Anda di halaman 1dari 21

Tinjauan pustaka

Pendekatan Diagnosis dan Penatalaksanaan pada Insomnia


Lisa Mery Nathania. 102012024. C3
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 06 Jakarta 11510. Telp: 5694-2051. Email: ichanthania@yahoo.com

Pendahuluan
Tidur merupakan aktivitas susunan saraf pusat yang berperanan sebagai lonceng
biologik. Setiap makhluk hidup memperlihatkan irama kehidupan yang sesuai dengan rotasi
dari bola dunia. Tidur tidak dapat diartikan sebagai manifestasi proses de-aktivasi susunan
saraf pusat pada seseorang, melainkan adalah proses yang giat dalam mengadakan
sinkronisasi terhadap neuron-neuron substansia retikularis dari batang otak. Insomnia atau
Disorder of Initiating and Maintaining Sleep (DIMS) merupakan suatu gangguan tidur
yang paling sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sering ditemukan di
tempat praktek. Pasien yang datang dengan keluhan insomnia kadang dapat disertai dengan
gangguan psikiatrik dan kadang tidak disertai gangguan psikiatrik. Menurut Diagnostic and
Stastitical manual of Mental Disorder (DSM IV), insomnia didefinisikan sebagai suatu
keadaan sulit memulai tidur, mempertahankan tidur dan siaga tidur sehingga tidak merasa
segar satu bulan atau lebih. Penderita pada umumnya akan mengeluhkan kualitas tidurnya
yang terganggu dan setelah bangun tidak merasa segar. Normalnya, tidur akan membuat
diri kita merasa segar kembali, tetapi jika terdapat gangguan kita akan mendapat tidur yang
tidak berkualitas.1
Insomnia bisa dialami oleh semua lapisan masyarakat baik kaya, miskin,
berpendidikan tinggi atau rendah maupun orang muda atau tua sekalipun pasti bisa terkena
insomnia. Diperkirakan jumlah penderita akibat gangguan tidur setiap tahun akan semakin
meningkat sehingga insomnia menjadi salah satu masalah kesehatan di masa mendatang.
Kecenderungan menggunakan obat hipnotik tanpa mengetahui penyebab insomnia juga
telah menimbulkan masalah yang baru akibat penggunaan obat yang tidak adekuat dan
terjadilah toleransi terhadap obat tidur. Sehingga jelas bahwa gangguan ini perlu dikaji
karena kasus insomnia sangat sering ditemui, ditambah lagi pada jaman modern ini banyak
kehidupan malam yang penuh dengan pusat-pusat hiburan.1

1
Anamnesis
Insomnia bukan suatu penyakit, dan tidak ada tes yang dapat mendiagnosanya.
Tetapi ketika seseorang tidak dapat tidur dengan baik, sering kali ada terkait dengan
beberapa penyebab lain sehingga anamnesis sangat penting dalam pendekatan diagnosis
insomnia. Dalam anamnesis, yang harus diketahui adalah identitas, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang dan dulu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat sosial dan obat.1,2
Adapun yang akan ditanyakan meliputi alasan berobat, riwayat gangguan sekarang,
riwayat gangguan dahulu, riwayat perkembangan diri, serta latar belakang sosial, keluarga,
pendidikan pekerjaan, perkahwinan, dan lain-lain. Dari skenario 14, didapatkan seorang
pasien laki-laki berusia 45 tahun yang mengalami sulit tidur. Untuk melengkapi anamnesis
sebaiknya ditanyakan hal-hal yang berkaitan dengan tidur dan aktivitas sehari-hari pasien,
diantaranya adalah;1,2
1. Apakah ada mengalami kesulitan untuk tidur begitu berbaring di tempat tidur?
2. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk tertidur, seberapa sering terbangun di malam
hari, dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk tidur kembali?
3. Apakah ketika terbangun lebih dari satu kali?
4. Apakah terbangun terlalu awal pada pagi hari?
5. Sudah berapa lama mengalami kesulitan/masalah tidur? Menurut pasien, apa yang
menyebabkan terjadinya hal ini?
6. Bagaimanakah tidur pasien sebelum mengalami masalah ini (lama tidur, kualitas tidur)?
7. Apakah jadwal tidur dan bangun pasien pada akhir pekan berbeda dari hari lainnya?
8. Apakah terdapat anggota dalam rumah yang mengganggu tidur pasien?
9. Apakah pasien sering terbangun pada malam hari dengan rasa nyeri atau terdapat
keperluan untuk menggunakan kamar mandi?
10. Apakah paien merasa mengantuk atau tertidur di siang hari?
11. Apakah pasien mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi pada siang hari?
12. Apakah terjadi kekhawatiran jika tertidur, tidak bisa tidur, atau cukup tidur?
13. Apa yang anda makan atau minum sebelum tidur, atau adakah konsumsi obat sebelum
tidur? Apa kebiasaan rutin sebelum tidur?
14. Suasana sekitar saat tidur? Tahap kebisingan, pencahayaan, dan suhu?
15. Adakah terdapat gangguan, misalnya TV atau komputer?
Untuk membantu mempelajari siklus tidur pasien dengan lebih jelas, pertimbangkan
untuk meminta pasien menyimpan catatan harian tidur selama 1 atau 2 minggu. Catat waktu

