Anda di halaman 1dari 44

1

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem persarafan tersusun membentuk sistem saraf pusat (SSP) dan

sistem saraf tepi (SST). SSP terdiri atas otak dan medula spinalis sedangkan SST

merupakan susunan saraf diluar SSP yang membawa pesan ke dan dari sistem

saraf pusat. Sistem persarafan berfungsi dalam mempertahankan kelangsungan

hidup melalui berbagai mekanisme sehingga tubuh tetap mencapai keseimbangan.

Dalam menegakkan diagnosis penyakit saraf diperlukan pemeriksaan

anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan mental dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan fisik neurologi merupakan pemeriksaan yang memerlukan ketelitian

dan sistimatik sehingga dapat menentukan diagnosis klinis dan topik dari

kemungkinan diagnosis ini maka perencanaan pemeriksaan penunjang dapat

dilaksanakan secara rasional dan objektif.

Agar pemeriksaan saraf cranial bisa memberikan informasi yang

diperlukan, diusahakan kerjasama yang baik antara pasien dan pemeriksa.

Sebelum mulai diperiksa, kegelishana penderita harus dihilangkan dan pendertita

harus diberikan penjelasan mengenai pentingnya pemeriksaan untuk dapat

menegakkan diagnosis.

Pemeriksaan fisik neurologi mencakup hal-hal sebagai berikut:

 Pemeriksaan tingkat kesadaran

 Pemeriksaan rangsangan meningeal

 Pemeriksaan saraf kranial


2

 Pemeriksaan fungsi motorik

 Pemeriksaan fungsi sensorik

 Pemeriksaan keseimbangan

 Pemeriksaan refleks fisiologis

 Pemeriksaan refleks patologis


3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemeriksaan Tingkat Kesadaran

Kesadaran diatur oleh ascending reticular activating system

(ARAS) dan kedua hemisfer otak. ARAS terdiri dari beberapa jaras saraf

yang menghubungkan batang otak dengan korteks serebri. Batang otak

terdiri dari medulla oblongata, pons, dan mesensefalon. Batang otak

berperan penting dalam mengatur kerja jantung, pernapasan, sistem saraf

pusat, tingkat kesadaran, dan siklus tidur. Tingkat kesadaran secara

kualitatif dapat dibagi menjadi kompos mentis, apatis, somnolen, stupor,

dan koma. Kompos mentis berarti keadaan seseorang sadar penuh dan

dapat menjawab pertanyaan tentang dirinya dan lingkungannya. Apatis

berarti keadaan seseorang tidak peduli, acuh tak acuh dan segan

berhubungan dengan orang lain dan lingkungannya. Somnolen berarti

seseorang dalam keadaan mengantuk dan cenderung tertidur, masih dapat

dibangunkan dengan rangsangan dan mampu memberikan jawaban secara

verbal, namun mudah tertidur kembali. Sopor/stupor berarti kesadaran

hilang, hanya berbaring dengan mata tertutup, tidak menunjukkan reaksi

bila dibangunkan, kecuali dengan rangsang nyeri. Koma berarti kesadaran

hilang, tidak memberikan reaksi walaupun dengan semua rangsangan

(verbal, taktil, dan nyeri) dari luar. Karakteristik koma adalah tidak adanya

arousal dan awareness terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Pada


4

pasien koma terlihat mata tertutup, tidak berbicara, dan tidak ada

pergerakan sebagai respons terhadap rangsangan auditori, taktil, dan nyeri.

Tingkat kesadaran yang menurun biasanya diikuti dengan

gangguan isi kesadaran.Sedangkan gangguan isi kesadaran tidak selalu

diikuti dengan penurunan tingkat kesadaran. Penurunan tingkat kesadaran

di ukur dengan Glasqow Coma Scale.

Pemeriksaan GCS didasarkan pada pemeriksaan respon dari mata,

bicara dan motorik. Cara penilaiannya adalah dengan menjumlahkan nilai

dari ketiga aspek tersebut di atas. rentang nilainya adalah 3 (paling jelek)

sampai dengan 15 (normal). Pelaporan nilai GCS dapat juga dilakukan

dengan cara menyebutkan nilai dari masing-masing komponen, misal E4,

V5, M6, artinya respon membuka mata 4, verbal 5, dan motorik 6.

Tingkat Kesadaran :
-Composmentis jika nilai GCS 15
-Somnolen atau letargis jika nilai GCS 13-14
Soporo komatus jika nilai GCS 8-12
-Koma jika nilai GCS 3-7

GCS :

1. Eye :

-saat dokter mendatangi pasien,pasien spontan membuka mata dan

memandang dokter : skor 4.

-pasien membuka mata saat namanya dipanggil atau diperintahkan untuk

membuka mata oleh dokter : skor 3.


5

-pasien membuka mata saat dirangsang nyeri (cubitan) : skor 2.

-pasien tidak membuka mata dengan pemberian rangsang apapun: skor 1.

2. Verbal :

-pasien berbicara secara normal dan dapat menjawab pertanyaan dokter

dengan benar (pasien menyadari bahwa ia ada di rumah sakit,menyebutkan

namanya,alamatnya,dll) : skor 5.

-pasien dapat berbicara normal tapi tampak bingung,pasien tidak tahu

secara pasti apa yang telah terjadi pada dirinya,dan memberikan jawaban

yang salah saat ditanya oleh dokter : skor 4.

