Anda di halaman 1dari 15

 Kebutuhan yang bersifat fisiologis (lahiriyah)àManifestasi kebutuhan ini terlihat dalam tiga hal pokok, sandang,

pangan dan papan. Teori ini bisa dikatakan sebagai suatu hal yang memang mendasari seseorang untuk
melakukan sesuatu demi mendapatkan kebutuhan ini. Example, Bagi karyawan, kebutuhan akan gaji, uang
lembur, rumah, kendaraan dll, yang merupakan kebutuhan pokok, menjadi motif dasar dari karyawan itu sendiri
mau bekerja, menjadi efektif dan dapat memberikan produktivitas yang tinggi bagi organisasi.
 · Kebutuhan keamanan dan ke-selamatan kerja (Safety Needs)à Kebutuhan ini mengarah kepada rasa keamanan,
ketentraman dan jaminan seseorang dalam kedudukannya, jabatan-nya, wewenangnya dan tanggung jawabnya
sebagai karyawan. Dia dapat bekerja dengan antusias dan penuh produktivitas bila dirasakan adanya jaminan
formal atas kedudukan dan wewenangnya. Example, kebutuhan ini lebih dibutuhkan bagi seseorang yang bekerja
dalam organisasi yang menghasilkan produk berupa barang, tidak hanya keselamatan dan keamanan dalam
kedudukan, tetapi keamanan dan keselamatan pekerjaan itu sendiri, seperti para buruh yang bekerja pada pabrik
yang mengolah bahan kimia, mereka butuh rasa keamanan yang tinggi, buruh bangunan.
 · Kebutuhan sosial (Social Needs) àKebutuhan akan kasih sayang dan bersahabat (kerjasama) dalam kelompok
kerja atau antar kelompok. Kebutuhan akan diikutsertakan, mening-katkan relasi dengan pihak-pihak yang
diperlukan dan tumbuhnya rasa kebersamaan termasuk adanya sense of belonging dalam organisasi.
Example,biasa lebih diperlukan oleh karyawan yang diharuskan bekerja dibalik meja atau computer, terutama
seperti mereka yang bekerja sebagai administrator dalam suatu jejaring sosial, meskipun mereka bisa
bersosialisasi lewat dunia maya, tetap saja mereka membutuhkan kehadiran orang-orang sekitar yang dapat diajak
kerja sama dan bisa diajak berbicara sambil menunjukkan emosinya.

 · Kebutuhan akan prestasi (Esteem Needs)à Kebutuhan akan kedudukan dan promosi dibidang kepegawaian.
Kebutuhan akan simbol-simbol dalam statusnya se¬seorang serta prestise yang ditampilkannya. Example, setiap
karyawan memiliki prestasi masing-masing, dalam hal itu mereka berkompetisi dalam menyelesaikan tugas sebaik-
baiknya, setelah pencapaian usaha mereka dinilai baik oleh organisasi dan atasan, biasanya mereka diberikan
piagam, atau suatu emblem yang dapaut menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang berhasil dalam bidangnya
sesuai dengan yang diharapkan organisasi. Kebutuhan akan hal tersebut memancing mereka untuk terus giat
menapaki bidangnya masing-masing.
 · Kebutuhan Akutualisasi Diri (Self Actualization)à Setiap orang ingin mengembangkan kapasitas kerjanya dengan
baik. Hal ini merupakan kebutuhan untuk mewujudkan segala kemampuan (kebolehannya) dan seringkali nampak
pada hal-hal yang sesuai untuk mencapai citra dan cita diri seseorang. Dalam motivasi kerja pada tingkat ini
diperlukan kemampuan manajemen untuk dapat mensinkronisasikan antara cita diri dan cita organisasi untuk dapat
melahirkan hasil produktivitas organisasi yang lebih tinggi.
Teori Maslow tentang motivasi secara mutlak menunjukkan perwujudan diri sebagai pemenuhan (pemuasan)
kebutuhan yang bercirikan pertumbuhan dan pengembangan individu. Perilaku yang ditimbulkannya dapat
dimotivasikan oleh manajer dan diarahkan sebagai subjek-subjek yang berperan. Dorongan yang dirangsang ataupun
tidak, harus tumbuh sebagai subjek yang memenuhi kebutuhannya masing-masing yang harus dicapainya dan
sekaligus selaku subjek yang mencapai hasil untuk sasaran-sasaran organisasi.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan
dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal
pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas
adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia
merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat
psikologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat
dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow
semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama
diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai
tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga.
Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan
berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu
sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa
aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan
dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan
bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan
kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan
teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai
rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
a. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
b. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif
menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
c. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana
seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi
dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih
bersifat aplikatif.
Maslow menggambarkan manusia yang sudah mengaktualisasikan diri sebagai orang yang sudah terpenuhi semua
kebutuhannya dan melakukan apapun yang bisa mereka lakukan, dengan mengidentifikasikan 15 ciri orang yang telah
mengaktualisasikan diri sebagai berikut:
1.
1. Memiliki persepsi akurat tentang realitas.
2. Menikmati pengalaman baru.
3. Memiliki kecenderungan untuk mencapai pengalaman puncak.
4. Memiliki standar moral yang jelas.
5. Memiliki selera humor.
6. Merasa bersaudara dengan semua manusia.
7. Memiliki hubungan pertemanan yang erat.
8. demokratis dalam menerima orang lain.
9. Membutuhkan privasi.
10. Bebas dari budaya dan lingkungan.
11. Kreatif.
12. Spontan.
13. Lebih berpusat pada permasalahan, bukan pada diri sendiri.
14. Mengakui sifat dasar manusia.
15. Tidak selalu ingin menyamakan diri dengan orang lain.
Agar menjadi orang yang sudah mencapai aktualisasi diri, tidak selalu dengan menampilakan semua cirri tersebut.
Dan tidak hanya orang yang sudah mengaktualisasikan diri yang menampilakan cirri-ciri tersebut. Namun, orang-orang
yang menurut Maslow adalah orang yang mengaktualisasikan diri umumnya lebih sering menampilkan cirri-ciri tersebut
dibandingkan kebanyakan dari kita. Sebagian besar dari lima belas cirri tersebut sudah jelas dengan sendirinya, tetapi
kita mungkin bertanya-tanya tentangt pengalaman puncak (experience peak). Maslow mendefinisikan pengalaman
puncak sebagai saat-saat tatkala dunia tampak utuh dan orang itu merasa selaras dengannya. Pengalaman puncak
selalu melekat dalam diri kita dan mengubah persepsi kita mengenai dunia agar menjadi lebih baik lagi.
Bagi sebagian orang, pengalaman puncak diasosiasikan dengan agama, tetapi bisa juga tercetus melalui seni, musik,
dan momen-momen yang memerlukan pengambilan resiko. Maslow tidak menyamakan aktualisasi diri dengan
kesempurnaan. Orang-orang yang bisa mengaktualisasikan diri pada dasarnya hanya memenuhi potensi dirinya
sendiri. Dengan demikian, seseorang bisa saja menjadi tolol, boros, sombong dan tidak sopan sekaligus, tetapi masih
tetap bisa mengaktualisasikan dirinya. Orang yang mampu mencapai aktualisasi diri hanya kurang dari satu persen,
sebab tidak banyak dari kita yang bisa memenuhi semua kebutuhan yang lebih rendah dalam hierarki.
» Contoh/implikasi dari teori Maslow pada kehidupan
Seorang karyawan, jika sudah memenuhi kebutuhan hirarki maslow dari kebutuhan fisiologis, seperti membangun
rumah tangganya dengan hasil gaji yang di capai, merasa aman dan nyaman dengan perusahaan yang disana ia
meniti karirnya, hingga kebutuhan self esteem (harga diri/pengakuan diri) yang dalam arti karyawan tersebut sudah
tercatat sebagai karyawan yang bisa naik jabatan atau dipromosikan mengisi kursi manajer, kemudian mengaktualisasi
dirinya dengan mengikuti seminar-seminar yang membangun jiwa kepemimpinannya, hingga ketika ia mendapatkan
prestise sebagai manajer, kemudian ia melakukan aktualisasi lebih lanjut dengan memberi motivasi terhadap
bawahannya.

