Disusun oleh:
Kelompok/Shift : 4/F
I. Teori Dasar
Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat,
terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi atau
surfaktan yang cocok. (Ditjen POM, 1979: 9)
emulsi adalah sIstem dua fase yang salah satu cairannya terdispersi dalam
cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Emulsi dapat distabilkan
dengan penambahan bahan pengemulsi yang disebut emulgator
(emulsifying agent) atau surfaktan yang dapat mencegah koalesensi, yaitu
penyatuan tetesan kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya menjadi satu
fase tunggal yang memisah. Surfaktan menstabilkan emulsi dengan cara
menempati antar-permukaan tetesan dan fase eksternal, dan dengan
membuat batas fisik di sekeliling partikel yang akan berkoalesensi.
Surfaktan juga mengurangi tegangan permukaan antar fase sehingga
meningkatkan proses emulsifikasi selama pencampuran. (Ditjen POM,
2014: 46)
Emulsi merupakan suatu sistem yang tidak stabil, sehingga dibutuhkan zat
pengemulsi atau emulgator untuk menstabilkannya sehingga antara zat yang
terdispersi dengan pendispersinnya tidak akan pecah atau keduannya tidak
akan terpisah. Metode yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi
emulgator yang ditambahkan adalah metode HLB (Hydrophilic-Lipophilic
Balance). (Martin? Nama penulis?: 1993: 1143)
Berdasarkan jenisnya, emulsi dibagi dalam empat golongan, yaitu (Martin,
1993: 1145-1146):
a. Emulsi jenis minyak dalam air (m/a)
Bila fase minyak didispersikan sebagai bola-bola ke seluruh fase
kontinu air, sistem tersebut dikenal sebagai suatu emulsi minyak dalam
air (m/a).
b. Emulsi jenis air dalam minyak (a/m)
Bila fase minyak bertindak sebagai fase kontinu, emulsi tersebut dikenal
sebagai produk air dalam minyak (a/m).
c. Emulsi jenis minyak dalam air dalam minyak (m/a/m)
Emulsi minyak dalam air dalam minyak (m/a/m), juga dikenal sebagai
emulsi ganda, dapat dibuat dengan mencampurkan suatu pengemulsi
m/a dengan suatu fase air dalam suatu mikser dan perlahan-lahan
menambahkan fase minyak untuk membentuk suatu emulsi minyak
dalam air.
d. Emulsi jenis air dalam minyak dalam ai r(a/m/a)
Emulsi a/m/a juga dikenal sebagai emulsi ganda, dapat dibuat dengan
mencampurkan suatu pengemulsi a/m dengan suatu fase minyak dalam
suatu mikser dan perlahan-lahan menambahkan fase air untuk
membentuk suatu emulsi air dalam minyak. Emulsi a/m tersebut
kemudian didispersikan dalam suatu larutan air dari suatu zat
pengemulsi m/a, seperti polisorbat 80 (Tween 80), sehingga membentuk
emulsi air dalam minyak dalam air. Pembuatan emulsi a/m/a ini untuk
obat yang ditempatkan dalam tubuh serta untuk memperpanjang kerja
obat, untuk makanan-makanan serta untuk kosmetik.
Tujuan pemakaian emulsi adalah (Syamsuni, 2006: 129):
1. Untuk dipergunakan sebagai obat dalam atau per oral. Umumnya emulsi
tipe O/W.
2. Untuk dipergunakan sebagai obat luar. Bisa tipe O/W maupun W/O
tergantung pada banyak faktor, misalnya sifat zat nya atau efek terapi
yang dikehendaki
3. Mendapat sediaan yang stabil
4. Memperlambat efek obat karena ukuran sangat kecil.
5. Menutup rasa minyak.
6. Memperbaiki penampilan karena merupakan campuran yang homogen.
Emulsi yang digunakan dalam bidang farmasi adalah sediaan yang
mengandung dua cairan immiscible yang satu terdispersi secara seragam
sebagai tetesan dalam cairan lainnya. Sediaan emulsi merupakan golongan
penting dalam sediaan farmasetik karena memberikan pengaturan yang
dapat diterima dan bentuk yang cocok untuk beberapa bahan berminyak
yang tidak diinginkan oleh pasien. (Jenkins, 1957: 314-315)
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat, berupa emulsi mengandung air
tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar. (Ditjen
POM, 1979: 8). Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung
satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang
sesuai (Ditjen POM, 1995: 6).
