Anda di halaman 1dari 33

 

Bab II Tinjauan Pustaka

II.1 Laik Fungsi Jalan


Laik fungsi jalan adalah kondisi suatu ruas jalan yang memenuhi persyaratan
teknis kelaikan untuk memberikan keselamatan bagi penggunanya, dan
persyaratan administratif yang memberikan kepastian hukum bagi penyelenggara
jalan dan pengguna jalan, sehingga jalan tersebut dapat dioperasikan untuk umum
(Pasal 1 Permen PU No. 11/PRT/M/2010). Tata cara dan persyaratan laik fungsi
jalan disusun dengan tujuan agar tersedianya jalan yang memenuhi ketentuan
keselamatan, kelancaran, ekonomis, dan ramah lingkungan (Pasal 2b Permen PU
No. 11/PRT/M/2010). Permasalahan lokal dan global yang menjadi latar belakang
adanya laik fungsi jalan dapat dilihat pada Gambar II.1.

Sumber: Laporan Penyusunan Database Laik Fungsi Jalan di Lingkungan Balai Besar Pelaksanaan Jalan
Nasional IV

Gambar II.1 Permasalahan penyelenggaraan jalan nasional menjadi latar


belakang laik fungsi jalan

Persyaratan laik fungsi jalan berdasarkan PP Nomor 34 tahun 2006 pasal 102,
yaitu:
1. Syarat Teknis (pasal 102 ayat 4) yang mengacu kepada Persyaratan Teknis
Jalan Permen PU No.19/2011:
• teknis geometrik jalan


 
 
 

• teknis struktur perkerasan jalan


• teknis struktur bangunan pelengkap jalan
• teknis pemanfaatan bagian-bagian jalan
• teknis penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu-lintas meliputi
pemenuhan terhadap kebutuhan fasilitas yang berkaitan dengan manajemen
dan rekayasa lalu-lintas yang mewujudkan petunjuk, perintah, dan larangan
dalam berlalu lintas
• teknis perlengkapan jalan yang terkait langsung dengan pengguna jalan,
meliputi pemenuhan terhadap standar teknis dari fasilitas yang berkaitan
dengan keselamatan pengguna secara langsung
• teknis perlengkapan jalan yang tidak terkait langsung dengan pengguna jalan,
meliputi pemenuhan terhadap standar teknis dari fasilitas yang tidak berkaitan
dengan keselamatan pengguna secara langsung
2. Syarat Administrasi (pasal 102 ayat 5) :
• dokumen penetapan petunjuk, perintah, dan larangan dalam pengaturan lalu-
lintas bagi semua perlengkapan jalan
• dokumen penetapan status jalan
• dokumen penetapan kelas jalan
• dokumen penetapan kepemilikan tanah Rumija
• dokumen penetapan leger jalan
• dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau dokumen
lingkungan lainnya

Kategori laik fungsi jalan terbagi menjadi tiga, yaitu :


1. Kategori laik fungsi (LF) :
Kondisi suatu ruas jalan, baik jalan baru maupun jalan yang sudah
dioperasikan, yang memenuhi semua persyaratan teknis dan memiliki semua
persyaratan administrasi sehingga laik untuk dioperasikan kepada umum.
Kategori ini berlaku sampai suatu keadaan dimana jalan tersebut dipandang
perlu untuk dievaluasi kembali, namun tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun.
Evaluasi kembali ini dapat dilakukan atas inisiatif penyelenggara jalan atau
penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan.


 
 
 

2. Kategori laik fungsi bersyarat :


Memenuhi sebagian persyaratan teknis laik fungsi tetapi masih mampu
memberikan keselamatan bagi pengguna jalan dan/atau memiliki paling tidak
dokumen penetapan status jalan dengan kode sebagai berikut:
• LT : tanpa perbaikan teknis tetapi persyaratan teknis diturunkan
• LS : perbaikan teknis berdasarkan rekomendasi oleh tim uji laik fungsi
Kategori ini pada jalan baru, ruas jalan laik untuk dioperasikan kepada umum
setelah dilakukan perbaikan teknis dalam waktu sesuai rekomendasi dari tim
uji laik fungsi jalan. Sedangkan pada jalan yang sudah dioperasikan, ruas jalan
laik untuk dioperasikan kepada umum secara bersamaan dalam perbaikan
teknis dalam waktu sesuai rekomendasi dari tim uji laik fungsi jalan.
3. Kategori tidak laik fungsi (TL) :
Kondisi suatu ruas jalan yang sebagian komponen jalannya tidak memenuhi
persyaratan teknis sehingga ruas jalan tersebut tidak mampu memberikan
keselamatan bagi pengguna jalan, dan/atau tidak memiliki dokumen jalan
sama sekali. Ruas jalan yang berkategori tidak laik fungsi dilarang
dioperasikan untuk umum. Ketidak-laikan fungsi suatu ruas jalan berlaku
sampai jalan tersebut diperbaiki dan dievaluasi kembali kelaikannya.

Uji laik fungsi jalan dilakukan oleh tim uji laik fungsi jalan yang independen dan
dibentuk oleh penyelenggara jalan yang terdiri dari para ahli jalan dan unsur-
unsur penyelenggara jalan (Kementerian PU), penyelenggara lalu lintas
(Kepolisian RI) dan angkutan jalan (Kementerian Perhubungan). Dalam
pemenuhan persyaratan teknis yang sulit dicapai karena suatu alasan yang sulit
dihindarkan, baik untuk seluruh maupun untuk sebagian ruas jalan, dapat
dilakukan penurunan persyaratan teknis jalan kepada tingkat yang masih
memenuhi persyaratan keselamatan.

II.1.1 Prosedur Uji dan Evaluasi Laik Fungsi Jalan


Pelaksanaan uji dan evaluasi laik fungsi jalan meliputi pemeriksaan fisik jalan dan
pemeriksaan dokumen penyelenggaraan jalan. Pemeriksaan fisik adalah
pemenuhan persyaratan teknis laik fungsi jalan pada suatu ruas jalan sedangkan


 
 
 

pemeriksaan dokumen penyelenggaraan jalan adalah menguji pemenuhan


persyaratan administrasi laik fungsi jalan pada suatu ruas jalan.

Setiap tim laik fungsi jalan yang sudah di-SK kan, menyusun rencana pelaksanaan
yang meliputi waktu pelaksanaan dan biaya serta peralatan yang diperlukan dan
mengusulkan kepada penyelenggara jalan. Penggunaan perlengkapan seperti
kendaraan hawkeye dimungkinkan jika ada. Prosedur dalam melakukan uji dan
evaluasi laik fungsi jalan adalah seperti ditunjukkan oleh Gambar II.2.

Sumber: Sosialisasi Laik Fungsi Jalan di Medan (26 April 2012) oleh Dit. Bintek., Ditjen. Bina Marga

Gambar II.2 Prosedur pelaksanaan uji laik fungsi

Kegiatan survei yang dilakukan ada dua macam, survei lapangan yaitu
mengumpulkan data secara teknis, survei ini untuk persyaratan teknis dan survei
pengumpulan dokumen administrasi untuk persyaratan administrasi. Survei
lapangan dilakukan dengan mengisi form uji laik fungsi jalan, seperti contoh
untuk jalan kolektor primer (Lampiran A) berdasarkan tata cara yang telah tim
peroleh pada saat mengikuti sosialisasi pelaksanaan uji laik fungsi jalan.
Kemudian mengevaluasi hasil pengujian untuk menetapkan rekomendasi status
kelaikan fungsinya dan upaya-upaya yang harus dilakukan. Jalan yang dinyatakan
laik fungsi atau laik fungsi bersyarat dibuatkan sertifikat yang menyatakan jalan


 
 
 

tersebut dapat dioperasikan (Lampiran B). Sedangkan prosedur evaluasi dan uji
laik fungsi jalan pada jalan nasional ditunjukkan pada Gambar II.3.

Sumber: Sosialisasi Laik Fungsi Jalan di Medan (26 April 2012) oleh Dit. Bintek., Ditjen. Bina Marga

Gambar II.3 Prosedur evaluasi dan uji laik fungsi jalan nasional

II.2 Jalan yang Berkeselamatan


Jalan yang berkeselamatan adalah suatu jalan yang didesain dan dioperasikan
sedemikian rupa sehingga jalan tersebut:
• memberikan lingkungan untuk kecepatan yang aman
• memperingatkan pengemudi akan adanya elemen-elemen jalan yang dibawah
standar atau yang tidak biasa
• menginformasikan pengemudi akan berbagai kondisi yang akan dijumpai
• memandu pengemudi melewati suatu segmen jalan yang memiliki elemen
jalan yang tidak umum
• mengendalikan jalur yang dilalui pengemudi pada saat ada percabangan jalan
• memaafkan kesalahan atau perilaku yang tidak pantas dari pengemudi pada
saat mengemudikan kendaraannya.
• tidak memberikan kejutan-kejutan pada pengemudi dalam hal desain atau
pengendalian lalu lintas jalan tersebut

10 
 
 
 

• memberikan informasi yang sesuai dengan kapasitas mencerna informasi oleh


manusia
• memberikan informasi yang berulang, jika diperlukan, untuk menekankan
adanya potensi bahaya yang akan ditemui pengemudi

Sedangkan dalam merancang sisi jalan yang berkeselamatan, prinsip fundamental


didasarkan pengetahuan bahwa pengemudi dapat berbuat kesalahan, adakalanya
pengemudi kehilangan kendali dan kendaraan keluar dari jalan. Tidak seorang pun
yang pernah dapat memastikan kapan atau di mana kejadian tersebut akan terjadi.
Ketika kendaraan keluar dari jalan, terdapat risiko nyata bahwa kendaraan
terguling atau menabrak objek tetap. Kedua hal itu dapat menyebabkan cedera
parah atau kematian pada pengemudi dan penumpang.