kebutuhan tersebut. Selanjutnya orang akan berusaha memenuhi kebutuhan tingkat


berikutnya. Maslow membagi tingkat kebutuhan manusia menjadi sebagai berikut:

1. Kebutuhan fisiologis: kebutuhan yang dasariah, misalnya rasa lapar, haus, tempat
berteduh, seks, tidur, oksigen, dan kebutuhan jasmani lainnya.
2. Kebutuhan akan rasa aman: mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan
terhadap kerugian fisik dan emosional.
3. Kebutuhan sosial: mencakup kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki, kasih
sayang, diterima-baik, dan persahabatan.
4. Kebutuhan akan penghargaan: mencakup faktor penghormatan internal seperti
harga diri, otonomi, dan prestasi; serta faktor eksternal seperti status, pengakuan,
dan perhatian.
5. Kebutuhan akan aktualisasi diri: mencakup hasrat untuk makin menjadi diri
sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya.

Maslow menyebut teori Hirarki Kebutuhan-nya sendiri sebagai sintesis atau perpaduan
teori yang holistik dinamis. Disebut demikian karena Maslow mendasarkan teorinya dengan
mengikuti tradisi fungsional James dan Dewey, yang dipadu dengan unsur-unsur
kepercayaan Wertheimer, Goldstein, dan psikologi Gestalt, dan dengan dinamisme Freud,
Fromm, Horney, Reich, Jung, dan Adler.

Bagaimana identifikasi atas tiap kebutuhan di atas dan dampaknya terhadap motivasi yang
mempengaruhi kinerja individu dalam organisasi akan dijelaskan dalam berikutnya.

3. IDENTIFIKASI HIRARKI KEBUTUHAN DAN APLIKASI MANAJEMEN


3.1 Kebutuhan Fisiologis
3.1.1 Identifikasi Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk
mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, tempat
tinggal, seks, tidur, istirahat, dan udara. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan,
harga diri, dan cinta, pertama-tama akan mencari makanan terlebih dahulu. Bagi orang
yang berada dalam keadaan lapar berat dan membahayakan, tak ada minat lain kecuali
makanan. Bagi masyarakat sejahtera jenis-jenis kebutuhan ini umumnya telah terpenuhi.
Ketika kebutuhan dasar ini terpuaskan, dengan segera kebutuhan-kebutuhan lain (yang
lebih tinggi tingkatnya) akan muncul dan mendominasi perilaku manusia.

Tak teragukan lagi bahwa kebutuhan fisiologis ini adalah kebutuhan yang paling kuat dan
mendesak. Ini berarti bahwa pada diri manusia yang sangat merasa kekurangan segala-
galanya dalam kehidupannya, besar sekali kemungkinan bahwa motivasi yang paling besar
ialah kebutuhan fisiologis dan bukan yang lain-lainnya. Dengan kata lain, seorang individu
yang melarat kehidupannya, mungkin sekali akan selalu termotivasi oleh kebutuhan-
kebutuhan ini.

3.1.2 Aplikasi Manajemen


Pertama-tama harus selalu diingat bahwa bagi orang yang sangat kelaparan, tidak ada
perhatian lain kecuali makanan. Seorang pemimpin atau manajer jangan berharap terlalu
banyak dari karyawan yang kelaparan. Berbeda dari kebutuhan-kebutuhan tingkat
berikutnya, kebutuhan pokok ini hanya bisa dipenuhi oleh pemicu kekurangannya. Rasa
lapar hanya dapat dipuaskan dengan makanan. Jangan berharap bahwa nasihat dan petuah
saleh dapat memuaskannya. Maslow menggambarkan bahwa bagi manusia yang selalu dan
sangat kelaparan atau kehausan, utopia dapat dirumuskan sebagai suatu tempat yang
penuh makanan dan minuman. Ia cenderung berpikir bahwa seandainya makanannya
terjamin sepanjang hidupnya, maka sempurnalah kebahagiaannya. Orang seperti itu hanya
hidup untuk makan saja. Untuk memotivasi kinerja karyawan seperti ini, tentu saja
makanan solusinya. Tunjangan ekstra untuk konsumsi akan lebih menggerakkan semangat
kerja orang seperti ini dibandingkan dengan nasehat tentang integritas individu dalam
organisasi.

Elton Mayo dari Harvard Graduate School of Business Administration pada tahun 1923
melakukan penelitian di sebuah pabrik tekstil di Philadelphia. Ia ingin menemukan
penyebab terjadinya pergantian tenaga kerja yang terlalu sering di salah satu bagian
produksi di mana pekerjaan yang dilakukan lumayan sukar dan monoton. Ia bertolak dari
asumsi kelelahan tenaga kerja dan kebutuhan akan waktu istirahat. Maka ia menjadwalkan
serangkaian waktu istirahat. Para karyawan diminta bekerja sama dalam menetapkan
jadwal. Hasil yang diperoleh cukup fantastis: pergantian karyawan menurun drastis,
produktivitas meningkat, dan semangat kerja menjadi lebih baik. Mayo secara tepat
menemukan apa yang dibutuhkan karyawan, yakni waktu istirahat dan penghargaan diri
karena memberikan kesempatan kepada mereka untuk ikut serta dalam pengambilan
keputusan yang biasanya menjadi monopoli pimpinan perusahaan. Dengan satu panah,
Mayo membidik dua burung; dua kebutuhan terpenuhi dalam waktu yang sama.

3.2 Kebutuhan Rasa Aman


3.2.1 Identifikasi Kebutuhan Rasa Aman
Segera setelah kebutuhan dasariah terpuaskan, muncullah apa yang digambarkan Maslow
sebagai kebutuhan akan rasa aman atau keselamatan. Kebutuhan ini menampilkan diri
dalam kategori kebutuhan akan kemantapan, perlindungan, kebebasan dari rasa takut,
cemas dan kekalutan; kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan
sebagainya. Kebutuhan ini dapat kita amati pada seorang anak. Biasanya seorang anak
membutuhkan suatu dunia atau lingkungan yang dapat diramalkan. Seorang anak
menyukai konsistensi dan kerutinan sampai batas-batas tertentu. Jika hal-hal itu tidak
ditemukan maka ia akan menjadi cemas dan merasa tidak aman. Orang yang merasa tidak
aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas serta akan berusaha keras
menghindari hal-hal yang bersifat asing dan tidak diharapkan.

