Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI SEDIAAN LIKUID & SEMI SOLID (NON STERIL)


PERCOBAAN IV
EMULSI DAN KRIM

Disusun oleh:
Kelompok/Shift : 4/F

Gita Ratu Kuswantara 10060316040


Anggun Putri Nur A 10060316041
Melinda Athirah Putri 10060316042
Adellya Fardiani 10060316043
Dilla Nurul Aisyah 10060316216
Indarti Ulfayani 10060316217

Asisten: Septiani Maulidina., S.Farm

Tanggal praktikum : 12 Oktober 2018


Tanggal pengumpulan: 19 Oktober 2018

LABORATORIUM FARMASI UNIT E


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1440 H/2018
PERCOBAAN IV
EMULSI DAN KRIM

I. Teori Dasar
Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat,
terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi atau
surfaktan yang cocok. (Ditjen POM, 1979: 9)
emulsi adalah sIstem dua fase yang salah satu cairannya terdispersi dalam
cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Emulsi dapat distabilkan
dengan penambahan bahan pengemulsi yang disebut emulgator
(emulsifying agent) atau surfaktan yang dapat mencegah koalesensi, yaitu
penyatuan tetesan kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya menjadi satu
fase tunggal yang memisah. Surfaktan menstabilkan emulsi dengan cara
menempati antar-permukaan tetesan dan fase eksternal, dan dengan
membuat batas fisik di sekeliling partikel yang akan berkoalesensi.
Surfaktan juga mengurangi tegangan permukaan antar fase sehingga
meningkatkan proses emulsifikasi selama pencampuran. (Ditjen POM,
2014: 46)
Emulsi merupakan suatu sistem yang tidak stabil, sehingga dibutuhkan zat
pengemulsi atau emulgator untuk menstabilkannya sehingga antara zat yang
terdispersi dengan pendispersinnya tidak akan pecah atau keduannya tidak
akan terpisah. Metode yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi
emulgator yang ditambahkan adalah metode HLB (Hydrophilic-Lipophilic
Balance). (Martin? Nama penulis?: 1993: 1143)
Berdasarkan jenisnya, emulsi dibagi dalam empat golongan, yaitu (Martin,
1993: 1145-1146):
a. Emulsi jenis minyak dalam air (m/a)
Bila fase minyak didispersikan sebagai bola-bola ke seluruh fase
kontinu air, sistem tersebut dikenal sebagai suatu emulsi minyak dalam
air (m/a).
b. Emulsi jenis air dalam minyak (a/m)
Bila fase minyak bertindak sebagai fase kontinu, emulsi tersebut dikenal
sebagai produk air dalam minyak (a/m).
c. Emulsi jenis minyak dalam air dalam minyak (m/a/m)
Emulsi minyak dalam air dalam minyak (m/a/m), juga dikenal sebagai
emulsi ganda, dapat dibuat dengan mencampurkan suatu pengemulsi
m/a dengan suatu fase air dalam suatu mikser dan perlahan-lahan
menambahkan fase minyak untuk membentuk suatu emulsi minyak
dalam air.
d. Emulsi jenis air dalam minyak dalam ai r(a/m/a)
Emulsi a/m/a juga dikenal sebagai emulsi ganda, dapat dibuat dengan
mencampurkan suatu pengemulsi a/m dengan suatu fase minyak dalam
suatu mikser dan perlahan-lahan menambahkan fase air untuk
membentuk suatu emulsi air dalam minyak. Emulsi a/m tersebut
kemudian didispersikan dalam suatu larutan air dari suatu zat
pengemulsi m/a, seperti polisorbat 80 (Tween 80), sehingga membentuk
emulsi air dalam minyak dalam air. Pembuatan emulsi a/m/a ini untuk
obat yang ditempatkan dalam tubuh serta untuk memperpanjang kerja
obat, untuk makanan-makanan serta untuk kosmetik.
Tujuan pemakaian emulsi adalah (Syamsuni, 2006: 129):
1. Untuk dipergunakan sebagai obat dalam atau per oral. Umumnya emulsi
tipe O/W.
2. Untuk dipergunakan sebagai obat luar. Bisa tipe O/W maupun W/O
tergantung pada banyak faktor, misalnya sifat zat nya atau efek terapi
yang dikehendaki
3. Mendapat sediaan yang stabil
4. Memperlambat efek obat karena ukuran sangat kecil.
5. Menutup rasa minyak.
6. Memperbaiki penampilan karena merupakan campuran yang homogen.
Emulsi yang digunakan dalam bidang farmasi adalah sediaan yang
mengandung dua cairan immiscible yang satu terdispersi secara seragam
sebagai tetesan dalam cairan lainnya. Sediaan emulsi merupakan golongan
penting dalam sediaan farmasetik karena memberikan pengaturan yang
dapat diterima dan bentuk yang cocok untuk beberapa bahan berminyak
yang tidak diinginkan oleh pasien. (Jenkins, 1957: 314-315)

Krim adalah bentuk sediaan setengah padat, berupa emulsi mengandung air
tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar. (Ditjen
POM, 1979: 8). Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung
satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang
sesuai (Ditjen POM, 1995: 6).
Ada beberapa tipe krim seperti emulsi, air terdispersi dalam minyak (W/O)
dan emulsi minyak terdispersi dalam air (O/W). sebagai pengelmusi dapat
digunakan surfaktan anionic, kationik dan non anionic. Untuk krim tipe
W/O digunakan : sabun monoalen, tween, natrium laurysulfat, emulgidum
dan lain-lain. Krim tipe O/W mudah dicuci. (Anief, 1994: 250).
Kualitas dasar krim yang diharapkan adalah sebagai berikut : Stabil, selama
masih dipakai mengobati. Maka krim harus bebas dari inkopatibilitas, stabil
pada suhu kamar, dan kelembaban yang ada dalam kamar. Lunak, yaitu
semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak dan
homogen. Mudah dipakai, umumnya krim tipe emulsi adalah yang paling
mudah dipakai dan dihilangkan dari kulit. Terdistribusi merata, obat harus
terdispersi merata melalui dasar krim padat atau cair pada penggunaan
(Anief, 1994: 250-251).
Kelebihan sediaan krim, yaitu mudah menyebar rata, praktis, mudah
dibersihkan atau dicuci, cara kerja berlangsung pada jaringan setempat,
tidak lengket terutama tipe m/a, memberikan rasa dingin (cold cream)
berupa tipe a/m, digunakan sebagai kosmetik, bahan untuk pemakaian
topikal jumlah yang diabsorpsi tidak cukup beracun. Sedangkan kekurangan
sediaan krim, yaitu susah dalam pembuatannya karena pembuatan krim
harus dalam keadaan panas. Gampang pecah disebabkan dalam pembuatan
formula tidak pas. Mudah kering dan mudah rusak khususnya tipe a/m
karena terganggu sistem campuran terutama disebabkan oleh perubahan
suhu dan perubahan komposisi disebabkan penambahan salah satu fase
secara berlebihan (Sumardjo & Damin, 2006: HAL BELUM).
Formula dasar krim, antara lain terdiri dari fase minyak dan fase air. Fase
minyak, yaitu bahan obat yang larut dalam minyak, bersifat asam.
(Sumardjo & Damin, 2006: HAL BELUM).

II. Data Preformulasi Zat


2.1 Emulsi
1. Data Preformulasi Zat Aktif
a. Parafin/ Paraffinum Liquid (Ditjen POM, 1995:605)
- Pemerian : Hablur tembus pandang, atau agak buram
tidak berwarna atau putih, tidak berbau, tidak berasa, agak
berminyak
- Polimorfisme : Mikrokristal
- Ukuran partikel :-
- Kelarutan : Tidak larut air dan etanol, mudah larut
dalam kloroform, eter, minyak menguap dalam hampir semua jenis
minyak lemak hangat, dan sukar larut dalam etanol
- Titik didih : ˃360°C
- Titik leleh : 96-105°C
- Pka/Pkb :-
- Bobot jenis : 0,84-0,89 g/cm3
- pH larutan :-
- Stabilitas : Disimpan diruangan suhu dibawah 40°C,
mudah mengalami oksidasi dengan adanya cahaya dan suhu panas,
mudah terurai bakteri, dan reaksi enzimatik.
- Inkompatibilitas : Amidoprin, kresol, morfin, etanol (95%),
tanin, garam oksidator kuat.
(Rowe, et al,2006:445)
- Khasiat : Laksativum, emolien, lubrican.
2. Data Preformulasi Zat Tambahan
a. Aquadest (Ditjen POM, 1979; 96)
- Pemerian : cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau,
tidak mempunyai rasa
- Polimorfisme :-
- Ukuran partikel :-
- Kelarutan :-
- Titik lebur : 0°C
- Titik didih : 100°C
- pKa/pKb :-
- Bobot jenis : 1 g/cm3
- pH larutan :7
- Stabilitas : Secara kimiawi air stabil terhadap semua
bentuk fisik (es, air, uap) dalam penyimpanan, air dilindungi terhadap
masuknya fisik partikel asing dan mikroorganisme.
- Inkompatinilitas : Air dapat bereaksi dengan obat dan eksipien
lain yang rentan terhadap hidrolisis
- Khasiat : Pelarut

b. Carboxymethyl Cellulose Sodium/CMC-Na (Ditjen POM,2014; 620)


- Pemerian : serbuk granul, putih/hampir putih, tidak
berbau, tidak berasa
- Ukuran pratikel :-
- Polimorfisme :-
- Kelarutan : praktis tidak larut dalam aseton, etanol 95%,
eter, dan toluena. Mudah tersebar dalam air pada semua suhu
- Titik Lebur : 227-252°C
- Pka/Pkb : 4,30
- Bobot Jenis : 1,3552 g/cm³
- pH larutan : 6,0-8,0
- Stabilitas : higroskopis, dalam kondisi kelembaban
tinggi CMCNa dapat menyerap banyak (˃50%) air. Larutan stabil pada
pH 2-10, viskositas larutan menurun dengan cepat pada pH ˃7.
Viskositas maksimal dan stabil pada Ph 7-9. Dapat disterilkan dalam
suhu 160°C selama 1 jam. Namun menghasilkan penurunan yang
sighnifikan dalam viskositas dan beberapa kerusakan.
- Inkompatibilitas : tidak kompatibel dengan larutan asam kuat
dan garam terlarut dari besi dan beberapa logam lainnya seperti
alumunium, merkuri, dan seng. Tidak kompatibel dengan xantin,
membentuk kompleks dengan gelatin dan kolagen
(Rowe, et al, 2009:118)
- Khasiat : Emulgator

c. Tween 80/Polyoxyethylene Sorbitol Fatty Acids Esters (Ditjen POM,


1995: 687)
- Organoleptis : bau khas, bau manis, rasa pahit, berwarna
kuning pada suhu 25°C
- Polimorfisme :-
- Ukuran partikel :-
- Kelarutan : larut dalam etanol, air, tidak larut minyak,
mineral, dan minyak sayur
- Titik didih/ leleh :-
- pKa/pKb :-
- pH : 6,0-8,0 untuk larutan berair s% b/v
- Bobot jenis : 1,05-1,09 g/cm³
- Stabilitas : stabil pada elektrolit, asam lemah, dan basa
lemah, higroskopis
- Inkompatibilitas : tar, fenol, tanin, aktifitas pengawet araben,
perubahan warna atau praeapitas dengan berbagai zat
(Rowe, et al, 2006:549)
- Khasiat : zat tambahan
d. Span 80/Sorbitan monoleat
- Organoleptis : cairan kental, bau khas, rasa khas, kadang
berwarna agak kekuningan, rasa pahit.
- Polimorfisme :-
- Ukuran partikel :-
- Kelarutan : larut dalam minyak, larut dalam pelarut
organik, praktis tidak larut dalam air
- Titik didih :-
- pKa/pKb :-
- Bobot jenis : 1,01 g/cm3
- pH :-
- Stabilitas : pembentukan sabun secara bertahap pada
penambahan asam atau basa kuat, stabil pada asam atau basa lemah
- Inkompatibilitas : terhadap asam dan basa kuat
(Rowe, et al, 2006:675)
- Khasiat : zat tambahan

e. Setil alkohol/alcoholum cetylicum


- Organoleptis : serpihan putih atau granul seperti lilim,
berminyak, bau khas lemah atau sabar, rasa lemah
- Polimorfisme :-
- Ukuran partikel :-
- Kelarutan : mudah larut dalam etanol 95%, eter,
kelarutan meningkat dengan peningkatan temperatur, serta tidak larut
dalam air
- Titik Lebur : 45-52°C
- Titik didih : 316-344°C
- pKa/pKb :-
- Bobot jenis : 0,908 g/cm3
- Stabilitas : Setil alkohol stabil dengan adanya asam
alkali, cahaya, dan udara sehingga tidak menjadi tengik
- Inkompatibilitas : tidak kompatibel dengan oksidator kuat,
setil alkohol bekerja untuk menurunkan titik leleh ibuprofen yang hasil
dalam kecendrungannya selama proses pelapisam film ibuprofen kristal
(Rowe, et al, 2009:156)
- Khasiat : emulgator dan emolien

