Anda di halaman 1dari 2

Nama : Ni Luh Dea Kemuning

Absen : 05

NIM : 51811421

Angkatan : MM 51

Critical Review

Prestige Pricing Strategy as A Symbol of Social Class on Perfume Products


by Nyoman S. Subawa

1. Sepertinya akan lebih menarik jika penulis menggunakan branded bags untuk penelitian
daripada perfume. Kasuma, Yacob, Jamadin, Shafiee, dan Sulaiman dalam “Determinants of
purchasing luxury handbags among the generation Y” menulis bahwa tas desainer adalah
arm candy dan biasanya dipakai di tempat umum atau acara sosial. Untuk mendapatkan
perhatiaan dan diterima oleh masyarakat atau dikenal sebagai kelompok elit, konsumen
membeli tas mewah ini untuk membuat mereka terkesan (2016). Merujuk pada penelitian ini,
menurut saya branded bags akan lebih menunjukkan status sosial secara simbolis. Tovikkai
dan Jirawattanukool (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “An Exploratory Study on
Young Thai Women Consumer Behavior toward Purchasing Luxury Fashion Brands”
menyatakan bahwa konsumsi barang mewah mungkin saja signifikan bagi individu dalam
mencari status sosial dan representasi dalam masyarakat. Semakin tinggi status yang
diinginkan seorang individu, semakin mencolok konsumsi mereka. Han, Nunes, dan Dreze
(2010) juga menyatakan bahwa anggota kelas yang lebih tinggi mengkonsumsi barang-barang
yang mencolok untuk memisahkan diri dari kelas bawah, sementara anggota kelas bawah
mengkonsumsi secara mencolok untuk mengasosiasikan dan dianggap sebagai anggota kelas
yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa branded bags merupakan barang mencolok,
sedangkan parfum adalah barang yang lebih dikonsumsi secara pribadi karena tidak dengan
gamblang menunjukkan brand dari suatu barang mahal.
2. Jenis konsumen yang digunakan di penelitian sebaiknya lebih spesifik menjelaskan umur,
contohnya menggunakan kelompok umur dalam Generasi Y. Menurut McCrindle, 2006
dalam Kasuma et al, 2016, dikatakan bahwa Generasi Y telah memiliki keterpaparan terhadap
teknologi tinggi dan kemandirian ekonomi sejak masa kecil mereka, sebagai akibatnya
mereka selalu membelanjakan barang-barang teknologi dan merek yang dianggap memiliki
kualitas dan kelas. Selain itu, penelitian dengan menggunakan sampel konsumen dengan
gender spesifik juga dapat dilakukan. Misalnya dengan mengambil konsumen yang semuanya
wanita. Ani, 2009 dalam Tovikkai and Jirawattanukool, 2010 menyatakan bahwa wanita
muda tertarik dengan gaya hidup mewah selebriti seperti Paris Hilton dan Victoria Beckham
serta mereka dipengaruhi oleh mereka. Mereka menghabiskan banyak uang untuk pakaian
dan aksesoris desainer. Dari alasan ini, wanita muda adalah konsumen utama untuk produk
mewah.
3. Meskipun harga mengkonotasikan status, harga itu sendiri, bagaimanapun, tidak menentukan
keinginan akan suatu status merek. Pilihan merek dapat mengirimkan sinyal sosial yang
berarti kepada konsumen lain, tentang tipe orang yang menggunakan merek itu” (Wernerfelt
1990 dalam Han, Nunes, Dreze 2010). Yeoman dan McMahon-Beattie juga menyatakan
perusahaan barang branded harus meningkatkan inovasi dan kuallitas, dan memberikan
pengalaman tanpa cela. Pasar untuk kemewahan sedang tumbuh, tetapi tidak stabil. Ini karena
pasar tidak berhenti ketika kompetitor baru masuk. Ini adalah pertempuran konstan untuk
terus maju, karena akan selalu ada alternatif yang lebih murah. Merujuk pada pernyataan-
pernyataan di atas, mungkin dapat dipertimbangkan untuk memasukkan unsur kualitas dan
inovasu dari barang mewah tersebut selain dari prestige pricing strategy dalam penelitian.
4. Dalam penelitian, jika meneliti brand loyalty konsumen terhadap barang mewah yang
dimilikinya, mungkin dapat memasukkan komunitas-komunitas tersendiri pecinta barang
mewah sebagai sampel, atau meneliti suatu luxury brand mewah yang spesifik.
5. Mungkin dapat memasukkan price range untuk menentukan range harga mana yang masuk ke
kategori premium, dan mana yang tidak.
6. Mungkin dapat dipertimbangkan untuk mencari responden di luar Denpasar juga, atau di
kota-kota besar Indonesia lainnya, karena bisa saja hasilnya akan berbeda. Mungkin saja
hasilnya bisa menunjukkan bahwa orang-orang yang membeli parfum mahal tidak semata-
mata untuk meningkatkan status sosial, namun bisa saja semata-mata karena pemenuhan atau
pemuasan diri (self-fulfillment/self-satisfaction). Seperti yang ditulis oleh Paurav Shukla,
Professor of Luxury Brand Marketing dari Glasgow Caledonian University dalam artikelnya
pada tahun 2015, bahwa orang Indonesia berusaha untuk meningkatkan diri melalui
konsumsi. Terlepas dari persepsi umum negara sebagai masyarakat kolektif di mana orang
cenderung melihat diri mereka serupa, konsumen tidak akan mengikuti rekomendasi orang
lain jika pilihannya tidak menyenangkan bagi mereka. Mereka juga menghargai kemewahan
sebagai pengalaman yang menyenangkan, dan dapat membeli barang-barang seperti itu
sebagai pengalih perhatian dari masalah-masalah dalam kehidupan mereka.

Anda mungkin juga menyukai