Ada beberapa tipe krim seperti emulsi, air terdispersi dalam minyak (W/O)
dan emulsi minyak terdispersi dalam air (O/W). sebagai pengelmusi dapat
digunakan surfaktan anionic, kationik dan non anionic. Untuk krim tipe
W/O digunakan : sabun monoalen, tween, natrium laurysulfat, emulgidum
dan lain-lain. Krim tipe O/W mudah dicuci. (Anief, 1994: 250).
Kualitas dasar krim yang diharapkan adalah sebagai berikut : Stabil, selama
masih dipakai mengobati. Maka krim harus bebas dari inkopatibilitas, stabil
pada suhu kamar, dan kelembaban yang ada dalam kamar. Lunak, yaitu
semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak dan
homogen. Mudah dipakai, umumnya krim tipe emulsi adalah yang paling
mudah dipakai dan dihilangkan dari kulit. Terdistribusi merata, obat harus
terdispersi merata melalui dasar krim padat atau cair pada penggunaan
(Anief, 1994: 250-251).
Kelebihan sediaan krim, yaitu mudah menyebar rata, praktis, mudah
dibersihkan atau dicuci, cara kerja berlangsung pada jaringan setempat,
tidak lengket terutama tipe m/a, memberikan rasa dingin (cold cream)
berupa tipe a/m, digunakan sebagai kosmetik, bahan untuk pemakaian
topikal jumlah yang diabsorpsi tidak cukup beracun. Sedangkan kekurangan
sediaan krim, yaitu susah dalam pembuatannya karena pembuatan krim
harus dalam keadaan panas. Gampang pecah disebabkan dalam pembuatan
formula tidak pas. Mudah kering dan mudah rusak khususnya tipe a/m
karena terganggu sistem campuran terutama disebabkan oleh perubahan
suhu dan perubahan komposisi disebabkan penambahan salah satu fase
secara berlebihan (Sumardjo & Damin, 2006: HAL BELUM).
Formula dasar krim, antara lain terdiri dari fase minyak dan fase air. Fase
minyak, yaitu bahan obat yang larut dalam minyak, bersifat asam.
(Sumardjo & Damin, 2006: HAL BELUM).
2.2 Krim
1. Data Preformulasi Zat Aktif
a. Parafin/ Paraffinum Liquid (Ditjen POM, 1995:605)
- Pemerian : Hablur tembus pandang, atau agak buram
tidak berwarna atau putih, tidak berbau, tidak berasa, agak
berminyak
- Polimorfisme : Mikrokristal
- Ukuran partikel :-
- Kelarutan : Tidak larut air dan etanol, mudah larut
dalam kloroform, eter, minyak menguap dalam hampir semua jenis
minyak lemak hangat, dan sukar larut dalam etanol
- Titik didih : ˃360°C
- Titik leleh : 96-105°C
- Pka/Pkb :-
- Bobot jenis : 0,84-0,89 g/cm3
- pH larutan :-
- Stabilitas : Disimpan diruangan suhu dibawah 40°C,
mudah mengalami oksidasi dengan adanya cahaya dan suhu panas,
mudah terurai bakteri, dan reaksi enzimatik.
- Inkompatibilitas : Amidoprin, kresol, morfin, etanol (95%),
tanin, garam oksidator kuat.
(Rowe, et al,2006:445)
- Khasiat : Laksativum, emolien, lubrican.