3.2.2 Aplikasi Manajemen


Dalam konteks perilaku kinerja individu dalam organisasi, kebutuhan akan rasa aman
menampilkan diri dalam perilaku preferensi individu akan dunia kerja yang adem-ayem,
aman, tertib, teramalkan, taat-hukum, teratur, dapat diandalkan, dan di mana tidak terjadi
hal-hal yang tak disangka-sangka, kacau, kalut, atau berbahaya. Untuk dapat memotivasi
karyawannya, seorang manajer harus memahami apa yang menjadi kebutuhan
karyawannya. Bila yang mereka butuhkan adalah rasa aman dalam kerja, kinerja mereka
akan termotivasi oleh tawaran keamanan. Pemahaman akan tingkat kebutuhan ini juga
dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa karyawan tertentu tidak suka inovasi baru dan
cenderung meneruskan apa yang telah berjalan. Atau dipakai untuk memahami mengapa
orang tertentu lebih berani menempuh resiko, sedangkan yang lain tidak.

Dalam organisasi, kita seringkali mendapati perilaku individu yang berusaha mencari
batas-batas perilaku yang diperkenankan (permisible behavior). Ia menginginkan
kebebasan dalam batas tertentu daripada kebebasan yang tanpa batas. Seseorang yang tidak
memiliki pengetahuan yang cukup tentang batas-batas perilaku yang diterima bagi dirinya
sendiri dapat mempunyai perasaan terancam. Agaknya ia akan berupaya untuk menemukan
batas-batas seperti itu, sekalipun pada saat-saat tertentu, ia harus berperilaku dengan cara-
cara yang tidak dapat diterima. Para manajer dapat mengakomodasi kebutuhan akan rasa
aman dalam organisasi dengan jalan membentuk dan memaksakan standar-standar
perilaku yang jelas. Penting dicatat juga bahwa perasaan manusia tentang keamanan juga
terancam apabila ia merasa tergantung pada pihak lain. Ia merasa bahwa ia akan
kehilangan kepastian bila tanpa sengaja melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki.
Individu yang berada dalam hubungan dependen seperti itu akan merasa bahwa kebutuhan
terbesarnya adalah jaminan dan proteksi. Hampir setiap individu dalam tingkat kebutuhan
ini akan menginginkan ketenteraman, supervisi, dan peluang kerja yang bersinambung.

Dewasa ini marak wacana adanya kemungkinan para karyawan di-PHK karena faktor
teknologi yang berkembang. Dalam situasi ini, manajer dapat memotivasi karyawan dengan
jalan memberikan suatu jaminan kepastian jabatan (job-security-pledge).

3.3 Kebutuhan Sosial


3.3.1 Identifikasi Kebutuhan Sosial
Setelah terpuaskan kebutuhan akan rasa aman, maka kebutuhan sosial yang mencakup
kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki, saling percaya, cinta, dan kasih sayang akan
menjadi motivator penting bagi perilaku. Pada tingkat kebutuhan ini, dan belum pernah
sebelumnya, orang akan sangat merasakan tiadanya sahabat, kekasih, isteri, suami, atau
anak-anak. Ia haus akan relasi yang penuh arti dan penuh kasih dengan orang lain pada
umumnya. Ia membutuhkan terutama tempat (peranan) di tengah kelompok atau
lingkungannya, dan akan berusaha keras untuk mencapai dan mempertahankannya. Orang
di posisi kebutuhan ini bahkan mungkin telah lupa bahwa tatkala masih memuaskan
kebutuhan akan makanan, ia pernah meremehkan cinta sebagai hal yang tidak nyata, tidak
perlu, dan tidak penting. Sekarang ia akan sangat merasakan perihnya rasa kesepian itu,
pengucilan sosial, penolakan, tiadanya keramahan, dan keadaan yang tak menentu.

3.3.2 Aplikasi Manajemen


Individu dalam organisasi menginginkan dirinya tergolong pada kelompok tertentu. Ia
ingin berasosiasi dengan rekan lain, diterima, berbagi, dan menerima sikap persahabatan
dan afeksi. Walaupun banyak manajer dewasa ini memahami adanya kebutuhan demikian,
kadang mereka secara keliru menganggapnya sebagai ancaman bagi organisasi mereka
sehingga tindakan-tindakan mereka disesuaikan dengan pandangan demikian. Organisasi
atau perusahaan yang terlalu tajam dan jelas membedakan posisi pimpinan dan bawahan
seringkali mengabaikan kebutuhan karyawan akan rasa memiliki (sense of
belonging). Seharusnya karyawan pada level kebutuhan ini dimotivasi untuk memiliki rasa
memiliki atas misi dan visi organisasi dan menyatukan ambisi personal dengan ambisi
organisasi. Antara pengembangan pribadi dan organisasi mempunyai hubungan resiprok
yang hasilnya dirasakan secara timbal balik.

Dalam ranah Perilaku Organisasi, kita kenal apa yang disebut manajemen konflik. Berbeda
dari pandangan tradisional yang melihat konflik secara negatif, terdapat pandangan
interaksionis yang melihat konflik tidak hanya sebagai kekuatan positif dalam kelompok
namun juga sangat diperlukan agar kelompok berkinerja efektif. Konflik bisa baik atau
buruk tergantung pada tipenya. Tanpa bermaksud menolak atau mendukung salah satu
pandangan, dapat dikatakan bahwa potensi konflik dalam organisasi selain mengganggu
rasa aman juga dapat menciptakan alienasi yang mengakibatkan disorientasi. Potensi
mobilitas yang berlebihan yang umumnya dipaksakan oleh industrialisasi mengancam
tercabutnya rasa kerasan dalam kelompok kerja, tantangan untuk adaptasi dalam kelompok
baru dan asing, dan akhirnya menimbulkan kebutuhan akan rasa memiliki dan aneka
kebutuhan yang masuk dalam hirarki tahap ini.
3.4 Kebutuhan akan Penghargaan
3.4.1 Identifikasi Kebutuhan akan Penghargaan
Menurut Maslow, semua orang dalam masyarakat (kecuali beberapa kasus yang patologis)
mempunyai kebutuhan atau menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap,
mempunyai dasar yang kuat, dan biasanya bermutu tinggi, akan rasa hormat diri atau harga
diri. Karenanya, Maslow membedakan kebutuhan ini menjadi kebutuhan akan penghargaan
secara internal dan eksternal. Yang pertama (internal) mencakup kebutuhan akan harga
diri, kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan,
dan kebebasan (kemerdekaan). Yang kedua (eksternal) menyangkut penghargaan dari
orang lain, prestise, pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan,
apresiasi atau nama baik. Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri.
Dengan demikian ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang
akan menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta
perilaku yang neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini adalah
kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat perwujudan diri.
Kebutuhan ini tidak bisa ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau sejumlah uang karena
kebutuhan akan hal-hal itu telah terpuaskan.

