Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Kata sepsis berasal dari bahasa Yunani yang berarti dekomposisi atau
pembusukan. Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi bersamaan dengan
manifestasi infeksi sistemik Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis ditambah
disfungsi organ sepsis dengan hipoperfusi jaringan.Septic shock didefinisikan
sebagai sepsis dengan hipotensi yang menetap meskipun telah diberikan resusitasi
cairan yang adekuat.1

Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat disregulasi


respons tubuh terhadap infeksi.2 Sepsis dapat mengenai berbagai kelompok umur,
pada dewasa, sepsis umumnya terdapat pada orang yang mengalami
immunocompromised yang disebabkan karena adanya penyakit kronik maupun
infeksi lainnya. Sepsis merupakan penyebab tersering di perawatan pasien di unit
perawatan intensif.3

Risiko mortalitas akibat sepsis dipengaruhi faktor-faktor seperti umur,


jenis kelamin, ras, penyakit penyerta, riwayat trauma paru akut, sindrom gagal
napas akut, gagal ginjal dan jenis infeksinya yaitu nosokomial, polimikrobial atau
jamur sebagai penyebabnya.3 Angka kematian akibat sepsis jauh lebih besar
dibandingkan akibat sindrom koroner akut ataupun stroke. Mortalitas bisa
mencapai 30% pada sepsis hingga 80% pada syok sepsis. Data tersebut diperoleh
dari suatu kajian epidemiologi sepsis antara tahun 1980 hingga 2008 di empat
negara Amerika Serikat, Brazil, Inggris Raya, dan Australia. Dari studi tersebut
diketahui insiden sepsis di populasi berkisar antara 22 hingga 240 per 100.000,
sepsis berat 13 hingga 300 per 100.000, dan syok sepsis 11 per 100.000. Dari
suatu studi observasional terhadap pasien sepsis berat dan syok sepsis di RSUPN
dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pda tahun 2012-2013, diketahui bahwa angka

1
kematian pada sepsis berat dan syok sepsis berkisar 61%. Tingginya mortalitas
pada sepsis tidak lepas dari masalah keterlambatan diagnosis dan tata laksana.2

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut International Guidelines for Management of Severe Sepsis and


Septic Shock: 2012, Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi bersama dengan
manifestasi infeksi sistemik.2 Sepsis merupakan penyakit yang mengancan nyawa
ditandai disfungsi organ yang disebabkan karena respon tubuh terhadap infeksi.
Ini merupakan definisi baru dari sepsis yang menekankan keutamaan respon host
nonhomeostatis terhadap infeksi, potensi mematikan jauh lebih besar dari proses
infeksi yang berlangsung dan membutuhkan penanganan segera.1
Menurut Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2016 : Sepsis didefinisikan
sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa disebabkan oleh disregulassi
respon host terhadap infeksi. Syok sepsis adalah bagian dari sepsis terdapat
kelainan sirkulasi, seluler atau metabolik yang cukup mendalam dan
meningkatkan mortalitas. Pasien dengan syok septik dapat diidentifikasi melalui
klinis sepsis dimana didapatkan hipotensi yang persisten membutuhkan
vasopressor untuk menjaga MAP ≥65 mm Hg dan memiliki serum laktat tingkat
>2 mmol/L (18 mg/dL) meskipun telah diberikan resusitasi volume yang
memadai. Pada keadaan ini, kematian di rumah sakit adalah lebih dari 40%.4

2.2 Epidemiologi

Sepsis memiliki angka kematian yang jauh lebih besar dibandingkan


akibat sindrom koroner akut ataupun stroke. Mortalitas bisa mencapai 30% pada
sepsis hingga 80% pada syok sepsis. Data tersebut diperoleh dari suatu kajian
epidemiologi sepsis antara tahun 1980 hingga 2008 di empat negara Amerika
Serikat, Brazil, Inggris Raya, dan Australia. Dari studi tersebut diketahui insiden

3
sepsis di populasi berkisar antara 22 hingga 240 per 100.000, sepsis berat 13
hingga 300 per 100.000, dan syok sepsis 11 per 100.000. Dari suatu studi
observasional terhadap pasien sepsis berat dan syok sepsis di RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, pda tahun 2012-2013, diketahui bahwa angka kematian
pada sepsis berat dan syok sepsis berkisar 61%.2

2.3 Etiologi

Sepsis sering disebabkan bakteri Gram negatif dengan presentase 60-70%


kasus. Bakteri gram negatif menghasilkan berbagai produk yang dapat
menstimulasi sel imun yang terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi.5

Produk yang paling berperan dalam terjadinya sepsis adalah


lipopolisakarida (LPS). LPS merupakan komponen utama membran terluar
bakteri Gram negatif yang merangsang inflamasi jaringan, demam, dan syok. LPS
dapat mengaktifkan sistem imun selular dan humoral, tidak mempunyai sifat
toksik namun dapat merangsang mediator inflamasi.5

Staphylococci, Pneumococci, Streptococci dan bakteri Gram positif jarang


menyebabkan sepsis (20-40%) dari keseluruhan kasus.

