Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

IMBALANCE ELEKTROLIT
(HIPONATREMIA & HIPERKALEMIA)

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian

Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto

Diajukan Kepada :

dr. Djoko Wibisono, SpPD, KGH, FINASIM

Disusun Oleh :

Febe Rangga Tambing 112012260

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam


RS Kepresidenan RSPAD Gatot Soebroto
Periode 15 Oktober – 22 Desember 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Referat Dengan Judul :

IMBALANCE ELEKTROLIT

(HIPONATREMIA & HIPERKALEMIA)

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

di Departemen Penyakit Dalam

RSPAD GATOT SOEBROTO – PUSKESAD, Jakarta

Disusun Oleh:

Febe Rangga Tambing


11.2012.260

Telah disetujui oleh :

Nama Pembimbing Tanda Tangan Tanggal


Pembimbing Pengesahan

dr. Djoko Wibisono, SpPD,


KGH, FINASIM

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas kesempatan yang
telah diberikan kepada saya untuk membuat referat ini. Saya mengucapkan terima kasih
kepada dr. Djoko Wibisono, SpPD, KGH, FINASIM selaku pembimbing dan mentor yang
telah memberikan informasi, kritikan, dan saran yang membangun saya untuk dapat
menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Saya juga ingin berterima kasih kepada para
konsulen yang telah membagi ilmunya kepada saya di RSPAD Gatot Soebroto serta pihak-
pihak lainnya yang telah membantu dalam penulisan referat ini baik secara langsung maupun
secara tidak langsung.
Saya menyadari bahwa dalam referat ini masih banyak kekurangannya oleh karena itu
dengan kerendahan hati saya mengharapkan adanya kritik maupun saran yang membangun
dari para pembaca guna perkembangan saya untuk dapat menjadi lebih baik.
Saya mengharapkan referat ini dapat digunakan untuk kepentingan para pembaca,
serta dapat menambah wawasan dan ilmu bagi para pembaca. Akhir kata, saya mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya dan selamat membaca.

Jakarta, November 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

Kata pengantar……………………………………………………………………. 3

Daftar Isi………………………………………………………………………….. 4

BAB I.PENDAHULUAN ……………………………………………………….. 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

HIPONATREMIA

2.1 Definisi & Klasifikasi………………………………………………….. 6

2.2 Patofisiologi …………………………………………………….……. 10

2.3 Manifestasi Klinis…………………………………………………….. 19

2.4 Diagnosis ……………………………………………………… ……. 19

2.5 Penatalaksanaan …………………………………………………….. 22

HIPERKALEMIA

2.1 Definisi ……………………………………………………………. 28

2.2 Gejala Klinis ………… …………………………………….……… 28

2.3 Penyebab ………. …………………………………………………. 28

2.4 Diagnosis …………….……………………………………………. 30

2.5 Pengobatan … ……………………………………………………… 30

BAB III PENUTUP…………………………………………………………….. 32

Daftar Pustaka……………………………………………………………………. 33

4
BAB I
PENDAHULUAN
Elektrolit merupakan molekul ionisasi yang ditemukan dalam darah, jaringan, dan sel-
sel tubuh. Molekul ini, baik yang bermuatan positif (kation) dan negative (anion),
mengkonduksi aliran listrik serta membantu keseimbangan pH dan nilai asam basa dalam
tubuh. Elektrolit juga memfasilitasi aliran cairan di antar dan di dalam sel melalui proses
yang dikenal sebagai osmosis; serta berperan serta dalam fungsi regulasi system
neuromuscular, endokrin dan ekskresi.
Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka menjaga kondisi tubuh tubuh
tetap sehat. Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh adalah merupakan salah satu
bagian dari fisiologi homeostatis. Cairan dan elektrolit merupakan bagian dalam tubuh yang
berperan dalam memelihara fungsi dari organ tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit
sangat penting dalam proses homestatis baik untuk meningkatkan kesehatan maupun dalam
proses penyembuhan penyakit. Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan komposisi dan
perpindahan berbagai cairan tubuh. Cairan dan elektrolit masuk kedalam melalui makanan,
minuman, dan cairan intravena (IV) dan didistribusi ke seluruh bagian tubuh. Keseimbangan
cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari seluruh air total dan elektrolit
ke dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu
dengan yang lainnya, jika salah satu terganggu maka akan berpengaruh pada yang lainnya.
Terdapat beberapa elektrolit seperti natrium, kalium, kalsium, magnesium, dan
klorida yang secara normal terdapat dalam tubuh. Elektrolit tersebut, yang juga dikenal
sebagai garam tubuh, diperlukan dalam jumlah tertentu di dalam tubuh. Namun terkadang
kadar elektrolit dapat meningkat atau menurun dalam keadaan tertentu. Hal ini yang dikenal
sebagai gangguan elektrolit.
Gangguan elektrolit merupakan ketidakseimbangan antara garam ionisasi tertentu
(seperti natrium, kalium,kalsium dan magnesium) dalam darah. Obat-obatan, penyakit kronik
dan trauma (seperti luka bakar, fraktur,dll) dapat menyebabkan konsentrasi elektrolit tertentu
dalam tubuh menjadi terlalu tinggi (hiper-) atau terlalu rendah (hipo-). Jika hal ini terjadi,
dapat menghasilkan ketidakseimbangan atau gangguan elektrolit
Gangguan cairan dan elektrolit dapat membawa pasien dalam kegawatdaruratan yang
kalau tidak dikelola dengan cepat dan tepat dapat menimbulkan kematian. Usaha pemulihan
kembali volume serta komposisi cairan dan elektrolit tubuh dalam kondisi yang normal
disebut resusitasi cairan dan elektrolit.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

HIPONATREMIA

2.1 Definisi dan Klasifikasi


Hiponatremia adalah suatu kondisi dimana kadar natrium dalam plasma lebih rendah dari
135 mEq/L.1,2 Hiponatremi dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok:

1. Berdasarkan Osmolalitas Plasma


a. Hiponatremia Isotonik
Jika konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L dan osmolalitas plasma normal yaitu
280-285 mOsm/Kg/H2O.2

b. Hiponatremia Hipotonik
Jika konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L dan osmolalitas plasma normal yaitu <
280 mOsm/Kg/H2O. Hiponatremia hipotonik selalu menggambarkan ketidakmampuan
ginjal dalam mengekskresikan cairan yang masuk. Berdasarkan jumlah cairan
intravaskular hiponatremia hipotonik dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Hipovolemik
Hiponatremia hipotonik hipovolemik dapat terjadi akibat kehilangan natrium renal atau
ekstrarenal, dan penyebab kehilangan dapat dibedakan berdasarkan konsentrasi natrium
urin. Pada kondisi ini terjadi penurunan jumlah CES dan deplesi solut. Hiponatremia
dengan deplesi volume dapat terjadi pada berbagai keadaan. Gejala klinis dari deplesi
volume yaitu penurunan tekanan darah ortostatik, peningkatan denyut nadi, keringnya
membran mukosa dan turgor kulit menurun. Pada pemeriksaan laboratorium dapat
ditemukan peningkatan blood urea nitrogen (BUN), kreatinin dan peningkatan asam
urat.2
 Gangguan gastrointestinal
 Diare dan muntah yang berlebihan dan tidak langsung diberi cairan pengganti
dapat menyebabkan kehilangan sejumlah cairan dan natrium. Pada pemeriksaan
laboratorium akan ditemukan penurunan natrium urin pada keadaan diare, tetapi
mungkin dapat meningkat pada pasien dengan muntah yang berlebihan sehingga

