143-178)
Ainol Yaqin
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan
e-mail: ainulfairus@ymail.com
Abstract
This article describes Imam al-Shāfi'i thought in building istinbath Islamic law method
and its decition's which evolved from qawl qadīm to qawl jadīd. He is known as the
founder of uṣūl al-fiqh science which is arranged systematically-logically and critically. He
tried to combine the two schools of thought, those are: Maliki, known as ahl al-ḥadīth
that thrives in the Hijaz, and the Hanafi, known as ahl al-ra'y that is entrenched in Iraq. He
managed to combine the two schools by taking method good ahl al-ḥadīth and leaving
the less ones successfully. Reciprocally, he took the good ahl al-ra’y method and left the
poor. It was done for the reason that he had studied with Imam Malik and Muḥammad
ibn Ḥasan al-Shaibani, the adherents of the Hanafi schools. The fatwa which he
formulated at his living in Iraq is known as qawl qadīm. After he reviewed the fatwa built
in Iraq and found the fragility of the arguments as a fundamental, finally, he triggered a
new law, namely qawl jadīd which was based on the strong arguments.
[]
Artikel ini menjelaskan tentang gagasan Imam Syafi’i dalam membangun metode
istinbath hukum Islam dan fatwa-fatwanya yang mengalami evolusi dari qawl qadīm
kepada qawl jadīd. Ia dikenal sebagai peletak dasar ilmu ushul fikih yang disusun secara
sistematis-logis dan kritis. Ia berupaya memadukan antara dua aliran mazhab yakni
Maliki yang dikenal sebagai ahl al-ḥadīth yang tumbuh subur di Hijaz, dan mazhab
Hanafi yang dikenal sebagai ahl al-ra’y yang membudaya di Irak. Ia berhasil memadukan
kedua aliran tersebut dengan mengambil metode ahl al-ḥadīth yang dinilai baik dan
menanggalkan yang kurang baik. Begitu pula, ia mengambil metode ahl al-ra’y yang
dipandang baik dan meninggalkan yang kurang baik. Hal ini dilakukan karena ia pernah
berguru pada imam Mālik dan Muḥammad ibn Ḥasan al-Shaibanī, penganut mazhab
Hanafi. Fatwa-fatwa yang ia rumuskan pada waktu berdomisili di Irak dikenal dengan
qawl qadīm. Setelah ia meninjau kembali fatwa-fatwa yang dibangun di Irak dan
menemui kerapuhan dalil-dalil yang dibuat pijakan, akhirnya, ia mencetuskan hukum
baru, yakni qawl jadīd yang dibangun di atas dalil-dalil yang kuat.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║143
Ainol Yaqin
Pendahuluan
Perbedaan pendapat di antara imam mazhab dalam merumuskan hukum
Islam merupakan sebuah keniscayaan. Sebab perangkat metodologi ijtihad
masing-masing mereka memiliki karakteristik tersendiri sehingga produk
hukum yang dicetuskannya pun mesti tidak sama. Disamping itu, sosio-
kultural dimana seorang mujtahid memfatwakan hukum berperan besar
dalam mewarnai hasil ijtihadnya. Imam Abū Ḥanīfah (80-150 H) hidup di Irak
dengan sistem interaksi sosial, muamalah dan budaya masyarakat yang sudah
berperadaban. Ruang lingkup ijtihad di Irak lebih luas dan diskursus proble-
matika yang mengemuka lebih bervariasi. Sehingga ia lebih cenderung untuk
menggunakan akal logika/ra’yu ketika merumuskan hukum suatu masalah.1
Sedangkan Imam Mālik (93-179 H) berdomisili di Madinah dengan budaya
masyarakat yang masih kental mempraktekkan ajaran sunnah-sunnah Nabi
yang mentradisi secara turun temurun. Sehingga ia dalam berijtihad lebih me-
rujuk pada naṣ al-Qur’an dan sunnah-sunnah Nabi secara literal.2 Sementara itu,
Imam Syafi’i (150-204 H) sempat berguru pada Imam Mālik di Madinah dan
Muḥammad ibn Ḥasan al-Shaibani (w. 189 H) serta fuqahā’ lainnya di Irak
sehingga beliau mengenali kehidupan masyarakat Madinah dan masyarakat
Irak.3 Riḥlah hidup dan safari intelektual Imam al-Syafī’ī cukup mewarnai kreasi
ijtihad yang digagasnya, sehingga pola ijtihad beliau bercirikan moderat.
Secara garis besar, pola ijtihad para mujtahid terbagi pada dua macam, yaitu
mazhab ahl al-ra’y dan mazhab ahl al-ḥadīth. Mazhab ahl al-ra’y tumbuh ber-
kembang di Irak, yang menjadi kiblat pemerintahan Islam dan peradaban pada
masa itu, yaitu Baghdad. Mazhab ini dipelopori oleh Imam Abū Ḥanīfah. Pola
_______________
1Mannā’ al-Qaṭṭān, Tārīkh al-Tashrī’ al-Islāmī (Beirut: Dār al-Fikr, 1995), h. 262.
2Muhammad Alī al- Sāyis, Tārīkh al-Fiqh al-Islāmī (Beirut: Dār al-Fikr, 1995), h. 73.
3Rif’at Faurī ‘Abdu al-Maṭlab, Muqaddimah al-Taḥqīq al-Umm, Juz I (Beirut: Dār al-Wafa’, 2001), h.
8; Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Tawālī al-Ta`sīs (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1986), h. 55-56; Sālim al-
‘Imrānī, al-Bayān fī Madhhab al-Imām al-Shāfi’i, Jilid I (Beirut: Dār al-Minhāj, t.th.), h. 5; Abū Zakariyā
Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Majmū’ Sharḥ al-Muhadhdhab, Jilid I (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), h.
25; Sulaimān ibn Muḥammad al-Bujairamī, al-Bujairamī ‘alā al-Khaṭīb, Juz I (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiah, 1996), h. 76; Muḥammad ibn al-Khaṭīb al-Sharbīnī, Mughnī al-Muḥtāj ilā Ma’rifati Ma’ānī
`Alfāẓ al-Minhāj, Juz I (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1998), h. 37.
ijtihad Imam Abū Ḥanīfah bercirikan rasionalistik, dimana ra’yu /akal berperan
besar dalam menghasilkan suatu hukum Islam. Hal ini, tidak dapat lepas dari
seting sosio-kultural dimana beliau hidup bermasyarakat.4 Dan pada generasi
belakangan dikenal dengan mazhab Hanafi. Di belahan daerah lain bersamaan
dengan itu, terdapat ulama yang konsisten melestarikan dan memegang erat
sunnah Nabi yang membudaya di daerah Madinah. Kelompok ini dikomandani
Imam Mālik ibn Anas. Kemudian pada generasi berikutnya dikenal dengan
mazhab Māliki. Beliau pernah nyantri pada seorang ulama Madinah yang ber-
haluan ahl al-ra’y, bernama Rabī'ah ibn Farrūkh. Tetapi, beliau lebih tertarik
menimba ilmu hadis dari Rabī'ah, bukan pemikiran al-ra'yu-nya. Mazhab Māliki
menitikberatkan pada literal bunyi teks dan mengutamakan sunnah daripada al-
ra’yu, hingga akhirnya aliran ini dikenal dengan mazhab ahl al-ḥadīth.5
Bertolak dari dua arus mazhab yang tampak berseberangan itu, Imam
Syafi’i berupaya memadukan keduanya, dengan mengambil metodologi maz-
hab ahl al-ra’y yang dipandangnya baik dan menanggalkan yang kurang baik.
Begitu pula, beliau mengambil metodologi mazhab ahl al-ḥadīth yang dianggap
baik dan meninggalkan yang kurang baik.6 Hal itu terjadi karena beliau pernah
_______________
4Karakterikstik mazhab ahl al-ra’y adalah: pertama, penggunaan ra’yu/akal dalam menetapkan
status hukum kasuistik tidak hanya terbatas pada fenomena yang mengemuka pada masa itu.
Bahkan mereka juga memprediksikan hukum suatu masalah yang belum terjadi. Karena itu, metodo-
logi mereka dikenal sebagai fiqh iftiraḍi atau fiqih pengandaian. Kedua, sangat selektif dan ketat dalam
penerimaan suatu hadis dengan membuat persyaratan yang ketat. Dalam penetapan suatu pe-
riwayatan hadis, mereka tidak memperbanyak periwayatan hadis dari Nabi, dikhawatirkan ter-
jerumus ke dalam hadis-hadis palsu. Hal tersebut menjadikan mereka mengesampingkan pe-
riwayatan hadis dan sebaliknya, mereka lebih mengedepankan nalar akal/ra’yu. Mannā’ al-Qaṭṭān,
Tārīkh al-Tashrī’ al-Islāmī , h. 271.
5Karakteristik mazhab ahl al-ḥadīth: pertama, pengistinbathan hukum suatu masalah hanya
merujuk kepada al-Qur’an dan hadis Nabi. Mereka cenderung tidak menyukai penggunaan nalar
ra’yu dan juga sangat berhati-hati ketika mengeluarkan fatwa suatu permasalahan. Mereka
menegaskan bahwa hukum itu hanya bersandarkan pada fenomena yang terjadi saat ini, seolah-olah
menyindir ahl al-ra’y dengan fiqh iftiraḍi-nya. Kedua, naṣ-naṣ hukum Islam, baik al-Qur’an maupun
hadis dipahami secara literal-tekstual, serta menganggap hukum sebagai ketentuan ilahi yang tidak
dapat dirasionalisasi, sehingga mereka menafikan ‘illat dan hubungan suatu hukum. Al-Sha’bi
mengomentari mazhab ini sekaligus menolak gagasan rasionalisme Ibrāhīm al-Nakha’ī, ia
menyatakan “Sesuatu yang diriwayatkan dari para sahabat, ambil dan jagalah. Sedangkan sesuatu
yang keluar dari hasil nalar akal mereka, buanglah ”. Ibid., h. 271.