2. Data Preformulasi Zat Tambahan
a. Aquadest (Ditjen POM, 1979; 96)
- Pemerian : cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau,
tidak mempunyai rasa
- Polimorfisme :-
- Ukuran partikel :-
- Kelarutan :-
- Titik lebur : 0°C
- Titik didih : 100°C
- pKa/pKb :-
- Bobot jenis : 1 g/cm3
- pH larutan :7
- Stabilitas : Secara kimiawi air stabil terhadap semua
bentuk fisik (es, air, uap) dalam penyimpanan, air dilindungi terhadap
masuknya fisik partikel asing dan mikroorganisme.
- Inkompatinilitas : Air dapat bereaksi dengan obat dan eksipien
lain yang rentan terhadap hidrolisis
- Khasiat : Pelarut
7 Kaca arloji
8 Kertas perkamen
9 Kertas saring
10 Matkan
11 Mortir
12 Penjepit tabung
13 Piknometer
14 Pipet tetes
15 Pot salep
16 Stirrer
17 Sudip
18 Tabung sedimentasi
19 Tabung sentrifugasi
20 Termometer
21 Timbangan
V. Perhitungan dan Penimbangan Bahan
5.1 Emulsi
5.2 Krim
Jumlah masing masing formula sebanyak 20 gram)
A. Formula I
30
x 20 gram = 6 gram
100
2. Emulgid (15%)
15
x 20 gram = 3 gram
100
3. Aquadest
gram
B. Formula II
30
x 20 gram = 6 gram
100
10
x 20 gram = 2 gram
100
Cara aligasi :
Tween 80 15 7,7
12
Span 80 4,3 3
------------ +
10,7
Tween 80 :
7,7
x 2 gram =1,44
10,7
Span 80 :
3
x 2 gram = 0,56 gram
10,7
10
x 20 gram = 2 gram
100
4. Aquadest
22 gram - 6,6 gram – 1,584 gram – 0,616 gram – 2,2 gram = 11 gram
gram
Aquadest 11 gram
VI. Prosedur
6.1 Emulgator Alam CMC-Na (cara kering)
Pada percobaan pembuatan emulsi dengan emulgator alam CMC Na cara
kering, hal yang pertama kali dilakukan yaitu disiapkan alat-alat yang sudah
bersih dan semua bahan yang akan digunakan ditimbang. Kemudian
paraffin cair sebanyak 30 gram dan CMC Na sebanyak 1 gram dimasukkan
ke dalam mortir dan digerus dengan cepat sampai homogen. Setelah itu, air
sebanyak 20 mL ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam mortir dan
digerus kuat hingga menjadi corpus emulsi. Kemudian corpus emulsi yang
sudah jadi dimasukkan ke dalam matkan kemudian digenapkan dengan air
sampai 100 mL dan distirrer. Setelah di stirrer dan dirasa campuran sudah
homogen, sediaan kemudian dimasukkan ke dalam tabung sedimentasi
untuk dilakukan pengamatan evaluasi.
(1%)
CMC-Na Putih Tidak Tidak M/A Tidak 0,66 0,545 0,535 0,5 0,66
(cara basah) susu berbau berasa homogen
(0,5%)
7.2 Krim
Tabel 7.2 Data pengamatan sediaan krim kelompok 4
Parameter Formula Krim I Formula Krim II
Organoleptis
Putih Putih
-Warna
Tidak berbau Tidak berbau
- Bau
Homogen Homogen
Homogenitas
Stabilitas 1 hari : Stabil 1 hari : Stabil
Tipe krim
M/A M/A
-Uji pengenceran
VIII. Pembahasan
8.1 Emulsi
a. Emulgator Alam CMC-Na (cara kering)
Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat,
terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi atau
emulgator atau surfaktan yang cocok. (Ditjen POM, 1979: 9). Emulsi dapat
distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi yang mencegah
koalesensi, yaitu penyatuan tetes kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya
menjadi satu fase tunggal yang memisah. Bahan pengemulsi (surfaktan)
menstabilkan dengan cara menempati antar permukaan antara tetesan dan
fase eksternal dan dengan membuat batas fisik di sekeliling partikel yang
akan berkoalesensi. (Ditjen POM, 2014: 46).