6
pemeriksaan laboratorium yang baik dalam menggambarkan deplesi volume yaitu
pemeriksaan klorida.2
 Keringat yang berlebihan
 Aktifitas fisik yang berlebihan seperti maraton dapat menyebabkan deplesi
volume, kehilangan natrium dan klorida pada keringat yang berlebihan.2
 Penggunaan diuretik yang berlebihan
 Menurut literatur, 73 % kasus hiponatremi disebabkan karena penggunaan thiazid,
20% karena kombinasi thiazid dengan antikaliuretik dan 7 % disebakan oleh
furosemid.2

 Cerebral salt wasting syndrome (CSWS)


CSWS merupakan suatu sindroma yang terjadi setelah prosedur neurosurgikal
ataupun setelah terjadi trauma kepala. Pada kondisi ini AVP disekresikan karena
stimulasi baroresptor.2
 Defisiensi mineralokortikoid
Pada kondisi ini terjadi kegagalan dalam menekan pelepasan AVP akibat
hipoosmolalitas.2
2. Euvolemik
Hiponatremia hipotonik euvolemik berhubungan dengan adanya kelompok
sindroma klinis yang selanjutnya harus dibedakan menurut pemeriksaan
osmolalitas urin. Hal ini terjadi karena intake cairan yang berlebihan sedangkan
ginjal tidak mampu untuk mengeksresikan. Hal ini dapat terjadi pada keadaan
dibawah ini:
 SIADH (syndrome inappropiate anti diuretic hormon): Konsentrasi natrium
yang rendah karena kelenjar hipofisis di dasar otak mengeluarkan terlalu
banyak hormon antidiuretik.
 Sindroma nefrogenik.

7
 Defisiensi glukokortikoid.
 Hipotiroid : Pada hipotiroid terjadi peningkatan resistensi vaskular dan
penurunan curah jantung yang menyebakan gangguan perfusi ginjal.
 Keringat yang berlebihan.
 Intake cairan yang rendah.
 Polidipsia primer : Polidipsia primer terjadi pada 20 % pasien psikiatrik
khususnya skizofrenia. Pada kondisi ini intake cairan berlebihan tidak diikuti
dengan diuresis.2
3. Hipervolemik
Hiponatremia hipotonik hipervolemik terjadi akibat adanya peningkatan total
cairan tubuh yang selanjutnya dapat dibedakan dengan pemeriksaan konsentrasi
natrium pada urin. Dapat terjadi karena kegagalan ginjal dalam mengkeksresikan
cairan. Pada pasien ini ditemukan edema karena retensi cairan dan natrium.2
 Gagal jantung
 Hiponatremia hipervolemik pada gagal jantung pada awalnya terjadi akibat
penurunan curah jantung dan tekanan darah, yang menstimulasi vasopressin,
katekolamin dan renin-angiotensin-aldosteron. Kadar vasopressin yang
meningkat telah dilaporkan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri
sebelum gagal jantung muncul. Pada pasien gagal jantung yang memburuk,
berkurangnya stimulasi mekanoreseptor di ventrikel kiri, sinus karotis, arkus
aorta dan arteriol aferen ginjal memicu peningkatan aktivitas simpatis, system
RAA, dan pelepasan vasopressin tanpa rangsang osmotik, ditengah-tengah
berbagai neurohormon lain. Walaupun total air tubuh meningkat, peningkatan
aktivitas simpatis ikut menyebabkan retensi natrium dan air. Pelepasan
vasopresin yang bertambah menyebabkan bertambahnya jumlah saluran
akuaporin di duktus koligentes ginjal. Ini memacu retensi air yang bersifat
abnormal dan hiponatremia hipervolemik.2
 Sirosis
 Hiponatremi yang terjadi pada pasien sirosis dikarenakan gagal jantung,
pelepasan AVP.2
 Sindroma nefrotik, gagal ginjal akut dan kronik.2

8
c. Hiponatremia hipertonik
Jika konsentrasi natrium plasma <135 mEq/L dan osmolalitas plasma normal yaitu
>285 mOsm/Kg/H2O. Contoh : hiperglikemia dan pemberian cairan hipertonik
seperti manitol.2

1. Berdasarkan konsentrasi natrium plasma:


 Hiponatremia ringan
Konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L
 Hiponatremia sedang
Konsentrasi natrium plasma < 130 mEq/L
 Hiponatremia berat
Konsentrasi natrium plasma < 120 mEq/L.2

2. Berdasarkan konsentrasi ADH


 Hiponatremia dengan ADH meningkat
Peningkatan ADH dikarenakan deplesi volume sirkulasi efektif yang
menyebabkan Na keluar berlebihan dari tubuh yaitu ginjal (diuretik, salt-losing
nephropaty, hipoaldosteron) dan non ginjal seperti diare.2
Peningkatan ADH tanpa disertai deplesi volume misalnya pada SIADH.2
 Hiponatremia dengan supresi ADH fisiologis
Polidipsia primer atau gagal ginjal merupakan keadaan dimana eksresi cairan
lebih rendah dibanding asupan cairan yang menimbulkan respons fisiologis untuk
supresi sekresi ADH.2

3. Berdasarkan waktu
 Hiponatremia akut
Disebut akut bila kejadian hiponatremi berlangsung kurang dari 48 jam. Pada
keadaan ini akan terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran dan kejang.
Hal ini terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari ekstrasel masuk ke intrasel
yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini disebut juga hiponatremi simptomatik
atau hiponatremi berat.2
 Hiponatremia kronik
Disebut kronik bila kejadian hiponatremia berlangsung lambat yaitu lebih dari 48
jam. Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran

9
ataupun kejang. Gejala yang terjadi seperti mengantuk dan lemas. Kelompok ini
disebut juga hiponatremi asimptomatik atau hiponatremi ringan.2

2.2 Patofisiologi hiponatremia


Osmolalitas tubuh diatur oleh sekresi arginin vasopresin (AVP) dan rangsangan haus.
AVP merupakan hormon antidiuretik yang dihasilkan oleh hipotalamus dan di
transportasikan melalui axon ke hipofisis posterior. AVP berperan dalam mengatur
homeostasis. Aktivasi reseptor AVP menyebabkan ekskresi cairan berkurang, regulasi
AVP juga diatur oleh baroresptor di sistem saraf pusat dan sistem kardiopulmonal.
Natrium serum merupakan hasil bagi dari jumlah natrium dengan volume plasma.
Osmolalitas plasma normal yaitu 280-285 mOsm/Kg/H20.2,3,4,5
1. Hiponatremia Isotonik
Pada kondisi ini jumlah natrium plasma sebenarnya dalam keadaan normal. Isotonik
hiponatremi terjadi pada keadaan hiperlipidemia ataupun hiperproteinemia. Plasma
tersusun atas cairan dan solut (zat terlarut). Hiperlipidemia dan hiperproteinemia
meningkatkan solut plasma dan menurunkan jumlah cairan plasma, sehingga pada
keadaan ini terjadi pseudohiponatremi. Dimana denominator dalam penghitungan
jumlah natrium plasma menjadi lebih tinggi sehingga kadar natrium plasma menjadi
turun.2,3,4,5

