IMBALANCE ELEKTROLIT
(HIPONATREMIA & HIPERKALEMIA)
Diajukan Kepada :
Disusun Oleh :
1
LEMBAR PENGESAHAN
IMBALANCE ELEKTROLIT
Disusun Oleh:
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas kesempatan yang
telah diberikan kepada saya untuk membuat referat ini. Saya mengucapkan terima kasih
kepada dr. Djoko Wibisono, SpPD, KGH, FINASIM selaku pembimbing dan mentor yang
telah memberikan informasi, kritikan, dan saran yang membangun saya untuk dapat
menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Saya juga ingin berterima kasih kepada para
konsulen yang telah membagi ilmunya kepada saya di RSPAD Gatot Soebroto serta pihak-
pihak lainnya yang telah membantu dalam penulisan referat ini baik secara langsung maupun
secara tidak langsung.
Saya menyadari bahwa dalam referat ini masih banyak kekurangannya oleh karena itu
dengan kerendahan hati saya mengharapkan adanya kritik maupun saran yang membangun
dari para pembaca guna perkembangan saya untuk dapat menjadi lebih baik.
Saya mengharapkan referat ini dapat digunakan untuk kepentingan para pembaca,
serta dapat menambah wawasan dan ilmu bagi para pembaca. Akhir kata, saya mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya dan selamat membaca.
Penulis
3
DAFTAR ISI
Kata pengantar……………………………………………………………………. 3
Daftar Isi………………………………………………………………………….. 4
HIPONATREMIA
HIPERKALEMIA
Daftar Pustaka……………………………………………………………………. 33
4
BAB I
PENDAHULUAN
Elektrolit merupakan molekul ionisasi yang ditemukan dalam darah, jaringan, dan sel-
sel tubuh. Molekul ini, baik yang bermuatan positif (kation) dan negative (anion),
mengkonduksi aliran listrik serta membantu keseimbangan pH dan nilai asam basa dalam
tubuh. Elektrolit juga memfasilitasi aliran cairan di antar dan di dalam sel melalui proses
yang dikenal sebagai osmosis; serta berperan serta dalam fungsi regulasi system
neuromuscular, endokrin dan ekskresi.
Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka menjaga kondisi tubuh tubuh
tetap sehat. Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh adalah merupakan salah satu
bagian dari fisiologi homeostatis. Cairan dan elektrolit merupakan bagian dalam tubuh yang
berperan dalam memelihara fungsi dari organ tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit
sangat penting dalam proses homestatis baik untuk meningkatkan kesehatan maupun dalam
proses penyembuhan penyakit. Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan komposisi dan
perpindahan berbagai cairan tubuh. Cairan dan elektrolit masuk kedalam melalui makanan,
minuman, dan cairan intravena (IV) dan didistribusi ke seluruh bagian tubuh. Keseimbangan
cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari seluruh air total dan elektrolit
ke dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu
dengan yang lainnya, jika salah satu terganggu maka akan berpengaruh pada yang lainnya.
Terdapat beberapa elektrolit seperti natrium, kalium, kalsium, magnesium, dan
klorida yang secara normal terdapat dalam tubuh. Elektrolit tersebut, yang juga dikenal
sebagai garam tubuh, diperlukan dalam jumlah tertentu di dalam tubuh. Namun terkadang
kadar elektrolit dapat meningkat atau menurun dalam keadaan tertentu. Hal ini yang dikenal
sebagai gangguan elektrolit.
Gangguan elektrolit merupakan ketidakseimbangan antara garam ionisasi tertentu
(seperti natrium, kalium,kalsium dan magnesium) dalam darah. Obat-obatan, penyakit kronik
dan trauma (seperti luka bakar, fraktur,dll) dapat menyebabkan konsentrasi elektrolit tertentu
dalam tubuh menjadi terlalu tinggi (hiper-) atau terlalu rendah (hipo-). Jika hal ini terjadi,
dapat menghasilkan ketidakseimbangan atau gangguan elektrolit
Gangguan cairan dan elektrolit dapat membawa pasien dalam kegawatdaruratan yang
kalau tidak dikelola dengan cepat dan tepat dapat menimbulkan kematian. Usaha pemulihan
kembali volume serta komposisi cairan dan elektrolit tubuh dalam kondisi yang normal
disebut resusitasi cairan dan elektrolit.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
