Kasus adalah seorang anak laki-laki usia 16 tahun 4 bulan, dengan BB 34 kg, TB 147
cm. Penderita didiagnosis LLA B-Lineage risiko tinggi, neutropenia dan gizi kurang.
Diagnosis pada penderita ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan laboratorium berupa pemeriksaan sitokimia dari aspirasi sumsum tulang.
Pemeriksaan morfologi menggunakan klasifikasi French American British (FAB).
Immunophenotyping juga menjadi alat diagnostik yang utama untuk klasifikasi,
prognosis, penanganan penderita, dan monitoring penyakit leukemia akut. Dari
anamnesis, didapatkan keluhan pucat sejak tiga minggu sebelum masuk rumah sakit
disertai dengan keluhan lemah badan. Keluhan ini terus menetap dan membuat
aktifitas dari penderita terganggu. Hal inilah yang mendorong orangtua penderita
untuk datang membawa berobat ke RS Prof. R. D. Kandou Manado. Saat dijadikan
kasus, tidak ditemukan demam, keluhan pucat dan lemah badan pada penderita.
Pada pemeriksaan fisik saat masuk didapatkan BB 34 kg dengan TB 147 cm.
Berdasarkan kurva CDC 2000 anak laki-laki usia 2 hingga 20 tahun didapatkan BB/TB
dibawah persentil 5 dengan kesan gizi kurang. Penderita tampak anemis, didapatkan
adanya pembesaran hepar sebesar 3-3 cm bawah arkus costa dan limpa teraba
membesar dengan ukuran Schuffner III. Pada ekstremitas tampak pucat, serta tidak
didapatkan adanya manifestasi perdarahan pada penderita misalnya timbulnya
petekie, dan keluhan lain sepertinya munculnya memar dan kebiruan yang timbul
secara spontan di kulit, teraba hangat dengan capillary refill time (CRT) <2 detik.
Pada pemeriksaan laboratorium awal saat masuk Rumah Sakit didapatkan
hemoglobin 3,8 g/dl, hematokrit 11,5%, leukosit 3960/L, eritrosit 1,27 x 106/L,
trombosit 21 x 103/L, MCH 29,9 pg, MCHC 33,1 g/dl, MCV 90,5 fL, SGOT 5 U/L,
SGPT 16 U/L, ureum darah 26 mg/dL, kreatinin darah 0,6 mg/dL, klorida darah 98
mEq/L, kalium darah 3,7 mEq/L, natrium darah 136 mEq/L.
Hasil laboratorium pada tanggal 21 September 2017 didapatkan hemoglobin
7,4 g/dl, hematokrit 21,4%, leukosit 6570/L, eritrosit 2,37 x 106/L, trombosit 30 x
103/L, MCH 31,1 pg, MCHC 34,4 g/dl, MCV 90,4 fL. Pada pemeriksaan rontgen
toraks didapatkan dalam batas normal. Pada pemeriksaan apusan darah tepi
didapatkan kesan gambaran darah tepi menunjukkan gambaran eritrosit normositik
normoblast, anisositosis,normoblast positif. Leukosit jumlah meningkat, MN > PMN,
ditemukan lymphoblast, trombosit kesan kurang, sulit dievaluasi, kesan suspek
1
leukemia akut saran dilakukan Bone Marrow Puncture (BMP) dan
immunophenotyping. Saat itu penderita diberikan terapi simptomatis, tranfusi PRC
dan trombosit sesuai kebutuhan. Di dukungan nutrisi suportif berupa diet nasi dengan
lauk pauk berdasarkan Recommended Daily Allowance (RDA).
Hasil pemeriksaan gambaran sumsum tulang pada tanggal 23 September 2017
menunjukkan predominan limfoblast dengan morfologi limfoblast. Hasil
immunophenotyping menunjukkan gating pada daerah blast tampak positif dengan
HLA-DR, CD34, CD19, CD10. Kesan B-Lineage. Penderita didiagnosis sebagai LLA
B-Lineage risiko tinggi. Penderita mulai dilakukan kemoterapi tanggal 28 September
2017 berdasarkan protokol leukemia limfoblastik akut Indonesia 2013 risiko tinggi.
Penderita kemudian direncanakan untuk mulai kemoterapi dengan
sebelumnya melengkapi pemeriksaan penunjang sebelum diberikan kemoterapi.