-pasien mengucapkan kata “jangan/stop” saat diberi rangsang nyeri,tapi

tidak bisa menyelesaikan seluruh kalimat,dan tidak bisa menjawab seluruh

pertanyaan dari dokter : skor 3.

-pasien tidak bisa menjawab pertanyaan sama sekali,dan hanya

mengeluarkan suara yang tidak membentuk kata (bergumam) : skor 2.

-pasien tidak mengeluarkan suara walau diberi rangsang nyeri (cubitan) :

skor 1.

3 Motoric :

-pasien dapat mengikuti perintah dokter,misalkan “Tunjukkan pada saya 2

jari!” : skor 6.

-pasien tidak dapat menuruti perintah,tapi saat diberi rangsang nyeri

(penekanan ujung jari/penekanan strenum dengan jari-jari tangan terkepal)

pasien dapat melokalisir nyeri : skor 5.

-pasien berusaha menolak rangsang nyeri : skor 4.


6

-saat diberi rangsang nyeri,kedua tangan pasien menggenggam dan di

kedua sisi tubuh di bagian atas sternum (posisi dekortikasi) : skor 3.

-saat diberi rangsang nyeri,pasien meletakkan kedua tangannya secara

lurus dan kaku di kedua sisi tubuh (posisi deserebrasi) : skor 2.

-pasien tidak bergerak walaupun diberi rangsang nyeri : skor 1.

2.2 Pemeriksaan Rangsangan Meningeal

Mekanisme perangsangan selaput otak disebabkan oleh pergeseran

struktur-struktur intrakranial atau oleh ketegangan saraf spinal yang

hipersensifitas dan meradang. Tanda-tanda perangsangan selaput otak dan

gejalanya ini bervariasi bergantung pada berat ringan proses yang terjadi.

A. Pemeriksaan Kaku Kuduk (Nuchal Neck Rigidity)

Kaku kuduk merupakan gejala yang sering dijumpai pada

kelainan rangsangan selaput otak. Kita jarang mengdiagnosa

meningitis tanpa adanya gejala kaku kuduk. Pemeriksaan Kaku

kuduk jangan dilakukan pada pasien dengan servikal tidak stabil

seperti pada trauma servikal.

Cara :

 Pasien tidur terlentang tanpa bantal

 Tangan pemeriksa ditempelkan dibawah kepala yang sedang

berbaring, kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan

diusahakan agar dagu mencapai dada

 Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan atau tidak


7

 Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu

tidak dapat mencapai dada.

 Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat

 Hasil negatif : leher dapat bergerak dengan mudah,

dagu dapat menyentuh sternum, atau fleksi leher.

 Hasil positif / Kaku kuduk : adanya rigiditas leher dan

keterbatasan gerakan fleksi leher.

Gambar 2.16 Pemeriksaan Kaku Kuduk

B. Pemeriksaan Brudzinski I

Cara :

- Pasien berbaring dalam sikap terlentang

- Tangan pemeriksa ditempelkan dibawah kepala pasien yang

sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi sebaiknya

ditempatkan di dada pasien untuk mencegah terangkatnya

badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu

menyentuh dada.
8

Hasil positif : bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan

fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara

reflektorik.

Gambar 2.17 Pemeriksaan Brudzinski I

C. Pemeriksaan Brudzinski II

Cara :

- Pasien berbaring terlentang

- Tungkai yang akan dirangsang di fleksikan pada sendi lutut,

kemudian tungkai atas di eksentesikan pada sendi panggul.

Hasil positif : bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi

tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul.

D. Pemeriksaan Kernig

Cara :

- Pasien diposisikan berbaring


9

- Paha difleksikan pada persendian panggul sampai membuat

sudut 90 derajat -Setelah itu tungkai bawah dieksentesikan

pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari

1350 terhadap paha

Hasil positif: bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau

kurang dari sudut 1350

Gambar 2.18 Pemeriksaan Kernig

2.3 Pemeriksaan Saraf Kranial

Saraf kranialis dibagi menjadi 12 jenis, yaitu :

1. Saraf I (N. Olfaktorius)

Pemeriksaan dap at secara subyektif dan obyektif. Subyektif

hanya ditanyakan apakah penderita masih dap at membaui bermacam-

macam bau dengan betul. Obyektif dengan beberapa bahan yang biasanya

sudah dikenal oleh penderita dan biasanya bersifat aromatik dan tidak

merangsang seperti : golongan minyak wangi, sabun, tembakau, kopi,

vanili, dan sebagainya (3 atau 4 macam). Bahan yang merangsang

mukosa hidung (alkohol, amonia) tidak dipakai karena akan


10

merangsang saraf V. Yang penting adalah memeriksa kiri, kanan dan

yang diperiksa dari yang normal. Ini untuk pegangan, sebab tiap

orang tidak sama. Kemudian abnormal dibandingkan dengan yang

normal. Tetapi dalam pembuatan status dilaporkan yang abnormal

dahulu.

Cara Pemeriksaan :

 Kedua mata d itutup

 Lubang hidung ditutup

 Dilihat apakah tidak ada gangguan pengaliran udara

 Kemudian bahan satu persatu didekatkan pada lubang hidung

yang terbuka dan penderita diminta menarik nafas panjang,

kemudian diminta mengidentifikasi bahan tersebut.