Untuk mengurangi konsekuensi kendaraan tidak terkendali keluar jalan, penting


untuk menyediakan sisi forgiving road untuk meminimalkan keparahan akibat
kesalahan pengemudi. Sisi jalan harus dirancang untuk menghilangkan potensi
tabrakan selama memungkinkan terhadap kecepatan yang ditunjukkan pada
Tabel II.1. Dengan perhatian khusus pada desain yang berkeselamatan
memungkinkan untuk menjaga gaya benturan di dalam batas toleransi manusia
sebelum cedera parah terjadi. Dengan menyediakan informasi tentang kondisi
jalan yang ada di depan, pengendara dapat mengubah perilaku dengan cara
menyesuaikan kecepatan.

Tabel II.1 Tipe kecelakaan terhadap kecepatan yang menyebabkan luka serius

Kecepatan yang
Umumnya Menyebabkan
Jenis Kecelakaan
Terjadinya Kecelakaan
Serius
Kecelakaan depan-depan dengan jenis kendaraan yang
70 km/jam
serupa
Tabrakan samping dengan kendaraan lain 50 km/jam
Tabrakan langsung dengan objek tetap seperti tiang lampu
50 km/jam
atau pohon
Tabrakan samping dengan objek tetap 30-40 km/jam
Pejalan kaki, pengendara kendaraan bermotor dan tidak
30 km/jam
bermotor
Sumber: Panduan Teknis 1-Rekayasa Keselamatan Jalan (Kerjasama Indii-DJBM)

11 
 
 
 

II.2.1 Prinsip-prinsip Jalan yang Berkeselamatan


Prinsip keselamatan berdasarkan Guide to Road Safety-Part 6: Road Safety Audit,
Austroads 2009 dan Panduan Teknis 1 (Rekayasa Keselamatan Jalan) Serial
Rekayasa Keselamatan Jalan Indii dan Direktorat Jenderal Bina Marga adalah :
1. Dirancang untuk pengguna jalan
Dalam merancang jalan, fokus pada kebutuhan pengguna jalan dengan
mempertimbangkan kecepatan di mana para pengguna jalan bisa berkendara
dengan tidak aman, dapatkah desain disalahpahami oleh pengguna jalan,
apakah dapat menyebabkan kebingungan, membuat ambiguitas, sudah
memberikan informasi yang cukup atau justru memberikan terlalu banyak
informasi, apakah memberikan visibilitas memadai ataukah penghalang untuk
pandangan dan apakah terdapat hambatan atau bahaya. Dengan menempatkan
hal ini secara lebih formal, maka pengemudi dan pengguna jalan lainnya harus
memahami dan memproses informasi membuat keputusan, bertindak dan
memantau dalam batasan waktu tertentu. Nyaman dan aman dalam
berkendara/mengemudi terjadi ketika pengendara beroperasi jauh di bawah
tingkat pengolahan stres dan pengambilan keputusan.

Terlalu banyak informasi harus dihindari karena dapat menyebabkan


pengemudi kehilangan informasi penting, hal ini dapat dihasilkan dari terlalu
banyaknya rambu-rambu jalan, pesan yang bertentangan atau kurangnya
delineasi. Keselamatan dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks dari elemen
dan ketaatan terhadap standar yang tidak selalu menghasilkan desain yang
mungkin paling aman. Hal ini dapat terjadi ketika standar yang dirancang
sebaik mungkin untuk tujuan lain atau bukan untuk keselamatan.

Sebuah desain harus memperhatikan kepentingan semua pengguna jalan,


namun perlu diberikan perhatian khusus pada aspek keselamatan yang terkait
dengan kendaraan berat seperti truk dan bus. Kebutuhan satu pengemudi
mungkin berbeda dengan pengemudi lainnya. Pertimbangkan pula kebutuhan
khusus bagi pengendara sepeda, pejalan kaki dan pengendara sepeda motor
atau pengguna jalan yang rentan. Pengendara sepeda membutuhkan
konektivitas rute, ruang lateral dan permukaan jalan yang rata.

12 
 
 
 

2. Dirancang untuk kecepatan yang aman


Peluang terjadinya kecelakaan berkurang pada kecepatan perjalanan rendah
karena pengguna jalan memiliki lebih banyak waktu dalam pengambilan
keputusan, kecenderungan kehilangan kontrol berkurang, lebih mampu
mengambil tindakan mengelak dan juga dapat berhenti lebih cepat. Pada
kecepatan rendah, jika ada tabrakan maka dampak dari energi yang terlibat
dalam kecelakaan lebih sedikit dan akan mengakibatkan berkurangnya
keparahan cedera. Mengelola hubungan antara kecepatan, desain infrastruktur
jalan dan keselamatan kendaraan merupakan pendekatan sistem yang selamat
dengan berfokus pada pencegahan tabrakan dan berusaha untuk menjaga
energi tabrakan di bawah batas toleransi manusia. Manajemen kecepatan perlu
mengintegrasikan jalan, bagaimana dirancang, dikelola dan siapa yang
menggunakannya.

Dalam merancang kecepatan aman, praktisi juga harus menyediakan


kecepatan yang memungkinkan agar dampak dari tabrakan yang mungkin
terjadi berada di bawah tingkat toleransi fisik manusia sehingga mencegah
cedera serius bahkan kematian. Umumnya beberapa bentuk traffic calming
atau rambu dapat diterapkan untuk membantu pengguna jalan dalam
mengenali lingkungan kecepatan yang lebih rendah. Kecepatan perjalanan
yang rendah melalui pengurangan batas kecepatan sementara juga dapat
diterapkan untuk waktu tertentu ketika aktivitas pejalan kaki cukup tinggi.

Pada persimpangan, mobil penumpang tidak boleh terkena kendaraan


bermotor dari pendekat lain dengan kecepatan lebih dari 50 km/jam. Untuk
mencapai hal ini dapat dilakukan melalui beberapa bentuk manajemen lalu
lintas, seperti sinyal lalu lintas atau bundaran di daerah perkotaan dan rambu
yang tepat di daerah pedesaan.

Hubungan dengan jalan di mana ada potensi tabrakan depan-depan, sesuai


filosofi Vision Zero menunjukkan bahwa penumpang kendaraan tidak boleh
terkena kecepatan melebihi 70 km/jam, atau bahkan kecepatan lebih rendah di
mana terdapat kendaraan berat dengan kendaraan ringan. Hal ini juga berlaku
terhadap bahaya pada sisi jalan, di mana hal tersebut tidak dapat dihilangkan

13 
 
 
 

atau lalu lintas kendaraan dipisahkan, maka membuat kecepatan perjalanan


rendah harus dipertimbangkan. Di beberapa negara Eropa, seperti Norwegia,
terdapat jalan satu jalur tanpa median dengan potensi tabrakan sehingga batas
kecepatan yang digunakan 70 km/jam. Untuk standar desain jalan yang lebih
tinggi dengan tingkat perlindungan sisi jalan tinggi pula dan dengan sedikit
atau tidak ada konflik antar pejalan kaki atau kendaraan, kecepatan lebih
tinggi dari 70 km/jam dapat dicapai secara aman.

Merancang kecepatan aman dengan cara konsisten dengan menyediakan jalan


yang mampu menjelaskan maksud tanpa ‘komunikasi’ merupakan suatu fitur
dari pendekatan yang berkelanjutan untuk keselamatan jalan
(OECD/ECMT 2006).
3. Dirancang untuk pengguna jalan lanjut usia
Frekuensi kecelakaan diperkirakan akan meningkat dengan proyeksi kenaikan
proporsi orang tua dalam populasi penduduk. Pengguna jalan yang lanjut usia
memiliki pola kecelakaan yang sangat berbeda dari pengguna jalan yang lebih
muda. Usia yang semakin tua berkaitan dengan penurunan pada fungsi visual
seperti sensitivitas kontras dan adanya katarak yang mengakibatkan kesulitan
membaca rambu-rambu, melihat trotoar dan mendeteksi pengguna jalan
lainnya. Selain itu, memori berkurang dan kemampuan pengolahan mental
mengurangi kapasitas untuk mengatasi situasi yang kompleks.