2. Hiponatremia Hipotonik
Osmolalitas antara cairan intraseluler sama dengan cairan ekstraseluler. Pada
keadaan hiponatremi hipotonik, jumlah cairan plasma lebih besar dibandingkan
jumlah solut sehingga osmolalitas plasma menjadi turun.2,5

10
a) Hiponatremia Hipotonik Euvolemik
Hiponatremia hipotonik euvolemik berhubungan dengan adanya
kelompok sindroma klinis yang selanjutnya harus dibedakan menurut
pemeriksaan osmolalitas urin. Kondisi euvolemik dengan osmolalitas urin
<100 mOsm/kg menunjukkan kondisi seperti polidipsia psikogenik dan low-
solute potomania.2,3,4,5
Polidipsia psikogenik (polidipsia primer) muncul paling sering pada
pasien skizofrenik, terlihat dari adanya intake air yang berlebihan, dan
biasanya melebihi 10 l/hari. Kondisi euvolemik dipertahankan dengan supresi
osmotik terhadap pelepasan AVP dan eksresi ginjal terhadap H2O bebas.
Sehingga, urin terdilusi dan osmolalitas rendah (biasanya < 100
mOsm/kg).2,3,4,5
Mekanisme hiponatremia masih belum jelas, namun dapat
berhubungan dengan adanya reduksi osmotik threshold untuk pelepasan AVP
dan disregulasi stimulus osmotik terhadap rangsangan haus. Terlebih lagi,
pada penggunaan antipsikotik tipikal dapat memperburuk polidipsia, sehingga
lebih dianjurkan penggunaan antipsikotik atipikal pada pasien seperti ini. 2
Low-solute potomania disebabkan adanya intake yang berlebihan
terhadap cairan rendah solut yang menyebabkan hiponatremia hipotonik
euvolemik. Contohnya adalah konsumsi alkohol yang berlebihan yaitu bir,
yang rendah solut (seringkali < 5 mEq/L dari natrium). Cairan rendah solut
dapat menyebabkan dan memperburuk hiponatremia terutama pada pasien
sirosis alkoholik, dimana seringkali mengalami peningkatan sirkulasi AVP
dan memiliki insufisiensi ginjal. Meskipun begitu potomania sendiri seringkali
tidak sufisien untuk mengakibatkan kondisi hiponatremia, sehingga adanya
disregulasi dan gangguan pada ekskresi ginjal dibutuhkan untuk dapat
menyebabkan kondisi hiponatremia. 2
Reset osmostat syndrome (osmolalitas urin bervariasi) and cerebral
salt-wasting syndrome (CSWS; osmolalitas urin tinggi) juga dilaporkan dapat
menyebabkan hiponatremia pada pengguna alkohol. 2
Hiponatremia hipotonik euvolemik pada pasien dengan osmolalitas
urin >100 mOsm/kg menunjukkan kondisi dimana terdapat peningkatan AVP
yang mengakibatkan adanya urin yang kurang terdilusi. Kondisi lainnya
seperti endokrinopati dan syndrome of inappropriate antidiuresis (SIADH),

11
dimana adanya sindroma sekresi hormon antidiuretik yang tidak apropriat dan
sindrom nefrogenik antidiuresis yang tidak apropriat. Selain itu, pada SIADH
terdapat peningkatan ekskresi asam urat pada urin dan kalkulasi dari fraksi
ekskresi asam urat yang dapat memberikan tanda untuk diagnosis, dimana
pada pasien normal fraksi ekskresi asam urat kurang dari 10 %.2
Endokrinopati, termasuk gangguan tiroid dan adrenal, penting untuk
diperhatikan sebagai diagnosis banding terhadap hiponatremia hipotonik
euvolemik karena juga dapat mengakibatkan peningkatan sirkulasi AVP.
Hipotiroid jarang menyebabkan hiponatremia hipotonik euvolemik, namun
dapat bermanifestasi sebagai hiponatremia berat (105–110 mEq/L), dan
meskipun mekanisme penyebabnya masih belum jelas, adanya peningkatan
sirkulasi AVP yang tidak sesuai dapat menjadi penyebab adanya retensi
cairan. 2
Hipokortisol dapat menyebabkan hiponatremia hipotonik euvolemik,
meskipun mekanisme penyebabnya masih kurang jelas dan juga berhubungan
dengan insufisiensi adrenal dan peningkatan plasma AVP. 2
SIADH, mengakibatkan kondisi hiponatremia hipotonik euvolemik
dan gangguan ekskresi H2O bebas dengan tidak ditemukannya insufisiensi
renal, insufisiensi adrenal, ataupun adanya stimulus pelepasan AVP lainnnya. 2
SIADH ditemukan beberapa tahun sebelum teridentifikasinya AVP
sebagai hormon penyebab. Awalnya, pelepasan AVP diperkirakan menjadi
penyebab independen terhadap osmolalitas plasma, namun hal ini tidak
ditemukan pada semua pasien SIADH. Contohnya pada pasien hiponatremia
dengan urin yang terdilusi, pelepasan AVP biasanya tersupresi walaupun pada
konsentrasi natrium plasma dibawah normal, kondisi yang disebut reset
osmostat syndrome.2
Selain itu, kasus SIADH ditemukan karena adanya mutasi genetik yang
menghasilkan adanya urin yang terkonsentrasi dengan tidak adanya pelepasan
AVP, fenomena yang disebut NSIAD. Contohnya adanya aktivasi mutasi dari
reseptor V2, mutasi pada gen yang mengkontrol ekspresi saluran aquaporin air
pada tubulus kolektivus ginjal, dan mutasi yang memproduksi molekul yang
memiliki mimik AVP. 2
Terdapat kriteria spesifik untuk diagnosis SIADH. Untuk dapat
terdiagnosis dengan SIADH, pasien harus euvolemik, memiliki osmolalitas

12
urin lebih dari 100 mOsm/kg dan memiliki efektivitas osmolalitas plasma
yang rendah. Selain itu, intake air yang berlebihan dibutuhkan untuk
terjadinya hiponatremia. 2
Penyebab SIADH sangat bervariasi. Obat yang memiliki aksi mimik
AVP. Menstimulasi untuk pelepasannya. Atau menguatkan aksi AVP dapat
menyebabkan SIADH. Termasuk AVP analog, narkotik, atau antipsikotik.
Contohnya oksitosin yang memiliki AVP-like effect yang dapat menyebabkan
intoksikasi air. Inhibitor reuptake serotonin selektif juga dapat meningkatkan
efek AVP, terutama pada lansia, dan wanita, pengguna diuretik, atau pada
konsentrasi plasma natrium yang rendah. Exercise-associated hiponatremia
juga menjadi kriteria diagnosis esensial pada SIADH. Konsumsi cairan
hipotonik pada saat olahraga yeng berlebihan mengakibatkan adanya absorbsi
yang tertunda, mengakibatkan elevasi sirkulasi AVP yang memanjang dan
retensi air. Intake air yang berlebihan dan perubahan hormon saat olahraga
merupakan faktor utama dibandingkan faktor-faktor lainnya. Stimuli
nonosmostik lainnya juga berhubungan saat olahraga yang cukup lama.
Meskipun volume intravaskular diperbaiki, rangsangan nonosmotik terus
merangsang pelepasan AVP. Pada akhirnya, regulasi normal volume cairan
ekstraseluler dan translokasi natrium yang aktif pada sirkulasi ke tempat
penyimpanan tidak dapat terjadi. 2