2
tidur dan waktu bangun dari tidur, berapa banyak pasien tidur pada malam hari, dan berapa
kali pasien merasa mengantuk pada siang harinya. Dalam anamnesis juga penting untuk
ditanyakan riwayat penyakit dahulu dan keluarga untuk mengetahui apakah ada penyakit
atau stresor biopsikososial yang mendasari keluhan insomnia pasien. Diantaranya adalah:
(1) Masalah kesehatan yang baru atau sedang berlangsung, (2) Apakah terdapat luka yang
menyakitkan atau masalah kesehatan, seperti arthritis, (3) Pengambilan obat-obatan,
alcohol dan konsumsi makanan, (4) Apakah terdapat gejala atau riwayat depresi, kerisauan,
atau psikosis, (5) Apakah sedang mengatasi situasi yang sangat stres, seperti perceraian
atau kematian, (6) Status pekerjaan dan aktivitas harian, (7) Apakah pernah berpergian
jauh, (8) Masalah peribadi, dan (9) Riwayat keluarga yang turut mengalammi insomnia.1,2

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan gejala insomnia dapat dimulai dengan
membuat deskripsi umum tentang penampilan pasien. Deskripsikan apa yang nampak:
sikap, cara berpakaian, dandanan, postur tubuh, rambut, jenggot, kumis, kebersihan diri,
tampak lebih tua atau muda atau sesuai umurnya. Kemudian perhatikan kesadarannya,
adakah terlihat terganggu, atau tidak tampak terganggu. Perilaku dan aktivitas psikomotor
juga dapat diinspeksi dengan dinilai selama sebelum,semasa dan sesudah anamnesis. Sikap
terhadap pemeriksa juga harus diperhatikan. Menilai sikapnya adakah: kooperatif,
indeferen, apatis, curiga, antisosial, bermusuhan, pasif, aktif, ambivalen, tegang, seduktif,
dan lain-lain. Serta perhatikan kualitas bicara pasien dengan menilai cara berbicara dan
adakah terdapat gangguan bicara.2
Pada pemeriksaan fisik, keluhan insomnia pada pasien harus diperiksa dengan
tujuan untuk mencari apakah keluhan insomnia tersebut ada kaitannya dengan kelainan
patologis pada tubuh pasien atau terdapar stressor organobiologik yang mempengaruhi
siklus tidur pasien ini. Antaranya dapat dilakukan dengan memeriksa tanda-tanda vital
seperti tekanan darah, suhu tubuh, denyut jantung, frekuansi nafasnya. Jika ada sleep
apneu, lakukan pemeriksaan leher dan kepala dan dicari apakah terdapat penyempitan dari
orofaring, pembesaran tonsil. Melalui pemerhatian pada sepanjang pemeriksaan, perhatikan
adanya gangguan koordinasi, tampak mengantuk atau konsentrasi pasien. Jika terdapat
gejala yang menunjukkan terdapat gangguan pada suatu organ tubuh, organ itu hendaklah
dilakukan pemeriksaan lanjut contohnya seperti gangguan pada organ tiroid, jantung, atau
hati yang dapat menyebabkan masalah pada tidur.1,2

3
Pemeriksaan Penunjang
1. Studi Laboratorium
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan meninjau pada anamnesis apa
penyebab dasar sehingga muncul gejala insomnia tersebut. Contohnya pada pasien
dengan riwayat sugestif apnea tidur atau sindrom kaki gelisah (Rest Leg Syndrome) atau
gangguan periodik gerakan ekstremitas (PLMD) harus dirujuk ke pusat tidur untuk
dilakukan polysomnography. Misalnya pada pasien dengan riwayat sugestif dari PPOK
dan insomnia sebaiknya melakukan analisa gas darah arteri yang dilakukan untuk
menentukan apakah terjadi hipoxemia. Insomnia pada penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) sering dimulai dengan pengembangan hypoxemia malam (walaupun malam
hari, hipoxemia tidak diperlukan untuk insomnia terjadi). Pengobatan dengan oksigen
dapat memperbaiki tapi jarang menghilangkan insomnia. Pengujian atau pemeriksaan
neurologis dapat diindikasikan pada pasien dengan tanda-tanda dan gejala penyakit
neurologis.2
2. Actigraphy
Actigraphy menggunakan perangkat portabel dikalungkan di pergelangan tangan
seperti jam, mengandung mikroprossesor dan memori untuk merekam gerakan selama
waktu yang lama, sehingga sangat berguna untuk mempelajari pola tidur dan ritme
sirkadian. Membedakan insomnia primer dari gangguan ritme sirkadian dan
mengidentifikasi paradoks insomnia adalah sangat berguna, terutama pada pasien yang
refrakter terhadap pengobatan. Studi ini memberikan ukuran objektif tidak langsung
waktu tidur dan bangun.1,2
3. Polisomnografi (PSG)
Polisomnografi berasal dari bahasa Yunani polus artinya banyak, bahasa Latin
somnus, artinya tidur dan bahasa Yunani graphein yang berarti gambar atau rekaman.
Hingga definisi PSG adalah perekaman banyak fungsi tubuh selama tidur. PSG yang
lebih dikenal sebagai sleep study atau analisa tidur, merupakan pemeriksaan baku untuk
mendiagnosa berbagai gangguan tidur. Dengan alat ini aktivitas tidur dapat diukur
secara objektif. Alat ini dapat merekam elektroensefalogram (EEG) atau gelombang
otak tidur, elektromiogram (EMG) yang merekam aktivitas otot pada dagu dan kaki,
elektro-okulogram (EOG), getaran dengkur, aliran udara nafas, gerakan nafas dada dan
perut, kadar oksigen (SpO2), posisi tidur, dan irama jantung (ECG) sekaligus.
Kelengkapan alat dan sensor juga harus memenuhi persyaratan sesuai dengan standar

