pangan dan papan. Teori ini bisa dikatakan sebagai suatu hal yang memang mendasari seseorang untuk
melakukan sesuatu demi mendapatkan kebutuhan ini. Example, Bagi karyawan, kebutuhan akan gaji, uang
lembur, rumah, kendaraan dll, yang merupakan kebutuhan pokok, menjadi motif dasar dari karyawan itu sendiri
mau bekerja, menjadi efektif dan dapat memberikan produktivitas yang tinggi bagi organisasi.
· Kebutuhan keamanan dan ke-selamatan kerja (Safety Needs)à Kebutuhan ini mengarah kepada rasa keamanan,
ketentraman dan jaminan seseorang dalam kedudukannya, jabatan-nya, wewenangnya dan tanggung jawabnya
sebagai karyawan. Dia dapat bekerja dengan antusias dan penuh produktivitas bila dirasakan adanya jaminan
formal atas kedudukan dan wewenangnya. Example, kebutuhan ini lebih dibutuhkan bagi seseorang yang bekerja
dalam organisasi yang menghasilkan produk berupa barang, tidak hanya keselamatan dan keamanan dalam
kedudukan, tetapi keamanan dan keselamatan pekerjaan itu sendiri, seperti para buruh yang bekerja pada pabrik
yang mengolah bahan kimia, mereka butuh rasa keamanan yang tinggi, buruh bangunan.
· Kebutuhan sosial (Social Needs) àKebutuhan akan kasih sayang dan bersahabat (kerjasama) dalam kelompok
kerja atau antar kelompok. Kebutuhan akan diikutsertakan, mening-katkan relasi dengan pihak-pihak yang
diperlukan dan tumbuhnya rasa kebersamaan termasuk adanya sense of belonging dalam organisasi.
Example,biasa lebih diperlukan oleh karyawan yang diharuskan bekerja dibalik meja atau computer, terutama
seperti mereka yang bekerja sebagai administrator dalam suatu jejaring sosial, meskipun mereka bisa
bersosialisasi lewat dunia maya, tetap saja mereka membutuhkan kehadiran orang-orang sekitar yang dapat diajak
kerja sama dan bisa diajak berbicara sambil menunjukkan emosinya.
· Kebutuhan akan prestasi (Esteem Needs)à Kebutuhan akan kedudukan dan promosi dibidang kepegawaian.
Kebutuhan akan simbol-simbol dalam statusnya se¬seorang serta prestise yang ditampilkannya. Example, setiap
karyawan memiliki prestasi masing-masing, dalam hal itu mereka berkompetisi dalam menyelesaikan tugas sebaik-
baiknya, setelah pencapaian usaha mereka dinilai baik oleh organisasi dan atasan, biasanya mereka diberikan
piagam, atau suatu emblem yang dapaut menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang berhasil dalam bidangnya
sesuai dengan yang diharapkan organisasi. Kebutuhan akan hal tersebut memancing mereka untuk terus giat
menapaki bidangnya masing-masing.
· Kebutuhan Akutualisasi Diri (Self Actualization)à Setiap orang ingin mengembangkan kapasitas kerjanya dengan
baik. Hal ini merupakan kebutuhan untuk mewujudkan segala kemampuan (kebolehannya) dan seringkali nampak
pada hal-hal yang sesuai untuk mencapai citra dan cita diri seseorang. Dalam motivasi kerja pada tingkat ini
diperlukan kemampuan manajemen untuk dapat mensinkronisasikan antara cita diri dan cita organisasi untuk dapat
melahirkan hasil produktivitas organisasi yang lebih tinggi.
Teori Maslow tentang motivasi secara mutlak menunjukkan perwujudan diri sebagai pemenuhan (pemuasan)
kebutuhan yang bercirikan pertumbuhan dan pengembangan individu. Perilaku yang ditimbulkannya dapat
dimotivasikan oleh manajer dan diarahkan sebagai subjek-subjek yang berperan. Dorongan yang dirangsang ataupun
tidak, harus tumbuh sebagai subjek yang memenuhi kebutuhannya masing-masing yang harus dicapainya dan
sekaligus selaku subjek yang mencapai hasil untuk sasaran-sasaran organisasi.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan
dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal
pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas
adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia
merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat
psikologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat
dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow
semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama
diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai
tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga.
Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan
berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu
sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa
aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan
dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan
bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan
kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan
teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai
rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
a. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
b. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif
menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
c. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana
seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi
dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih
bersifat aplikatif.
Maslow menggambarkan manusia yang sudah mengaktualisasikan diri sebagai orang yang sudah terpenuhi semua
kebutuhannya dan melakukan apapun yang bisa mereka lakukan, dengan mengidentifikasikan 15 ciri orang yang telah
mengaktualisasikan diri sebagai berikut:
1.
1. Memiliki persepsi akurat tentang realitas.
2. Menikmati pengalaman baru.
3. Memiliki kecenderungan untuk mencapai pengalaman puncak.
4. Memiliki standar moral yang jelas.
5. Memiliki selera humor.
6. Merasa bersaudara dengan semua manusia.
7. Memiliki hubungan pertemanan yang erat.
8. demokratis dalam menerima orang lain.
9. Membutuhkan privasi.
10. Bebas dari budaya dan lingkungan.
11. Kreatif.
12. Spontan.
13. Lebih berpusat pada permasalahan, bukan pada diri sendiri.
14. Mengakui sifat dasar manusia.
15. Tidak selalu ingin menyamakan diri dengan orang lain.
Agar menjadi orang yang sudah mencapai aktualisasi diri, tidak selalu dengan menampilakan semua cirri tersebut.
Dan tidak hanya orang yang sudah mengaktualisasikan diri yang menampilakan cirri-ciri tersebut. Namun, orang-orang
yang menurut Maslow adalah orang yang mengaktualisasikan diri umumnya lebih sering menampilkan cirri-ciri tersebut
dibandingkan kebanyakan dari kita. Sebagian besar dari lima belas cirri tersebut sudah jelas dengan sendirinya, tetapi
kita mungkin bertanya-tanya tentangt pengalaman puncak (experience peak). Maslow mendefinisikan pengalaman
puncak sebagai saat-saat tatkala dunia tampak utuh dan orang itu merasa selaras dengannya. Pengalaman puncak
selalu melekat dalam diri kita dan mengubah persepsi kita mengenai dunia agar menjadi lebih baik lagi.
Bagi sebagian orang, pengalaman puncak diasosiasikan dengan agama, tetapi bisa juga tercetus melalui seni, musik,
dan momen-momen yang memerlukan pengambilan resiko. Maslow tidak menyamakan aktualisasi diri dengan
kesempurnaan. Orang-orang yang bisa mengaktualisasikan diri pada dasarnya hanya memenuhi potensi dirinya
sendiri. Dengan demikian, seseorang bisa saja menjadi tolol, boros, sombong dan tidak sopan sekaligus, tetapi masih
tetap bisa mengaktualisasikan dirinya. Orang yang mampu mencapai aktualisasi diri hanya kurang dari satu persen,
sebab tidak banyak dari kita yang bisa memenuhi semua kebutuhan yang lebih rendah dalam hierarki.
» Contoh/implikasi dari teori Maslow pada kehidupan
Seorang karyawan, jika sudah memenuhi kebutuhan hirarki maslow dari kebutuhan fisiologis, seperti membangun
rumah tangganya dengan hasil gaji yang di capai, merasa aman dan nyaman dengan perusahaan yang disana ia
meniti karirnya, hingga kebutuhan self esteem (harga diri/pengakuan diri) yang dalam arti karyawan tersebut sudah
tercatat sebagai karyawan yang bisa naik jabatan atau dipromosikan mengisi kursi manajer, kemudian mengaktualisasi
dirinya dengan mengikuti seminar-seminar yang membangun jiwa kepemimpinannya, hingga ketika ia mendapatkan
prestise sebagai manajer, kemudian ia melakukan aktualisasi lebih lanjut dengan memberi motivasi terhadap
bawahannya.
1. Kebutuhan fisiologis: kebutuhan yang dasariah, misalnya rasa lapar, haus, tempat
berteduh, seks, tidur, oksigen, dan kebutuhan jasmani lainnya.
2. Kebutuhan akan rasa aman: mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan
terhadap kerugian fisik dan emosional.
3. Kebutuhan sosial: mencakup kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki, kasih
sayang, diterima-baik, dan persahabatan.
4. Kebutuhan akan penghargaan: mencakup faktor penghormatan internal seperti
harga diri, otonomi, dan prestasi; serta faktor eksternal seperti status, pengakuan,
dan perhatian.
