Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS KASUS

Kasus adalah seorang anak laki-laki usia 16 tahun 4 bulan, dengan BB 34 kg, TB 147
cm. Penderita didiagnosis LLA B-Lineage risiko tinggi, neutropenia dan gizi kurang.
Diagnosis pada penderita ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan laboratorium berupa pemeriksaan sitokimia dari aspirasi sumsum tulang.
Pemeriksaan morfologi menggunakan klasifikasi French American British (FAB).
Immunophenotyping juga menjadi alat diagnostik yang utama untuk klasifikasi,
prognosis, penanganan penderita, dan monitoring penyakit leukemia akut. Dari
anamnesis, didapatkan keluhan pucat sejak tiga minggu sebelum masuk rumah sakit
disertai dengan keluhan lemah badan. Keluhan ini terus menetap dan membuat
aktifitas dari penderita terganggu. Hal inilah yang mendorong orangtua penderita
untuk datang membawa berobat ke RS Prof. R. D. Kandou Manado. Saat dijadikan
kasus, tidak ditemukan demam, keluhan pucat dan lemah badan pada penderita.
Pada pemeriksaan fisik saat masuk didapatkan BB 34 kg dengan TB 147 cm.
Berdasarkan kurva CDC 2000 anak laki-laki usia 2 hingga 20 tahun didapatkan BB/TB
dibawah persentil 5 dengan kesan gizi kurang. Penderita tampak anemis, didapatkan
adanya pembesaran hepar sebesar 3-3 cm bawah arkus costa dan limpa teraba
membesar dengan ukuran Schuffner III. Pada ekstremitas tampak pucat, serta tidak
didapatkan adanya manifestasi perdarahan pada penderita misalnya timbulnya
petekie, dan keluhan lain sepertinya munculnya memar dan kebiruan yang timbul
secara spontan di kulit, teraba hangat dengan capillary refill time (CRT) <2 detik.
Pada pemeriksaan laboratorium awal saat masuk Rumah Sakit didapatkan
hemoglobin 3,8 g/dl, hematokrit 11,5%, leukosit 3960/L, eritrosit 1,27 x 106/L,
trombosit 21 x 103/L, MCH 29,9 pg, MCHC 33,1 g/dl, MCV 90,5 fL, SGOT 5 U/L,
SGPT 16 U/L, ureum darah 26 mg/dL, kreatinin darah 0,6 mg/dL, klorida darah 98
mEq/L, kalium darah 3,7 mEq/L, natrium darah 136 mEq/L.
Hasil laboratorium pada tanggal 21 September 2017 didapatkan hemoglobin
7,4 g/dl, hematokrit 21,4%, leukosit 6570/L, eritrosit 2,37 x 106/L, trombosit 30 x
103/L, MCH 31,1 pg, MCHC 34,4 g/dl, MCV 90,4 fL. Pada pemeriksaan rontgen
toraks didapatkan dalam batas normal. Pada pemeriksaan apusan darah tepi
didapatkan kesan gambaran darah tepi menunjukkan gambaran eritrosit normositik
normoblast, anisositosis,normoblast positif. Leukosit jumlah meningkat, MN > PMN,
ditemukan lymphoblast, trombosit kesan kurang, sulit dievaluasi, kesan suspek

