Anda di halaman 1dari 5

HASIL KEBUDAYAAN MASA HINDU-BUDDHA

DI JAWA BARAT

1. Pendahuluan
Kebudayaan ada sejak masnusia hadir di dunia. Oleh karena itu, kebudayaan tidak akan pernah terlepas
dari manusia sebagai makhluk sosial. Kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, memiliki
peranan penting dalam keberlangsungan hidup manusia. Begitu luasnya pembahasan tentang kebudayaan,
sehingga dalam pembahasan ini hanya menje-laskan tentang hasil kebudayaan masa Hindu-Buddha di Jawa
Barat saja. Jawa Barat disebutkan sebagai daerah tertua penyebaran agama Hindu-Buddha di Nusantara,
sehingga menjadi daya tarik utama dalam pembahasan ini.
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang peninggalan Hindu-Buddha di Jawa Barat, menjadikan
hasil kebudayaan tersebut hilang ditelan jaman, sehingga perlunya penjelasan kembali begitu kayanya hasil
kebudayaan di Indonesia khususnya di Jawa Barat. Sang Penguasa pada waktu itu paham bahwa kepekaan
pandangan para seniman yang saat itu disebut empu, dalam karya-karya yang diciptakannya adalah cerminan
nilai yang patut menjadi pertimbangan kebijakan, referensi patokan-patokan moral, dan kehidupan rohani serta
pandangan hidup antar manusia1. Seperti yang diungkapkan Musa Asy’arie bahwa budaya sebagai sistem nilai
yang mendukung dan melestarikannya tergantung berdasarkan kekuasaan raja2. Akan tetapi, sekarang ini tak
perlu menunggu penguasa untuk menyelamatkan kebudayaan.
Dalam pembahasan kali ini, perlunya penjabaran tentang hasil kebudayaan Hindu- Buddha dengan lebih
jelas dan rinci. Oleh karena itu, pembahasan lebih menekankan pada seni sastra, seni rupa, seni patung, seni
tari, seni wayang, persenjataan, dan kampung peninggalan Pajajaran yang terdapat di Jawa Barat sebagai hasil
kebudayaan masa Hindu- Buddha.
2. Seni Sastra
Perkembangan kebudayaan Hindu telah mempengaruhi bahasa, tulisan, dan seni pahat masyarakat Sunda.
Hal ini dubuktikan dengan ditemukannya beberapa buah prasasti pada dinding batu di Ciaruten, Kebon Kopi,
dan Gintung di daerah Ciampea Bogor. Prasasti ini menggunakan bahasa yang berkembang pada masa
Kerajaan Tarumanegara (kerajaan pertama di Jawa Barat), yang disebut dengan bahasa Kwuntun. Bahasa ini
dipergunakan sebagai bahasa umum di Indonesia sebelum adanya pengaruh kebudayaan India.
Sampai akhirnya masuk pengaruh kebudayaan India (Hindu) mulai berkembanglah bahasa Sansekerta di
Indonesia. Bahasa ini kemudian menjadi bahasa pengantara dalam ilmu pengetahuan, baik dalam lingkungan
kesusastraan maupun dalam bidang keagamaan dan kenegaraan. Dalam peninggalan pengetahuan, prasati
Punawarman merupakan bukti terua tentang seni bahasa di Jawa Barat. Prasati tersebut ditulis dalam bentuk
syair yang indah, walaupun hanya terdiri dari empat baris saja. Syair tersebut berbinyi sebagai berikut:
Vikrantasyawanipateh
Crimatah Purnawarmanah
Taruma-nagarendrasya
Visnor iva padavayam
Syair di atas menunjukan bahwa pada zaman Punawarman, kerajaan Taruma (Tarumanegara) telah
memiliki seniman yang mahir. Seniman tersebut terdiri dari juru pahat dan juru bahasa, yang kesemuanya
memerlukan keahlian dan kemahiran. Sebenarnya masyarakat Sunda telah mengenal seni sebelum masuknya
pengaruh kebuadayaan Hindu di Jawa Barat. Merekapun telah mengenal aturan-aturan untuk menyusun syair.
Hingga sampai sekarangpun syair tersebut masih berkembang dalam kebudayaan masyarakat Sunda. Syair ini
terbagi ke dalam beberapa jenis diantaranya paparikan, wawangsalan, dan sesebred. Pernyataan di atas
dipertegas lagi sebagai berikut:

