Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


FARMAKOTERAPI DAN TERMINOLGI MEDIK
SEPSIS

Disusun Oleh :
Tania RahmaMaulida (1061711112)
YustineAmaliaFatmawati (1061711128)
ZulaihaNashihatul Ulwana (1061711130)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI”
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Sepsis merupakan suatu kondisi kerusakan sistem imun akibat infeksi. Hal ini
merupakan masalah kesehatan dunia karena patogenesisnya yang sangat kompleks
dan pengobatannya yang sulit serta angka mortalitas yang tinggi dan kejadiannya
masih terus meningkat.Sepsis
merupakanbebanbagisistemperawatankesehatannasional.Padatahun 2000, sepsis
menyerangsekitar 660.000 orang, meningkat 8,7% per tahunsejak
1979.Lebihdariseparuhpasiendirawat di Intensive Care Unit (ICU) dengan rata-rata
lama menginap 15,7hari.Jumlahkematianmeningkatdari 21,9 per100.000
pendudukpadatahun 1979 menjadi 43,9 per 100.000 pendudukpadatahun 2000
(DiPiro et al., 2005)
Dua konferensi besar telah mendefinisikan sepsis, pertama tahun 1992
mengajukan konsep Systeminc Inflammatory Response Syndrome (SIRS), mengenali
perubahan patofisiologi yang terjadi tanpa adanya kultur darah positif.Pada tahun
2001, konferensi definisi sepsis internasional memodifikasi model SIRS dan
mengembangkan sebuah pandangan luas mengenai sepsis. Konferensi ini
mengembangkan konsep sistem penderajatan untuk sepsis berdasarkan empat
karakteristik terpisah yang disebut sebagai PIRO. Huruf P mewakili predisposisi,
mengindikasikan kondisi-kondisi komorbid yang akan menurunkan kesintasan. Huruf
I mewakili infeksi, yang merefleksikan pengetahuan klinis bahwa beberapa
organisme patogen lebih letal dibandingkan yang lainnya. Huruf R mewakili respons
terhadap adanya infeksi, termasuk timbulnya SIRS. Huruf terakhir yakni O mewakili
disfungsi organ dan termasuk kegagalan organ, termasuk kegagalan sistem seperti
sistem koagulasi.
Sepsis merupakan salah satu masalah penting dalam dunia kesehatan. Oleh
karena itu, penyakit ini perlu mendapatkan perhatian yang serius karena masih
banyak orang yang belum paham tentang apa, bagaimana gejala dan bahaya
komplikasi apabila tidak ditangani dengan benar. Penggunaan obat yang rasional
sangat penting dalam terapi pengobatan pada pasien untuk mencegah adanya
kegagalan dalam terapi pengobatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI SEPSIS


Padatahun 1992, sebuahkomitegabungandariAmerican College of Chest
PhysiciansdanSociety of Critical Care Medicinemembakukanterminologi yang
terkaitdengan sepsis. Hal
inidilakukankarenakebingunganluasuntukpenggunaanistilah-istilahyang
berkaitandengan sepsis danuntukmemberikanklasifikasi yang
fleksibeluntukidentifikasipasien. Kriteriauntukpersyaratanbarumemberikanvariabel
fisiologispesifikyang
dapatdigunakanuntukmengkategorikanpasienmemilikibakteremia,Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, sepsis berat,syokseptik,
atauMultiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS),Compensatory Anti-
inflammatory Response Syndrome (CARS) (DiPiro et al., 2005).
Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory
response syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Bukti
klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (>38C atau <36C); takikardi; asidosis
metabolik; biasanya disertai dengan alkalosis respiratorik terkompensasi dan
takipneu; dan peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih. Sepsis juga dapat
disebabkan oleh infeksi virus atau jamur. Sepsis berbeda dengan septikemia.
Septikemia (nama lain untuk blood poisoning) mengacu pada infeksi dari darah,
sedangkan sepsis tidak hanya terbatas pada darah, tapi dapat mempengaruhi seluruh
tubuh, termasuk organ-organ (Bone et al., 1992).