Tabel 1. Mikroorganisme yang sering menyebabkan sepsis 6

Mikroorganisme Pada infeksi Pada infeksi Total, % (n=866)


hematogen, % lokal, % (n=430)
(n=436)
Gra-negatif 35 44 40
Gram-positif 40 24 31
Jamur 7 5 6
Polimikroba 11 21 16
Patogen klasik <5 <5 <5

4
Pendekatan sepsis dikembangkan melalui suatu sistem tingkatan
Predispositionu, Infection, Response,and Organ dysfunction untuk menentukan
pengobatan secara maksimal berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi
gejala dan resiko individual.5

Gambar 1. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada
sepsis 8

Tabel 2. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada
sepsis 8

5
2.4 Patogenesis

Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang


berat. Hal ini dikatakan berat karena sifatnya yan gtidak terkontrol dan
berlangsung terus menerus dengan sendirinya, dikatakan intravaskular karena
proses ini menggambarkan penyebaran infeksi melalui pembuluh darah dan
dikatakn peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah perluadan dari
peradangan biasa.
Ketika jaringan terinfeksi terjadi stimulasi perlepasan mediator-mediator
inflamasi termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan
antiinflamasi. Sitokin yang termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1 interferon γ
yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi yaitu IL-1 reseptor
antagonis 9IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau
represi terhadapt respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini
bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi
proses penyembuhan. Namun ketika keseimbangan ini hilang maka respon
proinflamasi akan meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini meliputi
kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan jaringan akibat
gangguan oksigenasi dan kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan
konskuensi dari kelebihan respon antiinflamasi adalah alergi dan
immunosupressan. Kedua proses ini dapat mengganggu satu satu lain sehingga
menciptakan kondisi ketidakharmonisan imunologi yang merusak.
Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika
bakteri gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan
endotoksin dengan lipopolisakarida (LPS) yang secara langsung dapat mengikat
antibodi dalam serum darah penderita sehingga membentuk lipo-polisakarida
antibody (LPSab). LPSab yang beredar didalam darah akan bereaksi dengan
perantara reseptor CD 14+ dan akan bereaksi dengan makrofag dan
mengekspresikan imunomodulator.8

6
Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit. Mereka
dapat berperan sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag
yang berperan sebagai antigen processing cell yang kemudian ditampilkan
sebagai APC (Antigen Presenting Cell). Antigen ini membawa muatan polipeptida
spesifik yang berasal dari MHC (Major Histocompatibility Complex). Antigen
yang bermuatan MHC akan berikatan dengan CD 4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit
Th2) dengan perantara T-cell Reseptor. 8

Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai
immodulator akan mengeluarkan IFN-γ, IL2 dan M-CSF (Macrophage Colony
Stimulating Factor), sedangkan Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-
10, IFN-g, IFN 1β dan TNF α yang merupakan sitokin proinflamantori. IL-1β
yang merupakan sebagai imuno regulator utama juga memiliki efek pada sel
endothelial termasuk didalamnya terjadi pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E2)
dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang
menyebabkan neutrofil tersensitisasi oleh GM-CSF mudah mengadakan adhesi.10
Neutrofil yang beradhesi akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding
endotel lisis sehingga endotel akan terbuka dan menyebabkan kebocoran kapiler.
Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk kedalam radikal bebas
(nitrat oksida) sehingga mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria sehingga
endotel menjadi nekrosis dan terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah.
Adanya kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan gangguan vaskuler dan
hipoperfusi jaringan sehingga terjadi kerusakan organ multipel.8
Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-α, IL-8, IL-
6 menimbulkan respon fase akut dan permeabilitas epitel. Setelah terjadi reperfusi
pada jaringan iskemik, terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen Reaktif) sebagai hasil
metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantin oksidase, dan hasil metabolisme
asam amino yang turut menyebabkan kerusakan jaringan. ROS penting artinya
bagi kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam memerangi peradangan,
membunuh bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah, Namun

7
bila dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia
akan menyerang isi sel itu sendiri sehingga menambah kerusakan jaringan dan
bisa menjadi disfungsi organ multipel yang meliputi disfungsi neurologi,
kardiovaskuler, respirasi, hati, ginjal dan hematologi.

