Oleh :
Pembimbing :
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
2.2. Epidemiologi
2.3 Etiologi
2.6 Patogenesis
Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuklei yang
terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik. Akan tetapi pada
sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak
dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat
tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.2,3
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer,
limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.2,3,4
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB
berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu.6 Pada saat
terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat
diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada
sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem
imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil
kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan
oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).3
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer dijaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala
sakit TB.2,3
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal.
Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan
keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).3
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar
ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar
secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu
kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.3,4,5
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian mencapai berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang,
ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi
tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut
dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi
TB apeks paru saat dewasa.2
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun
pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk
dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan
TB paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat
reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna.
Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering terjadi pada remaja dan dewasa
muda.
Perjalanan alamiah
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan,
sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender
terjadinya TB di berbagai organ.2
Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin
biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada
awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema
nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi.
Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.2
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung
dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB.
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB.
Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi
pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu
5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB terjadi
pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena
TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.2,3
2.7 Diagnosis
Konfirmasi pasti pada TB paru adalah dengan mengisolasi Mycobacterium
tuberculosis dari sputum, bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau
biopsi jaringan. Spesimen untuk kultur yang paling baik pada anak adalah cairan
lambung pagi hari yang diambil sebelum anak bangun dari tidur. Akan tetapi semua
hal diatas memang sulit untuk dilakukan pada anak, sehingga sebagian besar
diagnosis berdasarkan gejala klinis, gambaran radiografi thorax, dan tuberkulin
test.2,3,8
Gejala sistemik/umum: .2,3,8
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara
"mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
Kalau ada cairan dirongga pleura, dapat disertai dengan keluhan sakit
dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang
yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit
di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah
demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Catatan:
- Didiagnosis TB jika jumlah skor ≥6, (skor maksimal 14)
- Jika dijumpai skrofuloderma langsung di diagnosis TBC
- Foto rontgen bukan alat diagosis utama pada TBC anak
B. Radiologis 9,13
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan
radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lainnya. Interpretasi foto
biasanya sulit, harus hti-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau
underdiagnosis. Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:
Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
Konsolidasi segmental/lobar
Milier
Kalsifikasi dengan infiltrat
Atelektasis
Kavitas
Efusi pleura
Tuberkuloma
C. Mikrobiologi 13
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan
mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan
kuman M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR.
Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit
mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas
lambung didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur
hasil dinyatakan positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat
ini PCR masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk
pemeriksaan klinis rutin.2,5
2.9 Tatalaksana TB
Tatalaksana TB pada anak merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan
antara pemberian medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan penyakit
penyerta. Selain itu, penting untuk dilakukan pelacakan sumber infeksi, dan bila
ditemukan sumber infeksi juga harus mendapatkan pengobatan. Upaya perbaikan
kesehatan lingkungan juga diperlukan untuk menunjang keberhasilan
pengobatan.2,12
Medikamentosa
a. Pengobatan TB 2,12
Terdapat 2 fase :
fase intensif dengan tiga macam obat (2 bulan pertama) yaitu rifampisin,
isoniazid, pirazinamid
fase lanjutan dengan dua macam obat (4 bulan lebih) yaitu rifampisin dan
isoniazid.
FDC adalah sediaan obat kombinasi dalam dosis yang telah ditentukan.
Untuk menjaga kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama
dengan jumlah obat yang banyak. 1,2,3
Catatan:
Bila BB ≥33 kg dosis sesuai tabel yang sebelumnya.
Bila BB < 5 kg sebaikna dirujuk ke RS.
Obat harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah).
3. Komplikasi
Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis,
penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang
dilahirkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar
untuk menderita tuberkulosis. Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang
mengancam jiwa harus dipikirkan pada pasien dengan pelebaran mediastinum atau
adanya lesi pada daerah hilus.11,13
4. Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini
memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif
dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang
minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian
lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap
berbagai rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi
lanjut. Pasien dengan resistensi multiple terhadap OAT jumlahnya meningkat dari
waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan rejimen terapi yang
tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam menjalanin pengobatan. 11,13,14
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka
kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama
isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa
terapi OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.12,14
BAB III
DAFTAR PUSTAKA