Ada sejumlah fitur desain jalan yang dapat mengurangi beberapa masalah
yang dialami pengguna jalan lanjut usia ketika menggunakan sistem jalan,
yaitu:
• Penyediaan sinyal lalu lintas dengan fase penuh belok kanan
menghilangkan tugas dalam memilih jarak yang aman, dan meningkatkan
keselamatan untuk semua pengguna jalan.
• Penempatan, ukuran, pemeliharaan dan pengulangan rambu-rambu yang
memadai dapat membantu pengemudi lanjut usia mendeteksi keberadaan
persimpangan dan mengambil keputusan yang tepat.
• Peningkatan rekayasa lalu lintas di daerah-daerah banyak pejalan kaki
dapat menyederhanakan persimpangan jalan.

14 
 
 
 

4. Dirancang untuk pejalan kaki


Di daerah perkotaan, pejalan kaki merupakan pengguna jalan utama. Desain
harus menyediakan visibilitas yang baik di lokasi penyeberangan yang cocok
dan median serta perlindungan di mana diperlukan. Dibandingkan orang
dewasa anak-anak lebih sulit untuk terlihat, tertutup oleh lansekap, mobil yang
diparkir dan beberapa perangkat lainnya. Pejalan kaki lebih tua bisa memakan
waktu lebih lama untuk menyeberang jalan dan kurang mampu merasakan
kehadiran atau kecepatan lalu lintas. Pejalan kaki yang mabuk juga perlu
perhatian khusus, terutama saat gelap.

Bahaya umum yang dihadapi oleh pejalan kaki pada jaringan jalan (Bowman,
Fruin dan Zeger, 1989) meliputi:
• Jalan setapak yang membatasi pergerakan pejalan kaki karena menghalangi
(permanen dan sementara) perlengkapan sisi jalan, misalnya rambu berisi
iklan, iklan pada layar, semprotan taman, sampah, tiang, kursi.
• Trotoar yang tidak dapat diakses atau berbahaya jika digunakan oleh orang-
orang penyandang cacat.
• Ketentuan yang tidak memadai dan pengamanan di daerah konstruksi
• Jalan-jalan perumahan tanpa jalan setapak (yang berusaha untuk
memberikan jalan keluar 'lebih hijau') sehingga mengekspos pejalan kaki
terhadap lalu lintas
• Jalur pejalan kaki dan batas waktu untuk pejalan kaki lanjut usia di sinyal
lalu lintas tidak memadai.

Pejalan kaki yang cacat juga perlu dipertimbangkan dalam desain jalan.
Beberapa masalah paling umum yang dihadapi oleh para penyandang cacat
yang menggunakan jaringan jalan meliputi:
• Waktu sinyal lalu lintas yang tidak memungkinkan bagi penyandang cacat
untuk menyeberang dengan aman.
• Orang dengan gangguan penglihatan mengalami kesulitan menggunakan
antrian visual, akibatnya diperlukan delineasi tingkat tinggi antara area
jalan dan pejalan kaki, umumnya dalam bentuk bimbingan fisik (seperti
trotoar/kerb dan marka perkerasan taktil).

15 
 
 
 

• Pejalan kaki tunanetra dapat dirugikan oleh barrier di jalan, membuat


rambu dan perlengkapan jalan lainnya dapat berpotensi menyebabkan
kebingungan dan permasalahan keselamatan, terutama pada sinyal atau titik
persimpangan.
• Orang-orang dengan gangguan pendengaran mungkin tidak dapat
mendeteksi lebih awal kendaraan yang akan datang dan karena itu harus
lebih mengandalkan pengawasan agar dapat menyeberang dengan selamat.
• Pengguna kursi roda mengalami kesulitan menggunakan jalan yang tidak
rata, terputus, material perkerasan lepas, dan hal lainnya sehingga
dibutuhkan ramp untuk mengatasinya. Untuk menyeberang jalan dengan
aman perlu dirancang tepi trotoar sedemikian rupa sehingga dapat
terpasang dengan mudah dan aman serta tidak terbuat dari material yang
mungkin merusak ujung kursi roda.
5. Dirancang untuk pengendara sepeda motor
Fitur jalan yang berbahaya untuk pengendara sepeda motor meliputi:
• Perubahan tekstur jalan atau bentuk di daerah pengereman
• Material lepas atau perubahan tekstur permukaan jalan atau bentuk pada
tikungan
• Perbedaan ketinggian antara lajur lalu lintas dan bahu jalan
• Kurangnya peringatan di mana ada tambalan jalan, atau perubahan tak
terduga lainnya pada kondisi permukaan jalan
• Perbedaan kekesatan antara garis marka dan permukaan jalan beraspal yang
berdekatan
• Kekesatan yang buruk di tempat pengereman atau manuver diperlukan
• Jarak pandang yang buruk
• Pelat baja digunakan untuk menutupi pekerjaan penggalian
• Daerah angin kencang yang mungkin diperlukan peringatan
• Sistem penyiraman sisi jalan saat menyemprot/mengeringkan pada jalan
• Retak sealant (aspal yang digunakan untuk menutup retakan pada
perkerasan), licin terutama saat basah
• Pewarnaan kerb yang menyatu dengan jalan, terutama di pulau-pulau dan
tonjolan

16 
 
 
 

6. Desain jalan yang berkeselamatan, terdiri dari :


(i) Kecepatan rencana
Kecepatan rencana suatu jalan merupakan nilai kecepatan maksimum yang
aman untuk digunakan sebagai dasar perencanaan geometrik jalan.
Kecepatan rencana bukanlah batas kecepatan yang dinyatakan untuk jalan
tersebut dengan menggunakan rambu batas kecepatan. Umumnya nilai
kecepatan rencana sedikit lebih tinggi daripada nilai batas kecepatan yang
dinyatakan untuk jalan tersebut. Di Indonesia, umumnya jalan di
pedesaan/luar kota dirancang dengan kecepatan rencana 60-80 km/jam,
sedangkan jalan perkotaan dan sedikit jalan pedesaan/luar kota dirancang
dengan kecepatan rencana 40-60 km/jam.

Pada kondisi arus lalu lintas yang rendah, geometrik jalan harus didesain
sedemikian rupa sehingga pengemudi dapat mengendara dengan konsisten.
Kekonsistenan biasanya diperkirakan dari konsep kecepatan rencana.
Desain jalan yang baik dicapai jika kecepatan rencana jalan sama dengan
kecepatan operasional kendaraan pada jalan tersebut yang biasanya diukur
melalui kecepatan 85-persentil (85 persentil kecepatan adalah kecepatan
yang sama atau di bawah kecepatan yang digunakan oleh 85% lalu lintas
yang melintas) dari kendaraan saat kondisi lalu lintas lancar.

Pemeriksaan dilakukan dengan memastikan setiap elemen jalan didesain


secara konsisten dengan kecepatan rencana yang dipilih untuk jalan
tersebut. Jika kecepatan rencana tidak dapat dibuat seragam sepanjang
segmen jalan, berikan rambu-rambu yang sesuai (seperti: rambu batas
kecepatan). Kecepatan rencana sepanjang segmen jalan tidak boleh
berubah-ubah.
(ii) Jarak pandang
Tujuan utama dari perancangan jalan adalah menjamin bahwa pengemudi
menggunakan kecepatan rencana atau dibawah kecepatan rencana saat
melaju di jalan, mampu melihat potensi bahaya di jalan dengan waktu
yang cukup untuk mengambil tindakan menghindar. Manusia
membutuhkan waktu untuk bereaksi dan membutuhkan jarak untuk

17 
 
 
 

mengambil tindakan menghindar. Semakin cepat melaju saat melihat


objek berbahaya pertama kali, semakin besar jarak berhenti yang
dibutuhkan. Di sinilah konsep jarang pandang penting bagi keselamatan
jalan. Konsep ini didasarkan pada sejumlah asumsi tentang objek
berbahaya, waktu reaksi dan perilaku pengemudi yang bersangkutan.

Waktu reaksi didasarkan pada waktu tipikal pengemudi pada umumnya.


Waktu reaksi pengemudi dua detik dianggap umum, walaupun pada
praktiknya ada distribusi nilai karena setiap manusia berbeda bahkan ada
yang dapat bereaksi lebih cepat. Pengemudi yang lanjut usia, terpengaruh
keletihan, alkohol atau narkoba, akan bereaksi lebih lambat. Pengemudi
muda akan bereaksi lebih cepat (walaupun kekurangan pengalaman
mungkin membuat mereka mengambil keputusan yang salah). Dengan
mengetahui kecepatan operasional dan menggunakan waktu reaksi dua
detik, jarak pandang yang diperlukan dapat ditentukan.

Saat menentukan jarak pandang, beberapa elemen di bawah ini


diasumsikan sebagai berikut :
• Tinggi objek diasumsikan 0,0m (untuk melihat marka di perkerasan),
0,2m (untuk melihat objek kecil di jalan), 0,6m (untuk melihat lampu
belakang kendaraan), bergantung pada jarak pandang terkait.
• Tinggi mata pengemudi diasumsikan 1,05m untuk motor dan 2,4m
untuk truk.
• Waktu reaksi pengemudi dua detik untuk pengemudi rata-rata yang
tidak diberi peringatan.