Yang harus diperhatikan pada pemeriksaan adalah :

 Penyakit pada mukosa hidung, baik yang obstruktif (rinitis) atau

atropik (ozaena) akan menimbulkan positif palsu.

 Pada orangtua fungsi pembauan bisa menurun (hiposmia).

 Yang penting adalah gangguan pembauan yang sesisi

(unilateral) tanpa kelainan intranasal dan kurang disadari

penderita (kronik), perlu dipikirkan suatu glioma lobus

frontalis, meningioma pada crista sphenoidalis dan tumor

parasellar. Fungsi pembauan juga bisa hilang pada trauma

kapitis (mengenai lamina cribosa yang tipis) dan meningitis

basalis (sifilis, tuberkulo sa).


11

 Untuk membedakan hambatan pembauan karena penyebab

psychic dengan organik, pemeriksaan tidak hanya memakai zat

yang merangsang N II, tapi juga yang merangsang N V (seperti

amoniak). Meskipun N I tidak dapat membau karena rusak,

tetapi N V tetap dapat menerima rangsangan amoniak. Bila

dengan amoniak tetap tidak membau apa-apa maka

kemungkinan kelainan psikis.

2. Saraf II (N. Opticus)

Pemeriksaan meliputi :

2.1. Penglihatan sentral

Untuk keperluan praktis, membedakan kelainan refraksi dengan

retina digunakan PIN HOLE (apabila penglihatan menjadi lebih jelas

maka berarti gang guan visus akibat kelainan refraksi). Lebih tepat lagi

dengan optotype Snellen. Yang lebih sederhana lagi memakai jari-jari

tangan dimana secara normal dapat dilihat pada jarak 60 m dan gerakan

tangan dimana secara normal dapat dilihat pada jarak 300 m.


12

2.2. Penglihatan Perifer

diperiksa dengan :

a. Tes Konfrontasi.

 Pasien diminta untuk menutup satu mata, kemudian menatap

mata pemeriksa sisi lain. Mata pemeriksa juga ditutup pada sisi

yang lain, agar sesuai dengan lapang pandang pasien.

 Letakkan jari tangan pemeriksa atau benda kecil pada lapang

pandang pasien dari 8 arah.

 Pasien diminta untuk menyatakan bila melihat benda tersebut.

Bandingkan lapang pandang pasien dengan lapang pandang

pemeriksa.

 Syarat pemeriksaan tentunya lapang pandang pemeriksa harus

normal.
13

b. Perimetri/Kampimetri

Biasanya terdapat di bagian mata dan hasilnya lebih teliti daripada

tes konfrontasi.

2.3. Melihat warna

Persepsi warna den gan gambar stilling Ishihara. Untuk

mengetahui adanya polineuropati pada N II.

2.4. Pemeriksaan Fundus Occuli

Pemeriksaan ini menggunakan alat oftalmoskop. Pemeriksaan

ini dilakukan untuk melihat apakah pada papilla N II terdapat :

1. Stuwing papil atau protusio N II

Kalau ada stuwing papil yan g dilihat adalah papilla tersebut

mencembung atau menonjol oleh karena adanya tekanan intra cranial

yang meninggi dan disekitarnya tampak pembuluh darah yang

berkelok-kelok dan adanya bendungan.

2. Neuritis N II

Pada neuritis N II stadium pertama akan tampak adanya ud ema

tetapi papilla tidak menyembung dan bial neuritis tidak acut lagi

kan terlihat pucat.

Dengan oftalmosko p yang perlu diperhatikan adalah :

 Papilla N II, apakah mencembung batas -batasnya.

 Warnanya

 Pembuluh darah

 Keadaan Retina
14

3. Saraf III (N. Oculo-Motorius)

Pemeriksaan meliputi :

1. Retraksi kelopak mata atas

Bisa didapatkan pada keadaan :

 Hidrosefalus (tanda matahari terbit)

 Dilatasi ventrikel III/aquaductus Sylvii

 Hipertiroidisme

2. Ptosis

Pada keadaan normal bila seseorang melihat kedepan, maka

batas kelopak mata atas akan memo tong iris pada titik yang sama

secara bilateral. Bila salah satu kelopak mata atas memotong iris lebih

rendah daripada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan

kepala ke belakang/ ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau

mengangkat alis mata secara kronik dapat dicurigai sebagai ptosis.


15

Penyebab Ptosis adalah:

 False Ptosis : enophtalmos (pthisis bulbi), pembengkakan

kelopak mata (chalazion).

 Disfungsi simpatis (sindroma horner).

 Kelu mpuhan N. III

 Pseudo-ptosis (Bell’s palsy, blepharospasm)

 Miopati (miastenia gravis).

3. Pupil

Pemeriksaan pupil meliputi :

 Bentuk dan ukuran pupil.

Bentuk yang normal adalah bulat, jika tidak maka ada

kemungkinan bekas operasi mata. Pada sifilis bentuknya

menjadi tidak teratur atau lonjong/segitiga. Ukuran pupil yang

normal kira-kira 2-3 mm (garis tengah). Pupil yang mengecil

disebut Meiosis, yan g biasanya terdapat pada Sindroma Horner,

pupil Argyl Robertson( sifilis, DM, multiple sclerosis).