2.2. ETIOLOGI SEPSIS


Etiologi sepsis menurut DiPiro et al (2005) adalah sebagai berikut:
2.2.1. BAKTERI GRAM POSITIF
Sejak 1987, organisme gram positif merupakan patogen yang dominandalam
sepsis dan syok septik, terhitung kira-kira50% dari semua kasus. Penyebabnya adalah
Staphylococcus aureus,Streptococcus pneumoniae, coagulase-negative staphylococci,
danenterococci.Streptococcus pyogenes dan viridans streptococcikurang umum
terlibat.
Sepsis Streptococcus pneumoniae dikaitkan dengan tingkat kematian secara
keseluruhanlebih dari 25%. Faktor yang terkait dengan mortalitas yang lebih tinggi
meliputi syok,insufisiensi pernapasan, gagal ginjal yang sudah adasebelumnya, dan
adanya penyakit mendasar yang sangat cepat. Staphylococcus epidermidis
adalahpaling sering dikaitkan dengan infeksi perangkat intravaskular, seperti katup
jantung buatan dan kateter penggunaan intravena dan intraarterial.Enterococci paling
sering terjadi pada kultur darah setelah dirawat di rumah sakit dan diobati dengan
sefalosporin spektrum luas.
2.2.2. BAKTERI GRAM NEGATIF
Sebagian besar pasien dengan bakteri gram negatif berkembangmenjadi sepsis,
bakteri gram negatif juga lebih mungkin terjadiuntuk menghasilkan syok septik
dibandingkan dengan organisme gram positif. Escherichia coli adalah patogen yang
paling sering terdapat pada sepsis. Patogen gram negatif lainnya termasuk
Klebsiellaspp., Serratia spp., Enterobacter spp., dan Proteus spp.
Pseudomonasaeruginosa, meski tidak dianggap sebagai flora endogen dominan,
namun ditemukan secara luas di lingkungan dan merupakan penyebab paling sering
kematian sepsis Organisme komersal ini umumnya bukan patogen yang agresifkarena
flora inang yang normal menghambat pertumbuhan berlebih. Namun, saat kekebalan
tubuh turun, organisme ini melampaui batasnormal.
Sepsis gramnegatif menghasilkan angka kematian yang lebih tinggi
dibandingkandengan sepsis dari kelompok organisme lainnya.Faktor utama yang
terkait dengan hasil sepsis gram negatif adalahtingkat keparahan kondisi yang
mendasarinya. Pasien dengan kondisi yang sangat fatal,seperti leukemia akut, anemia
aplastik, dan lebih dari 70% area permukaan tubuh yang terkena luka bakar, memiliki
prognosis yang jauh lebih burukdaripada pasien dengan kondisi dasar nonfatal,
sepertidiabetes mellitus atau insufisiensi ginjal kronis.
2.2.3. ANAEROBIK DAN BAKTERI SEPSIS LAINNYA
Anaerob biasanya dianggap organisme yang berisiko rendah untuk
pengembangan sepsis. Jika ada, anaerob sering ditemukan bersamaan dengan bakteri
patogen lainnya yang banyak ditemukan pada sepsis. Epidemiologilaporan
menunjukkan bahwa infeksi polymicrobial dicatatuntuk 5% sampai 39% sepsis.
Tingkat mortalitas yang terkait dengan infeksi polymicrobial mirip dengan sepsis
yang disebabkan oleh satu organisme.Meskipun beberapa dokter percaya bahwa
kombinasi tertentu dariorganisme yang hadir dalam sepsis polymicrobial dapat
memberikan petunjuk kepadasumber infeksi, tidak ada sumber infeksi yang jelas
dapat diidentifikasisampai 25% kasus. Patogen yang kurang umum lainnya
termasukmeningokokus, gonococci, rickettsiae, chlamydiae, dan spirochetes.
2.2.4. JAMUR
Tingkat infeksi jamur meningkat lebih dari 200% dari 1979 sampai
2000.Candida spp. merupakan penyebab umum sepsis pada pasien rawat inap.
Sedangkan C. albicans tetap menjadi spesies paling dominan.Spesies non Candida
albicans, terutama C. glabrata,C. parapsilosis, C. tropicalis, dan C. krusei, telah
muncul secara bertahapdari 24% di tahun 1980an menjadi 46% antara tahun 1997 dan
2000.Jamur lain yang diidentifikasi sebagai penyebab sepsis meliputi
Cryptococcus,Coccidioides, Fusarium, dan Aspergillus. Faktor risiko infeksi
jamurtermasuk operasi perut, diabetes mellitus yang kurang
terkontrol,granulocytopenia berkepanjangan, pengobatan antibiotik spektrum
luas,perawatan kortikosteroid, rawat inap yang berkepanjangan, kateter vena sentral,
nutrisi parenteral total, keganasan hematologis,dan kateter kantung kandung kemih
kronis.
Kematian berkisar antara 41% sampai 71% pada pasien dengan fungemia.
Penyakit hematologi, neutropenia, dan jumlah yang lebih tinggi pada kultur darah
positif dikaitkan dengan hasil yang buruk terlepas darijenis kelamin pasien, usia, atau
hari pengobatan antijamur.

2.2.5. VIRUS
Viremia umum terjadi pada banyak penyakit virus, namun biasanya tidak
terjadiuntuk pengembangan sepsis klinis. Hipotensi dan disseminatedintravascular
coagulation (DIC) dapat terjadi dengan virus yang tidak biasaseperti virus Ebola dan
virus demam Lassa, dan kadang kala dapat dilihatdengan influenza A, arbovirus, dan
kemungkinan campak parah.
Tabel 1. Penyebab Umum Sepsis pada Orang Sehat
Sumber Lokasi Mikroorganisme
Kulit Staphylococcus aureus dan gram positif bentuk
cocci lainnya
Saluran kemih Eschericia coli dan gram negatif bentuk batang
lainnya
Saluran pernapasan Streptococcus pneumonia

Usus dan kantung empedu Enterococcus faecalis, E.coli dan gram negatif
bentuk batang lainnya, Bacteroides fragilis
Organ pelvis Neissseria gonorrhea,anaerob

(Moss et al.,2012)
Tabel 2. Penyebab Umum Sepsis pada Pasien yang dirawat
Masalah Klinis Mikroorganisme
Pemasangan kateter Eschericia coli, Klebsiella spp., Proteus spp.,
Serratia spp., Pseudomonas spp.

Penggunaan iv kateter Staphylococcus aureus, Staph.epidermidis,


Klebsiella spp., Pseudomonas spp., Candida
albicans
Setelah operasi :
Wound infection Staphylococcus aureus, E. Coli, anaerobes
(tergantung lokasinya)

Deep infection Tergantung lokasi anatominya


Luka bakar Coccus gram-positif, Pseudomonas spp., Candida
albicans
Pasien immunocompromized Semua mikroorganisme di atas
(Moss etal., 2012)

2.3. PATOGENESIS SEPSIS


Respon sistemik terhadap infeksi diperantarai oleh sitokin. Setelah disadari
perlunya suatu respon, tubuh akan menghasilkan molekul proinflamasi yang larut
dalam protein dan lipid yang kemudian akan mengaktifkan pertahanan sel,
selanjutnya dihasilkan molekul antiinflamasi untuk melemahkan dan menghentikan
respon proinflamasi. Normalnya respon sitokin diatur oleh mediator proinflamasi dan
antiinflamasi (Oematan et al., 2009).
Pada sepsis terjadi interaksi kompleks antara sejumlah mediator proinflamasi
dan antiinflamasi. Mediator proinflamasi yang penting pada sepsis meliputi TNF-α,
IL-1β, IL-6, IL-8, PAF (Platelet Activating Factor), leukotrien, tromboksan A2.
Sedangkan mediator antiinflamasi sepsis meliputi antagonis reseptor IL-1, IL-4, IL-
10. Keseimbangan kedua macam mediator ini membantu perbaikan jaringan dan
kesembuhan, namun jika keseimbangan hilang dapat terjadi perlukaan pada jaringan.
Mortalitas sepsis tinggi saat level mediator pro-inflamasi dan antiinflamasi
tinggi.Gambar 1 mengilustrasikan bila ada tumpahan sistemik yang berlebihan oleh
mediator proinflamasi, pasien akan mengalami SIRS dan mungkin MODS. Bila
tumpahan sistemikmediator antiinflamasi yang berlebihan, maka pasien akan
mengalami CARS(Dipiro et al., 2005).