Hasil pemeriksaan ekokardiografi didapatkan intrakardiak normal, tidak ada
kontraindikasi untuk pemberian obat sitostatika. Pemeriksaan foto toraks dalam batas
normal. Konsultasi ke bagian gigi dan mulut hasilnya didapatkan pulpitis reversible
dan direncanakan untuk penambalan gigi. Konsul THT (telinga hidung tenggorok)
didapatkan kesan normal. Penderita juga telah dilakukan pemeriksaan uji tuberkulin,
didapatkan hasil 0 mm. Pada saat itu pasien direncanakan untuk dilakukan
kemoterapi setelah penambalan gigi.
Leukemia limfoblastik akut merupakan penyakit keganasan sel darah ditandai
infiltrasi progresif yang abnormal dari sel limfoid imatur (sel limfoblas) dari sumsum
tulang dan organ limfatik.1 Di Amerika Serikat, insiden LLA adalah 3-4 kasus/100.000
anak kulit putih. Di Indonesia, sampai insiden LLA di bawah usia 15 tahun adalah 4-
4,5 kasus/ 100.000 anak dengan puncak kejadian pada usia 2-5 tahun. Diperkirakan
ada sekitar 3.000 kasus LLA baru anak setiap tahunnya.2
Banyak faktor risiko yang diduga terlibat dalam terjadinya leukemia, namun
penyebab pasti sampai saat ini masih belum jelas. Faktor risiko terjadinya leukemia
dapat berupa predisposisi genetik dan faktor lingkungan. Beberapa penyakit herediter
yang meningkatkan risiko leukemia antara lain sindroma Down, sindroma Bloom,
ataksia-telangiektasia, dan sindroma Fanconi. Faktor lingkungan yang berperan
seperti radiasi pengion, obat-obatan, paparan cat atau bensin, listrik tegangan tinggi,
infeksi virus dan paparan pada ibu saat hamil (pestisida, rokok, alkohol dan obat-
obatan) juga dapat mempengaruhi terjadinya leukemia. Faktor pranatal seperti
paparan radiasi ionisasi, merokok, minum alkohol, menggunakan mariyuana atau
2
paparan pestisida saat kehamilan sementara faktor pasca natal seperti paparan
radiasi dosis tinggi, bahan kimia (misalnya benzena) dan pestisida.3,4 Pada kasus ini
tidak didapatkan faktor genetik maupun lingkungan.
Nwannadi dkk5 melaporkan bahwa gejala klinis yang paling banyak dilaporkan
berupa rasa lemas pada tubuh dan disertai dengan adanya demam lama yang sumer-
sumer tanpa adanya fokus infeksi yang jelas. Anak umumnya malas beraktivitas dan
cenderung lebih sering berbaring di tempat tidur. Keluhan lain yang dapat ditemukan
adalah adanya nyeri pada tulang, pucat dan perdarahan spontan. Pada beberapa
penderita dapat ditemukan keluhan berupa kuning pada tubuh (ikterik) dan adanya
pembengkakan pada tungkai. Pada tabel 1 diperlihatkan gejala dan tanda klinis yang
sering didapatkan pada anak dengan LLA, dimana pucat dan demam merupakan
gejala klinis yang paling sering ditemukan setelah lemas dan nyeri pada tulang.
Tabel 1. Gejala dan tanda klinis pada penderita LLA dengan modifikasi.5
Gejala dan tanda klinis Persentase
Lemas (weakness) 100
Nyeri pada tulang 97,1
Pucat 94,1
Demam 94,1
Limfadenopati 41,2
Splenomegali 29,4
Penurunan berat badan 29,4
Hepatomegali 20,6
Perdarahan 20,6
Pembengkakan pada tungkai 11,8
Kuning pada tubuh (ikterik) 8,8
Pada kasus ini, saat penderita pertama kali dirawat dengan susp. LLA pada,
pasien mengalami pucat yang dialami sejak ± 1 tahun sebelum masuk rumah sakit.