3.4.2 Aplikasi Manajemen


Tidak jarang ditemukan pekerja di level manajerial memutuskan untuk mengundurkan diri
dari pekerjaannya. Ada apa gerangan? Apakah kompensasi gajinya tidak memuaskannya?
Ternyata tidak selamanya uang dapat memotivasi perilaku individu dalam organisasi. Dari
semua indikasi yang terdata, tampaknya organisasi yang menyandarkan peningkatan
kinerja karyawan mereka pada aspek finansial, tidak memperoleh hasil yang diharapkan.
Benar bahwa uang adalah salah satu alat motivasi yang kuat, tetapi penggunaannya harus
disesuaikan dengan persepsi nilai setiap karyawan. Individu tertentu pada saat dan kondisi
tertentu barangkali tidak lagi merasakan uang sebagai penggerak kinerja.

Ketimbang uang, individu pada level ini lebih membutuhkan tantangan yang dapat
mengeksplorasi potensi dan bakat yang dimilikinya. Tidak mengherankan bahwa sejumlah
top manajer tiba-tiba mengundurkan diri ketika merasa tidak ada lagi tantangan dalam
perusahaan tempat mereka bekerja. Keinginan atau hasrat kompetitif untuk menonjol atau
melampaui orang lain boleh dikatakan sebagai sifat universal manusia. Kebutuhan akan
penghargaan ini jika dikelola dengan tepat dapat menimbulkan kinerja organisasi yang luar
biasa. Tidak seperti halnya kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih rendah, kebutuhan akan
penghargaan ini jarang sekali terpenuhi secara sempurna.

Sebagai bagian dari sebuah pendekatan yang lebih konstruktif, manajemen partisipatif dan
program-program umpan balik positif (positive feedback programs) dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan. Pendelegasian otonomi dan tanggung
jawab yang lebih luas kepada karyawan telah terbukti efektif untuk memotivasi kinerja dan
performa yang lebih baik. Keberhasilan eksperimen Mayo seperti telah diuraikan
sebelumnya menunjukkan bahwa penghargaan finansial terbukti tidak selamanya seefektif
penghargaan psikis. Masalahnya, banyak manajer seringkali lupa atau berpikir banyak kali
untuk memberikan pujian dan pengakuan tulus bagi prestasi karyawan, dan sebaliknya
tanpa pikir dua kali untuk melemparkan kritik atas pekerjaan buruk bawahannya.

Pakar kepemimpinan, William Cohen, mengatakan bahwa jangan pernah menyia-nyiakan


kesempatan yang baik untuk memberikan pengakuan kepada prestasi kerja dalam
organisasi. Pengakuan merupakan salah satu motivator manusia yang paling kuat. Psikolog
terkenal, B.F. Skinner menambahkan bahwa untuk mendapat motivasi maksimum, orang
harus memuji secepat mungkin setelah tampak perilaku yang pantas mendapat pujian.
Bahkan Napoleon Bonaparte terkejut menyaksikan kekuatan pengakuan sebagai motivator.
Setelah tahu bahwa para prajuritnya bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan
medali yang diberikannya, Napoleon berseru: “Sungguh menakjubkan apa yang akan
dilakukan orang untuk barang sepele seperti itu.”

3.5 Kebutuhan akan Aktualisasi Diri


3.5.1 Identifikasi Kebutuhan Aktualisasi Diri
Menurut Maslow, setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya. Kebutuhan
manusia untuk bertumbuh, berkembang, dan menggunakan kemampuannya disebut
Maslow sebagai aktualisasi diri. Maslow juga menyebut aktualisasi diri sebagai hasrat untuk
makin menjadi diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa menurut kemampuan yang
dimiliki. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini biasanya muncul setelah kebutuhan akan cinta
dan akan penghargaan terpuaskan secara memadai.

Kebutuhan akan aktualisasi diri ini merupakan aspek terpenting dalam teori motivasi
Maslow. Dewasa ini bahkan sejumlah pemikir menjadikan kebutuhan ini sebagai titik tolak
prioritas untuk membina manusia berkepribadian unggul. Belakangan ini muncul gagasan
tentang perlunya jembatan antara kemampuan majanerial secara ekonomis dengan
kedalaman spiritual. Manajer yang diharapkan adalah pemimpin yang handal tanpa
melupakan sisi kerohanian. Dalam konteks ini, piramida kebutuhan Maslow yang berangkat
dari titik tolak kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri diputarbalikkan. Dengan
demikian perilaku organisme yang diharapkan bukanlah perilaku yang rakus dan terus-
menerus mengejar pemuasan kebutuhan, melainkan perilaku yang lebih suka memahami
daripada dipahami, memberi daripada menerima. Dalam makalah ini, gagasan aktualisasi
diri akan mendapat sorotan lebih luas dan dalam sebelum masuk dalam pembahasan
penerapan teori.

3.5.2 Ciri-ciri Pribadi Aktualisasi Diri


Dari hasil penelitian yang merupakan proses analisis panjang, Maslow akhirnya
mengidentifikasikan 19 karakteristik pribadi yang sampai pada tingkat aktualisasi diri.