6Disebutkan:
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║145
Ainol Yaqin
berguru pada Imam Mālik dan Muḥammad ibn Ḥasan al-Shaibanī serta fuqahā’
Irak lainnya, penganut dan penyebar mazhab Hanafi.7 Dilatarbelakangi safari
intelektualnya, Imam Syafi’i berusaha mengkombinasikan manhaj ahl al-ra’y
dan manhaj ahl al-ḥadīth untuk membangun mazhab yang beliau gagas
sendiri. Ia tidak terlalu ekstrem pada tuntutan naṣ dan tidak pula berlebihan
bertumpu pada ra’yu. Namun, ia berupaya mempertemukan seruan naṣ
dengan realitas sosial dengan memaksimalkan nalar kritis ijtihadnya. Maka
pertentangan antara mazhab ahl al-ra’y dan mazhab ahl al-ḥadīth sebenarnya
berakhir saat Imam Syafi’i menggabungkan dua metodologi dalam meng-
istinbatkan hukum Islam.
Sebagaimana telah diketahui bahwa Imam Syafi’i memiliki dua qawl,
yaitu qawl qadīm dan qawl jadīd. Pemetaan istilah tersebut dengan melihat
dimana tempat beliau memutuskan hukum. Pendapat Imam Syafi’i yang
difatwakan dan ditulis di Irak dikenal dengan qawl qadīm. Pembukuan pe-
mikiran tersebut diperoleh dari perdebatan beliau dengan ahli fikih rasionalis
_______________
“Aḥmad ibn Hanbal berkata: Dahulu kita menjelek-jelekkan ahl al-ra’y, begitu pula sebaliknya.
Sampai datanglah Imam al-Syafi’i, beliau menggabungkan keduanya. “
Lebih lanjut ia menyatakan:
وﻋﻠﻢ أﺻﺤﺎب ا ﺮأي أﻧﻪ ﻻ ﻓﺮع إﻻ ﺑﻌﺪ،ﺪﻳﺚ أن ﺻﺤﻴﺢ اﺮأي ﻓﺮع اﻷﺻﻞ7ﻓﻌﻠﻢ أﺻﺤﺎب ا
ً
. وأﻧﻪ ﻻ ﻏ? ﻋﻦ ﺗﻘﺪﻳﻢ ا ﺴ; وﺻﺤﻴﺢ اﻵﺛﺎر أوﻻ،اﻷﺻﻞ
“Para ahli hadis akhirnya mengetahui bahwa ra’yu yang benar itu cabang dari asal (al-Qur’an dan
hadis), dan ahl al-ra’y mengetahui bahwa tidak ada cabang jika tidak ada asal. Maka tidak ada
alasan untuk tidak mendahulukan sunnah dan athār yang ṣaḥīḥ.”
Qādlī Iyāḍ ibn Mūsa, Tartīb al-Madārij wa Taqrīb al-Masālik (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2001), h. 91.
7al-Syafi’i kecil sebelum berguru kepada Imam Mālik, ia terlebih dahulu meminjam kitab al-
Muwaṭṭhā` pada seseorang di Makkah, kemudian ia membaca dan menghafalnya. Baru setelah itu, ia
belajar di bawah asuhan sang Imam sampai gurunya itu meninggal. Sementara ilmu fikih dari
mazhab ahlu al-ra’y ia peroleh dari Muhammad ibn Hasan al-Syaibanī. Ia menimba ilmu padanya
dengan cara menelaah kitab-kitab karyanya, kemudian berdiskusi bersama teman sejawat dan sang
guru. Sehingga pada diri beliau terkumpul dua aliran mazhab sekaligus. Muhammad Abū al-Zahrah,
al- Shāfi’i (Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1978), h. 19-25; Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Tawālī al-Ta`sīs, h. 54;
‘Abdullāh ibn Yūsuf al-Juwainī, Nihāyah al-Maṭlab fī Dirāyah al-Madhhab, Juz I (Jeddah: Dār al-Minhāj,
2007), h. 101; Rif’at Faurī ‘Abdu al-Maṭlab, Muqaddimah al-Taḥqīq al-Umm, Juz I, h. 9; Abdurraḥmān
ibn Abī Hātim al-Rāzī, Ādāb al-Shāfi’i wa Manāqibuhu (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 2003), h. 22;
Sālim al-‘Imrānī, al-Bayān fī Madhhab al-Imām al-Shāfi’i, jilid I, h. 53; Sulaimān ibn Muḥammad al-
Bujairamī, al-Bujairamī ‘alā ‘l-Khaṭīb, Juz I, h. 77.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║147
Ainol Yaqin
Ismā’īl ibn Yaḥyā al-Muzannī (175-264 H), Muḥammad ibn ‘Abdullāh ibn al-
Ḥakīm (182-237 H), al-Rabī' ibn Sulaimān al-Jīzī (w. 257 H), Yūnus ibn ‘Abdi al-
`A’lā (170-264 H) dan Abū Bakar al-Humaidī (w. 219 H).9
Zakat Madu
Imam Syafi’i memiliki dua pendapat tentang zakat madu. Beliau dalam
qawl qadīm-nya berpendapat bahwa madu wajib dikeluarkan zakatnya,
karena berdasarkan athār sahabat dan hadis ḍa’īf.10 Sedangkan dalam qawl
jadīd ia menyatakan madu tidak wajib dikeluarkan zakatnya karena madu
bukan termasuk kategori makanan pokok (qūt) dan didukung hadis ṣaḥīḥ.11
Adapun dalil-dalil ijtihad qawl qadīm adalah: a) Kaum Banī Salamah men-
datangi Nabi dengan membawa sepersepuluh kurma milik mereka, kemudian
Nabi menerimanya dan memberi perlindungan pada mereka; b) Diriwayatkan
dari ‘Abdullāh ibn Ẓayyāb, ia berkata: Saya mendatangi Rasulullah kemudian
saya memeluk Islam. Saya berkata pada Rasulullah: Ya, Rasulullah, saya me-
_______________
9Sālim al-‘Imrānī, al-Bayān fī Madhhab al-Imām al-Shāfi’ī, Jilid I, h. 5; Abdul’azhīm Mahmūd al-Dīb,
Muqaddimāt Nihāyah al-Maṭlab fī Nihāyah al-Madhhab, h. 115-118; Sulaimān ibn Muhammad al-
Bujairamī, al-Bujairamī ‘alā ‘l-Khaṭīb, Juz I, h. 77; Aḥmad ‘Izzi dan ‘Ināyah al-Dimasyqī, Muqaddimah
al-Taḥqīq Baḥru al-Madhhab, Juz I, (Beirut: Ihyā` al-Turāth al-‘Arabī, 2002), h. 25-27; Muhammad ibn
al-Khaṭīb al-Sharbīnī, Mughnī al-Muḥtāj ilā Ma’rifati Ma’ānī Alfāẓ al-Minhāj, Juz I, h. 38; Abdulhamīd al-
Sharwanī, Hawāsyī Tuhfah al-Minhāj bi Sharḥ al-Minhāj, Juz I (Kairo: al-Maktabah al-Tijāriyyah al-
Kubra, 2007), h. 54; Aḥmad ibn Salamah al-Qalyūbī, Hāsyiyyah Qalyūbī, Juz I (Kairo: Musthafā al-Bābī
al-Halabī, 2007), h. 13; Muḥammad ibn Abī al-‘Abbās al-Ramlī, Nihāyah al-Muntāj ilā Sharḥi al-Minhāj,
Juz I (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 19-20.
10Qawl qadīm masih terpilah dua pendapat, satu pendapat secara qaṭ'ī tidak mewajibkan zakat
madu dan pendapat kedua mewajibkan zakat madu. Pendapat pertama ditegaskan oleh Abū Hāmid,
al-Bandanijī, dan ulama' Syāfi'iyyah yang lain. Dikalangan aṣḥāb mengemukakan bahwa pendapat
yang ṣaḥīḥ adalah qawl jadīd karena hadis yang dijadikan dalil qawl qadīm adalah lemah (dha'īf).
Sementara itu, hadis ḍā'īf tidak dapat dijadikan sandaran pengistinbathan hukum Islam. Abū
Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Majmū' Sharḥ al-Muhadhdhab, Jilid V, h. 415; Muḥam-
mad ibn al-Khaṭīb al-Sharbīnī, Mughnī al-Muḥtāj ilā Ma’rifati Ma’ānī `Alfāẓ al-Minhāj, Juz I, h. 566;
Abdulhamīd al-Sharwanī, Hawāsyī Tuhfah al-Muḥtāj bi Sharḥi al-Minhāj, Juz III, h. 344.
11Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Majmū' Sharḥ al-Muhadhdhab, Jilid V, h. 452;
Imam al-Māwardī, al-Hāwi al-Kabīr, Juz IV, (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), h. 228-229; Muḥammad ibn
Muḥammad al-Ghazālī, al-Wasīṭ fī al-Madhhab, Jilid II (Kairo: Dār al-Salām, 1997), h. 458; Abdulkarīm
al-Rāfi’ī al-Qazwīnī, al-‘Azīz Sharḥ al-Wajīz, Juz III (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 2007), h. 53.