Seni sastra yang berbentuk lisan dalam bentuk syair menurut penyelidikan sarjana Belanda, Dr. J.L.A. Brendes
telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sebelum datangnya pengaruh kebudayaan Hindu. Bentuk Syair tersebut
merupakan salah satu unsur dari 10 unsur yang telah dimilikinya. Sehubungan dengan teori Brandes ini, Dr.
Sutjipto Wirjosuparto mengemukakan, bahwa bangsa Indonesia pada saat itu telah memiliki sejenis metrik
yang sampai sekarang masih dipergunakan di seluruh Indonesia, lazimnya dinamakan pantun. Jenis ini
ternyata didapatkan dalam masyarakat suku Batak, Sunda, Jawa, Toraja, dan suku-suku Sumatra lainnya3.
Sanghyang Siksakanda ng Karesian sedikit memberikan keterangan bahwa terdapat orang-orang yang
dipandang ahli di salah satu bidang kesenian, misalnya sastra, lukis ukir, da gamelan. Orang yang mengetahui
berbagai cerita disebut mamen, sedangkan cerita-cerita yang diketahuinya antra lain Boma, Damarjati,
Sanghyang Bayu, Jayasena, Sedamana, Pu Jayakarma, ramayana, Adiparwa, Korawasarma,
Bimasorga, Ranggawale, Tantri, Sumana, Kalapurbaka, dan Jarini.

Jenis-jenis kawih seperti misalnya kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan, kawih
panyaraman, kawih sisindiran, kawih pangpeledan, bonbong kaso, pererane, porod eurih, kawih
igel-igelan, kawih babahanan, kawih bangbarongan, kawih sasambatan, dan kawih tangtung.
Oleh karena itu ahli yang menguasai lagu dan kawih disebut paraguna4.

Pengaruh kebudayaan Hindu ini tidak selamanya mendominasi seni sastra pribumi. Pada suatu ketika seni
syair Hindu itu menjadi lemah dan menurun kepopulerannya. Dalam keadaan ini seni sastra asli, yang dahulu
terbenam itu bangkit kembali. Sejak kerajaan Majapahit runtuh sekitar abad ke-15, bersamaan dengan turunnya
pengaruh syair Hindu. Pada saat itu, munculah seni pantun wajah baru yang diirngi dengan seni gamelan, yaitu
gamelan pantun. Di Jawa Barat sendiri, saat runtuhnya kerajaan Pajajaran melahirkan ceritera pantun yang
mengisahkan tentang “Burakna Pajajaran” (Runtuhnya Pajajaran).

Terdapat hasil kebudayaan yang menjadi kekayaan sejarah sastra Indonesia di Jawa Barat, yang berkisar
sejak bahasa Kwunlun sampai berakhirnya kerajaan Pajajaran tentang bahasa-bahasa yang dipergunakannya
ialah: Sansekerta, pada prasasti Ciaruten (± abad ke-5); Jawa Kuno, pada prasasti Cicatih (abad 11); Sunda
Kuno, pada prasasti Kawali (± abad ke 14); Sunda Kuno, pada prasati Batutulis (± abad ke-16) dan Sunda
Kiwari.

Adanya kronologis tersebut, menggambarkan bahwa bahasa Sansekerta hanya digunakan sebagai bahasa
ilmu. Menjadikan orang yang mengerti bahasa itu sangat terbatas, hanya golongan atas atau lapisan tertentu,
yaiu golongan pendeta (Brahmana), itu pun tidak terlepas dari konteks keagamaan. Banyaknya penggunaan
bahasa yang dipahatakan pada prasasti atau naskah menandakan sebagai bahasa pergaulan yang umumnya
dipakai pada zamannya.