Gambar 2. Pengaktifan komplemen dan sitoki pada sepsis

HUBUNGAN INFLAMASI DENGAN KOAGULASI

Sepsis akan mengaktifkan Tissue Factor yang memproduksi trombin yang


merupakan suatu substansi proinflamasi. Trombin akhirnya menghasilkan suatu
gumpalan fibrin di dalam mikrovaskular. Sepsis selain mengaktifkan tissue factor,
dia juga menggangu proses fibrinolisis melalui pengaktifan IL-1 dan TNFα dan
memproduksi suatu plasminogen activator inhibitor-1 yang kuat mengahambat
fibrinolisis. Sitokin proinflamasi juga mengaktifkan activated protein C (APC)
dan antitrombin. Protein C sebenarnya bersirkulasi sebagai zimogen yang inaktif
tetapi karena adanya thrombin dan trombomodulin, dia berubah menjadi enzyme-
activated protein C. Sedangkan APC dan kofaktor protein S mematikan produksi
trombin dengan menghancurkan kaskade faktor Va dan VIIIa sehingga tidak

8
terjadi suatu koagulasi. APC juga menghambat kerja plasminogen activator
inhibitor-1 yang menghambat pembentukkan plasminogen menjadi plasmin yang
sangat penting dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Semua proses ini
menyebabkan kelainan faktor koagulasi yang bermanisfestasi perdarahan yang
dikenal dengan koagulasi intravaskular diseminata yang merupakan salah satu
kegawatan dari sepsis yang mengancam jiwa. 9

Gambar. 3. Sepsis menyebabkan suatu kematian organ

Gambar 4. Sepsis menyebabkan gangguan koagulasi

9
Disfungsi organ
multipel dapat Hipovolemia
berkembang menjadi
MOF
Kebocoran

Edema interstisial
compliance
jantung

Mediator
inflamasi
Penurunan cardiac Apoptosis/
output, hipoperfusi jejas pada sel

Hipoksia

Aktivasi sitem
imun
Disregulasi simpatis atau
aktivasi sistemneuro
endokrin, Aktivasi dan
fungsi endotel
Fibrinolisis/
reperfusi
Statis atau
Kerusakan sel trombosis
mikrovaskular
Koagulopati
konsumtif

Gambar 5. Patofisiologi syok dan komplikasinya8

10
2.5 Gejala klinis

Gejala klinis sepsis tidak spesifik dan biasanya didahului oleh tanda-tanda
non spesifik seperti demam, menggigil dan gejala konstitutif seperti lelah,
malaise, gelisah dan tampak kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering
adalah paru-paru, traktus digestifus, traktur urinarius, kulit, jaringan lunak dan
sistem saraf pusat. Gejala sepsis tersebut akan semakin berat pada penderita usia
lanjut, diabetes, kanker, gagal organ utama yang diikuti dengan syok.8

2.6 Diagnosis

Dalam mendiagnosis sepsis, diperlukan anamnesa dan pemeriksaan fisik


dan uji laboratorium yang sesuai.

Tabel 3. Kriteria diagnosis sepsis3

Gambaran umum
Demam (>38,3 C)
Hipotermia (suhu <36 C)
Nadi > 90x/menit
Takipneu
Perubahan status mental
Hipeglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dl) tanpa riwayat diabetes
Edema
Gambaran inflamasi
Leukositosis (leukosit > 12,000 uL)
Leukopenia (leukosit < 4,000 uL)
Leukosit normal dengan > 10% sel imatur
Peningkatan C- reaktive protein
Peningkatan prokalsitonin plasma
Hemodinamik
Hipotensi arterial ( TD <90 mmHg, MAP < 70 mmHg, atau penurunan TD > 40
mmHg pada dewasa)

11
Disgungsi organ
Hipoksemia (PaO2/FiO2 <300)
Oliguria akut ( urin output <0,5 mL/kgBB/jam setelah 2 jam resusitasi cairan yang
adekuat)
Peningkatan kreatinin > 0,5 mg/dl
Abnormalitas faktor koagulasi (INR > 1,5 atau aPTT > 60 detik)
Ileus
Trombositopenia ( trombosit < 100,000 ul )
Hiprbilirubinemia ( bilirubin total > 4mg/dL )
Perfusi jaringan
Hiperlactatemia (>1 mmol/L)
Penurunan CRT atau mottling

Tabel 4. Kriteria diagnosis sepsis berat, SSC 2012

Sepsis berat
Sepsis yang menyebabkan hipotensi
Peningkatan laktat diatas nilai normal
Urine output < 0,5 mg/KgBB/jam setelah 2 jam pemberian cairan yang adekuat
Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 <250 pada pasien yang tidak pneumonia
sebagai sumber infeksinya
Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 <250 pada pasien pneumonia sebagai
sumber infeksinya
Kreatinin >2,0 mg/dl
Bilirubin >2 mg/dl
Platelet <100,000 Ul
Koagulopati (INR >1,5)
Data laboratorium meliputi Complete Blood Count, hitung diferensial,
urinalisis, faktor koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit,
fungsi hati, asam laktat, analisa gas darah. Lalu dapat dilakukan biakan kultur dari