4
yang tertuang dalam panduan dari American Academy of Sleep Medicine. Aktivitas
yang pasien lakukan tanpa sadar tersebut bisa jadi merupakan penyebab seringnya
pasien terjaga di malam hari atau yang dikenal dengan gejala insomnia.3
PSG memiliki kekhasan sendiri. Dari pemeriksaan tidur kita mendapatkan
gambaran fungsi-fungsi tubuh lengkap selama tidur. Bandingkan dengan pemeriksaan
foto rontgen atau pemeriksaan lain yang dilakukan saat terjaga yang hanya
mendapatkan gambaran sesaat dari kondisi tubuh. Banyak gangguan fungsi tubuh yang
hanya terjadi pada saat tidur jadi tak terbaca dari pemeriksaan pada saat terjaga.3
PSG juga memiliki beberapa tipe yang harus disesuaikan dengan kondisi setiap
pasien. Tipe PSG digolongkan menjadi 4 tipe: Tipe 1, minimum terdiri dari 7 channels
dalam laboratorium dengan diamati oleh tenaga khusus sepanjang malam. Tipe 2,
minimum terdiri dari 7 channels, tidak diawasi secara langsung seperti tipe pertama.
Tipe 3, portable sleep apnea testing yang lebih dikenal dengan sebutan perekaman
kardio-respiratori, hanya terdiri dari perekaman nafas dan jantung. Tipe 4, apnea
screening, hanya merekam aliran udara di hidung dan kadar oksigen.3
Tipe 1 merupakan PSG terlengkap. Sementara tipe 2 mempunyai kelengkapan
yang sama namun kurang disarankan karena tidak ditunggui tenaga khusus untuk
mengawasi sepanjang malam. Untuk itu pada beberapa kondisi, lebih baik dilakukan
pemeriksaan tipe 3 yang walau tak lengkap tetapi lebih akurat. Tipe 3 dapat dilakukan
dengan nyaman di rumah. Tetapi tak semua kondisi bisa diperiksakan dengan tipe ini.
Sementara tipe 4 hanyalah pemeriksaan penyaring yang tak punya bobot diagnosa.
Semua tipe PSG, tidak boleh dibaca sembarangan. Ada tenaga ahli yang terlatih khusus
di bidang kedokteran tidur yang dapat melakukan analisa hasil PSG. Apalagi jika hanya
mengandalkan pembacaan otomatis oleh software alat. Sama sekali tak diperbolehkan.
Karena pembacaan gelombang otak ataupun nafas tak bisa ditirukan oleh alat. Banyak
parameter yang sering dilewatkan oleh pembacaan alat.3
Pemeriksaan polisomnografi biasa membutuhkan perekaman tidur sepanjang
malam. PSG rutin dilakukan pada kasus sleep apnea (ngorok), sindroma tungkai
gelisah, atau parasomnia (mengigau atau berjalan tidur). Ada juga pemeriksaan yang
dilakukan di pagi hingga sore hari. Misalkan Multiple Sleep Latency Test untuk
diagnosa narkolepsi dimana diukur seberapa cepat seseorang bisa tertidur dan langsung
masuk pada tahap tidur apa. Atau Maintenance of Wakefulness Test yang merupakan
pemeriksaan seberapa kuat seseorang dapat mempertahankan keterjagaannya.