3. Seni Rupa
1. Seni Pahat
Sejak Kerajaan Tarumanegara di bawah raja Purnawarman telah memiliki pemahat dan penyair yang
mengesankan, dari orang-orang pribumi Jawa Barat yang berdomisili di ibu kota Tarumanegara. Mereka
adalah orang-orang yang sejak dahulu, zaman sebelumnya merupakan orang-orang berbakat dalam bidang itu.
Pada saat berkembangnya kebudayaan Hindu, mereka menambah pengetahuannya dengan belajar ke luar
negeri, yaitu ke India. Di negeri itu mereka mempelajari berbagai ilmu sastra dan agama Hindu. Setelah
menamatkan pelajarannya mereka kembali ke tanah air dan memperaktekan pengetahuan yang baru
diperolehnya itu di negerinya.
Keahlian mereka pada seni pahat terdapat di beberapa tempat di Jawa Barat, seperti memahat gambar
telapak kaki. Bukti-bukti tersebut terdapat di Ciaruten Cicatih, Astana Gede (Kawali), Batu Tulis Bogor dan
lain-lain.
2. Seni Bangunan
Dalam seni bangunan terdapat beberapa unsur baik yang bersifat sakral maupun yang bersifta profan.
Memang tidak banyak bahkan dapat dikatakan mungkin tidak ada peninggalan bangunan di Jawa Barat
meskipun pernah berkembang kerajaan-kerajaan besar sepeti Tarumanegara, Galuh, dan Pajajaran, akan tetapi
dari ketiga tidak meninggalakan bangunan yang dapat dijadikan sebagai bahan penelitian. Menurut perkiraan
mungkin sekali ketiadaan peninggalan itu disebabkan bahan-bahan bangunan dibuat dari kayu, bambu dan
bahan lainnya yang mudah lapuk. Hal ini tidak menyurutkan semangat peneliti dalam meneliti peninggalan di
Jawa Barat, karena ternyata masih terdapat peninggalan berupa bekas benteng bernama Kuta gondong, di
daerah Cianjur. Benteng ini tingginya mencapai 3 sampai 4 meter dan panjangnya menurut perkiraan sampai ¾
km.
Bangunan sakral ialah bangunan yang dipergunakan untuk kepentingan upacara keagamaan, seperti
tempat peribadatan, tempat pemujaan dan lain-lain. Sedikitnya peninggalan di Jawa Barat, dan kurangnya
sember penulisan seperti prasati menjadikan sulitnya meneliti peninggalan di Jawa Barat. Hanya terdapat satu
candi peninggalan di Jawa Barat yaitu candi Cangkuang yang terdapat di kota Garut. Para ahli menduga bahwa
Candi Cangkuang didirikan pada abad ke-8, didasarkan pada tingkat kelapukan batuannya, serta
kesederhanaan bentuk (tidak adanya relief). Suatu hal yang menarik dari peninggalan seni bangunan ini, bahwa
masyarakat Jawa Barat telah mengenal bahan lain sebagai bahan bangunan, yaitu batu bata. Penemuan tersebut
di temukan dalam stupa di daerah Karawang, yaitu di Cibuaya, diperkirakan masanya sekitar abad ke-7 dan 9.
3. Seni Batik dan Ukir
Jenis-jenis batik (tulis) dengan ahlinya yang disebut lukis, adalah pupunjengan, hihinggulan,
kekembangan, als-alasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, tarukhata, kembang tarate.
Terdapat pula macam-macam ukiran seperti misalnya dinanagakeun, dibarongken, ditiru paksi, ditiru
were, dan ditiru singha, yang ahlinya disebut marangghuay5.
4. Seni Patung
Berdasarkan kepada keterangan prasasti Ciaruten, agama yang dianut Maharaja Purnawarman adalah
agama Hindu, yang mengutamakan pemujaan terhadap dewa Wisnu. Kenyataan ini menunjuakan bahwa
agama Wishnu merpakan agama yang pertama berkembang di Jawa Barat, khusunya di Taruma. Dengan
demikian dewa Wishnu-lah yang mendapt tempat untuk dipuja oleh para pemeluknya.