12
darah, urin, sputum dan tempat lain yang terinfeksi. Lakukan Gram stain pada
daerah steril seperti darah, CSF, dan ruang pleura.10

Tabel 5. Temuan klinis uji laboratorium pada keadaan sepsis

Uji Laboratorium Temuan Keterangan


Hitung leukosit Leukositosis atau Endotoksemia dapat
leukopenia menyebabkan leukopenia
dini
Hitung trombosit Trombositosis atau Nilai tinggi dapat timbul
trombositopenia pada respons fase akut. Nilai
rendah ditemukan pada KID
Kaskade koagulasi Defisiensi protein C, Nilai abnormal dapat
defisiensi antitrombin, ditemukan sebelum onset
peningkatan D-dimer, PT kegagalan fungsi organ
& APTT memanjang tanpa disertai perdarahan.
Kadar kreatinin Meningkat Peningkatan sebesar dua kali
lipat nilai normal
menandakan gagal ginjal
akut
Kadar asam laktat Meningkat >4 mmol/L Menandakan hipoksia
(36mg/dL) jaringan
Kadar enzim hepar Peningkatan alkalin Menandakan kerusakan
fosfatase, SGOT, SGPT, hepatoselular akibat
bilirubin hipoperfusi
Kadar fosfat serum Hipofosfatemia Berbanding terbalik dengan
kadar sitokin proinflamasi
Kadar protein reaktif C Meningkat Menandakan respons fase
(CRP) akut
Kadar prokalsitonin Meningkat Membedakan antara SIRS
infeksius dan SIRS
noninfeksius

13
Tabel 6. SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome)3
Terdapat dua atau lebih kriteria berikut:
Suhu >380C atau < 360C
Nadi > 90x/menit
Pernapasan > 20x/menit atau
PaCO2< 32mmHg (4,3 kPa)
Leukosit >12.000/mm3 atau < 4000/mm3

Tabel 7. Kriteria Disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan akibat sepsis3


Terdapat salah satu dari di bawah ini akibat sepsis:
Hipotensi akibat sepsis
Kadar laktat > 2 mmol/L
Produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam, lebih dari 2 jam
meskipun sudah diresusitasi cairan adekuat
ARDS dengan PaO2/FiO2< 250 tanpa ada pneumonia
(sebagai fokus infeksi)
ARDS dengan PaO2/FiO2< 250 dengan pneumonia
(sebagai fokus infeksi)
Kreatinin > 2 mg/dl
Bilirubin > 2 mg/dl
Trombosit < 100.000
Koagulopati (INR > 1,5)

2.6.1 SOFA (Sequential (Sepsis-related) Organ Filure Assessment)

Sistem skoring SOFA pertama kali dikembangkan melalui konsensus


konferensi di Paris, Prancis tahun 1994. Pada mulanya sistem skoring ini
digunakan untuk menilai pasien sepsis namun telah divalidasi dan dapat
digunakan untuk populasi lain. Enam sistem organ ( respirasi, kardiovaskular,
ginjal, hati,sistem saraf pusat, dan koagulasi) dipilih berdasarkan telaah dari

14
literatur, dan setiap fungsi diberi nilai dari 0 (fungsi normal) hingga 4 (sangat
abnormal), yang memberikan.11
Kemungkinan nilai dari 0 sampai 24. Skoring SOFA tidak hanya dinilai
pada hari pertama saja, namun dapat dinilai harian dengan mengambil nilai yang
terburuk pada hari tersebut. Variabel paremeter penilaian dikatakan ideal untuk
menggambarkan disfungsi atau kegagalan organ.11
Perubahan pada skor SOFA memberikan nilai prediktif yang tinggi. Pada
studi prospektif dari 352 pasien ICU, peningkatan skor SOFA selama 48 jam
pertama perawatan memberikan mortalitas paling sedikit 50%, sementara
penurunan skor SOFA memberikan mortalitas hanya 27%.Tujuan utama dari
skoring kegagalan fungsi organ adalah untuk menggambarkan urutan dari
komplikasi, bukan untuk memprediksi mortalitas. Meskipun demikian, ada
hubungan antara kegagalan fungsi organ dan kematian.11
Disfungsi organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut pada skor
total SOFA (Sequential (Sepsis-related) Organ Filure Assessment) ≥2 sebagai
konsekuensi dari adanya infeksi. Skor SOFA meliputi 6 fungsi organ yaitu
respirasi, koagulasi, liver, kardiovaskular, central nervous system, dan ginjal yang
masing-masing memiliki gradasi nilai 0 sampai 4. Dasar penentuan skor SOFA
dasar nilai nol diasumsikan bahwa pada pasien yang tidak diketahui memiliki
disfungsi organ sebelumnya. Skor SOFA ≥2 mencerminkan risiko kematian 10%
pada populasi rumah sakit umum yang dicurigai terkena infeksi.11