2.2 Krim
1. Data Preformulasi Zat Aktif
a. Parafin/ Paraffinum Liquid (Ditjen POM, 1995:605)
- Pemerian : Hablur tembus pandang, atau agak buram
tidak berwarna atau putih, tidak berbau, tidak berasa, agak
berminyak
- Polimorfisme : Mikrokristal
- Ukuran partikel :-
- Kelarutan : Tidak larut air dan etanol, mudah larut
dalam kloroform, eter, minyak menguap dalam hampir semua jenis
minyak lemak hangat, dan sukar larut dalam etanol
- Titik didih : ˃360°C
- Titik leleh : 96-105°C
- Pka/Pkb :-
- Bobot jenis : 0,84-0,89 g/cm3
- pH larutan :-
- Stabilitas : Disimpan diruangan suhu dibawah 40°C,
mudah mengalami oksidasi dengan adanya cahaya dan suhu panas,
mudah terurai bakteri, dan reaksi enzimatik.
- Inkompatibilitas : Amidoprin, kresol, morfin, etanol (95%),
tanin, garam oksidator kuat.
(Rowe, et al,2006:445)
- Khasiat : Laksativum, emolien, lubrican.
2. Data Preformulasi Zat Tambahan
a. Aquadest (Ditjen POM, 1979; 96)
- Pemerian : cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau,
tidak mempunyai rasa
- Polimorfisme :-
- Ukuran partikel :-
- Kelarutan :-
- Titik lebur : 0°C
- Titik didih : 100°C
- pKa/pKb :-
- Bobot jenis : 1 g/cm3
- pH larutan :7
- Stabilitas : Secara kimiawi air stabil terhadap semua
bentuk fisik (es, air, uap) dalam penyimpanan, air dilindungi terhadap
masuknya fisik partikel asing dan mikroorganisme.
- Inkompatinilitas : Air dapat bereaksi dengan obat dan eksipien
lain yang rentan terhadap hidrolisis
- Khasiat : Pelarut

b. Emulgid (Rowe, et al, 2009: 777)


- Pemerian : lilin berwarna putih atau hampir putih, bau
lemah
- Ukuran pratikel :-
- Polimorfisme :-
- Kelarutan : praktis tidak larut dalam air, cukup larut
dalam etanol 95%, dan larut sebagian dalam eter
- Titik Lebur : 50-54C
- Pka/Pkb :-
- Bobot Jenis : 0,94 g/cm³
- pH larutan : 5,5-7,0
- Stabilitas : emulsi non ionik emulgid disimpan ditempat
kering dan tertutup rapat
- Inkompatibilitas : tanin, fenol, bahan fenolik, resorsin,
benzokainon, dapat mereduksi efek dari antibiotik senyawa amonium
kuartener
- Khasiat : Emulgator, solubilizing agent

c. Tween 80/Polyoxyethylene Sorbitol Fatty Acids Esters (Ditjen POM,


1995: 687)
- Organoleptis : bau khas, bau manis, rasa pahit, berwarna
kuning pada suhu 25°C
- Polimorfisme :-
- Ukuran partikel :-
- Kelarutan : larut dalam etanol, air, tidak larut minyak,
mineral, dan minyak sayur
- Titik didih/ leleh :-
- pKa/pKb :-
- pH : 6,0-8,0 untuk larutan berair s% b/v
- Bobot jenis : 1,05-1,09 g/cm³
- Stabilitas : stabil pada elektrolit, asam lemah, dan basa
lemah, higroskopis
- Inkompatibilitas : tar, fenol, tanin, aktifitas pengawet araben,
perubahan warna atau praeapitas dengan berbagai zat
(Rowe, et al, 2006:549)
- Khasiat : zat tambahan

d. Span 80/Sorbitan monoleat


- Organoleptis : cairan kental, bau khas, rasa khas, kadang
berwarna agak kekuningan, rasa pahit.
- Polimorfisme :-
- Ukuran partikel :-
- Kelarutan : larut dalam minyak, larut dalam pelarut
organik, praktis tidak larut dalam air
- Titik didih :-
- pKa/pKb :-
- Bobot jenis : 1,01 g/cm3
- pH :-
- Stabilitas : pembentukan sabun secara bertahap pada
penambahan asam atau basa kuat, stabil pada asam atau basa lemah
- Inkompatibilitas : terhadap asam dan basa kuat
(Rowe, et al, 2006:675)
- Khasiat : zat tambahan

e. Setil alkohol/alcoholum cetylicum


- Organoleptis : serpihan putih atau granul seperti lilim,
berminyak, bau khas lemah atau sabar, rasa lemah
- Polimorfisme :-
- Ukuran partikel :-
- Kelarutan : mudah larut dalam etanol 95%, eter,
kelarutan meningkat dengan peningkatan temperatur, serta tidak larut
dalam air
- Titik Lebur : 45-52°C
- Titik didih : 316-344°C
- pKa/pKb :-
- Bobot jenis : 0,908 g/cm3
- Stabilitas : Setil alkohol stabil dengan adanya asam
alkali, cahaya, dan udara sehingga tidak menjadi tengik
- Inkompatibilitas : tidak kompatibel dengan oksidator kuat,
setil alkohol bekerja untuk menurunkan titik leleh ibuprofen yang hasil
dalam kecendrungannya selama proses pelapisam film ibuprofen kristal
(Rowe, et al, 2009:156)
- Khasiat : emulgator dan emolien
III. Alat dan Bahan

IV. No Alat Bahan

1 Alat ultra thurax Aquadest

2 Alat penangas air CMC-Na

3 Batang pengaduk Emulgid

4 Cawan penguap Paraffinum Liquidum

5 Gelas kimia Tween 80 & Span 80

6 Gelas ukur Setil Alkohol

7 Kaca arloji

8 Kertas perkamen

9 Kertas saring

10 Matkan

11 Mortir

12 Penjepit tabung

13 Piknometer

14 Pipet tetes
15 Pot salep

16 Stirrer

17 Sudip

18 Tabung sedimentasi

19 Tabung sentrifugasi

20 Termometer

21 Timbangan
V. Perhitungan dan Penimbangan Bahan
5.1 Emulsi

5.2 Krim
Jumlah masing masing formula sebanyak 20 gram)

A. Formula I

1. Paraffinum Liquidum (30%)

30
x 20 gram = 6 gram
100

6 gram + ( 10% x 6 gram)

6 gram + 0,6 gram = 6,6 gram

2. Emulgid (15%)

15
x 20 gram = 3 gram
100

3gram + ( 10% x 3 gram)

3 gram + 0,3 gram = 3,3 gram

3. Aquadest

20 gram + (10%x 20 gram)

20 gram + 2 gram = 22 gram

22 gram - 6,6 gram – 3,3 gram = 12,1 gram

Tabel 3.2 Data penimbangan formula krim I

Nama Zat Konsentrasi Untuk 20

gram

Parafin cair 30% 6,6 gram


Emulgid 15% 3,3 gram

Aquadest 12,1 gram

B. Formula II

1. Paraffinum Liquidum (30%)

30
x 20 gram = 6 gram
100

6 gram + ( 10% x 6 gram)

6 gram + 0,6 gram = 6,6 gram

2. Tween 80 dan Span 80 (10%)

10
x 20 gram = 2 gram
100

Cara aligasi :
Tween 80 15 7,7

12

Span 80 4,3 3
------------ +
10,7

Tween 80 :

7,7
x 2 gram =1,44
10,7

1,44 gram + ( 10% x 1,44 gram)


1,44 gram + 0,144 gram = 1,584 gram

Span 80 :

3
x 2 gram = 0,56 gram
10,7

0,56 gram + ( 10% x 0,56 gram)

0,56 gram + 0,056 gram = 0,616 gram

3. Setil alkohol (10%)

10
x 20 gram = 2 gram
100

2 gram + (10% x 2 gram)

2 gram + 0,2 = 2,2 gram

4. Aquadest

20 gram + (10%x 20 gram)

20 gram + 2 gram = 22 gram

22 gram - 6,6 gram – 1,584 gram – 0,616 gram – 2,2 gram = 11 gram

Tabel 3.3 Data penimbangan formula krim II

Nama Zat Konsentrasi Untuk 20

gram

Parafin cair 30% 6,6 gram

Tween 80 1,584 gram

Span 80 10 % 0,616 gram


Setil alkohol 10% 2,2 gram

Aquadest 11 gram

VI. Prosedur
6.1 Emulgator Alam CMC-Na (cara kering)
Pada percobaan pembuatan emulsi dengan emulgator alam CMC Na cara
kering, hal yang pertama kali dilakukan yaitu disiapkan alat-alat yang sudah
bersih dan semua bahan yang akan digunakan ditimbang. Kemudian
paraffin cair sebanyak 30 gram dan CMC Na sebanyak 1 gram dimasukkan
ke dalam mortir dan digerus dengan cepat sampai homogen. Setelah itu, air
sebanyak 20 mL ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam mortir dan
digerus kuat hingga menjadi corpus emulsi. Kemudian corpus emulsi yang
sudah jadi dimasukkan ke dalam matkan kemudian digenapkan dengan air
sampai 100 mL dan distirrer. Setelah di stirrer dan dirasa campuran sudah
homogen, sediaan kemudian dimasukkan ke dalam tabung sedimentasi
untuk dilakukan pengamatan evaluasi.

6.2 Emulgator Alam CMC-Na (cara basah)


Hal yang dilakukan dalam prosedur percobaan emulgator alam CMC Na
cara basah adalah pertama disiapkan alat-alat yang telah dicuci dan
dikeringkan disertai dengan penyiapan bahan yang akan digunakan. Botol
dikalibrasi dengan 100 mL aquadest lalu diberi tanda batas. Aquadest di
didihkan untuk pengembangan CMC Na yang kemudian aquadest tersebut
dimasukkan ke dalam mortir yang diatasnya ditaburi CMC Na. Setelah
CMC Na terbasahi selanjutnya ditambahkan dengan parrafin cair lalu aduk
kuat dan konstan sampai terbentuk korpus emulsi yang berupa campuran
fasa minyak, air dan emulgator. Korpus emulsi dimasukkan ke dalam
matkan lalu diaduk menggunakan stirrer kemudian dimasukkan ke dalam
botol. Aquadest ditambahkan aquadest ke dalam botol sampai 100 mL atau
sampai tanda batas lalul dikocok homogen.

6.3 Emulgator Sintetis Tween 80+Span 80


Hal-hal yang dilakukan dalam percoban ini yang pertama alat bahan
disiapkan sesuai dengan kebutuhan. Kemudian botol dikalibasi 100 mL.
Selanjutnya, masing-masing bahan yang telah disiapkan ditimbang. Span80
sebanyak 1,4 mL yang larut minyak dicampurkan kedalam paraffin cair 30
mL dengan menggunakan cawa penguap dan dipanaskan sampai suhu 60-
70ºC diperoleh fasa minyak. Kemudian tween80 sebanyak 3,6 mL yang
larut air dicampurkan kedalam air dengan menggunakan cawa penguap dan
dipanaskan sampai suhu 60-70ºC diperoleh fasa air. Setelah dipanaskan,
campuran fasa minyak dan fasa air dicampurkan kedalam matkan dan
diaduk menggunakan stirrer dalam waktu 5 menit sampai campuran
homogen. Lalu campuran yang telah distirrer ditambahkan aquadest sampai
100 mL dan diaduk kembali dengan stirrer sampai campuran homogen.
Kemudian dimasukkan semua campuran yang ada didalam matkan kedalam
botol yang telah dikalibrasi. Setelah itu, dilakukan pengamatan evaluasi
sediaan.