Jarak pandang yang paling penting untuk lokasi ruas adalah :


1. Jarak Pandang Henti (Stopping Sight Distance atau Jh)
Jarak pandang henti merupakan jarak yang dibutuhkan untuk
memungkinkan pengemudi yang berjalan dalam kecepatan diatas
perkerasan basah, untuk merasakan, bereaksi, dan menginjak rem
untuk berhenti sebelum mencapai objek berbahaya didepannya. Jarak
pandang ini dapat dilihat pada Gambar II.4 dianggap sebagai jarak

18 
 
 
 

minimum yang harus tersedia bagi pengemudi berdasarkan kecepatan


rencana.

Untuk meningkatkan keselamatan dilokasi yang memiliki jarak


pandang dibawah Jh, ada beberapa pilihan :
• Meningkatkan garis pandang dengan mengurangi tikungan vertikal.
• Meningkatkan garis pandang melintasi tikungan horisontal dengan
memangkas tanaman dibagian dalam tikungan atau menghilangkan
bangunan liar/struktur ilegal, atau dapat juga dengan menambah
radius tikungan.
• Mengurangi kecepatan operasional dengan rambu batas kecepatan
yang tepat dan penegakan aturan oleh kepolisian.
• Meningkatkan sifat antiselip perkerasan sehingga kendaraan akan
berhenti dalam suatu jarak yang lebih dekat.

Tinggi Mata  Objek tetap pada jalan 
Pengemudi (1,05 m) (tinggi objek 0,15 m) 

Jarak Reaksi Jarak Pengereman

Jarak Pandang Henti 

Sumber: Panduan Teknis 1-Rekayasa Keselamatan Jalan (Kerjasama Indii-DJBM)

Gambar II.4 Jarak pandang henti

Rekayasa keselamatan jalan di Indonesia harus selalu menyesuaikan


dengan standar jalan di Indonesia. Namun ada beberapa standar yang
sudah kadaluwarsa, perlu untuk mendiskusikan manfaat jarak
berkeselamatan (seperti jarak pandang berkeselamatan di
persimpangan) yang ada dalam aturan negara lain.
2. Jarak Pandang Mendahului (Overtaking Sight Distance atau Jd)
Jarak pandang mendahului adalah jarak yang dibutuhkan bagi seorang
pengemudi untuk mendahului kendaraan yang lebih lambat dengan
selamat tanpa mengganggu laju kendaraan yang menghampiri. Jarak
ini diukur dari/antara mata pengemudi yang mendahului dan kendaraan

19 
 
 
 

yang menghampiri. Jarak ini juga hanya diperhitungkan pada jalan dua
lajur dua arah. Di jalan ini, mendahului kendaraan yang lebih lambat
hanya mungkin saat ada ruang yang memadai dalam lalu lintas yang
menghampiri disertai dengan jarak pandang yang cukup dan marka
garis yang memadai.

Potongan jalan dengan jarak pandang mendahului memadai harus


disediakan sebanyak mungkin. Kesempatan mendahului yang baik
adalah langkah keselamatan penting untuk mengurangi risiko dan
frustasi pengemudi. Frekuensi kesempatan mendahului yang
diharapkan berkaitan dengan kecepatan operasional, volume dan
komposisi lalu lintas, biaya lahan dan konstruksi. Tuntutan untuk
mendahului kendaraan lain meningkat seiring dengan bertambahnya
volume lalu lintas.

Sebagai aturan umum, jika jarak pandang mendahului tidak tersedia


dengan sedikitnya setiap 5 km di jalan pedesaan atau sekitar tiap lima
menit waktu perjalanan, harus dipertimbangkan untuk membangun
lajur mendahului.

Jd adalah jumlah total jarak-jarak (d1-d4) dan merupakan fungsi dari


kecepatan yang dapat dilihat pada Gambar II.5. Jd dalam standar
Indonesia terkini perlu diperiksa dengan melihat aturan negara lain
yang lebih berguna. Jika menyelidiki suatu lokasi yang memiliki
sejarah tabrakan depan-depan, jarak pandang mendahului perlu
diperiksa apakah terpenuhi atau tidak. Jika tidak terpenuhi, ada
beberapa opsi yang dapat dilakukan :
• Meningkatkan garis pandang dengan mengurangi tikungan
vertikal.
• Meningkatkan garis pandang melintasi tikungan horisontal dengan
memangkas tanaman dibagian dalam tikungan atau menghilangkan
bangunan liar/struktur ilegal, atau juga menambah radius tikungan.

20 
 
 
 

• Mengurangi kecepatan operasional dengan rambu batas kecepatan


yang tepat dan penegakan aturan oleh kepolisian.
• Memasang garis “dilarang mendahului” dan rambu terkait.
Bekerjasama dengan Ditlantas dalam membantu memastikan
bahwa penggalakan untuk menekankan kepatuhan pengendara.
• Membangun sebuah lajur mendahului.

-
-
-
-
- d1   d2  d3  d4 
Fase 1  Fase 2  Fase 3  Fase 4 
-
Jarak Pandang Menerus
-
Jarak Pandang 

Sumber: Panduan Teknis 1-Rekayasa Keselamatan Jalan (Kerjasama Indii-DJBM)

Gambar II.5 Manuver menyiap penuh


Keterangan :
• d1 : jarak kendaraan menyiap pada saat fase pertama dari manuver menyiap dan pengemudi
juga dapat gagal melakukan pergerakan menyiap
• d2 : jarak menyiap komplit dari manuver menyiap. Biasanya diasumsikan bahwa kendaraan
memulai menyiap dibawah kecepatan rencana dan mempercepat laju secara seragam hingga
menyamai kecepatan rencana pada akhir pergerakan menyiap
• d3 : jarak margin selamat antara kendaraan menyiap dan kendaraan dari arah yang
berlawanan
• d4 : jarak tempuh kendaraan dari arah yang berlawanan, asumsi lainnya sesuai dengan
kecepatan rencana

(iii)Alinyemen horisontal
Alinyemen horisontal jalan terdiri dari dua bagian, yaitu bagian lurus dan
bagian lengkung horisontal (tikungan). Alinyemen ini harus didesain
sehingga dapat dilewati kendaraan dengan selamat. Bagian jalan yang
lurus dengan kelandaian datar merupakan tempat dengan potensi
kecelakaan yang tidak kecil karena tanpa disadari bahwa pengendara
cenderung mempercepat laju kendaraannya. Selain itu, segmen jalan yang
lurus dapat menurunkan kewaspadaan pengemudi seperti menimbulkan
rasa bosan atau mengantuk. Untuk menghindari kejenuhan pengemudi dan
meningkatkan kewaspadaan pengemudi, dapat dipertimbangkan

21 
 
 
 

menggunakan tikungan berjari-jari besar sebagai pengganti segmen lurus


yang cukup panjang (dimana dibutuhkan waktu lebih dari 2,5 menit untuk
melalui segmen tersebut dengan kecepatan rencana).

Potensi kecelakaan juga dapat terjadi pada bagian jalan yang lurus namun
kelandaian menurun yang cukup panjang. Sedapat mungkin hindari desain
tikungan dengan jari-jari kecil (tikungan tajam) yang berpotensi
menyebabkan kecelakaan bagi pengemudi yang menjalankan
kendaraannya dengan kecepatan tinggi, maka perbesar jari-jari tikungan.
Jika hal tersebut tidak dapat dilakukan (misalkan karena adanya
keterbatasan finansial atau lingkungan), tambahkan perangkat keselamatan
seperti rambu peringatan, delineasi yang jelas, pagar keselamatan, dan
marka penurun kecepatan (misalkan marka melintang berbentuk chevron,
marka garis/batang melintang (bar line marking), marka garis ilusi
kecepatan (optical speed bars), dan lain sebagainya).

Pengemudi akan terbiasa dengan alinyemen horisontal jalan, jika pada


jalan berliku maka perlu mengkondisikan diri untuk mengemudi dengan
kecepatan stabil. Tikungan “dibawah standar” memerlukan delineasi lebih
tegas untuk mengurangi jumlah tabrakan keluar jalan yaitu berupa rambu
peringatan pengarah tikungan (CAM), rambu peringatan dini lebih besar
dan garis tepi tegas. Saat mengaudit gambar rancangan (terutama untuk
jalan pedesaan), pastikan tikungan horisontal sekonsisten mungkin.

Keberadaan tikungan ganda tanpa disediakan bagian lurus yang cukup


diantara kedua tikungan tersebut harus sedapat mungkin dihindari. Jika
jenis tikungan tersebut ditemukan keberadaannya dalam gambar desain,
lakukan re-alinyemen. Lengkung peralihan tidak boleh menutupi
karakteristik lengkung lingkaran yang mengikutinya. Hindari penggunaan
lengkung peralihan yang terlalu panjang sebelum memasuki bagian
lengkung lingkaran dengan jari-jari yang kecil. Hal tersebut dapat
menyebabkan pengemudi memasuki bagian lengkung lingkaran dengan
kecepatan yang tidak sesuai.