HIPONATREMIA
b. Hiponatremia Hipotonik
Jika konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L dan osmolalitas plasma normal yaitu <
280 mOsm/Kg/H2O. Hiponatremia hipotonik selalu menggambarkan ketidakmampuan
ginjal dalam mengekskresikan cairan yang masuk. Berdasarkan jumlah cairan
intravaskular hiponatremia hipotonik dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Hipovolemik
Hiponatremia hipotonik hipovolemik dapat terjadi akibat kehilangan natrium renal atau
ekstrarenal, dan penyebab kehilangan dapat dibedakan berdasarkan konsentrasi natrium
urin. Pada kondisi ini terjadi penurunan jumlah CES dan deplesi solut. Hiponatremia
dengan deplesi volume dapat terjadi pada berbagai keadaan. Gejala klinis dari deplesi
volume yaitu penurunan tekanan darah ortostatik, peningkatan denyut nadi, keringnya
membran mukosa dan turgor kulit menurun. Pada pemeriksaan laboratorium dapat
ditemukan peningkatan blood urea nitrogen (BUN), kreatinin dan peningkatan asam
urat.2
Gangguan gastrointestinal
Diare dan muntah yang berlebihan dan tidak langsung diberi cairan pengganti
dapat menyebabkan kehilangan sejumlah cairan dan natrium. Pada pemeriksaan
laboratorium akan ditemukan penurunan natrium urin pada keadaan diare, tetapi
mungkin dapat meningkat pada pasien dengan muntah yang berlebihan sehingga
6
pemeriksaan laboratorium yang baik dalam menggambarkan deplesi volume yaitu
pemeriksaan klorida.2
Keringat yang berlebihan
Aktifitas fisik yang berlebihan seperti maraton dapat menyebabkan deplesi
volume, kehilangan natrium dan klorida pada keringat yang berlebihan.2
Penggunaan diuretik yang berlebihan
Menurut literatur, 73 % kasus hiponatremi disebabkan karena penggunaan thiazid,
20% karena kombinasi thiazid dengan antikaliuretik dan 7 % disebakan oleh
furosemid.2
7
Defisiensi glukokortikoid.
Hipotiroid : Pada hipotiroid terjadi peningkatan resistensi vaskular dan
penurunan curah jantung yang menyebakan gangguan perfusi ginjal.
Keringat yang berlebihan.
Intake cairan yang rendah.
Polidipsia primer : Polidipsia primer terjadi pada 20 % pasien psikiatrik
khususnya skizofrenia. Pada kondisi ini intake cairan berlebihan tidak diikuti
dengan diuresis.2
3. Hipervolemik
Hiponatremia hipotonik hipervolemik terjadi akibat adanya peningkatan total
cairan tubuh yang selanjutnya dapat dibedakan dengan pemeriksaan konsentrasi
natrium pada urin. Dapat terjadi karena kegagalan ginjal dalam mengkeksresikan
cairan. Pada pasien ini ditemukan edema karena retensi cairan dan natrium.2
Gagal jantung
Hiponatremia hipervolemik pada gagal jantung pada awalnya terjadi akibat
penurunan curah jantung dan tekanan darah, yang menstimulasi vasopressin,
katekolamin dan renin-angiotensin-aldosteron. Kadar vasopressin yang
meningkat telah dilaporkan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri
sebelum gagal jantung muncul. Pada pasien gagal jantung yang memburuk,
berkurangnya stimulasi mekanoreseptor di ventrikel kiri, sinus karotis, arkus
aorta dan arteriol aferen ginjal memicu peningkatan aktivitas simpatis, system
RAA, dan pelepasan vasopressin tanpa rangsang osmotik, ditengah-tengah
berbagai neurohormon lain. Walaupun total air tubuh meningkat, peningkatan
aktivitas simpatis ikut menyebabkan retensi natrium dan air. Pelepasan
vasopresin yang bertambah menyebabkan bertambahnya jumlah saluran
akuaporin di duktus koligentes ginjal. Ini memacu retensi air yang bersifat
abnormal dan hiponatremia hipervolemik.2
Sirosis
Hiponatremi yang terjadi pada pasien sirosis dikarenakan gagal jantung,
pelepasan AVP.2
Sindroma nefrotik, gagal ginjal akut dan kronik.2
8
c. Hiponatremia hipertonik
Jika konsentrasi natrium plasma <135 mEq/L dan osmolalitas plasma normal yaitu
>285 mOsm/Kg/H2O. Contoh : hiperglikemia dan pemberian cairan hipertonik
seperti manitol.2
3. Berdasarkan waktu
Hiponatremia akut
Disebut akut bila kejadian hiponatremi berlangsung kurang dari 48 jam. Pada
keadaan ini akan terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran dan kejang.