_______________
12Imam al-Māwardī, al-Hāwi al-Kabīr, Juz IV, h. 226-227; Imam al-Ṭurmudhī meriwayatkan hadis
tersebut melalui rentetan sanad Shadaqah ibn ‘Abdullāh, dari Mūsa ibn Yasar, dari Nāfi' dari Ibn
'Umar dengan sanad marfū'. Imam al-Ṭurmudhī, Sunan al-Ṭurmudhī, Jilid II (Beirut: Dār al-Fikr,
1994), h. 128. Imam Syafi'i menyatakan bahwa Sa'ad ibn Abī Dubāb memberitakan suatu riwayat
yang menunjukkan bahwa Nabi tidak memerintah untuk mengambil zakat madu. Muḥammad ibn
Idrīs al-Shāfi’ī, al-Umm, Jilid I, h. 39.
13Abu Bakar Aḥmad ibn al-Ḥusain al-Bayhaqī, Kitāb al-Sunan al-Ṣaghīr, Jilid I (Beirut: Dār al-Fikr,
t.th.), h. 72; 'Alī ibn Umar al-Dāruquṭnī, Sunan al-Dāruquṭnī, Jilid I (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 315; Hasan
Sulaimān al-Nūri dan 'Alawī 'Abbās al-Mālikī, Ibānah al-Aḥkām Sharḥ Bulūgh al-Marām, Jld. II (Beirut:
Dār al-Fikr, 2000), h. 236; Aḥmad ‘Abdurraḥmān al-Bannā, Bulūgh al-Amālī min Asrār al-Fath al-
Rabbānī, Juz IX (Beirut: Dār Ihyā` al-Turāth al-‘Arabī, t.th.), h. 8; Aḥmad ibn ‘Alī ibn Hajar al-‘Asqalānī, al-
Mathālib al-‘Āliyyah bi Zawā`idi al-Masānid al-Thamāniyyah, Jilid. V (Riyad: Dār al-‘Āshimah, 1998), h.
489.
14al-Ḥasan, Ibn Abī Lailā, al-Thaurī dan ulama’ lainnya menegaskan bahwa kewajiban zakat hanya
tertuju pada empat jenis buah, yaitu gandum sya’īr, gandum hinthah, kurma dan anggur. Ketetapan ini
merupakan ijma’ ulama, sekalipun pada rinciannya ada perselisihan. Mūsa ibn ‘Iyāḍ, Ikmāl al-Mu’lim bi
Fawāidi Muslim, Juz III (Beirut: Dār al-Wafā’, 1998), h. 468; Muḥammad ibn Khalfah al-Wasytānī, Ikmāl
Akmāl al-Mu’lim, Juz III (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, t.th.), h. 112; Aḥmad ‘Abdurraḥmān al-Bannā,
Bulūgh al-Āmalī min Asrār al-Fath al-Rabbānī, Juz IX, h. 9; Aḥmad ibn ‘Umar al-Qurṭubī, al-Mufhim limā
Asykala min Talkhīsh Kitāb Muslim, Juz III (Beirut: Dār Ibn Kathīr, 1996), h. 13.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║149
Ainol Yaqin
Kedua, hadis yang diriwayatkan ‘Umar ibn Shu’ib dari ayahnya dari kakek-
nya:
“Bahwa suatu kaum mendatangi Nabi dengan membawa sepersepuluh kurma,
mereka meminta perlindungan pada Nabi. Kemudian, Nabi menyetujui per-
mintaan mereka. Pada periode ‘Umar menjabat sebagai khalifah, Sufyan ibn
Wahab melayangkan surat yang berisi tentang kasus tersebut. ‘Umar mem-
balasnya dengan ungkapan: jika mereka melakukan padamu sama dengan apa
yang mereka perbuat pada Nabi, lindungilah mereka. Akan tetapi, jika mereka
tidak melakukannya, tetap lindungi mereka sebab hal itu bukan suatu ke-
wajiban.”15
Ketiga, dari ‘Abdullāh ibn Abū Bakar ia berkata: ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azīz
menulis surat pada bapaknya yang sedang berada di Mina. Ia mengingatkan
untuk tidak memungut zakat kuda dan madu.16
Al-Māwardī menegaskan jika mengeluarkan zakat madu dipandang wajib
oleh syara', mesti sahabat ‘Umar selaku khalifah memerintahkan pada Sufyān
ibn Wahab untuk memungut zakat madu dari mereka, sekalipun tidak mem-
balas dengan memberi perlindungan pada mereka. Disamping itu, ungkapan
‘Umar "itu hanyalah hujan rizki yang dapat dimakan siapapun yang menyukai-
nya" menunjukkan bahwa madu tidak terkena kewajiban beban zakat.17
Jika ditelaah dalil-dalil yang dijadikan dasar ijtihad qawl qadīm dan qawl
jadīd, maka kita dapat memahami bahwa berpindahnya Imam Syafi’i dari qawl
qadīm pada qawl jadīd lantaran ia menemukan sandaran dalil yang lebih kuat
untuk dijadikan pijakan hukum. Dalam qawl qadīm beliau merumuskan
hukum berdasarkan athār sahabat, sedangkan dalam qawl jadīd ia mem-
bangun nalar ijtihadnya pada hadis Nabi. Oleh karena itu, Imam Syafi’i ber-
ijtihad kembali dan membongkar hasil ijtihad sebelumnya yang dipandang
berlandaskan pada dalil yang lemah. Ia berkata "Hadis ṣaḥīḥ adalah mazhabku
dan tinggalkanlah pendapatku jika berlawanan dengan hadis ṣaḥīḥ".18 Sejalan
_______________
15Abū Daud, Sunan Abī Daud, Jilid. II (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 109; Imam al-Shāfi’ī dalam al-
Umm secara khusus membahas bab ketidakwajiban zakat madu, Muḥammad ibn Idrīs al-Shāfi’ī, al-
Umm, Juz III, h. 98-99.
16Muḥammad ibn Idrīs al-Shāfi’ī, al-Umm, Juz III, h. 98-99.
18Aḥmad ibn Salamah al-Qalyūbī, Hāsyiyyah Qalyūbī, Juz IV, h. 61; Abdulhamīd al-Sharwanī,
Hawāsyī Tuhfah al-Minhāj bi Sharḥ al-Minhāj, Juz I, h. 54; Muḥammad ibn al-Khaṭīb al-Sharbīnī,
20Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Majmū' Sharḥ al-Muhadhdhab, Jilid V, h. 413.
22Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Majmū' Sharḥ al-Muhadhdhab, Jilid V, h. 455.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║151
Ainol Yaqin
_______________
24Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Majmū' Sharḥ al-Muhadhdhab, Jilid VI, h. 369;
Sālim al-‘Imrānī, al-Bayān fī Madhhab al-Imām al-Shāfi’ī, Jilid III, h. 546; ‘Abdullāh ibn Yūsuf al-Juwainī,
Nihāyah al-Maṭlab fī al-Dirāyah al-Madhhab, Juz IV, h. 61-62; Muḥammad ibn Idrīs al-Shāfi’ī, al-Umm,
Jilid III, h. 262; Aḥmad ibn Salamah al-Qalyūbi, Khāsyiyyah Qalyūbi, Juz II, h. 66-67; Muḥyiddīn ibn Sharf
al-Nawawī, al-Tanqīh fī Sharḥ al-Wasīth, Jilid II (Kairo: Dār al-Salam, 1997), h. 551-553; Abdulhamīd al-
Sharwanī, Tuhfah al-Minhāj bi Sharḥ al-Minhāj, Juz II, h. 435-436; Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, Tashhīh
al-Tanbīh, Juz I (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1996), h. 241; Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, al-
Wajīz fī Fiqh al-Imām al-Shāfi’ī, Juz I (Beirut: Dār al-Arqam, 1997), h. 226; Yūsuf al-Fairūz Abādī al-
Sharbīnī, al-Muhadhdhab fī Fiqh al-Imām al-Shāfi’ī, Juz I (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1995), h. 343-
345; Sulaimān al-Bujairamī, al-Bujairamī ‘alā al-Khaṭīb, Juz III, h. 138-139; Muḥammad ibn al-Khaṭīb al-
Syarbinī, Mughnī al-Muḥtāj ilā Ma’rifati Ma’ānī Alfāẓ al-Minhāj, Juz I, h. 642.
25Abū al-Ḥusain Muslim al-Naisabūrī, Ṣaḥīḥ Muslim, Jilid I (Beirut: Dār al-Fikr, 1988), h. 510;
Jalāluddīn ‘Abdurraḥmān al-Suyūṭī, al-Tausyīh Sharḥ al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ, Juz IV (Riyad: Maktabah al-
Rusyd, 1998), h. 1450, 'Alī ibn Umar al-Dāruquṭnī, Sunan al-Dāruquṭnī, Jilid I, h. 156; Muḥammad ibn
Khalfah al-Wasytanī, Ikmāl Akmāl al-Ma`lam, Juz III, h. 262; Abū Daud Sulaimān al-Sajastanī, Sunan
Abi daud, Jild. I, 315; Aḥmad ibn ‘Alī ibn Hajar al-‘Asqalānī, Taghlīq al-Ta’līq ‘Alā Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, Jilid
III (Beirut: Dār ‘Imār, 1985), h. 189-190, Aḥmad ‘Abdurraḥmān al-Bannā, Bulugh al-Amālī min Asrār
al-Fath al-Rabbānī, Juz X, h. 135; Aḥmad ibn ‘Umar al-Qurṭubī, al-Mufhim limā Asykala min Talkhīsh
Kitāb Muslim, Juz III, h. 208.