Gambar 1. Keseimbangan antara mediator pro dan antiinflamasi.

2.4. PENGGOLONGAN SEPSIS


KomitegabungandariAmerican College of Chest PhysiciansdanSociety of
Critical Care Medicinemembakukanterminologi yang terkaitdengan sepsis.
Tabel 3. Definisi yang berkaitan dengan sepsis
Kondisi Definisi
Infeksi bekteremia (fungemia) Adanya bakteri (jamur) di aliran darah.
Respon inflamasi terhadap invasi jaringan
inang yang biasanya steril oleh
mikroorganisme.
Systemic Inflammatory Response Semua bentuk respon inflamasi sistemik baik
Syndrome (SIRS) terhadap adanya infeksi atau bukan infeksi
dan dimanifestasikan oleh dua atau lebih hal
berikut:
 Temperatur tubuh tinggi > 38 0C atau
rendah < 36 0C
 Denyut jantung meningkat > 90 kali/menit
waktu istirahat
 Kecepatan pernafasan yang meningkat >
20kali/menit atau PaCO2< 32 mmHg (<
 4,3 kPa)
 Leukosit >12.000/mm3 atau <4000/mm3
atau >10% bentuk imatur
Sepsis SIRS sekunder akibat infeksi.
Severe sepsis Sepsis berhubungan dengan disfungsi organ,
hipoperfusi, atau hipotensi. Hipoperfusi dan
kelainan perfusi mungkin termasuk, namun
tidak terbatas pada, asidosis laktik, oliguria,
atau perubahan status mental yang akut.
Septic shock Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah
sistolik < 90 mmHg atau terjadi penurunan >
40 mmHg dari keadaan sebelumnya tanpa
disertai penyebab dari penurunan tekanan
darah yang lain) meski resusitasi cairan,
bersamaan dengan adanya kelainan perfusi.
Pasien yang memakai agen inotropik atau
vasopresor mungkin tidak mengalami
hipotensi pada saat kelainan perfusi diukur.
Multiple Organ Dysfunction Adanya fungsi organ yang berubah
Syndrome (MODS) memerlukan intervensi untuk
mempertahankan homeostasis.
Compensatory Anti-inflammatory Kompensasi respon fisiologis terhadap respon
Response Syndrome (CARS) inflamasi sistemik sindrom akibat tindakan
mediator sitokin antiinflamasi.
(Dipiro et al., 2005)

2.5. GEJALA DAN TANDA SEPSIS


Manifestasi dari respon sepsis biasanya ditekankan pada gejala dan tanda-tanda
penyakit yang mendasarinya dan infeksi primer. Tingkat di mana tanda dan gejala
berkembang mungkin berbeda pada tiap pasien, dan gejala pada setiap pasien sangat
bervariasi. Tabel 4 mencantumkan beberapa ciri umum dari sepsis.Perbedaan antara
sepsis dini dan akhir dapat berubah-ubah.
Tabel 4 Tanda dan gejala yang berhubungan dengan sepsis
Early Sepsis Late Sepsis
Demam atau hipotermia Asidosis laktat
Kekakuan, menggilgil Oligouria
Takikardia Leukopenia
Takipnea DIC
Mual, muntah Depresi miokard
Hiperglikemia Edema paru
Mialgia Hipotensi (Syok)
Lesu, rasa tidak enak badan Hipoglikemia
Proteinuria Azotemia
Hipoksia Trombositopenia
Leukositosis ARDS
Hiperbilirubinemia Pendarahan Gastrointestinal
Koma
(Dipiro et al., 2005)
Diagnosis sepsis sering terlewat, khususnya pada pasien usia lanjut yang tanda-
tanda klasik sering tidak muncul. Gejala ringan, takikardia dan takipnea menjadi satu-
satunya petunjuk, Sehingga masih diperlukan pemeriksaan lebih lanjut yang dapat
dikaitkan dengan hipotensi, penurunan output urin, peningkatan kreatinin plasma,
intoleransi glukosa dan lainnya (Hinds etal.,2012).

