Anda di halaman 1dari 34

ABSTRAK

Lumpur aktif (activted sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba


tersuspensi. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang
mengoksidasi material organik menjadi CO2 dan H2O NH4 dan sel biomassa baru.
Proses ini menggunakan udara yang disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau
melalui aerasi mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan megendap di tangki
penjernihan. Kemampuan bakteri dalam menbentuk flok menentukan keberhasilan
pengolahan limbah secara biologi, karena akan memudahkan pemisahan partikel dan
air limbah. Lumpur aktif dicirikan oleh beberapa parameter, antara lain, Indeks
Volume Lumpur (Sludge Volume Index = SVI) dan Stirred Sludge Volume Index
(SSVI).
Perbedaan antara dua indeks tersebut tergantung dari bentuk flok yang diwakili
oleh faktor bentuk (Shape Factor =S). Sistem pengolahan lumpur aktif baik untuk
domestik maupun industri mengandung 1-5% padatan total dan 95-99% bulk water.
Pembuangan kelebihan lumpur dilakukan dengan mengurangi volume lumpur melalui
proses pegepresan (dewatering). Konsentrasi besi yang tinggi 70-90% dalam bentuk
Fe (III) ditemukan dalam lumpur aktif. Akumulasi besi dapat berasal dari influent air
limbah atau melalui penambahan FeSO4 yang digunakan untuk menghilangkan fosfor.
Sebagai contoh pengolahan limbeh sistem lumpur aktif adalah Unit Pengolahan Air
Limbah PT. UNITEX. Unit ini mampu mengolah limbah lebih dari 200 m2 per hari.
Proses pengolahan terbagi atas tiga tahap pemrosesan, yaitu : 1. Proses Primer,
meliputi penyaringan kasar, penghilangan warna, equalisasi, penyaringan halus,
pendinginan. 2. Proses Sekunder, biologi dan sedimentasi, serta 3. Proses Tersier,
tahap lanjutan dengan penambahan bahan kimia.
Sistem yang digunakan dalam PAL PT. Unitex merupakan perpaduan antara
proses fisika, kimia dan biologi. Yang paling bereperan dalam hal pengurangan
bahan-bahan pencemar adalah proses biologi yang menggunakan sistem lumpur aktif
dengan extented aeratio. Selain limbah cair, terdapat juga limbah padat berupa
lumpur yang merupakan hasil samping dari sistem pengolahan yang digunakan.
Lumpur hasil olahan digunakan sebagai bahan campuran pembuatan careblock dan
batako press serta pupuk organik. Hal ini merupakan salah satu alternatif dan langkah
lebih maju dari PT. Unitex dalam memanfaatkan kembali limbah padat.

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba


tersuspensi yang pertama kali dilakukan di Ingris pada awal abad 19. Sejak itu
proses ini diadopsi seluruh dunia sebagai pengolah air limbah domestik
sekunder secara biologi. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan
aerobik yang mengoksidasi material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4. dan
sel biomassa baru. Udara disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau
melalui aerasi mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan mengendap di
tangki penjernihan (Gariel Bitton, 1994). Anna dan Malte (1994) berpendapat
keberhasilan pengolahan limbah secara biologi dalam batas tertentu diatur
oleh kemampuan bakteri untuk membentuk flok, dengan demikian akan
memudahkan pemisahan partikel dan air limbah. Lumpur aktif adalah
ekosistem yang komplek yang terdiri dari bakteri, protozoa, virus, dan
organisme-organisme lain. Lumpur aktif dicirikan oleh beberapa parameter,
antara lain, Indeks Volume Lumpur (Sludge Volume Index = SVI) dan Stirrd
Sludge Volume Index (SSVI). Perbedaan antara dua indeks tersebut
tergantung dari bentuk flok, yang diwakili oleh faktor bentuk (Shape Factor =
S).

Pada kesempatan lain Anna dan Malte (1997) menyatakan bahwa


proses lumpur aktif dalam pengolahan air limbah tergantung pada
pembentukan flok lumpur aktif yang terbentuk oleh mikroorganisme (terutama
bakteri), partikel inorganik, dan polimer exoselular. Selama pengendapan flok,
material yang terdispersi, seperti sel bakteri dan flok kecil, menempel pada
permukaan flok. Pembentukan flok lumpur aktif dan penjernihan dengan
pengendapan flok akibat agregasi bakteri dan mekanisme adesi. Selanjutnya
dinyatakan pula bahwa flokulasi dan sedimentasi flok tergantung pada
hypobisitas internal dan eksternal dari flok dan material exopolimer dalam flok,
dan tegangan permukaan larutan mempengaruhi hydropobisitas lumpur
granular dari reaktor lumpur anaerobik. Frank et all (1996) mencoba
menggambarkan bahwa dalam sistem pengolah lumpur aktif baik untuk
domestik maupun industri mengandung 1-5% padatan total dan 95-99% bulk
water. Pembuangan kelebihan lumpur merupakan proses yang mahal,

2
dilakukan dengan mengurangi volume lumpur melalui proses pengepresan
(dewatering). Pada bagian lain dinyatakan pula bahwa konsentrasi besi yang
tinggi konsentrasi besi yang tinggi, 70-90% dalam bentuk Fe (III), ditemukan
dalam lumpur aktif.
Akumulasi besi dapat berasal dari influent air limbah atau melalui penambahan
FeSO4 yang digunakan untuk menghilangkan fosfor. Jumlah besi dalam lumpur
aktif akan berkurang setelah memasuki kondisi anaerobik dan mungkin
berasosiasi dengan adanya aktifitas bakteri heterotrofik. Berkurangnya fosfor
dalam lumpur aktif dapat menyebabkan fosfor terlepas kedalam air. Jika ini
terjadi merupakan potensi untuk terjadinya eutrofikasi pada perairan. Enri dan
Anni (1995) juga mengemukan bahwa limbah padat yang berasal dari suatu
instalasi pengolah air limbah industri tekstil dapat digolongkan ke dalam limbah
berbahaya karena mengandung logam berat. Mereka mengkaji kemungkinan
proses solidifikasi mempergunakan tanah lempung dengan hasil yang cukup
baik dari segi kekuatan tekan bebas, permeabilitas, dan hasil lindinya.

1.2. Tujuan dan Sasaran

Penerapan teknologi ini dengan tujuan dapat menghilangkan limbah


organik sederhana dan mudah urai, organik kompleks seperti warna, bau.
Proses ini juga mengilangkan logam berat. Sasaran dari penerapan teknologi ini
adalah air hasil pengolahan limbah tekstil tidak mencemari lingkungan.