5. Kebutuhan akan aktualisasi diri: mencakup hasrat untuk makin menjadi diri
sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya.
Maslow menyebut teori Hirarki Kebutuhan-nya sendiri sebagai sintesis atau perpaduan
teori yang holistik dinamis. Disebut demikian karena Maslow mendasarkan teorinya dengan
mengikuti tradisi fungsional James dan Dewey, yang dipadu dengan unsur-unsur
kepercayaan Wertheimer, Goldstein, dan psikologi Gestalt, dan dengan dinamisme Freud,
Fromm, Horney, Reich, Jung, dan Adler.
Bagaimana identifikasi atas tiap kebutuhan di atas dan dampaknya terhadap motivasi yang
mempengaruhi kinerja individu dalam organisasi akan dijelaskan dalam berikutnya.
Tak teragukan lagi bahwa kebutuhan fisiologis ini adalah kebutuhan yang paling kuat dan
mendesak. Ini berarti bahwa pada diri manusia yang sangat merasa kekurangan segala-
galanya dalam kehidupannya, besar sekali kemungkinan bahwa motivasi yang paling besar
ialah kebutuhan fisiologis dan bukan yang lain-lainnya. Dengan kata lain, seorang individu
yang melarat kehidupannya, mungkin sekali akan selalu termotivasi oleh kebutuhan-
kebutuhan ini.
Elton Mayo dari Harvard Graduate School of Business Administration pada tahun 1923
melakukan penelitian di sebuah pabrik tekstil di Philadelphia. Ia ingin menemukan
penyebab terjadinya pergantian tenaga kerja yang terlalu sering di salah satu bagian
produksi di mana pekerjaan yang dilakukan lumayan sukar dan monoton. Ia bertolak dari
asumsi kelelahan tenaga kerja dan kebutuhan akan waktu istirahat. Maka ia menjadwalkan
serangkaian waktu istirahat. Para karyawan diminta bekerja sama dalam menetapkan
jadwal. Hasil yang diperoleh cukup fantastis: pergantian karyawan menurun drastis,
produktivitas meningkat, dan semangat kerja menjadi lebih baik. Mayo secara tepat
menemukan apa yang dibutuhkan karyawan, yakni waktu istirahat dan penghargaan diri
karena memberikan kesempatan kepada mereka untuk ikut serta dalam pengambilan
keputusan yang biasanya menjadi monopoli pimpinan perusahaan. Dengan satu panah,
Mayo membidik dua burung; dua kebutuhan terpenuhi dalam waktu yang sama.
Dalam organisasi, kita seringkali mendapati perilaku individu yang berusaha mencari
batas-batas perilaku yang diperkenankan (permisible behavior). Ia menginginkan
kebebasan dalam batas tertentu daripada kebebasan yang tanpa batas. Seseorang yang tidak
memiliki pengetahuan yang cukup tentang batas-batas perilaku yang diterima bagi dirinya
sendiri dapat mempunyai perasaan terancam. Agaknya ia akan berupaya untuk menemukan
batas-batas seperti itu, sekalipun pada saat-saat tertentu, ia harus berperilaku dengan cara-
cara yang tidak dapat diterima. Para manajer dapat mengakomodasi kebutuhan akan rasa
aman dalam organisasi dengan jalan membentuk dan memaksakan standar-standar
perilaku yang jelas. Penting dicatat juga bahwa perasaan manusia tentang keamanan juga
terancam apabila ia merasa tergantung pada pihak lain. Ia merasa bahwa ia akan
kehilangan kepastian bila tanpa sengaja melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki.
Individu yang berada dalam hubungan dependen seperti itu akan merasa bahwa kebutuhan
terbesarnya adalah jaminan dan proteksi. Hampir setiap individu dalam tingkat kebutuhan
ini akan menginginkan ketenteraman, supervisi, dan peluang kerja yang bersinambung.
Dewasa ini marak wacana adanya kemungkinan para karyawan di-PHK karena faktor
teknologi yang berkembang. Dalam situasi ini, manajer dapat memotivasi karyawan dengan
jalan memberikan suatu jaminan kepastian jabatan (job-security-pledge).