6.4 Emulgator Sintetis Tweenspan + Setil Alkohol


6.5 Evaluasi Emulsi
a. Organoleptis
Evaluasi meliputi uji kejernihan, bau, rasa dan warna.
b. Pengukuran tinggi sedimentasi
Sediaan emulsi yang diuji disimpan dalam tabung sedimentasi selama
beberapa waktu pada temperatur kamar dan temperatur di atas temperatur
kamar. Selang waktu tertentu dilakukan pengamatan terhadap sediaan
emulsi yang diuji dengan melihat terjadinya pembentukan laposan sepertu
susu. Stabilitas fisik emulsi ditentukan dengan berdasarkan perbandingan
harga Hu dan Ho selama penyimpanan.
Hu = tinggi lapisan seperti susu
Ho = tinggi seluruh sediaan
Emulsi dikatakan stabil jika harga Hu/Ho = 1 atau mendekati satu.
c. Tipe arah emulsi
- Uji arah creaming
Uji ini dapat dilakukan apabila densiti fasa air dan fasa minyak telah
diketahui. Emulsi tipe A/M akan terjadi creaming pada arah ke bawah
(karena biasanya minyak mempunyai densitas yang lebih rendah dari
air). Emulsi tipe M/A akan terjadi creaming pada arah ke atas.
- Uji kertas saring
Emulsi tipe M/A akan menyebar dengan cepat ketika setitik emulsi
M/A diletakkan dalam kertas saring. Sebaiknya tidak digunakan untuk
cream yang terlalu kental.
d. Homogenitas
Setelah semua uji evaluasi dilakukan maka langkah terakhir adalah
pengujian homogenitas, uji homogenitas dilakukan dengan cara beberapa
kali pengocokan dan dibiarkan hanya dalam waktu yang sebentar lalu
diamati. Apabila terjadi pemisahan atau emulsi yang pecah maka
homogenitasnya tidak baik dan sebaliknya.

6.6 Krim (Formula I)


Hal hal yang dilakukan dalam percobaan ini adalah pertama alat dan bahan
disiapkan terlebih dahulu sesuai dengan sebagaimana kebutuhan. Serta
dilanjutkan dengan penimbangan masing masing bahan. Kemudian,
emulgid sebanyak 3,3 gram dimasukkan ke dalam cawan penguap I yang
berisi parafin cair sebanyak 6,6 gram. Setelah itu, Aquadest dimasukkan ke
dalam cawan penguap II. Pada kedua cawan penguap tersebut, selanjutnya
adalah akan dilakukan pemanasan di atas penangas air sampai suhu 70°C.
Setelah mencapai 70°C, isi kedua cawan penguap tersebut dimasukan ke
dalam matkan dan dicampurkan dengan menggunakan alat ultra thurax
hingga membentuk massa yang homogen dan suhu campuran mendekati
35°C. Kemudian hal yang dilakukan selanjutnya adalah sediaan krim yang
telah terbentuk didinginkan hingga mencapai suhu kamar dan ditimbang
sebanyak 20 gram dengan menggunakan kertas perkamen serta dimasukkan
ke dalam wadah (pot salep). Setelah itu, dilakukan evaluasi sediaan.

6.7 Krim (Formula II)


Hal hal yang dilakukan dalam percobaan ini adalah pertama alat dan bahan
disiapkan terlebih dahulu sesuai dengan sebagaimana kebutuhan. Serta
dilanjutkan dengan penimbangan masing masing bahan. Kemudian, Span
80 sebanyak 0,616 gram dan setil alkohol sebanyak 2,2 gram dilarutkan ke
dalam cawan penguap I yang berisi parafin cair sebanyak 6,6 gram. Setelah
itu, Tween 80 sebanyak 0,1584 gram dimasukkan ke dalam cawan penguap
II yang berisi aquadest sebanyak 11 gram. Pada kedua cawan penguap
tersebut, selanjutnya adalah akan dilakukan pemanasan di atas penangas air
sampai suhu 70°C. Setelah mencapai 70°C, isi kedua cawan penguap
tersebut dimasukan ke dalam matkan dan dicampurkan dengan
menggunakan alat ultra thurax hingga membentuk massa yang homogen
dan suhu campuran mendekati 35°C. Kemudian hal yang dilakukan
selanjutnya adalah sediaan krim yang telah terbentuk didinginkan hingga
mencapai suhu kamar dan ditimbang sebanyak 20 gram dengan
menggunakan kertas perkamen serta dimasukkan ke dalam wadah (pot
salep). Setelah itu, dilakukan evaluasi sediaan.
Catatan : Cawan penguap I untuk fase minyak dan cawan penguap II untuk
fase
6.8 Evaluasi Krim
1. Organoleptik
Pengujian ini bersifat kualitatif. Dilakukan penilaiam homogenitas dan
warna sediaan menggunakan panca indera mata (putih, kuning, merah
dll). Pada pengujian homogenitas, sediaan diobservasi ketercampuran
antarbahan sediaannya (apakah sediaan mengandung lebih dari 1 fasa
atau tidak). Jika sediaan tidak terbagi menjadi 2 lapisan fasa yang tidak
saling bercampur, maka sediaan tersebut bersifat homogen. Pengujian
bau sediaan dilakukan dengan menggunakan panca indera hidung
(aromatik, berbau tengik, tak berbau, dll).
2. Tipe Emulsi
Emulsi m/a dapat diencerkan dengan pelarut aquadest, sedangkan
emulsi a/m tidk dapat diencerkan dengan pelarut aquadest. Pengujian ini
harus dilakukan secara hati-hati, karena inversi fasa dapat terjadi.
3. Stabilitas fisik
Uji percepatan dilakukan dengan sentrifugasi dan manipulasi suhu.
Sentrifugasi dilakukan dengan pengujian sediaan disentrifugasi dengan
kecepatan tinggi (+ 30000 Rpm), lalu diamati adanya pemisahan atau
tidak. Sedangkan pada pengujian manipulasi suhu dilakukan dengan
cara krim dioleskan pada kaca objek dan dipanaskan pada suhu 30
sampai 70°C kemudian diamati. Pada suhu berapa dimulai terjadinya
pemisahan. Makin tinggi suhu, krim makin stabil.

VII. Hasil Pengamatan


7.1 Emulsi
Table 6.1.1 Hasil pengamatan kelompok 4
Sediaan Organoleptik Tipe Homogenitas Volume Sedimentasi
Emulsi
Warna Bau Rasa 𝑡10 𝑡20 𝑡30 𝑡60 𝑡4ℎ𝑎𝑟𝑖

CMC-Na Putih Tidak Tidak M/A Homogen 1 1 1 1 0,3


(cara kering) berbau berasa

(1%)

CMC-Na Putih Tidak Tidak M/A Homogen 1 1 1 1 0,8787


(cara basah) berbau berasa
(1%)
Tween 80 + Putih Tidak Tidak M/A Homogen 1 1 1 1 1
Span 80 (5%) berbau berasa

TweenSpan Putih Tidak Tidak M/A Homogen 1 1 1 1 0,6836


80 + Setil berbau berasa
Alkohol (5%)

Table 6.1.2 Hasil pengamatan kelompok 1


Sediaan Organoleptik Tipe Homogenitas Volume Sedimentasi
Emulsi
Warna Bau Rasa 𝑡10 𝑡20 𝑡30 𝑡60 𝑡4ℎ𝑎𝑟𝑖

PGA (cara Putih Lemah Tidak M/A Homogen 0 0 0 0 0,7


kering) (10%) berasa

PGA (cara Putih Lemah Tidak M/A Tidak 0 0 0 0 0,67


basah) (10%) berasa homogen

Tween 80 + Putih Lemah Tidak M/A Homogen 0 0 0,02 0,046 0,6


Span 80 (10%) berasa

TweenSpan 80 Putih lemah Tidak M/A Homogen 0 0 0 0,02 0


(10%) + Setil berasa
Alkohol (5%)

Table 6.1.3 Hasil pengamatan kelompok 5


Sediaan Organoleptik Tipe Homogenitas Volume Sedimentasi
Emulsi
Warna Bau Rasa 𝑡10 𝑡20 𝑡30 𝑡60 𝑡4ℎ𝑎𝑟𝑖
Veegum (1%) Putih Tidak Tidak M/A Tidak 0 0,965 0,94 0,875 0,55
susu berbau berasa homogen

CMC-Na Putih Tidak Tidak M/A Tidak 0,66 0,545 0,535 0,5 0,66
(cara basah) susu berbau berasa homogen
(0,5%)

Tween 80 + Putih Tidak Tidak M/A Homogen 0 0 0 0 0


Span 80 susu berbau berasa
(7,5%)

TweenSpan Putih Tidak Tidak M/A Homogen 0 0 0 0 0


80 (7,5%) + susu berbau berasa
Setil Alkohol
(5%)