1.3. Manfaat
Teknologi ini dapat menurunkan total padatan tersuspensi (TSS) hingga
mencapai 91%, COD 62%, Fe 96% dan BOD5 97%. Proses ini juga
menghilangkan warna dan bau dari limbah tersebut.

1.4. Ruang Lingkup


Pengolahan limbah tektil ini diterapkan di PT Unitek, Jalan Pajajaran
Tajur, Bogor. Jawa Barat.

3
BAB II
LANDASAN TEORI

Kemajuan industri tekstil, pulp, kertas, bahan kimia, obat-obatan, dan industri
pangan di samping membawa dampak positif juga berdampak negatif. Dampak
negatif yang ditimbulkan antara lain menghasilkan air limbah yang membahayakan
lingkungan, karena mengandung bahan-bahan kimia dan mikroorganisme yang
merugikan.
Cara mengatasi air limbah industri adalah dengan melakukan pengolahan air limbah
tersebut sebelum dibuang ke lingkungan. Pengolahan air limbah pada umumnya
dilakukan dengan metode biologi. Metode ini merupakan metode paling efektif
dibandingkan metode kimia dan fisika. Salah satu metode biologi yang sekarang
banyak berkembang adalah metode lumpur aktif.
Metode lumpur aktif memanfaatkan mikroorganisme (terdiri ± 95% bakteri dan sisanya
protozoa, rotifer, dan jamur) sebagai katalis untuk menguraikan material yang
terkandung di dalam air limbah. Proses lumpur aktif merupakan proses aerasi
(membutuhkan oksigen). Pada proses ini mikroba tumbuh dalam flok (lumpur) yang
terdispersi sehingga terjadi proses degradasi. Proses ini berlangsung dalam reaktor
yang dilengkapi recycle/umpan balik lumpur dan cairannya. Lumpur secara aktif
mereduksi substrat yang terkandung di dalam air limbah.

Berikut ini adalah beberapa mikroorganisme yang dapat diamati dalam flok lumpur
aktif.
 Bakteri
Bakteri merupakan unsur utama dalam flok lumpur aktif. Lebih dari 300 jenis
bakteri yang dapat ditemukan dalam lumpur aktif. Bakteri tersebut bertanggung jawab
terhadap oksidasi material organik dan tranformasi nutrien, dan bakteri menghasilkan
polisakarida dan material polimer yang membantu flokulasi biomassa mikrobiologi.
Genus yang umum dijumpai adalah :
Zooglea, Pseudomonas, Flavobacterium, Alcaligenes, Bacillus,
Achromobacter, Corynebacterium, Comomonas, Brevibacterium, dan Acinetobacter,
disamping itu ada pula mikroorganisme berfilamen, yaitu Sphaerotilus dan Beggiatoa,
Vitreoscilla yang dapat menyebabkan sludge bulking.
Karena tingkat oksigen dalam difusi terbatas, jumlah bakteri aktif aerobik
menurun karena ukuran flok meningkat (Hanel, 1988). Bagian dalam flok yang relatif
besar membuat kondisi berkembangnya bakteri anaerobik seperti metanogen.
Kehadiran metanogen dapat dijelaskan dengan pembentukan beberapa kantong

4
anaerobik didalam flok atau dengan metanogen tertentu terhdap oksigen (Wu et al.,
1987). Oleh karena itu lumpur aktif cukup baik dan cocok untuk material bibit bagi
pengoperasian awal reaktor anaerobik.
Tabel 1. Distribusi Bakteri Heteropik Aerobik Dalam Lumpur Aktif Standard (Hiraishi
et al. (1989).
GENUS PERSENTASI
KELOMPOK DARI TOTAL ISOLAT
Comamonas-Pseudomonas 50
Alkaligenes 5,8
Pseudomonas (Kelompok Florescent) 1,9
Paracoccus 11,5
Unidentified (gram negative rods) 1,9
Aeromomas 1,9
Flavobacterium - Cytophaga 13,5
Bacillus 1,9
Micrococcus 1,9
Coryneform 5,8
Arthrobacter 1,9
Aureobacterium-Microbacterium 1,9

Jumlah total bakteri dalam lumpur aktif standard adalah 108 CFU/mg lumpur.
Tabel 1. menunjukkan beberapa genus bakteri yang ditemui dalam standard lumpur
aktif. Sebagian besar bakteri yang diisolasi diidentifikasi sebagai spesies-spesies
Comamonas-Psudomonas.
Caulobacter, bakteri bertangkai umumnya ditemukan dalam air yang miskin
bahan organik, dapat diisolasi dari kebanyakan pengolahan limbah, khususnya
lumpur aktif (MacRae dan Smit, 1991).

Distribusi

5
Zoogloea adalah bakteri yang menghasilkan exopolysaccharide yang
membentuk proyeksi khas seperti jari tangan dan ditemukan dalam air limbah dan
lingkungan yang kaya bahan organik (Norberg dan Enfors, 1982; Unz dan Farrah,
1976; Williams dan Unz, 1983). Zoogloea diisolasi dengan menggunakan media yang
mengandung m-butanol, pati, atau m-toluate sebagai sumber karbon. Bakteri ini
ditemukan dalam berbagai tahap pengolahan limbah tetapi jumlahnya hanya 0,1-1%
dari total bakteri dalam mixed liqour (Williams dan Unz, 1983). Kepentingan relatif
bakteri ini dalam air limbah membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Flok lumpur aktif juga merupakan tempat berkumpulnya bakteri autotrofik
seperti bakteri nitrit (Nitrosomonas, Nitrobacter), yang dapat merubah amonia menjadi
nitrat dan bakteri fototrofik seperti bakteri ungu non sulfur (Rhodospilrillaceae), yang
dapat dideteksi pada konsentrasi sekitar 105 sel/ml. Bakteri ungu dan hijau ditemukan
dalam jumlah yang sangat kecil. Barangkali, bakteri fototrofik hanya sedikit berperan
dalam penurunan nilai BOD dalam lumpur aktif (Madigan, 1988; Siefert et al., 1978)

 Fungi
Lumpur aktif biasanya tidak mendukung kehidupan fungi walaupun beberapa
fungi berfilamen kadang-kadang ditemukan dalam flok lumpur aktif. Fungi dapat
tumbuh pesat dibawah kondisi pH yang rendah, toksik, dan limbah yang kekurangan
nitrogen. Genus yang dominan ditemukan dalam lumpur aktif adalah Geotrichum,
Penicillium, Cephalosporium, Cladosporium, dan Alternaria (Pipes dan Cooke, 1969;
Tomlinson dan Williams, 1975). Lumpur ringan (Sludge Bulking) dapat dihasilkan oleh
pertumbuhan yang pesat Geotrichum candidum, yang dirangsang oleh pH rendah dari
limbah yang asam.