Sedangkan pupil yang melebar disebut mydriasis, yang biasanya


16

terdapat pada parese/ paralisa m. sphincter dan kelainan psikis

yaitu histeris

 Perbandingan pupil kanan dengan kiri

Perbedaan diameter pupil sebesar 1 mm masih dianggap

normal. Bila antara pupil kanan dengan kiri sama besarnya

maka disebut isokor. Bila tidak sama besar disebut anisokor. Pada

penderita tidak sadar maka harus dibedakanapakah anisokor

akibat lesi non neurologis(kelainan iris, penurunan visus)

ataukah neurologis (akibat lesi batang otak, saraf perifer N. III,

erniasi tentorium.

 Refleks pupil

Terdiri atas :

- Reflek cahaya

Diperiksa mata kanan dan kiri sendiri-sendiri. Satu mata ditutup

dan penderita disuruh melihat jauh supaya tidak ada komodasi

dan supaya otot sp hincter relaksasi. Kemudian diberi cahaya

dari samping mata. Pemeriksa tidak boleh berada ditempat

yang cahayanya langsung mengenai mata. Dalam keadaan

normal maka pupil akan kontriksi. Kalau tidak maka ada

kerusakan pada arcus reflex (mata---N. Opticus---pusat---N.

Oculomotorius)
17

- Reflek akomodasi

Penderita disuruh melihat benda yang dipegang pemeriksa

dan disuruh mengikuti gerak ben da tersebut dimana benda

tersebut digerakkan pemeriksa menuju bagian tengah dari

kedua mata penderita. Maka reflekto ris pupil akan kontriksi.

Reflek cahaya dan akomodasi penting untuk melihat pupil

Argyl Robetson dimana reflek cahayanya negatif namun reflek

akomodasi positif.

- Reflek konsensual

Adalah reflek cahaya disalah satu mata, dimana reaksi

juga akan terjadi pada mata yang lain. Mata tidak boleh

langsung terkena cahaya, diantara kedua mata diletakkan

selembar kertas. Mata sebelah dib eri cahaya, maka normal

mata yang lain akan kontriksi juga.

4. Gerakan bola mata (bersama-sama dengan N. IV dan VI)

Gerakan bola mata yang diperiksa adalah yang diinervasi oleh


18

nervus III, IV dan VI. Dimana N III menginervasi m. Obliq inferior

(yang menarik bala mata keatas), m. rectus superior, m. rectus

media, m. rectus inferior. N IV menginervasi m. Obliq Superior dan

N VI menginervasi m. rectus lateralis.

N III selain menginervasi otot-otot mata luar diatas juga

menginervasi otot sphincter pupil. Pemeriksaan dimulai d ari otot-otot

luar yaitu penderita disuruh mengikuti suatu benda kedelapan jurusan.

Yang harus diperhatikan ialah melihat apakah ada salah satu

otot yang lumpuh. Bila pada 1 atau 2 gerakan mata ke segala jurusan

dari otot-otot yang disarafi N III berkurang atau tidak bisa sama sekali,

maka disebut opthalmo plegic externa. Kalau yang parese otot bagian

dalam (otot sphincter pupil) maka disebut opthalmoplegic interna. Jika

hanya ada salah satu gangguan maka disebut opthalmop legic partialis,

sedangkan kalau ada gangguan kedua macam otot luar dan dalam

disebut opthalmoplegic totalis

5. Sikap Bola Mata

Sikap bola mata yaitu kedudukan mata pada waktu istirahat. Kelainan–

kelaian yang tampak diantaranya adalah :

- Exopthalmus, dimana mata terdorong kemuka karena proses


19

mekanis retroorbital

- Strabismus yang dapat divergen atau convergen.Secara subyektif

ditanyakan apakah ada diplopia. Pemeriksaan sub yektif ini penting

karena kadang-kadang strabismus yang ringan tak kelihatan pada

pemeriksaan obyektif.

- Nystagmus atau gerakan bola mata yang spontan. Dalam hal ini

tidak hanya memeriksa otot-otot yang menggerakkan bola mata sja, tetapi

sekaligus melihat adanya kelainan dalam keseimbangan atau N VIII.

- Deviasi conjugae, adalah sikap bola mata yang dalam keadaan

istirahat menuju kesatu jurusan tanpa dapat dipengaruhi oleh

kesadaran, dengan sumbu kedua mata tetap sejajar secara terus -

menerus. Lesi penyebab bisa di lobus frontalis atau di batang otak,

bisa lesi destruktif (infark) atau irirtatif (jaringan sikatriks post

trauma/ epilep si fokal & perdarahan)

4. Saraf V (N. Trigeminus)

Pemeriksaan meliputi :

1. Sensibilitas

Sensibilitas N V ini dap at dibagi 3 yaitu :

- bagian dahi, cabang keluar dari foramen supraorbitalis

- bagian pipi, keluar dari foramen infraorbitalis

- bagian dagu, keluar dari foramen mentale.

Pemeriksaan dilakukan pada tiap cabang dan dibandingkan kanan


20

dengan kiri.

2. Motorik

Penderita disuruh menggigit yang keras dan kedua tangan

pemeriksa ditaruh kira-kira didaerah otot maseter. Jika ked ua otot

masseter berkontraksi maka akan terasa pada tangan pemeriksa. Kalau

ada parese maka dirasakan salah satu otot lebih keras.

3. Reflek

Penderita diminta melirik kearah laterosuperior, kemudian dari

arah lain tepi kornea disentuhkan dengan kapas agak basah. Bila

reflek kornea mata positif, maka mata akan ditutupkan.