5
Pemeriksaan ini oleh FAA disyaratkan untuk dilakukan setahun sekali oleh pilot dan
profesi-profesi yang bertanggung jawab terhadap keselamatan.1,3

Fisiologi Tidur
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya
waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai
irama sirkadian. Tidur tidak dapat diartikan sebagai manifestasi proses deaktivasi sistem
Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di
substansia retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi. Bagian susunan saraf
pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada substansia ventrikulo retikularis
batang otak yang disebut sebagai pusat tidur (sleep center). Bagian susunan saraf pusat
yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang otak
disebut sebagai pusat penggugah (arousal center).1,3

Gambar 1. Region Utama Otak yang Berperan dan Regulasi Tidur Fisiologis 3
Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu: Tipe Rapid Eye Movement (REM) dan Tipe Non
Rapid Eye Movement (NREM). Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari
4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM
terjadi secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam. Tidur NREM yang meliputi 75%
dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam empat stadium, antara lain: 1
 Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium ini dianggap
stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran kumparan tidur yang khas,
bervoltase rendah, frekuensi 3 sampai 7 siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.
 Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped) yang sering dengan

6
frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik yang dikenal sebagai
kompleks K. Pada stadium ini, orang dapat dibangunkan dengan mudah.
 Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG menggambarkan
gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5 siklus perdetik, yaitu
gelombang delta. Orang tidur dengan sangat nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.
 Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG hampir
sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah gelombang delta.
Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam, atau delta sleep, atau Slow
Wave Sleep (SWS)
Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagi-
bagi dalam stadium seperti dalm tidur NREM.

Gambar 2. Siklus dan Stadium Tidur3


Pola siklus tidur dan bangun adalah bangun sepanjang hari saat cahaya terang dan
tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya perubahan gelap dan
terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata dan mempengaruhi suatu bagian
di hipotalamus yang disebut nucleus supra chiasmatic (NSC). NSC akan mengeluarkan
neurotransmiter yang mempengaruhi pengeluaran berbagai hormon pengatur temperatur
badan, kortisol, growth hormone, dan lain-lain yang memegang peranan untuk bangun
tidur. NSC bekerja seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun tidur. Jika pagi hari
cahaya terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan
temperatur badan, kortisol dan GH sehingga orang terbangun. Jila malam tiba, NSC
merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga orang mengantuk dan tidur.
Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh glandula pineal. Saat hari mulai gelap,

7
melatonin dikeluarkan dalam darah dan akan mempengaruhi terjadinya relaksasi serta
penurunan temperatur badan dan kortisol. Kadar melatonin dalam darah mulai meningkat
pada jam 9 malam, terus meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi.2

Perubahan Tidur Akibat Proses Menua


Orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur ( berbaring
lama di tempat tidur sebelum tidur) dan mempunyai lebih sedikit atau lebih pendek waktu
tidur nyenyaknya. Pada penelitian di laboratorium tidur, orang usia lanjut mengalami waktu
tidur yang dalam lebih pendek, sedangkan tidur stadium 1 dan 2 lebih lama. Hasil uji
dengan alat polysomnographic didapatkan penurunan yang bermakna dalam slow wave
sleep dan rapid eye movement (REM). Orang usia lanjut juga lebih sering terbangun di
tengah malam akibat perubahan fisik karena usia dan penyakit yang dideritanya sehingga
kualitas tidur secara nyata menurun. 2
Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal yaitu
menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Dalam irama sirkadian yang
normal terdapat peranan pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan selama
siklus 24 jam. Ekskresi kortisol dan GH meningkat pada siang hari dan temperatur badan
menurun di waktu malam. Pada usia lanjut, ekskresi kortisol dan GH serta perubahan
temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin menurun dengan
meningkatnya umur. Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang sehat, juga
tergantung pada bagaimana aktivitasnya pada siang hari. Bila siang hari sibuk dan aktif
sepanjang hari, pada malam hari tidak ada gangguan dalam tidurnya, sebaliknya bila siang
hari tidak ada kegiatan dan cenderung tidak aktif, malamnya akan sulit tidur. 2

Gambar 3. Perbedaan Gelombang Tidur pada Orang Muda dan Orang Tua2

8
Hypnograms memerlihatkan perbedaan karakter tidur pada orang muda dan orang
tua. Dibanding dengan orang muda, Orang tua cenderung memiliki onset tidur yang lama,
tidur yang terfragmentasi, bangun terlalu dini di pagi hari dan menurunnya tidur tahap 3
dan 4.1,2

Definisi Insomnia
Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan
untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung
setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam fungsi
individu. The International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai
kesulitan memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3 malam atau minggu
selama minimal satu bulan. Menurut The International Classification of Sleep Disorders,
insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak
nyaman setelah episode tidur tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur
berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada
kesempatan untuk melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu
gejala yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan
pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi dan
suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.1-4

Klasifikasi Insomnia
Insomnia dikalsifikasikan menjadi beberapa jenis. Yang pertama, berdasarkan
penyebabnya insomnia dibagi menjadi: Insomnia Primer, dimana insomnia primer ini
mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau susah tidur ini dapat mempengaruhi
sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia. Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur dan
lingkungan tempat tidur seringkali menjadi penyebab dari jenis insomnia primer ini. Yang
kedua adalah Insomnia Sekunder, dimana insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek
dari hal lain, misalnya kondisi medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi
dan dementia dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang.
Selain itu masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1 dari 10
orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat disebabkan
oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit tertentu,