2.6. DIAGNOSA SEPSIS


Tindakan tes diagnostik pada pasien dengan sindrom sepsis atau dicurigai
sindrom sepsis memiliki dua tujuan. Tes diagnostik digunakan untuk
mengidentifikasi jenis dan lokasi infeksi dan juga menentukan tingkat keparahan
infeksi untuk membantu dalam memfokuskan terapi (Shapiro et al.,2010).
Bila pasien mengalami penurunan kesadaran, sebelum evaluasi diagnostik
dimulai lakukan penilaian awal dari pasien yang sakit perhatikan jalan nafas (perlu
untuk intubasi), pernapasan (laju pernafasan, gangguan pernapasan, denyut nadi),
sirkulasi (denyut jantung, tekanan darah), dan inisiasi cepat resusitasi (Russell, 2012).
Kemudian dilakukan anamnesis riwayat penyakit dan juga beberapa pemeriksaan
fisik untuk mencari etiologi sepsis.
Sistem pernapasan adalah sumber yang paling umum infeksi pada pasien sepsis.
Riwayat batuk produktif, demam, menggigil, gejala pernapasan atas, masalah
tenggorokan dan nyeri telinga harus dicari. Kedua, adanya pneumonia dan temuan
takipnea atau hipoksia telah terbukti merupakan alat prediksi kematian pada pasien
dengan sepsis.
Sistem pencernaan adalah yang kedua paling umum sumber sepsis. Sebuah
riwayat nyeri perut, termasuk deskripsi, lokasi, waktu, dan faktor pemberat harus
dicari. Riwayat lebih lanjut, termasuk adanya mual, muntah, dan diare harus dicatat.
Pemeriksaan fisik yang cermat, mencari tanda-tanda iritasi peritoneal dan nyeri perut,
sangat penting dalam mengidentifikasi sumber sepsis perut.
Sistem neurologis diperiksa dengan mencari tanda-tanda meningitis, termasuk
kaku kuduk, demam, dan perubahan kesadaran. Pemeriksaan neurologis terperinci
adalah penting. Letargi atau perubahan mental mungkin menunjukkan penyakit
neurologis primer atau hasil dari penurunan perfusi otak dari keadaan shock.
Riwayat urogenital termasuk pertanyaan mengenai adanya nyeri pinggang,
disuria, poliuria, pemasangan kateter, dan instrumentasi urogenital.Riwayat
muskuloskeletal adanya gejala ke sendi tertentu. Kemerahan, pembengkakan, dan
sendi terasa hangat, terutama jika ada berbagai penurunan kemampuan gerak sendi,
mungkin tanda-tanda sepsis artritis dan mungkin arthrocentesis (Shapiro et al,2010).
Pada pasien sepsis juga dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
penunjang dalam menegakkan diagnosis.Pada tabel 5 dijelaskan hal-hal yang menjadi
indikator laboratorium pada penderita sepsis.
Tabel 5. Indikator Laboratorium Penderita Sepsis
Tes Laboratorium Temuan Keterangan
Hitung sel darah putih Leukositosis atau Endotoksemia dapat menyebabkan
leukopenia early leukopenia
Hitung platelet Trombositosis atau Nilai tinggi awal dapat dilihat
trombositopenia sebagai respon fase akut, jumlah
trombosit yang rendah terlihat
pada DIC
Coagulation cascade Defisiensi Protein C; Kelainan dapat diamati sebelum
defisiensi timbulnya kegagalan organ tanpa
antitrombin;level D- perdarahan yang jelas
dimer meningkat; PT
(Prothrombin Time) dan
PTT (Partial
Thromboplastin Time)
memanjang.
Level kreatinin Meningkat Doubling-menandakan cedera
ginjal akut
Level asam laktat Lactic acid > Mengindikasikan hipoksia
4 mmol/L (36 mg/Dl) jaringan
Level enzim hepar Level alkaline Mengindikasikan cedera
phosphatase, AST, ALT, hepatoseluler akut yang
bilirubin meningkat disebabkan hipoperfusi
Level serum fosfat Hipofosfatemia Berkorelasi terbalik dengan
tingkat sitokin proinflamasi
Level C-reactive protein Meningkat Respon fase akut
(CRP)
Level prokalsitonin Meningkat Membedakan SIRS yang infeksius
dari SIRS yang non-infeksius
(LaRosa,2010)

2.7. TUJUAN, SASARAN, DAN STRATEGI TERAPI


2.7.1. TUJUAN TERAPI
Tujuan terapi sepsis menurut Birken dan DiPiro (2008), yaitu:
a. Ketepatan diagnosis dan identifikasi patogen
b. Ketepatan dalam mengeliminasi sumber infeksi
c. Ketepatan dalam pemberian antimikrobial awal
d. Mencegah dari gangguan patogen yang mengarah ke shock sptic
e. Menghindari kegagalan organ
2.7.2. SASARAN TERAPI
Organ-organ terinfeksi seperti saluran pernafasan, saluran urin, atau intra
abdomen.
2.7.3. STRATEGI TERAPI
Strategi terapi sepsis menurut Birken dan DiPiro (2008), yaitu:
a. Menghentikan kemungkinan terjadinya shock septic.
b. Menghindari terjadinya kegagalan organ.

2.8. TATALAKSANA TERAPI


Surviving Sepsis Campaign (SSC) memberikan guideline sepsis. Guideline
sepsis menurut Surviving Sepsis Campaign (SSC) memiliki suatu tingkatan

berdasarkan kekuatan rekomendasi dan kualitas bukti yang dapat dilihat pada tabel
6.Jika pada early recognition yang ditunjukan gambar 2 pasien mengidap sepsis berat
atau syok septik maka dilanjutkan dengan Early Goal-Directed Therapy. Early Goal-
Directed Therapy untuk pengobatan sepsis beratdan syok septik dapat dilihat pada
gambar .
Gambar 2. Early Recognition Sepsis

Gambar 3. Early Goal-Directed Therapy


Tabel 6. Tingkatan kekuatan rekomendasi dan kualitas bukti untuk guideline sepsis.
2016 Descriptor 2012 Descriptor
Kekuatan Kuat 1
Rekomendasi Lemah 2
Kualitas Bukti Tinggi A
Sedang B
Rendah C
Sangat rendah D
Ungraded Strong Best Practice Statement Ungraded Strong
Recommendation Recommendation