Dalam ranah Perilaku Organisasi, kita kenal apa yang disebut manajemen konflik. Berbeda
dari pandangan tradisional yang melihat konflik secara negatif, terdapat pandangan
interaksionis yang melihat konflik tidak hanya sebagai kekuatan positif dalam kelompok
namun juga sangat diperlukan agar kelompok berkinerja efektif. Konflik bisa baik atau
buruk tergantung pada tipenya. Tanpa bermaksud menolak atau mendukung salah satu
pandangan, dapat dikatakan bahwa potensi konflik dalam organisasi selain mengganggu
rasa aman juga dapat menciptakan alienasi yang mengakibatkan disorientasi. Potensi
mobilitas yang berlebihan yang umumnya dipaksakan oleh industrialisasi mengancam
tercabutnya rasa kerasan dalam kelompok kerja, tantangan untuk adaptasi dalam kelompok
baru dan asing, dan akhirnya menimbulkan kebutuhan akan rasa memiliki dan aneka
kebutuhan yang masuk dalam hirarki tahap ini.
3.4 Kebutuhan akan Penghargaan
3.4.1 Identifikasi Kebutuhan akan Penghargaan
Menurut Maslow, semua orang dalam masyarakat (kecuali beberapa kasus yang patologis)
mempunyai kebutuhan atau menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap,
mempunyai dasar yang kuat, dan biasanya bermutu tinggi, akan rasa hormat diri atau harga
diri. Karenanya, Maslow membedakan kebutuhan ini menjadi kebutuhan akan penghargaan
secara internal dan eksternal. Yang pertama (internal) mencakup kebutuhan akan harga
diri, kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan,
dan kebebasan (kemerdekaan). Yang kedua (eksternal) menyangkut penghargaan dari
orang lain, prestise, pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan,
apresiasi atau nama baik. Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri.
Dengan demikian ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang
akan menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta
perilaku yang neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini adalah
kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat perwujudan diri.
Kebutuhan ini tidak bisa ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau sejumlah uang karena
kebutuhan akan hal-hal itu telah terpuaskan.
Ketimbang uang, individu pada level ini lebih membutuhkan tantangan yang dapat
mengeksplorasi potensi dan bakat yang dimilikinya. Tidak mengherankan bahwa sejumlah
top manajer tiba-tiba mengundurkan diri ketika merasa tidak ada lagi tantangan dalam
perusahaan tempat mereka bekerja. Keinginan atau hasrat kompetitif untuk menonjol atau
melampaui orang lain boleh dikatakan sebagai sifat universal manusia. Kebutuhan akan
penghargaan ini jika dikelola dengan tepat dapat menimbulkan kinerja organisasi yang luar
biasa. Tidak seperti halnya kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih rendah, kebutuhan akan
penghargaan ini jarang sekali terpenuhi secara sempurna.
Sebagai bagian dari sebuah pendekatan yang lebih konstruktif, manajemen partisipatif dan
program-program umpan balik positif (positive feedback programs) dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan. Pendelegasian otonomi dan tanggung
jawab yang lebih luas kepada karyawan telah terbukti efektif untuk memotivasi kinerja dan
performa yang lebih baik. Keberhasilan eksperimen Mayo seperti telah diuraikan
sebelumnya menunjukkan bahwa penghargaan finansial terbukti tidak selamanya seefektif
penghargaan psikis. Masalahnya, banyak manajer seringkali lupa atau berpikir banyak kali
untuk memberikan pujian dan pengakuan tulus bagi prestasi karyawan, dan sebaliknya
tanpa pikir dua kali untuk melemparkan kritik atas pekerjaan buruk bawahannya.
Kebutuhan akan aktualisasi diri ini merupakan aspek terpenting dalam teori motivasi
Maslow. Dewasa ini bahkan sejumlah pemikir menjadikan kebutuhan ini sebagai titik tolak
prioritas untuk membina manusia berkepribadian unggul. Belakangan ini muncul gagasan
tentang perlunya jembatan antara kemampuan majanerial secara ekonomis dengan
kedalaman spiritual. Manajer yang diharapkan adalah pemimpin yang handal tanpa
melupakan sisi kerohanian. Dalam konteks ini, piramida kebutuhan Maslow yang berangkat
dari titik tolak kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri diputarbalikkan. Dengan
demikian perilaku organisme yang diharapkan bukanlah perilaku yang rakus dan terus-
menerus mengejar pemuasan kebutuhan, melainkan perilaku yang lebih suka memahami
daripada dipahami, memberi daripada menerima. Dalam makalah ini, gagasan aktualisasi
diri akan mendapat sorotan lebih luas dan dalam sebelum masuk dalam pembahasan
penerapan teori.