9
penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat
mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita insomnia.1,2,5
Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu International
code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)
IV dan International Classification of Sleep Disorders (ISD). Dalam ICD 10, insomnia
dibagi menjadi 2 yaitu: Insomnia Organik dan Insomnia Non organik. Serta dyssomnias
(gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur) dan parasomnias (ada episode abnormal
yang muncul selama tidur seperti mimpi buruk, berjalan sambil tidur, dll). Dalam ICD 10
tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia disini adalah insomnia
kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan gangguan fungsi
dan sosial.1,2,5
Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu: (1)
Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain, (2) Gangguan tidur yang
disebabkan oleh kondisi medis umum, (3) Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan
atau keadaan tertentu, dan (4) Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan
sama sekali dengan kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini menetap
dan diderita minimal 1 bulan.1,2,5
Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang direvisi, insomnia
diklasifikasikan menjadi: insomnia akut, psikofisiologik insomnia, insomnia paradoksikal
(mispersepsi pada status tidur), insomnia idiopatik, insomnia akibat gangguan mental,
higiene tidur yang inadekuat, insomnia karena tingkah laku pada masa kanak-kanak
(behavioral insomnia of childhood), insomnia akibat penggunaan obat atau alkohol,
insomnia karena kondisi medis atau penyakit yang diderita, insomnia yang bukan
disebabkan oleh substansi atau kondisi fisiologis yang diketahui sehingga tidak dapat
diklasifikasikan (nonorganik), dan insomnia psikologikal yang juga tidak dapat
diklasifikasikan (organik).1,2,5

Epidemiologi
Penelitian terhadap kasus insomnia sangat banyak karena jumlah kasus insomnia
yang semakin meningkat seiring dengan modernisasi jaman. Seringnya gangguan tidur
bervariasi tergantung pekerjaan yang dimiliki, perkerjaan-pekerjaan yang mengakibatkan
terganggunya siklus tidur seperti perawat, dokter, satpam dan banyak lagi. Dikatakan,
insomnia pada wanita jauh lebih tinggi 1.4 kali berbanding pada lelaki. Dengan

10
bertambahnya usia, bertambah pula angka kejadian gangguan tidur mungkin karena
masalah dalam kehidupan sehari-hari bertambah dan tidak mendapat tidur yang berkualitas.
Hal ini terlihat jelas pada usia 18 sampai 34 tahun, 14% cenderung menderita insomnia.
Kemudian pada usia 35 sampai 49 tahun meningkat menjadi 15%. Usia 50 sampai 64 tahun
meningkat lagi menjadi 20%, dan pada rentang usia 65 sampai 79 tahun menjadi 25%.1,2,5
Dari survei yang dilakukan juga menyimpulkan bahwa wanita, orang yang lebih
dewasa dan mereka yang memiliki sosial ekonomi yang rendah lebih banyak mengalami
gangguan tidur. Di Amerika Serikat pula, kurang lebih sepertiga dari penduduknya
memiliki gangguan tidur dan itu merupakan angka yang cukup besar dan menjadi krisis
buat negara tersebut. Pada orang yang menghidap insomnia ini terdapat juga faktor risiko
yang memungkinkan gejala insomnianya meningkat yaitu jika: (1) Mengalami gangguan
kesehatan mental. Contoh: depresi, anxiety, gangguan bipolar, gangguan stress pasca
trauma. Bangun dini di pagi hari merupan gejala klasik depresi. (2) Mengalami stress. (3)
Bekerja pada malam hari. (4) Mengalami perjalanan jauh melepasi pelbagai zona waktu. (5)
Wanita dua kali lebih besar kemungkinannya mengalami insomnia. Perubahan hormon saat
siklus haid dan menopause memainkan peran. Ketika menopause, keringat malam dan hot
flashes biasanya mengganggu tidur. (6) Berusia lebih dari 60 tahun, disebabkan perubahan
sleep patterns.1,5

Etiologi
Berdasarkan DSM-IV, 35% dari penderita biasa menderita insomnia yang
disebabkan oleh gangguan psikiatri yang dalam hal ini paling sering ditemukan adalah
depresi. 15% biasanya akibat gangguan psikofisiologikal berupa perasaan cemas
berlebihan. 12% dikarenakan penggunaan alkohol atau obat-obatan, dan 12% lainnya biasa
akibat Rest Leg Syndrome (RLS). 10 % diakibatkan irama sirkadian yang berubah-rubah,
dan 9% sisanya akibat paradoksikal. Berikut ini merupakan beberapa etiologi lain penyebab
insomnia:1,2,5
 Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat
membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa
kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai,
perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.
 Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam
otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.

11
 Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk beberapa
antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan
kortikosteroid.
 Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein
adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan
insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur,
tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan menyebabkan terbangun di tengah malam.
 Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan
sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar
dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia
akibat artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux
disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.
 Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh atau
pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh,
sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur
siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.
 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang tidak
bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur. Kebanyakan
orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari lingkungan
tidur yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka
menonton TV atau membaca.
 Penyakit psikiatrik. beberapa penyakit psikiatrik ditandai antara lain dengan adanya
insomnia seperti pada gangguan afektif, gangguan neurotik, beberapa
gangguan kepribadian, gangguan stres pasca-trauma dan lain-lain.