 Protozoa
Protozoa adalah significant predator dalam lumpur aktif seperti dalam
lingkungan akuatik alam (Curds, 1982; Drakides, 1980; Fenchel dan Jorgensen, 1977;
LaRiviere, 1977). Pemakanan bakteri oleh protozoa dapat ditentukan dengan
14 35
eksperimen pemakanan bakteri yang telah diberi C atau C atau flouresen
(Hoffmann dan Atlas, 1987; Sherr et al, 1987). Pemakanan bakteri tersebut dapat
mereduksi toksikan. Contoh, Aspidisca costata yang memakan bakteri dalam lumpur
aktif dapat menurunkan Kadmium (Hoffmann dan Atlas, 1987). Protozoa paling sering
ditemukan dalam lumpur aktif adalah Carchesium, Paramecium sp, Opercularia sp,
Chilodenella sp, Vorticella sp, Apidisca sp
(Dart dan Stretton, 1980, Edeline, 1988; Eikelboom dan van Buijsen, 1981). Cilliata.
Siliata atau bulu getar digunakan untuk pergerakan dan mendorong partikel makanan

6
kedalam mulut . Siliata dibagi menjadi tiga, yaitu : Siliata bebas (free), merayap
(creeping), dan bertangkai (stalked). Siliata bebas (tidak terikat) memakan bakteri
bebas yang terbang. Genus yang paling penting sering ditemukan dalam lumpur aktif
adalah Chilodonella, Colpidium, Blepharisma, Euplotes, Paramecium, Lionotus,
Trachelophyllum, dan Spirostomum. Siliata merayap memakan bakteri yang berada
dipermukaan flok lumpur aktif. Dua genus penting, yaitu : Aspidisca dan Euplotes.
Cilitas bertangkai menempel tangkainya pada flok. Tangkai mempunyai myoneme
untuk menangkap mangsa. Contoh siliata bertangkai adalah Vorticella, Carchesium,
Opercularia, dan Epistylis.

 Rotifers
Rotifers adalah metazoa (organisme bersel banyak) dengan ukuran bervariasi
dari 100 m - 500 m. Tubuhnya menancap pada partikel flok dan sering tercabut dari
permukaan flok (Doohan, 1975; Eikelboom dan van Buijsen, 1981). Rotifers
ditemukan dalam instalasi pengolahan air limbah termasuk dua orde pertama,
Bdelloidea (contoh : Philodina spp., Habrotrocha spp.) dan Monogononta (contoh :
Lecane spp., Notommata spp.).
Peranan rotifers dalam lumpur aktif adalah : (1) menghilangkan bakteri
tersuspensi (contoh : bakteri yang tidak membentuk flok; (2) memberi kontribusi
terhadap pembentukan flok melalui pelet kotoran yang dikelilingi oleh mukus.
Kehadiran rotifers dalam tahap akhir pengolahan limbah sistem lumpur aktif
dikarenakan kenyataan bahwa hewan ini mempunyai siliata yang kuat yang menolong
dalam mencari makan dan menurunkan jumlah bakteri tersuspensi (membuat air lebih
jernih) dan aksi siliatanya lebih kuat dibandingkan protozoa.

2.1. Sistem Lumpur Aktif Konvensional


Proses Lumpur Aktif Konvensional dapat dilihat pada Gambar 1.

Sistem Lumpur Aktif Konvensional

7
 Tangki aerasi
Oksidasi aerobik material organik dilakukan dalam tangki ini. Efluent pertama
masuk dan tercampur dengan Lumpur Aktif Balik (Return Activated Sludge =RAS)
atau disingkat LAB membentuk lumpur campuran (mixed liqour), yang mengandung
padatan tersuspensi sekitar 1.500 - 2.500 mg/l. Aerasi dilakukan secara mekanik.
Karakteristik dari proses lumpur aktif adalah adanya daur ulang dari biomassa.
Keadaan ini membuat waktu tinggal rata-rata sel (biomassa) menjadi lebih lama
dibanding waktu tinggal hidrauliknya (Sterritt dan Lester, 1988). Keadaan tersebut
membuat sejumlah besar mikroorganisme mengoksidasi senyawa organik dalam
waktu yang singkat. Waktu tinggal dalam tangki aerasi berkisar 4 - 8 jam.
 Tangki Sedimentasi
Tangki ini digunakan untuk sedimentasi flok mikroba (lumpur) yang dihasilkan
selama fase oksidasi dalam tangki aerasi. Seperti disebutkan diawal bahwa
sebaghian dari lumpur dalam tangki penjernih didaur ulang kembali dalam bentuk
LAB kedalam tangki aerasi dan sisanya dibuang untuk menjaga rasio yang tepat
antara makanan dan mikroorganisme (F/M Ratio).
 Parameter
Parameter yang umum digunakan dalam lumpur aktif (Davis dan Cornwell,
1985; Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986) adalah sebagai berikut:
1. Mixed-liqour suspended solids (MLSS). Isi tangki aerasi dalam sistem lumpur aktif
disebut sebagai mixed liqour yang diterjemahkan sebagai lumpur campuran.
MLSS adalah jumlah total dari padatan tersuspensi yang berupa material organik
dan mineral, termasuk didalamnya adalah mikroorganisma. MLSS ditentukan
dengan cara menyaring lumpur campuran dengan kertas saring (filter), kemudian
filter dikeringkan pada temperatur 1050C, dan berat padatan dalam contoh
ditimbang.
2. Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS). Porsi material organik pada
MLSS diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba
hidup dan mati, dan hancuran sel (Nelson dan Lawrence, 1980). MLVSS diukur
dengan memanaskan terus sampel filter yang telah kering pada 600 - 6500C, dan
nilainya mendekati 65-75% dari MLSS.
3. Food - to - microorganism ratio (F/M Ratio). Parameter ini merupakan indikasi
beban organik yang masuk kedalam sistem lumpur aktif dan diwakili nilainya
dalam kilogram BOD per kilogram MLSS per hari (Curds dan Hawkes, 1983;
Nathanson, 1986).
4. Hidraulic retention time (HRT). Waktu tinggal hidraulik (HRT) adalah waktu rata-
rata yang dibutuhkan oleh larutan influent masuk dalam tangki aerasi untuk proses
8
lumpur aktif; nilainya berbanding terbalik dengan laju pengenceran (D) (Sterritt
dan Lester, 1988).
5. Umur lumpur (Sludge age). Umur lumpur adalah waktu tinggal rata-rata
mikroorganisme dalam sistem. Jika HRT memerlukan waktu dalam jam, maka
waktu tinggal sel mikroba dalam tangki aerasi dapat dalam hari lamanya.
Parameter ini berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan mikroba.
Umur lumpur dapat bervariasi antara 5 - 15 hari dalam konvensional lumpur
aktif. Pada musim dingin lebih lama dibandingkan musim panas (U.S. EPA,
1987a). Parameter penting yang mengendalikan operasi lumpur aktif adalah laju
pemuatan organik, suplay oksigen, dan pengendalian dan operasi tangki
pengendapan akhir. Tangki ini mempunyai dua fungsi: penjernih dan
penggemukan mikroba. Untuk operasi rutin, orang harus mengukur laju
pengendapan lumpur dengan menentukan indeks volume lumpur (SVI), Voster
dan Johnston, 1987.