7.2 Krim
Tabel 7.2 Data pengamatan sediaan krim kelompok 4
Parameter Formula Krim I Formula Krim II

Organoleptis

Putih Putih
-Warna
Tidak berbau Tidak berbau
- Bau

Homogen Homogen
Homogenitas
Stabilitas 1 hari : Stabil 1 hari : Stabil

3 hari : Stabil 3 hari : Stabil

Tipe krim

M/A M/A
-Uji pengenceran

VIII. Pembahasan
8.1 Emulsi
a. Emulgator Alam CMC-Na (cara kering)
Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat,
terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi atau
emulgator atau surfaktan yang cocok. (Ditjen POM, 1979: 9). Emulsi dapat
distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi yang mencegah
koalesensi, yaitu penyatuan tetes kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya
menjadi satu fase tunggal yang memisah. Bahan pengemulsi (surfaktan)
menstabilkan dengan cara menempati antar permukaan antara tetesan dan
fase eksternal dan dengan membuat batas fisik di sekeliling partikel yang
akan berkoalesensi. (Ditjen POM, 2014: 46).
Emulsi yang digunakan dalam farmasi adalah satu sediaan yang terdiri dari
dua cairan tidak bercampur, dimana yang satu terdispersi seluruhnya
sebagai globula-globula terhadap yang lain. Dalam pembuatan emulsi ini,
zak aktif yang dipakai adalah Paraffin Liquidum dan bahan pembantu
berupa emulgator dan zat tambahan lainnya yaitu berupa aquadest dengan
metode pembuatan emulsi dengan cara kering.
Paraffin Liquidum termasuk salah satu jenis pencahar emolien. Obat yang
termasuk golongan ini memudahkan defekasi (buang air besar) dengan cara
melunakkan tinja tanpa merangsang peristaltik usus (sembelit), baik
langsung maupun tidak langsung. Bekerja sebagai zat penurun tegangan
permukaan. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah dioktil natrium
sulfosukonat dan paraffin liquidum. Paraffin Liquidum (Mineral Oil) adalah
campuran cairan hidrokarbon yang diperoleh dari minyak bumi.
(Ganiswarna, 1995: 530). Paraffin Liquidum merupakan zat yang berupa
cairan kental transparan, tidak berfluoresensi, tidak berwarna, hampir tidak
berbau dan hampir tidak mempunyai rasa yang praktis tidak larut dalam air.
(Ditjen POM, 1979: 474). Paraffin Liquidum mudah terurau dengan adanya
cahaya dari luar (Lund, 1994: 1630).
Dalam pembuatan suatu emulsi, pemilihan emulgator merupakan faktor
yang penting untuk diperhatikan karena mutu dan kestabilan suatu emulsi
banyak dipengaruhi oleh emulgator yang digunakan. Emulgator yang
digunakan pada praktikum ini salah satunya adalah CMC-Na yang
merupakan emulgator alam golongan koloid hidrofil yang berupa serbuk
granul putih atau hampir putih, tidak berbau dan tidak berasa serta mudah
tersebar di dalam air pada semua suhu(Ditjen POM, 2014: 620). Mekanisme
kerja dari emulgator CMC-Na adalah dengan membentuk lapisan film
multimolekuler di sekeliling globul yang terdispersi dan bersifat
mengembang dalam air sehingga dapat meningkatkan viskositas sediaan
yang sekaligus akan meningkatkan kestabilan emulsi. (Ansel, 1989 : 377)
Pada pembuatan emulsi dengan emulgator CMC-Na yang di buat dengan
metode cara kering ini, hal yang pertama dilakukan yaitu semua bahan
ditimbang dan disiapkan alat yang akan dipakai. Lalu zat aktif berupa
paraffin cair dimana paraffin cair berperan sebagai fase minyak sebanyak
30 mL dan CMC-Na yang berperan sebagai emulgator fase air sebanyak 1
gram dimasukkan keduanya ke dalam mortir dan digerus cepat hingga
homogen. Alasan paraffin cair dan CMC-Na setelah dimasukkan langsung
digerus cepat adalah agar paraffin dan CMC-Na dapat sedikit bercampur
dan emulgator tidak dikembangkan terlebih dahulu karena metode
pembuatan dengan cara kering yaitu emulgator dicampurkan pada fase
minyak berupa paraffin cair sebelum penambahan fase air. Selama
penggerusan tersebut, dimasukkan air sebanyak 20 mL sedikit demi sedikit
dan tetap digerus kuat hingga menjadi corpus emulsi. Hal ini bertujuan agar
lebih mudah semua zat tercampur yang kemudian setelah homogen
dimasukkan ke dalam matkan dan digenapkan dengan air sampai 100 mL
dan kemudian diaduk menggunakan stirrer agar lebih mudah dan cepat
untuk homogen. Setelah homogen, sediaan kemudian dimasukkan ke dalam
tabung sedimentasi untuk dilakukan pengamatan evaluasi yang meliputi
pengamatan organoleptis, pengukuran tinggi sedimentasi, penentuan tipe
emulsi dan uji homogenitas. Pengujian dan pengamatan evaluasi ini
dilakukan untuk mengetahui bahwa sediaan emulsi yang dibuat praktikan
memenuhi syarat emulsi yang baik dan stabil.
Pengamatan atau pengujian evaluasi yang pertama setelah sediaan emulsi
dimasukkan ke dalam tabung sedimentasi untuk diamati, yaitu pengamatan
organoleptis, yaitu meliputi pengamatan warna, bau dan rasa. Pada
pengamatan warna yaitu dengan visual, warna sediaan emulsi adalah putih
yaitu putih susu. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan emulsi yang dibuat,
fase terdispersi sediaan terdispersi secara sempurna di fase pendispersinya
yang ditandai dengan semua warna sediaan seluruhnya adalah berwarna
putih susu. Kemudian pengamatan organoleptis yang selanjutnya yaitu bau
dan rasa. Hasilnya, sediaan emulsi yang dibuat tidak berbau dan tidak
berasa, dimana hal ini dikarenakan pada sediaan tidak ditambahkan
flavouring agent berupa perasa dan pewangi serta pemanis yang
mengakibatkan sediaan menjadi demikian.
Pengamatan evaluasi selanjutnya yaitu tipe emulsi dimana metode yang
praktikan pakai ada dua yaitu dengan uji arah creaming dimana pada uji ini
jika arah creaming yaitu yang berwarna putih mengarah ke bagian atas
tabung sedimentasi, itu artinya tipe emulsi yang dihasilkan adalah tipe M/A
karena densitas air lebih tinggi daripada minyak dan juga tipe M/A artinya
minyak menjadi fase terdispersi yang terdispersi di dalam fase pendispersi
air dalam bentuk globul-globul berwarna putih. Sebaliknya, jika arah
creaming yaitu yang berwarna putih mengarah ke bagian bawah tabung
sedimentasi, maka tipe emulsi yang dihasilkan adalah tipe A/M karena
minyak mempunyai densitas yang lebih rendah daripada air dan juga jika
tipe A/M artinya air menjadi fase terdispersi yang terdispersi di dalam fase
pendispersi minyak dalam bentuk globul – globul berwarna putih.
Berdasarkan data pengamatan yang praktikan dapat, didapatkan hasil
pengamatan arah creaming yaitu yang berwarna putih mengarah ke bagian
atas tabung sedimentasi. Hal ini menunjukkan bahwa tipe emulsi yang
dibuat praktikan adalah tipe M/A. Kemudian penentuan tipe emulsi yang
kedua yaitu dengan uji kertas saring dimana uji ini dilihat dari jika tipe
emulsi adalah M/A, maka saat sediaan diteteskan ke kertas saring akan
menyebar dengan cepat. Sebaliknya, jika sediaan merupakan tipe A/M maka
saat diteteskan ke kertas saring tidak akan menyebar. Hasilnya, tipe emulsi
yang dibuat praktikan adalah tipe emulsi M/A yang ditandai dengan
penyebaran dengan cepat saat diteteskan pada kertas saring. (Martin, 1971:
509)
Pengamatan evaluasi selanjutnya yaitu homogenitas, dimana pengamatan
ini dilakukan dengan mengamati secara visual sediaan emulsi yang dibuat
dimana jika sediaan homogen, tidak terlihat pemisahan di dalam tabung
sedimentasi. Hasilnya, sediaan emulsi yang dibuat praktikan homogen yaitu
ditandai dengan tidak ada pemisahan yang terlihat pada sediaan di tabung
sedimentasi yang perlihatkan dengan seluruh sediaan berwarna putih.
Pengamatan evaluasi selanjutnya yaitu tinggi sedimentasi. Dimana
pengamatan dilakukan dengan mengukur tinggi sediaan emulsi dengan
perbandingan tinggi pembentukan lapisan seperti susu dalam tinggi seluruh
sediaan emulsi yang dilakukan dalam selang waktu tertentu pada suhu
kamar selama 10 menit, 20 menit, 30 menit, 60 menit dan hari keempat
setelah sediaan dibuat dan dimasukkan ke dalam tabung sedimentasi.
Hasilnya, pada 10 menit sampai 60 menit setelah sediaan selesai dibuat,
hasil perbandingan tinggi lapisan seperti susu dalam tinggi seluruh sediaan
adalah 1 dimana volume sediaan seluruhnya 90 mL. Hal ini menunjukkan
bahwa sediaan emulsi yang dibuat praktikan masih dalam keadaan baik
yang ditandai dengan tidak terbentuk 2 lapisan yang berpisah dan artinya
fase terdispersi masih terdispersi secara homogen dan merata di seluruh
bagian fase pendispersinya. Lalu pada hari ke-4 sesudah sediaan dibuat,
didapatkan terjadi creaming atau lapisan seperti susu di bagian atas tabung
sedimentasi sebanyak 27 mL. sehingga didapatkan hasil volume
sedimentasi sebesar 0,3. Menurut (Lachman, 1994: 492-493), bila F=1
dinyatakan sebagai “Flocculation equilibrium”, merupakan sediaan yang
baik. Demikian bila F mendekati 1. Bila F>1 terjadi “Floc” sangat longgar
dan halus sehingga volume akhir lebih besar dari volume awal. Maka perlu
ditambahkan zat tambahan. Jika volume sedimentasi kurang dari satu maka
sediaan emulsi yang dibuat kurang baik dan kurang stabil. Karena pada hari
ke-4, terjadi pemisahan 2 lapisan yang sangat signifikan dimana pada
lapisan seperti susu hanya tinggal 27 mL saja sehingga volume sedimentasi
berada sedikit jauh dari angka 1 yang mana menunjukkan emulsi yang baik
dan stabil. Setelah pengamatan volume sedimentasi, sediaan kemudian
dikocok untuk mengetahui sediaan mengalami flokulasi atau tidak.
Hasilnya, ketika tabung sedimentasi dikocok, tidak terjadi penggabungan
globul-globul yang berwarna putih tersebut menjadi homogen atau dengan
kata lain irreversible dan terbentuk caking atau bisa dikatakan mengalami
ketidakstabilan emulsi koalesen dan menuju demulsifikasi dimana terjadi
penggabungan globul-globul kecil menjadi globul yang lebih besar dan
bersifat irreversible. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan emulsi dengan
emulgator CMC-Na sebanyak 1% dengan metode kering tidak stabil yang
bisa disebabkan karena kurangnya emulgator yang ditambahkan. Menurut
(Voight, 1995: 434), sediaan emulsi yang baik adalah sediaan emulsi yang
stabil, dikatakan stabil apabila sediaan emulsi tersebut dapat
mempertahankan distribusi yang teratur dari fase terdispersi dalam jangka
waktu yang lama.
Ketidakstabilan emulsi ini dapat terjadi jika konsentrasi dari emulgator tidak
sesuai atau tidak adanya penambahan bahan penstabil lainnya atau bisa jadi
karena perubahan kelarutan bahan pengemulsi yang disebabkan oleh
antaraksi spesifik dengan bahan penambah (aditif) atau karena perubahan
temperatur. (Agoes, 2012: 155)
Pada pembuatan emulsi dengan cara kering pada kelompok 1 yaitu
menggunakan emulgator PGA sebanyak 10%. Metode perhitungan yang
dipakai adalah dengan mengukur cairan yang berwarna bening sehingga
hasil yang didapatkan oleh kelompok 1, makin kecil volume sedimentasi,
maka sediaan emulsi yang dibuat semakin baik dan stabil yaitu mendekati
0. Sedangkan yang dipakai pada kelompok praktikan, yang diukur adalah
lapisan yang berwarna putih seperti susu sehingga pada kelompok
praktikkan (kelompok 4) semakin tinggi volume sedimentasi, maka semakin
stabil sediaan emulsi yang dibuat yaitu yang mendekati 1. hasil volume
sedimentasi kelompok 1 adalah pada menit ke 10 hingga menit ke 60, tinggi
sedimentasinya adalah 0 dan pada hari keempat, volume sediemntasi adalah
sebesar 0,7. Itu artinya pada pembuatan emulsi menggunakan emulgator
PGA sebanyak 10% kurang baik hasil sediaannya atau tidak stabil karena
volume sedimentasi semakin lama semakin besar yang artinya lapisan yang
berwarna bening yang mana merupakan cairan yang sudah tidak stabil.
Sedangkan hasil yang didapatkan kelompok praktikan, semakin lama,
volume sedimentasi yang diukur yaitu lapisan yang berwarna susu adalah
0,3. Sehingga dapat dinyatakan bahwa sediaan emulsi yang dibuat
menggunakan emulgator CMC-Na dengan metode kering juga kurang baik
yang ditandai dengan penurusan volume sedimentasi pada hari ke-4 dan
sediaan tidak stabil. Hal ini bisa terjadi kemungkinan karena kurangnya
emulgator yang ditambahkan dalam sediaan karena PGA dan CMC-Na
merupakan emulgator dari alam dan pada CMC-Na hanya ditambahkan
sebanyak 1%. Dimana CMC-Na kestabilannya akan berkurang jika
dipengaruhi oleh perubahan pH dan suhu (Rowe, 2009: 118) yang berubah
secara signifikan. Untuk itu, bisa disarankan untuk menambahkan lebih
banyak emulgator agar sediaan emulsi yang dibuat lebih stabil (Agoes,
2012: 155)

Berdasarkan formula suspensi yang dibuat oleh praktikan dan berdasarkan


hasil evaluasi organoleptik yang meliputi warna, bau dan rasa. Dapat
diusulkan formula zat tambahan lain seperti penambahan flavouring agent
yaitu perasa strawberry dan pewarna karmin dimana hal ini dilakukan untuk
meningkatkan penerimaa pasien terhadap obat.
Formula umum yang diusulkan yaitu
Paraffin liquidum 30%
CMC-Na 2%
Perasa strawberry 3 tetes
Karmin q.s
Aquadest ad 100 mL

b. Emulgator Alam CMC-Na (cara basah)