Hal ini terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari ekstrasel masuk ke intrasel
yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini disebut juga hiponatremi simptomatik
atau hiponatremi berat.2
Hiponatremia kronik
Disebut kronik bila kejadian hiponatremia berlangsung lambat yaitu lebih dari 48
jam. Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran
9
ataupun kejang. Gejala yang terjadi seperti mengantuk dan lemas. Kelompok ini
disebut juga hiponatremi asimptomatik atau hiponatremi ringan.2
2. Hiponatremia Hipotonik
Osmolalitas antara cairan intraseluler sama dengan cairan ekstraseluler. Pada
keadaan hiponatremi hipotonik, jumlah cairan plasma lebih besar dibandingkan
jumlah solut sehingga osmolalitas plasma menjadi turun.2,5
10
a) Hiponatremia Hipotonik Euvolemik
Hiponatremia hipotonik euvolemik berhubungan dengan adanya
kelompok sindroma klinis yang selanjutnya harus dibedakan menurut
pemeriksaan osmolalitas urin. Kondisi euvolemik dengan osmolalitas urin
<100 mOsm/kg menunjukkan kondisi seperti polidipsia psikogenik dan low-
solute potomania.2,3,4,5
Polidipsia psikogenik (polidipsia primer) muncul paling sering pada
pasien skizofrenik, terlihat dari adanya intake air yang berlebihan, dan
biasanya melebihi 10 l/hari. Kondisi euvolemik dipertahankan dengan supresi
osmotik terhadap pelepasan AVP dan eksresi ginjal terhadap H2O bebas.
Sehingga, urin terdilusi dan osmolalitas rendah (biasanya < 100
mOsm/kg).2,3,4,5
Mekanisme hiponatremia masih belum jelas, namun dapat
berhubungan dengan adanya reduksi osmotik threshold untuk pelepasan AVP
dan disregulasi stimulus osmotik terhadap rangsangan haus. Terlebih lagi,
pada penggunaan antipsikotik tipikal dapat memperburuk polidipsia, sehingga
lebih dianjurkan penggunaan antipsikotik atipikal pada pasien seperti ini. 2
Low-solute potomania disebabkan adanya intake yang berlebihan
terhadap cairan rendah solut yang menyebabkan hiponatremia hipotonik
euvolemik. Contohnya adalah konsumsi alkohol yang berlebihan yaitu bir,
yang rendah solut (seringkali < 5 mEq/L dari natrium). Cairan rendah solut
dapat menyebabkan dan memperburuk hiponatremia terutama pada pasien
sirosis alkoholik, dimana seringkali mengalami peningkatan sirkulasi AVP
dan memiliki insufisiensi ginjal. Meskipun begitu potomania sendiri seringkali
tidak sufisien untuk mengakibatkan kondisi hiponatremia, sehingga adanya
disregulasi dan gangguan pada ekskresi ginjal dibutuhkan untuk dapat
menyebabkan kondisi hiponatremia. 2
Reset osmostat syndrome (osmolalitas urin bervariasi) and cerebral
salt-wasting syndrome (CSWS; osmolalitas urin tinggi) juga dilaporkan dapat
menyebabkan hiponatremia pada pengguna alkohol. 2
Hiponatremia hipotonik euvolemik pada pasien dengan osmolalitas
urin >100 mOsm/kg menunjukkan kondisi dimana terdapat peningkatan AVP
yang mengakibatkan adanya urin yang kurang terdilusi. Kondisi lainnya
seperti endokrinopati dan syndrome of inappropriate antidiuresis (SIADH),
11
dimana adanya sindroma sekresi hormon antidiuretik yang tidak apropriat dan
sindrom nefrogenik antidiuresis yang tidak apropriat. Selain itu, pada SIADH
terdapat peningkatan ekskresi asam urat pada urin dan kalkulasi dari fraksi
ekskresi asam urat yang dapat memberikan tanda untuk diagnosis, dimana
pada pasien normal fraksi ekskresi asam urat kurang dari 10 %.2
Endokrinopati, termasuk gangguan tiroid dan adrenal, penting untuk
diperhatikan sebagai diagnosis banding terhadap hiponatremia hipotonik
euvolemik karena juga dapat mengakibatkan peningkatan sirkulasi AVP.
Hipotiroid jarang menyebabkan hiponatremia hipotonik euvolemik, namun
dapat bermanifestasi sebagai hiponatremia berat (105–110 mEq/L), dan
meskipun mekanisme penyebabnya masih belum jelas, adanya peningkatan
sirkulasi AVP yang tidak sesuai dapat menjadi penyebab adanya retensi
cairan. 2
Hipokortisol dapat menyebabkan hiponatremia hipotonik euvolemik,
meskipun mekanisme penyebabnya masih kurang jelas dan juga berhubungan
dengan insufisiensi adrenal dan peningkatan plasma AVP. 2
SIADH, mengakibatkan kondisi hiponatremia hipotonik euvolemik
dan gangguan ekskresi H2O bebas dengan tidak ditemukannya insufisiensi
renal, insufisiensi adrenal, ataupun adanya stimulus pelepasan AVP lainnnya. 2
SIADH ditemukan beberapa tahun sebelum teridentifikasinya AVP
sebagai hormon penyebab. Awalnya, pelepasan AVP diperkirakan menjadi
penyebab independen terhadap osmolalitas plasma, namun hal ini tidak
ditemukan pada semua pasien SIADH. Contohnya pada pasien hiponatremia
dengan urin yang terdilusi, pelepasan AVP biasanya tersupresi walaupun pada
konsentrasi natrium plasma dibawah normal, kondisi yang disebut reset
osmostat syndrome.2
Selain itu, kasus SIADH ditemukan karena adanya mutasi genetik yang
menghasilkan adanya urin yang terkonsentrasi dengan tidak adanya pelepasan
AVP, fenomena yang disebut NSIAD. Contohnya adanya aktivasi mutasi dari
reseptor V2, mutasi pada gen yang mengkontrol ekspresi saluran aquaporin air
pada tubulus kolektivus ginjal, dan mutasi yang memproduksi molekul yang
memiliki mimik AVP. 2
Terdapat kriteria spesifik untuk diagnosis SIADH. Untuk dapat
terdiagnosis dengan SIADH, pasien harus euvolemik, memiliki osmolalitas
12
urin lebih dari 100 mOsm/kg dan memiliki efektivitas osmolalitas plasma
yang rendah. Selain itu, intake air yang berlebihan dibutuhkan untuk
terjadinya hiponatremia. 2
Penyebab SIADH sangat bervariasi. Obat yang memiliki aksi mimik
AVP. Menstimulasi untuk pelepasannya. Atau menguatkan aksi AVP dapat
menyebabkan SIADH. Termasuk AVP analog, narkotik, atau antipsikotik.