1. Persepsi yang jelas tentang hidup (realitas), termasuk kemampuan untuk


mendeteksi kepalsuan dan menilai karakter seseorang dengan baik. Berkat persepsi
yang tajam, mereka lebih tegas dan jitu dalam memprediksikan peristiwa yang bakal
terjadi. Mereka lebih mampu melihat dan menembus realitas-realitas yang
tersembunyi dalam aneka peristiwa; lebih peka melihat hikmah dari pelbagai
masalah.
2. Pribadi demikian melihat hidup apa adanya dan bukan berdasarkan keinginan
mereka. Mereka lebih obyektif dan tidak emosional. Orang yang teraktualisasi diri
tidak akan membiarkan harapan-harapan dan hasrat-hasrat pribadi menyesatkan
pengamatan mereka. Sebaliknya kebanyakan orang lain mungkin hanya mau
mendengarkan apa yang ingin mereka dengar dari orang lain sekalipun menyangkut
hal yang tidak benar dan jujur.
3. Mempunyai spontanitas yang lebih tinggi. Mereka lebih peka terhadap inner life
yang kaya dan tidak konvensional, serta memiliki kemampuan untuk melihat dunia
dari sudut pandang baru dan menghargai keindahan dalam hal-hal yang biasa.
Biasanya mereka tidak merasa perlu menyembunyikan perasaan atau pikiran
mereka, atau bertingkah laku yang dibuat-buat. Pribadi teraktualisai punya selera
yang tinggi terhadap seni, musik, dan masalah-masalah politik dan filsafat.
4. Keterpusatan-pada-masalah. Mereka amat konsisten dan menaruh perhatian pada
pertanyaan dan tantangan dari luar diri, memiliki misi atau tujuan yang jelas
sehingga menghasilkan integritas, ketidakpicikan, dan tekun introspeksi. Mereka
mempunyai komitmen yang jelas pada tugas yang harus mereka kerjakan dan
mampu melupakan diri sendiri, dalam arti mampu membaktikan diri pada
pekerjaan, tugas, atau panggilan yang mereka anggap penting.
5. Merindukan kesunyian. Selain mencari kesunyian yang menghasilkan ketenteraman
batin, mereka juga dapat menikmatinya.
6. Mereka sangat mandiri dan otonom, namun sekaligus menyukai orang lain. Mereka
punya keinginan yang sehat akan keleluasaan pribadi yang berbeda dari kebebasan
neurotik (yang serba rahasia dan penuh rasa takut). Terkadang mereka terlihat
sangat otonom, karena mereka menggantungkan diri sepenuhnya pada kapasitas
sendiri. Inilah paradoksnya: mereka adalah orang yang paling individualis sekaligus
sosial dalam masyarakat. Bila mereka menaati suatu aturan atau perintah, hal itu
didasarkan pada pemahaman akan manfaat yang dapat dicapai dari pemenuhan
aturan yang bersangkutan, dan bukan karena ikut-ikutan.
7. Ada kalanya mereka mengalami apa yang disebut “pengalaman puncak” (peak
experience); saat-saat ketika mereka merasa berada dalam keadaan terbaik, saat
diliputi perasaan khidmat, kebahagiaan dan kegembiraan yang mendalam atau
ekstase. Hal ini berkaitan dengan kemampuan mereka untuk berkonsentrasi secara
luar biasa. Kadang-kadang kemampuan ini membuat mereka seolah linglung. Tidak
jarang mereka mengalami flow dalam kegiatan yang mereka lakukan.
8. Rasa kekeluargaan terhadap sesama manusia yang disertai dengan semangat yang
tulus untuk membantu sesama.
9. Pribadi unggul ini lebih rendah hati dan menaruh hormat pada orang lain. Mereka
yakin bahwa dalam banyak hal mereka harus belajar dari orang lain. Hal ini
membuat mereka mampu untuk mendengarkan orang lain dengan penuh kesabaran.
Keutamaan (virtue) ini lahir dari pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri.
Sama seperti anak-anak, mereka mampu mendengarkan orang lain tanpa apriori
atau penilaian sebelumnya. Maslow menyebut keunggulan ini sebagai “Being
cognition” atau “B-cognition”; pengamatan yang pasif dan reseptif.
10. Mereka memiliki etika yang jelas tentang apa yang baik dan apa yang jahat. Namun
bagi mereka, pertentangan antara yang baik dan yang buruk tidaklah menjadi
masalah. Secara konsisten, mereka akan memilih dan lebih menyukai nilai-nilai yang
lebih luhur.
11. Selera humor yang baik. Mereka tidak tertarik pada pelbagai lelucon yang melukai
atau menyiratkan inferioritas yang membuat orang lain merasa dilecehkan. Mereka
lebih menyukai humor yang filosofis, kosmik, atau yang nilai humornya terkandung
dalam logika kata-kata. Mereka juga menonjol dalam hal toleransi terhadap
kelemahan-kelemahan alamiah orang lain. Namun mereka sangat anti terhadap
ketidakjujuran, penipuan, kebohongan, kekejaman, dan kemunafikan.
12. Kreatif dalam mengucapkan, melakukan, dan menyelesaikan sesuatu. Sifat ini
dikaitkan dengan fleksibelitas, tidak takut membuat sesuatu yang di kemudian hari
ternyata adalah kesalahan, dan keterbukaan. Seperti seorang anak yang lugu, mereka
tidak takut berkreasi karena cemoohan orang lain. Mereka kreatif dan melihat aneka
peristiwa secara segar tanpa prasangka. Menurut Maslow, hampir setiap anak
mampu membuat lagu, sajak, tarian, lakon, atau permainan secara mendadak, tanpa
direncanakan atau didahului oleh maksud tertentu sebelumnya. Demikian jugalah
kira-kira kreativitas orang yang teraktualisasi diri.
13. Mereka memiliki penghargaan yang sehat atas diri sendiri bertolak dari pengenalan
akan potensi diri mereka sendiri. Mereka bisa menerima pujian dan penghargaan
tetapi tidak sampai tergantung pada penghargaan yang diberikan orang lain. Mereka
tidak mendewakan kemasyhuran dan ketenaran kosong.
14. Ketidaksempurnaan. Mereka tentu juga mempunyai perasaan bersalah, cemas,
bersalah, iri dan lain-lain. Namun perasaan itu tidak seperti yang dialami orang-
orang yang neurotis. Mereka lebih dekat dengan cara pikir positif. Mereka tidak
selalu tenang, kadang-kadang bisa meledakkan amarah pula; bosan dengan obrolan
basa-basi , omong-kosong, dan hiruk-pikuk suasana pesta.
15. Mereka mempunyai “hirarki nilai” yang jelas. Mereka mampu melihat dan
membedakan mana yang lebih penting dan harus diprioritaskan dalam situasi
tertentu. Kadar konflik dirinya rendah. Mereka memiliki lebih banyak energi untuk
tujuan-tujuan yang produktif daripada menghabiskan waktu untuk menyesali diri
dan keadaan. Bagi mereka, pertentangan antara yang baik dan yang buruk tidaklah
menjadi masalah. Secara konsisten, mereka akan memilih dan lebih menyukai nilai-
nilai yang lebih luhur, dan dengan tulus mengikutinya. Bagi orang-orang ini, disiplin
diri relatif mudah sebab apa yang ingin mereka lakukan sejalan dengan apa yang
mereka yakini benar. Nilai-nilai mereka didasarkan pada apa yang nyata bagi
mereka, bukan pada apa yang dikatakan orang lain kepada mereka.
16. Resistensi terhadap inkulturisasi. Mereka mampu melihat hal-hal di luar batasan
kebudayaan dan zaman. Maslow menyebut mereka mempunyai apa yang disebut
“kemerdekaan psikologis”. Hal itu tercermin dari keputusan-keputusan mereka yang
terkadang “melawan arus” pendapat khalayak ramai. Mereka tidak segan menolak
kebudayaan mereka jika memang tidak sejalan dengan akal sehat. Untuk hal-hal
kecil seperti sopan-santun, bahasa, dan pakaian, makanan, dan sebagainya tidak
dipermasalahkan. Tapi bila menyangkut hal-hal yang dirasa melawan prinsip-
prinsip dasar, mereka dapat bersikap bebas mandiri dan bertindak di luar kebiasaan.
17. Mereka cenderung mencari persahabatan dengan orang yang memiliki karakter yang
sama, seperti jujur, tulus hati, baik hati dan berani, namun tidak menghiraukan ciri-
ciri superfisial seperti kelas sosial, agama, latar belakang ras, dan penampilan.
Dalam hal ini mereka tidak merasa terganggu oleh perbedaan-perbedaan. Makin
matang kepribadiannya, mereka makin tidak peduli dengan penampilan ayu, tubuh
tegap, badan montok, dan sebagainya. Sebaliknya mereka amat menjunjung tinggi
soal kecocokan, kebaikan, ketulusan, dan kejujuran.
18. Secara umum dapat dikatakan bahwa orang yang teraktualisasi diri cenderung
membina hidup perkawinan yang kokoh, bahagia, dan berlangsung seumur hidup.
Dalam pribadi yang sehat, perkawinan yang terbina memungkinkan kedua belah
pihak saling meningkatkan kepercayaan dan harga diri, saling memberikan manfaat.
19. Mereka itu sangat filosofis dan sabar dalam menuntut atau menerima perubahan
yang perlu secara tertib. Sementara kebanyakan orang dalam masyarakat cenderung
bersikap sangat praktis atau sangat teoritis, orang yang teraktualisasi diri lebih
condong bersikap praktis sekaligus teoritis tergantung kondisi yang bersangkutan.
Mereka berusaha mencintai dunia apa adanya, dengan tetap membuka mata pada
kekurangan yang ada seraya berupaya memperbaikinya.