Pada praktikum ini dilakukan pembuatan sediaan emulsi dengan
menggunakan cara basah atau metode inggris, dimana merujuk pada
litelatur bahwa zat pengemulsi ditambahkan ke dalam air (zat pengemulsi
umunya larut dalam air) agar membentuk suatu musilago, kemudian
perlahan-lahan minyak dicampurkan untum membentuk emulsi, kemudian
diencerkan dengan sisa air (Syamsuni, 2006: 131). Dikatakan bahwa zat
pengemulsi menggunakan cara basah umumnya larut air dan CMC Na
memiliki kelarutan mudah tersebar dalam air pada semua suhu (Ditjen
POM, 2014: 620), maka dalam praktikum ini penggunaan cara basah adalah
cara yang tepat untuk membuat emulsi dengan pengemulsi CMC Na.
Pada pembuatan mucilago (emulgator) yaitu CMC Na dengan air panas dua
puluh kalinya dari jumlah parrafin cair sebagai fasa minyak harus digerus
kuat dan konstan atau seteratur mungkin agar mucilago dapat terbentuk
sempurna, karena apabila penggerusan lemah dan tidak teratur akan gagal
terbentuknya mucilago itu sendiri. Pada saat penambahan fase minyak dan
fase air kedalam mucilago harus dilakukan sedikit demi sedikit agar tetap
membentuk korpus emulsi dan tidak pecahnya sediaan (Djasa Wibawa., et
al. 2008).
CMC Na mudah larut dalam air panas maupun air dingin. Pada pemanasan
dapat terjadi pengurangan viskositas yang bersifat dapat balik (reversible).
CMC Na akan terdispersi dalam air kemudian butir-butir CMC Na yang
bersifat hidrofilik akan menyerap air dan terjadi pembengkakan. Air yang
sebelumnya ada diluar granula dan bebas bergerak menjadi tidak dapat
bergerak lagi dengan bebas sehingga keadaan larutan lebih mantap dan
terjadi peningkatan viskositas (Fennema, Karen and Lund, 1996). Ada
empat sifat fungsional yang penting dari CMC Na yaitu pengental,
stabilisator, pembentuk gel dan pengemulsi. Di dalam sistem emulsi
hidrokoloid (CMC Na) tidak berfungsi sebagai pengemulsi tetapi sebagai
senyawa yang memeberikan kestabilan. (Potter, 1989).
Mekanisme bahan pengental dari CMC Na mengikuti bentuk konformasi
extended atau streched ribbon (tipe pita). Tipe tersebut terbentuk dari 1,4-
Dglukopiranosil yaitu rantai selulosa. Bentuk konformasi pita tersebut
karena bergabungnya ikatan geometri zig-zag monomer dengan jembatan
hidrogen 1,4-Dglukopiraosil lain, sehingga menyebabkan susunannya
stabil. CMC Na merupakan derivat dari selulsa memberikan kestabilan pada
produk dengan merangkap air dengan membentuk jembatan hidrogen
molekul CMC Na yang lain (Belitz dan Grosch, 1986: 232).
Pengadukan menggunakan stirrer bertujuan pengadukan dengan kecepatan
yang lebih tinggi dari penggunaan mortir dan stamper untuk meningkatkan
kelarutan CMC Na dalam air panas pada saat pengembangan emulgator,
permasalahan yang dihadapi yaitu proses pengembangan CMC Na dengan
air panas yang tidak terlarut sempurna atau ada sebagian yang menggupal.
Langkah tersebut tercantum dalam litelatur (Syamsuni, 2006: 88) yaitu
kecepatan melarutnya suatu zat dipengaruhi oleh ukuran pratikel dimana
makin halus zat terlarut, makin kecil ukuran partikel, makin luas
permukaannya yang kontak dengan pelarut sehingga zat terlarut makin cepat
larut. Suhu yang umumnya kenaikan suhu akan menambah kelarutan suatu
zat serta pengadukan.
Setelah diperoleh emulsi dengan bobot sesuai tahap selanjutnya ialah
evaluasi. Evaluasi sediaan suspensi terdiri dari pemeriksaan organoleptis
meliputi uji kejernihan, bau, rasa dan warna, pengukuran tinggi sedimentasi,
homogenitas serta tipe arah emulsi yang meliput uji arah creaming dan uji
kertas saring. Hari pertama pada pemeriksaan organoleptis warnanya putih,
rasa tidak berasa dan tidak berbau, sedangkan di hari ke tiga dapat
disimpulkan bahwa sedian ini tidak mengalami perubahan secara
organoleptis. Maka pada uji organoleptis sudah sesuai dengan litelatur
preformulasi parrafin liquidum yang tidak memberikan bau ataupun rasa
(Ditjen POM, 1979: 474).
Pengukuran tinggi sedimentasi hasil fraksi (F) yang didapat pada
pengamatan volume sedimentasi selama 3 hari yaitu pada hari pertama
menit ke sepuluh hingga menit ke 60 adalah 1, maka dapat disimpulkan nilai
fraksi sama dengan 1 sediaan emulsi yang dibuat praktikan dinyatakan
sebagai “Flocculation equilibrium”, merupakan sediaan yang baik.
Demikian bila F mendekati 1. Bila F>1 terjadi “Floc” sangat longgar dan
halus sehingga volume akhir lebih besar dari volume awal dan nilai fraksi
kurang dari 0 emulsinya kurang baik. Maka perlu ditambahkan zat tambahan
(Lachman, 1994: 492-493). Bila dibandingkan dengan kelompok 3 dengan
perolehan volume sedimentasi selama 3 hari yaitu pada hari pertama menit
ke sepuluh hingga menit ke 60 adalah kurang dari satu, maka dapat
disimpulkan nilai fraksi kurang dari 0 emulsinya kurang baik.
Hal ini dapat dilihat dari kadar CMC Na konsentrasi 0.5% bagi CMC Na
pada emulsi kurang begitu baik karena sistem cepat terpisah sehingga
kestabilannya kurang baik. Pada kadar CMC Na 1% emulsi bisa dikatakan
lebih stabil karena pemisahan berlangsung lebih lambat dan tinggi H lebih
rendah dari tinggi H pada CMC Na 0.5%. Tinggi H lebih stabil dimana pada
pengamatan hari pertama sampai hari ketiga. Kesimpulan tersebut mengacu
pada CMC Na dikatakan sebagai emulgator terdapat pada (Rowe, 2009:
118) yang menyatakan bahwa CMC Na menjadi emulsifying agent terdapat
pada rentang 0,25%-1%. Uji ini dikaitkan dengan homogenitas dimana
CMC Na dengan kadar 0,5% mengalami ketidak homogenitas,
dibandingkan dengan CMC Na dengan kadar 1%.
Tahap evaluasi terakhir adalah tipe arah emulsi yang meliput uji arah
creaming dan uji kertas saring. Pertama adalah uji arah creaming, didapat
pada pengamatan hari ketiga creaming mengarah ke atas maka dapat
disimpulkan sediaan emulsi yang dibuat memiliki tipe M/A dan menurut
litelatur yakni, Creaming adalah fenomena antara 2 emulsi yang terpisah
dari cairan aslinya dimana salah satunya mengapung pada permukaan
lainnya. Konsentrasi fase terdispersi adalah lebih tinggi dalam emulsi yang
terpisah. Jika berat jenis relatif tinggi dari kedua fase diketahui, maka arah
creaming dari fase terdispersi menunjukkan adanya tipe emulsi M/A. jika
cream emulsi menuju ke bawah berarti emulsi A/M. hal ini berdasarkan
asumsi bahwa mimyak kurang padat daripada air (Martin 1990: 509). Serta
menurut (Syamsuni, 2006: 134) creaming yaitu terpisahnya emulsi menjadi
2 lapisan, yaitu satu bagian mengandung fase disper lebih banyak daripada
lapisan yang lain. Creaming bersifat reversible artinya jika dikocok
perlahan-lahan akan terdispersi kembali.
Uji terakhir adalah uji kertas saring dimana menurut data pengamatan
setelah diteteskan ke kertas saring terbentuk bagian air yang tersebar, maka
dapat disimpulkan sediaan emulsi yang dibuat memiliki tipe M/A hal ini
mengacu pada litelatur yakni, jika emulsi diteteskan pada kertas saring
tersebut terjadi noda minyak, berarti emulsi tersebut tipe w/o, tetapi jika
terjadi basah merata berarti emulsi tersebut tipe o/w (Syamsuni, 2006: 133)
serta menurut (Martin, 1990: 509) metode ini berdasarkan prinsip bahwa
emulsi bercampur dengan luar akibatnya, jika air ditambahkan ke dalam
emulsi M/A, air akan terdispersi cepat dalam emulsi. Jika minyak
ditambahkan tidak akan terdispersi tanpa pengadukan yang kuat. Begitu
pula dengan emulsi A/M.
Setelah dilakukan keseluruhan evalasi pada sediaan emulsi cara basah,
praktikan dapat memberikan usulan formula yaitu dengan penambahan zat
perasa dan zat pewarna. Hal ini karena menurut hasil pengamatan secara
organoleptik, sediaan obat ini tidak berasa sehingga dapat menyebabkan
ketidaknyamanan seseorang dalam mengkonsumsi obat dan sebaiknya pada
formula tersebut ditambahkan sedikit zat perasa yang ditujukan untuk
menambahkan kenyamanan saat mengkonsumi sediaan emulsi ini. Zat
perasa yang akan diberikan contohnya adalah rasa jeruk yang ditujukan
pengobatan tersebut untuk anak anak. Selain zat perasa juga diberi zat
pewarna yang disesuaikan dengan rasa yang ada yaitu warna orange. Tujuan
penambahan zat warna ini adalah untuk meningkatkan penerimaan pasien
terhadap obat. Formula sediaan emulsi yang diusulkan adalah sebagai
berikut:
Parrafin cair 30%
CMC Na 1%
Sukrosa 30%
Essence jeruk 3 tetes
Zat warna orange q.s
Aquadest ad 100 mL