Emulsi yang digunakan dalam farmasi adalah satu sediaan yang terdiri dari
dua cairan tidak bercampur, dimana yang satu terdispersi seluruhnya
sebagai globula-globula terhadap yang lain. Dalam pembuatan emulsi ini,
zak aktif yang dipakai adalah Paraffin Liquidum dan bahan pembantu
berupa emulgator dan zat tambahan lainnya yaitu berupa aquadest dengan
metode pembuatan emulsi dengan cara kering.
Paraffin Liquidum termasuk salah satu jenis pencahar emolien. Obat yang
termasuk golongan ini memudahkan defekasi (buang air besar) dengan cara
melunakkan tinja tanpa merangsang peristaltik usus (sembelit), baik
langsung maupun tidak langsung. Bekerja sebagai zat penurun tegangan
permukaan. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah dioktil natrium
sulfosukonat dan paraffin liquidum. Paraffin Liquidum (Mineral Oil) adalah
campuran cairan hidrokarbon yang diperoleh dari minyak bumi.
(Ganiswarna, 1995: 530). Paraffin Liquidum merupakan zat yang berupa
cairan kental transparan, tidak berfluoresensi, tidak berwarna, hampir tidak
berbau dan hampir tidak mempunyai rasa yang praktis tidak larut dalam air.
(Ditjen POM, 1979: 474). Paraffin Liquidum mudah terurau dengan adanya
cahaya dari luar (Lund, 1994: 1630).
Dalam pembuatan suatu emulsi, pemilihan emulgator merupakan faktor
yang penting untuk diperhatikan karena mutu dan kestabilan suatu emulsi
banyak dipengaruhi oleh emulgator yang digunakan. Emulgator yang
digunakan pada praktikum ini salah satunya adalah CMC-Na yang
merupakan emulgator alam golongan koloid hidrofil yang berupa serbuk
granul putih atau hampir putih, tidak berbau dan tidak berasa serta mudah
tersebar di dalam air pada semua suhu(Ditjen POM, 2014: 620). Mekanisme
kerja dari emulgator CMC-Na adalah dengan membentuk lapisan film
multimolekuler di sekeliling globul yang terdispersi dan bersifat
mengembang dalam air sehingga dapat meningkatkan viskositas sediaan
yang sekaligus akan meningkatkan kestabilan emulsi. (Ansel, 1989 : 377)
Pada pembuatan emulsi dengan emulgator CMC-Na yang di buat dengan
metode cara kering ini, hal yang pertama dilakukan yaitu semua bahan
ditimbang dan disiapkan alat yang akan dipakai. Lalu zat aktif berupa
paraffin cair dimana paraffin cair berperan sebagai fase minyak sebanyak
30 mL dan CMC-Na yang berperan sebagai emulgator fase air sebanyak 1
gram dimasukkan keduanya ke dalam mortir dan digerus cepat hingga
homogen. Alasan paraffin cair dan CMC-Na setelah dimasukkan langsung
digerus cepat adalah agar paraffin dan CMC-Na dapat sedikit bercampur
dan emulgator tidak dikembangkan terlebih dahulu karena metode
pembuatan dengan cara kering yaitu emulgator dicampurkan pada fase
minyak berupa paraffin cair sebelum penambahan fase air. Selama
penggerusan tersebut, dimasukkan air sebanyak 20 mL sedikit demi sedikit
dan tetap digerus kuat hingga menjadi corpus emulsi. Hal ini bertujuan agar
lebih mudah semua zat tercampur yang kemudian setelah homogen
dimasukkan ke dalam matkan dan digenapkan dengan air sampai 100 mL
dan kemudian diaduk menggunakan stirrer agar lebih mudah dan cepat
untuk homogen. Setelah homogen, sediaan kemudian dimasukkan ke dalam
tabung sedimentasi untuk dilakukan pengamatan evaluasi yang meliputi
pengamatan organoleptis, pengukuran tinggi sedimentasi, penentuan tipe
emulsi dan uji homogenitas. Pengujian dan pengamatan evaluasi ini
dilakukan untuk mengetahui bahwa sediaan emulsi yang dibuat praktikan
memenuhi syarat emulsi yang baik dan stabil.