Untuk soal pertama, praktisi teori Maslow akan mengatakan tingkat kebutuhan terendah
yang belum terpenuhi yang akan merangsang perilaku karyawan dalam organisasi. David
McClelland mengusulkan tiga motif kebutuhan, yakni: afiliasi (sama dengan kebutuhan
sosial Maslow), kekuasaan (keinginan untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang
lain), dan pencapaian prestasi (keinginan untuk memenuhi kegiatan yang bernilai).
McClelland tidak mengatakan bahwa ketiga motif itu berada dalam hirarki yang sama
dalam diri setiap orang. Ia mengusulkan bahwa lebih dari satu kebutuhan dapat menjadi
dominan pada saat yang sama.
Untuk soal kedua, McClelland telah melakukan banyak riset dan mengusulkan tiga jawaban,
yakni:
1. Bagi individu yang memiliki motif afiliasi tinggi, sebaiknya diberi kesempatan untuk
bertugas dalam kelompok yang dipilih sendiri. Kembangkanlah program kompensasi
lebih berdasarkan kelompok daripada produktivitas individual.
2. Bagi individu dengan motif kekuasaan yang tinggi, sebaiknya diberi wewenang atas
orang lain yang disesuaikan dengan derajat keterampilan yang mereka miliki.
3. Bagi individu dengan motif pencapaian prestasi yang tinggi, hendaknya ditentukan
bersama dengan mereka sasaran dengan tingkat kesulitan yang sedang saja. Berikan
tanggung jawab untuk menyelesaikan sasaran denga cara mereka sendiri dan
pastikan bahwa mereka mendapatkan cukup pengetahuan tentang kemajuan mereka
melalui sistem umpan balik yang baik.
Pakar motivasi lain bernama Frederick Herzberg muncul untuk meneruskan karya Maslow.
Herzberg mengumpulkan data mengenai sikap kerja karyawan di ratusan perusahaan. Dari
riset itu, ia menarik kesimpulan bahwa individu mempunyai dua kategori kebutuhan yang
mempengaruhi kepuasan atau ketidakpuasan dalam pekerjaan. Faktor-faktor yang
menyebabkan kepuasan kerja berbeda dan terpisah dari faktor-faktor yang menyebabkan
ketidakpuasan kerja. Kategori pertama disebut kebutuhan hygiene. Kebutuhan ini bila tidak
terpenuhi akan menimbulkan ketidakpuasan kerja. Kebutuhan ini diandaikan harus
dipelihara untuk mencegah terjadinya ketidakpuasan kerja. Faktor pemuas kebutuhan ini
antara lain uang, status, perlakuan, dan keamanan. Kebutuhan kedua yang sungguh
merupakan motivasi adalah pemuasan yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri.
Jika ingin memotivasi orang pada pekerjaannya, Herzberg menyarankan untuk
menekankan pada hal-hal yang berhubungan dengan kerja itu sendiri atau hasil langsung
yang diakibatkannya, misalnya: peluang promosi, pertumbuhan personal, pengakuan,
tanggung jawab, dan prestasi. Pemuasan kategori pertama hanya berguna untuk mencegah
ketidakpuasan kerja dan tidak dapat dipakai untuk menciptakan kepuasan kerja. Bagi
Herzberg, ketiadaan ketidakpuasan belum tentu berarti ada kepuasan.
Untuk soal ketiga, Herzberg masih menawarkan konsep yang disebut pemerkayaan
pekerjaan. Caranya adalah menanyakan kepada karyawan yang telah diperkaya
pekerjaannya tentang fungsi manajemen apa yang kini dikerjakan oleh atasannya, yang ia
sendiri ingin dan dapat mengerjakannya. Kemudian delegasikan fungsi itu kepadanya.
Pemerkayaan pekerjaan ini mencakup sekaligus tambahan pekerjaan dan tanggung jawab
yang bukan hanya diserahkan begitu saja.
Metode lain yang sangat populer dalam menjawab soal ketiga ini adalah yang disebut
Manajemen Berdasarkan Tujuan(Management by Objectives/MBO). Metode ini
menawarkan empat langkah yang harus ditempuh, yakni:
Metode MBO mengandung filosofi manajemen yang berasumsi bahwa ada daya tarik nyata
dalam individu jika mereka menentukan sendiri sasaran kerjanya. Kekuatan utama terletak
dalam sasaran yang disusunya, bukan pada atasan.