Contohnya oksitosin yang memiliki AVP-like effect yang dapat menyebabkan
intoksikasi air. Inhibitor reuptake serotonin selektif juga dapat meningkatkan
efek AVP, terutama pada lansia, dan wanita, pengguna diuretik, atau pada
konsentrasi plasma natrium yang rendah. Exercise-associated hiponatremia
juga menjadi kriteria diagnosis esensial pada SIADH. Konsumsi cairan
hipotonik pada saat olahraga yeng berlebihan mengakibatkan adanya absorbsi
yang tertunda, mengakibatkan elevasi sirkulasi AVP yang memanjang dan
retensi air. Intake air yang berlebihan dan perubahan hormon saat olahraga
merupakan faktor utama dibandingkan faktor-faktor lainnya. Stimuli
nonosmostik lainnya juga berhubungan saat olahraga yang cukup lama.
Meskipun volume intravaskular diperbaiki, rangsangan nonosmotik terus
merangsang pelepasan AVP. Pada akhirnya, regulasi normal volume cairan
ekstraseluler dan translokasi natrium yang aktif pada sirkulasi ke tempat
penyimpanan tidak dapat terjadi. 2
13
Kondisi -Inflamasi (meningitis, systemic lupus erythematosus)
intracranial
-Trauma, massa atau cairan (operasi, tumor, perdarahan
subaraknoid, hidrosefalus)
-AIDS
-Idiopatik
14
mendekati normal, pelepasan AVP tampak tidak sesuai karena ambang
osmotik yang normal telah diturunkan. Pelepasan AVP pada ambang
subnormal ini sebenarnya sesuai tapi dikalibrasi untuk batas dibawah normal.
Urin yang terdilusi sesuai masih bisa dicapai, hanya pada osmolalitas plasma
yang rendah. Reset osmotat syndrome ini sering terlihat pada orang tua, pasien
dengan penyakit paru (misalnya, tuberkulosis), dan malnutrisi. Reset osmotat
syndrome dapat terjadi secara fisiologis selama kehamilan, menyebabkan
osmolalitas plasma turun sekitar 10 mOsm / kg air. 2
b) Hiponatremia Hipotonik Hipovolemik
Dalam kondisi deplesi total natrium tubuh, terjadi peningkatan AVP
meningkat dan retensi H2O bebas untuk mempertahankan volume
intravaskular. Namun, retensi H2O bebas saja tidak cukup untuk
mengembalikan volume ekstraseluler cairan pada keadaan hipovolemia. Selain
itu, penggantian kehilangan natrium dan H2O dengan H2O bebas dapat
mempotensiasi peningkatan kadar plasma AVP yang tidak sesuai, yang dapat
memperburuk hiponatremia. 2
Hipovolemia dengan natrium urin kurang dari 20 mEq / L atau FENa
kurang dari 1% menunjukkan retensi natrium ginjal yang aktif untuk
mengkompensasi kehilangan ekstrarenal, seperti kehilangan pencernaan atau
insensible water loss dengan penggantian H2O bebas. Pasien hipovolemik
dengan natrium urin melebihi 20 mEq / L atau melebihi FENa 1%
menunjukkan adanya kehilangan natrium ginjal akibat pemberian diuretik,
osmotik diuresis, salt-losing nephropaty, alkalosis metabolik, atau insufisiensi
adrenal. 2
Sebagian besar kasus dari natriuresis primer disebabkan oleh
pemberian diuretik thiazide dibandingkan dengan loop-diuretics. Diuretik
thiazide dapat menyebabkan kehilangan natrium ginjal yang berlebihan dan
deplesi volume, sehingga timbul hiponatremia berat segera setelah mulai
terapi. 2
Yang termasuk Salt losing nephropathy yaitu tubular asidosis ginjal,
penyakit polikistik ginjal, dan uropati obstruktif. Baik tubular asidosis ginjal
tipe II dan alkalosis metabolik menyebabkan hiponatremia sebagai akibat dari
bikarbonaturia, yang menimbulkan ekskresi natrium. 2
15
Kedua insufiensi adrenal primer dan sekunder dapat mengakibatkan
defisiensi glukokortikoid dan / atau mineralokortikoid, yang mengakibatkan
hiponatremia. 2
Renal loss of sodium with water retention Extrarenal loss of sodium with water
retention
Diuretic therapy Gastrointestinal losses
Cerebral salt wasting o Vomiting
Mineralcorticoid deficiency o diarrhea
o Autoimmune Third space losses
Adrenal only o Bowel obstruction
Polyglandular endocrinopathy o Pancreatitis