21

5. Saraf VII (N. Facialis)

A. Dalam keadaan diam, perhatikan :

- asimetri muka (lipatan nasolabial)

- gerakan-gerakan abnormal (tic fasialis, grimacing, kejang

tetan us/rhesus sardonicus, tremor, dsb)

B. Atas perintah pemeriksa

1. Mengangkat alis, bandingkan kanan dengan kiri.

2. Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri), kemudian

pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut

(bandingkan kekuatan kanan dan kiri).

3. Memperlihatkan gigi (asimetri).

4. Bersiul dan mencucu (asimetri/deviasi ujung bibir).

5. Meniup sekuatnya (bandingkan kekuatan udara dari pipi

masing -masing).

6. Menarik sudut mulut ke bawah (banding kan konsistensi

otot platisma kanan dan kiri). Pada kelemahan ringan, kadang-

kadang tes ini dapat untuk mendetek si kelemahan saraf

fasialis pada stadium dini.


22

Melalui chorda tympani. Pemeriksaan ini membutuhkan zat-zat

yang mempunyai rasa :

- manis, dipakai gula

- pahit, dipakai kinine

- asin, dipakai garam

- asam, dipakai cuka

Paling sedikit menggunakan 3 macam. Penderita tidak

boleh menutup mulut dan mengatakan perasaannya dengan

menggunakan kode-kode yang telah disetujui bersama antara

pemeriksa dan penderita. Penderita diminta membuka mulut dan

lidah dikeluarkan. Zat-zat diletakkan d i 2/3 bagian depan lidah.

Kanan dan kiri diperiksa sendiri-sendiri, mula-mula diperiksa yang

normal.

6. Saraf VIII (N. Acusticus)

Pemeriksaan pendengaran

1. Detik arloji

Arloji ditempelkan ditelinga, kemudian dijauhkan sedikit

demi sedikit, sampai tak mendengar lagi, dibandingkan kanan

dan kiri.
23

2. Gesekan jari

3. Tes Weber

Garpu tala yang bergetar ditempelkan dipertengahan

dahi. Dibandingkan mana yang lebih keras, kanan/ kiri.

4. Tes Rinne

Garpu tala yang bergetar ditempelkan pada Processus

mastoideus. Sesudah tak mendengar lagi dipindahkan ke

telinga maka terdengar lagi. Ini karena penghantaran udara

lebih baik daripada tulang.


24

Pemeriksaan dengan garpu tala penting dalam

menentukan nervus deafness atau tranmission deafness.

Pemeriksaan pendengaran lebih baik kalau penderita ditutup

matanya untuk menghindari kebohongan.

7. Saraf IX-X (N. Glossopha ryngeus-N. Vagus)

Pemeriksaan saraf IX dan X terbatas pada sensasi bagian belakang

rongga mulut atau 1/3 belakang lidah dan faring, otot-otot

faring dan pita suara serta reflek muntah/menelan/batuk.

a. Gerakan Palatum

Penderita diminta mengucapkan huruf a atau ah dengan

panjang, sementara itu pemeriksa melihat gerakan uvula dan

arcus pharyngeus. Uvula akan berdeviasi kearah yang no

rmal (berlawanan dengan gerakan menjulurkan lidah pada

waktu pemeriksaan N XII).


25

b. Reflek Muntah dan pemeriksaan sensorik

Pemeriksa meraba dinding belakang pharynx dan bandngkan

refleks muntah kanan dengan kiri. Refleks ini mungkin

menhilang pada pasien lanjut usia.

c. Kecepatan menelan dan kekuatan batuk

8. Saraf XI (N. Accesssorius)

Hanya mempunyai komponen motorik.

Pemeriksaan :

a. Kekuatan otot sternocleidomastoideus diperiksa dengan

menahan gerakan fleksi lateral dari kep ala/leher penderita

atau sebaliknya (pemeriksa yang melawan / mendorong

sedangkan penderita yang menahan pada posisi lateral flexi).


26

b. Kekuatan m. Trapezius bagian atas diperiksa dengan menekan

kedua bahu penderita kebawah, sementara itu penderita

berusaha mempertahankan posisi kedua bahu terangkat

(sebaliknya posisi penderita duduk dan pemeriksa berada

dibelakang penderita)

9. Saraf XII (N. Hypoglossus)

Pada lesi LMN, maka akan tamapk adanya atrofi lidah dan

fasikulasi (tanda dini berupa perubahan pada pinggiran lidah dan

hilangnya papil lidah)

Pemeriksaan :

a. Menjulurkan lidah

Pada lesi unilateral, lidah akan berdeviasi kearah lesi. Pada

Bell,s palsy (kelumpuhan saraf VII) bisa menimbulkan positif

palsu.

b. Menggerakkan lidah kelateral

Pada kelumpuhan bilateral dan berat, lidah tidak bisa

digerkkan kearah samping kanan dan kiri.

c. Tremor lidah
27

Diperhatikan apakah ada tremor lidah dan atropi. Pada lesi

perifer maka tremor dan atropi papil positif.

d. Artikulasi

Diperhatikan bicara dari penderita. Bila terdapat pareses maka

didapatkan dysathria.

