelitian menunjukkan konsumsi energy dengan tingkat kecukupan rendah terbanyak di zona
ekosistem pegunungan (90,9%). Konsumsi protein balita dengan tingkat kecukupan ren- dah terbanyak
di zona ekosistem pegunungan (81,8%). Frekuensi makan antar zona ekosistem hampir sama antar zona
ekosistem, sedangkan jenis makanan dengan kategori kurang terbanyak pada zona ekosistem dataran
rendah dan tinggi sebesar 86,4%, dengan jumlah kategori baik terbanyak di zona ekosistem dataran
sedang (38,6%).

Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna sebagai penentu stunting
antara praktik pemberian makanan dan praktik akademik di zona ekosistem dataran rendah, dataran
sedang, dan pegunungan (p>0,01). Hasil uji Kruskal Wallis juga menunjukkan terdapat perbedaan yang
sangat bermakna sebagai penentu stunting antara praktik higiene kesehatan dan praktik kasih sayang di
zona eko- sistem dataran rendah, dataran sedang dan pegu- nungan (p<0,01).

Rata-rata praktik pemberian makanan pada zona ekosistem tidak berbeda. Hal ini ke- mungkinan karena
secara kualitatif karakteristik akibat budaya makan hampir sama, sehingga me- nyebabkan tidak ada
perbedaan pola atau bentuk perilaku praktik pemberian makan kepada balita. Anak balita pada zona
ekosistem dataran sedang memiliki rata-rata praktik kasih sayang tertinggi. Perbedaan ini terjadi karena
kondisi lingkungan yang memungkinkan ibu untuk meninggalkan anak dengan melakukan aktivitas lain
misalnya bekerja atau kegiatan lain untuk menunjang ke- hidupan mereka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh ibu di semua zona ekosistem termasuk dalam kategori
cukup tertinggi pada zona ekosistem dataran sedang (70,5%), praktik higiene dan kesehatan tertinggi
pada zona ekosistem dataran rendah (79,5%). Praktik kasih sayang sebagian besar berada pada kategori
cukup tertinggi pada zona ekosistem pegunungan (75,0%). Praktik aka- demik sebagian besar berada
pada kategori cukup tertinggi pada zona ekosistem dataran rendah (61,4%).

Anak balita merupakan anggota keluarga yang memerlukan perhatian khusus orangtua, karena pada
usia balita seorang anak masih ter- gantung secara emosional kepada orang dewasa terutama orangtua.
Praktik akademik pada zona ekosistem pegunungan mempunyai rata-rata ter- tinggi dibandingkan zona
ekosistem lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena peluang ibu yang tidak bekerja bertemu dan
mengasuh anak balita lebih sering sehingga ibu memiliki waktu yang cukup untuk mengajari anak.

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar anak balita menderita sakit tertinggi pada zona ekosistem
dataran sedang (77,3%). Frekuensi sakit balita yang masuk kategori sering tertinggi pada zona ekosistem
dataran rendah dan dataran sedang (70,5%), dengan rata-rata lama sakit yang diderita dalam waktu
yang pendek tertinggi pada zona pegunungan. Kondisi sanitasi lingkungan rumah tangga di semua zona
ekosistem Kabupaten Kupang, sebagian besar berada pada kategori cukup dan masih terdapat jumlah
kondisi sanitasi lingkungan dalam kondisi kurang tertinggi yaitu 34,1% di zona ekosistem dataran sedang
dan ka- tegori baik terendah pada zona ekosistem pegu- nungan (18,2%). Keadaan ini mengindikasikan
bahwa faktor lingkungan sebagai faktor penentu stunting tidak berdiri sendiri, ada faktor lain yang
secara bersama-sama memengaruhi stunting misalnya penyakit infeksi dan pola asuh. Anak yang sering
sakit akan memengaruhi asupan makan yang kurang sehingga pertumbuhan anak akan terganggu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Probabilitas balita mengalami kejadian stunting jika praktik kasih
sayangnya kurang adalah sebesar 2,224 artinya seorang balita dengan praktik kasih sayang kurang
memiliki kemungkinan kejadian stunting 2,2 kali lebih besar dibanding dengan praktik kasih sayang yang
baik. Jika variabel praktik kasih sayang dianggap konstan, maka seseorang memiliki peluang terkena
kejadian stunting adalah sebesar 2,832 untuk setiap penambahan sanitasi lingkungan. Sementara jika
sanitasi lingkungan bernilai konstan maka peluang seorang terkena kejadian stunting adalah sebesar
9,25 satuan untuk praktik kasih sayang kurang dibandingkan dengan praktik kasih sayang baik.