Pucat oleh karena anemia berhubungan dengan penurunan aktivitas eritropoietik
yang tidak diimbangi dengan produksi eritropoietin yang adekuat sehingga dapat
diasumsikan anemia pada LLA terjadi karena supresi hematopoiesis normal di
sumsum tulang karena infiltrasi sel blas.6,7 Pucat pada anak selain didapatkan
melalui pemeriksaan fisik, juga ditegakkan melalui hasil pemeriksaan laboratorium
3
yang abnormal yaitu kadar hemoglobin (Hb) kurang dari normal berdasarkan usia.8
Anemia merupakan suatu kondisi dimana konsentrasi hemoglobin atau jumlah sel
darah merah di bawah normal. Batas yang membedakan anemia dari kondisi normal
untuk anemia berat. Salah satu studi seperti yang telah dikutip oleh Janus dkk 11
menunjukkan bahwa temuan pucat saat pemeriksaan fisik pada konjungtiva, lidah,
telapak tangan dan bantalan kuku mempunyai sensitifitas 93% dan spesifisitas 57%
untuk mendiagnosis anemia pada penderita dengan kadar Hb kurang dari 5 g/dL.
kegagalan sumsum tulang. Kadar hemoglobin dan trombosit umumnya rendah. 1,12
Dari penelitian kohort retrospektif oleh Teuffel dkk7, didapatkan Hb rata-rata saat
diagnosis LLA adalah 8 g/dL. Pada pasien ini nilai Hb saat masuk adalah 8,3 g/dL.
perdarahan.12
Pucat, petekie dan ekimosis di kulit dan membran mukosa disebabkan oleh
trombositopenia, koagulasi intravaskular disseminata (DIC) atau kombinasi keduanya.
Pada pasien ini ditemukan trombositopenia. Trombositopenia (trombosit
<100.000/μL) terjadi pada 80% kasus LLA, sementara perdarahan ditemukan pada
10% - 45% kasus LLA pada anak.13,14 kadar trombosit saat masuk pada pasien ini
4
< 100.000/ μL. Tapi tidak ditemukan adanya bukti-bukti perdarahan dari kasus
tersebut yaitu tidak ditemukan petekie dan bukti perdarahan spontan lainnya seperti
memar dan mimisan.
Pada diagnosis LLA dikenal juga pembagian menjadi LLA risiko biasa dan
risiko tinggi yang berhubungan dengan angka harapan hidup. Berdasarkan protokol
nasional, penderita LLA dimasukkan dalam kategori risiko tinggi bila usia <1 tahun
atau >10 tahun, jumlah leukosit >50.000/μL, terdapat massa mediastinum >2/3
diameter rongga thoraks, terdapat leukemia sistem saraf pusat (SSP), leukemia sel T
dan jumlah sel blas setelah 1 minggu diterapi lebih dari 1000/mm 3. Pengelompokan
5
berdasarkan risiko ini juga berhubungan dengan protokol pengobatan. 1 Pada kasus
ini, penderita masuk dalam kategori risiko tinggi.
rumatan.1,2,18
6
relaps, tapi dengan peningkatan insiden toksisitas, termasuk nekrosis avaskular,
infeksi, dan reduksi pertumbuhan linear. Antrasiklin yang digunakan dapat berupa
doksorubisin atau daunorubicin, dengan efikasi dan toksisitas yang sama dari
randomized trials.21 Pemantauan klinis darah tepi, fungsi hati, fungsi ginjal, fungsi
jantung dan kadar elektrolit perlu dilakukan sebelum dimulainya kemoterapi dan
setelah pemberian kemoterapi secara berkala. Pada penderita ini, pemantauan hasil
laboratorium fungsi ginjal, fungsi hati dan elektrolit dalam batas normal. Selama
perawatan, efek samping pemberian sitostatika yang ditemukan pada pasien ini
adalah efek imunosupresi, di mana penderita mengalami neutropenia pada perawatan
minggu pertama fase induksi hari ketiga, sehingga penderita harus dimasukkan ke
ruang isolasi, agar tidak banyak terpapar dengan dunia luar.