1
leukemia akut saran dilakukan Bone Marrow Puncture (BMP) dan
immunophenotyping. Saat itu penderita diberikan terapi simptomatis, tranfusi PRC
dan trombosit sesuai kebutuhan. Di dukungan nutrisi suportif berupa diet nasi dengan
lauk pauk berdasarkan Recommended Daily Allowance (RDA).
Hasil pemeriksaan gambaran sumsum tulang pada tanggal 23 September 2017
menunjukkan predominan limfoblast dengan morfologi limfoblast. Hasil
immunophenotyping menunjukkan gating pada daerah blast tampak positif dengan
HLA-DR, CD34, CD19, CD10. Kesan B-Lineage. Penderita didiagnosis sebagai LLA
B-Lineage risiko tinggi. Penderita mulai dilakukan kemoterapi tanggal 28 September
2017 berdasarkan protokol leukemia limfoblastik akut Indonesia 2013 risiko tinggi.
Penderita kemudian direncanakan untuk mulai kemoterapi dengan
sebelumnya melengkapi pemeriksaan penunjang sebelum diberikan kemoterapi.
Hasil pemeriksaan ekokardiografi didapatkan intrakardiak normal, tidak ada
kontraindikasi untuk pemberian obat sitostatika. Pemeriksaan foto toraks dalam batas
normal. Konsultasi ke bagian gigi dan mulut hasilnya didapatkan pulpitis reversible
dan direncanakan untuk penambalan gigi. Konsul THT (telinga hidung tenggorok)
didapatkan kesan normal. Penderita juga telah dilakukan pemeriksaan uji tuberkulin,
didapatkan hasil 0 mm. Pada saat itu pasien direncanakan untuk dilakukan
kemoterapi setelah penambalan gigi.
Leukemia limfoblastik akut merupakan penyakit keganasan sel darah ditandai
infiltrasi progresif yang abnormal dari sel limfoid imatur (sel limfoblas) dari sumsum
tulang dan organ limfatik.1 Di Amerika Serikat, insiden LLA adalah 3-4 kasus/100.000
anak kulit putih. Di Indonesia, sampai insiden LLA di bawah usia 15 tahun adalah 4-
4,5 kasus/ 100.000 anak dengan puncak kejadian pada usia 2-5 tahun. Diperkirakan
ada sekitar 3.000 kasus LLA baru anak setiap tahunnya.2
Banyak faktor risiko yang diduga terlibat dalam terjadinya leukemia, namun
penyebab pasti sampai saat ini masih belum jelas. Faktor risiko terjadinya leukemia
dapat berupa predisposisi genetik dan faktor lingkungan. Beberapa penyakit herediter
yang meningkatkan risiko leukemia antara lain sindroma Down, sindroma Bloom,
ataksia-telangiektasia, dan sindroma Fanconi. Faktor lingkungan yang berperan
seperti radiasi pengion, obat-obatan, paparan cat atau bensin, listrik tegangan tinggi,
infeksi virus dan paparan pada ibu saat hamil (pestisida, rokok, alkohol dan obat-
obatan) juga dapat mempengaruhi terjadinya leukemia. Faktor pranatal seperti
paparan radiasi ionisasi, merokok, minum alkohol, menggunakan mariyuana atau
2
paparan pestisida saat kehamilan sementara faktor pasca natal seperti paparan
radiasi dosis tinggi, bahan kimia (misalnya benzena) dan pestisida.3,4 Pada kasus ini
tidak didapatkan faktor genetik maupun lingkungan.
Nwannadi dkk5 melaporkan bahwa gejala klinis yang paling banyak dilaporkan
berupa rasa lemas pada tubuh dan disertai dengan adanya demam lama yang sumer-
sumer tanpa adanya fokus infeksi yang jelas. Anak umumnya malas beraktivitas dan
cenderung lebih sering berbaring di tempat tidur. Keluhan lain yang dapat ditemukan
adalah adanya nyeri pada tulang, pucat dan perdarahan spontan. Pada beberapa
penderita dapat ditemukan keluhan berupa kuning pada tubuh (ikterik) dan adanya
pembengkakan pada tungkai. Pada tabel 1 diperlihatkan gejala dan tanda klinis yang
sering didapatkan pada anak dengan LLA, dimana pucat dan demam merupakan
gejala klinis yang paling sering ditemukan setelah lemas dan nyeri pada tulang.
Tabel 1. Gejala dan tanda klinis pada penderita LLA dengan modifikasi.5
Gejala dan tanda klinis Persentase
Lemas (weakness) 100
Nyeri pada tulang 97,1
Pucat 94,1
Demam 94,1
Limfadenopati 41,2
Splenomegali 29,4
Penurunan berat badan 29,4
Hepatomegali 20,6
Perdarahan 20,6
Pembengkakan pada tungkai 11,8
Kuning pada tubuh (ikterik) 8,8

Pada kasus ini, saat penderita pertama kali dirawat dengan susp. LLA pada,
pasien mengalami pucat yang dialami sejak ± 1 tahun sebelum masuk rumah sakit.
Pucat oleh karena anemia berhubungan dengan penurunan aktivitas eritropoietik
yang tidak diimbangi dengan produksi eritropoietin yang adekuat sehingga dapat
diasumsikan anemia pada LLA terjadi karena supresi hematopoiesis normal di

sumsum tulang karena infiltrasi sel blas.6,7 Pucat pada anak selain didapatkan
melalui pemeriksaan fisik, juga ditegakkan melalui hasil pemeriksaan laboratorium

3
yang abnormal yaitu kadar hemoglobin (Hb) kurang dari normal berdasarkan usia.8
Anemia merupakan suatu kondisi dimana konsentrasi hemoglobin atau jumlah sel
darah merah di bawah normal. Batas yang membedakan anemia dari kondisi normal

pada umumnya adalah nilai Hb dibawah -2 SD rata-rata populasi normal.9 Anemia


menyebabkan menurunnya kemampuan pengangkutan oksigen yang fisiologis di

dalam darah dan berkurangnya suplai oksigen ke jaringan. 10 Pucat memiliki


sensitivitas yang rendah untuk memprediksi anemia ringan, namun berkorelasi baik

untuk anemia berat. Salah satu studi seperti yang telah dikutip oleh Janus dkk 11
menunjukkan bahwa temuan pucat saat pemeriksaan fisik pada konjungtiva, lidah,
telapak tangan dan bantalan kuku mempunyai sensitifitas 93% dan spesifisitas 57%
untuk mendiagnosis anemia pada penderita dengan kadar Hb kurang dari 5 g/dL.

Hasil pemeriksaan darah tepi pada leukemia biasanya mencerminkan beratnya

kegagalan sumsum tulang. Kadar hemoglobin dan trombosit umumnya rendah. 1,12

Dari penelitian kohort retrospektif oleh Teuffel dkk7, didapatkan Hb rata-rata saat
diagnosis LLA adalah 8 g/dL. Pada pasien ini nilai Hb saat masuk adalah 8,3 g/dL.