o Adrenal hemorrhage o Muscle trauma
Meningococcemia o burns
Idiopathic Sweat losses
o Infection o Endurance exercise
TB
Fungus
cytomegalovirus
o Adrenal enzyme deficiencies (congenital
adrenal hyperplasia)
Salt wasting nephropaty
Bicarbonaturia, glycosuria, ketonuria
16
tubuh. Meskipun begitu, pada CHF dan sirosis keadaan ini menunjukan
adanya kondisi volume sirkulasi yang terdeplesi. Retensi natrium dan air pada
kondisi edema biasanya terjadi karena mediasi oleh baroreseptor dengan
pengeluaran AVP dan aktivasi dari sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang
responsnya terutama untuk mempertahankan perfusi jaringan. Pasien dengan
sindroma nefrotik mengalami reduksi pada volume intravaskular yang sama. 2
Euvolemic
SIADH
o Tumor
Pulmonary/mediastinal (bronchogenic carcinoma
mesotheliom a,thymoma)
Nonches (duodenal carcinoma, pancreatic carcinoma,
ureteral,uterine carcinoma, nonpharyngeal carcinoma,
leukemia)
o CNS disorders
Mass lesion (tumors, brain abcesses, subdural hematoma)
Inflammatory diseases (enchepalities, meningitis, SLE)
Degenerative/demyelinative disease (SGB, spinal cord
lesions)
Miscellaneous (SAH, head trauma, acute psychosis,
delirium tremens, pituitary stalk section, hydrochepalus)
o Drug induced
Stimulated AVP release (nicotine, phenotiazines, tricyclics)
Direct renal effect and ot potentiation of AVP effects
(DDAVP, oxytocin, prostaglandin synthesis inhibitor)
Mixed or uncertain action (ACE inhibitors, carbamazepine
and oxcarbazepine, chlorpropamide, clofibrate, clozapine,
3,4-methylendioxymethamphetamine (ectasy),
omeprazole, serotonin reuptake inhibitors, vincristine)
o Pulmonary disease
17
Infection (TB, pneumonia,aspergilosis, empyema)
Mechanical/ventilator (acute respiratory failure, COPD,
positive pressure ventilation)
o Other
AIDS and ARC
Prolonged strenuous exercise (marathon)
Senile atrophy
Idiopathic
Glucocorticoid defisiensy
Hypothyroidsm
Decreased urinary solute excretion
o Beer potomania
o Very low protein diet
Hypervolemic
CHF
Chirrosis
Nephrotic syndrome
Renal failure
o Acute
o Chronic
Excessive water intake
Primary polydipsia
Dilute infant formula
Freshwater drowning
2. Hiponatremia Hipertonik
Terjadi jika osmolalitas plasma > 285 mOsm/Kg/H2O. Hipertonisitas bisa terjadi
karena peningkatan zat terlarut yang tidak bebas keluar masuk kompartemen,
contohnya glukosa manitol, gliserol, atau sorbitol sehingga terjadi perpindahan cairan
dari ICF ke ECF sehingga menurunkan kadar natrium ECF. Hiponatremia jenis ini
biasanya dihubungkan dengan peningkatan osmolalitas. Contohnya, pada pasien
hiperglikemia setiap kenaikan glukosa 3 mmol/L, natrium serum turun 1 mmol/L. 2
18
2.3 Manifestasi klinis hiponatremia
Gejala klinis hiponatremia tergantung dari penyakit yang mendasarinya. Secara umum
gejala klini pada hiponatremia dapat dilihat dibawah ini.
Tabel 5. Manifestasi klinis menurut sistem yang dipengaruhi
Ginjal Oligouria2
2.4 Diagnosis
Manifestasi klinis dari hiponatremia biasanya akibat adanya edema otak, yang
menyebabkan gejala neurologis dan sistemik. Pada kondisi kronik (CHF, Sirosis),
hiponatremia dapat asimtomatik akibat adanya adaptasi sel dengan mempertahankan gradien
osmolar dan melindungi dari terjadinya edema serebri. Pada hiponatremia akut (postoperatif,
drug-induced), gejala tidak spesifik dan sangat luas. Gejala awal yaitu adanya anoreksia,
kesemutan, mual, muntah, sakit kepala, iritabilitas, disorietasi, konfusi, fatigue, dan letargi,
dimana gejala lanjut yang dapat ditemukan adalah adanya gangguan status mental, kejang,
koma, dan gagal napas, dan dapat menyebabkan kematian. Saat gejala neurologis dari
hiponatremia muncul, disebut sebagai ensefalopati hiponatremia.