2.8.1. DIAGNOSIS DAN IDENTIFIKASI PATOGEN


Sesuai dengan tujuan terapi yang ada, maka treatment sepsis diawali dengan
diagnosis dan identifikasi sepsis. Kultur secara klinik sesuai dilakukan sebelum terapi
antimikroba jika tidak ada penundaan yang signifikan (> 45 menit) pada awal
antimikroba (kelas 1C) (Surviving Sepsis Campaign, 2012).
Kumpulan spesimen harus diperiksa sebelum memulai terapi antimikroba
apapun. Umumnya, setidaknya dua set sampel darah harus diperoleh untuk kultur
aerob dan anaerobik (kelas 1 C), serta contoh urin dan dahak. Tes lebih lanjut dapat
ditunjukkan untuk menilai disfungsi organ sistemik karena sepsis berat. Tes
laboratorium harus mencakup hemoglobin, jumlah sel darah putih, jumlah trombosit,
profil kimia lengkap, parameter koagulasi, dan konsentrasi serum laktat (Surviving
Sepsis Campaign, 2012).
2.8.2. PENGHAPUSAN SUMBER INFEKSI
Setelah sumber infeksi diidentifikasi, upaya cepat untuk menghapus atau
menghilangkan sumber harus dimulai, seperti kateter intravaskular yang terinfeksi
harus dilepas dan dikultur. Kateter saluran kemih harus dilepas jika dikaitkan dengan
sepsis yang dicurigai (DiPiro et al., 2005).
2.8.3. RESUSITASI AWAL
Resusitasi kuantitatif pada pasien dengan sepsis disertai hipoperfusi jaringan
(hipotensi yang bertahan setelah cairan awal atau konsentrasi laktat darah  4 mmol /
L) (kelas 1C).
Tujuan selama 6 jam pertama resusitasi:
a. Central Venous Pressure (CVP) 8-12 mmHg
b. Mean Arterial Pressure (MAP)  65 mmHg
c. Keluaran urin  0,5 mL/kg/jam
d. Vena sentral (vena kava superior) atau campuran saturasi oksigen vena 70% atau
65%
Pada pasien dengan tingkat laktat tinggi yang menargetkan resusitasi untuk
menormalkan laktat (kelas 2C) (Surviving Sepsis Campaign, 2012).
2.8.4. TERAPI ANTIMIKROBA
Masalah yang melekat yang terkait dengan identifikasi tepat waktu dari
organisme yang menginfeksi, mengakibatkan rejimen antimikroba empiris biasanya
dimulai diawal. Pemilihan rejimen empirik harus didasarkan pada lokasi infeksi yang
dicurigai, patogen yang paling mungkin terjadi, perolehan organisme dari masyarakat
atau rumah sakit, status kekebalan pasien, dan kerentanan antibiotik dan profil
resistensi untuk institusi tersebut. Tabel 7 menunjukan rejimen antimikroba empiris
pada sepsis (DiPiro et al., 2005).
Terapi awal antiinfektif secara empiris dari satu atau lebih obat yang memiliki
aktivitas terhadap semua patogen (bakteri dan / atau jamur atau virus) yang mungkin
terjadi dan menembus konsentrasi yang memadai ke dalam jaringan yang dianggap
sebagai sumber sepsis (kelas 1B) (Surviving Sepsis Campaign, 2012).

Tabel 7. Rejimen antimikroba empiris pada sepsis


Infeksi Rejimen Antimikroba
(Tempat atau Diperoleh Diperoleh Rumah
Tipe) Komunitas Sakit
Saluran Urin Ciprofloxacin Piperacillin
atau atau
Levofloxacin ceftazidime,
ceftriaxone
± gentamicin
atau
ciprofloxacin,
levofloxacin
Saluran Newer Piperacillin,
Pernapasan fluoroquinolonea ticarcillin
atau atau
+ gentamicin
ceftriaxone ceftazidime,
atau
+ cefipime
ciprofloxacin
clarithromycin-
azithromycin
Intra Abdominal β-Lactamase Piperacillin-
inhibitor combob tazobactam
atau atau
ciprofloxacin + meropenem
metronidazole
Kulit/ Jaringan Nafcillin Ceftriaxone +/−
Lunak atau vancomycin
cefazolin
Berhubungan Vancomycin
dengan Kateter
Tidak Diketahui Piperacillin
atau
ceftazidime-
cefipime +gentamicin
atau +/−
meropenem vancomycin
(DiPiro et al., 2005)
Keterangan:
a
Levofloxacin, gatifloxacin, moxifloxacin, gemifloxacin
b
Ampicillin-sulbactam, ticarcillin-clavulanic acid