Faktor Resiko Insomnia


Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko
insomnia meningkat jika terjadi pada:1
 Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama
siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama menopause,
sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu tidur.

12
 Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia
meningkat sejalan dengan usia.
 Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan,
gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu tidur.
 Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti
kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia kronis.
Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko terjadinya insomnia.
 Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari sering
meningkatkan resiko insomnia.

Patofisiologi
Pada pasien yang mengalami insomnia, aktivitas tubuh mereka akan lebih
meningkat karena itulah tidur mereka selalu terganggu. Kadar hormon didalam tubuh akan
menjadi tidak seimbang dan hal tersebut dapat mengakibatkan keletihan dan paien tampak
lemah jika berkelanjutan. Jika diteliti dengan lebih mendalam, insomnia adalah keadaan
dimana keluhan mengenai sulitnya tidur di malam hari dimulai, atau sering terbangun di
tengah malam. Banyak disebutkan bahwa stress sering dikaitkan dengan insomnia. Stres
menyebabkan insomnia. Setiap permasalahan kehidupan yang menimpa pada diri seseorang
(stresor psikososial) dapat mengakibatkan gangguan fungsi atau faal organ tubuh, reaksi
yang dialami oleh tubuh ini dikatakan stres Hal itu terjadi karena sistem saraf sedang
dipersiapkan untuk selalu berpikir bahkan saat sedang tidur. Saat stress terjadi tubuh akan
berespon terhadap stress tersebut. Hipotalamus-Pituitari- Aksis (HPA) adalah sekelompok
sumbu yang berpera dalam memberi respon terhadap stress, yang mana melibatkan otak
hipofisis dan kelenjar adrenal.1,5
Awalnya, hipotalamus (bagian sentral otak) akan melepaskan senyawa yang disebut
corticotrophin releasing factor (CRF). CRF kemudian perjalanan ke kelenjar hipofisis, di
mana akan memicu pelepasan hormon, adrenocorticotrophic (ACTH). ACTH dilepaskan ke
dalam aliran darah dan menyebabkan korteks kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon
stres, terutama kortisol, yang merupakan hormon kortikosteroid. Kortisol meningkatkan
ketersediaan pasokan bahan bakar tubuh (karbohidrat, lemak, dan glukosa), yang
diperlukan untuk merespon stres. Namun, jika kadar kortisol tetap tinggi dalam jangka
waktu terlalu lama, maka otot akan rusak, terjadinya penurunan respons terhadap

13
peradangan, dan penurunan sistem imun (pertahanan). Kortikosteroid juga dapat
menyebabkan retensi cairan dan tekanan darah tinggi.1,5
Karena itu, terdapat hubungan antara stress dan peningkatan insomnia atau
gangguan tidur. Bila tubuh atau pikiran mengalami stress maka sistem yang bisa membuat
tubuh seharusnya tidur dan rehat tidak dapat dijalankan. Hal inilah yang akan terjadi
sehingga membuat tubuh lelah, konsentrasi terganggu, memori terganggu, sakit kepala,
mudah marah dan mengantuk di siang hari.1,5

Gambaran Klinis
Pada pasien yang menghadapi insomnia biasanya mereka akan menunjukkan gejala-
gejala yang cemas dan di luar kebiasaan mereka. Keluhan ini terdapat baik pada insomnia
organik maupun inorganik. Seperti kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari, sering
terbangun pada malam hari dan melakukan aktivitas pada malam hari dan merasa semakin
tidak bisa tidur, bangun tidur terlalu awal, kelelahan atau mengantuk pada siang hari,
iritabilitas, pagi hari mengeluh lelah fisik dan mental, depresi atau tegang karena cemas,
konsentrasi dan perhatian berkurang hingga bisa mengalami halusinasi, peningkatan
kesalahan dan kecelakaan, ketegangan, lelah, letih, dan sakit kepala, dan gejala
gastrointestinal.1,2,6

Gambar 4. Gejala Klinis yang Sering Muncul pada Insomnia2

Pendekatan dan Pedoman dalam Diagnosis


Untuk mendiagnosa pasien insomnia, diperlukan beberapa patokan atau referensi
agar tidak salah dalam mendiagnosa pasien dengan gangguan tidur yang lainnya. Jadi untuk
memastikan diagnosa insomnia, harus dilakukan penilaian terhadap: pola tidur penderita,
pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, peningkatan stres psikis, riwayat
medis, aktivitas fisik, dan diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.1