2.2. Modifikasi Proses Lumpur Aktif Konvensional


Ada beberapa modifikasi dari proses lumpur aktif konvensional (Nathanson,
1986; US. EPA, 1977).

Modifikasi proses lumpur aktif.


A. Sistem aerasi lanjutan. B. Parit oksidasi (US EPA, 1977, dalam Bitton, 1994)

9
 Sistem Aerasi Lanjutan
Proses ini dipakai dalam instalasi paket pengolahan dengan cara sebagai berikut:
1. Waktu aerasi lebih lama (sekitar 30 jam) dibandingkan sistem konvensional. Usia
lumpur juga lebih lama dan dapat diperpanjang sampai 15 hari.
2. Limbah yang masuk dalam tangki aerasi tidak diolah dulu dalam pengendapan
primer.
3. Sistem beroperasi dalam F/M ratio yang lebih rendah (umumnya <0,1 lb
BOD/hari/lb MLSS) dari sistem konvensional (0,2 - 0,5 lb BOD/hari/lb MLSS).
4. Sistem ini membutuhkan membutuhkan sedikit aerasi dibandingkan dengan
pengolahan konvensional dan terutama cocok untuk komunitas yang kecil yang
menggunakan paket pengolahan.
 Selokan Oksidasi (Oxidation Ditch)
Selokan oksidasi terdiri dari saluran aerasi yang berbentuk oval yang
dilengkapi dengan satu atau lebih rotor rotasi untuk aerasi limbah. Saluran ini
menerima limbah yang telah disaring dan mempunyai waktu tinggal hidraulik
(hidraulic retention time) mendekati 24 jam.
 Aerasi Bertingkat
Limbah hasil dari pengolahan primer (pengendapan) masuk dalam tangki
aerasi melalui beberapa lubang atau saluran, sehingga meningkatkan distribusi dalam
tangki aerasi dan membuat lebih efisien dalam penggunaan oksigen. Proses ini dapat
meningkatkan kapasitas sistem pengolahan.
 Stabilisasi Kontak
Setelah limbah dan lumpur bercampur dalam tangki reaktor kecil untuk waktu
yang singkat (20-40 menit), aliran campuran tersebut dialirkan ke tangki penjernih dan
lumpur dikembalikan ke tangki stabilisasi dengan waktu tinggal 4 - 8 jam. Sistem ini
menghasilkan sedikit lumpur.
 Sistem Aerasi Campuran
Pada sistem ini limbah hanya diaerasi dalam tangki aerasi secara merata.
Sistem ini dapat menahan shock load dan racun.
 Lumpur Aktif Kecepatan Tinggi
Sistem ini digunakan untuk mengolah limbah konsentrasi tinggi dan
dioperasikan untuk beban BOD yang sangat tinggi dibandingkan proses lumpur aktif
konvensional. Proses ini mempunyai waktu tinggal hidraulik sangat singkat. Sistem ini
beroperasi pada konsentrasi MLSS yang tinggi.

10
 Aerasi Oksigen Murni
Sistem aerasi dengan oksigen murni didasarkan pada prinsip bahwa laju
tranfer oksigen lebih tinggi pada oksigen murni dari pada oksigen atmosfir. Proses ini
menghasilkan kemampuan oksigen terlarut menjadi lebih tinggi, sehingga
meningkatkan efisiensi pengolahan dan mengurangi produksi lumpur.
2.3. Biologi Lumpur Aktif
Dua tujuan dari sistem lumpur aktif pertama adalah oksidasi material organik
yang biodegradable dalam tangki aerasi kemudian dikonversi menjadi bentuk sel
yang baru, kedua flokulasi, memisahkan biomassa yang baru terbentuk dari air
effluent.
 Survei Organisme Dalam Lumpur Aktif
Flok dalam aktifitas lumpur mengandung sel bakteri disamping partikel
anorganik dan organik. Ukuran flok bervariasi antara <1 m (ukuran beberapa sel
bakteri) sampai dengan 1 000 m atau lebih (Parker et al., 1971; U.S.EPA, 1987a),
Lihat Gambar 3. Sel hidup dalam flok dapat diukur dengan analisis ATP dan aktifitas
dehidrogenase, berjumlah 5-20% dari total sel (Weddle dan Jenkins, 1971). Beberapa
peneliti menjaga agar fraksi aktif bakteri dalam lumpur aktif mewakili hanya 1-3%
bakteri total (Hanel, 1988).

Distribusi ukuran partikel dalam lumpur aktif (Parker et al, 1971, dalam Bitton, 1994).

2.4. Oksidasi Bahan Organik Dalam Tangki Aerasi


Air limbah domestik mempunyai rasio C:N:P sebesar 100 : 5 : 1, yang
mencukupi untuk kebutuhan sebagian besar mikroorganisme. Bahan organik dalam
air limbah terdapat dalam bentuk terlarut, koloid, dan fraksi partikel. Bahan organik

11
terlarut sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme heterotrophik dalam mixed
liquor. Bahan organik ini cepat hilang oleh adsorpsi dan proses flokulasi, dan juga
oleh absorpsi dan oksidasi oleh mikroorganisme. Aerasi dalam beberapa jam dapat
membuat perubahan dari BOD terlarut menjadi biomassa mikrobial.
Aerasi mempunyai dua tujuan : (1) memasok oksigen bagi mikroorganisme
aerobik, dan (2) menjaga lumpur aktif agar selalu konstan teragitasi untuk
melaksanakan kontsak yang cukup antara flok dengan air limbah yang baru datang
pada sistem pengolahan limbah. Konsentrasi oksigen yang cukup juga diperlukan
untuk aktifitas mikroorganisme heterotrophik dan autotrophik, khususnya bakteri nitrit.
Tingkat oksigen terlarut harus antara 0,5 - 0,7 mg/l. Proses nitrifikasi berhenti jika
oksigen terlarut dibawah 0,2 mg/l (Dart dan Stretton, 1980). Curds dan Hawkes
(1983) membuat ringkasan reaksi degradasi dan biosintesis yang terjadi dalam tangki
aerasi dalam proses lumpur aktif.