Adanya demam lama tanpa sebab yang jelas, pucat, organomegali,


leukositosis dan trombositopenia mengarahkan dugaan penyebab anemia pada
penderita merupakan proses keganasan yang menyebabkan penurunan produksi
komponen darah. Pada kasus pucat berulang diindikasikan untuk dilakukan
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang untuk mengetahui etiologi anemia. Demam
pada penyakit keganasan dapat terjadi akibat keterlibatan sitokin inflamasi yaitu TNF-
, IL-1, dan IL-6 yang diproduksi oleh makrofag sebagai respon terhadap sel tumor.
Etiologi demam meliputi infeksi, vaksin, agen biologik, kerusakan jaringan, tumor,
reaksi hipersentivitas, penyakit autoimun, kelainan metabolik dan genetik serta

perdarahan.12

Pucat, petekie dan ekimosis di kulit dan membran mukosa disebabkan oleh
trombositopenia, koagulasi intravaskular disseminata (DIC) atau kombinasi keduanya.
Pada pasien ini ditemukan trombositopenia. Trombositopenia (trombosit
<100.000/μL) terjadi pada 80% kasus LLA, sementara perdarahan ditemukan pada

10% - 45% kasus LLA pada anak.13,14 kadar trombosit saat masuk pada pasien ini

4
< 100.000/ μL. Tapi tidak ditemukan adanya bukti-bukti perdarahan dari kasus
tersebut yaitu tidak ditemukan petekie dan bukti perdarahan spontan lainnya seperti
memar dan mimisan.

Diagnosis pasti leukemia ditegakkan atas dasar pemeriksaan aspirasi sumsum


tulang, yang memperlihatkan gambaran sel blas > 30%. Kelompok kerja French
American British (FAB) mengklasifikasikan LLA secara morfologis menjadi 3 tipe yaitu
L1, L2, L3. Pemeriksaan immunophenotyping berguna untuk menentukan jenis sel
LLA yang berguna untuk menentukan pilihan tata laksana dan prognosis

penyakit.1,15 Berdasarkan immunofenotipenya, leukemia dibagi menjadi 3 jenis yaitu


sel pre-B (80% dari keseluruhan LLA), sel B (< 5%), dan sel T (15%). Tipe sel T
umumnya berkaitan dengan hiperleukositosis, keterlibatan SSP, massa mediastinum,
laki-laki, dan prognosis buruk. Immunophenotyping juga menjadi alat diagnostik yang
utama untuk klasifikasi, prognosis, penanganan dan pemantauan penderita leukemia

akut.1,16 Supriyadi dkk17melakukan penelitian multisenter untuk mengetahui profil


LLA di Indonesia, Dari hasil penelitian didapatkan pola tipe LLA pada anak di
Indonesia dengan menggunakan immunophenotyping, didapatkan hasil 83% LLA
merupakan tipe B-Lineage. Pada pemeriksaan aspirasi sumsum tulang pada pasien
ini saat didiagnosis awal didapatkan kesan leukemia limfoblastik akut B-Lineage.

Pemeriksaan penunjang lain pada penderita LLA diantaranya foto thoraks


untuk mengetahui terdapatnya massa mediastinum dan analisis cairan serebrospinal
yang bertujuan mendeteksi infiltrasi sel leukemik ke susunan saraf pusat (SSP).
Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal yang dilakukan bersamaan dengan
kemoterapi intratekal agak keruh, bekuan (-), jumlah leukosit 188 /uL ,hitung jenis
leukosit PMN 85%; MN 15%, kesan jumlah eritrosit, bila likuor hemoragik :0-2/uL,
Nonne (+), Pandy (+), protein 160 mg/dl, glukosa 62 mg/dl.

Pada diagnosis LLA dikenal juga pembagian menjadi LLA risiko biasa dan
risiko tinggi yang berhubungan dengan angka harapan hidup. Berdasarkan protokol
nasional, penderita LLA dimasukkan dalam kategori risiko tinggi bila usia <1 tahun
atau >10 tahun, jumlah leukosit >50.000/μL, terdapat massa mediastinum >2/3
diameter rongga thoraks, terdapat leukemia sistem saraf pusat (SSP), leukemia sel T

dan jumlah sel blas setelah 1 minggu diterapi lebih dari 1000/mm 3. Pengelompokan

5
berdasarkan risiko ini juga berhubungan dengan protokol pengobatan. 1 Pada kasus
ini, penderita masuk dalam kategori risiko tinggi.

Tatalaksana leukemia akut meliputi pengobatan suportif dan terapi kuratif.


Tatalaksana suportif sangat diperlukan meliputi pengobatan penyakit penyerta,
pencegahan dan pengobatan infeksi, dukungan nutrisi yang optimal serta transfusi
komponen darah jika diperlukan, pemberian antibiotik, pemberian obat untuk
meningkatkan granulosit, obat anti jamur, dan pendekatan aspek psikososial. Terapi
kuratif atau spesifik bertujuan untuk eradikasi sel leukemia baik dalam sumsum tulang
maupun di luar sumsum tulang dan memberikan kesempatan bagi sumsum tulang
untuk bekerja normal. Terapi kuratif atau spesifik meliputi induksi remisi, konsolidasi,
profilaksis susunan saraf pusat dan rumatan. Secara umum, terapi awal diharapkan
dapat mengeradikasi sel leukemia dari sumsum tulang dan dikenal sebagai induksi
remisi. Fase kedua dari terapi ditujukan untuk eradikasi sel blas leukemia residual.
Fase ketiga adalah fase intensifikasi. Ketiga fase ini selanjutnya diikuti oleh fase

rumatan.1,2,18

Pengelolaan pada kasus ini mencakup pengobatan suportif dan kuratif.