Semua pasien harus diobati pada awalnya dengan antibiotik parenteral untuk
mendapatkan konsentrasi obat yang optimal.Pemberian antimikroba intravena efektif
dalam satu jam pertama pengenalan syok septik (kelas 1B) dan sepsis berat tanpa
syok septik (kelas 1C) sebagai tujuan terapi (Surviving Sepsis Campaign, 2012).
2.8.5. TERAPI ANTI JAMUR DAN ANTI VIRUS
Spesies Candida paling sering dikaitkan dengan infeksi jamur,dan candidemia
yang dihasilkan sering dikaitkan dengan sepsis dan tingkat kematian yang
tinggi.Pengobatan invasifkandidiasis melibatkan amfoterisin B, agen antijamur azole,
agen antijamur echinocandin, atau kombinasiterapi dengan flukonazol dan
amfoterisin B. Pilihannya tergantungpada status klinis pasien, spesies jamur dan
kerentanannya,toksisitas relatif obat, adanya disfungsi organyang akan
mempengaruhi pembersihan obat, dan paparan pasien sebelumnya terhadap agen
antijamur. Bila sepsis disebabkan oleh infeksi virus sistemik, antivirus parenteral
seperti asiklovir, gansiklovir, foscarnet, atau ribavirin digunakan,tergantung pada
patogen virus yang dicurigai(DiPiro et al., 2005).
2.8.6. DURASI TERAPI
Durasi terapi antimikroba rata-rata pada adalah 10 sampai 14 hari.Namun,
durasinya bervariasi pada tempat infeksi, serta keseluruhan respons terhadap
terapinya. Setelah pasien stabil secara hemodinamika, sudah afebris selama 48sampai
72 jam, memiliki hitung sel darah putih normal, danmampu minum obat oral, lalu
turun dari parenteral ke antibiotik oral dapat dipertimbangkan untuk sisa durasiterapi.
Pengobatan bisa berlanjut lebih lama jika infeksimasih tetap. Pada pasien
neutropenik, terapi biasanya dilanjutkansampai pasien tidak lagi neutropenik dan
sudah afebris untuk dipaling sedikit 72 jam(DiPiro et al., 2005).
2.8.7. DUKUNGAN HEMODINAMIK DAN TERAPI AJUVAN
2.8.7.1. TERAPI CAIRAN PADA SEPSIS BERAT
Kristaloid sebagai cairan awal pilihan dalam resusitasi sepsis berat dan syok
septik (kelas 1B).Kristaloid isotonik, seperti natrium klorida 0,9% (normal saline)
atau larutan Ringer laktat, biasanya digunakan untuk cairanresusitasi. Seorang pasien
dalam syok septik biasanya membutuhkan hingga 10L larutan kristaloid selama 24
jam pertama. Tujuan terapi cairan adalah memaksimalkancurah jantung dengan
meningkatkan preload ventrikel kiri, yang akhirnyaakan mengembalikan perfusi
jaringan (Surviving Sepsis Campaign, 2012).
2.8.7.2. VASOPRESSOR DAN TERAPI INOTROPIK
Bila resusitasi cairan saja memberikan tekanan arteri yang tidak adekuatdan
perfusi organ, vasopressor dan agen inotropik harus dimulai.Vasopressor harus
dipertimbangkan saat tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau MAP lebih
rendah dari 60 sampai 65 mmHg setelah preload ventrikel kiri dan terapi inotrop
yang cukup.Agen yang biasa dipertimbangkan untuk vasopressor atau dukungan
inotropik meliputi dopamin, dobutamin, norepinefrine, fenilefrin, dan
epinefrin(DiPiro et al., 2005).
Terapi vasopressor pada awalnya untuk menargetkan tekanan arteri rata-rata
(MAP) sebesar 65 mmHg (kelas 1C).Norepinephrine sebagai pilihan pertama
vasopressor (kelas 1B). Epinephrine (ditambahkan dan berpotensi menggantikan
norepinephrine) bila diperlukan agen tambahan untuk mempertahankan tekanan darah
yang adekuat (grade 2B).Dopamin sebagai agen vasopresor alternatif untuk
norepinephrine hanya pada pasien yang sangat terpilih (misalnya, pasien dengan
risiko takiaritimia rendah dan bradikardia absolut atau relatif) (kelas 2C) (Surviving
Sepsis Campaign, 2012).
2.8.7.3. KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid telah menjadi subyek banyak kontroversipengelolaan pasien
sepsis.Tidak menggunakan hidrokortison intravena untuk mengobati pasien syok
sepsis dewasa jika resusitasi cairan dan terapi vasopressor yang adekuat mampu
mengembalikan stabilitas hemodinamik (lihat tujuan untuk Resusitasi Awal). Jika ini
tidak dapat dicapai, kami menyarankan hidrokortison intravena saja dengan dosis 200
mg per hari (kelas 2C). Namun, penggunaan rutin kortikosteroid pada pasien sepsis
atau syok sepsis tidak dianjurkan sampai penelitian lebih lanjut (Surviving Sepsis
Campaign, 2012).
2.8.8. TERAPI PENDUKUNG LAIN UNTUK SEPSIS BERAT
2.8.8.1. PEMBERIAN DARAH
Setelah hipoperfusi jaringan telah teratasi dan jika tidak ada keadaan yang
meringankan, seperti iskemia miokard, hipoksemia berat, perdarahan akut, atau
penyakit jantung iskemik, kami merekomendasikan agar transfusi sel darah merah
terjadi hanya jika konsentrasi hemoglobin turun menjadi <7.0 g /dL untuk
menargetkan konsentrasi hemoglobin 7,0 -9,0 g / dL pada orang dewasa (kelas 1B)
(Surviving Sepsis Campaign, 2012).
2.8.8.2. MEKANISME VENTILASI PADA SEPSIS DENGAN ARDS
ARDS (Acute respiratory distress syndrome) adalah ketidakmampuan sistem
pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon
dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat.ARDS dan hipoksia sering terjadi pada pasien
sepsis, bahkan pada pasien sepsis tanpa infeksi paru. Terapi oksigen diindikasikan
untuk menjaga saturasi oksigen lebih dari 90%. Targetkan volume tidal 6 mL / kg
berat badan pada pasien sepsis dengan ARDS (kelas 1A vs 12 mL /
kg).Metilprednisolon intravena dalam dosis 75 sampai 250 mg setiap 6 jam dapat
memperbaiki ketahanan hidup pada pasien dengan ARDS ringan (Surviving Sepsis
Campaign, 2012).
2.8.8.3. KONTROL GLUKOSA
Hiperglikemia sering dikaitkan dengan sepsis, dan biasanya cukup sulit
diatasipada insulin eksogen. Terapi insulin intensif, mempertahankan kadar glukosa
darah pada 80 sampai 110 mg /dL mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang
lebih rendah di antara pasien yang sakit kritis dibandingkan dengan mereka yang
memiliki kadar glukosa darah 180 sampai 200 mg / dL (DiPiro et al., 2005).
2.8.8.4. NUTRISI
Pasien dengan sepsis berat rentan terhadap kekurangan gizi progresif sekunder
akibat hipermetabolisme. Oleh karena itu, nutrisi enteral awal direkomendasikan pada
pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis untuk memenuhi kebutuhan energi dan
protein yang meningkat. Kebutuhan protein ditingkatkan menjadi 1,5 sampai 2,5 g /
kg per hari, dan peningkatan jumlah asam amino mungkin bermanfaat pada pasien
septik. Kebutuhan kalori nonprotein berkisar antara 25 sampai 40 kkal /kg per hari,
dan pemberian makanan berlebih pada karbohidrat harus dihindari untuk mengurangi
kebutuhan ventilasi pasien. Penggunaan lipid dalam jumlah yang ditingkatkan untuk
memenuhi kebutuhan kalori nonprotein sambil mengurangi pemberian karbohidrat
dapat bermanfaat dalam pengaturan nutrisi ini (DiPiro et al., 2005).