Penghilangan Bahan Organik Dalam Proses Lumpur Aktif (Curds dan


Hawkes, 1983 dalam Gabriel Bitton, 1994.
2.5. Pengendapan Lumpur
Campuran air dan lumpur (mixed liqour) dipindahkan dari tangki aerasi ke
tangki pengendapan, tempat lumpur dipisahkan dari air yang telah diolah. sebagian
lumpur aktif dikembalikan ke tangki aerasi dan sebagian lagi dibuang dan dipindahkan
ke pengolahan aerobik. Sel mikrobial terjadi dalam bentuk agregat atau flok,
densitasnya cukup untuk mengendap dalam tangki penjernih. Pengendapan lumpur
tergantung ratio F/M dan umur lumpur. Pengendapan yang baik dapat terjadi jika
lumpur mikroorganisme berada dalam fase endogeneous, yang terjadi jika karbon dan
sumber energi terbatas dan jika pertumbuhan bakteri rendah. Pengendapan lumpur

12
yang baik dapat terjadi pada rasio F/M yang rendah (contoh : tingginya konsentrasi
MLSS). Sebaliknya, Rasio F/M yang tinggi mengakibatkan pengendapan lumpur yang
buruk.
Dalam airlimbah pemukiman, rasio F/M yang optimum antara 0,2 dan 0,5
(Gaudy dan Gaudy, 1988; Hammer, 1986). Rata-rata waktu tinggal sel yang
diperlukan untuk pengendapan yang efektif adalah 3 - 4 hari (Metcalf dan Eddy,
1991). Pengendapan yang tidak baik dapat terjadi akibat gangguan yang tiba-tiba
pada parameter fisik (suhu dan pH), kekurangan makanan (contoh N, suhu,
mikronutrien), dan kehadiran zat racun (seperti logam berat) yang dapat
menyebabkan hancurnya sebagian flok yang sudah terbentuk (Chudoba, 1989).

2.6. Pengolah Limbah Tekstil P.T. Unitek, Bogor


Indonesia dalam satu dasa warsa ini dikenal sebagai penghasil tekstil yang
besar disamping India dan Pakistan. Dalam proses produksi industri tekstil banyak
menggunakan bahan kimia dan air. Bahan kimia yang digunakan antara lain untuk
proses pencucian, pemutihan, dan pewarnaan. Akibat dari itu pencemaran lingkungan
menjadi masalah bagi masyarakat yang tinggal disekitar industri tekstil. Mengingat
pentingnya industri tekstil sebagai penghasil devisa negara dan perlunya
perlindungan lingkungan, maka diperlukan adanya teknologi pengolah limbah tekstil
yang handal. Salah satu contoh pengolahan limbah tekstil yang hingga saat ini
beroperasi adalah pengolahan limbah tekstil milik P.T. Unitex di Bogor.
Gagasan unit pengolah limbah tekstil di PT. Unitek lahir dari Presiden Direktur
Mr. S. Okabe karena pada tahun tersebut belum ada perusahaan yang dapat
dijadikan contoh dalam pengolahan air limbah. Kemudian rancang bangunnya
dilaksanakan oleh perusahaan induknya di Jepang, yaitu Unitika Ltd. Dalam
perkembangan selanjutnya terus mengalami perbaikan dan penambahan sejalan
dengan peningkatan produksi. PT. Unitek merupakan pabrik tekstil terpadu. Proses
produksinya meliputi pemintalan (spinning), pertenunan (weaving), pencelupan
(dyeing) dan penyelesaian akhir (finishing). Pada umumnya polutan yang terkandung
dalam limbah industri tekstil dapat berupa padatan tersuspensi, padatan terlarut serta
gas terlarut. Karakteristik limbah pada umumnya bersifat alkalis (pH = 7), suhunya
tinggi serta berwarna pekat. Untuk menghilangkan polutan tersebut, diperlukan
pengolahan yang dapat memisahkan dan menghancurkan polutan yang terkandung
didalamnya.

13
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tahap Pemrosesan

Instalasi Pengelolaan Air Limbah PT. Unitek dibangun Tahun 1988 di

atas tanah seluas 4000 m2, dan mampu mengolah limbah tekstil lebih dari

2000 m3/hari. Proses pengolahan air limbah PT. Unitek terbagi atas tiga tahap
pemrosesan, yaitu :
1. Proses primer yang meliputi penyaringan kasar, penghilangan warna,
ekualisasi, penyaringan halus, pendinginan.
2. Proses sekunder yang meliputi proses biologi dan sedimentasi.
3. Proses tersier yang merupakan tahap lanjutan dengan penambahan bahan
kimia.
Melalui upaya pengelolaan yang telah dilakukan, maka air limbah yang
dibuang tidak akan mencemari lingkungan. Biaya investasi pembangunan
instalasi ini hanya sekitar 2% dari total investasi atau sekitar 2,5 milyard
rupiah. Sistem pengolah limbah yang digunakan merupakan perpaduan antara
proses fisika, kimia, dan biologi. Proses yang berperan dalam pengurangan
bahan pencemar adalah proses biologi yang menggunakan sistem lumpur aktif
dengan aerasi lanjutan (extended aeration). Selain limbah cair terdapat pula
limbah padat yang berupa lumpur, hasil samping dari sistem pengolahan yang
digunakan. Lumpur hasil olahan digunakan sebagai bahan campuran
pembuatan conblock dan batako press serta pupuk organik. Hal ini merupakan
salah satu alternatif dan langkah lebih maju dari PT. Unitek dalam
memanfaatkan kembali limbah padat.

14
1. Bak penampung yang masih panas.

2. Bak pengendap pertama

15
3. Pemberian koagulan (ferro sulfat) untuk menghilangkan warna.

4. Bak pengendap (clarifier) setelah diberi koagulan ferro sulfat.

16
5. Menara pendingin (Colling Tower) sebelum air masuk ke dalam bak aerasi.

6. Bak aerasi tahap pertama

17
7. Lumpur aktif dari bak pengendap akhir dikembalikan ke bak aerasi tahap pertama.

8. Bak pengendap akhir

18
9. Contoh air di bak pengendap akhir.

10. Air hasil olahan sebelum dibuang ke lingkungan.

19
11. Bioassay

12. Contoh air baku sampai dengan air hasil olahan.

20
3.2. Cara Pembuatan
Urutan proses pengolahan limbah di PT. Unitek secara garis besar dibagi dalam 5
unit proses yang meliputi proses primer, sekunder, dan tersier, yaitu :
Unit 1 : adalah proses penghilangan warna dengan sistem koagulasi dan
sedimentasi.
Unit 2 : adalah proses penguraian bahan organik yang terkandung di
dalam air limbah dengan sistem lumpur aktif.
Unit 3 : adalah proses pemisahan air yang telah bersih dengan lumpur
aktif dari kolam aerasi.
Unit 4 : adalah proses penghilangan padatan tersuspensi setelah
pengendapan.
Unit 5 : adalah proses pemanfaatan lumpur padat setelah pengepresan
di belt press.