15
Tabel 8. Skor Sequential (sepsis-related) Organ Failure Assesment

2.6.2 qSOFA (quickSOFA)

Pada Sepsis-3 juga direkomendasikan penggunaan qSOFA (quick SOFA)


untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi mengalami perburukan dan
dan memprediksi lama pasien dirawat baik pasien di ICU atau non ICU. Pasien-
pasien diasumsikan berisiko tinggi mengalami perburukan jika terdapat 2 atau
lebih dari 3 kriteria klinis: perubahan status mental (GCS<15), kecepatan
pernapasan ≥22 kali/menit, dan tekanan darah sistolik ≤100 mm Hg. Untuk
mendeteksi apakah pasien akan memiliki kecenderungan mengalami sepsis dapat
dilakukan uji qSOFA yang dilanjutkan dengan SOFA.11

Tabel 9. Skor quick Sequential Organ Failure Assesment (qSOFA

16
Gambar 6. Kriteria Klinis untuk Mengidentifikasi Syok Septik11

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan sepsis dan syok sepsis berdasarkan Surviving Sepsis


Campaign 2016.12

1. Resusitasi awal
Langkah 1: Skrining dan manajemen infeksi
Manajemen dimulai dengan pengambilan kultur darah dan kultur lain sesuai
indikasi, kemudian berikan antibiotik yang sesuai dengan peta kuman yang ada
dan secara simultan dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi
adanya disfungsi organ.
Langkah 2: Skrining adanya disfungsi organ dan manajemen sepsis (dahulu sepsis
berat) Pasien diidentifikasi adanya disfungsi organ dengan kriteria yang sama
dengan sebelumnya (table 2). Disfungsi organ juga dapat diprediksi akan terjadi

17
dengan menggunakan kriteria Quick SOFA (qSOFA).Bila disfungsi organ
teridentifikasi, pastikan bundle 3 jam dilakukan sebagai prioritas utama tindakan.
Langkah 3: Identifikasi dan manajemen hipotensi awal
Pada pasien dengan infeksi ditambah hipotensi atau kadar laktat > 4 mmol/L
berikan 30 ml/kgBB cairan kristaloid dan dilakukan penilaian ulang respon cairan
yang diberikan serta penilaian perfusijaringan. Kemudian bundle 6 jam harus
dilengkapi. Pada bundle 6 jam, jangan lupa menilai ulang nilai laktat bila laktat
awal nilainya > 2 mmol/L.

Sepsis Bundles12
HARUS DILENGKAPI DALAM 3 JAM KEDATANGAN
1. Hitung nilai awal laktat
2. Ambil kultur darah sebelum pemberian antibioik
3. Berikan antibiotik spektrum luas
4. Berikan kristaloid 30 ml/kgBB pada hipotensi atau nilai awal laktat > 4 mmol/L

HARUS DILENGKAPI DALAM 6 JAM KEDATANGAN


5. Berikan vasopresor (untuk hipotensi yang tidak respon pada resusitasi cairan
dini) untuk
mempertahankan MAP > 65 mmHg
6. Pada hipotensi yang menetap setelah pemberian cairan yang adekuat (MAP <
65 mmHg) atau nilai laktat awal > 4 mmol/L, nilai ulang status volum pasien dan
perfusi jaringan berdasarkan tabel 5
7. Nilai ulang laktat bila nilai awal laktat meningkat

Penilaian ulang status volum dan perfusi jaringan


• Pemeriksaan kecukupan cairan dengan ultrasound (setelah resusitasi cairan
awal) oleh dokter yang berlisensi termasuk di antaranya tanda vital
kardiopulmonal, capillary refill, denyut jantung dan pemeriksaan pada kulit
• ATAU lakukan minimal dua dari berikut:
1. Hitung CVP

18
2. Hitung ScvO2
3. Ultrasound kardiovaskular bedside
4. Penilaian respon cairan secara dinamik yaitu dengan passive leg raising atau
fluid challenge

2. Terapi antimikroba3
Berikan antibiotik empirik dengan konsentrasi adekuat pada 1 jam pertama
terdiagnosis sepsis. Pemberian antibiotik harus dinilai setiap hari untuk
kemungkinan deeskalasi.Gunakan kombinasi antibiotik untuk pasien syok sepsis,
pasien netropeni, dan pasien dengan infeksi bakteri patogen MDR (multi drug
resistant). Durasi terapi berkisar 7-10 hari, penggunaan lebih lama pada pasien
dengan respon klinis lambat, bacteremia S.aureus, infeksi jamur dan infeksi virus
atau defisiensi imunologis. Kadar prokalsitonin yang rendah dapat digunakan
sebagai petunjuk untuk menghentikan terapi antibiotik pada pasien yang awalnya
sepsis.