Tabel 2. Penyebab Syndrome of Inappropriate Antidiuresis

Neoplasma -Paru-paru (karsinoma paru small cell, mesotelioma)

-Karsinoma pada saluran gastrointestinal, saluran


urogenital, prostat, and endometrium

-Lainnya (timoma, limfoma, Ewing’s sarkoma)

Paru-paru -Infeksi (pneumonia, tuberkulosis, empiema)

-Gangguan ventilasi (gagal napas akut, penyakit paru


obstruktif kronis)

13
Kondisi -Inflamasi (meningitis, systemic lupus erythematosus)
intracranial
-Trauma, massa atau cairan (operasi, tumor, perdarahan
subaraknoid, hidrosefalus)

-Lainnya (sklerosis multipel, Guillain-Barré syndrome,


delirium tremens)

Obat-obatan -Analog AVP (vasopresin, desmopresin, oksitosin)

-Obat yang menstimulasi pelepasan AVP atau


mengaugmentasi AVP (Klorpropamid,meperidin,
teofilin, amiodaron,SSRIs, antidepresan trisiklik,
karbamazepin, klorpromazin,klozapin, siklofosfamide
vinkristin, angiotensin-converting enzyme inhibitors,
nikotin, 3,4-methylenedioxymetamfetamine)

Lainnya -Mutasi genetik (AVP atau reseptor, water channels)

-Postoperatif (nyeri, mual, administrasi cairan yang


tidak sesuai)

-Berhubungan dengan olahraga (maraton, suhu yang


ekstrim,atlet)

-AIDS

-Idiopatik

Hiponatremia hipotonik euvolemik pada pasien dengan osmolalitas


urin yang bervariasi, mungkin berperan dalam terjadinya reset osmotat
syndrome, terutama jika osmolalitas urin meningkat secara progresif akibat
respons terhadap restriksi cairan. Sindrom menunjukkan adanya pola
pelepasan AVP dalam respons terhadap pemberian infus NaCl hipertonik.
Pelepasan AVP dapat terjadi cepat dan progresif, sehingga menghasilkan urin
yang terdilusi. Meskipun tidak normal, kadar AVP terkait erat hubungannya
dengan peningkatan osmolalitas plasma,pada osmolalitas plasma yang sangat
rendah pelepasan AVP tersupresi. Namun, saat osmolalitas plasma kembali

14
mendekati normal, pelepasan AVP tampak tidak sesuai karena ambang
osmotik yang normal telah diturunkan. Pelepasan AVP pada ambang
subnormal ini sebenarnya sesuai tapi dikalibrasi untuk batas dibawah normal.
Urin yang terdilusi sesuai masih bisa dicapai, hanya pada osmolalitas plasma
yang rendah. Reset osmotat syndrome ini sering terlihat pada orang tua, pasien
dengan penyakit paru (misalnya, tuberkulosis), dan malnutrisi. Reset osmotat
syndrome dapat terjadi secara fisiologis selama kehamilan, menyebabkan
osmolalitas plasma turun sekitar 10 mOsm / kg air. 2
b) Hiponatremia Hipotonik Hipovolemik
Dalam kondisi deplesi total natrium tubuh, terjadi peningkatan AVP
meningkat dan retensi H2O bebas untuk mempertahankan volume
intravaskular. Namun, retensi H2O bebas saja tidak cukup untuk
mengembalikan volume ekstraseluler cairan pada keadaan hipovolemia. Selain
itu, penggantian kehilangan natrium dan H2O dengan H2O bebas dapat
mempotensiasi peningkatan kadar plasma AVP yang tidak sesuai, yang dapat
memperburuk hiponatremia. 2
Hipovolemia dengan natrium urin kurang dari 20 mEq / L atau FENa
kurang dari 1% menunjukkan retensi natrium ginjal yang aktif untuk
mengkompensasi kehilangan ekstrarenal, seperti kehilangan pencernaan atau
insensible water loss dengan penggantian H2O bebas. Pasien hipovolemik
dengan natrium urin melebihi 20 mEq / L atau melebihi FENa 1%
menunjukkan adanya kehilangan natrium ginjal akibat pemberian diuretik,
osmotik diuresis, salt-losing nephropaty, alkalosis metabolik, atau insufisiensi
adrenal. 2
Sebagian besar kasus dari natriuresis primer disebabkan oleh
pemberian diuretik thiazide dibandingkan dengan loop-diuretics. Diuretik
thiazide dapat menyebabkan kehilangan natrium ginjal yang berlebihan dan
deplesi volume, sehingga timbul hiponatremia berat segera setelah mulai
terapi. 2
Yang termasuk Salt losing nephropathy yaitu tubular asidosis ginjal,
penyakit polikistik ginjal, dan uropati obstruktif. Baik tubular asidosis ginjal
tipe II dan alkalosis metabolik menyebabkan hiponatremia sebagai akibat dari
bikarbonaturia, yang menimbulkan ekskresi natrium. 2

15
Kedua insufiensi adrenal primer dan sekunder dapat mengakibatkan
defisiensi glukokortikoid dan / atau mineralokortikoid, yang mengakibatkan
hiponatremia. 2

Tabel 3. Penyebab hiponatremia hipovolemik

Renal loss of sodium with water retention Extrarenal loss of sodium with water
retention
 Diuretic therapy  Gastrointestinal losses
 Cerebral salt wasting o Vomiting
 Mineralcorticoid deficiency o diarrhea
o Autoimmune  Third space losses
 Adrenal only o Bowel obstruction
 Polyglandular endocrinopathy o Pancreatitis
o Adrenal hemorrhage o Muscle trauma
 Meningococcemia o burns
 Idiopathic  Sweat losses
o Infection o Endurance exercise
 TB
 Fungus
 cytomegalovirus
o Adrenal enzyme deficiencies (congenital
adrenal hyperplasia)
 Salt wasting nephropaty
 Bicarbonaturia, glycosuria, ketonuria

c) Hiponatremia Hipotonik Hipervolemik


Pasien hipervolemik dengan natrium urin >20 meEq/L atau ekskresi
fraksi natrium (FENa) >1 tipikal pada pasien dengan gagal ginjal berat.
Sedangkan pada pasien hipervolemik dengan natrium urin < 20 mEq/L atau
FENa < 1% tipikal pada kondisi edema, termasuk CHF, sirosis, dan sindroma
nefrotik. 2
Hiponatremia dengan adanya edema mengindikasikan adanya
peningkatan pada TBW yang lebih besar dibandingkan total natrium pada