2.4 Pemeriksaan Fungsi Motorik

a. Pengamatan

 Gaya berjalan dan tingkah laku

 Simetri tubuh dan extermitas

 Kelumpuhan badan dan anggota gerak

b. Gerakan volunter

Yang di periksa adalah pasien atas pemeriksa, misalnya

 Mengangkat kedua tangan dan bahu

 Fleksi dan extensi artikulus kubiti

 Mengepal dan membuka jari tangan

 Mengangkat kedua tungkai pada sendi panggul

 Fleksi dan ekstensi artikulus genu

 Plantar fleksi dan dorsal fleksi plantar kaki


28

 Gerakan jari-jari kaki

c. Palpasi

 Pengukuran besar otot

 Nyeri tekan

 Kontraktur

 Konsistensi (kekenyalan)

 Konsistensi otot yang meningkat : meningitis, kelumpuhan

 Konsitensi otot yanag menurun terdapat pada: kelumpuhan akibat lesi,

kelumpuhan akibat denerfasi otot

Langkah-Langkah Pemeriksaan:

- Mintalah pasien untuk berbaring telentang pada ranjang pemeriksaan

- Mintalah pasien untuk rileks (perhatian dialihkan dengan mengajak berbicara)

Pada pemeriksaan anggota gerak atas :

- Tangan pemeriksa memegang siku pasien untuk menyangga

- Dengan tangan yang lain rotasikan lengan pasien

- Fleksi dan ekstensi pada pergelangan tangan, siku dan pergelangan lengan

Pada pemeriksaan anggota gerak bawah :

- Rotasikan betis pasien

- Angkat dengan cepat lutut pasien sehingga ke posisi fleksi

- Pemeriksaan klonus lutut: dengan kondisi pasien rilek dan lutut ekstensi; tekan

dengan keras dengan ibu jari dan jari telunjuk disuperior lutut dan dorong kearah

lutut selama beberapa detik


29

- Pemeriksaan klonus pergelangan kaki : tahan betis pasien dan fleksikan 900

pada lutut dan pergelangan kaki. Secara cepat dorsifleksikan

Gambar 2.1 Pemeriksaan Anggota Gerak Bawah

Kekuatan otot :

Pemeriksaan kekuatan otot dengan memberi perintah kepada pasien

untuk bergerak secara aktif melawan tahanan pemeriksa. Kekuatan tiap-tiap

kelompok otot di lengan dan di tungkai harus selalu dinilai. Setiap gerakan pasien

harus dibandingkan dengan kekuatan pemeriksa sendiri atau dengan yang

dianggap kekuatan normal pasien. Bandingkan satu sisi dengan sisi lainnya.

Berikut ini adalah skala Arbitrer yang lazim dipakai untuk menunjukkan kekuatan

otot :

0: Tidak Ada : Tidak ada kontraksi otot

1: Sangat Lemah : Hanya ada sedikit kontraksi

2: Lemah : Gerakan yang dibatasi oleh gravitasi

3: Cukup Kuat : Gerakan melawan gravitasi


30

4: Baik : Gerakan melawan gravitasi dengan sedikit tahanan

5: Normal : Gerakan melawan gravitasi dengan tahanan penuh

Pemeriksaan Fleksi Lengan Bawah

Langkah-Langkah Pemeriksaan :

- Pasien diminta untuk mengepalkan tinju dan memfleksikan lengan bawahnya

- Pemeriksa harus memegang tinju atau pergelangan pasien

- Mintalah pasien untuk menarik lengannya kearah dirinya sendiri dengan

melawan tahanan pemeriksa, dengan demikian dapat dinilai kekuatan otot bisep

Gambar 2.2 Pemeriksaan Fleksi Lengan Bawah

Pemeriksaan Ekstensi Lengan Bawah :

Langkah-Langkah Pemeriksaan :

-Mintalah pasien untuk mengabduksikan lengannya dan mempertahankannya di

pertengahan di antara fleksi dan ekstensi

-Sokonglah lengan pasien dengan memegang pergelangan tangannya

-Pasien diminta untuk mengekstensikan lengannya melawan tahanan pemeriksa

-Lakukan pada lengan kanan dan kiri


31

Gambar 2.3 Pemeriksaan Ekstensi Lengan Bawah

Pemeriksaan Ekstensi Pergelangan Tangan :

Langkah-Langkah Pemeriksaan :

- Mintalah pasien untuk mengepalkan tangannya

- Mintalah pasien untuk menahan dorongan pemeriksa

- Lakukan pada tangan kanan dan kiri

Gambar 2.4 Pemeriksaan Ekstensi Pergelangan Tangan

Pemeriksaan Kekuatan Genggaman Tangan :

Langkah-Langkah Pemeriksaan :

- Lengan pasien dalam posisi ekstensi

- Mintalah pasien untuk menggengam 2 jari pemeriksa (jari telunjuk dan tengah)

sekuat mungkin
32

- Pemeriksa menarik jarinya dari genggaman pasien

- Pemeriksaan genggaman dilakukan simultan pada tangan kanan dan kiri

Gambar 2.5 Pemeriksaan Kekuatan Genggaman Tangan

Pemeriksaan Abduksi Jari Tangan :

Langkah-Langkah Pemeriksaan :

- Posisikan tangan pasien dengan permukaan palmar dibawah dan jari-jari melebar

- Mintalah pasien untuk mempertahankan jari-jarinya ketika pemeriksa

mengerakkan

- Lakukan pada tangan kanan dan kiri

Gambar 2.6 Pemeriksaan Abduksi Jari Tangan


33

Pemeriksaan Fleksi Paha :