Hiponatremia terklasifikasi berdasarkan osmolalitas plasma yang ditentukan melalui
pemeriksaan penunjang laboratorium dan status volume yang ditentukan melalui pemeriksaan
fisik. Penentuan hiponatremia secara sistematik diperlukan untuk menentukan penyebab dan
19
terapi yang akan diberikan. Dapat dilakukan pengukuran osmolalitas plasma, status volume,
konsentrasi natrium urin dan osmolalitas.
Osmolalitas plasma, pertama dilakukan untuk menyingkirkan hiponatremia hipertonik
>295 mOsm/kg dan pseudohiponatremia, hiponatremia isotonik, 280–295 mOsm/kg.
Sedangkan pada penurunan osmolalitas plasma, hiponatremia hipotonik < 280 mOsm/kg
diperlukan penentuan volume status yang akurat. Meskipun begitu, pengukuran osmolalitas
plasma seringkali kurang akurat dan tidak dapat digunakan sebagai penentuan terapi. Cara
perhitungan osmolaritas plasma yaitu: Osmolaritas plasma (mOsm/kg) = [Na+] x 2 +
(glukosa/18) + (BUN/2,8).
Pengukuran konsentrasi natrium urin merupakan pemeriksaan penunjang yang paling
sering dan paling dapat digunakan untuk menentukan diagnosis banding. Status volume
diklasifikasikan secara klinis sebagai hipervolemik, euvolemik, atau hipovolemik, dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang baik dilakukan untuk diagnosis akurat dan terapi
yang adekuat. Manifestasi klinis pada kondisi hipervolemik seperti edema, crackles pada
paru, tekanan vena jugular leher terdistensi, dan terdapat S3 pada auskultasi jantung.
Manifestasi klinis pada kondisi hipovolemik yaitu adanya hipotensi orthostatik, takikardia,
dan oliguria/anuria. Jika tidak ditemukan tanda-tanda diatas, status volume dikategorikan
sebagai keadaan euvolemik. Monitor ketat dan evaluasi serial diperlukan pada hiponatremia.
20
UNa > 20 mEq/L or Azotemia (gagal ginjal kronis)
FENa > 1%
UNa < 20 mEq/L or Edema (CHF, sirosis, sindroma nefrotik)
FENa < 1%
21
2.5 Penatalaksanaan Hiponatremia
Penentuan osmolalitas plasma memberikan dasar terapi inisial hiponatremia. Pada
hiponatremia hipertonik, tatalaksana diberikan langsung pada penyebabnya. Tidak ada terapi
spesifik pada hiponatremia isotonik selain memberikan terapi pada gangguan metabolisme
lipid dan protein yang mendasari. Untuk hiponatremia hipotonik diberikan secara
simptomatis,dan berdasarkan status volume.2,7
Pada hiponatremia hipotonik, gejala biasanya semakin terlihat saat konsentrasi plasma
natrium <120 mEq/L. Tergantung pada status volume, terapi hiponatremia hipotonik
diberikan bertahap, dari pemberian salin hipertonik pada kasus berat sampai pemberian salin
isotonik pada kasus ringan dan sedang, dan restriksi H2O bebas pada kasus asimtomatik. Pada
kasus berat pemberian salin hipertonik atau isotonik harus diberikan secara agresif untuk
pencegahan komplikasi neurologis yang mengancam nyawa. Salin hipertonik hanya diberikan
pada kasus berat dengan konsultasi ahli dan hanya dalam waktu singkat.2
Diuretik dapat diberikan untuk mengobati kemungkinan adanya potensial volume
overload. Saat gejala sudah berkurang, terapi harus dikurangi dan terfokus pada koreksi
penyebab dari ketidakseimbangan air dan natrium. Reevaluasi serial dan tappering down
harus dilakukan secara hati-hati sampai tercapai kondisi normonatremia euvolemik.2,6
Hiponatremia hipotonik akut, memiliki onset < 48 jam, dan dapat terkoreksi secara cepat.
Meskipun begitu, koreksi dari hiponatremia kronik asimptomatik terkadang tidak diberikan,
seperti pada pasien sirosis atau reset osmostat syndrome. Terlebih lagi, tata laksana yang
berlebihan dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas. Kerusakan batang otak yang
permanen dapat muncul akibat osmotic myelinolysis syndrome, yang terlihat dari adanya
central pontine myelinolysis akibat osmotically-induced demyelination.