ﻨﺖ ﻗﺎﺿﻴﻪ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎل ﻧﻌﻢ ﻗﺎل ﻓﺪﻳﻦdﻚ دﻳﻦ أg اh نi ﺷﻬﺮ أﻓﺄﻗﻀﻴﻪ ﻋﻨﻬﺎ ﻓﻘﺎل ﻮ
26. lاﷲ اﺣﻖ أن ﻳﻘ
"Seseorang mendatangi Nabi kemudian ia bertanya, wahai Rasulullah se-
sungguhnya ibuku telah meninggal dan mempunyai tanggungan puasa
sebulan, apakah saya boleh mengqada'nya. Nabi menjawab seandainya ibumu
mempunyai hutang apakah kamu akan membayarnya, ia menjawab, ya.
Kemudian Rasulullah bersabda hutang pada Allah lebih berhak untuk dibayar."
Ketiga, hadis yang diriwayatkan Ibnu 'Abbās:
vﺮأة ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻳﺎرﺳﻮل اﷲ إg ﺻ` اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ إذ أﺗﺘﻪ اa ﺑ ﻨﺎ اﻧﺎ ﺟﺎ ﺲ ﻋﻨﺪ ا
اث ﻗﺎﻟﺖRz ﻓﻘﺎل وﺟﺐ أﺟﺮك وردﻫﺎ ﻋﻠﻴﻚ ا.ﺎر ﺔ واﻧﻬﺎ ﻣﺎﺗﺖx ] أh ﺗﺼﺪﻗﺖ
ﻗﺎﻟﺖ اﻧﻬﺎ ﻢ }ﺞ.ن ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺻﻮم ﺷﻬﺮ أﻓﺄﺻﻮم ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎل ﺻﻮ] ﻋﻨﻬﺎi ﻳﺎرﺳﻮل اﷲ اﻧﻪ
_______________
26HR. al-Bukhārī dan Muslim. Abu al-Ḥusain Muslim al-Naisaburī, Ṣaḥīḥ Muslim, Jilid I, h. 510; Jalālud-
dīn ‘Abdurraḥmān al-Suyūṭī, al-Tausyīh Sharḥ al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ, Juz IV, h. 1450-1451; Abū Daud Sulaimān
al-Sajastanī, Sunan Abi daud, Jilid II, h. 237; Muḥammad ibn Khalfah al-Washtanī, Ikmāl Akmāl al-Ma`lam,
Juz III, h. 262-273; Aḥmad ‘Abdurraḥmān al-Bannā, Bulūgh al-Amālī min Asrār al-Fath al-Rabbānī, Juz X,
h. 136; Aḥmad ibn ‘Umar al-Qurṭubī, al-Mufhim limā Asykala min Talkhīsh Kitāb Muslim, Juz III, h. 210;
Aḥmad ibn ‘Alī ibn Hajar al-‘Asqalānī, Taghlīq al-Ta’līq ‘alā Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Jilid III, h. 93.
27HR. al-Bukhārī dan Muslim. Jalāluddīn al-Suyūṭī, Sunan al-Nasā`ī, Jilid IV (Beirut: Dār al-Fikr,
1930), h. 20-21; Jalāluddīn ‘Abdurraḥmān al-Suyūṭī, al-Tausyīh Sharḥ al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ, Juz IV, h. 1451;
Aḥmad ibn ‘Umar al-Qurṭubī, al-Mufhim limā Asykala min Talkhīsh Kitāb Muslim, Juz III, h. 210;
Aḥmad ibn ‘Alī ibn Hajar al-‘Asqalānī, Taghlīq al-Ta’līq ‘alā Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Jilid. III, h. 194.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║153
Ainol Yaqin
30HR. Abū Daud dan al-Ṭurmudhī. Muḥammad ibn Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibn Mājah, Jilid I,
(Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 558; Aḥmad ‘Abdurraḥmān al-Bannā, Bulūgh al-Amālī min Asrār al-Fath
al-Rabbānī, Juz X, h. 137; Abu Bakar Aḥmad ibn al-Ḥusain al-Bayhaqī, Kitāb al-Sunan al-Ṣaghīr, Jilid I,
h. 357, Muḥammad ibn `Isa al-Ṭurmudhī, Sunan al-Ṭurmudhī, Juz II, h. 110; ‘Iyāḍ ibn Mūsā ibn ‘Iyāḍ al-
Bahshī, Ikmāl al-Mu’lim bi Fawāidi Muslim, Juz IV, h. 104.
_______________
31Muḥammad ibn `Īsa al-Ṭurmudhī, Sunan al-Ṭurmudhī, Juz II, h. 110.
33Ibid.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║155
Ainol Yaqin
pada orang lain karena lemah. Orang yang tidak mampu berpuasa beban ke-
wajiban beralih pada membayar kaffarat, yaitu memberi makan fakir miskin.34
Tampaknya, penilaian ulama Syafi’iyyah berbeda pandangan dalam mem-
pertimbangkan kehujjahan hadis-hadis yang dibuat rujukan mazhab Syafi’i. Ada
yang menilai dalil-dalil yang dijadikan sandaran qawl qadīm lebih kuat, dan ada
pula yang memandang dalil-dalil yang dijadikan pijakan qawl jadīd yang lebih
ṣaḥīḥ dan lebih rājih. Imam al-Bayhaqī sebagai ahli hadis memandang dalil-dalil
yang dibuat dasar qawl qadīm lebih kuat karena diriwayatkan dari berbagai
sanad dengan perawi yang berbeda. Karena itu, ia mempertegas pendapatnya
tentang kebolehan wali mengganti puasa yang ditinggalkan mayit, baik puasa
ramadhan, nadzar maupun yang lainnya, karena didukung oleh beberapa hadis
ṣaḥīḥ dan tidak ditemukan dalil yang bertolak belakang dengan hadis-hadis
tersebut. Jadi pendapat ini layak disandarkan pada mazhab Syafi’i, sebab ia
sendiri mengungkapkan "Apabila hadis itu ṣaḥīḥ itulah mazhabku maka tinggal-
kanlah pendapatku yang bertentangan dengannya."35 Lebih lanjut, al-Bayhaqī
mengkritik bahwa hadis yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar termasuk hadis mawqūf
bukan hadis marfū'. Hadis tersebut merupakan ungkapan Ibnu ‘Umar yang
dimarfu'kan oleh Muḥammad ibn Abdurrahman dari Nāfi' dari Ibnu ‘Umar
bahwa Rasulullah memutuskan tentang perkara orang yang meninggal dan
mempunyai tanggungan puasa bahwa "ia harus memberi makan separuh sha'
gandum dalam perhari". Terdapat dua kesalahan –menurut al-Bayhaqī– pada
hadis di atas, yaitu pertama, hadis tersebut adalah hadis mawqūf tapi di-
marfu'kan, dan kedua, Ibnu ‘Umar menyatakan satu mud gandum bukan
separuh mud.36
Imam al-Bayhaqī menyangkal anggapan sebagian ulama Syafi’iyyah yang
mengklaim bahwa hadis Ibnu Abbās dan 'Āisyah dinilai hadis ḍa'īf. Sebab para
pakar hadis tetap menṣaḥīḥkan sebuah hadis yang diriwayatkan bertentangan
dengan amaliah perawi, dengan cacatan perawi tersebut tergolong orang alim.
Sementara itu, Imam al-Māwardī menilai bahwa pendapat qawl jadīd lebih kuat
_______________
34Ibid., Juz III, h. 314-315.
35Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Majmū' Sharḥ al-Muhadhdhab, Jilid I, h. 104;
Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, al-Wasīth fī al-Madhhab, Jilid I, h. 88.
36Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Majmū' Sharḥ al-Muhaddab, Jilid VI, h. 371.
adalah karena ditopang beberapa dalil yang kuat. Tampaknya, pembelaan al-
Māwardī atas qawl jadīd karena ia memandang kualitas dalil yang dijadikan
rujukan ijtihad. Menurutnya, dalil-dalil yang digunakan Imam Syafi’i untuk mem-
bangun qawl qadīm tergolong hadis-hadis ḍa’īf. Karena Imam al-Māwardī belum
melihat faktor-faktor yang mendukung keshahīhan dalil-dalil qawl qadīm maka
ia tetap menganggap bahwa qawl jadīd lebih kuat dan layak untuk diamalkan.37
Alasan peralihan Imam Syafi’i dari qawl qadīm pada qawl jadīd adalah
karena didorong penemuan hadis-hadis yang lebih kuat dan lebih ṣaḥīḥ dari-
pada dalil yang dijadikan rujukan qawl qadīm. Perbedaan temuan dalil dan ke-
shahihan cukup mewarnai putusan hukum. Hadis-hadis yang dijadikan dalil
pendukung qawl qadīm diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī, Imam Muslim
dan Imam Abū Daud. Kalangan ulama hadis sepakat bahwa hadis yang di-
kodifikasikan dalam ṣaḥīḥ Bukhārī-Muslim tergolong hadis ṣaḥīḥ. Berdasarkan
penelitian para ulama sebuah hadis dianggap ṣaḥīḥ oleh Imam al-Bukhārī
bilamana rentetan sanadnya benar-benar bersambung yang dapat diketahui
dengan pertemuan langsung antara guru dan murid atau tolok ukur minimal
diketahui guru dan murid hidup semasa.38 Secara umum, hadis-hadis yang
terangkum dalam ṣaḥīḥ Muslim berkualitas ṣaḥīḥ, atau dinilai ṣaḥīḥ oleh
mayoritas ulama. Bukan dalam pengertian semua hadis yang terdapat dalam
kitab ini berkualitas ṣaḥīḥ, dan bukan berarti hadis-hadis di luar kitab ini tidak
ṣaḥīḥ. Imam Muslim menyatakan bahwa ia tidak memasukkan hadis yang
hanya dianggap ṣaḥīḥ menurut penilainnya dalam kitab ini, melainkan hadis-
hadis yang telah disepakati ulama hadis.39
_______________
37Imam al-Māwardī, al-Hāwī al-Kabīr, Juz III, h. 313.