Kenyataan bahwa agama Wisnhu yang mula-mula berkembang di bumi Jawa Barat didukung oleh
munculnya dua patung Wishnu yang ditemukan di Cibuaya, yang termasuk kedalam daerah kekuasaan raja
Purnawarman. Patung Wishnu tersebut bergaya Pallawa dan diperkirakan berasal dari abad ke-6 dan 7. Atas
dasar perkiraan tersebut patung ini merupakan patung tertua yang ditemukan di Jawa Barat, bahkan di Pulau
Jawa.
Baranjak ke abad 14, di Jawa Barat pemujaan terhadap Dewa Siwa lebih kuat daripada terhadap Wishnu.
Patung-patung atau lambang pemujaannya terdapat berbagai bentuk sesuai dengan fungsinya, diantaranya
sebagai berikut:
1. Lingga dan Yoni, berbentuk seperti tiang batu yang dibuat menjadi tiga bagian. Bagian bawah lingga
berbentuk segi empat, bagian tengah segi delapan, dan bagian atas berbentuk bulat memanjang seperti silinder.
Lingga dianggap sebagai lambang Siwa. Di atasnya biasanya terdapat yoni yang berbentuk segi empat. Yoni
dianggap sebagai lambang istri Siwa. Oleh karena itu, Lingga-yoni lambang agama Siwa. Terdapat lambang
pemujuaan seperti Lingga-yoni di beberapa tempat di Jawa Barat, di antaranya: Gunung Burangrang, Pulo
Kalapa daerah Karawang, Cisolok, Indihiang (Tasikmalaya), Ciceleng (Manonjaya), Cicapar (Pangandaran),
Pananjung (Pangandaran), dan Sanghiang Purnawijaya di Kuningan.
2. Patung Nandi, berbentuk seekor lembu yang dianggap sebagai kendaraan Siwa. Terdapat di Lebak Pare
(Pandeglang), Cimanuk (Pandeglang), Gunung Manglayang (Bandung), Pananjung (Pangandaran), Sanghiang
Purnajiwa (Kuningan).
3. Patung Ganesa, berbentuk berkepala gajah dan berbadan manusia. Patung ini terdapat di Caringin
(Pandeglang), Cikakak (Bandung), Gunung Manglayang (Bandung), Leuwi Gajah (Cimahi), Pamentasan
(Soreang), Cibeet (sekarang disimpan di Museum Pusat Jakarta), Cipeujeuh (Gunung Malabar), Cikalong
Wetan (Purwakarta), Gunung Burangrang, Gunung Tampomas (Sumedang), dan Ciparay (Banjaran).
4. Patung Siwa. Ditemukan di Cibodas (Cicalengka), Cikalong Wetan, dan Gunung Manglayang, yang
dipindahkan ke Museum Pusat Jakarta.
5. Patung Buddha. Ditemukan di Sagalaherang (Subang), Leuwi Gajah (Cimahi), Selakaso (Ciparay), Cipaeran
(Garut), yang dipindahkan ke Museum Pusat Jakarta.
5. Seni Tari
Tarian yang berkembang bercorak pada istana. Hal ini disebabkan karena istana menjadi pusat
perkembangan kebudayaan. Tarian tersebut diantaranya Tari Topeng dan Bedaya6. Tarian ini kadang-kadang
mengikuti rangkaian cerita yang bersumber dari cerita Ramayana dan bahkan cerita Panji, seperti lakon
Samba, Rawana dan Damarwulan. Terdapat pula tari-tarian rakyat yang berkembang di masyarakat selain
tarian tang bercorak istana. Tari-tarian rakyat itu diantaranya: Tari Kuda Lumping, Tari Gacle, Reog,
Gondang, Tari Ronggeng, Tari Banjet, Raket, Tari Segeng, dan Tarian Lais.
6. Seni Wayang
Seni wayang sangat digemari oleh masyarakat Jawa Barat terutama wayang golek. Dalam prasasti
Batutulis disebutkan nama wayang dalam hubungan kalimat candrasangkala yang berbunyi:
Panca Pandawa ..... dan bumi. Apabila kata Pandawa dalam kalimat tersebut dimaksudkan nama keluarga
yang terdapat dalam cerita Mahabarata, yakni Pandawa, maka ini merupakan satu bukti, bahwa nama wayang
telah dikenal di Jawa Barat pada saat prasasti itu dibuat. Menurut C. M. Pleyte prasasti itu ditulis pada tahun
1455 Saka atau 1533 M7.