3.3. Proses Pengolahan Limbah


Proses pengolahan air limbah PT. Unitek terbagi menjadi tiga tahap pemrosesan,
yaitu :
1. Proses primer, Proses primer merupakan perlakuan pendahuluan yang meliputi:
a). Penyaringan kasar,
b). Penghilangan warna,
c). Ekualisasi,
d). Penyaringan halus, dan
e). Pendinginan.
2. Proses sekunder, Proses biologi dan sedimentasi.
3. Proses tersier, merupakan tahap lanjutan setelah proses biologi dan
sedimentasi.

21
Adapun waktu yang dibutuhkan untuk tiap proses dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Dimensi, Debit Air Masuk, dan Waktu Tinggal dari


masing-masing Unit Pengolah Limbah Cair PT. UNITEX.

Unit Jumlah Vol Tangki Total Vol Debit Waktu

Penanganan (m3) (m3) (m3/hari) Retensi


Kolam equalisasi
Limbah air warna 2 59 + 56 115 1200 2.3 jam
Limbah air umum 1 653 653 1800 8.7 jam
Tangki Koagulasi I 1 3.1 3.6 720 7.2 menit
Tangki Sedimentasi I 2 14.2 28.4 720 25 menit
Kolam Aerasi 3 2(1250)+925 3425 3000 27.4 jam
Tangki Sedimentasi II 1 407 407 3394 2.9 jam
Tangki Koagulasi II 1 6 6 3394 2.5 menit
Tangki Intermeadiat 1 57 57 3394 24 menit
Tangki Sedimentasi III 1 178 178 3394 1.26 jam
Kolam Ikan 1 15 15 3394 6.4 menit

22
Sistem Pengolah Limbah Lumpur Aktif PT UNITEX

23
1. Proses Primer

a) Penyaringan Kasar
Air limbah dari proses pencelupan dan pembilasan dibuang melalui saluran
pembuangan terbuka menuju pengolahan air limbah. Saluran tersebut terbagi menjadi
dua bagian, yakni saluran air berwarna dan saluran air tidak berwarna. Untuk mencegah
agar sisa-sisa benang atau kain dalam air limbah terbawa pada saat proses, maka air
limbah disaring dengan menggunakan saringan kasar berdiameter 50 mm dan 20 mm.

b) Penghilangan Warna
Limbah cair berwarna yang berasal dari proses pencelupan setelah melewati
tahap penyaringan ditampung dalam dua bak penampungan, masing-masing
berkapasitas 64 m3 dan 48 m3, air tersebut kemudian dipompakan ke dalam tangki
koagulasi pertama (volume 3,1 m3) yang terdiri atas tiga buah tangki, yaitu : Pada tangki
pertama ditambahkan koagulasi FeSO4 (Fero Sulfat) konsentrasinya 600 – 700 ppm
untuk pengikatan warna.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam tangki kedua dengan ditambahkan kapur (lime)
konsentrasinya 150 – 300 ppm, gunanya untuk menaikkan pH yang turun setelah
penambahan FeSO4. Dari tangki kedua limbah dimasukkan ke dalam tangki ketiga pada
kedua tangki tersebut ditambahkan polimer berkonsentrasi 0,5 – 0,2 ppm, sehingga akan
terbentuk gumpalan-gumpalan besar (flok) dan mempercepat proses pengendapan.
Setelah gumpalan-gumpalan terbentuk, akan terjadi pemisahan antara padatan
hasil pengikatan warna dengan cairan secara gravitasi dalam tangki sedimentasi.
Meskipun air hasil proses penghilangan warna ini sudah jernih, tetapi pH-nya masih tinggi
yaitu 10, sehingga tidak bisa langsung dibuang ke perairan.
Untuk menghilangkan unsur-unsur yang masih terkandung didalamnya, air yang
berasal dri koagulasi I diproses dengan sistem lumpur aktif. Cara tersebut merupakan
perkembangan baru yang dinilai lebih efektif dibandingkan cara lama yaitu air yang
berasal dari koagulasi I digabung dalam bak ekualisasi.
Tabel 3. Hasil pengamatan konsentrasi, debit, dan laju penambahan koagulan dan
flokulan terhadap limbah air warna (Rapto, 1996)
Agent Konsentrasi Debit Laju
(kg/l) (l/jam) Penambahan
(kg/jam)
Fe SO4 0.21 13.28 2.84
Lime 0.11 806.76 86.44
Polimer ANP- 2. 10-4 561.60 0.11
10
24
Tabel 4. Efisiesi removal proses koagulasi dan flokulasi air limbah warna Tahun
1994 (Rapto, 1996)

Parameter Inlet Outlet Efisiensi


(mg/l) (mg/l) Removal (%)
TSS 132.33 17.33 86.9
BOD5 266.12 54.92 79.4
COD 432.33 112.00 74.1
DO 0.4 0.25 37.5

c) Ekualisasi
Bak ekualisasi atau disebut juga bak air umum memiliki volume 650 m3
menampung dua sumber pembuangan yaitu limbah cair tidak berwarna dan air yang
berasal dari mesin pengepres lumpur. Kedua sumber pembuangan pengeluarkan air
dengan karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu untuk memperlancar proses
selanjutnya air dari kedua sumber ini diaduk dengan menggunakan blower hingga
mempunyai karakteristik yang sama yaitu pH 7 dan suhunya 32oC. Sebelum kontak
dengan sistem lumpur aktif, terlebih dahulu air melewati saringan halus dan cooling tower,
karena untuk proses aerasi memerlukan suhu 32oC. Untuk mengalirkan air dari bak
ekualisasi ke bak aerasi digunakan dua buah submerble pump atau pompa celup (Q= 60
m3/jam).

d) Saringan Halus (Bar Screen = 0,25 in)


Air hasil ekualisasi dipompakan menuju saringan halus untuk memisahkan
padatan dan larutan, sehingga air limbah yang akan diolah bebas dari padatan kasar
berupa sisa-sisa serat benang yang masih terbawa.

e) Cooling Tower
Karakteristik limbah produksi tekstil umumnya mempunyai suhu antara 35-40oC,
sehingga memerlukan pendinginan untuk menurunkan suhu yang bertujuan
mengoptimalkan kerja bakteri dalam sistem lumpur aktif. Karena suhu yang diinginkan
adalah berkisar 29-30oC.