38Muḥammad 'Ajjāj al-Khaṭīb, Uṣūl al-Ḥadīth (Beirut: Dār al-Fikr, 1989), h. 313; disebutkan:
ﺴﻠﻢg ان أﺻﺢ ا ﻜﺘﺐ ﺑﻌﺪ اﻟﻘﺮآن اﻟﻌﺰ ﺰ ا ﺼﺤﻴﺤﺎن ا‚ﺨﺎري وr ﻬﻢ اﷲ$اﺗﻔﻖ اﻟﻌﻠﻤﺎء رi
. ﻀﺔgš ﺘﺎب ا‚ﺨﺎري أﺻﺤﻬﻤﺎ و اﻛ™ﻫﻤﺎ ﻓﻮاﺋﺪ و ﻣﻌﺎرف ﻇﺎﻫﺮة وƒوﺗﻠﻘﺘﻬﻤﺎ اﻻﻣﺔ ﺑﺎﻟﻘﺒﻮل و
“Menurut kesepakatan ulama' bahwa kitab-kitab hadis paling ṣaḥīḥ setelah al-Qur'an al-'Azīz
adalah Bukhārī dan Muslim, dan sepatutnya umat menerimanya. Kitab ṣaḥīḥ Bukhārī adalah
paling ṣaḥīḥ dan paling banyak mengandung faidah, pengetahuan baik yang mudah maupun yang
rumit. “ Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharah al-Nawawī, Ṣaḥīḥ Muslim bi Sharḥ al-Imām al-
Nawawī, Jilid. I (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 14.
39Muḥammad ibn 'Alawī al-Mālikī al-Ḥasanī, al-Manhal al-Laṭīf fī Uṣūl al-Hadīth al-Sharīf (Beirut:
Dār al-Fikr, 1978), h. 292.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║157
Ainol Yaqin
_______________
40Muḥammad 'Ajjāj al-Khaṭīb, Uṣūl al-Ḥadīth, h. 326.
41Ibid., h. 326-327.
44QS. al-Nisā: 4.
45Imam al-Māwardī, al-Hāwī al-Kabīr, Juz XII, h. 35-36; Ibn Abbās, Qatadah, Ibn Zaid dan Ibn Juraih
menyatakan bahwa khiṭab ini tertuju pada suami-suami. Allah memerintahkan kepada para suami
untuk memberikan mahar kepada istri sebagai penghibur. Muḥammad ibn Aḥmad al-Anṣārī al-
Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz V (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 23; Muḥammad ibn ‘Umar ibn
Ḥusain al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, Jilid IX (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), h. 146; Abū Ja’far
mengutarakan bahwa suami diperintahkan untuk memberikan mahar kepada istrinya sebagai
pemberian wajib. Muḥammad ibn Jārir al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, Jilid III (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2009), h. 583.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║159
Ainol Yaqin
_______________
46Imam al-Māwardī, al-Hāwī al-Kabīr, Juz XII, h. 36-37.
47Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Majmū' Sharḥ al-Muhaddab, Jilid XVI, 342;
Muḥyiddīn ibn Sharḥ al-Nawawī, al-Tanqīh fī Sharḥ al-Wasīth, Jilid V, h. 217-218; Muḥammad ibn Idrīs
al-Shāfi’ī, al-Umm, Juz VI, h. 157-158; Abū Zakariyā ibn Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, Rauḍah al-Thālibīn,
_______________
Juz V (Riyaḍ: Dār ‘Ālam al-Kutub, 2003), h. 576; Abī al-Khair Sālim al-‘Imranī, al-Bayān fī Madhhab al-
Imām al-Shāfi’ī, Jilid IX, h. 397; Aḥmad ibn Salamah al-Qalyūbī, Hāsyiyyah Qalyūbī, Juz III, 276, Yūsuf al-
Fairūz Abādī al-Shairazī, al-Muhadhdhab fī Fiqh al-Imām al-Shāfi’ī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1995),
Juz II, h. 465-466; Muḥammad ibn Abdulkarīm al-Rāfi’ī al-Qazwinī, al-‘Azīz Sharḥ al-Wajīz, Juz VIII, h. 235;
Muḥammad ibn al-Khaṭīb al-Sharbīnī, Mughnī al-Muḥtāj ilā Ma’rifati Alfāẓ al-Minhāj, Juz III, h. 239.
48Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, Rawḍah al-Ṭālibīn, Juz VI, h. 373; Yūsuf al-Fairūz Abādī al-Shairazī,
al-Muhadhdhab fī Fiqh al-Imām al-Syāfi’i, Juz III, h. 133; Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, al-
Wasīth fī al-Madhhab, Jilid VI, h. 143.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║161
Ainol Yaqin
Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid I (Beirut: Dār Thayyibah, t.th.), h. 640; Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharaf al-
Nawawī, al-Majmū' Sharḥ al-Muhadhdhab, Jilid XVIII, h. 191.
50Muḥammad ibn Idrīs al-Syāfi’i, al-Umm, Juz VI, 590; Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharaf al-
Kedua athār di atas murni hasil ijtihad shabahat terhadap kasus yang
dihadapi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Karena itu, memperhatikan
budaya, perilaku masyarakat, orang yang menjadi objek fatwa di saat fatwa
dikemukakan menjadi faktor krusial guna mengetahui kasus yang sebenarnya.
Sejauh ini, penulis menganggap qawl jadīd yang dibangun atas athār ‘Alī lebih
kuat karena di lain kesempatan ‘Umar menarik kembali pendapat yang telah
difatwakan. Di tengah-tengah khalayak ‘Umar mengatakan: Tinggalkanlah
kebodohan-kebodohan dan berpeganglah pada al-Sunnah. Kemudian ‘Umar
berpegangan pada pendapat ‘Alī.52
ﺮﻫﺎg اﷲ ﻋﻨﻪ ﻓﺄ¤ﻄﺎب ر¥ ﻓﺄﺗﺖ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ا،ﺮأﺗﻪgأن رﺟﻼ اﺳﺘﻬﻮﺗﻪ ا¡ﻦ ﻓﻐﺎب ﻋﻦ أ
_______________
52Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Majmū' Sharḥ al-Muhadhdhab, Jilid XVIII,
h.190-193.
53Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Tanqīh fī Sharḥ al-Wasīth, Jilid VI, h. 148; Yaḥyā ibn Sharaf
al-Nawawī, Rawḍah al-Thālibīn, Juz VI, h. 377; Muḥammad ibn Abdulkarīm al-Rāfi’ī al-Qozwinī, al-
‘Azīz Sharḥ al-Wajīz, Juz IX, 484-485; Abdulhamīd al-Sharwanī, Hawāsyī Tuhfah al-Muḥtāj bi Sharḥi al-
Minhāj, Juz VIII, h. 253; Muḥammad ibn al-Khaṭīb al-Syarbinī, Mughnī al-Muḥtāj ilā Ma’rifat Ma’ānī
Alfādz al-Minhāj, Juz III, h. 520-521; Aḥmad ibn Salamah al-Qalyūbī, Hāsyiyyah al-Qalyūbī, Juz IV, h. 51,
Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Majmū’ Sharḥ al-Muhadhdhab, Jilid XIX, h. 442;
Yaḥyā ibn Abilkhair al-‘Imronī, al-Bayān fī Madhhab al-Shāfi’ī, Jilid XI, 44-45; ‘Abdullāh ibn Yūsuf al-
Juwainī, Nihāyah al-Maṭlab fī Nihāyah al-Madhhab, Jilid XV, h. 287.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║163
Ainol Yaqin
54
. ﺮﻫﺎ أن ﺗﻌﺘﺪ ﺛﻢ ﺗ¦وجg ﺛﻢ أ،§œﻊ ﺳCأن ﺗﻤﻜﺚ أر
"Bahwa seorang laki-laki dikelabui jin kemudian ia lenyap dari penglihatan
istrinya, lalu si istri mendatangi ‘Umar ibn Khattāb dan ‘Umar pun memutus-
kan ia harus menunggu selama empat tahun, setelah itu ia diperintah untuk
ber'iddah. Kemudian diperkenankan untuk menikah lagi dengan laki-laki lain."