22 
 
 
 

Superelevasi merupakan gradien jalan pada perkerasan tikungan yang


dirancang untuk menambah gaya yang membantu kendaraan menjaga
pergerakan melingkar, dapat dilihat pada Gambar II.6. Perancangan
superelevasi harus berdasarkan beberapa pertimbangan kecepatan
th
operasional (85 persentil kecepatan) dan kecederungan kendaraan yang
bergerak sangat lambat kearah pusat serta keseimbangan dari kendaraan
tersebut.
superelevasi pada 
tikungan 5% hingga 8% 

transisi

kemiringan nomal pada 
jalur lurus (tangen) 

Sumber: Panduan Teknis 1-Rekayasa Keselamatan Jalan (Kerjasama Indii-DJBM)

Gambar II.6 Tahapan superelevasi

Apabila desain tikungan menggunakan superelevasi yang cukup besar (di


atas 6%), sebaiknya perlu diberikan pelebaran samping arah dalam (pada
lajur kiri untuk tikungan ke kiri dan sebaliknya) yang sesuai dengan
standar yang berlaku. Hal ini penting untuk memberi tambahan ruang bagi
kendaraan berat yang melewati tikungan dengan kecepatan yang jauh lebih
rendah dari kecepatan rencana sehingga cenderung tertarik kedalam (ke
arah pusat tikungan). Jika tikungan banyak dilalui truk berat bermuatan
penuh yang bergerak dengan kecepatan rendah, perancang jalan harus
sangat berhati-hati supaya tidak menyebabkan truk terbalik karena
superelevasi berlebihan (biasanya memadai 8% dan maksimal 10%). Jika
lokasi banyak dilalui truk bermuatan penuh dan berjalan lambat, gunakan
nilai superelevasi yang lebih rendah. Selain itu, jangan sampai ada
perubahan mendadak dari superelevasi positif ke negatif karena dapat
“melempar” kendaraan dan menyebabkan hilangnya kendali.

23 
 
 
 

(iv) Persimpangan
Kecelakaan lalu lintas di persimpangan juga memiliki risiko keparahan
yang tinggi akibat kecepatan relatif tabrakan yang tinggi. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan adalah dengan merancang persimpangan yang
memiliki potensi kecepatan relatif tabrakan yang rendah. Baik dalam hal
merancang persimpangan baru atau menyelidiki sebuah persimpangan
yang sudah ada, prinsip keselamatan tetap sama, yaitu :
• memberikan jarak pandang yang cukup di persimpangan dan jarak
pandang memadai untuk kendaraan yang mendekat atau berhenti di
persimpangan;
• meminimalkan jumlah titik konflik;
• mengurangi kecepatan relatif antar kendaraan;
• mengutamakan pergerakan lalu lintas yang ramai;
• memisahkan konflik (jarak dan waktu);
• mendefiniskan dan meminimalkan wilayah konflik;
• mendefinisikan pergerakan kendaraan;
• menentukan kebutuhan ruang milik jalan;
• mengakomodasi semua pergerakan pengguna jalan (kendaraan dan
non-kendaraan);
• menyederhanakan persimpangan; meminimalkan tundaan bagi
pengguna jalan.
(v) Potongan melintang
Potongan melintang jalan adalah potongan dari jalan yang berasal dari
sudut kanan menuju ke arah jalan. Termasuk di dalamnya bahu jalan, lajur
dan median (jika ada). Secara ideal, semua potongan melintang jalan harus
mencakup bahu jalan, lebar yang diaspal, konsisten, sejumlah lajur yang
lebar dan sebuah median tengah yang lebar. Pada segmen jalan yang lebar
lajurnya tidak sesuai dengan kecepatan yang direncanakan maka perlu ada
perbaikan yang sesuai. Untuk sementara perlu digunakan rambu pembatas
kecepatan. Pemberian garis kejut pada marka jalan perlu dipertimbangkan
agar kendaran tetap disiplin bergerak pada lajurnya masing-masing. Lebar
tipikal dari lajur jalan berdasarkan lokasi dan fungsi jalan ditunjukkan
pada Tabel II.2.

24 
 
 
 

Bahu jalan yang diperkeras adalah untuk keselamatan artinya bahu jalan
memberikan area pemulihan awal bagi kendaraan apa pun yang
kehilangan kendali dan mulai meninggalkan jalan. Dengan cara ini, bahu
jalan yang diperkeras dapat mengurangi tabrakan “keluar jalan” dan juga
tabrakan “depan-depan” sehingg baik untuk keselamatan. Bahu jalan
diaspal juga memberi beragam manfaat lain, termasuk :
• Tempat untuk kendaraan yang harus berhenti dengan jarak yang aman
dari lajur lalu lintas;
• Akses atau tempat parkir kendaraan darurat/penanganan;
Dukungan lateral bagi perkerasan dan membantu penanganan sublandasan.

Tabel II.2 Lebar tipikal lajur

Lokasi  Fungsi  Lebar lajur  Ciri‐ciri 


Lajur kiri yang lebih lebar akan 
Urban  Jalan Dua lajur  3.50 m 
diaplikasikan jika tidak ada bahu jalan 
dengan perkerasan 
  Jalan Menerus  3.00 – 3.50 m 

  Lajur Berbelok Kanan  2.50 – 3.50 m 

  Lajur Tunggal Motor  2.00 – 2.50 m 

Lajur Menerus  3.00 – 3.65 m    Jika lajur berkurang hingga 3 m, kecepatan 


Jalan Bebas  operasi lalu lintas harus diperhatikan. 
Hambatan  Lajur Satu Arah  Kecepatan rendah perlu diaplikasikan 
3.50 m 
(Jalan  Tol)  Masuk dan Keluar  dengan tegas jika dibutuhkan. 
 
Lajur ini memperbolehkan beberapa 
Jalur Ramp  traking kendaraan dan untuk beberapa 
  4.00 m 
Penghubung  jumlah overhang dari kendaraan besar 
yang memutar. 

Rural  Jalan Menerus  3.00 – 3.65 m   

  Lajur Tunggal Motor  2.00 – 2.50 m   
Sumber: Panduan Teknis 1-Rekayasa Keselamatan Jalan (Kerjasama Indii-DJBM)

Tindakan yang harus dilakukan jika pengemudi menggunakan bahu jalan


yang diaperkeras sebagai lajur tambahan adalah amati kemungkinan
masalah keselamatan. Jika hanya pengendara motor yang
menggunakannya, ini mungkin baik untuk keselamatan sehingga memberi
pengendara motor tempat yang bebas dari kendaraan lebih besar. Bahu
jalan memang bukan lajur untuk pengendara motor, namun jika digunakan

25 
 
 
 

dengan bijak dan mewaspadai pejalan kaki di bahu jalan, mungkin opsi ini
berkeselamatan bagi pengendara motor. Untuk meningkatkan keselamatan,
pada bahu dapat diberikan pita penggaduh (rumble strips) yang dapat
memperingatkan pengemudi akan keberadaannya yang sudah keluar dari
lajur lalu lintas.
Di beberapa lokasi dimana terdapat kepadatan pejalan kaki dan sepeda
motor tinggi, mungkin ada baiknya menandai bahu jalan diperkeras
sebagai jalur motor/pejalan kaki. Namun, jika pengendara mobil, truk dan
bus menggunakan bahu jalan maka perlu bantuan polisi untuk penegakan
hukum. Berkendara di bahu jalan diperkeras dapat berbahaya karena
mempunyai risiko tabrakan dengan kendaraan yang mogok atau pejalan
kaki. Bahu jalan diperkeras juga memberi akses kendaraan darurat ke
lokasi tabrakan yang harus selalu terbuka dan bebas untuk situasi tersebut.

Kemiringan melintang dari permukaan jalan harus diberikan dengan cukup


agar air dari permukaan jalan tetap dapat mengalir ke sisi jalan. Pada
daerah dengan curah hujan normal, kemiringan melintang permukaan jalan
dapat diberikan sebesar 2%, namun pada daerah dengan curah hujan
tinggi, kemiringan melintang permukaan jalan sebaiknya diberikan
sebesar 2,5% untuk mengeringkan jalan lebih cepat. Ini membantu
mengurangi risiko mengapung (di mana roda kendaraan tidak menyentuh
jalan karena lapisan tipis air di antara roda dan permukaan jalan). Keadaan
kendaraan yang mengapung berbahaya karena pada saat itu pengemudi
tidak dapat mengendalikan rem ataupun setir.