Langkah-Langkah Pemeriksaan :

- Pemeriksa meletakan tangannya diatas paha pasien

- Pasien diminta untuk mengangkat tungkai bawah melawan tahanan pemeriksa

- Lakukan pada paha kanan dan kiri

Gambar 2.7 Pemeriksaan Fleksi Paha

Pemeriksaan Ekstensi Paha :

Langkah-Langkah Pemeriksaan :

- Pemeriksa meletakan tangannya dibawah paha pasien

- Pasien diminta untuk mendorong paha ke bawah melawan tahanan pemeriksa

- Lakukan pada paha kanan dan kiri

Pemeriksaan Fleksi Sendi Lutut :

Langkah-Langkah Pemeriksaan :

- Kaki pasien dalam kondisi rileks di atas tempat tidur

- Posisikan tungkai bawah paha pasien sehingga lutut dalam keadaan fleksi
34

- Pasien diminta untuk menarik tungkai bawah ke bawah melawan tarikan ke atas

pemeriksa

- Lakukan pada tungkai kanan dan kiri

Gambar 2.8 Pemeriksaan Fleksi Sendi Lutut

Pemeriksaan Ekstensi Sendi Lutut

Langkah-Langkah Pemeriksaan :

- Kaki pasien dalam kondisi rileks di atas tempat tidur

- Posisikan tungkai bawah paha pasien sehingga lutut dalam keadaan fleksi

- Pasien diminta untuk meluruskan tungkai bawah melawan dorongan tangan

pemeriksa

- Lakukan pada tungkai kanan dan kiri


35

Gambar 2.9 Pemeriksaan Ekstensi Sendi Lutut

Pemeriksaan Dorsofleksi dan Plantarfleksi :

Langkah-Langkah Pemeriksaan :

- Pemeriksa meletakkan tangannya di permukaan dosum pedis pasien

- Mintalah pasien untuk menahan tarikan tangan pemeriksa

- Pemeriksa meletakkan tangannya di permukaan plantar pedis pasien

- Mintalah pasien untuk mendorong tangan pemeriksa

- Lakukan pada tungkai kanan dan kiri

Gambar 2.10 Pemeriksaan Dorsifleksi dan Plantarfleksi

2.5 Pemeriksaan Fungsi Sensorik

Pemeriksaan fungsi sensorik merupakan pemeriksaan yang bersifat

subjektif karena bergantung pada perasaan penderita. Pemeriksaan hanya

dapat dilakukan pada pasien dalam keadaan sadar dan koperatif untuk
36

memberikan respon terhadap stimulus yang diberikan oleh pemeriksa.

Pemeriksaan ini juga membutuhkan konsentrasi, baik dari pemeriksa

maupun pasien.

Pemeriksaan Sensasi Taktil :

Langkah-Langkah Pemeriksaan :

- Pemeriksa menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan

- Meminta penderita untuk menutup matanya

- Dengan menggunakan ujung kapas tempelkan/ sentuhan secara ringan

pada satu titik pada kulit tanpa memberi tekanan jaringan subkutan

- Meminta penderita untuk menyatakan “YA” atau “TIDAK” pada setiap

perangsangan

- Meminta pasien untuk menyebutkan daerah yang dirangsang

- Meminta pasien untuk membedakan dua titik yang dirangsang

Pemeriksaan Sensasi Nyeri Superfisial

Langkah-Langkah Pemeriksaan :

- Pemeriksa menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan

- Memilih dengan benar alat yang akan dipakai (dengan menggunakan


neuro-tip (berujung tajam) dan hindari menggunakan jarum suntik)

- Meminta penderita untuk menutup matanya

- Mencoba jarum terhadap dirinya sendiri

- Melakukan rangsangan dengan intensitas minimal tanpa menimbulkan


luka/perdarahan
37

- Melakukan rangsangan dengan ujung tajam dan tumpul secara


bergantian

- Meminta penderita untuk menyebutkan apakah rangsangannya tajam


atau tumpul

- Menanyakan apakah ada perbedaan intensitas ketajaman rangsangan

Pemeriksaan Sensasi Suhu

Langkah-Langkah Pemeriksaan :

- Pemeriksa menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan

- Memilih dengan benar alat yang akan dipakai (dengan menggunakan 2

tabung reaksi yang diisi dengan air panas dan air dingin, apabila

tersedia)

- Sentuhkan pada kulit pasien dan mintalah pada pasien untuk

menyebutkan panas atau dingin.

2.6 Pemeriksaan Keseimbangan

1. Tes Romberg

Langkah :

- Melepaskan alas kaki

- Pasien berdiri dengan kedua tungkai rapat atau saling menempel

- Lalu perintahkan pasien menutup mata

- Pemeriksa harus berada di dekat pasien untuk mengawasi bila pasien


tiba-tiba terjatuh

- Pasien berdiri selama 30 detik

Hasil positif : bila pasien terjatuh <30 detik


38

2. Tes Tandem Walking

Langkah :

- Pasien diminta untuk berjalan pada satu garis lurus di atas lantai

dengan cara menempatkan satu tumit di antara ujung jari kaki yang

berlawanan, baik dengan mata terbuka atau tertutup

3. Tes melangkah di tempat (Stepping Test)

Langkah :