Secara umum, pada satu setengah dari total defisit dapat digantikan dalam 12 jam
pertama, dengan 0.5 mEq/L/jam (12 mEq/L/hari). Rumus dibawah dapat digunakan dalam
mengestimasi efek 1 L infus natrium dalam konsentrasi plasma natrium.2
22
Perubahan dalam natrium plasma =
Total body water (l) dikalkulasi dengan mengkalikan berat badan (kg) dengan 0.5
pada perempuan, 0,6 pada laki-laki, 0,45 pada lansia wanita, dan 0,5 pada lansia pria.2
Koreksi natrium:
Konsentrasi natrium pada infus yaitu pada salin 3% = 513 mEq/L, salin 0.9%
=154 mEq/L, salin 0.45% = 77 mEq/L. Rumus lainnya juga ada yang
memperhitungkan infus natrium yang mengandung kalium dan elektrolit lainnya.2,6
Nonpeptide arginine vasopressin reseptor (AVP-R) antagonis adalah kelas obat baru
yang mempromosikan aquaresis, istilah yang digunakan untuk menggambarkan ekskresi air
bebas elektrolit tanpa ekskresi natrium atau kalium. Sering disebut sebagai "vaptans" atau
"aquaretics" untuk menunjukan efek mereka yang kontras dengan diuretik, AVP-R antagonis
menghambat aksi AVP pada reseptornya secara langsung, khususnya menargetkan pada V1A
reseptor pembuluh darah sel-sel otot dan reseptor V2 pada sel duktus kolektivus ginjal. Saat
ini hanya conivaptan aquaretic yang disetujui oleh Food and Drug Administration AS,
diindikasikan untuk pengobatan simtomatik dan hiponatremia hipervolemik dan euvolemik
pada pasien rawat inap, khusus SIADH dan CHF. Karena haus adalah salah satu efek
samping dari obat ini, diperlukan restriksi cairan.2,6
23
Tabel 7. Farmakoterapi untuk Hiponatremia Hipotonik.2
24
kronis (cth : SIADH) bebas jam
Dapat
ditingkatkan
sampai 40
mg selama 24
jam;
maksimal
dalam 1-4
hari
Fludrokortison Cerebral salt- Meningkatkan 1 x 0,05-0,2
wasting syndrome reabsorbsi mg perhari
natrium dan
kehilangan
kalium pada
tubulus distal
ginjal
25
Tatalaksana Hiponatremia Hipotonik Euvolemik
Tatalaksana yang diberikan pada pasien dengan gejala hiponatremia hipotonik euvolemik
adalah untuk memperbaiki konsentrasi natrium plasma dengan 1 sampai 2 mEq/ L/ jam
menggunakan salin hipertonik sampai gejala mayor mereda, kemudian beralih ke salin
isotonik 0,5-1 mEq/ L/ jam setelahnya. Diuretik dapat digunakan untuk mengurangi
kelebihan
Semua Pasien Mengobati penyakit penyebab
cairan
26
Status Volume Simtomatik berat Salin hipertonik ± diuretik
27
HIPERKALEMIA
1. Definisi
Secara teknis, hiperkalemia berarti tingkat potassium dalam darah yang naiknya secara
abnormal. Tingkat potassium dalam darah yang normal adalah 3.5-5.0 milliequivalents per
liter (mEq/L). Tingkat-tingkat potassium antara 5.1 mEq/L sampai 6.0 mEq/L mencerminkan
hyperkalemia yang ringan. Tingkattingkat potassium dari 6.1 mEq/L sampai 7.0 mEq/L
adalah hyperkalemia yang sedang, dan tingkat-tingkat potassium diatas 7 mEq/L adalah
hyperkalemia yang berat/parah. Hiperkalemia merupakan kondisi ketika kadar kalium dalam
aliran darah sangat tinggi. Akibatnya, penderita hiperkalemia dapat merasakan gejala-gejala,
seperti rasa mual, badan lelah dan otot terasa lemah, serta kesemutan.8
Hiperkalemia dapat menjadi asymptomatic, yang berarti bahwa ia tidak menyebabkan gejala -
gejala. Adakalanya, pasien-pasien dengan hyperkalemia melaporkan gejala-gejala yang
termasuk yaitu:
mual,
lelah,
kelemahan otot, atau
perasaan-perasaan kesemutan.