14
Sebagai tambahannya, tenaga medis harus melengkapi kuisioner untuk menentukan
pola tidur dan tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian
kuisioner, untuk mencapai tujuan yang sama pasien bisa mencatat waktu tidur pasien
selama 2 minggu. Pemeriksaan fisik juga harus dilakukan untuk menemukan adanya suatu
permasalahan yang bisa menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah juga
dilakukan untuk menemukan masalah pada tiroid atau pada hal lain yang bisa menyebabkan
insomnia. Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan
pencatatan selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi, gerakan
mata, dan gerakan tubuh dengan PSG.1,2
Untuk diagnosis insomnia non organik dapat digunakan Kriteria Diagnostik
Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa) dimana hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis
pasti:4
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur
yang buruk
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap
akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan
yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
 Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan
diagnosis insomnia diabaikan.
 Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis di
sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian
(F43.2)
Sedangkan pada diagnostik insomnia organik, harus ditemukan penyebab mendasar
berupa gangguan pada fisik pasien atau stresor biologik seperti penyakit-penyakit yang
baru atau sudah lama diderita oleh pasien. Hal ini dapat ditemukan lewat anamnesis yang
tepat dan terarah serta pemeriksaan penunjang yang sesuai. Diagnosis insomnia dibuat bila
kuantitas atau kualitas tidur yang terganggu baik itu oleh karena cemas atau depresi atau

15
yang lain asalkan keluhan itu dianggap oleh karena kronisitasnya juga karena keparahannya
dirasakan pasien sebagai gangguan primer (keluhan utama).1,4,5

Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan untuk insomnia dapat dilakukan baik secara mendika
mentosa maupun non medika mentosa. Secara non medika mentosa dapat dilakukan
beberapa hal sebagai berikut:1,2,6,7
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan
mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini umumnya
direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita insomnia. Terapi
tingkah laku meliputi:
- Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.
- Teknik Relaksasi yang meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat
biofeedback, dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi
kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu Anda mengontrol pernapasan,
nadi, tonus otot, dan mood.
- Terapi kognitif yang merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan
pemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka
atau dalam grup.
- Restriksi Tidur dimana terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang
dihabiskan di tempat tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.
- Kontrol stimulus. Terapi ini dimaksudkan untuk membatasi waktu yang dihabiskan
untuk beraktivitas. Instruksi dalam terapi stimulus-kontrol:
1. Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk membaca, menonton
televisi, makan atau bekerja.
2. Pergi ke tempat tidur hanya bila sudah mengantuk. Bila dalam waktu 20 menit di
tempat tidur seseorang tidak juga bisa tidur, tinggalkan tempat tidur dan pergi ke
ruangan lain dan melakukan hal-hal yang membuat santai. Hindari menonton
televisi. Bila sudah merasa mengantuk kembali ke tempat tidur, namun bila alam
20 menit di tempat tidur tidak juga dapat tidur, kembali lakukan hal yang
membuat santai, dapat berulang dilakukan sampai seseorang dapat tidur.

16
3. Bangun di pagi hari pada jam yang sama tanpa mengindahkan berapa lama tidur
pada malam sebelumnya. Hal ini dapat memperbaiki jadwal tidur-bangun (kontrol
waktu).
4. Tidur siang harus dihindari.
b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia diantaranya
adalah: (1) mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur, (2) tidak
berada di tempat tidur ketika tidak tidur, (3) tidak memaksakan diri untuk tidur jika
tidak bisa, (4) hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur, (5) relaksasi
sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan pernapasan atau beribadah,
(6) menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur pada malam
hari, (7) menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti menghindari
kebisingan, (8) olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit
setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur, (9) menghindari kafein,
alkohol, dan nikotin, (10) menghindari makan besar sebelum tidur, (11) cek kesehatan
secara rutin, dan (12) jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik.
Sedangkan untuk pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua
golongan yaitu Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam) dan Non
benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital).6,7
Tabel 1. Obat Sedatif-Hipnotik Benzodiazepine dan Non-Benzodiazepine7

17
Tabel 2. Dosis Terapeutik, Awitan, dan Waktu Paruh Obat untuk terapi Insomnia7

Pemilihan obat, bila ditinjau dari sifat gangguan tidur diantaranya adalah:3,6,7
 Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia” yaitu golongan
benzodiazepine (Short Acting), misalnya pada gangguan anxietas.
 Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke proses
tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-Insomnia”, yaitu
golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik), misalnya pada gangguan
depresi.
 Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah
menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-Insomnia”, yaitu
golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting), misalnya pada
gangguan stres psikososial.
Sedangkan pada pengaturan dosis, antara lain pemberian tunggal dosis anjuran 15
sampai 30 menit sebelum pergi tidur. Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis
efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk
mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat). Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil
dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan
intoksikasi. Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali
seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut.6,7
Lama pemberian pada pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu
saja, tidak lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2

18
minggu dapat menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang menetap sekitar 6 bulan
lamanya. Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological Dependence”
(habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi. Efek
samping supresi SSP (susunan saraf pusat) terjadi pada saat tidur. Efek samping yang dapat
terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia (waktu paruh) adalah:6,7
 Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam) menyebabkan gejala rebound
lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
 Waktu paruh sedang, seperti Estazolam menyebabkan gejala rebound lebih ringan
 Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menyebabkan menimbulkan gejala “hang
over” pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime sleepiness”
 Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi
“disinhibiting effect” yang menyebabkan “rage reaction”
Interaksi obat daoat terjadi pada obat anti-insomnia yang dikombinasi dengan CNS
Depressants (alkohol) sehingga dapat menimbulkan potensiasi efek supresi SSP yang dapat
menyebabkan “oversedation and respiratory failure”. Obat golongan benzodiazepine tidak
menginduksi hepatic microsomal enzyme atau “produce protein binding displacement”
sehingga jarang menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu. Overdosis
jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau “CNS Depressant” lain,
resiko kematian akan meningkat. Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil
mempunyai risiko menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan melalui ASI, berefek
pada bayi (penekanan fungsi SSP).6,7