2.9. SEPSIS PADA NEONATUS


2.9.1. PENGGOLONGAN SEPSIS PADA NEONATUS
Berdasarkan risiko infeksi bakteri pada neonatus, sepsis dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Risiko prenatal, antara lain ibu demam, infeksi tanpa demam, korioamnionitis,
persalinan kurang bulan, ketuban pecah dini, dan bunyi jantung janin >160/menit.
b. Risiko neonatal, antara lain berat lahir rendah, jenis kelamin (laki-laki), lahir
kembar, kelainan bawaan tertentu, luka pada kulit, nilai Apgar rendah (<5 pada 5
menit)
c. Risiko nosokomial, antara lain rawat di RS terlalu lama, prosedur invasif, ruang
rawat penuh, rasio pasien: perawat kurang, cuci tangan kurang, pemberian
antibiotik jangka panjang, operasi.Sepsis nosokmial adalah infeksi yang terjadi
pada neonatus tanpa risiko infeksi yang timbul lebih dari 48 jam saat dirawat di
rumah sakit.
Padapasien sepsis neonates menurut Pusponegoro (2000), sepsis dibagi
berdasarkan waktu timbulnya yaitu:
a. Early Onset (dini), terjadi pada 5-7 hari pertama setelah lahir dengan manifestasi
klinis yang timbulnya mendadak, dengan gejala sistemik yang berat, terutama
mengenai sistem saluran pernafasan, progresif dan akhirnya syok.
b. Late Onset (lambat), timbul setelah umur 7 hari dengan manifestasi klinis sering
disertai adanya kelainan system susunan saraf pusat. Sepsis lambat mudah menjadi
berat, terseringmenjadi meningitis.
2.9.2. TANDA DAN GEJALA SEPSIS NEONATUS
Diagnosis dini sepsis ditegakkan berdasarkan gejala klinikdan terapi diberikan
tanpa menunggu hasil kultur.Menurut Pusponegoro (2000) bayi yang diduga
menderita sepsis bila terdapat gejala:
 Letargi, iritabel,
 Tampak sakit,
 Kulit berubah warna keabu-abuan, gangguan perfusi, sianosis, pucat, kulit bintik-
bintik tidak rata, petekie, ruam, sklerema atau ikterik,
 Suhu tidak stabil demam atau hipotermi,
 Perubahan metabolik hipoglikemi atau hiperglikemi, asidosis metabolik,
 Gejala gangguan kardiopulmonal gangguan pernapasan (merintih, napas cuping
hidung, retraksi, takipnu), apnu dalam 24 jam pertama atau tiba-tiba, takikardi,
atau hipotensi (biasanya timbul lambat),
 Gejala gastrointestinal: toleransi minum yang buruk, muntah, diare, kembung
dengan atau tanpa adanya bowel loop.

2.9.3. TATALAKSANA SEPSIS NEONATUS


Menurut Pusponegoro (2008), pengobatan menggunakan penisilin atau derivat
biasanya ampisilin. Ampisilin sodium/sulbaktam sodium (Unasyn), dosissama
dengan ampisilin ditambah aminoglikosid5mg/kg/24jam intravena diberikan tiap 12
jam.Menurut British National Formulary for Children (2012), dosis ampisilin untuk
usia dibawah 7 hari 50 mg/kg/12 jam, usia 7-21 hari 50 mg/kg/8 jam, 21-28 hari 50
mg/kg/6 jam.
Pada sepsis nosokomial, sebaiknya diberikanvankomisin dengan dosis
tergantung umur danberat badan:
 <1,2kg umur 0-4 minggu: 15mg/kg/kali tiap24jam
 1,2-2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12-18jam
 1,2-2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8-12jam
 >2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12jam
 >2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8jam ditambah aminoglikosid atau
sefalosporingenerasi ketiga
BAB III
KASUS DAN PENYELESAIAN

3.1. KASUS
3.1.1. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : BY. NY. M
No. RM : 5541xx
Jenis kelamin :P
Umur : 9 hari
Berat badan : 3700g
Tanggal masuk : 7 April 2015
Tanggal keluar : 16 April 2015
Diagnosa utama : Sepsis neonatal
Diagnosa penyerta :-
Status pulang : sembuh ( boleh pulang)
3.1.2. RIWAYAT KESEHATAN
Riwayat : berat bayi lahir cukup, kehamilan cukup bulan, SMK,
lahir secara section caesaria, ketuban pecah dini, janin
besar, air ketuban jernih
Anamnesa : kesadaran umum sedang, menangis +, gerak aktif ,
nafas tidak stabil, febris

3.1.3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan Laboratorium

Hasil Pemeriksaan
Parameter (/waktu) Rujukan Satuan
9/4/15
Hematokrit 51,1 42-52 Vol %
Eritrosit 4,61 4,5-5,5 10 6/uL
Hemoglobin 16,3 14-24 9/dL
Leukosit 9,45 10-26 103/dL
Trombosit 257 150-450 103/dL
Limfosit 18 45-65 %
Segmen 67 40-60 %
C- reactive protein
6 <6 mg/dL
(CRP)
Bilirubin Total 8,40 <1 mg/dL
Bilirubin Direk
0,50 <0,25 mg/dL
(BC)
Bilirubin Inderek
7,90 0-11 mg/dL
(BU)

3.1.4. PEMERIKSAAN TANDA VITAL


Parameter Pemeriksaan tanda vital
Waktu 7/4/15 8/4/15 9/4/15 10/4/15 11/4/15
T (C) 36 36,1 36,4 36,7 36,3
RR(x/mnt) 46 47 47 46 48
N (x/mnt) 132 146 113 113 142

Parameter Pemeriksaan tanda vital


Waktu 12/4/15 13/4/15 14/4/15 15/4/15 16/4/15
T (C) 36,1 36,3 36,6 36,6 36,7
RR(x/mnt) 48 46 34 36 34
N (x/mnt) 140 - 142 138 130

3.1.5. PENGOBATAN
Dosis Tanggal dan Waktu Pemberian
Nama obat
pemberian 7/4/15 8/4/15 9/4/15 10/4/15 11/4/15
Infus D10% ˅ - ˅ ˅ ˅
Inj. 09:00 09:00 09:00
2x190mg - -
Ampisilin 21:00 21:00 21:00
Inj. 09:00 09:00 09:00
2x9,5mg - -
Gentamisin 21:00 21:00 21:00