c. Emulgator Sintetis Tween 80+Span 80


Pada praktikum pembuatan sediaan emulsi, zat aktif yang digunakan adalah
parafin cair. Parafin cair ini akan mengalami oksidasi ketika dipanaskan dan
terkena sinar atau cahaya. Sehingga jika menggunakan pemanasan pada
proses pembuatan, suhu pada pencampuran parafin tidak boleh terlalu panas
parafin liquid 30% sebagai zat aktif dalam sediaan ini dibuat dalam bentuk
emulsi untuk digunakan secara oral yang fungsinya sebagai laksativum
(Ditjen POM, 1995:605). Parafin terdiri atas campuran senyawa
hidrokarbon cair jenuh yang diperoleh dari minyak bumi. Untuk
penggunaan Tween 80 dan Span 80 kestabilan akan tercapai pada
penambahan Tween 80 dan Span 80 dengan konsentrasi 1-10% (Rowe, et
al, 2006; 591).
Pada percobaan sediaan emulsi ini, emulgator yang digunakan pada formula
adalah gabungan Tween 80 dan Span 80 sebanyak 5% dimana berfungsi
untuk zat pengemulsi serta meningkatkan viskositas agar didapat sediaan
dengan viskositas yang baik dan untuk menstabilkan sediaan emulsi.
Emulgator yang digunakan pada formula ini merupakan surfaktan non ionik
atau memiliki gugus hidrofil non ionik. Surfaktan non ionik merupakan
surfaktan yang tidak membentuk ion negatif maupun positif sehingga
bersifat netral. Hal pertama yang dilakukan yaitu alat dan bahan disiapkan
dan dilakukan kalibrasi botol dikalibrasi. Tujuan botol dikalibrasi adalah
untuk memastikan sediaan yang nantinya dimasukkan ke dalam botol tepat
dalam takaran 100 mL. Dalam pembuatan sediaan emulsi ini ada yang
dinamakan fase minyak atau fasa yang larut dalam minyak dan fase luar atau
fasa yang larut dalam air. Fase dalamnya sendiri terdiri span 80 sebanyak
1,4 mL dimana berperan sebagai emulgator sintetik yang dicampurkan
dengan bahan lain yang larut dalam minyak yaitu paraffin liquid. Sedangkan
fase luarnya tween 80 sebanyak 3,6 mL yang dicampurkan kedalam
aquadest. Kedua fase tersebut dipanaskan dalam waterbath sampai
mencapai suhu 60-70ºC dengan wadah yang terpisah menggunakan cawan
penguap. Pemanasan hingga suhu 60-70 ºC atau peningkatan suhu
dimaksudkan untuk menurunkan tegangan permukaan dan viskositas
sehingga proses emulsifikasi menjadi lebih mudah. Setelah kedua fase telah
dipanaskan, kemudian dicampurkan kedua fase kedalam matkan dan diaduk
dengan stirrer selama 5 menit hingga terbentuk massa emulsi berwarna
putih. Pengadukan dengan menggunakan stirrer bertujuan agar pengadukan
optimal dan mendapatkan massa emulsi yang homogen. Kemudian
campuran yang ada didalam matkan ditambahkan aquadest sampai 100 mL
dan diaduk kembali menggunakan stirrer. Campuran yang telah menjadi
massa emulsi tersebut dimasukkan ke dalam botol yang telah dikalibrasi,
kemudian dilakukan pengamatan evaluasi.
Pengujian evaluasi ini dilakukan untuk mengamati dan mengetahui bahwa
sediaan emulsi yang telah dibuat sudah memenuhi syarat emulsi yang baik.
Pengamatan evaluasi sediaan emulsi yang pertama berupa pengamatan
organoleptik yang terdiri dari pengamatan warna, bau dan rasa. Pada saat
pengamatan organoleptik warna, yaitu dengan melihat warna sediaan
emulsi, hasilnya sediaan emulsi menggunakan emulgator sintetik tween 80
dan span 80 berwarna putih yang artinya emulsi telah homogen sempurna.
Pada pengamatan organoleptik bau, yaitu dengan membaui sediaan, emulsi
yang dibuat hasilnya tidak berbau. Hal ini karena pada pembuatan emulsi
tidak ditambahkan flavouring agent, sehingga sediaan menjadi tidak berbau
atau tidak ada bau tertentu.
Kemudian pengamatan organoleptik selanjutnya yaitu rasa, dengan
mengambil sedikit sediaan lalu dirasakan. Rasa yang dihasilkan dari sediaan
emulsi adalah tidak berasa. Hal ini disebabkan karena pada pembuatan
sediaan emulsi dengan menggunakan emulgator sintetik tween 80 dan span
80 tidak ditambahkan sukrosa yang dimana berperan sebagai pemanis
sehingga yang dirasakan adalah pahit.
Pengamatan evaluasi selanjutnya yaitu pengukuran tinggi sedimentasi.
Sediaan emulsi yang disimpan dalam tabung sedimentasi, diamati terjadinya
pembentukan lapisan seperti susu pada tiap 10’, 20’, 30’, 40’, 50’, 60’, dan
3 hari. Setiap selang waktu sesuai dengan yang telah ditentukan, lakukan
pengamatan dengan mengukur tinggi seluruh sediaan (Ho) dan tinggi
lapisan seperti susu (Hu). Hasil yang diperoleh yaitu pada waktu 10’, 20’,
30’, 40’, 50’, 60’, dan 3 hari yaitu nilai ƒ= 1. Berdasarkan hasil evaluasi
pengukuran tinggi sedimentasi dapat dinyatakan baik dari waktu 10’ sampai
dengan hari ke 3 dengan nilai ƒ sama dengan 1. Dimana emulsi dikatakan
stabil jika nilai ƒ = 1 atau mendekati satu.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada sediaan emulsi dengan
emulgator sintetik tween 80 dan span 80 yaitu sediaan setelah dibuat
hasilnya homogen. Saat dilakukan pengocokan diperoleh emulsi yang dapat
berubah kembali menjadi emulsi yang homogen.
Kemudian berdasarkan hasil pengamatan evaluasi penentuan tipe emulsi
dilakukan uji arah creaming. Sediaan emulsi dengan emulgator sintetik
tween 80 dan span 80 merupakan emulsi minyak dalam air, dikarenakan air
memiliki densitas yang lebih tinggi dibandingkan minyak sehingga akan
terjadi creaming kearah atas. Setelah itu dilakukan evaluasi uji kertas saring,
sediaan emulsi dengan emulgator sintetik tween 80 dan span 80 diperoleh
hasil emulsi minyak dalam air. Emulsi minyak dalam air akan menyebar
dengan cepat ketika setitik sediaan emulsi diletakkan pada kertas saring.
Dari data pengamatan emulsi dengan penambahan tween80 span80
konsentrasi 5% dan tween80 span80 konsentrasi 10%, terlihat sistem yang
lebih stabil yaitu pada tween80 dan span80 dengan konsentrasi 5%
dikarenakan nilai pengukuran tinggi sedimentasi pada kelompok 1
menggunakan tween80 span80 konsentrasi 10% pada menit ke-30 dan ke-
60 nilai f berturut turut 0,02 mL, dimana emulsi dikatakan stabil jika nilai f
mendekati satu atau satu maka emulsi tersebut dikatakan tidak stabil.
Ketidakstabilan emulsi ini dapat terjadi jika konsentrasi dari emulgator tidak
sesuai atau tidak adanya penambahan bahan penstabil lainnya seperti setil
alkohol, atau bisa jadi karena perubahan kelarutan bahan pengemulsi yang
disebabkan oleh antaraksi spesifik dengan bahan penambah (aditif) atau
karena perubahan temperatur (Agoes, 2012;155).
Setelah dilakukan evaluasi seluruhnya, pada sediaan ini, praktikan dapat
memberikan usulan formula yaitu dengan penambahan zat perasa dan
pewarna. Hal ini karena menurut hasil pengamatan secara organoleptik,
sediaan obat ini tidak sehingga dapat menyebabkan ketidaknyamanan
seseorang dalam meminum obat dan sebaiknya pada formula tersebut
ditambahkan sedikit zat perasa yang ditujukan untuk menutupi rasa yang
ada. Zat perasa yang akan diberikan contohnya adalah rasa strawberry yang
ditujukan pengobatan tersebut untuk anak anak. Pada pembuatan sediaan
emulsi dengan emulgator sintetis tween80 dan span80 5%, tidak
ditambahkan sukrosa yang dimana berperan sebagai pemanis sehingga yang
dirasakan adalah tidak berasa. Selain zat perasa juga sebaiknya diberi zat
pewarna yang disesuaikan dengan rasa yang ada yaitu warna merah. Tujuan
penambahan zat warna ini adalah untuk meningkatkan penerimaan pasien
terhadap obat. Untuk menstabilkan sediaan emulsi dalam jangka waktu yang
lama dikarenakan kemungkinan adanya kontaminasi bakteri dan jamur,
ditambahkan bahan pengawet methylparaben 0,08% dan prophylparaben
0,02% ke dalam sediaan. Pemilihan bahan pengawet ini harus selektif dan
hati-hati dalam sediaan emulsi. Perlu diperhatikan masalah kelarutan
pengawet dalam kedua fase, karena jika koefisien partisinya kurang ataupun
lebih dari 1, maka bahan pengawet hanya akan larut dan bekerja pada fase
terlarutnya. Kombinasi konsentrasi 0,02% propil paraben dengan 0,18%
metil paraben akan menghasilkan kombinasi pengawet dengan aktivitas
antimikroba yang kuat (Rowe & Owen, 2009: 596). Formula sediaan
suspensi yang diusulkan adalah sebagai berikut :
R/ Parafin liquid 30%
Tween 80 5%
Span 80 5%
Metilparaben 0,08%
Propilparaben 0,02%
Essence Strawberry 3 tetes
Carmin q.s
Aquadest Ad 100 mL