Dimensi emosional kehangatan atau kasih sayang, dukungan atau sensitivitas dan dimensi perilaku diri
bisa didapatkan selama proses makan bersama dengan kelu- arga. Perilaku pengasuhan umum selama
waktu makan akan memengaruhi perilaku dan aktivitas makan anak yang selanjutnya bisa memengaruhi
status pertumbuhan anak. Kehangatan orangtua dan pengawasan yang positif berkontribusi untuk
perkembangan anak dalam pengurangan reaksi emosional yang negatif dan meningkatkan reaksi
emosional positif serta pengaturan diri (Rhee et al. 2015).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya variabel sanitasi lingkungan yang berpengaruh signifikan
terhadap kejadian stunting kare- na p≤0,05 dengan nilai OR=3,978 (p=0,034; 95%CI:1,112-14,230) dan
model regresi logis- tik yang didapat sebagai faktor penentu stunting pada zona ekosistem pegunungan
adalah Ln P/ (1-P)= -4,410 + 1,381 Sanitasi Lingkungan atau Kejadian Stunting=-4,410 + 1,381 Sanitasi
Lingkungan. Probabilitas atau peluang balita mengalami kejadian stunting karena sanitasi yang kurang
adalah sebesar 1,381, artinya seorang balita dengan sanitasi lingkungan kurang memiliki kemungkinan
kejadian stunting 4 kali lebih besar dibanding dengan sanitasi lingkungan baik. Anak dengan sanitasi
lingkungan yang kurang akan memiliki peluang terjadinya stunt- ing lebih besar dibandingkan anak
dengan sani- tasi lingkungan yang cukup dan baik di zona ekosistem dataran sedang dan pegunungan.

Ketersediaan air bersih berhubungan juga dengan kebiasaan dalam hal buang air besar. Kondisi curah
hujan yang rendah dan kondisi geografis yang sulit menambah keterbatasan ma- syarakat untuk
mendapatkan akses air bersih, sehingga air menjadi bahan yang sulit didapat di daerah pegunungan. Air
yang bersih mencegah perkembangan penyakit yang secara bersama-sa- ma dengan sanitasi dan
kebersihan memengaruhi kesehatan status gizi terutama gizi kurang (Ka- vosi et al. 2014).

Faktor penentu stunting pada zona ekosistem dataran rendah adalah asupan energi; di zona dataran
sedang adalah praktik kasih sayang dan sanitasi lingkungan; dan di zona eksosistem pegunungan adalah
sanitasi lingkungan. (Cahyono, Manongga, and Picauly 2016).
10.

Indonesia health development in the 2015-2019 period focuses on four priority programs: decreased
mother and infant mortality rate, decreased prevalence of stunting among children under 5 years,
infectious disease control and non- communicable disease control. One of the national development
priorities listed in the main target of the Short-term Development Plan 2015-2019 is decreased stunting
among children under 5 years old by improving nutritional status. It was targeted that stunting
prevalence (short and very short) among children under 2 years old decrease to 28% (Kemenkes RI,
2016)

Kejadian stunting sering dijumpai pada anak usia 12-36 bulan dengan prevalensi sebesar 38,3–41,5%.
Stunting pada anak usia dibawah lima tahun biasanya kurang disadari karena perbedaan anak yang
stunting dengan anak yang normal pada usia tersebut tidak terlalu dilihat. Usia di bawah lima tahun
merupakan periode emas dalam menentukan kualitas sumber daya manusia yang dilihat dari segi
pertumbuhan fisik maupun kecerdasan, sehingga hal ini harus didukung oleh status gizi yang baik.
Seorang anak yang mengalami stunting pada masa ini cenderung akan sulit mencapai tinggi badan yang
optimal pada periode selanjutnya. Hal ini dapat menyebabkan gangguan perkembangan fungsi kognitif
dan psikomotor, penurunan intelektual peningkatan risiko penyakit degeneratif serta penurunan
produktivitas di masa mendatang.

Kondisi stunting sulit ditangani bila anak telah memasuki usia dua tahun. Oleh karena itu, untuk
mencegah terjadinya stunting pada anak, ibu perlu mengonsumsi asupan gizi yang layak, terutama
selama masa kehamilan hingga anak lahir dan berusia 18 bulan. Pada dasarnya, kelangsungan hidup dan
kesehatan anak tidak dapat dipisahkan dari kesehatan ibu. Asupan zat gizi yang rendah dipengaruhi oleh
pola asuh, salah satunya adalah perilaku pemberian makan yang tidak tepat. Perilaku pemberian
makanan balita dipengaruhi oleh pengetahuan gizi ibu. Pengetahuan gizi ibu adalah salah satu faktor
yang mempunyai pengaruh signifikan pada kejadian stunting. Selain panjang badan lahir, status ekonomi
keluarga juga merupakan faktor risiko kejadian stunting pada balita.