Kedua, fasakh dengan alasan suami impoten dan tidak mampu menafkahi
dibolehkan syara', apalagi persoalaan ini (berkumpul dua mafsadat, yaitu istri
tidak memperoleh nafkah lahir dan nafkah batin).55
Dalam riwayat Yaḥyā diceritakan oleh Ibnu Abi Dunyā ia berkata di-
riwayatkan Abū Muslim Abdurrahmān Ibnu Yūsuf dari Sufyān ibn 'Uyainah
dari ‘Umar ibn Dīnār dari Yaḥyā ibn Ja'dah berkata: “Pada masa ‘Umar ada se-
seorang yang dikelabui oleh jin, tentu tidak diketahui apakah ia masih hidup
atau sudah mati. Hari-hari berikutnya sang istri mendatangi ‘Umar mengadu
keluh resahnya, kemudian beliau menyuruhnya menunggu selama empat
tahun. Kemudian ‘Umar menyuruh wali si suami untuk mentalak. Setelah itu,
‘Umar memerintah si istri ber-'iddah dan kawin. Jika dikemudian hari sang
suami datang ia diberi pilihan untuk tetap mempertahankan istrinya dan
membayar mahar”. Menurut al-Nawawī validitas berita ini tidak dapat di-
pertanggungjawabkan karena Yaḥyā tidak semasa dengan ‘Umar. Oleh kerena
itu, berita ini terjebak pada khabar munqaṭi'.56
Sedangkan dalil-dalil yang memperkokoh qawl jadīd Imam Syafi’i adalah:
Pertama, riwayat ‘Alī :
al-Muḥtāj bi Sharḥi al-Minhāj, Juz VIII, h. 254; Yaḥyā ibn Abilkhair al-‘Imranī, al-Bayān fī Madhhab al-
Shāfi’ī, Jilid XI, h. 46.
56Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Majmū' Sharḥ al-Muhadhdhab, Jilid XV, h.
155-157.
Kedua, kasus ini tidak bisa disamakan dengan kasus firāq (berpisah)
dengan alasan impoten dan sukar menafkahi. Sebab kematiaan bersifat pra-
duga, sedangkan impoten dan sukar menafkahi jelas dan nyata.57
Di kalangan aṣḥāb cenderung berpegangan pada qawl jadīd yang di-
pandang lebih rājih. Abū Ishāq mengemukakan bahwa istri yang ditinggal
suami memulai masa 'iddah sejak putusan hakim dijatuhkan sebab dalam
kasus ini perpisahan (firāq) terjadi berdasarkan ijtihad hakim. Sedangkan
sebagian aṣḥāb berpendapat ia dapat memulai masa 'iddah ketika suami telah
tiada. Tampaknya, pendapat pertama yang mengungguli karena putusan firāq
bergantung pada ijtihad hakim.58
Uraian al-Nawawī atas dalil-dalil qawl qadīm dan qawl jadīd memperjelas
bahwa beralihnya Imam Syafi’i dari qawl qadīm pada qawl jadīd karena
perbedaan materi dalil dan keshahihan sebuah khabar. Sebab dalil yang di-
jadikan rujukan qawl qadīm terperangkap pada khabar munqati' yang mata
rantai sanadnya tidak bersambung. Disamping itu, Ju'dah sebagai perawi athār
tersebut disangsikan status kesahabatannya. Apakah ia masih mengikuti Nabi
atau tidak? Begitu juga, Yaḥyā sebagai perawi athār patut dicurigai kevalidan
beritanya karena ia hidup tidak semasa dengan ‘Umar.59
Sejalan dengan pendirian Imam Syafi’i dalam menelaah qawl sahabat
bahwa pendapat sahabat yang masih tidak mendapat kata sepakat di kalangan
sahabat harus dilakukan tarjīh dengan mencari dalil-dalil pendukung. Pen-
dapat sahabat yang harus dipedomani adalah pendapat yang sesuai dengan al-
kitab, sunnah, ijma' atau diperkuat qiyas yang lebih ṣaḥīḥ. Lebih lanjut, Imam
Syafi’i menegaskan bahwa ia akan berpedoman pada pendapat seorang
sahabat, bila masalah yang dihadapi tidak dijumpai keterangannya dalam
kitab, sunnah, ijma', atau merujuk pada qiyas.60
_______________
57Ibid., Jilid XV, h. 155; Yaḥyā ibn Abilkhair al-‘Imranī, al-Bayān fī Madhhab al-Shāfi’ī, Jilid XI, h. 44-
45.
58Yaḥyā ibn Abilkhair al-‘Imranī, al-Bayān fī Madhhab al-Shāfi’ī, Jilid XI, h. 46.
59Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Majmū' Sharḥ al-Muhadhdhab, Jilid XV, h. 155.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║165
Ainol Yaqin
_______________
61QS. al-Ṭalāq: 1.
62Yaḥyā ibn Abilkhair al-‘Imranī, al-Bayān fī Madhhab al-Shāfi’ī, Jld XI, 74-75; Muḥammad ibn
‘Abdulkarīm al-Rāfi’ī, al-‘Azīz Sharḥ al-Wajīz, Juz IX, h. 261-262; ‘Abdulhamīd al-Sharwanī, Hawāsyī
Tuhfah al-Muḥtāj bi Sharḥi al-Minhāj, Juz VIII, h. 511; Aḥmad ibn Salamah al-Qalyūbī, Hāsyiyyah
Qalyūbī, Juz IV, h. 55; Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, Rawḍah al-Ṭālibīn, Juz VI, h. 393; Shamsuddīn
Muḥammad ibn al-Khaṭīb, Mughnī al-Muḥtāj ilā Ma’rifat Sharḥ al-Minhāj, Juz III, h. 529.
63HR. Muslim, Abū Daud, Ibn Mājah, dan al-Nasā'ī. Jalāluddīn al-Suyūṭī, Sunan al-Nasā`ī, Jilid III. h.
437; Muḥammad ibn Yazīd al-Qazwinī, Sunan Ibn Mājah, Jilid II, h. 513; Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn
Sharaf al-Nawawī, al-Majmū' Sharḥ al-Muhadhdhab, Jilid XVIII, h. 174-177.
_______________
64Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Majmū' Sharḥ al-Muhadhdhab, Jilid. XVIII, h.
177.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║167
Ainol Yaqin
_______________
65QS. al-Baqarah: 237.
66Ibid., Jilid XVI, 364-365, Yaḥyā ibn Abilkhair al-‘Imranī, al-Bayān fī Madhhab al-Shāfi’ī, Jilid. IX, h.
439-343; Muḥammad ibn ‘Abdulkarīm al-Rāfi’ī, al-‘Azīz Sharḥ al-Wajīz, Juz VIII, h. 320; Muḥammad
ibn Muḥammad al-Ghazālī, al-Wasīṭ fī al-Madhhab, Jilid V, h. 260-261; Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī,
Rawḍah al-Ṭālibīn, Juz V, h. 631-632; Aḥmad ibn Salamah al-Qalyūbī, Hāsyiyyah Qalyūbī, Juz III, h. 290;
‘Abdulhamīd al-Sharwanī, Hawāsyī Tuhfah al-Minhāj bi Sharḥ al-Minhāj, Juz VII, h. 408-409;
Shamsuddīn Muḥammad ibn al-Khaṭīb, Mughnī al-Muḥtāj ilā Ma’rifat Sharḥ al-Minhāj, Juz III, h. 317;
Wahbāh al-Zuhailī, al-Tafsīr al-Munīr, Jld. II (Beirut: Dār al-Fikr, 1998), h. 383; Muḥammad ibn Jarīr al-
ْ ُْ ْ ُ ُ َ M َ
﴾ÂÂ﴿ .... وﺟﺮ ْ َﻦ ِ ِﺑﻬﻢ
َ َ َ اﻟﻔﻠﻚ
ِ •ِ ﺣ ٰ ِإذا ﻛﻨﺘﻢ...
"... sehingga ketika kamu di dalam kapal, dan meluncurlah (kapal) itu mem-
bawa mereka ...."67
Firman Allah "kecuali mereka (istri) memaafkan", khitab ini tertuju pada istri,
menganjurkan mereka untuk 'memaafkan' (mengembalikan) separuh mahar
yang telah menjadi haknya supaya suami luluh hatinya sehingga menaruh iba
yang mendalam untuk merajut kembali mahligai rumah tangga yang pernah
dibina bersama. Ini adalah Pendapat ‘Alī, Jubair dari kalangan sahabat. Syuraih,
Sa'īd ibn Jabīr, Sa'īd ibn Musayyab, dan Syi'bī dari kalangan tābi'īn, Sufyān al-
Thaurī, Ibnu Abī lailā, dan Abū Ḥanīfah dari kalangan fuqaha'.68
Adapun dalil-dalil yang menopang qawl qadīm adalah sebagai berikut:
Pertama, setelah talak terjadi hanyalah wali yang mempunyai hak absolut
atas putrinya, karena ia yang mempunyai hak untuk mengawinkan putrinya.
Oleh sebab itu, perintah ini diarahkan pada wali semata, dan tidak dapat
ditujukan pada suami sebab setelah suami mentalak, ia tidak mempunyai
wewenang apa pun.
Kedua, wali adalah orang yang mempunyai hak untuk mengakad putrinya,
sedangkan suami mempunyai hak untuk istimta' dengan sang istri. Karena itu,
makna “biyadihi 'uqdat ’n-nikāḥ” tertuju pada wali lebih relevan dilihat dari
redaksi ayatnya.
Ketiga, suami berpiutang untuk separuh mahar yang telah menjadi hak istri,
yang menjadi hak milik istri yang telah dewasa atau wali sang istri yang masih
kecil/perawan. Karena itu, yang lebih berhak memberi 'maaf' (dispensasi)
adalah orang yang mempunyai hak bukan orang yang memikul beban
kewajiban.69
_______________
Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, Jilid II, h. 557-565; Muḥammad ibn ‘Umar ibn Ḥusain al-Rāzī, al-Tafsīr al-
Kabīr, Jilid III, h. 121-123.
67QS. Yūnus : 22.