d. Emulgator TweenSpan + Setil Alkohol


…..
8.2 Krim
Pada percobaan ini adalah selain membuat suatu sediaan emulsi, praktikan
juga membuat suatu sediaan krim dengan 2 formula yang berbeda.
Perbedaan antara sediaan emulsi dan krim adalah dilihat dari konsistensinya
dan penggunaannya. Pada sediaan emulsi merupakan suatu sediaan cair
yang digunakan secara oral sedangkan pada sediaan krim merupakan suatu
sediaan semisolida yang digunakan secara topikal pada kulit. Menurut
(Agoes, 2012: 279), krim farmesetik adalah sediaan semisolid yang
mengandung satu atau lebih bahan aktif obat, terlarut atau terdispersi, baik
dalam emulsi air dalam minya (A/M) maupun emulsi minyak dalam air
(M/A) atau tipe lain basis tercuci air.
Hal hal yang dilakukan pada percobaan pembuatan sediaan
krim formula I yang terdiri dari parafin cair 30%, emulgid 15% dan aquadest
adalah pertama pada cawan penguap I yang berisi fase minyak yang terdiri
atas emulgid dan parafin cair sedangkan pada cawan penguap II berisi fase
air yang terdiri hanya aquadest dilakukan proses pemanasan pada kedua
cawan penguap hingga suhu 70°C. Alasannya dipanaskan hingga suhu 70°C
adalah karena dengan hal ini peningkatan suhu dimaksudkan untuk
menurunkan energi bebas permukaan kemudian nanti akan menurunkan
tegangan permukaan dan viskositas sehingga proses emulsifikasi menjadi
lebih mudah dan tujuan dipanaskan adalah untuk menyamakan konsistensi.
Dalam percobaan ini, penggunaan emulgid yang digunakan adalah berperan
sebagai zat pengemulsi.
Menurut (Agoes, goeswin. 2008) emulgid adalah zat pengemulsi yang
tergolong ke dalam golongan bahan pengemulsi dan cocok untuk
penggunaan tipe emulsi m/a yaitu air sebagai fase terdispersi dan minyak
sebanyak fase pendispersi.
Sedangkan Parafin cair yang digunakan adalah berperan sebagai zat aktif
yang memiliki khasiat yaitu untuk penggunaan laksativum. Alasan emulgid
di campurkan kedalam fase lemak adalah karena sifatnya yaitu larut dalam
lemak.
Setelah dilakukan pemanasan pada suhu 70°C maka isi kedua cawan
penguap tersebut dimasukkan ke dalam matkan kemudian dicampurkan
dengan menggunakan alat ultra thurax tujuannya adalah agar sediaan
menjadi homogen serta suhu campurannya mendekati 35°C.
Menurut (Logawa, beny. 1986) perbedaan alat ultra thurax dengan alat
stirrer biasa adalah prinsip kerja dari ultra turax adalah pengecilan
ukuran partikel sekaligus homogenisasi sistem emulsi. Ultra Turrax
digunakan untuk mencampur massa krim sehingga menghasilkan campuran
yang homogen. Prinsip kerja alat ini adalah dengan cara memberikan
gelombang ultrasonik melalui dengan frekwensi 20-50 kilocycles / detik.
Dengan adanya gelombang tersebut akan mengakibatkan partikel pecah
menjadi ukuran yang lebih kecil. Alat ini cocok untuk pembuatan emulsi
yang cair atau dengan viskositas menengah. Sedangkan stirrer, pengadukan
dan pemanas yang dihasilkan oleh alat ini bersumber pada energi listrik.
Besarnya kecepatan pengaduk dan pemanasan dapat diatur berdasarkan
keperluan. Magnetic Stirrer memiliki prinsip kerja berupa hubungan
antara dua magnet yaitu, magnet yang dihubungkan pada motor dan
magnet lainnya (Stir Bar) dimasukkan dalam wadah gelas yang berisi
cairan kimia. Dengan menggunakan magnetic stirrer, pencampuran
cairan kimia dapat dilakukan dengan cepat, sehingga dapat menghemat
waktu, tenaga dan dihasilkan larutan yang lebih homogen.
Setelah dilakukan pencampuran maka selanjutnya adalah sediaan krim
didinginkan tujuannya adalah mempermudah pada saat penimabangan tidak
dalam keadaan panas dan mungkin mempengaruhi bobot penimbangan.
Setelah dingin, maka sediaan dimasukan pada wadah.
Setelah dilakukannya pembuatan sediaan krim, maka hasil sediaan
tersebut dilakukan evaluasi. Tujuan evaluasi dilakukan adalah untuk
menguji bahwa sediaan yang telah dibuat sudah memenuhi persyaratan serta
untuk mengetahui karakteristik dan sifat dari sediaan krim. Hingga nantinya
sediaan akan layak untuk didistribusikan serta digunakan oleh pasien.
Berdasarkan hasil data pengamatan yang diperoleh adalah yang pertama
evaluasi organoleptik yang melibatkan pancaindera yaitu mengevaluasi
parameter warna serta bau. Dari sediaan krim tersebut, data yang dihasilkan
yaitu sediaan memiliki warna putih dan tidak berbau. Hal ini sesuai dengan
ketentuan yang ada. Hasil evaluasi organoleptis sedapat mungkin
mendekatati dengan spesifikasi sediaan yang telah di tentukan selama
formulasi. Alasan sediaan tersebut berwarna putih adalah karena merupakan
efek dari warna emulgid itu sendiri yang memiliki warna putih. Sedangkan
tidak berbau adalah karena pada sediaan ini tidak ditambahkan zat tambahan
pewangi.
Uji evaluasi yang kedua adalah mengenai homogenitas. Berdasarkan hasil
uji evaluasi homogenitas, sediaan menghasilkan data bahwa sediaan yang
telah dibuat menghasilkan campuran yang homogen. Hal ini dapat dilihat
pada saat sediaan ini dioleskan pada kaca objek atau permukaan kulit
praktikan menghasilkan lapisan yang menunjukkan susunan yang homogen.
Uji evaluasi yang ketiga adalah mengenai uji tipe emulsi. Dari beberapa uji
tipe emulsi yang ada, praktikan melakukan pegujian pengenceran dengan
cara mencampurkan sedikit sampel sediaan dengan air. Berdasarkan hasil
uji evaluasi tipe emulsi, hasilnya adalah bahwa sediaan tersebut tergolong
ke dalam jenis emulsi m/a yaitu minyak sebagai fase terdispersi dan air
sebagai fase pendispersi. Hal ini dapat dilihat pada saat proses pengenceran,
sebagian besar sediaan krim tercampurkan dengan air. Apabila dilihat dari
segi formulanya, sediaan ini mengandung zat pengemulsi emulgid.
Sedangkan emulgid adalah zat pengemulsi yang cocok digunakan untuk zat
pengemulsi tipe krim emulsi a/m. Sehingga bisa dikatakan bahwa
seharusnya sediaan krim yang dibuat tersebut adalah tipe emulsi a/m bukan
m/a. Namun hal tersebut tidak menjamin. Selain dilihat dari jenis zat
pengemulsi yang digunakannya, pada formula sebagaimana yang tercantum
pada data penimbangan tabel 4.2, bobot aquadest yang digunakan lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah total bobot zat lainnya sehingga
dengan demikian, artinya adalah air digunakan sebagai fase pendispersi
sedangkan sisanya adalah zat terdispersi. (tipe emulsi m/a).
Selain itu, menurut (Anief, Moh. 2005), data nilai HLB butuh minyak dari
(parafin cair) bisa dikatakan 4 untuk sediaan emulsi tipe a/m dan 12 untuk
sediaan emulsi tipe m/a. Sedangkan pada percobaan ini, nilai HLB butuh
minyak yang digunakan adalah 12. Sehingga dinyatakan bahwa sediaan
krim yang praktikan buat sesuai dengan ketentuan yang ada yaitu krim tipe
emulsi m/a
Uji evaluasi yang terakhir adalah mengenai stabilitas sediaan pada hari ke-
1 setelah pembuatan sediaan dan pada hari ke-3. Pada uji stabilitas yang
diamati adalah pemisahan, perubahan warna dan bau serta homogenitas.
Pada hari ke-1 dan hari ke-3 pada krim formula I tidak mengalami
perubahan yaitu tidak adanya pemisahan, warnanya tetap berwarna putih,
tidak berbau dan homogen Artinya sediaan krim formula I yang dibuat oleh
praktikan bisa dikatakan stabil
Selain praktikan, kelompok yang membuat sediaan dalam resep yang sama
adalah pada kelompok 5. Berdasarkan hasil uji evaluasinya sebagaimana
yang tercantum pada data pengamatan tabel 6.9 mengenai krim formula I
hasilnya adalah sama dengan yang praktikan peroleh yaitu sediaan krim
termasuk tipe emulsi m/a, berwarna putih dan tidak berbau, lapisan
susunannya homogen, dan pengamatan mengenai stabilitas hari ke-1 dan
hari ke-3 nya adalah stabil artinya sediaan krim tersebut tidak mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Kemudian, hasil tersebut dibandingkan
dengan hasil percobaan data pengamatan kelompok 1 yang membuat sedian
krim dengan formula yang sama namun mengandung konsentrasi emulgid
yang berbeda yaitu sebanyak 7,5%. Berdasarkan hasil uji evaluasinya
sebagaimana yang tercantum pada tabel 6.8 adalah sama dengan yang
praktikan peroleh yaitu sediaan krim termasuk tipe emulsi m/a, berwarna
putih dan tidak berbau, lapisan susunannya homogen, dan pengamatan
mengenai stabilitas hari ke-1 dan hari ke-3 nya adalah stabil artinya sediaan
krim tersebut tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Namun yang
membedakan disini adalah viskositas dari sediaan. Pada sediaan krim
kelompok 1 apabila diamati dengan seksama, menghasilkan sediaan krim
yang lebih encer dibandingkan dengan krim hasil percobaan kelompok
praktikan dan kelompok 5. Hal ini terjadi karena berkaitan dengan
konsentrasi emulgid yang digunakan. Semakin tinggi penggunaan emulgid
maka sediaan akan lebih kental akibat dari viskositas yang tinggi. Karena
dalam penambahan zat pengemulsi harus memenuhi kriteria sebelum di
inkorporasikan, salah satunya kriterianya adalah mampu meningkatkan
viskositas untuk menjamin sistem semisolida. Selain itu dilihat dari jumlah
aquadest yang digunakan. Pada kelompok 1 penggunaan aquadest
digunakan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok
5 dan kelompok praktikan. Sehingga bisa dikatakan kadar emulgid 15%
pada formula lebih baik hasilnya dibandingkan dengan kadar emulgid yang
lebih rendah yaitu 7,5%
Pada kelompok 5, selain membuat krim formula I juga membuat krim
formula II tetapi dengan isi kandungan cream yang berbeda yaitu terdiri dari
parafin cair 30%, asam stearat 15%, TEA 4%, dan aquadest. Mekanisme
pembuatan krim pada formula tersebut adalah yang menjadi fase minyak
yaitu asam stearat dan parafin cair. Sedangkan fase air terdiri dari TEA dan
aquadest. Dalam hal ini peran aquadest disini adalah sebagai pembawa.
Kemudian, parafin cair pada sediaan ini adalah sebagai zat aktif, dan
kombinasi TEA serta asam stearat sebagai zat pengemulsi. Menurut (Wade,
at, al. 1994), asam stearat merupakan salah satu emulsifiying agent yang
digunakan dalam pembuatan vanishing cream. Kombinasi antara asam
stearat dan trietanolamin akan membentuk suatu garam. Hal ini terjadi
karena asam stearat adalah asam lemah yang bereaksi dengan TEA yang
bersifat basa lemah sehingga terjadi reaksi penetralan dan menghasilkan
garam trietanolamin stearat yang bersifat anionik dan menghasilkan butiran
halus sehingga akan menstabilkan tipe emulsi minyak dalam air atau
vanishing cream. Pada umunya, zat pengemulsi TEA ini lebih stabil dalam
suasana asam sehingga memungkinkan pengaturan pH emulsi pada daerah
pH 4,5-6,5. TEA (trietanolamin stearat) adalah salah satu pengemulsi paling
populer untuk krim. Biasanya dipreparasikan secara in situ selama
manufaktur asam stearat pada fasa minyak panas dan trietanolamin oada
fasa panas (Agoes,2012: 286).
Selain itu, pada kedua bahan itu tersebut juga terjadi reaksi saponifikasi.
Menurut (Agoes, 2009), reaksi saponifikasi adalah reaksi penyabunan
(pembentukan sabun). Sabun berperan sebagai dapat menstabilkan sediaan
krim tipe emulsi.
Berdasarkan hasil pengamatan, maka diperoleh data evaluasi sebagaimana
yang tercantum pada data pengamatan tabel 6.9 mengenai krim formula II
hasilnya yaitu sediaan krim termasuk tipe emulsi m/a, berwarna putih dan
tidak berbau, lapisan susunannya homogen, dan pengamatan mengenai
stabilitas hari ke-1 dan hari ke-3 nya adalah stabil artinya sediaan krim
tersebut tidak mengalami perubahan. Kemudian hasil tersebut dibandingkan
dengan hasil percobaan data pengamatan kelompok 1 yang membuat sedian
krim dengan formula yang sama namun mengandung konsentrasi asam
stearat dan TEA yang berbeda yaitu berturut turut 7,5% dan 2% Berdasarkan
hasil uji evaluasinya sebagaimana yang tercantum pada tabel 6.8 adalah
sama dengan yang praktikan peroleh yaitu sediaan krim termasuk tipe
emulsi m/a, berwarna putih dan tidak berbau, lapisan susunannya homogen,
dan pengamatan mengenai stabilitas hari ke-1 dan hari ke-3 nya adalah stabil
artinya sediaan krim tersebut tidak mengalami perubahan dari waktu ke
waktu. Namun yang membedakan disini adalah viskositas dari sediaan.
Pada sediaan krim kelompok 1 apabila diamati dengan seksama,
menghasilkan sediaan krim yang lebih encer dibandingkan dengan krim
hasil percobaan kelompok 5. Hal ini terjadi karena berkaitan dengan
konsentrasi zat pengemulsi yang diberikan yaitu kombinasi asam stearat dan
TEA yang digunakan. Semakin tinggi penggunaan zat pengemulsi maka
sediaan akan lebih kental akibat dari viskositas yang tinggi. Karena dalam
penambahan zat pengemulsi harus memenuhi kriteria sebelum di
inkorporasikan, salah satunya kriterianya adalah mampu meningkatkan
viskositas untuk menjamin sistem semisolida. Sehingga bisa dikatakan pada
penggunaan kadar asam stearat 15% dan TEA 4% yang lebih tinggi pada
formula lebih baik hasilnya dibandingkan dengan kadar asam stearat 7,5%
dan TEA 2% yang lebih rendah.
Selanjutnya, setelah pembuatan formula krim pertama, pada kelompok
praktikan akan dilakukan pembuatan sediaan krim formula II yang terdiri
dari parafin cair 30%, Tween 80-Span 80 10% dan setil alkohol 10%. Hal
hal yang dilakukan dalam percobaan ini adalah pertama pada cawan
penguap I yang berisi fase minyak yang terdiri atas Span 80, setil alkohol
dan parafin cair sedangkan pada cawan penguap II berisi fase air yang terdiri
Tween 80 dan aquadest dilakukan proses pemanasan pada kedua cawan
penguap hingga suhu 70°C. Alasannya dipanaskan hingga suhu 70°C adalah
karena dengan hal ini peningkatan suhu dimaksudkan untuk menurunkan
energi bebas permukaan kemudian akan menurunkan tegangan permukaan
dan viskositas sehingga proses emulsifikasi menjadi lebih mudah dan tujuan
dipanaskan adalah untuk menyamakan konsistensi sama halnya seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya. Dalam hal ini maka peran parafin cair adalah
sebagai zat aktif, setil alkohol sebagai bagian dari fase minyak dan zat
pengemulsi karena setil alkohol memiliki nilai bobot molekul yang tinggi
sehingga dapat digunakan sebagai emulgator dan dapat meningkatkan
konsistensi, tween 80-span 80 berperan sebagai zat pengemulsi.
Tween dan span dalam emulsi tergolong ke dalam bahan
tambahan emulgator atau bahan pengemulsi golongan surfaktan non ionik.
Setiap surfaktan memiliki nilai HLB yang berbeda. Semakin tinggi nilai
HLB maka semakin hidrofilik. Tujuan pengkombinasian zat pengemulsi
tween dan span adalah untuk memperoleh nilai HLB yang mendekati
dengan HLB butuh minyak. Nilai HLB butuh minyak yang dimaksud adalah
nilai HLB butuh minyak dari parafin cair yaitu berjumlah 12. Alasan dari
biasanya penggunaan tween 80-span 80 sebagai zat pengemulsi dari suatu
sediaan adalah karena memiliki nilai toksisitas yang rendah apabila
dibandingkan dengan zat pengemulsi jenis lainnya.
Setelah proses pemanasan mencapai 70°C maka, dimasukkan kedua isi
cawan penguap ke dalam matkan dan dicampurkan menggunakan alat ultra
thurax sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya untuk tujuan
homogen dan memperkecil ukuran partikel. Setelah itu, maka krim
dibiarkan dingin dengan tujuan yang sama seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya yaitu memudahkan dalam proses penimbangan. Selanjutnya,
krim tersebut ditimbang sebanyak 20 gram dan dimasukan pada wadah pot
salep serta dilakukan evaluasi sama halnya dengan krim sebelumnya.
Tujuan evaluasi dilakukan adalah untuk menguji bahwa sediaan yang telah
dibuat sudah memenuhi persyaratan serta untuk mengetahui karakteristik
dan sifat dari sediaan krim. Hingga nantinya sediaan akan layak untuk
didistribusikan serta digunakan oleh pasien.
Berdasarkan hasil data pengamatan yang diperoleh adalah yang pertama
evaluasi organoleptik yang melibatkan pancaindera yaitu mengevaluasi
parameter warna serta bau. Dari sediaan krim tersebut, data yang dihasilkan
yaitu sediaan memiliki warna putih dan tidak berbau. Hal ini sesuai dengan
ketentuan yang ada. Hasil evaluasi organoleptis sedapat mungkin
mendekatati dengan spesifikasi sediaan yang telah di tentukan selama
formulasi. Alasan sediaan tersebut berwarna putih adalah karena merupakan
efek dari emulgid itu sendiri yang memiliki warna putih. Sedangkan tidak
berbau adalah karena pada sediaan ini tidak ditambahkan zat tambahan
pewangi.
Uji evaluasi yang kedua adalah mengenai homogenitas. Berdasarkan hasil
uji evaluasi homogenitas, sediaan menghasilkan data bahwa sediaan yang
telah dibuat menghasilkan campuran yang homogen. Hal ini dapat dilihat
pada saat sediaan ini dioleskan pada kaca objek atau permukaan kulit
praktikan menghasilkan lapisan yang menunjukkan susunan yang homogen.
Uji evaluasi yang ketiga adalah mengenai uji tipe emulsi. Dari beberapa uji
tipe emulsi yang ada, praktikan melakukan pegujian pengenceran dengan
cara mencampurkan sedikit sampel sediaan dengan air. Berdasarkan hasil
uji evaluasi tipe emulsi, hasilnya adalah bahwa sediaan tersebut tergolong
ke dalam jenis emulsi m/a yaitu minyak sebagai fase terdispersi dan air
sebagai fase pendispersi. Hal ini dapat dilihat pada saat proses pengenceran,
sebagian besar sediaan krim tercampurkan dengan air. Apabila dilihat dari
segi formulanya, sediaan ini mengandung zat pengemulsi setil alkohol dan
tween 80-span 80. Setil alkohol adalah zat pengemulsi yang cocok
digunakan untuk zat pengemulsi tipe krim emulsi a/m. Tetapi pada tween
80-span 80 adalah zat pengemulsi yang cocok digunakan untuk zat
pengemulsi tipe krim emulsi m/a karena tergolong surfaktan. Sehingga bisa
dikatakan pula sediaan krim yang dibuat tersebut adalah tipe emulsi a/m atau
m/a. Namun hal tersebut tidak menjamin. Selain dilihat dari jenis zat
pengemulsi yang digunakannya, pada formula sebagaimana yang tercantum
pada data penimbangan tabel 4.3, bobot aquadest yang digunakan lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah total bobot zat lainnya sehingga
dengan demikian, artinya adalah air digunakan sebagai fase pendispersi
sedangkan sisanya adalah zat terdispersi (tipe emulsi m/a).
Selain itu, menurut (Anief, Moh. 2005), data nilai HLB butuh minyak dari
(parafin cair) bisa dikatakan 4 untuk sediaan emulsi tipe a/m dan 12 untuk
sediaan emulsi tipe m/a. Sedangkan pada percobaan ini, nilai HLB butuh
minyak yang digunakan adalah 12. Sehingga dinyatakan bahwa sediaan
krim yang praktikan buat sesuai dengan ketentuan yang ada yaitu krim tipe
emulsi m/a
Uji evaluasi yang terakhir adalah mengenai stabilitas sediaan pada hari ke-
1 setelah pembuatan sediaan dan pada hari ke-3. Pada uji stabilitas yang
diamati adalah pemisahan, perubahan warna dan bau serta homogenitas.
Pada hari ke-1 dan hari ke-3 pada krim formula I tidak mengalami
perubahan yaitu tidak adanya pemisahan, warnanya tetap berwarna putih,
tidak berbau dan homogen Artinya sediaan krim formula I yang dibuat oleh
praktikan bisa dikatakan stabil
Berdasarkan dari hasil data pengamatan keseluruhan kelompok, menurut
kelompok praktikan data formula yang baik dan hampir mendekati
kesesuaian yang ada adalah pada data kelompok praktikan dan kelompok 5
karena menghasilkan sediaan krim dalam wujud lebih semisolid dan lebih
stabil karena jumlah zat pengemulsi yang diberikan dalam jumlah yang
lebih banyak dibandingkan dengan kelompok 1 yang agak sedikit lebih
encer sediaan krimnya. Namun apabila dilihat dari segi keamanan, menurut
praktikan pada krim formula II kelompok praktikan akan menghasilkan
krim yang memiliki toksisitas yang kecil. Karena hal ini dilihat segi
pemakaian zat pengemulsi. Zat pengemulsi yang digunakan yaitu terdapat
kombinasi tween 80-span 80 yang tergolong kedalam zat pengemulsi non
ionik.
Menurut (Agoes,2012:286), zat pengemulsi tipe non ionik akan
menghasilkan toksisitas yang rendah dibandingkan dengan zat pengemulsi
tipe lainnya terutama pada tipe kationik. Karena pada tipe kationik bagian
kationnya biasanya adalah garam amonium kuartener yang meliputi turunan
suatu asam lemak seperti dilauril dimetil amonium klorida. Pengemulsi ini
sangat mengiritasi kulit dan menunjukkan sejumlah inkompatibilitas
termasuk material anionik
Dilihat dari hasil evaluasi yang ada beserta data formula sediaan krim
kelompok praktikan, baik formula I maupun formula II, praktikan dapat
memberikan usul formula yang baru. Walaupun dalam pengamatan 3 hari
ini pada kedua sediaan krim tidak menimbulkan adanya ciri ketidakstabilan
dari sediaan krim contohnya seperti timbulnya bau tengik, dan tumbuhkan
mikroorganisme. Usulan formula yang barumeliputi adanya penambahan
zat tambahan lainnya yaitu seperti zat pewangi yang ditujukan untuk
peningkatan penerimaan pasien, zat pengawet yang ditujukan untuk
menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dapat mengganggu
kestabilan sediaan serta yang terakhhir adalah penambahan zat antioksidan
yang ditujukan untuk mencegah terjadinya reaksi oksidasi dari minyak yang
digunakan sehingga agar tidak menimbulkan adanya bau tengik pada
sediaan. Formula sediaan krim yang diusulkan adalah sebagai berikut :
Formula I ( untuk 20 gram sediaan krim)
Parafin cair 30% (zat aktif)
Emulgid 15% (zat pengemulsi)
............................. (zat antioksidan)
............................. (zat pengawet)
Oleum Menthae Piperata (zat pewangi)
Aquadest q.s
Formula II ( untuk 20 gram sediaan krim)
Parafin cair 30% (zat aktif)
Tween 80-Span80 10% (zat pengemulsi)
Setil alkohol 10% (zat pengemulsi)
............................. (zat antioksidan)
............................. (zat pengawet)
Oleum Menthae Piperata (zat pewangi)
Aquades q.s