Tatalaksana suportif berupa pemberian transfusi darah, pemberian nutrisi sesuai
dengan kebutuhan anak, serta pendekatan aspek psikososial. Untuk tatalaksana
kuratif penderita mendapat kemoterapi sesuai protokol LLA risiko tinggi Indonesia
2013 yang dimodifikasi leukemia susunan saraf pusat, di mana saat ini penderita
berada pada fase induksi.

Pemberian sitostatika menimbulkan efek samping berupa toksisitas terhadap


beberapa organ. Efek samping akut secara umum antara lain mual, muntah, alopesia,
nyeri, mielosupresi (anemia, neutropenia, trombositopenia), mukositis, blefaritis,
imunosupresi dan efek samping terhadap sistem organ yang dipengaruhi agen

sitostatika yang diberikan.19,20 Protokol kemoterapi yang diberikan pada penderita


di fase induksi adalah agen kemoterapi metotreksat, vinkristin, deksametason,
doksorubisin dan L-asparginase. Metotreksat dapat menyebabkan efek samping

nefrotoksisitas, hepatotoksisitas, mukositis, blefaritis, ruam dan fotosensitivitas. 2,19


Kortikosteroid yang digunakan biasanya prednison atau deksametason, di mana
deksametason menunjukkan penetrasi SSP yang lebih baik dan penurunan risiko

6
relaps, tapi dengan peningkatan insiden toksisitas, termasuk nekrosis avaskular,
infeksi, dan reduksi pertumbuhan linear. Antrasiklin yang digunakan dapat berupa
doksorubisin atau daunorubicin, dengan efikasi dan toksisitas yang sama dari

randomized trials.21 Pemantauan klinis darah tepi, fungsi hati, fungsi ginjal, fungsi
jantung dan kadar elektrolit perlu dilakukan sebelum dimulainya kemoterapi dan
setelah pemberian kemoterapi secara berkala. Pada penderita ini, pemantauan hasil
laboratorium fungsi ginjal, fungsi hati dan elektrolit dalam batas normal. Selama
perawatan, efek samping pemberian sitostatika yang ditemukan pada pasien ini
adalah efek imunosupresi, di mana penderita mengalami neutropenia pada perawatan
minggu pertama fase induksi hari ketiga, sehingga penderita harus dimasukkan ke
ruang isolasi, agar tidak banyak terpapar dengan dunia luar.

Studi oleh Ariawati dkk18 di Jakarta mengenai toksisitas kemoterapi LLA pada
fase induksi dengan metotreksat, penelitian bersifat retrospektif deskriptif
menunjukkan semua pasien LLA pada anak yang terdiri dari 12 anak risiko tinggi, dan
29 anak risiko biasa dengan median usia 5,5 tahun didapatkan remisi setelah fase
induksi didapatkan 86,2% pada risiko biasa dan 75% pada risiko tinggi. Pada fase
induksi penurunan terendah terjadi setelah pemberian kemoterapi pertama dan
kedua. Pada fase profilaksis penurunan kadar hemoglobin (Hb), leukosit, ANC,
trombosit yang terendah terjadi bervariasi yaitu setelah pemberian metotreksat (MTX)
1 gr/m2 yang pertama, kedua dan ketiga. Peningkatan kadar SGOT/SGPT yang
tertinggi yaitu 7-12 kali normal terjadi pada fase induksi minggu kedua. Pada pasien
ini didapatkan kadar SGPT 109 U/l dan SGOT 9 U/l pada pemeriksaan laboratorium
saat pasien berada dalam fase induksi minggu ketiga.

Neutropenia adalah peristiwa yang relatif sering terjadi pada pasien anak- anak
yang menerima pengobatan kanker. Neutropenia dapat terjadi akibat gangguan
pembentukan neutrofil, pergeseran neutrofil ke jaringan, meningkatnya konsumsi
neutrofil serta meningkatnya destruksi neutrofil di sirkulasi. Ini adalah kondisi yang
berpotensi mengancam jiwa dan memerlukan intervensi medis yang segera.
Meskipun kemajuan besar dalam pencegahan dan pengobatan, neutropenia tetap
menjadi salah satu komplikasi yang paling mengkhawatirkan dari kemoterapi kanker

dan merupakan salah satu penyebab utama morbiditas. 22,23 Manajemen inisial
neutropenia pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti karakteristik pasien,

7
presentasi klinis, infrastruktur lokal untuk mendukung model terapi, ketersediaan obat
dan biaya, dan data epidemiologi lokal, termasuk pola resistensi. Secara klinis pada
penderita dikategorikan sebagai neutropenia risiko rendah karena lamanya
neutropenia yang ≤ 3 hari, secara klinis tidak ditemukan infeksi berat, serta tidak
disertai tanda- tanda timbulnya sepsis atau syok. Dengan risiko rendah seperti ini
maka tidak diperlukan pemberian antiobiotik.