Studi oleh Ariawati dkk18 di Jakarta mengenai toksisitas kemoterapi LLA pada
fase induksi dengan metotreksat, penelitian bersifat retrospektif deskriptif
menunjukkan semua pasien LLA pada anak yang terdiri dari 12 anak risiko tinggi, dan
29 anak risiko biasa dengan median usia 5,5 tahun didapatkan remisi setelah fase
induksi didapatkan 86,2% pada risiko biasa dan 75% pada risiko tinggi. Pada fase
induksi penurunan terendah terjadi setelah pemberian kemoterapi pertama dan
kedua. Pada fase profilaksis penurunan kadar hemoglobin (Hb), leukosit, ANC,
trombosit yang terendah terjadi bervariasi yaitu setelah pemberian metotreksat (MTX)
1 gr/m2 yang pertama, kedua dan ketiga. Peningkatan kadar SGOT/SGPT yang
tertinggi yaitu 7-12 kali normal terjadi pada fase induksi minggu kedua. Pada pasien
ini didapatkan kadar SGPT 109 U/l dan SGOT 9 U/l pada pemeriksaan laboratorium
saat pasien berada dalam fase induksi minggu ketiga.
Neutropenia adalah peristiwa yang relatif sering terjadi pada pasien anak- anak
yang menerima pengobatan kanker. Neutropenia dapat terjadi akibat gangguan
pembentukan neutrofil, pergeseran neutrofil ke jaringan, meningkatnya konsumsi
neutrofil serta meningkatnya destruksi neutrofil di sirkulasi. Ini adalah kondisi yang
berpotensi mengancam jiwa dan memerlukan intervensi medis yang segera.
Meskipun kemajuan besar dalam pencegahan dan pengobatan, neutropenia tetap
menjadi salah satu komplikasi yang paling mengkhawatirkan dari kemoterapi kanker
dan merupakan salah satu penyebab utama morbiditas. 22,23 Manajemen inisial
neutropenia pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti karakteristik pasien,
7
presentasi klinis, infrastruktur lokal untuk mendukung model terapi, ketersediaan obat
dan biaya, dan data epidemiologi lokal, termasuk pola resistensi. Secara klinis pada
penderita dikategorikan sebagai neutropenia risiko rendah karena lamanya
neutropenia yang ≤ 3 hari, secara klinis tidak ditemukan infeksi berat, serta tidak
disertai tanda- tanda timbulnya sepsis atau syok. Dengan risiko rendah seperti ini
maka tidak diperlukan pemberian antiobiotik.
Alasan utama untuk kelangsungan hidup yang rendah pada penderita leukemia
limfoblastik akut di negara-negara berkembang adalah penolakan pengobatan atau
putus berobat. Hal ini dapat terkait dengan status sosial ekonomi orangtua dan sikap
dari penyedia layanan kesehatan. Data dari Moster Dkk, 164 penderita dengan LLA
didapatkan 35% menolak atau putus pengobatan, 23% mengalami kematian yang
terkait dengan proses pengobatan, 22% menderita leukemia progresif atau kambuh
dan 20% sembuh dengan bebas kambuh selama 5 tahun. Kebanyakan penderita
dengan sosioekonomi rendah tidak mampu membiayai pengobatan atau sering
8
dan tim kesehatan. Pentingnya edukasi dan dukungan mental bagi keluarga penderita
mengenai pengetahuan yang baik tentang penyakit leukemia sehingga orangtua
dapat memahaminya. Perlu diperhatikan kepatuhan minum obat, pemberian nutrisi
yang adekuat, pemberian imunisasi (booster), dan pentingnya kontrol berkala.
Keadaan ekonomi pada keluarga cukup sehingga tidak menghalangi orangtua untuk
sedapat mungkin memenuhi kebutuhan dasar “asuh” berupa penyediaan makanan
sederhana yang sehat setiap hari. Dalam hal kebutuhan dasar “asah” sejak bayi,
keluarga rajin menyediakan waktu untuk anaknya. Lingkungan yang paling dekat
dengan anak dan sangat penting adalah keluarga. Dukungan dari keluarga terutama
orangtua sangatlah penting dalam proses kesembuhan penderita.
Terapi pada penderita LLA akan mempengaruhi hasil luaran pada penderita
100.000/mm3, leukemia dengan fenotip sel T, respon lambat terhadap terapi awal.
Abnormalitas kromosom termasuk hipodiploidi, kromosom Philadelphia, kelainan
11q23 dan translokasi gen t(4;11), cenderung memiliki prognosis yang lebih buruk.