Untuk menjawab soal terakhir, kita menuju teori yang disebut teori
Penguatan (reinforcement theory) yang telah berkembang menjadi strategi bernama
Modifikasi Perilaku. Teori ini berseberangan dengan MBO. MBO merupakan pendekatan
kognitif yang menekankan bahwa sasaran individu mengarahkan tindakannya. Sedangkan
dalam teori Penguatan, kita mempunyai pendekatan perilaku (behavioristik), yang melihat
penguatanlah yang mengkondisikan perilaku. Teori ini menawarkan tiga langkah, yakni:
1. Menetapkan sasaran. Ini sama dengan langkah pertama MBO. Teori Penguatan
menggarisbawahi bahwa sasaran haruslah dapat diukur.
2. Memberi umpan balik. Langkah ini harus diambil secara efektif oleh manajer. Teori
ini menekankan bahwa setiap saat yang diinginkan, karyawan sebaiknya tahu
bagaimana kemajuan mereka menuju sasaran, tindakan untuk mengoreksi diri dapat
diambil secepat mungkin.
3. Memberikan imbalan tepat waktu. Imbalan yang dalam praktek terbukti paling
penting tetapi juga paling tidak dimanfaatkan oleh manajer, adalah pengakuan.
Sudah sering terdengar keluhan karyawan bahwa manajer mereka seakan tidak tidak
tahu semua hal baik yang telah dikerjakan mereka. Tetapi begitu ada kesalahan,
mereka langsung mendapat kritik atau celaan. Dalam jangka pendek, celaan
mungkin dapat menjadi motivator sementara. Tetapi biasanya celaan cenderung
memiliki sejumlah konsekuensi disfungsional bagi organisasi dalam jangka panjang.
Orang butuh motivasi, bukan celaan.
Jika manajer mengharapkan karyawan untuk tidak suka bekerja untuknya dan dengan
demikian menghindari semua tanggung jawab, maka pola kepemimpinan yang sangat
memaksa dan mengendalikan yang kemungkinan diterapkan oleh manajer, akan
menciptakan ramalan pemenuhan-diri, di mana pekerja akan termotivasi melakukan
pekerjaan seminim mungkin. Sebaliknya, jika manajer mengharapkan karyawan mereka
untuk mencari tanggung jawab dan mampu mengarahkan-diri ke sasaran yang
mengandung imbalan, itu pun dapat menciptakan ramalan pemenuhan-diri. Inilah dugaan
yang terkandung dalam Teori X dan Teori Y dari McGregor. Perangkat pengharapan
terakhir, Teori Y, pada mulanya dikembangkan dari teori Hirarki Kebutuhan Maslow, dan
sangat mendasari gagasan perkayaan pekerjaan dan MBO. Dari uraian di atas, tampak
benang merah antara teori yang satu dengan yang lain. Semua teori motivasional ini saling
melengkapi dan dapat dipergunakan sesuai dengan keperluan, situasi, dan kondisi
organisasi yang bersangkutan.
Hirarki Kebutuhan Maslow penting bagi kita karena membantu menjelaskan mengapa gaji
tinggi, keuntungan yang baik, dan keamanan kerja tidak selamanya dapat memotivasi
kinerja. Dengan menelaah apa yang menjadi kebutuhan karyawan dan memberikan
pemuasan yang tepat sasaran, seorang motivator benar-benar telah mengelola motivasi.
Mengelola motivasi berarti mengajak orang untuk melakukan sesuatu yang kita inginkan
untuk dilaksanakan, kapan dan bagaimana itu dilakukan, karena orang ingin
melakukannya.
Hendaknya hirarki kebutuhan Maslow tidak dilihat secara kaku dan mutlak. Batas-batas
antara tingkatan yang satu dengan yang lain tidak terlampau jelas dan lebih menunjukkan
saling tumpang tindih. Tidak bisa dipastikan dengan kaku bahwa kebutuhan rasa aman
hanya akan muncul setelah kebutuhan akan makanan terpuaskan sepenuhnya. Kebanyakan
orang dalam masyarakat kita telah mampu memuaskan sebagian besar kebutuhan dasariah
mereka kendati belum dalam arti sepenuh-penuhnya. Yang mau ditekankan adalah bahwa
begitu suatu tingkat kebutuhan terpuaskan, maka kebutuhan tersebut tidak lagi akan
memiliki pengaruh yang berarti pada motivasi.