Pneumocystis jiroveci pneumonia (PCP) merupakan infeksi oportunistik pada


anak dengan kanker. PCP adalah penyebab kematian tersering pada anak- anak yang
mendapat kemoterapi. Insidens PCP menurun signifikan sejak pemberian antibiotik
profilaksis, dimana jika profilaksis tidak diberikan maka sekitar 15-20% anak dengan
leukemia akan mengalami PCP. Trimetoprim- sulfametoksazole (TMP-SMZ);
Kotrimoksasol merupakan obat yang direkomendasikan untuk profilaksis PCP,
dimana diberikan dengan dosis 4mg/kgBB/kali, dua kali sehari, selama 3 hari berturut-

turut dalam 1 minggu. Agrawal AK dkk24 melakukan penelitian retrospektif selama 5


tahun tentang pemberian TMP-SMZ profilaksis pada anak-anak dalam terapi ALL.
Diberikan regimen selama 2 hari berturut-turut dalam setiap minggu dan didapatkan
hasil yang sama seperti pemberian TMP-SMZ 3 hari berturut-turut setiap minggu.
Penderita ini belum diberikan kotrimoksasol karena pemberiannya dilakukan setelah

selesai fase konsolidasi.38,39

Alasan utama untuk kelangsungan hidup yang rendah pada penderita leukemia
limfoblastik akut di negara-negara berkembang adalah penolakan pengobatan atau
putus berobat. Hal ini dapat terkait dengan status sosial ekonomi orangtua dan sikap
dari penyedia layanan kesehatan. Data dari Moster Dkk, 164 penderita dengan LLA
didapatkan 35% menolak atau putus pengobatan, 23% mengalami kematian yang
terkait dengan proses pengobatan, 22% menderita leukemia progresif atau kambuh
dan 20% sembuh dengan bebas kambuh selama 5 tahun. Kebanyakan penderita
dengan sosioekonomi rendah tidak mampu membiayai pengobatan atau sering

mengalami putus obat.27,40,41

Penyuluhan dilakukan kepada orangtua penderita dan keluarga yang merawat


tentang hal-hal yang perlu diperhatikan selama perawatan, asuhan nutrisi, kebersihan
diri dan lingkungan serta kerjasama antara penderita, orangtua penderita, keluarga

8
dan tim kesehatan. Pentingnya edukasi dan dukungan mental bagi keluarga penderita
mengenai pengetahuan yang baik tentang penyakit leukemia sehingga orangtua
dapat memahaminya. Perlu diperhatikan kepatuhan minum obat, pemberian nutrisi
yang adekuat, pemberian imunisasi (booster), dan pentingnya kontrol berkala.
Keadaan ekonomi pada keluarga cukup sehingga tidak menghalangi orangtua untuk
sedapat mungkin memenuhi kebutuhan dasar “asuh” berupa penyediaan makanan
sederhana yang sehat setiap hari. Dalam hal kebutuhan dasar “asah” sejak bayi,
keluarga rajin menyediakan waktu untuk anaknya. Lingkungan yang paling dekat
dengan anak dan sangat penting adalah keluarga. Dukungan dari keluarga terutama
orangtua sangatlah penting dalam proses kesembuhan penderita.

Terapi pada penderita LLA akan mempengaruhi hasil luaran pada penderita

tersebut, terutama dijelaskan dengan event free survival. Hazar dkk28


memperlihatkan penderita LLA di negara berkembang memiliki angka harapan hidup
sebesar 67,3% pada 4 tahun pertama setelah terapi dan 63,2% pada 8 tahun setelah
terapi. Penderita yang masuk dalam penelitian ini berusia rerata 4,3 tahun dengan
tingkat mortalitas saat terapi sebesar 17,7%. Dengan angka harapan hidup yang
semakin baik dari tahun ke tahun diharapkan penderita ini dengan penanganan dan
terapi yang intensif serta dukungan keluarga yang baik, maka akan meningkatkan
angka harapan hidup pada penderita ini.

Leukemia Limfoblastik Akut membutuhkan berbagai macam terapi yang


kompleks karena prognosis klinis yang luas. Prognosis dikaitkan dengan karakteristik
pejamu dan penyakit, termasuk usia, fungsi organ, immunofenotipe dan kariotipe sel
leukemik, serta laju klirens sel leukemik dan pencapaian remisi yang lengkap.
Kebanyakan anak dengan LLA saat ini diharapkan memiliki angka harapan hidup
yang panjang sebesar 80% selama 5 tahun. Karakteristik secara umum yang
dipercaya berdampak negatif terhadap luaran yaitu saat terdiagnosis usia kurang dari
satu tahun atau lebih dari sepuluh tahun, jumlah sel darah putih lebih dari

100.000/mm3, leukemia dengan fenotip sel T, respon lambat terhadap terapi awal.
Abnormalitas kromosom termasuk hipodiploidi, kromosom Philadelphia, kelainan
11q23 dan translokasi gen t(4;11), cenderung memiliki prognosis yang lebih buruk.
Karakteristik yang diharapkan pada luaran yang baik adalah respon pesat terhadap

terapi, hiperdiploidi, dan fusi gen TEL/AML129,30

9
Permatasari dkk31 melakukan penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap luaran dari pengobatan
LLA. Angka remisi pada penelitian ini rendah (78,2%) dibandingkan dengan data di
Indonesia yang bisa mencapai 98%. Angka kematian selama fase induksi pada LLA
risiko biasa mencakup 12,3 %. Hal ini disebabkan karena kekurangan dari terapi
suportif dan fasilitas ruangan isolasi ketika neutropenia yang berhubungan dengan
infeksi dan mahalnya obat kemoterapi. Pada penelitian ini didapatkan juga bahwa usia
1-2 tahun lebih tinggi angka harapan hidupnya dibandingkan usia 10-18 tahun.

Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Widiaskara dkk32 di RSU dr.
Soetomo Surabaya, didapatkan pasien LLA dengan risiko tinggi mempunyai angka
kematian 2 kali lebih tinggi daripada risiko standar, dengan penyebab kematian
tersering adalah infeksi (76%).

Studi meta-analisis oleh Veisani dkk,33 menunjukkan five years survival pada
anak dengan leukimia limfoblastik akut sebesar 71% dan pada anak dengan leukimia
mieloblastik akut sebesar 46%. Presentase ini juga berkaitan dengan kemungkinan
untuk terjadinya kekambuhan di masa mendatang dan memiliki luaran yang lebih
buruk pada penderita leukemia mieloblastik akut. (Level of evidence 2a, rekomendasi
A).

Terdapat penelitian yang dilakukan penelitian oleh Suarez dkk,27 terhadap 99


anak LLA di Kolombia pada tahun 2007-2010 mendapatkan hasil tidak ada perbedaan
luaran pasien yang mengalami penundaan terapi akibat indikasi medis ataupun non
medis (p = 0.76), sehingga melalui penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penundaan
terapi apapun penyebabnya menjadi salah satu prediktor terhadap kegagalan terapi.
(Level of evidence 2b, rekomendasi B).

Penelitian oleh Yeoh dkk,32 menilai risiko relaps pada pasien LLA yang
mengalami penundaan terapi pada fase intensifikasi dan rumatan. Risiko relaps tidak
berbeda antara pasien dengan penundaan jangka panjang atau jangka pendek baik
secara kumulatif ataupun pada terapi fase intensifikasi (p = 0.68 dan p = 0.65).
Terdapat tendensi penurunan risiko relaps pada kelompok dengan penundaan terapi
jangka panjang pada fase rumatan (p = 0.07). Penundaan kemoterapi pada fase
intensifikasi dan rumatan lebih kurang sama dan paling banyak disebabkan oleh

10
rendahnya nilai ANC (33.3% dan 44.7%), infeksi berat diluar bakteremia (19.9% dan
11.3%), dan febril netropenia (19.1% dan 5.7%). Studi ini menunjukkan bahwa
penundaan kemoterapi yang diakibatkan oleh toksisitas obat tidak meningkatkan
risiko relaps pada pasien ALL. (Level of evidence 2b, rekomendasi B)

Untuk melihat luaran dari penderita LLA dengan keterlibatan SSP, Cohler

dkk,34 melakukan penelitian pada156 pasien LLA dan didapatkan hasil event free
survival dalam 24 bulan adalah 45%. Hal ini menunjukkan bahwa event free survival
penderita LLA dengan keterlibatan LCS masih rendah. (level of evidence 2c
rekomendasi B).

Studi oleh Hunger dkk,35 pada anak dan remaja antara tahun 1990-2005
menunjukkan five years survival rate yang meningkat antara tahun 1990-1994 dan
2000-2005 yaitu dari 83,7% ke 90,4%. Berdasarkan data dari National Cancer Institute
(NCI), usia adalah faktor risiko terpenting. Usia > 10 tahun menunjukkan prognosis
yang lebih buruk dibandingkan dengan usia antara 1-10 tahun. Jenis kelamin laki-laki
memiliki risiko relatif kematian 1,2-1,3 kali lebih besar dibandingkan dengan jenis
kelamin perempuan. Pada kasus ini, penderita terdiagnosis LLA risiko tinggi pada usia
16 tahun 4 bulan.

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi prognosis dari pasien


dengan LLA. Faktor – faktor tersebut antara lain umur saat diagnosis, jumlah sel darah
putih saat pertama kali didiagnosis, hasil fenotipe, status sistem saraf pusat dari
analisa cairan serebrospinal, ada tidaknya Minimal Residual Disease yang timbul saat
akhir dari fase induksi. Prognosis pada pasien dibagi menjadi prognosis ad vitam,
prognosis ad functionam, dan prognosis ad sanationam. Prognosis ad vitam adalah
dubia ad malam, karena angka kesintasan pada penderita LLA risiko tinggi ini

didapatkan berkisar antara 62-63%.33,34 Prognosis ad functionam adalah dubia ad


malam. Prognosis ad sanationam adalah dubia ad malam, karena meskipun respon
penderita terhadap terapi adalah cukup baik sampai saat ini, namun kemungkinan
untuk terjadi kematian belum dapat disingkirkan karena pasien belum menyelesaikan
siklus kemoterapinya. Edukasi yang dapat diberikan pada penderita ini meliputi
kondisi penderita saat ini, rencana diagnosis, rencana pengobatan, serta perjalanan
penyakit. Pengetahuan yang baik diharapkan dapat menciptakan lingkungan keluarga

11
yang dapat mendukung proses pengobatan dan anak dapat mencapai tumbuh
kembang yang optimal dengan kualitas hidup yang baik.

DAFTAR PUSTAKA PENELURUSAN KLINIS

1. Veisani Y, Delpisheh A. Survival Rate and Associated Factors of Childhood Leukemia

in Iran: A Systematic Review and Meta Analysis. J Pediatr Rev. 2017;5(2):1-10. 