Karakteristik yang diharapkan pada luaran yang baik adalah respon pesat terhadap
9
Permatasari dkk31 melakukan penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap luaran dari pengobatan
LLA. Angka remisi pada penelitian ini rendah (78,2%) dibandingkan dengan data di
Indonesia yang bisa mencapai 98%. Angka kematian selama fase induksi pada LLA
risiko biasa mencakup 12,3 %. Hal ini disebabkan karena kekurangan dari terapi
suportif dan fasilitas ruangan isolasi ketika neutropenia yang berhubungan dengan
infeksi dan mahalnya obat kemoterapi. Pada penelitian ini didapatkan juga bahwa usia
1-2 tahun lebih tinggi angka harapan hidupnya dibandingkan usia 10-18 tahun.
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Widiaskara dkk32 di RSU dr.
Soetomo Surabaya, didapatkan pasien LLA dengan risiko tinggi mempunyai angka
kematian 2 kali lebih tinggi daripada risiko standar, dengan penyebab kematian
tersering adalah infeksi (76%).
Studi meta-analisis oleh Veisani dkk,33 menunjukkan five years survival pada
anak dengan leukimia limfoblastik akut sebesar 71% dan pada anak dengan leukimia
mieloblastik akut sebesar 46%. Presentase ini juga berkaitan dengan kemungkinan
untuk terjadinya kekambuhan di masa mendatang dan memiliki luaran yang lebih
buruk pada penderita leukemia mieloblastik akut. (Level of evidence 2a, rekomendasi
A).
Penelitian oleh Yeoh dkk,32 menilai risiko relaps pada pasien LLA yang
mengalami penundaan terapi pada fase intensifikasi dan rumatan. Risiko relaps tidak
berbeda antara pasien dengan penundaan jangka panjang atau jangka pendek baik
secara kumulatif ataupun pada terapi fase intensifikasi (p = 0.68 dan p = 0.65).
Terdapat tendensi penurunan risiko relaps pada kelompok dengan penundaan terapi
jangka panjang pada fase rumatan (p = 0.07). Penundaan kemoterapi pada fase
intensifikasi dan rumatan lebih kurang sama dan paling banyak disebabkan oleh
10
rendahnya nilai ANC (33.3% dan 44.7%), infeksi berat diluar bakteremia (19.9% dan
11.3%), dan febril netropenia (19.1% dan 5.7%). Studi ini menunjukkan bahwa
penundaan kemoterapi yang diakibatkan oleh toksisitas obat tidak meningkatkan
risiko relaps pada pasien ALL. (Level of evidence 2b, rekomendasi B)
Untuk melihat luaran dari penderita LLA dengan keterlibatan SSP, Cohler
dkk,34 melakukan penelitian pada156 pasien LLA dan didapatkan hasil event free
survival dalam 24 bulan adalah 45%. Hal ini menunjukkan bahwa event free survival
penderita LLA dengan keterlibatan LCS masih rendah. (level of evidence 2c
rekomendasi B).
Studi oleh Hunger dkk,35 pada anak dan remaja antara tahun 1990-2005
menunjukkan five years survival rate yang meningkat antara tahun 1990-1994 dan
2000-2005 yaitu dari 83,7% ke 90,4%. Berdasarkan data dari National Cancer Institute
(NCI), usia adalah faktor risiko terpenting. Usia > 10 tahun menunjukkan prognosis
yang lebih buruk dibandingkan dengan usia antara 1-10 tahun. Jenis kelamin laki-laki
memiliki risiko relatif kematian 1,2-1,3 kali lebih besar dibandingkan dengan jenis
kelamin perempuan. Pada kasus ini, penderita terdiagnosis LLA risiko tinggi pada usia
16 tahun 4 bulan.
11
yang dapat mendukung proses pengobatan dan anak dapat mencapai tumbuh
kembang yang optimal dengan kualitas hidup yang baik.
Cancer.2015;62:1395-1402.
3. Yeoh A, Collins A, Fox K, Shields S, Ritchi P, Kirby M, et al. Treatment delay and the
risk of relapse in pediatric acute lymphoblastic leukimia. Pediatr Hematol Oncol.
2017;10:1-5.
12
DAFTAR PUSTAKA
IDAI. 2010:236-45.
4. Scelo G, Metayer C, Zhang L, Wiemels JL, Aldrich MC, Selvin S, dkk. Household
exposure to paint and petroleum solvents, chromosomal translocations, and
2009;7:1-10.
6. Hermiston ML, Mentzer WC. A practical approach to the evaluation of the anemic
7. Teuffel O, Stanulla M, Cario G, Ludwig WD, Rottgers S, Schafer BW, dkk. Anemia
and survival in childhood acute lymphoblastic leukemia. Haematologica.