Drainase harus berada di bawah tanah dan tidak boleh ada objek
berbahaya sisi jalan (seperti tiang atau pohon yang kaku) di dalam zona
bebas. Bagaimanapun, jalan memerlukan lahan, dan jalan yang lebih lebar
mengambil lahan lebih luas. Oleh karena itu, biasanya diambil kompromi
untuk mempertahankan fungsi utama jalan dan untuk menjamin operasi
yang berkeselamatan, sambil mengatasi kendala lingkungan dan biaya.
Salah satu tugas seorang ahli rekayasa keselamatan jalan, adalah
menentukan jika/kapan kompromi dapat diterima demi keselamatan atau

26 
 
 
 

apakah kompromi melampaui kemampuan pengemudi yang rasional untuk


ditangani.

Penggunaan drainase tepi jalan yang terbuka menciptakan salah satu objek
berbahaya yang paling umum di Indonesia. Drainase ini menimbulkan
risiko besar khususnya bagi pengendara motor dan pengendara mobil
kecil. Drainase terbuka harus dihindari dalam proyek jalan baru dan harus
dihilangkan secara bertahap (ditutupi atau dipindahkan) di jalan yang ada.
Saluran drainase sebaiknya ditempatkan di luar ruang bebas sisi jalan. Jika
saluran drainase tersebut terletak pada ruang bebas sisi jalan,
pertimbangkan untuk memberi penutup di atasnya. Jika memungkinkan,
sebaiknya digunakan saluran bawah tanah. Hindari desain saluran drainase
dengan tipe U atau V, gunakan bentuk trapezoid. Desain kemiringan sisi
saluran drainase sebaiknya tidak lebih curam dari 1(V):3(H) untuk
menghindari kendaraan terperosok dan terjebak ke dalam saluran.
(vi) Delineasi
Memberikan informasi dan memperingatkan pengendara akan kondisi
jalan yang ada di depannya, seperti lajur yang dilalui, perubahan
alinyemen jalan, kehadiran tikungan dan ketajaman dari tikungan serta
perubahan sementara pada kondisi jalan akibat pekerjaan jalan merupakan
fungsi delineasi. Hal ini dapat diberikan melalui pemberian marka garis,
marka retro-reflektif timbul (retro reflective raised pavement marker) dan
non-retro-reflektif timbul (non-retroreflective raised pavement marker),
patok pengarah dan chevron.
(vii) Marka garis tepi dan pemisah lajur
Delineasi jalur lalu lintas menggunakan marka garis merupakan upaya
yang murah dan efektif dalam meningkatkan keselamatan lalu lintas.
Marka garis berguna memberikan petunjuk visual akan alinyemen jalan
yang ada di depannya bagi pengendara mengenai posisinya di dalam
ruang jalan. Marka garis tepi digunakan di sisi luar jalan untuk menandai
ujung kiri lajur lalu lintas.

27 
 
 
 

Selain itu, terdapat pula marka garis tepi yang diletakkan di sisi paling
dalam jalan (dekat median) untuk menandai batas ujung kanan lajur lalu
lintas. Marka garis tepi memberikan panduan jalur bagi kendaraan di
dalam lajur lalu lintas, serta mencegah kendaraan menggunakan bahu
jalan. Pada malam hari atau kondisi cuaca yang buruk, penggunaan marka
garis yang bersifat reflektif sangat berguna menjaga kendaraan tetap
berada di lajurnya. Marka garis lajur digunakan untuk menandai
pemisahan lajur lalu lintas yang digunakan kendaraan dan berguna
mencegah tabrak samping antar kendaraan.

Marka garis tepi harus terbuat dari material yang reflektif dan sebaiknya
berjenis audio-taktil, yaitu berupa garis yang memiliki tonjolan material
termoplastik yang diletakkan berdekatan. Garis tepi audio-taktil
memberikan peringatan berupa suara dan getaran setiap kali kendaraan
melintasi marka tersebut. Penggunaan marka garis audio-taktil bertujuan
memperingatkan pengendara bahwa mereka keluar dari lajurnya. Namun
harus diperhatikan bahwa suara yang dihasilkan oleh marka garis audio-
taktil mungkin tidak terdengar dari dalam kendaraan berat, sehingga tidak
dapat diandalkan untuk memberikan peringatan kepada pengendara
kendaraan berat.

Marka garis pemisah lajur (terutama pada jalan bebas hambatan) harus
terbuat dari material yang reflektif, sehingga dapat digunakan sebagai
panduan pada malam hari dan kondisi cuaca buruk. Pada jalan yang tidak
dibatasi median, sebaiknya marka garis dikombinasikan dengan marka
retro-reflektif timbul. Marka ini umumnya tidak tersamarkan oleh air
karena bahan retro-reflektifnya berada di atas permukaan dan lebih
terlihat dibandingkan marka yang di cat. Marka ini dapat memberikan
peringatan berupa suara dan getaran kepada pengendara saat terlintas
kendaraan. Alternatif lain, gunakan pita penggaduh pada garis tengah
(centerline rumble strips).

28 
 
 
 

(viii) Rambu
Rambu lalu lintas dapat dikelompokkan menjadi rambu perintah,
peringatan, larangan dan petunjuk.
• Rambu peringatan digunakan untuk memperingatkan pengguna jalan
akan adanya kondisi yang berpotensi membahayakan pada jalan atau
di dekat jalan. Warna dasar rambu peringatan berwarna kuning
dengan lambang atau tulisan berwarna hitam. Jarak minimal sebelum
kondisi yang ingin diperingatkan oleh rambu ditunjukkan pada Tabel
II.3.
Tabel II.3 Jarak minimal penempatan rambu berdasarkan kecepatan rencana

Kecepatan Jarak minimal sebelum kondisi yang


rencana (km/jam) diperingatkan pada rambu (m)
120 180
100 100
80 80
60 50
Sumber: Panduan Penempatan Fasilitas Perlengkapan Jalan, Direktorat Bina Sistem Transportasi
Perkotaan, Dirjen Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan

• Rambu larangan adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan


perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pengguna jalan. Warna dasar
rambu larangan berwarna putih dan lambang atau tulisan bewarna
hitam atau merah. Rambu peringatan ditempatkan sedekat mungkin
pada awal bagian jalan dimulainya larangan.
• Rambu perintah adalah rambu yang digunakan untuk memberi
perintah yang wajib dilakukan oleh pengguna jalan. Warna dasar
rambu perintah berwarna biru dan lambang atau tulisan berwarna
putih serta merah untuk garis serong sebagai batas akhir perintah.
Rambu perintah ditempatkan sedekat mungkin pada awal bagian jalan
dimulainya perintah.
• Rambu petunjuk adalah rambu yang digunakan untuk menyatakan
petunjuk mengenai jurusan, jalan, situasi, kota, tempat, pengaturan,
fasilitas dan lain-lain bagi pengguna jalan. Rambu petunjuk yang
menyatakan tempat fasilitas umum, batas wilayah suatu daerah,
situasi jalan, dan rambu berupa kata-kata serta tempat khusus

29 
 
 
 

dinyatakan dengan warna dasar biru. Rambu petunjuk jenis ini


ditempatkan pada awal petunjuk tersebut dimulai. Rambu petunjuk
pendahulu jurusan, rambu petunjuk jurusan dan dan rambu penegas
jurusan yang menyatakan petunjuk arah untuk mencapai tujuan antara
lain kota, daerah/wilayah serta rambu yang menyatakan nama jalan
dinyatakan dengan warna dasar hijau dengan lambang dan/atau
tulisan warna putih. Rambu petunjuk jenis ini ditempatkan sedekat
mungkin pada lokasi yang ditunjuk dengan jarak minimum 50m dari
lokasi yang ditunjuk tersebut. Penempatan rambu petunjuk dapat
diulang dalam jarak minimum 250m.

Prinsip-prinsip dalam melakukan perambuan jalan adalah rambu harus


harus terlihat, mudah dibaca, mudah dimengerti, dapat dipercaya,
konsisten, penempatan yang benar dan sesuai dengan fungsinya. Ukuran
rambu bergantung pada jarak keterbacaan, legenda dan waktu yang
diperlukan untuk membacanya. Bentuk, ukuran dan huruf pada rambu
harus sesuai standar yang berlaku. Keberadaan tanaman di sekitar rambu
harus diperhatikan agar pertumbuhan tanaman tersebut tidak
menghalangi rambu. Rambu harus terlihat dalam kondisi gelap, sehingga
rambu harus terbuat dari material yang reflektif.
(ix) Patok pengarah dan chevron
Umumnya, patok pengarah dipasang pada tepi luar bahu jalan dan pada
median (pada jalan bebas hambatan terbagi). Sedangkan chevron dipasang
pada tikungan sebagai delineator yang memberikan indikasi bentuk
tikungan pada pengendara. Patok pengarah pada jalan tol sebaiknya
terbuat dari besi tipis, plastic atau kayu dengan tebal maksimum 50mm
sehingga tidak berbahaya jika ditabrak oleh kendaraan yang keluar lajur
dan harus dilengkapi dengan material retro-reflektif sehingga dapat
memandu pengendara pada malam hari. Umumnya, material retro-reflektif
yang digunakan berwarna merah untuk bahu luar dan berwarna
putih/kuning pada median. Material retro-refektif tersebut memiliki ukuran
minimal 75mm. Patok pengarah tersebut harus diperiksa secara rutin,
diperbaiki bila posisi dan bentuknya berubah. Kemampuan menerangi dari

30 
 
 
 

material retro-reflektif harus diperiksa secara rutin dan diganti bila telah
redup.