Patut disayangkan bahwa bagian terbesar dari hasil-hasil riset tersebut dicapai dari studi-
studi yang tidak menguji teori Maslow secara tepat. Evaluasi di atas menunjukkan sejumlah
keterbatasan yang lumrah pada suatu teori ilmiah. Namun secara umum dapat dikatakan
bahwa teori Maslow telah meletakkan batu pertama untuk penelitian struktur individu
terutama menyangkut apa yang lebih mendorong perilaku tertentu dalam organisasi.
Sumbangan Maslow tidak sedikit untuk perkembangan psikologi organisasi. Bila ditinjau
lebih khusus, evaluasi atau riset yang menghasilkan kesimpulan yang tidak mendukung
teori bisa saja berangkat dari pemahaman yang tidak komprehensif atas teori dan jalan
pikiran Maslow. Tidak jarang terjadi, dalam banyak kasus penelitian, teori yang baik gagal
dibuktikan karena metode dan aplikasi riset yang buruk. Tidak adanya keberhasilan sering
disebabkan oleh salah pengertian teori, atau penerapan buruk konsep motivasi yang baik.
Dalam buku Motivation and Personality, Maslow berkali-kali mengingatkan agar jangan
sesekali memutlakkan kelima tingkat kebutuhan atau membedakannya secara tajam dan
kaku. Kiranya Maslow sepenuhnya menyadari sejak awal bahwa berbicara tentang struktur
kepribadian manusia yang dinamis tidak segampang membalikkan telapak tangan.
Untuk memahami, menerima, dan menerapkan teori yang hingga kini masih menggema ini,
kita harus memahami sejumlah kualifikasi lanjutan agar konsep kita menjadi lebih
komprehensif.
Pertama, mengingat teori Maslow merupakan suatu teori umum tentang kebutuhan
manusia, maka ketika diterapkan kepada manusia tertentu (dengan budaya tertentu) tentu
terdapat kekecualian-kekecualian dalam pengurutan umum hirarki yang ada. Ada orang
tertentu yang tidak pernah berkembang melampaui tingkatan pertama atau kedua,
sedangkan ada pula orang lain yang demikian terpukau oleh kebutuhan tingkat tinggi
sehingga kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah tidak menarik bagi mereka.
Keempat, perlu disadari bahwa banyak di antara tujuan yang diupayakan oleh manusia
merupakan tujuan-tujuan jauh dan berjangka panjang yang hanya dapat dicapai melalui
suatu seri langkah dan sarana. Bila dalam jangka pendek seseorang tidak menampakkan
minat pada tujuan tertentu belum tentu bahwa ia tidak membutuhkannya. Menyadari hal
ini, lagi-lagi ditegaskan betapa besar misteri yang meliputi kepribadian manusia. Kata
pemeo, dalamnya lautan bisa diduga, dalamnya hati manusia sungguh tak dinyana.
Barangkali misteri manusia in jugalah yang membatasi semua teori tentang manusia.
Seorang ilmuwan bernama Craig Pinder memberikan jalan tengah atas dua kubu pendapat
yang pro-kontra sebagai berikut:
“Teori Maslow tetap sangat populer di kalangan para manajer dan mereka yang
mempelajari perilaku organisasi kendati tidak banyak studi yang secara resmi dapat
mengkonfirmasi atau menolaknya.... Ada kemungkinan bahwa dinamika yang terimplikasi
pada teori Maslow tentang kebutuhan bersifat terlalu kompleks untuk diterapkan dan
dikonfirmasi oleh riset ilmiah. Jika demikian halnya, maka kita tidak pernah mungkin
mendeterminasi berapa valid teori tersebut -atau secara tepat- aspek mana sajakah dari
teori tersebut bersifat valid, dan aspek mana yang tidak valid.”
Sekalipun tidak banyak riset yang secara jelas mendukung teori ini, kita tetap dapat
menarik pelajaran berharga bagi para manajer. Khususnya dapat dikatakan bahwa suatu
kebutuhan yang terpenuhi mungkin akan kehilangan potensi atau daya motivasionalnya.
Oleh karena itu, sebagai implikasi atas teori ini, para manajer dianjurkan untuk memotivasi
para karyawan mereka dengan jalan merancang program-program atau praktek-praktek
yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang muncul atau kebutuhan-
kebutuhan yang belum terpenuhi.