Dalam cerita Parahiyangan juga disebutkan berulan-ulang kata sang Pandawa di Kuningan. Menurut
perkiraan yang dapat difahami kebenarannya, cerita Parahiyangan ditulis sekitar abad ke-16. Keterangan itu
memberikan bukti bahwa nama wayang telah dikenal sejak zaman Pajajaran.
7. Kampung Peninggalan Pajajaran
Terdapat kampung budaya di Bogor yakni bernama Sindang Barang. Diperkirakan telah ada sejak jaman
kerajaan Sunda. Ketika Pusat kerajaan Sunda berada di Pakuan (abad ke-12) sampai jaman Kerajaan Pajajaran
yang selalu menetap di Pakuan. Sindang barang merupakan kerajaan kecil yang menjadi negara bawahan dari
Kerajaan Pajajaran, sehingga memiliki garis kekerabatan dengan kerajaan pusat.
Sebagai kerajaan bawahan yang loyal, Sindang Barang yang beribukota Kuta Barang ini
dijadikan kawah candaradimuka atau pusat pelatihan dari para ksatria pajajaran. Terdapat pula peninggalan
berupa sebuah keraton. Keraton ini kerap ditempati oleh Permaisuri Prabu Jayadewata (Prabu Siliwangi) yang
bernama Kentring Manik Mayang Sunda. Tidak heran apabila Prabu Surawisesa (Raja Pajajaran berikutnya
yang merupakan putra Jayadewata dari Permaisuri Kentring Manik Mayang Sunda) lahir dan besar di kerajaan
ini.
8. Kujang
Kujang memiliki beberapa bentuk seperti Kujang Ciung (bentuknya menyerupai burung
ciung), Kujang Jago (bentuknya menyerupai ayam jago), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul),Kujang
Bangkong (bentuknya seperti bangkong), Kujang Naga (bentuknya menyerupai naga), Kujang
Badak (bentuknya dianggap seperti badak), dan Kudi (suatu alat perkakas sejenis kujang).
Kujang juga memiliki fungsi sebagai pusaka (lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan),
pakarang (senjata untuk perang), Pangarak (kujang bertangkai panjang menyerupai tombak sebagai alat
upacara), dan Kujang Pamangkas (digunakan sebagai alat pertanian).
Adapun wujud sebilah Kujang memiliki bagian-bagian seperti papatuk atau congo (bagian ujung yang
runcing yang digunakan untuk menoreh atau mencungkil), Eluk atau Siih (lekukan-lekukan pada bagian
kujang gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh), Waruga (badan Kujang), Mata (lubang-lubang kecil yang
terdapat pada bilahan Kujang ada yang jumlahnya 9 dan minimal 5 lubang atau tanpa lubang sama sekali dan
ini disebut “kujang buta”, Pamor (garis-garis atau bintik-bintik pada badan Kujang disebut Sulangkar atau tutul
konon mengandung racun dan gunanya untuk memperindah bilah Kujang), Tonggong (sisi yang tajam di
bagian punggung Kujang, biasanya untuk mengerat atau mengiris), Beuteung (sisi yang tajam di bagian perut
Kujang), Tadah (lengkung kecil pada bagian bawah perut Kujang), Paksi (bagian ekor Kujang yang
lancip), Selut (ring pada pada ujung atas gagang Kujang), Combong (lubang pada gagang
Kujang), Ganja (nama khas gagang Kujang), Kowak (nama khas sarung Kujang).
9. Simpulan
Jawa Barat memiliki hasil peninggalan kebudayaan masa Hindu-Buddha, yang hanya diketahuan oleh
sebagian kalangan orang saja. Di antaranya seni sastra yang berupa syair-syair. Seni rupa yang berupa
bangungan dan seni ukir yang khas mencirikan hasil peninggalan Hindu- Buddha. Seni patung yang dijadikan
sebagai objek persembahan dalam kebercayaan Hindu-Buddha, adanya kepercayaan Hindu Siwa yang begitu
melekat dalam masyarakat kuno Jawa Barat. Seni tari dan seni wayan sebagai alat hiburan dalam pesta rakyat.
Adapun persenjataan yang khas di Jawa Barat berupa Kujang. Pelestarian peninggalan Kerajaan Pajajaranpun
masih dapat kita lihat dari kampung peninggalan Pajajaran yang bernama Sindang Barang, sebagai hasil
kebudayaan masa Hindu- Buddha.

Anda mungkin juga menyukai