Dosis
Nama obat 12/4/15 13/4/15 14/4/15 15/4/15 16/4/15
pemberian
Infus D10% ˅ ˅ ˅ ˅ -
Inj. 09:00 09:00 09:00 09:00
2x190mg -
Ampisilin 21:00 21:00 21:00
Inj. 09:00 09:00 09:00
2x9,5mg 09.00 -
Gentamisin 21:00 21:00 21:00

3.2. PENYELESAIAN
3.2.1. SUBJEKTIF
Nama pasien : BY. NY. M
No. RM : 5541xx
Jenis kelamin :P
Umur : 9 hari
Berat badan : 3700 g
Tanggal masuk : 7 April 2015
Tanggal keluar : 16 April 2015
Diagnosa utama : Sepsis neonatal
Diagnosa penyerta : -
Status pulang : sembuh ( boleh pulang)
Riwayat : berat bayi lahir cukup, kehamilan cukup bulan, lahir
secara section caesaria, ketuban pecah dini, janin
besar, air ketuban jernih
Anamnesa : kesadaran sedang, menangis +, gerak aktif , nafas tidak
stabil, febris
3.2.2. OBJEKTIF
Pemeriksaan Laboratorium

Hasil Pemeriksaan
Parameter (/waktu) Rujukan Satuan
9/4/15
Hematokrit 51,1 42-52 Vol %
Eritrosit 4,61 4,5-5,5 10 6/uL
Hemoglobin 16,3 14-24 9/dL
Leukosit 9,45 10-26 103/dL
Trombosit 257 150-450 103/dL
Limfosit 18 45-65 %
Segmen 67 40-60 %
C- reactive protein
6 <6 mg/dL
(CRP)
Bilirubin Total 8,40 <1 mg/dL
Bilirubin Direk
0,50 <0,25 mg/dL
(BC)
Bilirubin Inderek
7,90 0-11 mg/dL
(BU)

3.2.3. ASSESMENT
 Terdapat indikasi infeksi bekteri, terbukuti dari kadar leukosit di bawah normal
pada tanggal 9 Oktober 2015, kadar CRP tinggi dan pasien terdiagnosa menderita
sepsis neonatal. Diagnosis sepsis neonatal ditegakkan dari beberapa tanda dan
gejala, seperti riwatyat ketuban pecah dini, keadaan umum sedang, febris, nafas
tidak stabil.
 Pada kasus ini pasien diberi injeksi ampisilin dan gentamisin sudah tepat karena
ampisilin dan gentamisin merupakan terapi empiris yang diindikasikan untuk
infeksi bakteri.
 Pada kasus ini diberikan Ampisilin dosis 190 mg/12 jam atau 380 mg/hari dengan
berat badan 3700 g. Menurut BNF For Children (2012), dosis ampisilin untuk bayi
usia 7-21 hari 50 mg/kg/8 jam atau 370 mg/12 jam555 mg/hari.
 Pada kasus ini diberikan Gentamisin dosis 9,5 mg/12 jam atau 19 mg/hari dengan
berat badan 3700 g. Menurut BNF For Children (2012), dosis gentamisin yaitu 2,5
mg/kg/12 jam atau 9,25 mg/hari.
 Pada kasus ini diberikan infus D 10% diberikan untuk menjaga agar kadar gula
darah tetap normal.

3.2.4. PLAN
 Perlu adanya penyesuaian dosis untuk injeksi ampicilin.
 Perlu dilakukan cek laboratorium secara rutin.
 Perlu dilakukan uji kultur untuk mengetahui jenis bakteri penyebab sepsis.

3.2.5. KIE
 Membersihakan tangan sebelum memegang bayi.
 Membersihkan alat-alat yang berhubungan dengan bayi.
 Pemberian ASI eksklusif.
DAFTAR PUSTAKA

Birken, S.L., Dipiro, J.T. 2008. Sepsis And Septic Shock, In: Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach. Edisi vii. Oleh Dipiro,J.T., dkk. New york : Mc.
Graw Hill.

BNJ Group. 2012, BNF for Children, Pharmaceutical Press, London, pp.
Bone et al. 1992. Definition for sepsis and organ failure and guidelines for the use of
innovative therapy for sepsis. Chest [Internet]
DiPiro, J.T., Talbert R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. 2005.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach Sixth Edition. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Hinds, C.J : Moss, P.J ; Lanmiet, L; Prestone, S.L; Watson , D; Pearse, R.M; 2012.
Kumar and Clarck’s Clinical Medicine. 8th ed. Spanyol : Saunders Elsavior
LaRosa, S.P.,2010. Sepsis. In: Gordon, S., ed. Current Clinical Medicine. 2nd ed.
Philladellphia: Saunders Elsavior

Moss, P.J., Langmead, L., Preston, S.L., Hinds, C.J., Watson, D., Pearse, R.M., 2012.
Kumar and Clark’s Clinical Medicine. 8th ed. Spanyol: Saunders Elsevier.
Oematan, Y., Manopo, J.I., Runtunuw., A.L. 2009. Peran Inflamasi Dalam
Patofisiologi Sepsis dan Syok Septik Pada Anak. Jurnal Biomedik Vol.1 no.3
Pusponegoro, T.S., 2000. Sepsis pada Neonatus (Sepsis Neonatal). Jakarta: Sari
Pediatri Vol 2. No.2

Russell, J.A., 2012. Shock Syndromes Related to Sepsis. In: Goldman, L., and
Schaffer, A.I., ed. Goldman’s Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 658-665.

Shapiro, N.I., Zimmer, G.D., and Barkin, A.Z., 2010. Sepsis Syndromes. In: Marx et
al., ed. Rosen’s Emergency Medicine Concepts and Clinical Practice. 7th ed.
Philadelphia: Mosby Elsevier, 1869-1879.

Anda mungkin juga menyukai