Pengamatan atau pengujian evaluasi yang pertama setelah sediaan emulsi
dimasukkan ke dalam tabung sedimentasi untuk diamati, yaitu pengamatan
organoleptis, yaitu meliputi pengamatan warna, bau dan rasa. Pada
pengamatan warna yaitu dengan visual, warna sediaan emulsi adalah putih
yaitu putih susu. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan emulsi yang dibuat,
fase terdispersi sediaan terdispersi secara sempurna di fase pendispersinya
yang ditandai dengan semua warna sediaan seluruhnya adalah berwarna
putih susu. Kemudian pengamatan organoleptis yang selanjutnya yaitu bau
dan rasa. Hasilnya, sediaan emulsi yang dibuat tidak berbau dan tidak
berasa, dimana hal ini dikarenakan pada sediaan tidak ditambahkan
flavouring agent berupa perasa dan pewangi serta pemanis yang
mengakibatkan sediaan menjadi demikian.
Pengamatan evaluasi selanjutnya yaitu tipe emulsi dimana metode yang
praktikan pakai ada dua yaitu dengan uji arah creaming dimana pada uji ini
jika arah creaming yaitu yang berwarna putih mengarah ke bagian atas
tabung sedimentasi, itu artinya tipe emulsi yang dihasilkan adalah tipe M/A
karena densitas air lebih tinggi daripada minyak dan juga tipe M/A artinya
minyak menjadi fase terdispersi yang terdispersi di dalam fase pendispersi
air dalam bentuk globul-globul berwarna putih. Sebaliknya, jika arah
creaming yaitu yang berwarna putih mengarah ke bagian bawah tabung
sedimentasi, maka tipe emulsi yang dihasilkan adalah tipe A/M karena
minyak mempunyai densitas yang lebih rendah daripada air dan juga jika
tipe A/M artinya air menjadi fase terdispersi yang terdispersi di dalam fase
pendispersi minyak dalam bentuk globul – globul berwarna putih.
Berdasarkan data pengamatan yang praktikan dapat, didapatkan hasil
pengamatan arah creaming yaitu yang berwarna putih mengarah ke bagian
atas tabung sedimentasi. Hal ini menunjukkan bahwa tipe emulsi yang
dibuat praktikan adalah tipe M/A. Kemudian penentuan tipe emulsi yang
kedua yaitu dengan uji kertas saring dimana uji ini dilihat dari jika tipe
emulsi adalah M/A, maka saat sediaan diteteskan ke kertas saring akan
menyebar dengan cepat. Sebaliknya, jika sediaan merupakan tipe A/M maka
saat diteteskan ke kertas saring tidak akan menyebar. Hasilnya, tipe emulsi
yang dibuat praktikan adalah tipe emulsi M/A yang ditandai dengan
penyebaran dengan cepat saat diteteskan pada kertas saring. (Martin, 1971:
509)
Pengamatan evaluasi selanjutnya yaitu homogenitas, dimana pengamatan
ini dilakukan dengan mengamati secara visual sediaan emulsi yang dibuat
dimana jika sediaan homogen, tidak terlihat pemisahan di dalam tabung
sedimentasi. Hasilnya, sediaan emulsi yang dibuat praktikan homogen yaitu
ditandai dengan tidak ada pemisahan yang terlihat pada sediaan di tabung
sedimentasi yang perlihatkan dengan seluruh sediaan berwarna putih.
Pengamatan evaluasi selanjutnya yaitu tinggi sedimentasi. Dimana
pengamatan dilakukan dengan mengukur tinggi sediaan emulsi dengan
perbandingan tinggi pembentukan lapisan seperti susu dalam tinggi seluruh
sediaan emulsi yang dilakukan dalam selang waktu tertentu pada suhu
kamar selama 10 menit, 20 menit, 30 menit, 60 menit dan hari keempat
setelah sediaan dibuat dan dimasukkan ke dalam tabung sedimentasi.