3.5.3 Aplikasi Manajemen


Pada tingkat puncak hirarki kebutuhan ini, tidak banyak yang dapat dikatakan tentang
bagaimana cara memotivasi individu pada level ini. Bagi orang-orang yang dikatakan telah
mencapai kematangan psikologis ini, disiplin diri relatif mudah sebab apa yang ingin
mereka lakukan sejalan dengan apa yang mereka yakini benar. Nilai-nilai dan tindakan
mereka didasarkan pada apa yang nyata bagi mereka, bukan pada apa yang dikatakan orang
lain kepada mereka. Bila pada level kebutuhan sebelumnya, individu biasa dimotivasi oleh
kekurangan, orang yang matang ini terutama dimotivasi oleh kebutuhannya untuk
mengembangkan serta mengaktualisasikan kemampuan-kemampuan dan kapasitas-
kapasitasnya secara penuh. Bahkan menurut Maslow, istilah motivasi kurang tepat lagi
untuk diterapkan pada kebanyakan orang yang berada di tahap aktualisasi diri. Mereka itu
amat spontan, bersikap wajar, dan apa yang mereka lakukan adalah sekedar untuk
mewujudkan diri; sekedar pemenuhan hidup sebagai manusia. Seperti kata Luijpen: Being
man is having to be man.

3.5.4 Teori-teori Motivasi Komplementer


Dari sudut pandang filosofis, tidak ada teori dalam sejarah yang tak berguna. Gagasan
“selemah” apa pun tetap dapat menjadi titik tolak atau pancingan untuk melahirkan ide
yang lebih baik dan lengkap. Dalam sejarah, pandangan muskil geosentris yang melihat
bumi sebagai pusat tata surya telah memancing teori yang benar: heliosentris dari
Copernicus. Tidak mengherankan muncul sebuah istilah teknis: “pembalikan kopernikan”
untuk menyatakan suatu terobosan gagasan yang menjungkirbalikkan suatu pandangan
sebelumnya. Bagian ini tidak dimaksudkan untuk mengusulkan suatu teori motivasi yang
baru. Tetapi apa yang akan diuraikan berikut menyiratkan bahwa dewasa ini tidak ada satu
pun teori motivasional tunggal yang dapat memecahkan segala pertanyaan tentang motivasi
karyawan. Oleh karena itu perpaduan berbagai teori motivasional dalam bagian ini akan
memperlihatkan bagaimana teori-teori tersebut saling melengkapi (komplementer) dan
kapan sebaiknya diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi organisasi.
Pertanyaan yang paling banyak diajukan sehubungan dengan tema motivasi adalah:
“Bagaimana saya dapat memotivasi karyawan saya?” Untuk menjawab masalah ini, ada
empat hal yang harus digali, yakni:

1. Apa yang secara intrinsik (batiniah) merangsang perilaku individu?


2. Imbalan (reward) apa yang dapat memuaskan kebutuhan individu?
3. Bagaimana menyesuaikan kebutuhan individu dengan imbalan (reward)?
4. Bagaimana caranya agar individu betah dalam organisasi?

Untuk soal pertama, praktisi teori Maslow akan mengatakan tingkat kebutuhan terendah
yang belum terpenuhi yang akan merangsang perilaku karyawan dalam organisasi. David
McClelland mengusulkan tiga motif kebutuhan, yakni: afiliasi (sama dengan kebutuhan
sosial Maslow), kekuasaan (keinginan untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang
lain), dan pencapaian prestasi (keinginan untuk memenuhi kegiatan yang bernilai).
McClelland tidak mengatakan bahwa ketiga motif itu berada dalam hirarki yang sama
dalam diri setiap orang. Ia mengusulkan bahwa lebih dari satu kebutuhan dapat menjadi
dominan pada saat yang sama.
Untuk soal kedua, McClelland telah melakukan banyak riset dan mengusulkan tiga jawaban,
yakni:

1. Bagi individu yang memiliki motif afiliasi tinggi, sebaiknya diberi kesempatan untuk
bertugas dalam kelompok yang dipilih sendiri. Kembangkanlah program kompensasi
lebih berdasarkan kelompok daripada produktivitas individual.
2. Bagi individu dengan motif kekuasaan yang tinggi, sebaiknya diberi wewenang atas
orang lain yang disesuaikan dengan derajat keterampilan yang mereka miliki.
3. Bagi individu dengan motif pencapaian prestasi yang tinggi, hendaknya ditentukan
bersama dengan mereka sasaran dengan tingkat kesulitan yang sedang saja. Berikan
tanggung jawab untuk menyelesaikan sasaran denga cara mereka sendiri dan
pastikan bahwa mereka mendapatkan cukup pengetahuan tentang kemajuan mereka
melalui sistem umpan balik yang baik.

Pakar motivasi lain bernama Frederick Herzberg muncul untuk meneruskan karya Maslow.
Herzberg mengumpulkan data mengenai sikap kerja karyawan di ratusan perusahaan. Dari
riset itu, ia menarik kesimpulan bahwa individu mempunyai dua kategori kebutuhan yang
mempengaruhi kepuasan atau ketidakpuasan dalam pekerjaan. Faktor-faktor yang
menyebabkan kepuasan kerja berbeda dan terpisah dari faktor-faktor yang menyebabkan
ketidakpuasan kerja. Kategori pertama disebut kebutuhan hygiene. Kebutuhan ini bila tidak
terpenuhi akan menimbulkan ketidakpuasan kerja. Kebutuhan ini diandaikan harus
dipelihara untuk mencegah terjadinya ketidakpuasan kerja. Faktor pemuas kebutuhan ini
antara lain uang, status, perlakuan, dan keamanan. Kebutuhan kedua yang sungguh
merupakan motivasi adalah pemuasan yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri.
Jika ingin memotivasi orang pada pekerjaannya, Herzberg menyarankan untuk
menekankan pada hal-hal yang berhubungan dengan kerja itu sendiri atau hasil langsung
yang diakibatkannya, misalnya: peluang promosi, pertumbuhan personal, pengakuan,
tanggung jawab, dan prestasi. Pemuasan kategori pertama hanya berguna untuk mencegah
ketidakpuasan kerja dan tidak dapat dipakai untuk menciptakan kepuasan kerja. Bagi
Herzberg, ketiadaan ketidakpuasan belum tentu berarti ada kepuasan.

Untuk soal ketiga, Herzberg masih menawarkan konsep yang disebut pemerkayaan
pekerjaan. Caranya adalah menanyakan kepada karyawan yang telah diperkaya
pekerjaannya tentang fungsi manajemen apa yang kini dikerjakan oleh atasannya, yang ia
sendiri ingin dan dapat mengerjakannya. Kemudian delegasikan fungsi itu kepadanya.
Pemerkayaan pekerjaan ini mencakup sekaligus tambahan pekerjaan dan tanggung jawab
yang bukan hanya diserahkan begitu saja.