Pada bagian jalan yang lurus, patok pengarah umumnya dipasang dengan
jarak antar patok 150m atau sesuai standar yang berlaku, dan harus
dipasang pada jarak yang seragam dari sisi jalan. Jarak antar patok dapat
dikurangi hingga 60m pada area berkabut.

Pada tikungan, chevron dipasang dalam jarak tertentu, sesuai dengan besar
jari-jari tikungan. Jarak antar chevron pada tikungan umumnya berkisar
antara 6 – 90 meter. Jarak antar chevron dapat diperkirakan menggunakan
rumus (II.1) atau sesuai dengan standar yang berlaku.
S = 1,7 ………………………………………..(II.1)
Sumber: Guide to Road Design, Part 6: Roadside Design, Safety and Barrier, Austroads
(2009)
Keterangan :
S = jarak antar chevron
R = jari-jari tikungan

Tanda panah pada chevron harus dicat menggunakan bahan yang reflektif
di atas dasar yang non-reflektif sehingga tanda panah chevron dapat
terlihat jelas pada malam hari.
(x) Penerangan jalan
Penerangan jalan yang tepat dapat mengurangi potensi kecelakaan pada
malam hari. Desain penerangan jalan berkaitan dengan karakteristik
refleksi permukaan jalan yang dapat memberikan kualitas optimal dari
kuantitas pencahayaan. Permukaan dengan cahaya berwarna memberikan
siluet yang lebih baik daripada permukaan gelap. Tiang lampu yang
berada pada sisi jalan dapat menjadi berbahaya jika pada suatu ketika ada
kendaraan yang keluar dari jalur lalu lintas.

Keseragaman dari pencahayaan sangatlah penting. Hal ini membutuhkan


desain dan pemeliharaan secara rutin dan baik. Selain itu, diperlukan
inspeksi pada saat proses instalasi yang sesuai dengan standar yang
berlaku. Tiang lampu tidak boleh diletakkan di posisi yang berbahaya bila

31 
 
 
 

suatu ketika kendaraan meninggalkan badan jalan. Apabila hal ini tidak
dimungkinkan, maka lampu harus dilindungi dengan pagar pengaman.
Rambu dan marka harus dapat dilihat oleh pengguna jalan pada saat
malam hari. Apabila tidak dimungkinkan adanya pencahayaan melalui
lampu penerangan jalan maka dapat dilakukan solusi alternatif seperti
menggunakan material yang dapat memberikan refleksi. Lampu
penerangan jalan harus diberikan pada bagian-bagian dimana terdapat
percabangan jalan baik persimpangan maupun akses lainnya.

II.3 Audit Keselamatan Jalan


Audit keselamatan jalan adalah pengujian formal sebuah proyek jalan/lalu lintas
di mana terdapat tim yang independen dan berkualifikasi memberikan laporan
mengenai potensi tabrakan pada proyek tersebut (Guide to Road Safety-Part 6:
Road Safety Audit, Austroads 2009). Tidak seperti investigasi blackspot, yang
merupakan sebuah proses reaktif dalam menghadapi masalah kecelakaan, audit
merupakan proses yang proaktif dengan tujuan mengidentifikasi dan
menghilangkan potensi masalah keselamatan sebelum terjadi.

Menurut Federal Highway Administration, U.S. Department of Transportation


2006, audit keselamatan jalan adalah pemeriksaan kinerja keselamatan formal
jalan atau persimpangan yang sudah ada atau yang akan dibangun oleh tim audit
independen. Secara kualitatif memperkirakan dan melaporkan tentang potensi
permasalahan keselamatan di jalan dan mengidentifikasi peluang untuk perbaikan
dalam keselamatan bagi semua pengguna jalan. Audit keselamatan jalan dengan
kontrol kualitas desain adalah kesalahan penafsiran dari peran dan sifat audit
keselamatan jalan. Sesuai dengan standar desain memang penting namun tidak
selalu menghasilkan desain jalan optimal aman dan sebaliknya kegagalan untuk
mencapai kesesuaian dengan standar tidak selalu menghasilkan desain yang tidak
dapat diterima dari segi keselamatan.

Audit keselamatan jalan lebih dari memeriksa standar (Guide to Road


Safety-Part 6: Road Safety Audit, Austroads 2009). Standar merupakan titik awal
yang penting dalam mendesain jalan. Seorang desainer harus akrab dengan

32 
 
 
 

standar yang relevan, berusaha untuk mematuhinya dan waspada di mana standar
apapun tidak dapat dicapai.

Namun, standar tidak menjamin keselamatan karena :


• Standar dikembangkan untuk berbagai alasan, misalnya alasan biaya atau
kapasitas lalu lintas maupun keselamatan.
• Standar yang sering kali merupakan persyaratan minimum, menggabungkan
serangkaian standar minimum yang tidak diinginkan dan dapat memberikan
adanya ruang untuk kesalahan, baik dari desainer, pembangun atau pengguna
akhir jalan.
• Standar biasanya hanya mencakup situasi umum/biasa namun tidak untuk
semua situasi.
• Standar yang mungkin tidak berlaku untuk keadaan pada saat desain
• Elemen jalan individu yang dirancang untuk standar mungkin cukup aman
tetapi mungkin bila dikombinasikan dengan elemen standar lainnya tidak
aman (yaitu memicu sejumlah besar pengguna jalan untuk cenderung
melakukan kesalahan)
• Standar tertentu yang mungkin didasarkan pada informasi yang tidak sesuai
dengan kondisi saat ini (up-date)
• Desainer mungkin menggunakan standar yang tidak tepat atau standar yang
sudah usang.

Daripada memeriksa standar, pendekatan audit keselamatan jalan lebih kepada


memeriksa kesesuaian dengan tujuan, apakah jalan atau penanganan bekerja
dengan selamat seperti yang diharapkan oleh pengguna jalan. Audit lebih
merupakan penaksiran tentang bagaimana pengguna jalan pada masa depan akan
menggunakan jalan tersebut, dan apakah pengguna jalan tersebut mungkin
memiliki beberapa masalah keselamatan pada jalan baru. Tim audit harus
menempatkan diri dalam kacamata pengguna jalan masa depan dan memeriksa
bagaimana jalan berfungsi bagi pengguna jalan tersebut.

Audit keselamatan jalan juga menjamin tingkat keselamatan jalan mendapat


perhatian pada tiap tahap proyek jalan. Tabrakan lalu lintas terjadi karena banyak

33 
 
 
 

faktor, dan oleh karena itu audit tidak dapat menjamin bahwa setiap potensi
masalah keselamatan telah diketahui. Bagaimanapun juga, pertimbangan yang
matang dan penggunaan rekomendasi audit keselamatan jalan secara seksama
dapat mengurangi risiko yang dihadapi oleh pengguna jalan.

Audit keselamatan jalan mempunyai manfaat diantaranya adalah :


• Mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya suatu kecelakaan pada
suatu ruas jalan yang baru atau yang baru ditingkatkan;
• Mengurangi parahnya korban kecelakaan;
• Menghemat pengeluaran negara untuk kerugian yang diakibatkan kecelakaan
lalu-lintas;
• Meminimumkan biaya pengeluaran untuk penanganan lokasi kecelakaan suatu
ruas jalan melalui pengefektifan desain jalan.

II.3.1 Prosedur Audit Keselamatan Jalan Tahap Jalan Sudah Ada (Existing
Road Audit)
Proses audit keselamatan jalan dapat diterapkan pada jaringan jalan yang ada, baik
dengan cara rute tertentu (yang menghasilkan isu-isu keselamatan lengkap) atau
dengan cara jaringan yang luas (yang menghasilkan isu-isu keselamatan yang
lebih umum) dan juga dapat dilakukan terhadap fitur tertentu atau elemen desain
dalan seluruh bagian jalan. Istilah audit keselamatan jalan yang sudah ada
digunakan tetapi istilah lain sama-sama berlaku seperti review keselamatan jalan
dan inspeksi keselamatan jalan.

Audit keselamatan jalan pada tahap saat jalan yang sudah ada (operasional)
dilakukan saat lalu lintas menggunakan jalan sehingga gambaran tentang potensi
kecelakaan menjadi lebih jelas. Audit pada tahap ini merupakan bagian kerja dari
road preservation, berfungsi untuk mengidentifikasi lokasi/bagian jalan yang
potensial rawan serta mengeksekusi pelaksanaan secara benar. Ulasan
keselamatan dan penyelidikan sejarah kecelakaan secara tradisional hanya
mengandalkan data kecelakaan untuk menentukan permasalahan keselamatan apa
yang terjadi di lokasi. Hal ini adalah tindakan re-aktif namun sebaliknya saat ini
audit keselamatan jalan pada jalan yang sudah ada dilakukan secara pro-aktif.