2. Suarez A, Pina M, Nichols-Vinueza DX, Lopera J, Rengifo L, Mesa M, et al. A Strategy


to Improve Treatment-Related Mortality and Abandonement of Therapy for Childhood
ALL in Developing Country Reveals the Impact of Treatment Delays. Pediatr Blood

Cancer.2015;62:1395-1402. 


3. Yeoh A, Collins A, Fox K, Shields S, Ritchi P, Kirby M, et al. Treatment delay and the
risk of relapse in pediatric acute lymphoblastic leukimia. Pediatr Hematol Oncol.

2017;10:1-5. 


4. Cohler C, Jumanne S, Kaijage J, DuBois S, Scanlan P, Matthay K. Evaluation and


outcome of central nervous system involvement in pediatric acute lymphoblastic

leukemia in Dar es Salaam, Tanzania. Pediatr Blood Cancer. 2016;63:458–64. 


12
DAFTAR PUSTAKA

1. Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia akut. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena


IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M. Buku ajar hemotologi onkologi anak. Edisi ke-3.

IDAI. 2010:236-45. 


2. UKK Hematologi-onkologi. Protokol pengobatan leukemia limfoblastik akut anak-

2013. Jakarta: UKK Hematologi-onkologi. 2013. 


3. Wigle DT, Turner MC, Krewski D. A systematic review and meta-analysis of


childhood leukemia and parental occupational pesticide exposure. Environ

Health Perspect. 2009;117:1505-13. 


4. Scelo G, Metayer C, Zhang L, Wiemels JL, Aldrich MC, Selvin S, dkk. Household
exposure to paint and petroleum solvents, chromosomal translocations, and

the risk of childhood leukemia. Environ Health Perspect. 2009;117:133-9. 


5. Nwannadi I, Alao O, Bazauaye G, Nwagu M, Borke M. Clinical and laboratory


characteristics of patients with leukemia in South-South Nigeria. Int J Oncol.

2009;7:1-10. 


6. Hermiston ML, Mentzer WC. A practical approach to the evaluation of the anemic

child. Pediatr Clin North Am. 2002;49:877-91. 


7. Teuffel O, Stanulla M, Cario G, Ludwig WD, Rottgers S, Schafer BW, dkk. Anemia
and survival in childhood acute lymphoblastic leukemia. Haematologica.

2008;93(11):1652-7. 


8. Nissenson AR, Goodnough LT, Dubois RB. Anemia. Arch Intern Med.

2003;163:1400-5. 


13
9. OskiFA,BrugnaraC,NathanDG.Adiagnosticapproachtotheanemiapatient. In: Nathan
DG, Orkin SH, editors. Hematology at infancy and childhood. Edisi ke-5.

WB.saunders, 1998:375-80. 


10.Diamond CA. Anemia. In: Hastings C, penyunting. The children’s hospital Oakland
hematology oncology handbook. St Louis. Mosby; 2002:161-69.

11.Janus J, Moerschel SK. Evaluation of anemia in children. Am Fam


Physician.2010;81:1462-71.

12.Cunha BA. Fever of unknown origin: clinical overview of classic and current
concepts. Infect Dis Clin N Am. 2007;21:867-915.

13.Hamid GA. Acute leukemia clinical presentation. Dalam: Guenova M, Balatzenko


G, penyunting. Leukemia. Yemen: Intech. 2015.

14.Davis AS, Viera AJ, Mead MD. Leukemia: an overview for primary care. Am Fam
Phys. 2014;89:731-8.

15.Silverman LB, Sallan SE. Acute lymphoblastic leukemia. In: Nathan DG, Orkin SH,
Ginsburg D, Look AT, penyunting. Nathan and Oski’s Hematology of infancy and

childhood. 6th Ed. Philadelphia. Saunders;2003:1135-66.

16.Morgolin JF, Rabin KR, Steuber CP. Acute Lymphoblastic Leukemia. In: Pizzo PA,

Poplack DG, editors. Principles and Practice of Pediatric Oncology. 6 th Ed.


Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2001:519-49.

17.Supriyadi E, Widjajanto PH, Veerman AJP, Purwanto I, Nency YM, Gunawan S,


dkk. Immunophenotypic patterns of childhood acute leukemia in Indonesia. Asian
Pacific J Cancer Prev. 2011;12:3381-7.

18.Irken G, Oren H, Oniz H, Cetingul N, Vergin C, Atabay B, dkk. Hyperleukocytosis


in childhood acute lymphoblastic leukemia: complications and treatment outcome.
Turk J Hematol. 2006;23:142-6.

19.Hutter JJ. Childhood leukemia. Pediatr rev. 2010;31:234-41.
 20.Pui CH, Evans

14
WE. Treatment of acute lymphoblastic leukemia. N Engl J Med.

2006;354:166–78.
 21.Cooper ST, Brown PA. Treatment of pediatric acute

lymphoblastic leukemia.

Pediatr Clin North Am. 2015;62:61-73.
 22. Freifeld AG, Bow EJ, Sepkowitz KA,

Boeckh MJ, Ito JL, Mullen CA, dkk. Clinical

practise guildeline for the use of antimicrobial agent in neutropenic patient with cancer:
2010 Update by the infectious disease society of America. Clin Infect Dis. 2011;52:56-
93.

23.De Naurois J, Novitzky-Basso I, Gil MJ, Marti FM, Cullen MH, Roila F. Management
of febrile neutropenia: ESMO Clinical Practise Guidelines. Annals of oncology.
2010;21(supplement 5);v252-6.