Menurut Notoatmodjo pengetahuan merupakan hasil tahu dan terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu
penciuman, penglihatan, pendengaran dan raba. Pengetahuan adalah keseluruhan gagasan, ide, yang
dimiliki manusai tentang duni seisinya termasuk manusia dan kehidupannya. Pengetahuan sendiri
biasanya didapatkan dari informasi baik yang didapatkan dari pendidikan formal maupun informasi lain
seperti radio, TV, internet, koran, majalah, penyuluhan dll. Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang
dalam menerima informasi. Orang dengan tingkat pendidikan yang lebih baik akan lebih mudah dalam
menerima informasi daripada orang dengan tingkat pendidikan yang kurang. Informasi tersebut
dijadikan sebagai bekal ibu untuk mengasuh balitanya dalam kehidupan sehari hari. Persepsi itu sendiri
dapat diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap sesuatu setelah mendapatkan pengetahuan
baik secara langsung maupun tidak langsung.

Hasil FGD menunjukkan bahwa mereka masih memiliki persepsi yang salah tentang stunting dan ketidak
tahuan tentang kejadian tersebut. Kesalahan persepsi dan rendahnya pengetahuan ibu tentu akan
berdampak pada perilaku ibu khususnya perilaku kesehatan dan perilaku pemberian makan pada anak.
Kejadian stunting pada balita terkait dengan asupan zat gizi pada balita. Asupan zat gizi yang dimakan
oleh balita sehari hari tergantung dari ibunya sehingga ibu mempunyai peran yang penting terhadap
perubahan perubahan masukan zat gizi pada balita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan wasting dan stunting; dalam penelitian ini masalah
wasting lebih banyak terjadi pada ibu dengan tingkat pengetahuan yang kurang (16,7%), sedangkan
stunting lebih banyak pada ibu dengan pengetahuan yang baik (50%).

Penelitian ini setelah dilakukan analisis statistic memberikan hasil bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan dari asupan energi, asupan protein, asupan zat besi, dan asupan seng pada Z-score BB/TB
pada subjek stunting yang dibuktikan dengan nilai p dari keseluruhan variabel >0,05.

Hasil menunjukkan bahwa tidak ada hubungan tingkat kecukupan asupan energi dengan Z-score BB/TB.
Subjek yang stunting memang mengonsumsi asupan makanan yang cukup beragam, walaupun asupan
makanan utama tidak terlalu banyak, tetapi konsumsi ASI dan makanan selingan atau jajan cukup tinggi.
Sehingga turut menyumbang jumlah energi yang dikonsumsi dalam sehari.

Tingkat kecukupan zat besi pada penelitian ini juga tidak memiliki hubungan dengan Z-score BB/TB
meskipun 4 subjek (11,1%) memiliki tingkat kecukupan zat besi dalam kategori kurang dan 15 subjek
(41,7%) dalam kategori lebih. Selanjutnya untuk tingkat kecukupan seng, pada penelitian ini sebanyak 25
subjek (58,1%) memiliki tingkat kecukupan yang lebih, dan hanya ada 1 subjek (2,8%%) memiliki tingkat
kecukupan yang kurang.

pada balita yang stunting mengalami defisiensi zat besi dan seng. Akan tetapi, walaupun tingkat
kecukupan zat besi dan seng pada balita stunting dalam kategori cukup dan lebih, namun zat besi dan
seng yang diasup tidak semua dapat diserap oleh tubuh. Jika asupan zat besi heme (makanan hewani)
dalam sehari sebanyak 10%, yang dapat diserap hanya sekitar 25%, sedangkan jika asupan zat besi non-
heme (makanan nabati) dalam sehari sebanyak 90% yang dapat diserap hanya 17% saja. Sementara itu,
untuk asupan seng jika sehari mengonsumsi 4-14 mg/hari, hanya 10-40% saja yang dapat diserap
dengan baik. Seng diserap didalam usus halus dengan mekanisme termediasi. Ketika fisiologis tubuh
dalam keadaan normal, proses pengangkutan seng tidak dalam keadaan jenuh. Jika yang masuk ke
dalam tubuh adalah seng dalam bentuk larutan, maka dapat diserap secara efisien (60-70%), namun jika
yang dikonsumsi berupa makanan padat, proses penyerapan juga bergantung pada kadar seng dalam
makanan dan komposisi jenis asupan makanan. Selain itu, walaupun tingkat kecukupan seng pada balita
termasuk berlebih, namun penyerapan seng dapat menurun karena adanya zat gizi pengikat yang
membuat seng menjadi tidak dapat diserap. Zat gizi tersebut adalah fitat dan serat. Kemudian, zat besi
di dalam tubuh juga mempengaruhi penyerapan seng di dalam usus. Hal ini menyebabkan asupan seng
yang tinggi dapat menurunkan penyerapan seng dan asupan zat besi yang tinggi juga dapat menurunkan
penyerapan zat besi

Ibu dengan anak yang menderita stunting mempunyai pengetahuan dan persepsi yang salah tentang
stunting. Stunting dianggap bukan masalah serius yang perlu segera ditindak lanjuti. Ibu dengan anak
yang menderita stunting tidak terlalu mengkhawatirkan tentang kondisi anaknya. Tidak ada hubungan
tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, dan seng, pada balita stunting usia 1- 5 tahun di Kecamatan
Genuk. (Margawati and Astuti 2018)

Anda mungkin juga menyukai