68 Imam al-Māwardī, al-Hāwī al-Kabīr, Juz XII, 144-145. Muḥammad ibn Aḥmad al-Anṣārī al-
Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Jilid II, h. 207.
69 Imam al-Māwardī, al-Hāwī al-Kabīr, Juz XII, h. 143-145.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║169
Ainol Yaqin
ﻄﺎب ﺑﺎﻟﻌﻔﻮ¥ ان ﻳﺘﻮﺟﻪ اÅ ﻓﺎﻗﺘÆﺎ ﻚ دون ا ﻮzﻠﻚ و ا ﺰوج ﻫﻮ اg و إﻧﻤﺎ ﻳﻌﻔﻮ ﻣﻦ
. Æ ا ﻮÇﻪ ﻻ إVإ
”Bahwasanya yang dapat memaafkan orang yang memiliki dan suamilah yang
memiliki istri. Karena itu, khiṭāb ayat di atas lebih pantas dimaksudkan pada
suami, bukanlah pada wali.”
Ketiga, pada hakikatnya hak 'memaafkan' adalah meninggalkan, itu adalah
hak suami, karena ia memiliki separuh mahar setelah terjadi talak. Jika ia
membiarkan untuk tidak memiliki maka tidak berhak untuk memiliki. Sedang-
kan wali mempunyai hak maaf terkait dengan perkara lain, yaitu berupa
pemberian jika berwujud benda dan ibra’ jika berada dalam tanggungan. Jadi,
pemberiaan maaf berada di tangan suami.
Keempat, hak 'memaafkan' jika tertuju pada suami maka bisa mencakup pada
semua suami yang mentalak. Sebaliknya, jika hak 'memaafkan' diarahkan pada
wali maka hanya mengenai pada sebagian wali dan sebagian istri-istri saja, yakni
bapak dan kakek dan hanya tertentu pada istri yang masih kecil lagi perawan.
. ﺼﻮص¥ ﻣﺎ ﻳﻮﺟﺐ اr ﻠﻪ$ ﻣﻦÉ ﻣﺎ ﻳﻮﺟﺐ اﻟﻌﻤﻮم أوr ﻄﺎب¥ﻞ ا$
”Membawa khiṭāb pada sesuatu yang menunjukkan general lebih utama
daripada mengarahkan khiṭāb pada sesuatu yang menunjukkan spesifik.”
Kelima, firman Allah !" ْ َى#ِ ب
ُ %َ &ْ ََأنْ َ ُْ ا َأkhiṭāb ini tidak dialamatkan pada
wali karena kualitas ketaqwaan wali terletak pada melindungi harta yang
berada dalam kekuasaannya, bukan memaafkan dan membebaskan.
Keenam, ditopang hadis yang diriwayatkan Ibnu Luhai'ah dari ‘Umar ibn
Shu’ib dari ayahnya dari kakeknya berkata bahwa Rasulullah bersabda:
70
. ﻋﻘﺪ ا ½ح ا ﺰوجÉو
”Wali (yang menguasai) ikatan nikah adalah suami..”
Ketujuh, ijma' sahabat, diriwayatkan Syuraih dari ‘Alī ibn Abī Ṭālib berkata:
71
. أن ا¿ي ﺑﻴﺪه ﻋﻘﺪة ا ½ح ا ﺰوج
"Sesungguhnya orang yang mempunyai kuasa ikatan nikah adalah suami."
Imam Syafi’i merombak kembali hasil ijtihadnya pada waktu berdomisili di
Irak karena beliau memiliki nalar ijtihad yang berbeda dengan sebelumnya.
Kematangan pola pikir Imam Syafi’i setelah beliau berada di Mesir cukup me-
warnai kesimpulan hukum yang beliau cetuskan. Terbukti, meskipun per-
soalaan di atas berakar dari ayat yang sama namun memunculkan produk
hukum yang berbeda. Hal itu terjadi karena perbedaan pemahaman ijtihad
Imam Syafi’i terhadap naṣ al-Qur’an.
Mencermati ulasan dalil-dalil di atas dapat ditegaskan bahwa qawl jadīd
memiliki sumber rujukan yang lebih jelas dan kuat. Selain berlandaskan
analisa gramatika atas al-Qur’an juga dikukuhkan oleh hadis dan ijma' para
sahabat. Jadi, peralihan ijtihad Imam Syafi’i dari qawl qadīm pada qawl jadīd
karena ditemukan hadis yang sebelumnya tidak diketahui, dan penemuan
terhadap qawl sahabat, serta karena perubahan logika pemahaman terhadap
sumber hukum dan dalil yang digunakan sebelumnya.
_______________
70Muḥammad ibn Aḥmad al-Anṣārī al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Jilid II, h. 206.
71Muḥammad ibn Idrīs al-Shāfi’ī, al-Umm, Juz VI, h.190; Imam al-Māwardī, al-Hāwī al-Kabīr, Juz
XII, h. 143-145; Jalāluddīn al-Suyūṭī, al-Durru al-Manthūr fī al-Tafsīr bil al-Ma`thūr, Juz III (Kairo:
Markaz Hajr li ‘l-Buḥūth wa al-Dirāsāt al-‘Arabīyah wa al-Islāmiyyah, 2003), h. 29; Ismā’īl ibn ‘Umar
ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid I, h. 643-645; Ismā’īl ibn Yaḥyā ibn Ismā’īl al-Muzannī,
Mukhtaṣar al-Muzannī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1998), h. 244.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║171
Ainol Yaqin
73Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Tanqīh fī Sharḥ al-Wasīṭ, Jilid I, h. 233; ‘Abdullāh ibn Yūsuf
al-Juwainī, Nihāyah al-Maṭlab fī Nihāyah al-Madhhab, Jilid. I, 29; Yaḥyā ibn Sharḥ al-Nawawī, Rawḍah
al-Ṭālibīn, Juz I, h.152; Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, al-Wajīz fī fiqh al-Imām al-Shāfi’ī, Juz I,
h. 119; Yūsuf al-Fairuz Abādī al-Shairazī, al-Muhadhdhab fī Fiqh al-Imām al-Shāfi’ī, Juz I, h. 27-28.
74Imam al-Māwardī, al-Hāwī al-Kabīr, Juz I, h. 69; Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī,
hadap kasus yang bersumber pada naṣ. Beliau menilai dalil yang menopang
qawl qadīm kurang cocok sebab ayat di atas menyebutkan secara umum, yang
membuka peluang ditemukannya dalil-dalil lain yang mentakhsisnya.
_______________
75 ‘Ali ibn ‘Umar al-Daruquṭnī, Sunan al-Daruquṭnī, Jilid I, h. 39.
76Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Tanqīh fī Sharḥ al-Wasīṭ, Jilid I, h. 235; Muḥammad ibn
Muḥammad al-Ghazālī, al-Wajīz fī fiqh al-Imām al-Shāfi’ī, Juz I, h.119; Shaikh Sulaimān al-Jamal, al-
Jamal ‘ala Sharḥi al-Minhāj, Jilid I (Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāth al-‘Arabī, t.th.), h. 181; Yūsuf al-Fairūz
Abādī al-Shairazī, al-Muhadhdhab fī Fiqh al-Imām al-Shāfi’ī, Juz I, h. 28.
77Abū Zakariyā Muḥyiddīn ibn Sharaf al-Nawawī, al-Majmū' Sharḥ al-Muhadhdhab, Jilid I, h. 229.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║173
Ainol Yaqin
Kesimpulan
Berdasarkan paparan dalil-dalil yang melandasi qawl qadīm dan qawl jadīd,
maka dapat dikatakan bahwa perubahan hasil ijtihad Imam Syafi’i dari qawl
qadīm pada qawl jadīd disebabkan beberapa faktor, yaitu pertama, dalam bidang
ibadah, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan hasil ijtihad Imam Syafi’i
disebabkan temuan hadis ṣaḥīḥ (masalah zakat madu), hadis, qawl dan ijma’
shahābah serta nalar al-ra’yu/logika (masalah mengqada’ puasa).
Kedua, dalam bidang munākahat, faktor-faktor yang menyebabkan
perubahan hasil ijtihad Imam Syafi’i dikarenakan wajh istidlāl/nalar berpikir
dan analogi (masalah status mahar yang rusak), athār dan qawl ṣaḥabah yang
lebih rājih (masalah hukum nikah pada masa ‘iddah), hadis dan athār ṣaḥabah
yang ṣaḥīḥ (masalah nikah istri yang ditinggalkan suami), hadis ṣaḥīḥ yang
bersifat khāsh (masalah keluar rumah di saat ‘iddah), nalar al-ra’yu, analisa
gramatika bahasa, hadis dan ijma’ ṣaḥabah (masalah biyadihi ‘uqdah al-nikah).
Ketiga, dalam bidang mu’āmalah, faktor-faktor yang mempengaruhi per-
ubahan hasil ijtihad Imam Syafi’i didasarkan pada qiyas/analogi (masalah jual
beli kulit bangkai yang sudah disamak), dan nalar al-ra’yu yang lebih matang
(masalah memakan kulit bangkai yang sudah disamak).
Selain hal itu, kita pula dapat memetik sikap mulia dan tingginya keilmuan
Imam Syafi’i sebagai imam mazhab dan ilmuwan sejati. Sikap-sikap mulia
tersebut adalah pertama, rasa ingin tahu dan haus ilmu pengetahuan. Hal ini,
tercermin di sepanjang perjalanan hidupnya dihabiskan untuk mencari ilmu,
baik dengan cara membaca, menghafal, menulis, berdiskusi, berdebat untuk
mencari kebenaran maupun berguru pada syaikh-syaikh ternama.