3. Kontrol sumber infeksi3


Beberapa diagnosis sepsis memerlukan tindakan operasi darurat untuk keperluan
diagnostic dan kontrol sumber infeksi.

4. Terapi cairan3

Cairan inisial untuk resusitasi pasien sepsis dan syok sepsis adalah cairan
kristaloid. Hindari penggunaan HES. Apabila pasien memerlukan cairan resusitasi
dalam jumlah besar, dapat digunakan albumin. Resusitasi awal pasien sepsis dan
syok sepsis yaitu dengan pemberian kristaloid sebanyak 30 ml/kgBB.

5. Vasopresor3
Terapi vasopresor inisial ditargetkan untuk tercapainya nilai minimal MAP > 65
mmHg. Pilihan pertamanya adalah norepinefrin. Epinefrin dapat ditambahkan

19
atau bahkan menggantikan NE (bila tidak ada), untuk mencapai target minimal
MAP. Penambahan vasopressin pada NE diberikan bila MAP belum tercapai atau
dengan tujuan untuk mengurangi dosis NE. Sementara dopamin digunakan
sebagai alternative NE hanya untuk pasien dengan resiko rendah terjadi
takiaritmia. Dan untuk semua pasien yang akan direncanakan menggunakan
vasopresor jangan lupa untuk dipasang kateter vena sentral terlebih dahulu.

6. Inotropik3
Pada pasien dengan disfungsi miokard dapat digunakan dobutamin sebagai
inotropik,

7. Kortikosteroid3
Jangan menggunakan hidrokortison intravena untuk terapi syok sepsis apalagi bila
MAP sudah tercapai dengan penggunaan vasopresor dan/atau inotropik.
Kortikosteroid tidak diberikan.

8. Pemberian produk darah


Transfusi sel darah merah hanya bila konsentrasi hemoglobin < 7 gr/dl dengan
target Hb 7-9 gr/dl kecuali bila ada iskemi jantung, hipoksemia berat, perdarahan
akut, atau penyakit jantung iskemik; yang mungkin memerlukan kadar Hb lebih
dari itu. Tidak perlu pemberian eritropoietin sebagai terapi spesifik anemia yang
disebabkan oleh sepsis. Transfusi fresh frozen plasma FFP tidak untuk
memperbaiki nilai laboratoris, diberikan hanya bila ada perdarahan atau akan
direncanakan tindakan invasif. Transfusi platelet profilaksis bila trombosit
<10.000/mm3tanpa perdarahan spontan, <20.000/mm3bila memiliki resiko
terjadinya perdarahan. Untuk pasien dengan perdarahan aktif, pembedahan atau
tindakan invasif diperlukan kadar trombosit > 50.000/mm3.

9. Pemberian imunoglobulin3
Tidak memberikan imunoglobulin intravena untuk pasien sepsis dan syok sepsis.

20
10. Terapi selenium3
Tidak menggunakan selenium untuk terapi sepsis.

11. Penggunaan recombinant activated protein C (rhAPC)3


Penggunaan rhAPC tidak lagi direkomendasikan oleh SSC.

12. Ventilasi mekanik pada ARDS akibat sepsis3


Pada pasien ARDS (acute respiratory distress syndrome) target tidal volume 6
ml/kgBB dengan plateau pressure<30 cmH2O dan berikan PEEP (positive end
expiratory pressure) untuk mencegah alveoli atelectasis. Strategi yang diberikan
pada pasien ARDS sedang sampai berat adalah frekuensi nafas tinggi daripada
PEEP rendah. Pada pasien ARDS berat dengan hipoksemia menetap dapat
dilakukan prone position dan lung recruitment. Posisi kepala pasien dijaga 30-450
untuk mencegah terjadinya aspirasi dan ventilator associated pneumonia.

13. Sedasi, analgesia dan pelumpuh otot pada sepsis3


Minimalisir penggunaan sedasi dengan penilaian harian untuk dititrasi.
Penggunaan pelumpuh otot pada pasien ARDS dihindari karena resiko
pemanjangan efek setelah obat distop. Bila harus dipakai, dapat diberikan dengan
teknik bolus intermiten atau dengan penggunaan monitoring train of four.

14. Kontrol kadar gula darah3


Pada pasien sepsis dilakukan kontrol gula darah dengan insulin intravena bila 2x
pemeriksaan kadarnya > 180 mg/dl dengan targetnya < 180 mg/dl. Gula darah
diperiksa setiap 1-2 jam sampai stabil kemudian setiap 4 jam bila telah stabil.