24.Lehrnbecher T, Philips R, Alexander S, Alvaro F, Carlesse F, Fisher B, dkk.


Guideline for the management of fever and neutropenia in children with cancer and/or
undergoing hematopoietic stem-cell transplantation. J Clin Oncol. 2012;30:4427-38.

25.Agrawal AK, Chang PP, Feusner J. Twice weekly pneumocystis jiroveci pneumonia
prophylaxis with trimethoprim-sulfametoksasol in pediatric patients with acute
lymphoblastic leukemia. J Pediatr Hematol Oncol. 2011;33:1-4.

26.Pusponegoro H, Moeslichan MZ, Kaban R, Suradi R, Windiastuti E. Clinical


features and survival pattern of central nervous system leukemia in children with acute
lymphoblastic leukemia. Paediatr Indones.2001;41:247-52.

27.Suarez A, Pina M, Nichols-Vinueza DX, Lopera J, Rengifo L, Mesa M, et al. A


Strategy to Improve Treatment-Related Mortality and Abandonement of Therapy for
Childhood ALL in Developing Country Reveals the Impact of Treatment Delays.
Pediatr Blood Cancer.2015;62:1395-1402.

28.Mostert S, Sitaresmi M, Gundy CM, Sutaryo, Veerman A. Influence of socio


economic status on childhood acute lymphoblastic leukemia treatment in Indonesia.
Pediatrics. 2006;118:1600-6.

15
10. Hazar V, Gulzun T, Uygun V, Akcan M, Alphan K, Yesilipek A. Childhood Acute
Lymphoblastic Leukemia in Turkey: Factors Influencing Treatment and
Outcome: A Single Center Experience. J Pediatr Hematol Oncol. 2010;32:317-

22. 


11. Pui CH, Relling MV, Downing JR. Acute lymphoblastic leukemia. N Engl J Med.

2004;350:1535-48. 


31.Schrappe M, Hunger SP, Pui CH, Saha V, Gaynon PS, Baruchel A, dkk. Outcomes
after induction failure in childhood acute lymphoblastic leukemia. NEJM.
2012;366:1371-81.

32.Yeoh A, Collins A, Fox K, Shields S, Ritchi P, Kirby M, et al. Treatment delay and
the risk of relapse in pediatric acute lymphoblastic leukimia. Pediatr Hematol Oncol.
2017;10:1-5.Widiaskara IM, Bambang P, Ugrasena IDG, Ratwita M. Luaran
Pengobatan Fase Induksi Pasien Leukemia Limfoblastik Akut pada Anak di Rumah
Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya. Sari Pediatri. 2010;12:128- 34.

33.Shiozawa Y, Takita J, Kato M, Sotomatsu M, Koh K, Ida K, et al. Prognostic


significance of leukopenia in childhood acute lymphoblastic leukemia. Oncology
Letters. 2014;7:1169-74.

34.Cohler C, Jumanne S, Kaijage J, DuBois S, Scanlan P, Matthay K. Evaluation and


outcome of central nervous system involvement in pediatric acute lymphoblastic
leukemia in Dar es Salaam, Tanzania. Pediatr Blood Cancer. 2016;63:458–64.

35. Kato M, Manabe A, Koh K, Inukai T, Kiyokawa N, Fukushima T, dkk. Treatment


outcomes of adolescent acute lymphoblastic leukemiatreated on Tokyo Children’s
Cancer Study Group (TCCSG)clinical trials. Int J Hematol.

2014;100:180-7.
 36.Lughetti L, Bruzzi P, Predieri B, Palocci P. Obesity in patients

with acute

lymphoblastic leukemia in childhood. Italian J Pediatr. 2012;38:1-11. 37.Lindemulder


SJ, Stork LC, Bostrom B, Lu X, Devidas M, Hunger S, Neglia JP. Survivors of standard

16
risk acute lymphoblastic leukemia do not have risk for overweight and obesity
compared to non-cancer peers : A report from the

children’s oncology group. Pediatr Blood Cancer. 2015;62:1035-41. 38.Hassan M, Lin


CH, Torno L. Risk factors for obesity and time frame of weight gain in non-irradiated
survivors of pediatrics acute lymphoblastic leukemia. J

Cancer Therapy. 2013;4:124-32.
 39.Sari TT, Windiastuti E, Cempako GR, Devadera

Y. Prognosis leukemia

limfoblastik akut pada anak obes. Sari Pediatri. 2010;12:58-62.
 40.Butturini AM,

Dorey FJ, Lange BJ, Henry DW, Gaynon PS, Fu C et al. Obesity and outcome in
pediatric acute lymphoblastic leukemia. J Clin Oncol.

2007;25:2063-9.
 41.Zeidler L, Zimmermann M, Moricke A, Meissner B, Bartels D,

Tschan C, dkk.

Low platelet counts after induction therapy for childhood acute lymphoblastic leukemia
are strongly associated with poor early response to treatment as measured by minimal
residual disease and are prognostic for treatment outcome. Haematologica
2012;97:402-9.

42. Aparna S, Ramesh S, Appaji L, Kavitha S, Gowri S, Vinay J, dkk. Complications


of chemoport in children with cancer. The South Asian Journal of Cancer 2015;43:143-
5.

17

Anda mungkin juga menyukai