25
2. Proses Sekunder

a) Proses Biologi
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) PT. Unitek memiliki tiga bak aerasi
dengan sistem lumpur aktif, yang pertama berbentuk oval mempunyai beberapa
kelebihan dibandingkan dengan bentuk persegi panjang. Karena pada bak oval tidak
memerlukan blower sehingga dapat menghemat biaya listrik, selain itu perputaran air
lebih sempurna dan waktu kontak bakteri dengan limbah lebih merata serta tidak terjadi
pengendapan lumpur seperti layaknya terjadi pada bak persegi panjang. Kapatas dari
ketiga bak aerasi adalah 2175 m3. Pada masing-masing bak aerasi ini terdapat sparator
yang mutlak diperlukan untuk memasok oksigen ke dalam air bagi kehidupan bakteri.
Parameter yang diukur dalam bak aerasi dengan sistem lumpur aktif adalah DO, MLSS,
dan suhu. Dari pengalaman yang telah dijalani, parameter-parameter tersebut dijaga
sehingga penguraian polutan yang terdapat dalam limbah dapat diuraikan semaksimal
mungkin oleh bakteri. Oksigen terlarut yang diperlukan berkisar 0,5 – 2,5 ppm, MLSS
berkisar 4000 – 6000 mg/l, dan suhu berkisar 29 – 30oC.

b) Proses Sedimentasi
Bak sedimentasi II (volume 407 m3) mempunyai bentuk bundar pada bagian
atasnya dan bagian bawahnya berbentuk kronis yang dilengkapi dengan pengaduk
(agitator) dengan putaran 2 rph. Desain ini dimaksudkan untuk mempermudah
pengeluaran endapan dari dasar bak. Pada bak sedimentasi ini akan terjadi settling
lumpur yang berasal dari bak aerasi dan endapan lumpur ini harus segera dikembalikan
lagi ke bak aerasi (return sludge=RS), karena kondisi pada bak sedimentasi hampir
mendekati anaerob. Besarnya RS ditentukan berdasarkan perbandingan nilai MLSS dan
debit RS itu sendiri. Pada bak sedimentasi ini juga dilakukan pemantauan kaiment
(ketinggian lumpur dari permukaan air) dan MLSS dengan menggunakan alat MLSS
meter.

3. Proses Tersier
Pada proses pengolahan ini ditambah bahan kimia, yaitu Alumunium Sulfat
(Al2(SO4)3), Polimer dan Antifoam (Silicon Base); untuk mengurangi padatan tersuspensi
yang masih terdapat dalam air. Tahap lanjutan ini diperlukan untuk memperoleh kualitas
air yang lebih baik sebelum air tersebut dibuang ke perairan.
Air hasil proses biologi dan sedimentasi selanjutnya ditampung dalam bak interdiet
(Volume 2m3) yang dilengkapi dengan alat yang disebut inverter untuk mengukur level air,
kemudian dipompakan ke dalam tangki koagulasi (volume 3,6 m3) dengan menggunakan
pompa sentrifugal. Pada tangki koagulasi ditambahkan alumunium sulfat (konsentrasi

26
antara 150 – 300 ppm) dan polimer (konsentrasi antara 0,5 – 2 ppm), sehingga terbentuk
flok yang mudah mengendap. Selain kedua bahan koagulan tersebut juga ditambahkan
tanah yang berasal pengolahan air baku (water teratment) yang bertujuan menambah
partikel padatan tersuspensi untuk memudahkan terbentuknya flok.
Pada tangki koagulasi ini terdapat mixer (pengaduk) untuk mempercepat proses
persenyawaan kimia antara air dan bahan koagulan, juga terdapat pH kontrol yang
berfungsi untuk memantau pH effluent sebelum dikeluarkan ke perairan. Setelah
penambahan koagulan dan proses flokulasi berjalan dengan sempurna, maka gumpalan-
gumpalan yang berupa lumpur akan diendapkan pada tangki sedimentasi III (volume =
178 m3). Hasil endapan kemudian dipompakan ke tangki penampungan lumpur yang
selanjutnya akan diolah dengan belt press filter machine.

27
BAB IV
HASIL PENELITIAN

Sebagai gambaran hasil proses dari Unit Pengolah Limbah Tekstil tersebut adalah
sebagai berikut :
Tabel 5. Hasil Pengamatan Konsentrasi, Debit,
dan Laju Penambahan Koagulan dan Flokulan Pada Tangki Koagulasi II, tahun
1994 (Rapto, 1996).

Agent Kosentrasi Debit Laju Penambahan


(kg/l) (l/jam) (kg/jam)
Al2(SO4)3 0.30 128.95 38.69
Polimer ANP- 5. 10-4 53.21 0.03
10

Tabel 6. Efisiensi Removal Proses Koagulan dan Flokulasi Air Limbah Pada
Penanganan Tersier, Tahun 1994 (Rapto, 1996).

Parameter Inlet Outlet Efisiensi Removal


(mg/l) (mg/l) (%)
TSS 22.00 9.00 59.10
BOD5 46.69 25.09 46.30
COD 93.33 50.09 46.30

Parameter Pantau

A. Kimia
1. COD (Chemical Oxygen Demand)
Jumlah oksigen (ppm O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi K2Cr2O7 yang
digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent).
2. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Suatu analisis empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses
mikrobiologi yang benar-benar terjadi didalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen
(ppm O2) yang dibutuhkan oleh bakteri untuk mengoksidasi hampir semua zat organis
yang terlarut dan sebagian zat organis yang tersuspensi dalam limbah cair.

28
3. DO (Dissolved Oksigen) :
Jumlah oksigen (ppm O2) yang terlarut dalam air dan merupakan kebutuhan mutlak bagi
mikroorganisma (khususnya bakteri) dalam menguraikan zat organik.
4. pH (Derajat Keasaman):
Didefinisikan sebagai pH = - log (H+) yang menunjukkan tingkat keasaman atau
kebasaan.

B. Fisika
1. MLSS (Mixed Liqour Suspended Solid):
Jumlah seluruh padatan tersuspensi dalam suatu cairan (ppm) yang
menggambarkan kepekatan lumpur pada kolam aerasi khususnya.
2. SV30 (Sludge Volume = 30)
Lumpur yang mengendap secara gravitasi selama 30 menit (%) yang menunjukkan
tingkat kelarutan oksigen dalam lumpur aktif.