15. Renal replacement therapy (RRT) pada sepsis3


Continuous renal replacement therapy (CRRT) dan hemodialisa intermiten sering
diperukan pada pasien sepsis dan syok sepsis. Gunakan teknik CRRT pada pasien
dengan hemodinamik yang tidak stabil.

21
16. Terapi Bikarbonat3
Tidak menggunakan terapi Natrium bikarbonat untuk tujuan memperbaiki
hemodinamik atau menurunkan dosis vasopresor pada pasien hipoperfusi akibat
asidosis laktat dengan pH > 7,15.

17. Profilaksis DVT3


Untuk mencegah tromboemboli berikan pencegahan dengan LMWH (low
molecular weight
heparin) subkutan setiap hari atau dapat juga diberikan dengan heparin (UFH-
unfractionated
heparin). Jika klirens kreatinin < 30ml/mnt gunakan dalteparin. Pencegahan
dengan farmakologis sebaiknya dikombinasi dengan penggunaan intermittent
pneumatic compression, terutama pada pasien dengan kontraindikasi
(trombositopeni, koagulopati berat, perdarahan aktif, perdarahan intraserebral
akut).

18. Profilaksis stress ulcer3


Profilaksis stress ulcer pada pasien sepsis dikelola dengan pemberian H2 blocker
atau proton pump inhibitor. Pasien tanpa resiko tidak tidak perlu mendapat
profilaksis stress ulcer.

19. Pengelolaan nutrisi12


Selama toleransi baik utamakan pemberian diet melalui oral atau enteral, puasa
atau pemberian dextrose intravena sejak diagnosis sepsis ditegakkan sebaiknya
tidak lebih dari 48
jam. Hindari pemberian diet kalori penuh pada minggu pertama, sebaiknya mulai
dengan dosis rendah dulu (500 kkal/hari). Pemberian nutrisi enteral lebih baik
daripada TPN.

22
Tabel 10. Perbandingan Rekomendasi Dari Pedoman SSC 2012-20163,12
Rekomendasi 2012 Rekomendasi 2016
Definisi Sepsis 1. Sepsis: adanya 1. Sepsis: disfungsi
infeksi + manifestasi organ yang
sistemik dari infeksi. mengancam jiwa
2. Sepsis berat : sepsis disebabkan oleh
+ disfungsi organ disregulasi respon
diinduksi sepsis atau pejamu terhadap
hipoperfusi jaringan. infeksi.
2. Syok sepsis: bagian
dari sepsis dengan
disfungsi sirkulasi
dan metabolik/sel
yang berkaitan
dengan risiko
kematian yang lebih
tinggi.
Resusitasi inisial Sedikitnya 30 ml/kgBB pada 3 jam pertama
Cairan kristaloid (tidak ada rekomendasi untuk
NaCl 0.9% ataupun balanced crystalloid lainnya)13
1.Protokol perawatan 1. Menggunakan
meliputi CVP, ScVO2 petanda resusitasi
2. Normalisasi asam yang dinamis
laktat (meninggikan
tungkai secara
pasif)
2. Target MAP 65
mmHg
3. Periksa ulang status

23
hemodinamik
sebagai panduan
resusitasi
4. Normalisasi asam
laktat
Diagnosis 1.Penggunaan uji 1,3-D- 1.Tidak ada
beta glucan mannan dan rekomendasi khusus
tes antibodi anti- untuk diagnosis
mannan dan kandidiasis penyebab penyakit
invasif adalah diagnosis jamur dan studi
banding dari penyebab pencitraan.
infeksi.
2.Pencitraan untuk
mencari penyebab
infeksi.
Terapi antimikroba 1.Satu atau lebih 1.Antibiotik spektrum
antibiotik yang aktif luas untuk terapi inisial.
melawan patogen yang 2.Tidak
diduga. merekomendasikan
2.Terapi kombinasi terapi kombinasi untuk
(cakupan ganda) untuk sepsis neutropenia.
pasien neutropenia dan 3.Procalcitonin dapat
pseudomonas. digunakan untuk de-
eskalasi antibiotik.

Kontrol sumber infeksi Dicapai dalam 12 jam Dilakukan sesegera


jika memungkinkan. mungkin jika secara
medis dan logistik layak
untuk dilakukan.
Sedasi dan analgesia 1. NMBA - bolus 1. Direkomendasik

24
intermiten atau infus an
kontinu dengan meminimalkan
monitoring train-of- sedasi kontinyu
four (TOF). atau intermiten
pada pasien
sepsis dengan
ventilasi
mekanik, dengan
titrasi hingga
titik tertentu.
Profilaksis stress ulcer 1. Proton Pump 1. Disarankan PPI atau
Inhibitor (PPI) lebih histamin-2 reseptor
disukai daripada H2RB antagonis.
(Histamine-2 Receptor
Blocker).