16
tubuh. Meskipun begitu, pada CHF dan sirosis keadaan ini menunjukan
adanya kondisi volume sirkulasi yang terdeplesi. Retensi natrium dan air pada
kondisi edema biasanya terjadi karena mediasi oleh baroreseptor dengan
pengeluaran AVP dan aktivasi dari sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang
responsnya terutama untuk mempertahankan perfusi jaringan. Pasien dengan
sindroma nefrotik mengalami reduksi pada volume intravaskular yang sama. 2

Tabel 4. Penyebab hiponatremi euvolemik dan hipervolemik

Impaired renal free water excretion

Euvolemic

 SIADH
o Tumor
 Pulmonary/mediastinal (bronchogenic carcinoma
mesotheliom a,thymoma)
 Nonches (duodenal carcinoma, pancreatic carcinoma,
ureteral,uterine carcinoma, nonpharyngeal carcinoma,
leukemia)
o CNS disorders
 Mass lesion (tumors, brain abcesses, subdural hematoma)
 Inflammatory diseases (enchepalities, meningitis, SLE)
 Degenerative/demyelinative disease (SGB, spinal cord
lesions)
 Miscellaneous (SAH, head trauma, acute psychosis,
delirium tremens, pituitary stalk section, hydrochepalus)
o Drug induced
 Stimulated AVP release (nicotine, phenotiazines, tricyclics)
 Direct renal effect and ot potentiation of AVP effects
(DDAVP, oxytocin, prostaglandin synthesis inhibitor)
 Mixed or uncertain action (ACE inhibitors, carbamazepine
and oxcarbazepine, chlorpropamide, clofibrate, clozapine,
3,4-methylendioxymethamphetamine (ectasy),
omeprazole, serotonin reuptake inhibitors, vincristine)
o Pulmonary disease

17
 Infection (TB, pneumonia,aspergilosis, empyema)
 Mechanical/ventilator (acute respiratory failure, COPD,
positive pressure ventilation)
o Other
 AIDS and ARC
 Prolonged strenuous exercise (marathon)
 Senile atrophy
 Idiopathic
 Glucocorticoid defisiensy
 Hypothyroidsm
 Decreased urinary solute excretion
o Beer potomania
o Very low protein diet
Hypervolemic
 CHF
 Chirrosis
 Nephrotic syndrome
 Renal failure
o Acute
o Chronic
Excessive water intake

 Primary polydipsia
 Dilute infant formula
 Freshwater drowning

2. Hiponatremia Hipertonik
Terjadi jika osmolalitas plasma > 285 mOsm/Kg/H2O. Hipertonisitas bisa terjadi
karena peningkatan zat terlarut yang tidak bebas keluar masuk kompartemen,
contohnya glukosa manitol, gliserol, atau sorbitol sehingga terjadi perpindahan cairan
dari ICF ke ECF sehingga menurunkan kadar natrium ECF. Hiponatremia jenis ini
biasanya dihubungkan dengan peningkatan osmolalitas. Contohnya, pada pasien
hiperglikemia setiap kenaikan glukosa 3 mmol/L, natrium serum turun 1 mmol/L. 2

18
2.3 Manifestasi klinis hiponatremia
Gejala klinis hiponatremia tergantung dari penyakit yang mendasarinya. Secara umum
gejala klini pada hiponatremia dapat dilihat dibawah ini.
Tabel 5. Manifestasi klinis menurut sistem yang dipengaruhi

Sistem tubuh Hiponatremia

Sistem Saraf Pusat Sakit kepala, confusion, hiper atau hipoaktif


refleks tendon dalam, kejang, koma,
peningkatan tekanan intrakranial.

Muskuloskeletal Weakness, fatigue, muscle cramps/twitching

Gastrointestinal Anoreksia, nausea, vomiting, diare cair

Cardiovascular Hipertensi dan bradikardia secara signifikan

meningkatkan tekanan intrakranial

Jaringan Lakrimasi, salivasi

Ginjal Oligouria2

2.4 Diagnosis
Manifestasi klinis dari hiponatremia biasanya akibat adanya edema otak, yang
menyebabkan gejala neurologis dan sistemik. Pada kondisi kronik (CHF, Sirosis),
hiponatremia dapat asimtomatik akibat adanya adaptasi sel dengan mempertahankan gradien
osmolar dan melindungi dari terjadinya edema serebri. Pada hiponatremia akut (postoperatif,
drug-induced), gejala tidak spesifik dan sangat luas. Gejala awal yaitu adanya anoreksia,
kesemutan, mual, muntah, sakit kepala, iritabilitas, disorietasi, konfusi, fatigue, dan letargi,
dimana gejala lanjut yang dapat ditemukan adalah adanya gangguan status mental, kejang,
koma, dan gagal napas, dan dapat menyebabkan kematian. Saat gejala neurologis dari
hiponatremia muncul, disebut sebagai ensefalopati hiponatremia.
Hiponatremia terklasifikasi berdasarkan osmolalitas plasma yang ditentukan melalui
pemeriksaan penunjang laboratorium dan status volume yang ditentukan melalui pemeriksaan
fisik. Penentuan hiponatremia secara sistematik diperlukan untuk menentukan penyebab dan

19
terapi yang akan diberikan. Dapat dilakukan pengukuran osmolalitas plasma, status volume,
konsentrasi natrium urin dan osmolalitas.
Osmolalitas plasma, pertama dilakukan untuk menyingkirkan hiponatremia hipertonik
>295 mOsm/kg dan pseudohiponatremia, hiponatremia isotonik, 280–295 mOsm/kg.
Sedangkan pada penurunan osmolalitas plasma, hiponatremia hipotonik < 280 mOsm/kg
diperlukan penentuan volume status yang akurat. Meskipun begitu, pengukuran osmolalitas
plasma seringkali kurang akurat dan tidak dapat digunakan sebagai penentuan terapi. Cara
perhitungan osmolaritas plasma yaitu: Osmolaritas plasma (mOsm/kg) = [Na+] x 2 +
(glukosa/18) + (BUN/2,8).
Pengukuran konsentrasi natrium urin merupakan pemeriksaan penunjang yang paling
sering dan paling dapat digunakan untuk menentukan diagnosis banding. Status volume
diklasifikasikan secara klinis sebagai hipervolemik, euvolemik, atau hipovolemik, dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang baik dilakukan untuk diagnosis akurat dan terapi
yang adekuat. Manifestasi klinis pada kondisi hipervolemik seperti edema, crackles pada
paru, tekanan vena jugular leher terdistensi, dan terdapat S3 pada auskultasi jantung.
Manifestasi klinis pada kondisi hipovolemik yaitu adanya hipotensi orthostatik, takikardia,
dan oliguria/anuria. Jika tidak ditemukan tanda-tanda diatas, status volume dikategorikan
sebagai keadaan euvolemik. Monitor ketat dan evaluasi serial diperlukan pada hiponatremia.