C. Biologi
Parameter biologi yang diamati berupa mikroorganisme predator bakteri, diantaranya
prozoa dan avertebrata lainnya.
Kualitas Influen dan Efluen IPAL PT UNITEX
Efisiensi sistem IPAL PT. Unitex cuiup tinggi, terutama untuk TSS, BOD dan FE.
Hanya sayang dalam analisis keberhasilan sistem lumpur aktif menjadi sulit karena
parameter MLSS, MVSS, SVI dan mikrobiologinya kurang banyak diteliti.
Tabel 7. Efisiensi Total Rata-Rata IPAL PT. UNITEX (RIPTO, 1996)

Parameter Inlet (air umum) Outlet Efisiensi

Air Umum
pH 11.35 7.26 36.03
TSS (mg/l) 84.00 7.00 91.66
BOD5 (mg/l) 97.50 2.70 97.00
COD (mg/l) 428.50 162.70 62.03
Fe (mg/l) 2.33 0.07 96.99

29
BAB V
DISKUSI DAN KESIMPULAN

5.1. Diskusi

Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba tersuspensi.


Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang mengoksidasi material
organik menjadi CO2 dan H2O, NH4. dan sel biomassa baru. Proses ini menggunakan
udara yang disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau melalui aerasi mekanik. Sel
mikroba membentuk flok yang akan mengendap di tangki penjernihan. Kemampuan bakteri
dalam membentuk flok menentukan keberhasilan pengolahan limbah secara biologi, karena
akan memudahkan pemisahan partikel dan air limbah

Sebagai contoh pengolahan limbah sistem lumpur aktif adalah Unit Pengelolaan Air
Limbah PT. UNITEX. Unit ini mampu mengolah limbah lebih dari 200 m2 per hari. Proses
pengelolaan terbagi atas tiga tahap pemrosesan, yaitu : 1. Proses Primer, meliputi
penyaringan kasar, penghilangan warna, equalisasi, penyaringan halus, pendinginan, 2.
Proses Sekunder, biologi dan sedimentasi, serta 3. Proses Tersier, tahap lanjutan dengan
penambahan bahan kimia.

Efisiensi Total Rata-Rata IPAL PT. UNITEX

Parameter Inlet (air umum) Outlet Efisiensi

Air Umum
Ph 11.35 7.26 36.03
TSS (mg/l) 84.00 7.00 91.66
BOD5 (mg/l) 97.50 2.70 97.00
COD (mg/l) 428.50 162.70 62.03
Fe (mg/l) 2.33 0.07 96.99

30
Jadi dengan proses penggunaan lumpur aktif ini efisiensi sistem IPAL PT. Unitex
cukup tinggi, terutama untuk TSS, BOD dan FE. karena bakteri merupakan unsur utama
dalam flok lumpur aktif. Lebih dari 300 jenis bakteri yang dapat ditemukan dalam lumpur
aktif. Bakteri tersebut bertanggung jawab terhadap oksidasi material organik dan tranformasi
nutrien, dan bakteri menghasilkan polisakarida dan material polimer yang membantu
flokulasi biomassa mikrobiologi.

Karena tingkat oksigen dalam difusi terbatas, jumlah bakteri aktif aerobik menurun
karena ukuran flok meningkat. Bagian dalam flok yang relatif besar membuat kondisi
berkembangnya bakteri anaerobik seperti metanogen. Kehadiran metanogen dapat
dijelaskan dengan pembentukan beberapa kantong anaerobik didalam flok atau dengan
metanogen tertentu terhdap oksigen (Wu et al., 1987). Oleh karena itu lumpur aktif cukup
baik dan cocok untuk material bibit bagi pengoperasian awal reaktor anaerobik.
Bahan organik dalam air limbah terdapat dalam bentuk terlarut, koloid, dan fraksi
partikel. Bahan organik terlarut sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme. Bahan
organik ini cepat hilang oleh adsorpsi dan oksidasi oleh mikroorganisme. Aerasi dalam
beberapa jam dapat membuat perubahan dari BOD terlarut menjadi biomassa mikrobial.
Aerasi mempunyai dua tujuan : (1) memasok oksigen bagi mikroorganisme aerobik,
dan (2) menjaga lumpur aktif agar selalu konstan teragitasi untuk melaksanakan kontak
yang cukup antara flok dengan air limbah yang baru datang pada sistem pengolahan
limbah. Konsentrasi oksigen yang cukup juga diperlukan untuk aktifitas mikroorganisme.
Menurut literature Tingkat oksigen terlarut harus antara 0,5 - 0,7 mg/l. Proses nitrifikasi
berhenti jika oksigen terlarut dibawah 0,2 mg/l

31
Curds dan Hawkes (1983) membuat ringkasan reaksi degradasi dan biosintesis yang terjadi
dalam tangki aerasi dalam proses lumpur aktif

Pengendapan lumpur yang baik dapat terjadi pada rasio F/M yang rendah, karena
rasio F/M yang rendah mencerminkan bahwa mikroorganisme dalam tangki aerasi dalam
kondisi lapar sehingga mikroorganisme akan lebih cepat dalam menguraikan limbah, jadi
semakin rendah rasio F/M pengolah limbah semakin efisien. Namun, pengendapan bisa
menjadi tidak baik jika terjadi gangguan yang tiba-tiba pada parameter fisik (suhu dan pH),
kekurangan makanan (contoh N, suhu, mikronutrien), dan kehadiran zat racun (seperti
logam berat) yang dapat menyebabkan hancurnya sebagian flok yang sudah terbentuk.

Selain limbah cair terdapat limbah padat yang berupa lumpur, hasil samping dari
sistem pengolahan ini. Lumpur hasil olahan digunakan sebagai bahan campuran pembuatan
conblock dan batako press serta pupuk organik. Melalui upaya pengelolaan yang telah
dilakukan, maka air limbah yang dibuang tidak akan mencemari lingkungan.

32
5.2. Kesimpulan

- proses penggunaan pengolahan limbah dengan lumpur aktif ini memiliki efisiensi sistem
IPAL yang cukup tinggi, terutama untuk TSS, BOD dan FE
- hasil samping dari sistem pengolahan limbah dengan lumpur aktif dapat digunakan
sebagai bahan campuran pembuatan conblock dan batako press serta pupuk organik
- Penerapan Pengolahan limbah denga sistem lumpur aktif harus seimbang dengan
investasi industri utamanya. Walaupun hasilnya memuaskan, namun biaya investasi
pembangunan instalasi ini cukup mahal sekitar 2,5 milyard rupiah.

33
DAFTAR PUSTAKA

Herlambang, Ari, M.S, dkk. Jurnal Penelitian Pengolahan Limbah Tekstil dengan Sistem
Lumpur Aktif.1999,Jakarta. Kelompok Teknologi Pengolahan Air Bersih dan Limbah Cair
Direktorat Teknologi Lingkungan, Diputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, Material, dan
Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi

34

Anda mungkin juga menyukai