2.7 Komplikasi

Insiden komplikasi yang dilaporkan pada SIRS dan sepsis dalam


penelitian adalah 19% untuk disfungsi CNS, 2-8% untuk ARDS, 12% untuk gagal
hati, 9-23% unutk ARF, dan 8-18% untuk DIC.

Komplikasi:

- Sindroma distres pernapasan dewasa (ARDS, adult respiratory disease


syndrome)
- Koagulasi intravaskular diseminata (DIC, disseminated intravascular
coagulation)
- Gagal ginjal akut (ARF, acute renal failure)
- Perdarahan usus

25
- Gagal hati
- Disfungsi sistem saraf pusat
- Gagal jantung
- Kematian10

2.8 Pencegahan

Lingkungan yan gprotektif bagi pasien berisiko sepsis kurang berhasil,


karena sebagian besar infeksi berasal dari dalam (endogen). Tetapi
menghindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni bakteri
Gram-negatif, penggunaan semprotan (spray) polimiksin pada faring posterior
untuk mencegah pneumonia Gram-negatif nosokomial dapat membantu mencegah
sepsis.10

26
BAB III

KESIMPULAN

Sepsis adalah penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan


intensif. Sepsis dapat mengenai siapa saja namun paling rentan pada orang-orang
yang mengalami imunokompromis dengan penyakit kronik. Sepsis dalah sindrom
inflamasi sistemik yang sangat mengancam jiwa. Permulaan dari infeksi yang
berlanjut dengan SIRS lalu terjadilah sepsis yang apabila terlambat ditangani
dapat menjadi sepsis berat yang kemudian berakibat syok septik. Bila ada pasien
dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak toksik, takikardia,
takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai terjadinya sepsis
(tersangka sepsis).
Diagnosis sepsis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
maupun laboratorium seperti darah lengkap, faktor-faktor pembekuan darah,
konsentrasi laktak dalam darah dan lain-lain. Penatalaksanaan penting dari sepsis
adalah perbaikan hemodinamik, pemberian antibiotik, fokus infeksi harus diobati
dengan terapi suportif seperti nutrisi, albumin dan lain-lain.

Rekomendasi dari SSC memberikan bimbingan bagi dokter dalam merawat


pasien dengan sepsis berat atau syok septik. Rekomendasi dari SSC tidak dapat
menggantikan kapabilitas pengambilan keputusan klinisi menemui pasien dengan
berbagai variabel klinis. Sebagian besar rekomendasi SSC ini dapat diterapkan
pada kasus sepsis berat di ICU dan non-ICU.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Halstead Rma. Definition, Epidemiology and Oathophysiology. The Open


Inflammation Journal. 2011.
2. Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia (PERDICI).
Penatalaksanaan Sepsis dan Syok Septik Optimalisasi Fasthugsbid.
Jakarta: PERDICI
3. R. P. Dellinger, et al. Intensive Care Medicine.Surviving Sepsis
Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and
Septic Shock, 2012. February 2013, Volume 39, Issue 2, pp 165–228.
ISSN: 0342-4642
4. A. Rhodes, et al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines
for Management of Sepsis and Septic Shock: 2016. Intensive Care Med
(2017) 43:304–377.
5. Sepsis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi V. Jakarta:
Pusat Penerbit IPD FKUI. 2009: 1862-65
6. Angus DC, Linde WT, Lidicker J. Epidemiology of Severe Sepsis In The
United States. Crit Care Med. 2001;20:1303-31.
7. ProCESS Investigators, Yealy DM, Kellum JA, Juang DT, et al. A
randomized trial of protocol-based care for early septic shock. N Engl J
Med 2014; 370(18):1683-169
8. A Guntur H. Sepsis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dala Jilid III. Edisi
IV. Jakarta: Pusat Penerbit IPD FK UI. 2007; 1840-43.
9. Reinhardt K, Bloos K, Brunkhorst FM. Pathophysiology of sepsis and
multiple organ dysfunction. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, eds.
Textbook of critical care. 15th ed. London: Elsevier Saunders Co; 2005.
p.1249-57.
10. Sepsis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi V. Jakarta:
Pusat Penerbit IPD FKUI. 2009: 2889-95
11. Paul, Mark. Sirs, qSOFA and new sepsis definition.Journal Of Thoracic
Disease. April 2017. Vol:9
12. R. P. Dellinger, et al. Intensive Care Medicine.Surviving Sepsis
Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and
Septic Shock, 2016.

28

Anda mungkin juga menyukai