Gejala-gejala hyperkalemia yang lebih serius termasuk denyut jantung yang perlahan dan
nadi yang lemah. Hyperkalemia yang parah dapat berakibat pada berhentinya jantung yang
fatal. Umumnya, tingkat potassium yang naiknya secara perlahan (seperti dengan gagal ginjal
kronis) ditolerir lebih baik daripada tigkat-tingkat potassium yang naiknya tiba-tiba. Kecuali
naiknya potassium adalah sangat cepat, gejala-gejala dari hyperkalemia adalah biasanya tidak
jelas hingga tingkat-tingkat potassium yang sangat tinggi (secara khas 7.0 mEq/l atau lebih
tinggi).7
3. Penyebab Hiperkalemia
28
Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan jumlah kalium di dalam tubuh, salah satunya
karena efek samping penggunaan obat-obatan diuretik, obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAID), obat penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan obat penghambat enzim
pengubah angiotensin (ACE inhibitor).Selain akibat efek samping obat, hiperkalemia juga
bisa disebabkan oleh:
Kerusakan jaringan tubuh akibat cedera parah (trauma), penyakit rhabdomyolysis, efek
samping operasi, kerusakan sel-sel tumor ataupun sel-sel darah merah, dan luka bakar.
Merembesnya kalium yang terdapat pada sel-sel ke dalam aliran darah (misalnya pada
kasus ketoasidosis diabetik, salah satu komplikasi penyakit diabetes tipe ).
Gangguan pada kinerja ginjal dalam membuang kalium, misalnya akibat penyakit gagal
ginjal, adanya batu pada saluran kemih, penyakit glomerulonephritis, penyakit kelenjar
adrenal, dan efek samping pencangkokan ginjal yang gagal.9
Disfungsi ginjal
ACE inhibitors,
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs),
Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs), dan
29
Diuretics hemat potassium (lihat dibawah). trauma,
Penyebab lain:
Luka-luka bakar,
Operasi,
Hemolysis (disintegrasi atau kehancuran sel-sel darah merah),
Massive lysis dari sel-sel tumor, dan
Rhabdomyolysis (kondisi yang melibatkan kehancuran sel-sel otot yang adakalanya
dihubungkan dengan luka otot, alkoholisme, atau penyalahgunaan obat).8
4. Diagnosis Hiperkalemia
Apabila merasakan gejala hiperkalemia, misalnya otot-otot tubuh terasa lemah, serta detak
jantung dan denyut nadi yang melambat. Pemeriksaan darah merupakan metode yang efektif
dilakukan untuk mengukur kadar kalium. Pada orang normal, kadar kalium berkisar antara
3,5 hingga 5,5 mmol/l atau milimol per liter. Sedangkan pada penderita hiperkalemia, kadar
kalium melebihi 5,5 mmol/l. Selain melalui cek darah, tanda-tanda hiperkalemia juga bisa
diketahui melalui pemeriksaan elektrokardiogram.8
5. Pengobatan Hiperkalemia
ACE inhibitors,
ARBs,
NSAIDs,
30
Diuretics hemat potassium seperti:
1. Spironolactone (Aldactone),
2. Triamterene (Dyrenium), dan
3. Trimethoprim-sulfamethoxazole (Bactrim).
Meskipun hyperkalemia yang ringan adalah umum dengan obat-obat ini, hyperkalemia yang
parah biasanya tidak terjadi kecuali obat-obat ini diberikan pada pasien-pasien dengan
disfungsi ginjal.
31
BAB III
PENUTUP
Elektrolit merupakan substansi berupa ion dalam larutan yang dapat mengkonduksi
muatan listrik di dalam tubuh. Keseimbangan elektrolit dalam tubuh sangat esensial untuk
menjalankan fungsi normal dari sel dan organ tubuh. Elektrolit yang umumnya diperiksa
olehdokter dengan tes darah meliputi : natrium, kalium, kalsium, magnesium dan klorida.
Elektrolit serum meliputi : natrium, elektrolit bermuatan positif yang membantu
keseimbangan cairan dalam tubuh dan berhubungan dengan fungsi neuromuscular, kalium
komponen utama cairan intraseluler yang membantu regulasi fungsi neuromuscular dan
tekanan osmotik.
Terapi dari gangguan elektrolit tergantung dari penyakit yang mendasarinya serta
jenis elektrolit yang terlibat. Jika gangguan ini disebabkan oleh kurangnya konsumsi atau
intake cairan yang tidak tepat, perubahan nutrisional ini dapat dianjurkan. Jika pengobatan
seperti diuretic mencetuskan gangguan elektrolit ini, maka penghentian atau pengaturan
terapi obat dapat memperbaiki kondisi tersebut secara efektif. Terapi gangguan cairan atau
elektrolit, baik melalui oral atau intravena, dapat mengembalikan penurunan elektrolit
menjadi normal.
Dokter seharusnya berhati – hati dalam pemberian obat yang mempengaruhi kadar
elektrolit serta keseimbangan asam-basa tubuh. Individu dengan penyakit ginjal, masalah
tiroid, dan kondisi lainnya yang dapat mencetuskan gangguan elektrolit sebaiknya diedukasi
tentang tanda dan gejala gangguan elektolit ini.
32
DAFTAR PUSTAKA
7. Sudoyo A.W., dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Indonesia.
8. Sukandar Enday. 2015. Nefrologi Klinik. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD / RS. dr. Hasan
Sadikin.
9. Dawodu S, 2015. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Indonesia
33