Hasilnya, pada 10 menit sampai 60 menit setelah sediaan selesai dibuat,
hasil perbandingan tinggi lapisan seperti susu dalam tinggi seluruh sediaan
adalah 1 dimana volume sediaan seluruhnya 90 mL. Hal ini menunjukkan
bahwa sediaan emulsi yang dibuat praktikan masih dalam keadaan baik
yang ditandai dengan tidak terbentuk 2 lapisan yang berpisah dan artinya
fase terdispersi masih terdispersi secara homogen dan merata di seluruh
bagian fase pendispersinya. Lalu pada hari ke-4 sesudah sediaan dibuat,
didapatkan terjadi creaming atau lapisan seperti susu di bagian atas tabung
sedimentasi sebanyak 27 mL. sehingga didapatkan hasil volume
sedimentasi sebesar 0,3. Menurut (Lachman, 1994: 492-493), bila F=1
dinyatakan sebagai “Flocculation equilibrium”, merupakan sediaan yang
baik. Demikian bila F mendekati 1. Bila F>1 terjadi “Floc” sangat longgar
dan halus sehingga volume akhir lebih besar dari volume awal. Maka perlu
ditambahkan zat tambahan. Jika volume sedimentasi kurang dari satu maka
sediaan emulsi yang dibuat kurang baik dan kurang stabil. Karena pada hari
ke-4, terjadi pemisahan 2 lapisan yang sangat signifikan dimana pada
lapisan seperti susu hanya tinggal 27 mL saja sehingga volume sedimentasi
berada sedikit jauh dari angka 1 yang mana menunjukkan emulsi yang baik
dan stabil. Setelah pengamatan volume sedimentasi, sediaan kemudian
dikocok untuk mengetahui sediaan mengalami flokulasi atau tidak.
Hasilnya, ketika tabung sedimentasi dikocok, tidak terjadi penggabungan
globul-globul yang berwarna putih tersebut menjadi homogen atau dengan
kata lain irreversible dan terbentuk caking atau bisa dikatakan mengalami
ketidakstabilan emulsi koalesen dan menuju demulsifikasi dimana terjadi
penggabungan globul-globul kecil menjadi globul yang lebih besar dan
bersifat irreversible. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan emulsi dengan
emulgator CMC-Na sebanyak 1% dengan metode kering tidak stabil yang
bisa disebabkan karena kurangnya emulgator yang ditambahkan. Menurut
(Voight, 1995: 434), sediaan emulsi yang baik adalah sediaan emulsi yang
stabil, dikatakan stabil apabila sediaan emulsi tersebut dapat
mempertahankan distribusi yang teratur dari fase terdispersi dalam jangka
waktu yang lama.
Ketidakstabilan emulsi ini dapat terjadi jika konsentrasi dari emulgator tidak
sesuai atau tidak adanya penambahan bahan penstabil lainnya atau bisa jadi
karena perubahan kelarutan bahan pengemulsi yang disebabkan oleh
antaraksi spesifik dengan bahan penambah (aditif) atau karena perubahan
temperatur. (Agoes, 2012: 155)
Pada pembuatan emulsi dengan cara kering pada kelompok 1 yaitu
menggunakan emulgator PGA sebanyak 10%. Metode perhitungan yang
dipakai adalah dengan mengukur cairan yang berwarna bening sehingga
hasil yang didapatkan oleh kelompok 1, makin kecil volume sedimentasi,
maka sediaan emulsi yang dibuat semakin baik dan stabil yaitu mendekati
0. Sedangkan yang dipakai pada kelompok praktikan, yang diukur adalah
lapisan yang berwarna putih seperti susu sehingga pada kelompok
praktikkan (kelompok 4) semakin tinggi volume sedimentasi, maka semakin
stabil sediaan emulsi yang dibuat yaitu yang mendekati 1. hasil volume
sedimentasi kelompok 1 adalah pada menit ke 10 hingga menit ke 60, tinggi
sedimentasinya adalah 0 dan pada hari keempat, volume sediemntasi adalah
sebesar 0,7. Itu artinya pada pembuatan emulsi menggunakan emulgator
PGA sebanyak 10% kurang baik hasil sediaannya atau tidak stabil karena
volume sedimentasi semakin lama semakin besar yang artinya lapisan yang
berwarna bening yang mana merupakan cairan yang sudah tidak stabil.