_______________
78‘Abdullāh ibn Yūsuf al-Juwainī, Nihāyah al-Maṭlab fī Nihāyah al-Madhhab, Jilid I, h. 29-30.
DAFTAR PUSTAKA
al-‘Asqalānī, Aḥmad ibn ‘Alī ibnu Hajar, Taghlīq al-Ta’līq ‘alā Ṣaḥīḥ al-Bukhāri,
Beirut: Dār ‘Imār, 1985.
__________, Tawālī al-Ta`sīs, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1986.
__________, al-Maṭālib al-‘Āliyyah bi Zawā`idi al-Masānid al-Thamāniah, Riyad:
Dār al-‘Āshimah, 1998.
al-Bayhaqī, Abū Bakar Aḥmad ibn al-Ḥusain, Kitāb al-Sunan al-Ṣaghīr, Beirut:
Dār al-Fikr, t.th.
al-Bannā, Aḥmad ‘Abdurrahmān, al-Bulūgh al-Amālī min Asrār al-Fatḥ al-
Rabbānī, Beirut: Dār Ihyā` al-Turāth al-‘Arabī, t.th.
al-Bujairamī, Sulaimān ibn Muḥammad, al-Bujairamī ‘ala ’l-Khaṭīb, Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiah, 1996.
al- Dāruquṭnī, Alī ibn ‘Umar, Sunan al-Dāruquṭnī, Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
Daud, Abū, Sunan Abī Daud, Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
al-Ghazālī, Muḥammad ibn Muḥammad, al-Wajīz fī Fiqh al-Imām al-Syafi’i,
Beirut: Dār al-Arqam, 1997.
al-Ghazālī, Muḥammad ibn Muḥammad, al-Wasīṭ fi ’l-Madhhab, Kairo: Dār al-
Salām, 1997.
al-Ḥasanī, Muḥammad ibn 'Alawī al-Mālikī, al-Manhal al-Laṭīf fī Uṣūl al-Ḥadīth
al-Syarīf, Beirut: Dār al-Fikr, 1978.
al-Jamāl, Shaikh Sulaimān, al-Jamāl ‘alā Sharḥ al-Minhāj, Beirut: Dār Ihyā’ al-
Turāth al-‘Arabī, t.th.
al-‘Imrānī, Sālim, al-Bayān fī Madhhab al-Imām al-Shāfi’i, Beirut; Dār al-Minhāj,
t.th.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║175
Ainol Yaqin
‘Iyāḍ, Mūsa ibn, Ikmāl al-Mu’lim bi Fawāidi Muslim, Beirut: Dār al-Wafā’, 1998.
al-Juwainī, ‘Abdullāh ibn Yūsuf, Nihāyah al-Maṭlab fī Dirāyah al-Madhhab,
Jeddah: Dār al-Minhāj, 2007.
Kathīr, Ismā’īl ibn ‘Umar ibn Ibnu, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Beirut: Dār
Ṭayyibah, t.th.
al-Khaṭīb, Muḥammad 'Ajjāj, Uṣūl al-Ḥadīth, Beirut: Dār al-Fikr, 1989.
al-Mālikī, Ḥasan Sulaimān al-Nūri dan 'Alawī 'Abbās, Ibānah al-Aḥkām Sharḥ
Bulūgh al-Marām, Beirut: Dār al-Fikr, 2000.
al-Maṭlab, Rif’at Faurī ‘Abdu, Muqaddimah al-Taḥqīq al-Umm, Beirut: Dār al-
Wafa’, 2001.
al-Māwardī, Imām, al-Hāwi al-Kabīr, Beirut: Dār al-Fikr, 1994.
Mūsa, Qādlī Iyādl ibn, Tartīb al-Madārij wa Taqrīb al-Masālik, Beirut: Dār al-
Kutub al-‘Ilmiah, 2001.
al-Muzannī, Ismā’īl ibn Yaḥyā ibn Ismā’īl, Mukhtaṣar al-Muzannī, Beirut: Dār al-
Kutub al-‘Ilmiah, 1998.
al-Naisabūrī, Abū al-Ḥusain Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, Beirut: Dār al-Fikr, 1988.
al-Nawawī, Abū Zakariyā ibn Yaḥyā ibn Sharaf, Rawḍah al-Ṭālibīn, Riyaḍ: Dār
‘Ālam al-Kutub, 2003.
al-Nawawī, Abū Zakariyā Muhyiddīn ibn Sharaf, al-Majmū’ Sharḥ al-
Muhadhdhab, Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
al-Nawawī, Abū Zakariyā Muhyiddīn ibn Syarah, Ṣaḥīḥ Muslim bi Sharḥ al-
Imām al-Nawawī, Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
al-Nawawī, Muhyiddīn ibn Syarf, al-Tanqīh fī Sharḥ al-Wasīṭ, Kairo: Dār al-
Salam, 1997.
al-Nawawī, Yaḥyā ibn Sharaf, Tashhīh al-Tanbīh, Beirut: Muassasah al-Risālah,
1996.
al-Qalyūbī, Aḥmad ibn Salamah, Hāsyiyyah Qalyūbī, Kairo: Musthafā al-Bābī al-
Halabī, 2007.
al-Qaṭṭān, Mannā’, Tārīkh al-Tashrī’ al-Islāmī, Beirut: Dār al-Fikr, 1995.
al-Qazwīnī, Abdulkarīm al-Rāfi’ī, al-‘Azīz Sharḥ al-Wajīz, Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiah, 2007.
al-Qazwīnī, Muḥammad ibn Yazīd, Sunan Ibn Mājah, Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
al-Qazwinī, Muḥammad ibn Yazīd, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiah, 2009.
al-Qurṭubī, Aḥmad ibn ‘Umar, al-Mufhim limā Asykala min Talkhīsh Kitāb
Muslim, Beirut: Dār Ibnu Kathīr, 1996.
al-Qurṭubī, Muḥammad ibn Aḥmad al-Anṣārī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān,
Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
al-Ramlī, Muḥammad ibn Abī ‘Abbās, Nihāyah al-Muḥtāj ilā Sharḥ al-Minhāj,
Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
al-Rāzī, Abdurrahmān ibn Abī Hātim, Ādāb al-Syafi’i wa Manāqibuhu, Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 2003.
al-Rāzī, Muḥammad ibn ‘Umar ibn Ḥusain, al-Tafsīr al-Kabīr, Beirut: Dār al-
Kutub al-‘Ilmiah, 2004.
al-Rūyānī, ‘Abdulwāhid ibn Ismā’īl, Bahru al-Mazhab fī Furū’ al-imām al-Syafi’i,
Beirut: Ihyā` al-Turāth al-‘Arabī, 2002.
al-Sajastanī, Abū Daud Sulaimān, Sunan Abi Daud, Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
al-Sāyis, Muḥammad Alī, Tārīkh al-Fiqh al-Islāmī, Beirut: Dār al-Fikr, 1995.
al-Subkī, Tājuddīn Abdul al-Wahhāb, Jam'u al-Jawāmi', Beirut: Dār al-Fikr,
1982.
al-Suyūṭī, Jalāluddīn ‘Abdurrahmān, al-Tausyīh Sharḥ al-Jāmi’ al-ṣaḥīḥ, Riyad:
Maktabah al-Rusyd, 1998.
al-Suyūṭī, Jalāluddīn, al-Durru al-Manthūr fī al-Tafsīr bil ‘l-Ma`thūr, Kairo:
Markaz Ḥajr li ‘l-Buḥūth wa al-Dirāsāt al-‘Arabīyah wa al-Islāmiyyah,
2003.
al-Suyūṭī, Jalāluddīn, Sunan al-Nasā`ī, Beirut: Dār al-Fikr, 1930.
al-Syafi’i, Muḥammad ibn Idrīs, al-Risālah, Beirut: Dār al-Fikr, 1309 H.
al-Syafi’i, Muḥammad ibn Idrīs, al-Umm, Beirut: Dār al-Wafa’, 2001.
al-Syairazī, Yūsuf al-Fairūz Abādī, al-Muhadhdhab fī Fiqh al-Imām asy-Syafi’i,
Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1995.
al-Sharbīnī, Muḥammad ibn al-Khaṭīb, Mughnī al-Muḥtāj ilā Ma’rifati Ma’ānī
`Alfāẓ al-Minhāj, Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1998
al-Sharbīnī, Yūsuf al-Fairūz Abādī, al-Muhadhdhab fī Fiqh al-Imām al-Syafi’i,
Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, 1995.
al-Sharwanī, Abdulhamīd, Hawāsyī Tuhfah al-Minhāj bi Sharḥ al-Minhāj, Kairo:
al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubra, 2007.
AL-AHKAM
p-ISSN: 0854-4603; e-ISSN: 2502-3209
Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 ║177
Ainol Yaqin
al-Ṭabarī, Muḥammad ibn Jārir, Tafsīr al-Ṭabarī, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah,
2009.
al-Ṭurmudhī, Imam, Sunan al-Ṭurmudhī, Beirut: Dār al-Fikr, 1994.
al-Wasytānī, Muḥammad ibn Khalfah, Ikmāl Akmāl al-Mu’lim, Beirut: Dār al-
Kutub al-‘Ilmiah, t.th.
Zahrah, Muḥammad Abū, al-Syafi’i, Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1978.
al-Zuḥailī, Wahbāh, al-Tafsīr al-Munīr, Beirut: Dār al-Fikr, 1998.