Pencegahan Insomnia
Beberapa langkah dapat dilakukan baik untuk mencegah terjadinya insomnia untuk
pertama kalinya (pencegahan primer) maupun untuk mencegah perburukan penderita
insomnia (pencegahan sekunder). Langkah yang dapat diambil antara lain adalah: (1)
Lakukan kesibukan sepanjang hari atau olahraga ringan siang dan sore hari, (2) Jangan
minum kopi atau teh kental, terutama pada sore hari dan malam hari. (3) Usahakan makan
malam harus kenyang agar badan cukup rileks untuk beristirahat. (4) Minumlah segelas
susu hangat atau susu campur madu sebelum tidur. (5) Mandi dengan air hangat sebelum
tidur dan jangan tidur siang. (6) Jika Anda tetap tidak dapat tidur, cobalah meminum

19
antihistamin seperti promethazine atau dimenhydrinate setengah jam sebelum tidur. Obat-
obatan ini kurang menyebabkan ketagihan dibandingkan obat lain yang lebih keras, serta
(7) Bangun dan baca buku dan dengarkan musik yang bersifat menenangkan.1,2,6

Komplikasi Insomnia

Gambar 5. Komplikasi yang Terjadi Akibat Insomnia3


Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur.
Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik. Komplikasi insomnia meliputi:1,3
 Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.
 Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan reaksi
kecelakaan.
 Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi
 Kelebihan berat badan atau kegemukan
 Daya tahan tubuh yang rendah
 Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya tekanan darah
yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

Prognosis
Insomnia tidak diobati berpotensi menyebabkan konsekuensi yang serius, termasuk
meningkatnya risiko kecelakaan kendaraan, gangguan kinerja, dan tingginya tingkat
ketidakhadiran kerja. Insomnia dapat dirawat dengan sangat efektif pada kebanyakan
pasien. Perawatan menggunakan kombinasi pendekatan biasanya paling efektif. Pasien
yang telah insomnia sekali adalah pada peningkatan risiko berulang insomnia.1,2
Untuk insomnia jangka pendek atau insomnia yang transien, prognosis sangat baik.
Untuk insomnia kronis faktor yang mendasari dan menjadi penyebab perlu diidentifikasi
dan ditangani terlebih dahulu. Pasien juga perlu didukung dengan hipnotik dan terapi

20
perilaku. Insomnia yang resisten, sulit untuk ditangani, namun dapat secara bertahap
diatasi. Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain seperti depresi dan lain-lain. Lebih buruk jika gangguan ini disertai
skizofrenia.1

Kesimpulan
Pasien laki-laki berusia 45 tahun pada kasus yang mengalami gejala tidak bisa tidur
di malam hari dapat didiagnosis menderita insomnia. Insomnia merupakan kesulitan untuk
masuk tidur, kesulitan dalam mempertahankan tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia
merupakan gangguan fisiologis yang cukup serius, dimana apabila tidak ditangani dengan
baik dapat mempengaruhi kinerja dan kehidupan sehari-hari. Insomnia dapat disebabkan
oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan berlebihan, pengaruh makanan dan obat-
obatan, perubahan lingkungan, dan kondisi medis. Insomnia didiagnosis dengan pedoman
yang telah ditetapkan dan melakukan penilaian terhadap pola tidur penderita, pemakaian
obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan stres psikis, riwayat medis, aktivitas
fisik, dan kebutuhan tidur secara individual. Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara
farmakologi dan non farmakologi, bergantung pada jenis dan penyebab insomnia.

Daftar Pustaka
1. Kaplan HI, Sadock BJ. Kaplan dan sadock sinopsis psikiatri. Edisi ke-1. Tangerang:
Bina Rupa Aksara Publisher; 2004. h. 593-602.
2. Tomb B, David A. Buku saku psikiatri. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2005.
3. Insomnia and polisomnography updated on May 25th, 2012, diunduh dari
http://www.emedicinehealth.com/insomnia/article_em.html, 18 Januari 2015.
4. Maslim, Rusdi. Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-III.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya; 2009.
5. Sudoyo. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005. h. 240-2.
6. Insomnia updated on December 11th, 2011, diunduh dari
http://www.mayoclinic.com/health/insomnia/DS00187=medicine, 19 Januari 2015.
7. Goodman, Gilmans. The Pharmacological basis of therapeutics. 11th ed. US America:
The McGraw-Hill Companies; 2005. p. 361-398.

21

Anda mungkin juga menyukai