Tabel 6. Langkah Diagnosis dan Terapi Hiponatremia

Langkah 1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik (termasuk penentuan


status volume)
Langkah 2. Pengukuran osmolalitas plasma
Hiponatremia hipertonik (POsm > 295 mOsm/kg)
Hiponatremia isotonik (POsm 280–295
mOsm/kg)
Hiponatremia hipotonik (POsm < 280 mOsm/kg)
Langkah 3. Pengukuran natrium urin dan osmolalitas
(ditambahkan informasi status volume)
Hiponatremia hipotonik hipervolemik

20
UNa > 20 mEq/L or Azotemia (gagal ginjal kronis)
FENa > 1%
UNa < 20 mEq/L or Edema (CHF, sirosis, sindroma nefrotik)
FENa < 1%

Hiponatremia hipotonik euvolemik


UOsm < 100 mOsm/kg Polidipsia (primer) Psikogenik
Low-solute (beer) potomania
UOsm > 100 mOsm/kg Peningkatan AVP or mimic
Syndrome of inappropriate antidiuresis
Endokrinopati
UOsm bervariasi Reset osmostat syndrome

Hiponatremia hipotonik hipervolemik


UNa > 20 mEq/L atau Natriuresis primer (renal)
FENa > 1%
UNa < 20 mEq/L atau Kehilangan natrium ekstrarenal
(dengan FENa < 1% penggantian dengan H2O bebas)
Langkah 4. Terapi Inisial
Hiponatremia hipertonik Memperbaiki kondisi hiperglikemia

Hiponatremia isotonik Mengobati penyebab gangguan metabolisme


protein atau lipid
Hiponatremia hipotonik Pemberian cairan ± diuretics, restriksi H2O
Pemberian obat farmakoterapi
Langkah 5. Reevaluasi dan penyesuaian terapi

21
2.5 Penatalaksanaan Hiponatremia
Penentuan osmolalitas plasma memberikan dasar terapi inisial hiponatremia. Pada
hiponatremia hipertonik, tatalaksana diberikan langsung pada penyebabnya. Tidak ada terapi
spesifik pada hiponatremia isotonik selain memberikan terapi pada gangguan metabolisme
lipid dan protein yang mendasari. Untuk hiponatremia hipotonik diberikan secara
simptomatis,dan berdasarkan status volume.2,7
Pada hiponatremia hipotonik, gejala biasanya semakin terlihat saat konsentrasi plasma
natrium <120 mEq/L. Tergantung pada status volume, terapi hiponatremia hipotonik
diberikan bertahap, dari pemberian salin hipertonik pada kasus berat sampai pemberian salin
isotonik pada kasus ringan dan sedang, dan restriksi H2O bebas pada kasus asimtomatik. Pada
kasus berat pemberian salin hipertonik atau isotonik harus diberikan secara agresif untuk
pencegahan komplikasi neurologis yang mengancam nyawa. Salin hipertonik hanya diberikan
pada kasus berat dengan konsultasi ahli dan hanya dalam waktu singkat.2
Diuretik dapat diberikan untuk mengobati kemungkinan adanya potensial volume
overload. Saat gejala sudah berkurang, terapi harus dikurangi dan terfokus pada koreksi
penyebab dari ketidakseimbangan air dan natrium. Reevaluasi serial dan tappering down
harus dilakukan secara hati-hati sampai tercapai kondisi normonatremia euvolemik.2,6
Hiponatremia hipotonik akut, memiliki onset < 48 jam, dan dapat terkoreksi secara cepat.
Meskipun begitu, koreksi dari hiponatremia kronik asimptomatik terkadang tidak diberikan,
seperti pada pasien sirosis atau reset osmostat syndrome. Terlebih lagi, tata laksana yang
berlebihan dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas. Kerusakan batang otak yang
permanen dapat muncul akibat osmotic myelinolysis syndrome, yang terlihat dari adanya
central pontine myelinolysis akibat osmotically-induced demyelination.
Secara umum, pada satu setengah dari total defisit dapat digantikan dalam 12 jam
pertama, dengan 0.5 mEq/L/jam (12 mEq/L/hari). Rumus dibawah dapat digunakan dalam
mengestimasi efek 1 L infus natrium dalam konsentrasi plasma natrium.2

22
Perubahan dalam natrium plasma =

(Natrium pada infus – Natrium plasma)

(Total body water + 1)

Total body water (l) dikalkulasi dengan mengkalikan berat badan (kg) dengan 0.5
pada perempuan, 0,6 pada laki-laki, 0,45 pada lansia wanita, dan 0,5 pada lansia pria.2

Koreksi natrium:

- Maintanance = 2-4 meq x BB

- Koreksi = 0,6 x BB x (135- Na sekarang (serum))

- Kebutuhan Na = maintanaance + koreksi

- Na yang diperlukan = (Kebutuhan Na /kaandungan Nacl) x 1000

Konsentrasi natrium pada infus yaitu pada salin 3% = 513 mEq/L, salin 0.9%
=154 mEq/L, salin 0.45% = 77 mEq/L. Rumus lainnya juga ada yang
memperhitungkan infus natrium yang mengandung kalium dan elektrolit lainnya.2,6

Nonpeptide arginine vasopressin reseptor (AVP-R) antagonis adalah kelas obat baru
yang mempromosikan aquaresis, istilah yang digunakan untuk menggambarkan ekskresi air
bebas elektrolit tanpa ekskresi natrium atau kalium. Sering disebut sebagai "vaptans" atau
"aquaretics" untuk menunjukan efek mereka yang kontras dengan diuretik, AVP-R antagonis
menghambat aksi AVP pada reseptornya secara langsung, khususnya menargetkan pada V1A
reseptor pembuluh darah sel-sel otot dan reseptor V2 pada sel duktus kolektivus ginjal. Saat
ini hanya conivaptan aquaretic yang disetujui oleh Food and Drug Administration AS,
diindikasikan untuk pengobatan simtomatik dan hiponatremia hipervolemik dan euvolemik
pada pasien rawat inap, khusus SIADH dan CHF. Karena haus adalah salah satu efek
samping dari obat ini, diperlukan restriksi cairan.2,6

23
Tabel 7. Farmakoterapi untuk Hiponatremia Hipotonik.2

Nama Obat Indikasi Mekanisme Dosis

Demeklosiklin Gagal restriksi air Inhibisi cAMP


(antibiotik) pada hiponatremia
Idiosinkronasi 2 x 300-600
hipotonik euvolemik
menginduksi mg
kronis (cth. SIADH)
diabetes
insipidus
nefrogenik

Furosemid hiponatremia Inhibisi Dosis


hipotonik kotransport bervariasi
hipervolemik kronis renal Na+/K+/Cl
40 mg IV
(cth : CHF) pada loop of
dalam 1-2
henle asendens
hiponatremia menit; dapat
dan tubulus
hipotonik euvolemik diulang jika
distal
kronis (cth : SIADH) respons tidak
sesuai

Meningkatkan Per oral


ekskresi dari untuk
H2O bebas maintenance
bersama dengan
natriuresis dan
kaliuresis

Conivaptan hiponatremia Antagonis AVP- 20 mg IV


hipotonik R loading dose
hipervolemik dalam 30
simtomatik (cth : menit;
CHF) Meningkatkan selanjutnya
ekskresi dari 20 mg IV
hiponatremia
elektrolit- H2O selama 24
hipotonik euvolemik

24
kronis (cth : SIADH) bebas jam

Dapat
ditingkatkan
sampai 40
mg selama 24
jam;
maksimal
dalam 1-4
hari
Fludrokortison Cerebral salt- Meningkatkan 1 x 0,05-0,2
wasting syndrome reabsorbsi mg perhari
natrium dan
kehilangan
kalium pada
tubulus distal
ginjal