Metode lain yang sangat populer dalam menjawab soal ketiga ini adalah yang disebut
Manajemen Berdasarkan Tujuan(Management by Objectives/MBO). Metode ini
menawarkan empat langkah yang harus ditempuh, yakni:

1. Menetapkan sasaran bersama-sama. Di sini manajer meminta setiap karyawan


untuk menentukan sasaran yang ingin ia capai dalam jangka tertentu. Manajer
sendiri secara terpisah juga mengidentifikasi sasaran yang harus dicapai
karyawannya. Kemudian kedua versi sasaran dipertemukan untuk disusun daftar
gabungan.
2. Merencanakan tindakan. Manajer dan karyawan berembug untuk merumuskan
tindakan apa yang akan dipakai untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Di
sini manajer tentu dapat berperan lebih untuk merumuskan tindakan-tindakan
strategik. Namun cara penyampaian harus sedemikian rupa sehingga hasil
rembukan tetap tampak sebagai hasil kerja sama. Jika orang merasa dihargai, maka
mereka akan mengumpulkan banyak energi untuk melaksanakan pekerjaaannya.
3. Penerapan. Langkah ini meliputi pelaksanaan dari tindakan yang telah direncanakan
untuk mencapai sasaran yang telah disetujui bersama.
4. Pengkajian. Pada akhir jangka waktu pelaksanaan, adakan pertemuan dengan
karyawan untuk membandingkan sasaran yang direncanakan dengan hasil nyata
yang tercapai. Bila sasaran tercapai, karyawan patut diberi penghargaan yang
memadai. Jika tidak tercapai, penting untuk dicari sebab-sebab masalahnya.

Metode MBO mengandung filosofi manajemen yang berasumsi bahwa ada daya tarik nyata
dalam individu jika mereka menentukan sendiri sasaran kerjanya. Kekuatan utama terletak
dalam sasaran yang disusunya, bukan pada atasan.

Untuk menjawab soal terakhir, kita menuju teori yang disebut teori
Penguatan (reinforcement theory) yang telah berkembang menjadi strategi bernama
Modifikasi Perilaku. Teori ini berseberangan dengan MBO. MBO merupakan pendekatan
kognitif yang menekankan bahwa sasaran individu mengarahkan tindakannya. Sedangkan
dalam teori Penguatan, kita mempunyai pendekatan perilaku (behavioristik), yang melihat
penguatanlah yang mengkondisikan perilaku. Teori ini menawarkan tiga langkah, yakni:

1. Menetapkan sasaran. Ini sama dengan langkah pertama MBO. Teori Penguatan
menggarisbawahi bahwa sasaran haruslah dapat diukur.
2. Memberi umpan balik. Langkah ini harus diambil secara efektif oleh manajer. Teori
ini menekankan bahwa setiap saat yang diinginkan, karyawan sebaiknya tahu
bagaimana kemajuan mereka menuju sasaran, tindakan untuk mengoreksi diri dapat
diambil secepat mungkin.
3. Memberikan imbalan tepat waktu. Imbalan yang dalam praktek terbukti paling
penting tetapi juga paling tidak dimanfaatkan oleh manajer, adalah pengakuan.
Sudah sering terdengar keluhan karyawan bahwa manajer mereka seakan tidak tidak
tahu semua hal baik yang telah dikerjakan mereka. Tetapi begitu ada kesalahan,
mereka langsung mendapat kritik atau celaan. Dalam jangka pendek, celaan
mungkin dapat menjadi motivator sementara. Tetapi biasanya celaan cenderung
memiliki sejumlah konsekuensi disfungsional bagi organisasi dalam jangka panjang.
Orang butuh motivasi, bukan celaan.

Jika manajer mengharapkan karyawan untuk tidak suka bekerja untuknya dan dengan
demikian menghindari semua tanggung jawab, maka pola kepemimpinan yang sangat
memaksa dan mengendalikan yang kemungkinan diterapkan oleh manajer, akan
menciptakan ramalan pemenuhan-diri, di mana pekerja akan termotivasi melakukan
pekerjaan seminim mungkin. Sebaliknya, jika manajer mengharapkan karyawan mereka
untuk mencari tanggung jawab dan mampu mengarahkan-diri ke sasaran yang
mengandung imbalan, itu pun dapat menciptakan ramalan pemenuhan-diri. Inilah dugaan
yang terkandung dalam Teori X dan Teori Y dari McGregor. Perangkat pengharapan
terakhir, Teori Y, pada mulanya dikembangkan dari teori Hirarki Kebutuhan Maslow, dan
sangat mendasari gagasan perkayaan pekerjaan dan MBO. Dari uraian di atas, tampak
benang merah antara teori yang satu dengan yang lain. Semua teori motivasional ini saling
melengkapi dan dapat dipergunakan sesuai dengan keperluan, situasi, dan kondisi
organisasi yang bersangkutan.

4. KESIMPULAN: PRO DAN KONTRA TEORI ABRAHAM MASLOW


Dari sekian banyak teori motivasional yang ada, mungkin teori Hirarki Kebutuhan Maslow
yang paling luas dikenal. Teori ini mewariskan pesan bagi kita bahwa begitu orang melewati
tingkat kebutuhan tertentu, ia tidak lagi terdorong oleh motivasi tingkat di bawahnya. Hal
ini memberikan pengertian agar seorang manajer atau pemimpin atau motivator dalam
organisasi hendaknya mengenal apa yang dibutuhkan oleh bawahannya. Kebutuhan
seorang buruh produksi harian dengan karyawan staff manajerial tentu berbeda. Untuk
memberikan motivasi yang dapat meningkatkan performa kepada keduanya, seorang
motivator harus memberikan treatment yang berbeda sesuai dengan kebutuhan mereka.
Bilamana seorang karyawan mempunyai gaji dan keamanan kerja yang dapat memenuhi
kebutuhan fisiologis dan rasa amannya, maka hal itu tidak lagi akan memberikan motivasi.
Sama halnya kita tidak akan meresahkan kebutuhan bernapas, kecuali kita mempunyai
masalah dalam organ pernapasan kita.

Hirarki Kebutuhan Maslow penting bagi kita karena membantu menjelaskan mengapa gaji
tinggi, keuntungan yang baik, dan keamanan kerja tidak selamanya dapat memotivasi
kinerja. Dengan menelaah apa yang menjadi kebutuhan karyawan dan memberikan
pemuasan yang tepat sasaran, seorang motivator benar-benar telah mengelola motivasi.
Mengelola motivasi berarti mengajak orang untuk melakukan sesuatu yang kita inginkan
untuk dilaksanakan, kapan dan bagaimana itu dilakukan, karena orang ingin
melakukannya.

Hendaknya hirarki kebutuhan Maslow tidak dilihat secara kaku dan mutlak. Batas-batas
antara tingkatan yang satu dengan yang lain tidak terlampau jelas dan lebih menunjukkan
saling tumpang tindih. Tidak bisa dipastikan dengan kaku bahwa kebutuhan rasa aman
hanya akan muncul setelah kebutuhan akan makanan terpuaskan sepenuhnya. Kebanyakan
orang dalam masyarakat kita telah mampu memuaskan sebagian besar kebutuhan dasariah
mereka kendati belum dalam arti sepenuh-penuhnya. Yang mau ditekankan adalah bahwa
begitu suatu tingkat kebutuhan terpuaskan, maka kebutuhan tersebut tidak lagi akan
memiliki pengaruh yang berarti pada motivasi.