- Pasien diperintahkan untuk jalan ditempat dengan mata tertutup

sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa

- Sampaikan kepada pasien bahwa ia harus berusaha agar tetap di

tempat dan tidak beranjak dari tempatnya selama tes ini

Hasil positif : bila kedudukan akhir penderita beranjak >1 meter dari

tempat semula atau badan berputar > 300

4. Tes Salah Tunjuk (Past Pointing)

Langkah :

- Pemeriksa merentangkan lengannya dan mengeluarkan jari

telunjuk

- Pasien diperintahkan untuk merentangkan lengannya dan jari

telunjukknya menyentuh telunjuk pemeriksa

- Kemudian pasien menutup mata dan mengangkat lengannya

tinggi-tinggi (hingga vertikal) dan kemudian kembali ke posisi

semula

- Tes ini dilakukan dengan lengan kanan dan lengan kiri


39

Hasil positif : pada gangguan vestibular dan sereblar didapatkan

salah tunjuk (deviasi).

2.7 Reflek Fisiologis

a. Reflek Bisep:

Langkah:

• Posisi: dilakukan dengan pasien duduk, dengan membiarkan lengan

untuk beristirahat di pangkuan pasien, atau membentuk sudut

sedikit lebih dari 90 derajat di siku.

• Identifikasi tendon: minta pasien memfleksikan di siku sementara

pemeriksa mengamati dan meraba fossa antecubital. Tendon akan

terlihat dan terasa seperti tali tebal.

• Cara : ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon

m.biceps brachii, posisi lengan setengah diketuk pada sendi siku.

• Respon : fleksi lengan pada sendi siku


40

Gambar 2.11 Pemeriksaan Reflek Bisep

b. Reflek Trisep :

Langkah :

• Posisi :Dilakukan dengan pasien duduk. Dengan Perlahan tarik

lengan keluar dari tubuh pasien, sehingga membentuk sudut kanan

di bahu. atau lengan bawah harus menjuntai ke bawah langsung di

siku

• Cara : ketukan pada tendon otot triceps, posisi lengan fleksi pada
sendi siku dan sedikit pronasi

• Respon : ekstensi lengan bawah pada sendi siku

Gambar 2.12 Pemeriksaan Reflek Tricep

c. Reflek Brachiradialis

• Posisi: Dapat dilakukan dengan duduk. Lengan bawah harus

beristirahat longgar di pangkuan pasien.


41

• Cara : Ketukan pada tendon otot brachioradialis (Tendon melintasi

sisi ibu jari pada lengan bawah) jari-jari sekitar 10 cm proksimal

pergelangan tangan. Posisi lengan fleksi pada sendi siku dan sedikit

pronasi.

• Respons: - Flexi pada lengan bawah

- Supinasi pada siku dan tangan

Gambar 2.13 Pemeriksaan Reflek Barchiradialis

d. Reflek Patella

•Posisi klien: Dapat dilakukan dengan duduk atau berbaring terlentang

•Cara : ketukan pada tendon patella

•Respon : Plantar fleksi kaki karena kontraksi m.quadrisep femoris

Gambar 2.14 Pemeriksaan Reflek Patella


42

e. Reflek Achiles

• Posisi : Pasien duduk, kaki menggantung di tepi meja pemeriksaan.

Atau dengan berbaring terlentang dengan posisi kaki

melintasi diatas kaki di atas yang lain atau mengatur kaki

dalam posisi tipe katak.

• Identifikasi tendon: Mintalah pasien untuk plantar flexi

• Cara : Ketukan hammer pada tendon achilles

• Respon : Plantar fleksi kaki karena kontraksi m.gastrocnemius

Gambar 2.15 Pemeriksaan Reflek Achiles

2.8 Reflek Patologis

Bila dijumpai adanya kelumpuhan ekstremitas pada kasus-kasus tertentu.

a. Reflek Babinski:

• Pesien diposisikan berbaring supinasi dengan kedua kaki diluruskan

• Tangan kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien agar kaki

tetap pada tempatnya.


43

• Lakukan penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke

anterior

• Respon : posisitf apabila terdapat gerakan dorsofleksi ibu jari kaki

dan pengembangan jari kaki lainnya

b. Reflek Chaddok

• Penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar maleolus

lateralis dari posterior ke anterior

• Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari, disertai mekarnya

(fanning) jari-jari kaki lainnya.

c. Reflek Schaeffer

• Menekan tendon achilles

• Amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai

mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya

d. Reflek Oppenheim

• Pengurutan dengan cepat krista anterior tibia dari proksimal ke distal

• Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari kaki, disertai

mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya

e. Reflek Gordon

• Menekan pada musculus gastrocnemius (otot betis)

• Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari kaki, disertai

mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.


44

BAB III

PENUTUP

 Kesimpulan

 Pemeriksaan fisik neurologis sangat membantu dalam menegakkan

diagnosis penyakit syaraf. Oleh sebab itu diharapkan para dokter muda

mampu melakukan pemeriksaan fisik dengan baik dan benar.

 Pemeriksaan fisik neurologi sangat bervariasi mulai dari mengecek

kesadaran, fungsi sensorik dan motorik sampai refleks patologis.

 Diperlukan beberapa alat dan bahan untuk melakukan pemeriksaan fisik

neurologis, yang paling penting adalah hammer refleks, penlight, tusuk

gigi,, kapas, dan bebauan yang menyengat

Anda mungkin juga menyukai