Tatalaksana Hiponatremia Hipervolemik Hipotonik


Tujuan tatalaksana pada pasien hiponatremia hipervolemik hipotonik adalah untuk
memperbaiki konsentrasi natrium plasma dengan 1 sampai 2 mEq / L / jam baik
menggunakan salin hipertonik atau salin isotonik, kadang-kadang dalam kombinasi dengan
diuretik, sampai gejala mayor (misalnya, perubahan status mental yang berat, kejang)
mereda. Yang penting untuk diperhatikan adalah salin hipertonik merupakan kontraindikasi
relatif pada hipervolemia, sehingga penggunaan salin isotonik lebih direkomendasikan pada
pasien sebagai terapi inisial. Sekali gejala mayor membaik, pengobatan harus kemudian
menjadi kurang agresif dan diarahkan pada memperbaiki penyebab dasar hiponatremia.
Akhirnya, restriksi cairan adalah pengobatan pilihan, dengan batas 0,5 sampai 1 L / hari,
dengan atau tanpa diuretik, mengoreksi tidak lebih dari 0,5 mEq/ L/jam. AVP-R antagonis
dapat diperlukan pada pasien simptomatik dengan CHF. Perawatan awal pasien asimtomatik
adalah restriksi air bebas dengan atau tanpa diuretik untuk memperbaiki hiponatremia dan
meningkatkan status volume.2,6

25
Tatalaksana Hiponatremia Hipotonik Euvolemik
Tatalaksana yang diberikan pada pasien dengan gejala hiponatremia hipotonik euvolemik
adalah untuk memperbaiki konsentrasi natrium plasma dengan 1 sampai 2 mEq/ L/ jam
menggunakan salin hipertonik sampai gejala mayor mereda, kemudian beralih ke salin
isotonik 0,5-1 mEq/ L/ jam setelahnya. Diuretik dapat digunakan untuk mengurangi
kelebihan
Semua Pasien Mengobati penyakit penyebab
cairan

Reevaluasi serial status volume selama


pengobata
Step down saat gejala telah
n, tetapi
teratasi
pengguna
Pengukuran serial terhadap annya
elektrolit harus
diminimal
Pemberian farmakoterapi sesuai
kan.
indikasi (tabel c)
Setelah
kondisi
telah asimtomatik, tata laksana dapat diganti menjadi restriksi air bebas. Tatalaksana inisial
pada pasien asimptomatik adalah restriksi cairan 0,5-1 L / hari, dengan koreksi tidak lebih
dari 0,5 mEq / L / jam selama jangka waktu beberapa hari.2,6
Terdapat manifestasi klinis yang luas dan bervariasi pada SIADH karena spektrum luas
dari penyebab yang teridentifikasi menyebabkan disfungsi osmoregulator. Akibatnya,
perbedaan respon terapi terhadap masing-masing individu cukup signifikan. Pengobatan
SIADH dapat berkisar dari restriksi air bebas pada pasien asimtomatik, sampai pemberian
infus salin isotonik hipertonik pada pasien simtomatik berat, dan juga farmakoterapi pada
kasus tertentu. Untuk pasien yang tidak terdapat respons atau tidak dapat mematuhi
pembatasan air dapat diberikan farmakoterapi dengan demeclocycline. Agen ini memberikan
efek antagonis AVP pada tubulus distal, pada dasarnya dapat menginduksi diabetes insipidus
nefrogenik. Namun, demeclocycline memiliki onset lambat,sehingga membatasi
kegunaannya pada SIADH kronis. antagonis AVP-R diindikasikan untuk pasien rawat inap
dengan SIADH simptomatik.2

26
Status Volume Simtomatik berat Salin hipertonik ± diuretik

Rate koreksi : 1-2 mEq/l/jam


sampai gejala mayor mereda
Tabel 8.
Simtomatik Salin isotonik ± diuretik Tata
ringan atau Laksana
Rate koreksi : 0,5-1 mEq/l/jam
sedang Hiponatr
sampai asimtomatik
emia
Hipervolemik Asimtomatik Restriksi H2O bebas sampai 0,5-1 Hipotoni
l/hari ± diuretik k
berdasar
Rate koreksi : 0,5 mEq/l/jam
kan
Euvolemik Asimtomatik Restriksi H2O bebas sampai 0,5-1 Volume
l/hari dan
Gejala. 2,6
Rate koreksi : 0,5 mEq/l/jam

Hipovolemik Asimtomatik Salin isotonic

Rate koreksi : 0,5 mEg/l/jam

27
HIPERKALEMIA

1. Definisi

Secara teknis, hiperkalemia berarti tingkat potassium dalam darah yang naiknya secara
abnormal. Tingkat potassium dalam darah yang normal adalah 3.5-5.0 milliequivalents per
liter (mEq/L). Tingkat-tingkat potassium antara 5.1 mEq/L sampai 6.0 mEq/L mencerminkan
hyperkalemia yang ringan. Tingkattingkat potassium dari 6.1 mEq/L sampai 7.0 mEq/L
adalah hyperkalemia yang sedang, dan tingkat-tingkat potassium diatas 7 mEq/L adalah
hyperkalemia yang berat/parah. Hiperkalemia merupakan kondisi ketika kadar kalium dalam
aliran darah sangat tinggi. Akibatnya, penderita hiperkalemia dapat merasakan gejala-gejala,
seperti rasa mual, badan lelah dan otot terasa lemah, serta kesemutan.8

2. Gejala Klinis Hiperkalemia

Hiperkalemia dapat menjadi asymptomatic, yang berarti bahwa ia tidak menyebabkan gejala -
gejala. Adakalanya, pasien-pasien dengan hyperkalemia melaporkan gejala-gejala yang
termasuk yaitu:

 mual,
 lelah,
 kelemahan otot, atau
 perasaan-perasaan kesemutan.

Gejala-gejala hyperkalemia yang lebih serius termasuk denyut jantung yang perlahan dan
nadi yang lemah. Hyperkalemia yang parah dapat berakibat pada berhentinya jantung yang
fatal. Umumnya, tingkat potassium yang naiknya secara perlahan (seperti dengan gagal ginjal
kronis) ditolerir lebih baik daripada tigkat-tingkat potassium yang naiknya tiba-tiba. Kecuali
naiknya potassium adalah sangat cepat, gejala-gejala dari hyperkalemia adalah biasanya tidak
jelas hingga tingkat-tingkat potassium yang sangat tinggi (secara khas 7.0 mEq/l atau lebih
tinggi).7

3. Penyebab Hiperkalemia

Penyebab-penyebab utama dari hyperkalemia adalah disfungsi ginjal, penyakit-penyakit dari


kelenjar adrenal, penyaringan potassium yang keluar dari sel-sel kedalam sirkulasi darah, dan
obat-obat.