Sedangkan hasil yang didapatkan kelompok praktikan, semakin lama,
volume sedimentasi yang diukur yaitu lapisan yang berwarna susu adalah
0,3. Sehingga dapat dinyatakan bahwa sediaan emulsi yang dibuat
menggunakan emulgator CMC-Na dengan metode kering juga kurang baik
yang ditandai dengan penurusan volume sedimentasi pada hari ke-4 dan
sediaan tidak stabil. Hal ini bisa terjadi kemungkinan karena kurangnya
emulgator yang ditambahkan dalam sediaan karena PGA dan CMC-Na
merupakan emulgator dari alam dan pada CMC-Na hanya ditambahkan
sebanyak 1%. Dimana CMC-Na kestabilannya akan berkurang jika
dipengaruhi oleh perubahan pH dan suhu (Rowe, 2009: 118) yang berubah
secara signifikan. Untuk itu, bisa disarankan untuk menambahkan lebih
banyak emulgator agar sediaan emulsi yang dibuat lebih stabil (Agoes,
2012: 155)
IX. Kesimpulan
a. Emulgator Alam CMC-Na (cara kering)
1. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dan hasil pengamatan yang
didapat yaitu pembuatan emulsi dengan menggunakan emulgator alam
CMC-Na dengan metode kering, pembuatan emulsi menggunakan
emulgator alam cara kering kurang efektif karena pada hari ke-4 terjadi
caking dan ketidakstabilan emulsi yang terjadi yaitu koalesen yang mana
menuju ke demulsifikasi.
2. Berdasarkan percobaan yang tekah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
sediaan emulsi yang dibuat, belum stabil karena nilai F yaitu 0,3 dimana
emulsi yang stabil dan baik adalah yang nilai F mendekati 1 atau sama
dengan 1.
3. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tipe
emulsi yang dibuat dengan emulgator alam CMC-Na cara kering adalah tipe
emulsi M/A yang diuji dengan arah creaming ke atas dan uji kertas saring
yang menyebar tetesannya.
4. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapt disimpulkan bahwa
dapat diusulkan formula emulsi dengan penambahan flavouring agent
berupa essence strawberry dan pewarna karmin pada sediaan agar dapat
meningkatkan penerimaa pasien terhadap obat dan penambahan komposisi
emulgator sebanyak 2%.
Belitz, H.D. dan Grosch, W. 1987. Food Chemistry. 2nd Ed. Springer, p 232
Ditjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979, Farmakope
Indonesia, Edisi III, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
hlm. 474
Ditjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Farmakope
Indonesia, Edisi V, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
hlm. 620
Djasa Wibawa., Susan I, dkk. 2008. Ilmu Resep. Jakarta : Bakti Husada
Lachman, L., H.A. Lieberman, dan J.L. Karig. 1994. Teori dan Praktek Farmasi
Industri, Edisi Ketiga, Terjemahan: S. Suyatmi, Universitas Indonesia
Press, Jakarta, hlm. 492-493
Martin, A. et al. 1990. Farmasi Fisik. Jakarta: UI Press. Hlm. 509
Potter, N. Norman. 1986. Food Science. The AVI Publishing. Inc. Westport,
Connecticut
Rowe, Raymond, et all. 2009. Handbook of Pharmaceutical Exipien Sixth Edition.
London: Pharmaceutical Press, p 118
Syamsuni, H.A. 2006. Ilmu Resep. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta, hlm.
88, 131
Ditjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia,1979, Farmakope III,
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hal: 96
Rowe, R.C. et Al. 2009. Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 6th Ed. London.
Page: 150,442, 446,592,596,822
Agoes, goeswin.2009.Sediaan Farmasi Steril Seri dan Non Steril Farmasi Industri-
4. ITB : Bandung.
Agoes, goeswin.2009.Sediaan Farmasi Steril Seri dan Non Steril Farmasi. ITB :
Bandung. Hal 286