IX. Kesimpulan
a. Emulgator Alam CMC-Na (cara kering)
1. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dan hasil pengamatan yang
didapat yaitu pembuatan emulsi dengan menggunakan emulgator alam
CMC-Na dengan metode kering, pembuatan emulsi menggunakan
emulgator alam cara kering kurang efektif karena pada hari ke-4 terjadi
caking dan ketidakstabilan emulsi yang terjadi yaitu koalesen yang mana
menuju ke demulsifikasi.
2. Berdasarkan percobaan yang tekah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
sediaan emulsi yang dibuat, belum stabil karena nilai F yaitu 0,3 dimana
emulsi yang stabil dan baik adalah yang nilai F mendekati 1 atau sama
dengan 1.
3. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tipe
emulsi yang dibuat dengan emulgator alam CMC-Na cara kering adalah tipe
emulsi M/A yang diuji dengan arah creaming ke atas dan uji kertas saring
yang menyebar tetesannya.
4. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapt disimpulkan bahwa
dapat diusulkan formula emulsi dengan penambahan flavouring agent
berupa essence strawberry dan pewarna karmin pada sediaan agar dapat
meningkatkan penerimaa pasien terhadap obat dan penambahan komposisi
emulgator sebanyak 2%.

b. Emulgator Alam CMC-Na (cara basah)


1. Berdasarkan hasil praktikum ini dilakukan pembuatan sediaan emulsi
dengan menggunakan cara basah atau metode inggris, dikatakan bahwa zat
pengemulsi menggunakan cara basah umumnya larut air dan CMC Na
memiliki kelarutan mudah tersebar dalam air pada semua suhu, maka dalam
praktikum ini penggunaan cara basah adalah cara yang tepat untuk membuat
emulsi dengan pengemulsi CMC Na.
2. Berdasarkan dari hasil dari percobaan ini emulsi layak dikonsumsi karena
telah melewati beberapa evaluasi nilai fraksi sama dengan 1 sediaan emulsi
yang dibuat praktikan dinyatakan sebagai “Flocculation equilibrium”,
merupakan sediaan yang baik dan tidak mengalami perubahan secara
organoleptis sampai pengujian hari ketiga.
3. Berdasarkan hasil praktikum ini dilakukan pembuatan sediaan emulsi cara
basah dapat disimpulkan emulsi yang terbentuk mempunyai tipe M/A,
dimana diujikan pada kertas saring mengalami tersebaran air secara merata
dan arah creaming yang ke atas.
4. Berdasarkan dari hasil formula yang ada, praktikan memberikan usul
formula terbaru dengan melakukan penambahan zat perasa dan zat pewarna
yang ditujukan untuk menambahkan kenyamanan saat mengkonsumi
sediaan emulsi ini.

c. Emulgator Sintetis Tween 80 + Span 80


Berdasarkan uji evaluasi emulsi dengan formulasi tween80 dan span80
konsentrasi 5% merupakan emulsi yang lebih baik dan stabil dibandingkan
dengan formulasi emulsi tween 80 dan span80 konsentrasi 10% dikarenakan
sediaannya homogen dan volume sedimentasi yang didapatkan sesuai
dengan literatur yaitu nilai f 1. Emulsi ini merupakan tipe emulsi minyak
dalam air.
d. Emulgator Sintetis TweenSpan + Setil Alkohol
…..
e. Krim
1. Dari hasil pengamatan keseluruhan kelompok, hasil sediaan yang hampir
mendekati kesesuaian yang ada adalah pada data formulasi I dan II
kelompok praktikan dan kelompok 5 karena menghasilkan sediaan krim
dalam wujud lebih semisolid dan lebih stabil karena jumlah zat pengemulsi
yang diberikan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan
kelompok 1 yang lebih encer sediaan krimnya. Apabila dilihat dari segi
keamanan, pada krim formula II kelompok praktikan akan menghasilkan
krim yang memiliki toksisitas yang kecil. Karena dilihat segi pemakaian zat
pengemulsi kombinasi tween 80-span 80 yang tergolong kedalam zat
pengemulsi non ionik yang memiki toksisitas yang kecil dan tidak akan
menimbulkan iritasi seperti zat pengemulsi lainnya.
2. Berdasarkan dari hasil formula yang ada, praktikan memberikan usul
formula terbaru dengan melakukan penambahan zat pewangi untuk
meningkatkan penerimaan pasien, zat pengawet untuk menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang dapat mengganggu kestabilan sediaan
dan penambahan zat antioksidan untuk mencegah terjadinya reaksi oksidasi
dari minyak yang digunakan sehingga agar tidak menimbulkan adanya bau
tengik pada sediaan
DAFTAR PUSTAKA

Belitz, H.D. dan Grosch, W. 1987. Food Chemistry. 2nd Ed. Springer, p 232
Ditjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979, Farmakope
Indonesia, Edisi III, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
hlm. 474
Ditjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Farmakope
Indonesia, Edisi V, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
hlm. 620
Djasa Wibawa., Susan I, dkk. 2008. Ilmu Resep. Jakarta : Bakti Husada
Lachman, L., H.A. Lieberman, dan J.L. Karig. 1994. Teori dan Praktek Farmasi
Industri, Edisi Ketiga, Terjemahan: S. Suyatmi, Universitas Indonesia
Press, Jakarta, hlm. 492-493
Martin, A. et al. 1990. Farmasi Fisik. Jakarta: UI Press. Hlm. 509
Potter, N. Norman. 1986. Food Science. The AVI Publishing. Inc. Westport,
Connecticut
Rowe, Raymond, et all. 2009. Handbook of Pharmaceutical Exipien Sixth Edition.
London: Pharmaceutical Press, p 118
Syamsuni, H.A. 2006. Ilmu Resep. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta, hlm.
88, 131
Ditjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia,1979, Farmakope III,
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hal: 96

Agoes, Goeswin, 2012, Sediaan Farmasi Likuida-Semisolida. Bandung : Penerbit


ITB, hal: 279

Niazi, Sarfaraz K. 1949. Handbook of Pharmaceutical Manufacturing


Formulations Semisolid Product Vol 4. Newyork: CRC Press. Page: 145

Ditjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia,1995, Farmakope IV,


Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hal: 605, 687

Ditjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia,2014, Farmakope V,


Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hal: 620
Rowe, R.C. et Al., 2006, Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 5th, London,
page 445, 549, 591, 675

Rowe, R.C. et Al. 2009. Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 6th Ed. London.
Page: 150,442, 446,592,596,822

Agoes, goeswin.2008.Pengembangan Sediaan Farmasi. ITB Bandung

Agoes, goeswin.2009.Sediaan Farmasi Steril Seri dan Non Steril Farmasi Industri-
4. ITB : Bandung.

Agoes, goeswin.2009.Sediaan Farmasi Steril Seri dan Non Steril Farmasi. ITB :
Bandung. Hal 286

Anief, Moh. 2005. Farmaseutika. Yogyakarta : GadjahMada University Press.

Logawa, benny danNoerono, soendani.s.1986.Teknologi farmasi sediaan Farmasi.


ITB : Bandung

Lukas, Stefanus. 2006. Formulasi Sediaan Farmasi. Yogyakarta : Andi Yogyakarta

Wade, Ainley and Paul J.Weller. 1994. Handbook of Pharmaceutical Excipients,


second edition. London : The Pharmaceutical Press

Anda mungkin juga menyukai