28
Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan jumlah kalium di dalam tubuh, salah satunya
karena efek samping penggunaan obat-obatan diuretik, obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAID), obat penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan obat penghambat enzim
pengubah angiotensin (ACE inhibitor).Selain akibat efek samping obat, hiperkalemia juga
bisa disebabkan oleh:

 Kerusakan jaringan tubuh akibat cedera parah (trauma), penyakit rhabdomyolysis, efek
samping operasi, kerusakan sel-sel tumor ataupun sel-sel darah merah, dan luka bakar.
 Merembesnya kalium yang terdapat pada sel-sel ke dalam aliran darah (misalnya pada
kasus ketoasidosis diabetik, salah satu komplikasi penyakit diabetes tipe ).
 Gangguan pada kinerja ginjal dalam membuang kalium, misalnya akibat penyakit gagal
ginjal, adanya batu pada saluran kemih, penyakit glomerulonephritis, penyakit kelenjar
adrenal, dan efek samping pencangkokan ginjal yang gagal.9

Disfungsi ginjal

Potassium nornmalnya disekresikan (dikeluarkan) oleh ginjal-ginjal, jadi penyakit-penyakit


yang mengurangi fungsi ginjal-ginjal dapat berakibat pada hyperkalemia. Ini termasuk:

 gagal ginjal akut dan kronis,


 glomerulonephritis,
 lupus nephritis,
 penolakan transplant, dan

Penyakit-penyakit yang menghalangi saluran urin (kencing), seperti urolithiasis (batu-batu


dalam saluran kencing). Lebih jauh, pasien-pasien dengan disfungsi-disfungsi ginjal terutama
adalah sensitif pada obat-obat yang dapat meningkatkan tingkat-tingkat potassium darah.

Contohnya, pasien-pasien dengan disfungsi-disfungsi ginjal dapat mengembangkan


perburukan hyperkalemia jika diberikan pengganti-pengganti garam yang mengandung
potassium, jika diberikan suplemen-suplemen potassium (secara oral atau intravena), atau
obat-obat yang dapat meningkatkan tingkattingkat potassium darah. Contoh-contoh dari obat-
obat yang dapat meningkatkan tingkat-tingkat potassium darah termasuk:

 ACE inhibitors,
 Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs),
 Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs), dan

29
 Diuretics hemat potassium (lihat dibawah). trauma,

Penyebab lain:

 Luka-luka bakar,
 Operasi,
 Hemolysis (disintegrasi atau kehancuran sel-sel darah merah),
 Massive lysis dari sel-sel tumor, dan
 Rhabdomyolysis (kondisi yang melibatkan kehancuran sel-sel otot yang adakalanya
dihubungkan dengan luka otot, alkoholisme, atau penyalahgunaan obat).8

4. Diagnosis Hiperkalemia
Apabila merasakan gejala hiperkalemia, misalnya otot-otot tubuh terasa lemah, serta detak
jantung dan denyut nadi yang melambat. Pemeriksaan darah merupakan metode yang efektif
dilakukan untuk mengukur kadar kalium. Pada orang normal, kadar kalium berkisar antara
3,5 hingga 5,5 mmol/l atau milimol per liter. Sedangkan pada penderita hiperkalemia, kadar
kalium melebihi 5,5 mmol/l. Selain melalui cek darah, tanda-tanda hiperkalemia juga bisa
diketahui melalui pemeriksaan elektrokardiogram.8

5. Pengobatan Hiperkalemia

Suplemen-suplemen potassium, pengganti-pengganti garam yang mengandung potassium dan


obat-obat lain dapat menyebabkan hyperkalemia. Pada individu-individu yang normal, ginjal-
ginjal yang sehat dapat beradaptasi pada pemasukan potassium oral yang berlebihan dengan
meningkatkan ekskresipotassium urin, jadi mencegah perkembangan dari hyperkalemia.
Bagaimanapun, memasukan terlalu banyak potassium ( melalui makanan-makanan,
suplemensuplemen, atau pengganti-pengganti garam yang mengandung potassium) dapat
menyebabkan hyperkalemia jika ada disfungsi ginjal atau jika pasien meminum obat-obat
yang mengurangi ekskresi potassium urin seperti ACE inhibitors dan diuretics hemat
potassium.8 Contoh-contoh dari obat-obat yang mengurangi ekskresi potassium urin
termasuk:

 ACE inhibitors,
 ARBs,
 NSAIDs,

30
 Diuretics hemat potassium seperti:
1. Spironolactone (Aldactone),
2. Triamterene (Dyrenium), dan
3. Trimethoprim-sulfamethoxazole (Bactrim).

Meskipun hyperkalemia yang ringan adalah umum dengan obat-obat ini, hyperkalemia yang
parah biasanya tidak terjadi kecuali obat-obat ini diberikan pada pasien-pasien dengan
disfungsi ginjal.

31
BAB III
PENUTUP

Elektrolit merupakan substansi berupa ion dalam larutan yang dapat mengkonduksi
muatan listrik di dalam tubuh. Keseimbangan elektrolit dalam tubuh sangat esensial untuk
menjalankan fungsi normal dari sel dan organ tubuh. Elektrolit yang umumnya diperiksa
olehdokter dengan tes darah meliputi : natrium, kalium, kalsium, magnesium dan klorida.
Elektrolit serum meliputi : natrium, elektrolit bermuatan positif yang membantu
keseimbangan cairan dalam tubuh dan berhubungan dengan fungsi neuromuscular, kalium
komponen utama cairan intraseluler yang membantu regulasi fungsi neuromuscular dan
tekanan osmotik.
Terapi dari gangguan elektrolit tergantung dari penyakit yang mendasarinya serta
jenis elektrolit yang terlibat. Jika gangguan ini disebabkan oleh kurangnya konsumsi atau
intake cairan yang tidak tepat, perubahan nutrisional ini dapat dianjurkan. Jika pengobatan
seperti diuretic mencetuskan gangguan elektrolit ini, maka penghentian atau pengaturan
terapi obat dapat memperbaiki kondisi tersebut secara efektif. Terapi gangguan cairan atau
elektrolit, baik melalui oral atau intravena, dapat mengembalikan penurunan elektrolit
menjadi normal.
Dokter seharusnya berhati – hati dalam pemberian obat yang mempengaruhi kadar
elektrolit serta keseimbangan asam-basa tubuh. Individu dengan penyakit ginjal, masalah
tiroid, dan kondisi lainnya yang dapat mencetuskan gangguan elektrolit sebaiknya diedukasi
tentang tanda dan gejala gangguan elektolit ini.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC, Hall JE.Textbook of medical physiology. 9th ed. Pennsylvania:


W.B. Saunders company. 2014
2. Brenner B, Singer G. Fluid and electrolyte disturbances. In: Kasper DL,
Braunwald E, Fauci A, et al, editors. Harrison’s principles of internal
medicine. 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2015:251–63.
3. Reynolds RM, Padfield PL, Seckl JR. Disorders of sodium balance. BMJ
2016; 332:702-5.
4. Horacio J.Adrogue, Nicolaos E.Madias. The Challenge of
Hyponatremia.JASN.2014
5. Rudolph et al. Hyponatremia. Hospital Physician. January 2014; 23–32.

6. Richard H.Sterns, Sagar U. The Treatment of Hyponatremia.UPHS.2014.

7. Sudoyo A.W., dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Indonesia.
8. Sukandar Enday. 2015. Nefrologi Klinik. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD / RS. dr. Hasan
Sadikin.
9. Dawodu S, 2015. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Indonesia

33

Anda mungkin juga menyukai