34 
 
 
 

Tujuan dilakukannya audit keselamatan jalan pada jalan yang sudah ada adalah :
• Mengevaluasi semua fitur jalan dan pinggir jalan, elemen desain dan kondisi
lokal (kesilauan, visibilitas malam, fungsi penggunaan lahan, dll.) yang akan
meningkatkan kemungkinan dan keparahan kecelakaan.
• Meninjau langsung interaksi dari berbagai elemen desain satu sama lain dan
jaringan jalan sekitarnya.
• Mengamati bagaimana pengguna jalan berinteraksi dengan fasilitas jalan.
• Menentukan apakah kebutuhan semua pengguna jalan telah memadai dan
aman terpenuhi.
• Mengeksplorasi tren operasional yang muncul atau masalah keamanan di
lokasi tersebut.

Data proyek berikut dapat diberikan kepada/diminta oleh tim audit keselamatan
jalan:
• As-built drawing (mencatat apakah akurat mencerminkan kondisi yang ada).
• Investigasi kecelakaan sebelumnya yang dilakukan (jika ada)
• Data kecelakaan (menurut lokasi, jenis kecelakaan, dan tingkat keparahan)
• Data volume lalu lintas
• Data kecepatan
• Rencana waktu sinyal (jika ada).
• Klasifikasi fungsional jalan
• Standar, pedoman dan kebijakan yang ada
• Laporan audit sebelumnya
• Rentang lingkup audit keselamatan jalan yang ada

Ketika melakukan audit keselamatan jalan dari jalan yang sudah ada, tim audit
keselamatan jalan akan memiliki keuntungan dari audit tahap pra-konstruksi dan
konstruksi. Tim audit tidak mungkin hanya mengamati berbagai fitur jalan dan
bagaimana saling melengkapi satu sama lain, tetapi juga melihat bagaimana
pengguna jalan berinteraksi dengan fasilitas jalan. Dan mungkin mengamati
insiden perilaku pengemudi yang menunjukkan sesuatu yang salah, menyesatkan,
atau tidak ada dalam desain jalan. Pengguna jalan rentan (misalnya pengemudi
yang sudah lanjut usia atau pejalan kaki, pejalan kaki yang tunanetra, anak-anak)
dapat diamati apakah mengalami kesulitan tertentu di lapangan yang sedang

35 
 
 
 

diselidiki. Tim audit dapat mengamati pengendara apakah dapat melakukan


pelanggaran lalu lintas (misalnya kecepatan yang berlebihan, lampu merah
berjalan, gagal untuk memberi fasilitas untuk pejalan kaki) dan mungkin
menyarankan penegakan atau pendidikan berbasis penanganan.

Keuntungan lain dari melakukan audit keselamatan jalan dalam tahap pra-
konstruksi atau konstruksi sebelum audit keselamatan jalan dari jalan yang sudah
ada adalah kemampuan tim audit keselamatan jalan untuk melihat bukti fisik
tabrakan yang sudah terjadi, seperti:
• Kerusakan trotoar, objek berbahaya pada sisi jalan, pohon, tiang listrik, tiang
rambu, dan rambu lalu lintas.
• Tanda goresan/lubang di trotoar dan barrier beton.
• Tanda selip, pecahan kaca, tumpahan minyak di jalan.
• Kendaraan trek atau alur di tanah yang berdekatan dengan jalan yang ada
Bukti tersebut akan membantu dalam mendiagnosis kemungkinan daerah yang
memiliki keselamatan berisiko tinggi. Dimana kerusakan telah terjadi sedemikian
rupa sehingga fitur sisi jalan telah rusak, ini harus dicatat dan dilaporkan dalam
audit sebagai perhatian untuk penanganan. Untuk audit keselamatan jalan dari
jalan yang sudah ada, kecuali diarahkan oleh pemilik proyek, semua jalan dan
fitur pinggir jalan atau unsur-unsur lain yang diperlukan, dianggap masuk ke
dalam lingkup audit keselamatan jalan seperti dalam rincian audit keselamatan
jalan tahap desain.

Perubahan volume lalu lintas, campuran kendaraan, peningkatan kehadiran


pengguna jalan rentan atau penggunaan lahan yang berdampingan mungkin telah
diberikan klasifikasi dan desain fasilitas yang sudah sangat lama. Standar,
kebijakan dan pedoman mungkin menjadi titik awal untuk tim audit keselamatan
jalan dalam mengidentifikasi jalan/elemen pinggir jalan atau fitur yang tidak lagi
konsisten dengan fungsi dan klasifikasi jalan serta berpotensi memunculkan risiko
bagi pengguna jalan.

36 
 
 
 

Metode audit keselamatan jalan pada tahap jalan yang sudah ada (operasional)
adalah :
1. Penyediaan data dan informasi proyek
Tahap ini mencakup pengumpulan data dan informasi yang berkaitan dengan
proyek jalan yang akan diaudit termasuk gambar desain yang terbangun (jika
ada perubahan desain) dan data proyek lain (misalnya: laporan audit
sebelumnya) untuk menentukan apa isu-isu keselamatan yang mungkin akan
muncul di lapangan. Ini akan membantu tim audit keselamatan jalan untuk
menggambarkan secara akurat mengenai tingkat keselamatan di jalan.

Mengumpulkan data informasi lalu lintas dan kecelakaan lalu lintas (bila ada)
untuk melengkapi setiap temuan sebagai hasil dari kunjungan lapangan dan
penelaahan data proyek. Namun, sebaiknya memilih untuk tidak memeriksa
sejarah kecelakaan sampai setelah meninjau data proyek dan kunjungan
lapangan telah selesai dilakukan sehingga evaluasinya tidak bias oleh data
kecelakaan. Selain itu, kebanyakan data kecelakaan yang ada sudah lama dan
tidak selalu membantu dalam menentukan tren operasional yang muncul atau
masalah keselamatan di lokasi.
2. Menentukan sasaran dan tujuan audit dengan mengulas latar belakang dan
masalah proyek. Kemudian melakukan penjadwalan pelaksanaan audit sesuai
dengan sasaran dan tujuan yang akan dicapai.
3. Survei ke lapangan
Untuk memeriksa permasalahan yang akan berpotensi menimbulkan
kecelakaan dengan berperan sebagai pengguna jalan maka diperlukan
kunjungan ke lapangan dengan strategi sebagai berikut :
• Persiapan kunjungan ke lapangan
1) Siapkan data informasi proyek, peta lokasi, gambar proyek
2) Siapkan daftar periksa dan digandakan sesuai dengan kebutuhan
3) Siapkan peralatan survei (kamera video, kamera foto, alat tulis, alat ukur
panjang, speed gun, tripod, dsb) yang diperlukan
• Pemeriksaan di lapangan dengan berperan sebagai pengguna jalan (pejalan
kaki, pengemudi sepeda motor, pengemudi kendaraan ringan, pengemudi
kendaraan berat, dll.).

37 
 
 
 

• Survei lapangan lanjutan


1) Lakukan evaluasi terhadap hasil audit (daftar periksa) dan hasil
dokumentasi baik dengan kamera video maupun dengan kamera foto.
2) Survei lanjutan diperlukan bila terdapat hal-hal yang spesifik seperti
kebutuhan data pejalan kaki dan sepeda, lebar ruang bebas,
persimpangan, kecepatan, dsb.
3) Lakukan survei lapangan sesuai kebutuhan yang mengacu pada pedoman
survei yang standar
4. Evaluasi dan analisis data
Untuk mengevaluasi diperlukan engineer yang telah mempelajari keselamatan
jalan untuk membuat kesimpulan dan saran dari analisis hasil temuan.
Beberapa hal yang dilakukan antara lain :
• Identifikasi bagian-bagian jalan dan fasilitas pendukung jalan yang
berpotensi menimbulkan bahaya bagi pengguna jalan
• Analisis bisa dilakukan melalui kamera video yaitu bagian-bagian desain
geometri, bangunan pelengkap jalan, fasilitas pendukung, lokasi-lokasi
yang berpotensi menimbulkan konflik lalu lintas
• Identifikasi obyek di ruang bebas yang berpotensi menjadi bahaya bagi
pengguna jalan
• Identifikasikan jarak pandang bagi pengguna jalan
• Identifikasi rambu dan marka jalan yang kurang tepat ataupun diperlukan
• Analisis hasil survei lapangan yaitu data lalu lintas harian (LHR) dan
komposisi kendaraan yang melewati titik pengamatan, menghitung
kecepatan setempat pada lokasi yang diamati, memperkirakan tingkat
pertumbuhan lalu lintas ke depan, memeriksa kesesuaian ruang bebas yang
ada di lapangan dengan persyaratan ruang bebas pada pedoman
AUSTROADS 2009.
5. Menyusun laporan audit berdasarkan hasil temuan dengan membuat
kesimpulan dan saran/rekomendasi tindakan penanganan pada pemasalahan
keselamatan yang ditemukan.

38 
 

Anda mungkin juga menyukai