Sebagaimana lumrahnya perkembangan suatu teori, tesis Maslow juga mengundang


sejumlah antitesis. Itulah dinamika dan dialektika ilmu pengetahuan. Sejumlah kalangan
melihat bahwa teori Maslow, kendati tampak sah bagi banyak orang, namun masih harus
dibuktikan secara empiris. Dalam kenyataannya, sulit sekali untuk memisahkan dan
mengukur kebutuhan itu. Urutan hirarki spesifik tidak sama bagi semua orang. Juga tidak
ada penjelasan kapan suatu kebutuhan sudah cukup terpenuhi. Dan mungkin ada beberapa
kebutuhan yang dominan dalam diri seseorang pada saat yang sama.
Manusia memang makhluk yang dinamis dan multidimensional. Semua teori ilmu
pengetahuan tentang manusia mesti berhadapan dengan kenyataan itu. Dari kenyataan ini,
orang melihat bahwa teori Maslow semestinya didukung lagi dengan bukti-bukti empiris
yang lebih banyak. Hingga saat ini belum cukup bukti yang jelas yang menunjukkan bahwa
kebutuhan-kebutuhan manusia dapat dikategorikan ke dalam lima kelompok yang berbeda
atau berada pada suatu hirarki. Sejumlah ahli menjadi ragu karena hasil penelitian-
penelitian memberikan hasil yang berbeda; beberapa penelitian mendukung, sedangkan
yang lainnya menolak. Wahba dan Bridwell (1976) menyimpulkan suatu paradoks untuk
teori Maslow: bahwa teori ini diterima luas, tapi tidak banyak didukung oleh bukti riset.

Patut disayangkan bahwa bagian terbesar dari hasil-hasil riset tersebut dicapai dari studi-
studi yang tidak menguji teori Maslow secara tepat. Evaluasi di atas menunjukkan sejumlah
keterbatasan yang lumrah pada suatu teori ilmiah. Namun secara umum dapat dikatakan
bahwa teori Maslow telah meletakkan batu pertama untuk penelitian struktur individu
terutama menyangkut apa yang lebih mendorong perilaku tertentu dalam organisasi.
Sumbangan Maslow tidak sedikit untuk perkembangan psikologi organisasi. Bila ditinjau
lebih khusus, evaluasi atau riset yang menghasilkan kesimpulan yang tidak mendukung
teori bisa saja berangkat dari pemahaman yang tidak komprehensif atas teori dan jalan
pikiran Maslow. Tidak jarang terjadi, dalam banyak kasus penelitian, teori yang baik gagal
dibuktikan karena metode dan aplikasi riset yang buruk. Tidak adanya keberhasilan sering
disebabkan oleh salah pengertian teori, atau penerapan buruk konsep motivasi yang baik.

Dalam buku Motivation and Personality, Maslow berkali-kali mengingatkan agar jangan
sesekali memutlakkan kelima tingkat kebutuhan atau membedakannya secara tajam dan
kaku. Kiranya Maslow sepenuhnya menyadari sejak awal bahwa berbicara tentang struktur
kepribadian manusia yang dinamis tidak segampang membalikkan telapak tangan.

Untuk memahami, menerima, dan menerapkan teori yang hingga kini masih menggema ini,
kita harus memahami sejumlah kualifikasi lanjutan agar konsep kita menjadi lebih
komprehensif.

Pertama, mengingat teori Maslow merupakan suatu teori umum tentang kebutuhan
manusia, maka ketika diterapkan kepada manusia tertentu (dengan budaya tertentu) tentu
terdapat kekecualian-kekecualian dalam pengurutan umum hirarki yang ada. Ada orang
tertentu yang tidak pernah berkembang melampaui tingkatan pertama atau kedua,
sedangkan ada pula orang lain yang demikian terpukau oleh kebutuhan tingkat tinggi
sehingga kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah tidak menarik bagi mereka.

Kedua, rantai kausatif tidak selalu berlangsung dari stimulus-kebutuhan-perilaku.


Sekalipun Maslow dalam tesisnya menyatakan bahwa apabila seseorang tidak dapat
memenuhi dua macam kebutuhannya, maka ia lebih menginginkan pemenuhan kebutuhan
yang lebih mendasar. Nyatanya, mungkin tindakan-tindakannya tidak sesuai dengan
keinginannya karena ideal, standar sosial, norma, dan tugas-tugas dapat mempengaruhi
dirinya.
Ketiga, suatu tindakan jarang sekali dimotivasi oleh sebuah kebutuhan tunggal. Setiap
tindakan cenderung disebabkan oleh berbagai macam kebutuhan. Di lain sisi, dua
kebutuhan yang sama tidak selalu akan menyebabkan timbulnya reaksi yang sama pada
setiap individu. Umumnya dapat kita lihat bahwa individu-individu dapat mengembangkan
tujuan-tujuan substitut ketika pencapaian langsung terhadap suatu kebutuhan terhalangi.

Keempat, perlu disadari bahwa banyak di antara tujuan yang diupayakan oleh manusia
merupakan tujuan-tujuan jauh dan berjangka panjang yang hanya dapat dicapai melalui
suatu seri langkah dan sarana. Bila dalam jangka pendek seseorang tidak menampakkan
minat pada tujuan tertentu belum tentu bahwa ia tidak membutuhkannya. Menyadari hal
ini, lagi-lagi ditegaskan betapa besar misteri yang meliputi kepribadian manusia. Kata
pemeo, dalamnya lautan bisa diduga, dalamnya hati manusia sungguh tak dinyana.
Barangkali misteri manusia in jugalah yang membatasi semua teori tentang manusia.

Seorang ilmuwan bernama Craig Pinder memberikan jalan tengah atas dua kubu pendapat
yang pro-kontra sebagai berikut:
“Teori Maslow tetap sangat populer di kalangan para manajer dan mereka yang
mempelajari perilaku organisasi kendati tidak banyak studi yang secara resmi dapat
mengkonfirmasi atau menolaknya.... Ada kemungkinan bahwa dinamika yang terimplikasi
pada teori Maslow tentang kebutuhan bersifat terlalu kompleks untuk diterapkan dan
dikonfirmasi oleh riset ilmiah. Jika demikian halnya, maka kita tidak pernah mungkin
mendeterminasi berapa valid teori tersebut -atau secara tepat- aspek mana sajakah dari
teori tersebut bersifat valid, dan aspek mana yang tidak valid.”

Sekalipun tidak banyak riset yang secara jelas mendukung teori ini, kita tetap dapat
menarik pelajaran berharga bagi para manajer. Khususnya dapat dikatakan bahwa suatu
kebutuhan yang terpenuhi mungkin akan kehilangan potensi atau daya motivasionalnya.
Oleh karena itu, sebagai implikasi atas teori ini, para manajer dianjurkan untuk memotivasi
para karyawan mereka dengan jalan merancang program-program atau praktek-praktek
yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang muncul atau kebutuhan-
kebutuhan yang belum terpenuhi.

Anda mungkin juga menyukai