2008;93(11):1652-7.
8. Nissenson AR, Goodnough LT, Dubois RB. Anemia. Arch Intern Med.
2003;163:1400-5.
13
9. OskiFA,BrugnaraC,NathanDG.Adiagnosticapproachtotheanemiapatient. In: Nathan
DG, Orkin SH, editors. Hematology at infancy and childhood. Edisi ke-5.
WB.saunders, 1998:375-80.
10.Diamond CA. Anemia. In: Hastings C, penyunting. The children’s hospital Oakland
hematology oncology handbook. St Louis. Mosby; 2002:161-69.
12.Cunha BA. Fever of unknown origin: clinical overview of classic and current
concepts. Infect Dis Clin N Am. 2007;21:867-915.
14.Davis AS, Viera AJ, Mead MD. Leukemia: an overview for primary care. Am Fam
Phys. 2014;89:731-8.
15.Silverman LB, Sallan SE. Acute lymphoblastic leukemia. In: Nathan DG, Orkin SH,
Ginsburg D, Look AT, penyunting. Nathan and Oski’s Hematology of infancy and
16.Morgolin JF, Rabin KR, Steuber CP. Acute Lymphoblastic Leukemia. In: Pizzo PA,
19.Hutter JJ. Childhood leukemia. Pediatr rev. 2010;31:234-41. 20.Pui CH, Evans
14
WE. Treatment of acute lymphoblastic leukemia. N Engl J Med.
lymphoblastic leukemia.
Pediatr Clin North Am. 2015;62:61-73. 22. Freifeld AG, Bow EJ, Sepkowitz KA,
practise guildeline for the use of antimicrobial agent in neutropenic patient with cancer:
2010 Update by the infectious disease society of America. Clin Infect Dis. 2011;52:56-
93.
23.De Naurois J, Novitzky-Basso I, Gil MJ, Marti FM, Cullen MH, Roila F. Management
of febrile neutropenia: ESMO Clinical Practise Guidelines. Annals of oncology.
2010;21(supplement 5);v252-6.
25.Agrawal AK, Chang PP, Feusner J. Twice weekly pneumocystis jiroveci pneumonia
prophylaxis with trimethoprim-sulfametoksasol in pediatric patients with acute
lymphoblastic leukemia. J Pediatr Hematol Oncol. 2011;33:1-4.
15
10. Hazar V, Gulzun T, Uygun V, Akcan M, Alphan K, Yesilipek A. Childhood Acute
Lymphoblastic Leukemia in Turkey: Factors Influencing Treatment and
Outcome: A Single Center Experience. J Pediatr Hematol Oncol. 2010;32:317-
22.
11. Pui CH, Relling MV, Downing JR. Acute lymphoblastic leukemia. N Engl J Med.
2004;350:1535-48.
31.Schrappe M, Hunger SP, Pui CH, Saha V, Gaynon PS, Baruchel A, dkk. Outcomes
after induction failure in childhood acute lymphoblastic leukemia. NEJM.
2012;366:1371-81.
32.Yeoh A, Collins A, Fox K, Shields S, Ritchi P, Kirby M, et al. Treatment delay and
the risk of relapse in pediatric acute lymphoblastic leukimia. Pediatr Hematol Oncol.
2017;10:1-5.Widiaskara IM, Bambang P, Ugrasena IDG, Ratwita M. Luaran
Pengobatan Fase Induksi Pasien Leukemia Limfoblastik Akut pada Anak di Rumah
Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya. Sari Pediatri. 2010;12:128- 34.
with acute
16
risk acute lymphoblastic leukemia do not have risk for overweight and obesity
compared to non-cancer peers : A report from the
Y. Prognosis leukemia
limfoblastik akut pada anak obes. Sari Pediatri. 2010;12:58-62. 40.Butturini AM,
Dorey FJ, Lange BJ, Henry DW, Gaynon PS, Fu C et al. Obesity and outcome in
pediatric acute lymphoblastic leukemia. J Clin Oncol.
Tschan C, dkk.
Low platelet counts after induction therapy for childhood acute lymphoblastic leukemia
are strongly associated with poor early response to treatment as measured by minimal
residual disease and are prognostic for treatment outcome. Haematologica
2012;97:402-9.
17